Story : Mihashi Prologue
*Read : Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Epilogue
* Read Another Stories :
MIHASHI
- Prologue -
Sudah kubilang’kan? Firasatku tidak pernah
salah.
Ini, adalah
malam pada waktu itu.
“Bos, aku pulang
dulu.”
“Ya, hati-hati
di jalan.”
Aku mengucap
salam kepada bos-ku, yang masih sibuk mengetik, menyalin lembaran-lembaran
kertas yang hampir menumpuk.
Bahkan ketika
aku beberapa langkah di depan pintu keluar dan sedikit menoleh ke belakang, aku
masih melihatnya sibuk dengan komputernya. Kurasa, pekerjaannya tidak akan
selesai dalam waktu dekat ini.
Sebenarnya, aku
bukanlah tipe orang yang suka pulang duluan dan meninggalkan atasanku di
belakang. Meskipun aku baru magang dan belum benar-benar bekerja di sini, kalau
boleh sih, aku lebih memilih untuk tinggal lebih lama. Entah dengan
berpura-pura menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya sudah selesai, atau
mungkin dengan bermain game di komputerku.
Tidak ada alasan
khusus untuk itu.
Aku hanyalah
tipe orang yang selalu berpikir ‘Tidak sopan pulang duluan sebelum atasanku
pulang’. Tapi aku punya alasan untuk yang satu ini,
Kenapa aku
memutuskan pulang lebih dulu.
Kenalanku, lebih
tepatnya, temanku semasa SMA, mungkin, akan segera melahirkan. Dan tugasku
adalah mengantarkannya ke rumah sakit jika saatnya sudah tiba.
Kalau kalian
sekarang bertanya-tanya kenapa aku yang justru harus, dalam tanda petik ‘repot-repot’
melakukan hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab suaminya, aku sudah
menyiapkan jawaban yang tepat.
Suaminya adalah
seorang pekerja kantoran yang cukup sukses dan harus bekerja sampai larut
malam. Bisa saja, ia tidak sempat datang ketika istrinya akan segera
melahirkan.
Jadi dia memintaku untuk selalu siap jika-jika
aku harus mengantarnya menggunakan mobil kakakku yang menganggur.
Dan entah
kenapa, aku merasa kalau hari ini, aku akan tidur lebih malam dari yang
biasanya. Bukannya mau sombong atau apapun. Tapi aku memang memiliki firasat
yang cukup tajam.
“Tomedonai asu ni
kawaranai bokutachi wo
Nagu minamo no saki
dokomade mo utsushite
Kono mama de ii
Sono hitomi ni
yureteta hakanai omoi mo
Sotto shimatte…”
Panjang umur.
Aku baru saja
melangkah keluar dari kantor tempatku magang, ketika ponsel yang baru saja
kubeli berdering. Karena aku baru saja membelinya beberapa hari yang lalu,
tidak banyak nomor yang ada di dalamnya.
Hanya nomor
kedua orang tuaku, nomor kakak laki-lakiku, nomor kenalanku yang akan segera
melahirkan dan juga nomor suaminya.
Orang tuaku
mungkin sedang tidur saat ini, sekarang sudah menunjukkan pukul 00.54 A.M. Dan kakakku mungkin sedang main ke bar atau
tempat-tempat hiburan malam lainnya.
Bersamaan dengan
kedua mataku yang mengamati nama yang tertera di layar, aku segera berjalan
kemudian mempercepat langkah, menekan tombol untuk menjawab telepon.
“Sudah kuduga
firasatku tidak pernah salah!!”
***-***
“Yutaka!!”
“Oh, Chiaki-san!
Anda sudah tiba?”
Begitu aku mendapat
panggilan telepon itu, aku segera menyetir mobil menuju ke rumah kenalanku,
Satone.
Untung saja
malam ini keadaan tidak terlalu ramai, jadi aku bisa cepat sampai ke rumah
Satone yang kebetulan, sedikit jauh dari kantor tempatku magang.
Aku sama sekali
tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau aku tinggal di...Apa itu? Salah
satu kota yang ada di Indonesia...Tempat ibuku bekerja...Ah, iya. Jakarta.
Tiap kali aku
menelepon untuk menanyai kabanya, ia selalu curhat dan mengeluh kalau sedang
terjebak macet. Bunyi klakson ada di mana-mana dan aku seringkali kesulitan
mendengar suara ibuku.
