Selasa, 30 September 2014

Story : 21 January

 Story : 21 January

*Another One-Shot Story :  First Love Butterfly

                                           Yuuji's Smile

                                           Waiting For You

                                            Fujiwara-san, A Story of Hope and Dream 
    
                                            One Hundred Years Cherry Blossom Tree 

                                            Rainy Girl

                                        
                                           Star Gazer

                                            Terdiam 

                                           Our Sweet Moment


* Read Another Stories :



21 JANUARY



Tanggal 21 Januari...
Itu adalah hari favoritnya...
Hari yang selalu ditunggunya setiap tahun...
Dari semua hari yang spesial seperti perayaan Paskah, Valentine, Natal dan juga Tahun Baru...
Tanggal 21 Januari...
Menjadi hari yang paling disukainya...

Namun, entah sejak kapan semua itu berubah...
Menjadi sebuah malapetaka...

Awalnya, ia adalah murid yang baik dan memiliki banyak teman. Bukan hanya itu, nilainya juga yang selalu tertinggi di kelas dan selalu meraih ranking satu. Karena sifatnya yang baik dan ramah kepada siapapun, tidak ada yang merasa iri padanya. Semua ingin berteman dengannya. Selain itu, ia adalah murid kebanggaan sekolah yang sudah menjuarai berbagai macam lomba baik nasional maupun internasional.
Wajahnya yang manis juga membuatnya sangat populer dikalangan murid laki-laki.
Ia juga telah memiliki seorang kekasih yang baik dan selalu perhatian dengannya...
Namanya Kousuke.
Kousuke sangat setia. Ia tidak pernah terlihat berduaan dengan perempuan lain, selain dengannya.
Bukan hanya itu, Kousuke juga sangat romantis...dan selalu memberinya kejutan-kejutan manis yang tidak akan pernah bisa dilupakan...
Selain guru-guru yang menyayanginya, kekasih yang perhatian dan romantis, ia juga memiliki seorang sahabat baik.
Namanya Yui.
Yui sudah berteman dengannya sejak kecil. Sejak saat itu pula, mereka berdua tak terpisahkan seperti seorang saudara.
Berbeda dengannya yang memiliki rambut hitam panjang dan hebat dalam semua mata pelajaran, Yui memiliki rambut coklat tua, pendek sebahu dan kurang menguasai beberapa pelajaran. Nilainya agak sedikit rendah jika dibandingkan dengan nilainya yang selalu peringkat teratas.
Meskipun begitu, Yui tidak pernah merasa iri kepadanya karena ia selalu berjanji akan mengajari Yui sehingga nilanya membaik.
Ya, dia memang sangat baik...
Bukan hanya di sekolah saja, ia merasa diperlakukan secara istimewa.
Di rumah pun, ia merasa sangat istimewa.
Kedua orang tuanya selalu memanjakannya, semua yang diinginkan olehnya pasti akan selalu terpenuhi. Namun, ia adalah orang yang rendah hati dan tidak suka meminta sesuatu yang berlebihan pada orang tuanya.
Selain itu, ia juga memiliki seorang adik perempuan.
Namanya Reiko.
Umurnya dengan Reiko berbeda 1 tahun saja karena itulah hubungan mereka sebagai saudara cukup dekat. Meski rasa sayang kedua orang tua mereka lebih besar kepada kakaknya, Reiko tidak pernah merasa sakit hati. Ia tahu, kakaknya itu memang sangat spesial...dan ia harus banyak belajar dari kakaknya itu...

Kalian lihat?
Kehidupannya sangat sempurna.
Meskipun ia memiliki banyak harta, kepandaian dan semua yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain, tidak ada yang membencinya...tidak ada yang merasa iri dan tidak suka padanya...justru yang terjadi malah sebaliknya...
Orang-orang selalu menyayanginya lebih dari apapun...

Tanggal 21 Januari tahun ini adalah hari yang paling dia nantikan...
Namun...
Di saat bersamaan...
Tanggal 21 Januari tahun ini...
Adalah hari yang mungkin tidak ingin ia ingat lagi...
Untuk selamanya...