Bukannya aku
yang malas membersihkan telinga atau mulai tuli, usiaku baru menginjak 21
tahun, kau tahu?
Tapi serius,
tiap kali aku menelepon ibuku, yang terdengar selalu,
‘Halo, Yu--Tiiin
Tiiiiiiin!!!!!!! Ib--Tiiiin Tiiin Tiin!!! Kau--Tiiin!! Di sana bai--Tiiin Tiiin
TOOOOOOON!!!!! LANJUTNANTISAJAKEPALAIBUPUSINGGARAGARASUARAKLAKSON!!
WOICEPETJALAAAAAAN!!!!!!!’
......................
Super sekali
bukan?
Menurut yang aku
dengar, Kota Jakarta sangat macet. Bukan cuma itu, tapi juga sering banjir. Bahkan
ada yang sampai se-atap. Untung aku tidak tinggal di sana karena aku sebenarnya
tidak bisa berenang.
Aku sama sekali
tidak tahu bagaimana ibuku bisa tahan bekerja di tempat seperti itu.
Mungkin karena
itu para ibu memiliki julukan ‘Super Mom’?
Yah, kira-kira
begitulah...Makanya aku malas untuk pergi ke sana dan menemuinya.
Kalian tahu?
Aku bukan orang
yang tahan untuk berada di dalam mobil tanpa melakukan apapun. Kalau disuruh
memilih, aku lebih memilih bermain bola dari malam sampai subuh daripada harus diam
di dalam mobil.
Yah...Silahkan
saja kalau mau menganggap aku orang aneh.
Begitu sampai di
rumah sakit, para suster langsung dengan gesit dan cekatan membawa Satone-san
ke ruang perawatan. Aku salut sekali dengan kinerja para ahli di sini.
Sementara itu,
aku masih ada di halaman depan, kemudian memencet nomor suami Satone-san dan
memberitahu kalau Satone-san akan segera melahirkan.
Pekerjaanku
malam hari itu, berakhir sampai di sini.
Kalau menurut
istilah dalam game-game, tulisan ‘Mission Complete’, pasti sedang menyala
terang di atas kepalaku.
Saat itu, aku
sedang menunggu kedatangan suami Satone-san.
Namanya
Matsuyuki Chiaki-san.
Usianya 1 tahun
di atasku, tapi dia sudah sangat sukses. Menurutku pribadi, Satone sangat
beruntung karena bisa menikah dengan pria yang sangat lembut dan juga penyayang
seperti Chiaki-san.
Sebagai teman
SMA-nya, sudah seharusnya aku merasa senang’kan?
Ketika aku
sedang duduk di bangku, tepat di depan ruangan Satone sedang di rawat, Chiaki-san,
datang dengan terburu-buru dan aku langsung bangkit berdiri menghampirinya.
“Hah, hah!
Bagaimana? Apa Satone sudah melahirkan?!”
Tanya Chiaki-san
dengan terengah-engah.
Sepertinya begitu mendapat kabar dariku, ia
langsung meninggalkan kantornya dan segera pergi ke rumah sakit.
Kalau aku jadi
Satone, aku pasti akan sangat terharu. Ekspresi khawatir jelas tergambar di
wajahnya yang kelihatan lelah.
“Sepertinya
belum. Dokter belum keluar ruangan sejak tadi. Bagaimana kalau Anda duduk dulu?
Kelihatannya Anda sangat lelah.”
Kataku, berjalan
pelan ke arah tempat duduk yang telah disediakan.
Agaknya, terasa
sedikit aneh saat aku bersikap formal--Maksudku, sangat formal kepada suami
dari sahabat baikku sendiri.
Kenapa aku tidak
memanggilnya dengan sebutan ‘Chiaki’ saja atau mungkin dengan sebutan ‘dude’?
Oke, yang
terakhir itu sangat tidak sesuai dengan gayaku.
Aku menaruh rasa
hormat kepada Chiaki-san, dan aku benar-benar menganggumi dirinya. Maksudku, siapa yang tidak ingin jadi seperti
dirinya?
Kaya, sukses di
usia muda, tampan dan memiliki istri yang sangat cantik. Dan bagiku, akan jadi
sesuatu yang luar biasa kalau aku bisa menjadi junior-nya di tempat kerja. Aku
ingin bisa belajar lebih banyak darinya.
Hanya saja...
Sungguh
menyedihkan ketika aku di pecat, bahkan sebenarnya aku belum bekerja tapi baru
saja magang [aku tidak bisa bayangkan bagaimana jadinya kalau aku benar-benar
bekerja di sana] dari kantor tempat Chiaki-san bekerja.
Hanya karena aku
menyenggol keranjang sampah, bukan berarti aku tidak bisa bekerja dengan baik.
................
Baik, baik, aku
menyenggol keranjang sampah yang secara tidak sengaja membuat cleaning service
tersandung dan membuat air yang berada di ember yang dibawanya terjatuh,
kemudian membuat seorang karyawati cantik yang sedang membawa makan siang
berupa obento buatan rumah,
terpeleset. Dan bekalnya itu,
Mendarat dengan
cantik di wajah manager-ku.
Jadi, aku
bekerja selama 5 menit 49 detik, dan tahu-tahu, aku sudah dipecat pada detik
berikutnya...
“Tidak, aku
tidak bisa tenang menghadapi situasi ini...Ah, apa yang harus aku lakukan!
Istriku sedang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan anak kami...”
Chiaki-san mondar-mandir di depan ruangan
tempat Satone dirawat sambil menggigit kukunya.
Itu adalah
kebiasaan Satone ketika sedang gugup dulu. Dan aku bisa melihat kalau itu
tertular ke Chiaki-san.
“Tenanglah,
Chiaki-san. Aku yakin Satone akan bik-baik saja. Kau selalu tahu’kan? Kalau dia
wanita yang sangat kuat?”
Aku berkata,
mengangkat kedua tangan setinggi dada, berusaha sebisa mungkin menenangkan
seorang pria yang akan segera menjadi ayah.
Ketika mendengar
ucapanku itulah, Chiaki-san menoleh ke arahku. Ia lalu tersenyum,
“.............Iya...Iya,
kurasa benar. Aku harus percaya sepenuhnya pada Satone’kan? Dia memang sangat
luar biasa.”
“Nah, nah, itu
baru semangatnya.”
“Terima kasih,
Yutaka. Aku beruntung sekali Satone memiliki sahabat yang sangat baik sepertimu.”
“Ha ha, terima kasih. Tapi kurasa Satone lebih
beruntung karena memiliki suami sepertimu, Chiaki-san. Sewaktu kami sempat
mengadakan reuni SMA sekitar beberapa bulan yang lalu, Satone tidak
henti-hentinya menceritakan tentang Chiaki-san.”
Aku mulai bercerita
tentang reuni. Mungkin sedikit pembicaraan akan menghilangkan rasa tegang dan
khawatir Chiaki-san.
“Benarkah? Dia
membicarakan tentang aku?”
Tepat seperti
yang aku duga sebelumnya, Chiaki-san menoleh ke arahku. Sepertinya aku berhasil
menarik perhatiannya--Bukan ‘perhatian’ dalam arti ‘itu’ maksudku...
Tapi yang aku
tidak paham dalam keadaan kali ini adalah--
“Eh, Satone
tidak memberitahumu tentang itu?”
Tanyaku dengan
nada sedikit tidak percaya.
“Mmm...Tidak.
Dia tidak memberitahuku kalau ia menggosipkan diriku dengan teman-teman
SMA-nya. Dia cuma bilang, reuni itu sangat menyenangkan karena bisa
berbincang-bincang dengan sahabat lama. Itu saja.”
Chiaki-san
menjawab, menopang dagu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berada
di saku celananya.
Melihat dari
raut di wajahnya, aku bisa benar-benar tahu kalau Chiaki-san memang tidak
mengetahui apapun.
Baik, meskipun
aku tidak punya pengalaman menjadi seorang ‘istri’, tapi aku tahu, bahkan ada
satu hal yang membuat seorang istri merasa malu. Yaitu saat mereka membicarakan
suami tentu saja.
Satone memang
cukup pemalu waktu SMA dulu. Dia bahkan tidak bisa membaca satu baris dalam
buku dengan lancar tanpa harus terbata-bata. Begitu semua mata tertuju ke
arahnya, wajahnya langsung menjadi pucat.