Awalnya semua baik-baik saja.
Namun ia merasakan ada sesuatu yang berubah ketika kedua orang tuanya tidak memberikan sebuah kecupan di dahinya ketika ia akan berangkat sekolah.
Namun Reiko mendapatkan kecupan itu.
Kedua orang tuanya sama sekali tidak bicara padanya dan seperti bersikap acuh padanya.
Sangat aneh...
Begitu pula dengan Reiko yang berjalan melewatinya dengan wajah kesal.
Ayah mereka yang selalu sibuk, biasanya tidak bisa mengantarnya dan Reiko ke sekolah. Sehingga mereka harus pergi ke sekolah menggunakan bus.
Tapi hari ini terasa sangat berbeda...
Ayahnya membuka pintu mobilnya dan mengajak Reiko naik...
Ia tersenyum...
Karena di hari ini...
Ia mendapat tumpangan spesial dari sang ayah yang sangat disayanginya.
Tapi...semua itu langsung berubah menjadi hancur berkeping-keping...
Ketika ia mendekat dan bermaksud untuk naik ke mobil ayahnya, pintu tiba-tiba tertutup.
Mobil itu bergerak meninggalkannya seorang diri yang kini hanya bisa berdiri mematung di tempatnya.
Ada sesuatu yang tidak beres...” Pikirnya dalam hati.
Kemudian dari kejauhan, ia bisa melihat Reiko, membuka jendela mobil kemudian tersenyum.
Anehnya, tak terasa kehangatan dari senyumannya itu.
Sebaliknya, jika senyuman itu bisa berbicara, pasti akan mengatakan sesuatu seperti ‘sekarang siapa yang jadi anak kesayangan? Hah??’.
Ia berpikir.
Apakah Reiko jangan-jangan merasa iri dan tidak suka padanya karena orang tua mereka lebih sering memperhatikannya dibanding memperhatikan Reiko?
Tapi ia menggeleng pelan dan berusaha menyingkirkan pikiran negatif itu dari kepalanya. Ia yakin, kejadian ini bukan berarti Reiko dan ayahnya telah membencinya tanpa sebab yang jelas.
Ya, mungkin ketika sudah sampai di sekolah, bertemu dengan Kousuke dan Yui, ia akan merasa lebih baik lagi...

Sayangnya...itu pikiran yang salah...

Di sekolah, entah kenapa semua murid berjalan menjauhinya. Seperti menjaga jarak dengannya...
Ada apa ini...?” Pikirnya bingung.
Tiba-tiba saja semua murid di sekolah langsung menatapnya dengan tatapan sinis...
Kemudian, ia tak sengaja menyenggol tubuh seorang murid perempuan hingga menumpahkan minuman ke seragamnya.
Ia berusaha meminta maaf.
Namun, respon yang ia dapat...jauh diluar dugaannya...
Murid itu menampar wajahnya dengan keras dan berkata dengan kasarnya.
Ia tidak sanggup mendengar perkataannya lagi...
Apa ia telah melakukan sebuah kesalahan yang besar?

Hari itu juga, ia dipanggil ke ruang guru.
Entah dari mana, tapi seharian ini beredar sebuah gosip yang tidak menyenangkan...
Kabarnya, ia mendapat nilai baik karena menyontek...
Dihadapan guru-guru, ia berusaha membantah semua itu.
Ia jelas-jelas belajar sampai larut malam demi memperoleh nilai yang baik, mana mungkin ia berani menyontek?
Tapi telinga mereka seperti tersumbat sesuatu.
Mereka tidak peduli dengan penjelasannya dan memutuskan untuk mengeluarkannya dari sekolah.
Ia terkejut. Tubuhnya langsung lemas...
Kenapa di hari yang spesial ini...
semuanya tiba-tiba berubah seperti ini...?