Aku lihat dia
sedikit berbeda ketika ia sudah menikah.
Tapi tetap saja,
kebiasaan bukanlah hal yang bisa dihilangkan begitu saja.
“Menurutmu,
kenapa Satone tidak menceritakannya padaku? Apa dia...Mengatakan yang
jelek-jelek soal aku?”
Ujar Chiaki-san,
yang menoleh ke arahku dengan tatapan curiga seperti baru saja menangkap basah
seorang pencuri murahan yang sedang mencuri pakaian dalam.
Bisa aku membela
diriku di sini? Bukan aku yang harusnya kau curigai, dan aku merasa tidak
pantas mendapat hadiah tatapan seperti itu.
Aku menggaruk
belakang kepalaku dan menjawab dengan sewajarnya saja.
“Ah, Chiaki-san
masa tidak paham sih? Satone memang pada dasarnya’kan pemalu. Bukan cuma itu,
tapi kalau aku jadi Satone, aku juga tidak akan mengatakan pada suamiku sendiri
kalau aku membicarakannya dengan teman-teman. Malu’kan?”
Ucapku dengan
sedikit tertawa.
Tunggu dulu! Apa
aku baru saja mengatakan ‘pada suamiku
sendiri’?
Meskipun aku
bermaksud mengatakannya sebagai candaan, tapi kata-kataku sendiri sudah
membuatku merasa takut.
Begitu selesai
mencerna perkataanku, Chiaki-san bergumam pelan ‘Mungkin ada benarnya juga’,
dan melontarkan pertanyaan padaku,
“...Jadi,
Yutaka, apa yang Satone katakan tentang aku?”
Tanyanya, dengan
penasaran.
“Yang dia
katakan?”
Aku sedikit
tertegun ketika mendengar pertanyaan yang sudah aku antisipasi sejak awal
pembicaraan itu terdengar dari Chiaki-san.
Meskipun itu
pertanyaan yang sudah kuduga akan keluar dari mulu Chiaki-san, namun entah
kenapa aku justru tertegun dan bingung harus menjawab apa.
Aku sudah
merencakan jawaban untuk pertanyaan seperti ni sebelumnya, bersamaan dengan
perbincanganku dengannya. Kalian paham? Bukan cuma mulutku saja yang bergerak,
otakkupun tak berhenti berpikir sejak tadi. Aku adalah orang yang sangat suka
mengantisipasi segala hal agar tidak keluar dari jalur yang sudah kuprediksi.
Meski seperti
itu, sesuatu yang ada di pikiran akan menjadi menakutkan ketika itu datang ke
dalam kenyataan.
Jadi, begini
kira-kira aku memprekdisikan keadaan :
Aku : Kau sangat
perhatian, baik, tampan!!
Chiaki :
Gomenasai, Yutaka-san, boku wa not a HOMO...
Itu adalah
jawaban paling normal yang bisa aku berikan karena itu memang sesuai dengan
kenyataannya!
Aku baru saja
menyadarinya. Situasi ini jauh lebih menakutkan dari yang aku pikirkan selama
ini...
Sekilas
terpikirkan olehku untuk tidak memberikan jawaban dan hanya terdiam. Tapi
kurasa itu akan semakin meningkatkan kesan kalau Satone mengatakan sesuatu yang
tidak-tidak saat reuni itu. Mungkin jika kutambahkan kata ‘Satone bilang’,
“Satone
bilang...Kau sangat, perhatian, baik, tampan--“
Oke, bisa kita
hentikan ini? Aku mulai terlihat seperti seorang idiot di sini.
“Yah...Mu--Mungkin
sesuatu seperti itu. Intinya sih, dia benar-benar merasa bersyukur karena bisa
memiliki suami sepertimu.”
“Khu khu khu,
terima kasih, Yutaka. Tapi kurasa aku akan lebih senang kalau mendengarnya
langsung dari Satone.”
Sial! Sudah
kuduga aku tidak seharusnya mengatakan itu!! Bahkan menambahkan ‘Satone bilang’,
sama sekali tidak membantu!!
“Ha ha, kurasa
memang akan terdengar lebih baik kalau itu semua terdengar dari mulut Satone
sendiri.”