Semua murid langsung menyorakinya...
Bahkan ada yang menyiramkan air ke arahnya...
Tubuhnya basah kuyub...
Tapi ia tidak peduli lagi...
Dengan hinaan dan ejekan semua orang itu...
Setidaknya jika semua orang berbalik memusuhinya...
Masih akan ada 2 orang yang mau menerimanya...
Ya, masih ada Kousuke dan Yui...

Kousuke dan Yui...
Dihadapannya kini...
Mereka terlihat sangat mesra...
Ada apa ini...?
Kenapa mereka berdua...?
Ia berlari dengan kencang ke arah mereka berdua.
Dengan suara keras, ia berusaha meminta penjelasan dari Kousuke dan Yui.
Namun yang didapatnya hanya senyuman sinis dan dingin dari mereka berdua.
“Kau membosankan. Kau tahu? Aku mendekatimu dan berpacaran denganmu, bukan karena aku menyukaimu. Tapi, karena aku ingin lebih dekat lagi dengan Yui. Dialah orang yang kucintai.”
Kousuke berbicara dengan nada dingin.
Tubuhnya terasa seperti dihantamkan ke tembok berulang kali.
Rasanya sangat sakit...sampai ia tak sanggup mengeluarkan kata-kata...
“Kau tahu? Selama ini, aku berteman denganmu hanya karena kau populer dan kaya!! Aku hanya memanfaatkanmu saja! Menurutku kau itu sangat menyebalkan, sok cantik dan juga sok pintar! Meskipun kau tidak pernah menunjukkan itu pada semua orang, tapi kau selalu merasa dirimu yang paling istimewa dan selalu berada di posisi atas!! Itu sangat menyebalkan!!! Sejujurnya, aku sangat sangat sangat membencimu!!! Tapi...terima kasih ya, berkatmu...aku jadi bisa lebih dekat dengan Kousuke...”
Ia tak percaya bahwa kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut Yui, sahabatnya sejak kecil yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri.
Ya, memang benar.
Ia merasa istimewa...
Tapi ia merasa seperti itu bukan karena ia memiliki harta dan kepandaian serta kepopuleran...
Yang membuatnya merasa istimewa adalah karena ia memiliki semua orang yang mau menerima dirinya yang seperti itu...semua orang yang tidak merasa iri dan berteman dengannya bukan hanya karena ia kaya dan pintar.
Dan hanya dalam satu hari saja...
Semua itu seperti ditelan ke dalam bagian bumi yang paling jauh...

Ia pikir semua orang menyukainya!
Ia pikir ia istimewa!!
Tapi ternyata justru kebalikannya...
Mereka membencinya...
Bahkan sangat membencinya...
Kedua orang tuanya...
Adiknya...
Guru-guru dan teman-temannya...
Kousuke dan Yui...
Semuanya telah menghilang...

Tanggal 21 Januari...
Itu adalah hari favoritnya...
Hari yang selalu ditunggunya setiap tahun...
Dari semua hari yang spesial seperti perayaan Paskah, Valentine, Natal dan juga Tahun Baru...
Tanggal 21 Januari...
Menjadi hari yang paling disukainya...

Tanggal 21 Januari ini...
Ia melangkahkan kakinya perlahan...
Dengan tubuh yang sangat berat dan lemas...
Ia berjalan menaiki tangga satu persatu...
Ketika ia sampai di atas, ia mengalihkan pandangannya ke bawah...
Dengan air mata yang masih menetes deras dan dengan hati yang terluka...
Ia...
 Tanpa perasaan ragu dan takut sedikitpun...
Meloncat turun dari atap sekolahnya...
***-***
Isak tangis terdengar di hari pemakamannya...
Semua orang kini hanya bisa meratapi kepergiannya yang membawa kisah tragis itu...
Kedua orang tuanya...
Reiko...
Semua guru dan para murid...
Kousuke dan Yui...
Mereka semua menangis sambil meneriakkan namanya dengan keras...
Dia yang telah pergi dan tidak akan pernah bisa kembali lagi...

Kenapa jadi seperti ini...?