Hanya tertawa
yang bisa aku lakukan saat ini. Bagaimanapun juga, aku harus berusaha agar
harga diriku tidak jatuh di sini.
Dan
perlahan-lahan, ingatan tentang reuni itu kembali terbayang di benakku. Aku
bukanlah pengingat yang baik. Sehingga mungkin aku sudah melupakan beberapa
detail dan perbincangan seperti apa yang kami bincangkan pada waktu itu.
Tapi kini, entah
mengapa ingatanku seolah di-refresh
kembali, seperti baru saja reuni itu terjadi. Aku bisa mengingat semuanya
dengan jelas. Gaun seperti apa yang dikenakan oleh Takahashi waktu itu, berapa
harga kemeja yang disewa oleh Sugishita, serta--
“ Dan aku bisa
melihat dari pancaran matanya waktu itu...Kalau dia benar-benar bahagia...”
Sambil berkata
seperti itu, aku yang awalnya menatap Chiaki-san, tiba-tiba jadi tertunduk.
Bersamaan dengan itu, aku mulai memainkan jari-jariku. Aku sama sekali tidak
tahu apa yang merasuki saat ini. Tapi yang jelas, ada bagian dari diriku yang
merasa...’Aneh’, ketika mengatakan hal itu.
Kalian mungkin
tidak akan paham.
Dan Chiaki-san
juga tidak akan paham.
Aku sama sekali
tidak bisa menahan diriku untuk merasa, dalam situasi ini, semua ini, dan semua
perkataanku, tidak benar-benar aku katakan dengan serius. Aku bahkan merasakan
hal bodoh, yang sebelumnya belum pernah aku rasakan.
Akan lebih jelas
kalau mungkin aku mendeskripsikannya seperti ini,
‘Kenapa aku
mengatakan semua itu?’
Meski aku tak
sepenuhnya paham dengan situasiku saat ini, yang seakan-akan berada di daerah
antara hitam dan putih yaitu abu-abu...
Aku sama sekali
tidak menyukai diriku yang berpikiran seperti ini dan juga situasi ini.
“Yutaka?”
“Oh.”
Aku langsung
tersentak kaget ketika mendengar Chiaki-san menyebut namaku.
Kurasa ia sudah
menyadari adanya keanehan pada diriku yang secara tiba-tiba ini. Akupun tidak
ingin membuatnya berpikiran yang aneh-aneh tentang diriku, dan hanya tersenyum
normal.
“Maaf,
kebiasaanku memang suka melamun. Bahkan itu sampai terbawa saat aku sedang
berbincang-bincang dengan orang lain. Rasanya tiba-tiba aku tenggelam dengan
pikiranku sendiri. Sadar-sadar, orang yang ada di depanku ternyata sudah
menjadi orang yang berbeda, ha ha ha.”
Aku berkata
se-natural mungkin, sebisa mungkin meyakinkannya kalau ini bukan akting.
“Aku rasa kau
terlalu sering mengalami Day Dreaming.”
Chiaki-san
berkata dengan sedikit tertawa, sementara aku hanya menanggapi dengan senyuman
kecil yang biasa ditunjukkan oleh orang-orang yang sedang menahan rasa malu.
Entah apa yang
terjadi, di detik berikutnya, Chiaki-san terdiam di tempatnya sambil menggaruk
pipi dan tersenyum. Ia lalu melihat ke arahku dan menepuk pundakku.
“Tapi, terima
kasih, ya.”
Katanya singkat,
yang membuatku tidak paham.
“Maksudnya?”
“Maksudku, kau
melakukan semua ini untuk menghiburku’kan? Agar aku bisa sedikit merasa tenang
menunggu persalinan Satone...Terima kasih, ya. Kurasa usahamu itu sedikit
berhasil. Aku bisa merasakan beban sedikit berkurang dari pundakku.”
Ujar Chiaki-san,
mengingatkan tujuan awalku menceritakan soal reuni.
Bahkan aku
sendiri sudah hampir lupa dengan itu. Terima kasih karena sudah mengingatkanku.
“Ya, tidak
masalah. Oh ya, boleh aku bertanya satu hal?”
“Hm?”
“Putri atau
putra? Kau ingin punya anak perempuan atau laki-laki?”
Aku bertanya
kepadanya, sebuah pertanyaan biasa yang akan ditanyakan oleh setiap orang.
“Hmm...Sejujurnya
sih, aku ingin punya anak kembar. Laki-laki dan perempuan.”
Jawabnya dengan
nada sesikit agak ragu, melihat ke atas langit-langit.
Jawabannya
Chiaki-san setidaknya membuatku merasa takjub. Aku sendiri tidak tahu kenapa.
Saat ini, aku hanya ingin berkata ‘Wah, benarkah??’, sesuatu seperti itulah.
Jadi, aku mengatakannya saja.
“Wah, benarkah?
Anda ingin punya anak kembar?”
“Kira-kira
seperti itu. Karena aku ingin anakku nanti memiliki teman bermain yang seusia
dengannya. Jadi dia tidak perlu merasa kesepian ketika aku dan Satone sedang
sibuk.”
“Oh, menarik
sekali. Ide yang bagus juga. Tapi, akan sangat sulit membedakannya, ya?”
Sambil
mengatakan itu, aku menopang dagu dengan sebuah senyuman, yang entah kenapa
terkesan konyol di wajahku.
“Tapi pada
akhirnya, semua Tuhan yang menentukan’kan?”
“Mhmm...Manusia
cuma bisa merencakan tapi semua yang terjadi ada di tangan Tuhan yang selalu
mengamati kita.”
Ucapku dengan
suara pelan.
Cuma bisa
merencanakan, ya?
“Hngh...”
“?”
Aku mengalihkan pandanganku
dari lantai ke arah Chiaki-san yang sedang merentangkan kedua tangan ke
samping. Sepertinya dia sangat lelah sekali.
“Jadi...Dalam
waktu singkat, aku akan menjadi seorang ayah...Dan memiliki seorang anak...Ah,
aku bahkan belum memberitahu orang tuaku tentang ini. Aku yakin, ini akan jadi
kejutan terbaik untuk mereka.”
Chiaki-san
memperlihatkan sekilas senyumannya sambil sesekali meregangkan tubuhnya.
“Benar
juga...Orang tuamu tidak tinggal di kota ini. Kenapa tidak membawa mereka
tinggal bersama denganmu?”
“Aku sudah
inisiatif untuk melakukan itu. Tapi mereka bilang kalau mereka tidak akan bisa
beradaptasi dengan kondisi kota besar.”
“Oh...”
Sesuatu yang
jelas akan para orang tua katakan.
Ada benarnya
juga, karena sewaktu saat nanti ketika aku sudah menginjak usia senja, aku
ingin kembali ke kampung halamanku yang terletak di kota kecil. Tidak ada
polusi yang mencemari, suara yang berisik dan yang lain-lainnya yang biasanya
sangat mudah ditemukan di kota besar.
Hanya ada suara
jangkrik, suara air mengalir dan hembusan udara yang menentramkan hatiku. aku
ingin sekali tinggal di tempat seperti itu. Mungkin kalian berpikir adalah hal
yang sangat aneh ketika aku mengatakan hal seperti itu, memilih kehidupan desa
daripada kehidupan kota yang serba ada.
Yah, aku tidak
terlalu peduli tentang hal itu.
Karena yang
terpenting, bukan di mana kita tinggal, tapi dengan siapa kita akan tinggal dan
menghabiskan waktu. Asalkan aku bisa bersama dengan orang yang aku sayangi dan
berharga untukku, tinggal di sebuah rumah kardus pun akan kujalani dengan
sepenuh hati, seperti tinggal di sebuah rumah mewah.
“Mmm...Tapi
sayang sekali...”
Perkataan
Chiaki-san yang barusan itu, menarik perhatianku walau cuma sedikit. Kenapa
dengan suaranya yang mendadak melemah? Itu yang ingin aku tanyakan.
“Apanya?”
“Sayang sekali,
aku tidak bisa memberitahu adikku soal ini.”
Chiak-san
tersenyum, tapi di balik senyumannya itu, aku bisa merasakan ada sesuatu yang
tersembunyi.
Tapi yang
sebenarnya membuatku tertegun adalah,
“Aku baru tahu
kalau kau memiliki adik?”
Apa itu
pertanyaan yang wajar untuk kutanyakan? Kurasa iya.
“Yah, itu karena
aku memang jarang sekali membicarakannya. Aku punya adik perempuan yang usianya
2 tahun di bawahku.”
Oh, berarti dia
satu tahun di bawahku? Kurasa ini salah satu saat yang tepat untuk menemukan
jodohku.
Lagipula, aku
memang memilih gadis yang lebih muda dariku.
“Kau dan dia ada
masalah, ya?”
“Aku juga tidak
begitu paham...Tapi kurasa dia membenciku. Dia meninggalkan rumah saat berumur
18 tahun, dan kami tak pernah saling kontak sejak itu. Dia tinggal di mana
sekarangpun aku juga tidak tahu...”
Aku tarik
perkataanku. Sepertinya adiknya itu wanita yang sangat penuh dengan masalah.
Bukan karena itu aku menarik kata-kataku, aku suka membantu orang lain
menyelesaikan dan membereskan masalah mereka. Karena itu orang-orang menjuluki ‘HELPER’.
Itu, adalah 2 hal kelebihan yang kumiliki dalam diriku. Dan aku sangat bangga
karena itu.
................
Oke, satu.
Karena menyelesaikan dan membereskan memang memiliki arti yang sama...Meskipun
berbeda huruf...
Tapi bahkan ia
tidak tahu di mana adiknya berada, mana bisa aku memulai ‘rencana penaklukanku’?
Meski demikian,
aku bisa merasa kesedihan dari nada bicara Chiaki-san barusan. Mungkin dia
sebenarnya sangat sayang pada adiknya itu. Tentu saja, bodohnya aku. Yang
membenci Chiaki-san itu adiknya. Bukan berarti ia juga balas membencinya.
Hal itu pasti
sangat berat untuk dilalui.
“Apa adikmu itu,
juga tidak tahu kalau kau sudah menikah?”
Tanyaku penuh
dengan simpati di dalamnya.
“............Dia
tidak tahu. Tapi kurasa dia juga tidak peduli tentang kehidupan pribadiku...”
Balasnya.
“Oh...Hmm...Kurasa...Aku
bisa membantumu untuk bertemu dengannya...”
Aku sama sekali
tidak tahu. Mulutku bergerak dengan sendirinya. Bisa saja jiwa penolongku yang
menuntunku untuk mengatakan hal itu.
Seperti yang aku
duga sebelumnya, Chiaki-san langsung terlihat kaget begitu kata-kataku yang
mungkin tidak masuk akal itu terdengar.
“Eh, kau bisa
melakukan itu, Yutaka?”
“Coba aku
pikir-pikir dulu...”
Ijinkan aku
mendapat kesempatan untuk berpikir barang semenit atau 2 menit karena ketika
aku mengatakan hal itu tadi, aku sama sekali tidak berpikir.
Tapi, mungkin
saja aku benar-benar bisa melakukannya. Itu lho, seperti yang ada di
acara-acara TV itu. Kita mempertemukan seorang tua dengan anaknya yang sudah
lama tidak bertemu. Aku yakin akan sangat hebat kalau aku benar-benar bisa
melakukan hal seperti itu.
Kemudian, aku
teringat akan suatu kejadian yang pernah aku alami! Ya, mungkin dnegan itu, aku
memang bisa membantu Chiaki-san!
“Kurasa bisa.
Aku lumayan jago soal melacak orang. Aku pernah mempertemukan seorang cucu
dengan neneknya yang hampir terpisah selama 5 tahun...”
Ucapku, sedikit
ragu.
“Benarkah? Wah,
mungkin aku memang bisa mengandalkanmu, Yutaka!”
“Siip! Serahkan
saja padaku!!”
Aku mengacungkan
jempol dengan bangganya.
Tapi...
Tunggu
sebentar...Kenapa dalam waktu singkat aku menjadi ragu, ya?
5 tahun?
Coba
kuingat-ingat lagi...
Bukannya 5
menit, ya?
.....................
Ah!!! Bodohnya
aku! Ternyata aku tidak benar-benar bisa melakukannya!!
Image-ku yang
bercahaya dan seakan bisa melakukan semua hal itu langsung runtuh!
Kalau saja
bayanganku bisa bicara, dia pasti akan berkata,
‘Yutaka, kau itu
benar-benar seorang idiot’
Dan aku tidak
mungkin menarik perkataanku kembali, karena Chiaki-san sudah terlanjur berharap
banyak padaku.
Yah, tinggal
berharap saja, imouto itu tidak
bersembunyi di sarang semut...
“Permisi.”
“!!”
Baik aku dan
Chiaki-san, dikejutkan oleh suara tiba-tiba yang berasal dari belakang kami.
Suara yang
terdengar lembut dan penuh keibuan itu menyambut telinga kami, bersamaan dengan
itu, sesosok wanita berpakain serbaa putih khas rumah sakit, muncul dari balik
pintu.
“Siapa Matsuyuki
Chiaki-san?”
Tanya wanita itu
kepada kami berdua.
Mendengar itu,
Chiaki-san langsung maju, berhadapan dengan wanita itu.
“Saya Chiaki.
Bagaimana, dokter? Apa istri saya sudah melahirkan?”
kekhawatiran
pasti sudah kembali mengambil alih dirinya. Baik dari suara maupun ekspresi
yang kini ada di wajahnya, aku bisa melihat semua itu dengan jelas.
Akupun, yang
sebelumnya terduduk, langsung bangkit berdiri ke samping Chiaki-san dan ikut
menanyakan bagaimana keadaan Satone.
“.................”
Beberapa detik
berlalu dengan keheningan.
Dokter itu sama
sekali tidak memberikan jawaban. Jawaban yang kami ingin dengar tentunya.
Ia hanya
memperlihatkan eskpresi muram, mungkin karena lelah harus bekerja dari pagi
sampai selarut ini.
Diam yang aneh
ini, membuat perasaanku dan Chiaki-san bercampur aduk. Apa Satone baik-baik
saja? Apa dia melahirkan dengan selamat? Apa bayi mereka sehat?
Semua tanda
tanya yang penuh misteri itu membuatku susah bernafas. Aku hanya bisa menahan
nafasku beriringan dengan kedua mataku yang tak henti-hentinya mencuri-curi
pandang ke dalam ruangan yang kini sedikit terbuka itu. Apa ini perasaanku?
Atau waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya?
“Begini...”
“....................”
Ucapan singkat
dokter tersebut, yang bahkan belum menjelaskan satu halpun pada kami, mulai
membuat tubuhku terasa tegang. Aku tidak tahu, karena aku memang tidak melihat
ke arahnya. Tapi aku yakin, Chiaki-san juga merasakan hal yang sama denganku.
Seolah
bertele-tele dalam mengungkapkan sesuatu, aku paham benar skenario macam ini.
Ini adalah cara yang biasanya digunakan seseorang untuk mengungkapkan suatu
berita buruk...Seperti mungkin ditemukan penyakit, atau ternyata ada kanker
yang menyebar. Kira-kira seperti itulah. Yang lebih buruk lagi, kematian.
Terlepas dari
semua itu, aku bisa merasa akan ada kejutan yang menanti di depan sana. Aku
tahu itu. Yang tidak aku ketahui, apa itu kejutan yang buruk atau kejutan yang
akan membuat kami melompat girang.
Dalam hati, aku
mulai berdoa semoga hal itu tidak terjadi. Jangan berakhir sekarang, jangan
biarkan semuanya berakhir sekarang! Apapun yang terjadi, tolong biarkan harapan
kami menjadi kenyataan.
Selamatkan
Satone dan juga anaknya!
Akhirnya barulah
kami mendapat jawaban atas ketidakpastian itu.
Tak lama
kemudian, dokter wanita itu menghela nafas singkat, kemudian berkata--
“Selamat! Anda
telah menjadi seorang ayah dari putri yang sangat manis!!”
Itu,
Adalah senyuman
yang pertama kali ia buat sejak keluar dari ruangan.
Sudah kubilang’kan?
Firasatku tidak
pernah salah.
***-***
A/N :
Hai, minna XDD
Akhirnya cerita baru muncul! //tapi gara-gara nulis cerita ini, ceritaku yang lainnya jadi terpaksa hiatus dulu, soalnya aku mau fokus ke cerita ini XDD.
Semoga semangat nulisku ga hilang dan bisa cepat selesai :)
Sebenarnya, ini cerita one-shot, tapi karena rada ribet jadi aku bikin seri aja//plaak
Sankyuu!!
Next Chapter : Tanganmu Sangat Hangat, Aku Suka
Author,
Fujiwara Hatsune