Di sisi lain...
sebuah kue ulang tahun berwarna merah muda dengan hiasan coklat di sekelilingnya...
Dengan lilin berwarna merah yang berbentuk angka ‘17’ di atasnya...
Sebuah lilin kue ulang tahun yang belum sempat ditiup...
Oleh dia yang berulang tahun...
Pada tanggal 21 Januari...

‘Otanjoubi Omedeteou...Reika...’.

 THE END

A/N :
Hai, minna XDD
Salah satu cerita lama yang pernah aku buat, 21 Januari.

Sankyuu!!

Author,
Fujiwara Hatsune
 

Story : Mihashi Chapter 1

Story : Mihashi Chapter 1

*Read : Prologue

            Chapter 2

             Chapter 3

            Chapter 4

            Chapter 5

            Chapter 6 

            Chapter 7

            Chapter 8

            Chapter 9

            Chapter 10


* Read Another Stories :

Hana no Uta
One-Shot Stories



MIHASHI
- Chapter 1 -
Tanganmu Sangat Hangat, Aku Suka

[Aku sama sekali tidak pernah menginginkan anak ini].”

“Chiharu, perkenalkan, gadis ini namanya Mihashi.”
Malam itu, hujan turun dengan deras.
Itu membuat udara di musim dingin ini semakin terasa dingin.
Chiharu berdiri di depan rumahnya sambil membawa sebuah payung berwarna coklat.
Di hadapannya sekarang, berdiri seorang pemuda berambut hitam pendek.
Pemuda itu mengenakan kacamata dan pakaian kemeja yang rapi, sepertinya sehabis pulang dari bekerja.
Chiharu terdiam sambil menatap tanpa eskpresi ke arah pria yang tidak asing lagi untuknya itu.
Perlahan, ia menurunkan pandangannya.
Matanya bertemu dengan mata seorang gadis kecil, mungkin usianya sekitar 7 tahun.
Dengan rambut berwarna coklat pendek yang dikuncir 2, membuat gadis kecil itu terlihat manis.
Matanya bulat berwarna biru dan terlihat bersinar.
Namun Chiharu hanya menatap dengan tatapan kosong ke arah gadis kecil itu, tatapan yang menunjukkan rasa tidak suka.

“[Bagiku, anak ini hanya akan membuat hidupku yang tidak terarah semakin berantakan].”


Beberapa saat kemudian, ia mengangkat kepalanya kembali dan menatap pria yang tengah tersenyum itu.
Ia menyipitkan sebelah matanya.
“Chiaki, apa yang sebenarnya kau inginkan?”
Tanya Chiharu kepada pemuda bernama Chiaki itu.
Dia adalah Matsuyuki Chiaki, kakak laki-laki  Chiharu.
Berbeda dengan Chiharu yang tidak memiliki pekerjaan, selalu meminjam uang ke sana kemari sampai berhutang puluhan juta hanya untuk bersenang-senang dan membeli minuman keras, Chiaki adalah pria yang sukses dan kaya.
Hidupnya terjamin dan memiliki perusahaan di mana-mana.
Chiharu meletakkannya tangannya dipinggang dan menghentakkan kaki dengan keras ke tanah.
“Kau tahu’kan kalau aku tidak memiliki apapun? Karena itu, lebih baik kau pergi dari hadapanku! Sekarang!!”
Nada bicaranya dipenuhi dengan rasa benci dan juga tidak suka.
Sejak kecil, Chiharu sudah membenci Chiaki.
Chiaki pintar dan berbakat, karena itu kedua orang tuanya lebih sering memanjakan dirinya.
Sedangkan Chiharu lebih nakal dan juga tidak pandai, karena itu orang tuanya tidak pernah memberikan apapun yang Chiharu inginkan, berbeda dengan Chiaki yang selalu dikabulkan permintaannya.
Itu membuat Chiharu merasa benci dan tidak suka atas perlakukan orang tuanya yang tidak adil kepadanya.
Dan membuatnya tumbuh membenci Chiaki.
“....................”
Meskipun gadis berambut hitam sedikit panjang itu sudah menyuruhnya untuk pergi, tapi Chiaki tetap berdiri sambil menggandeng tangan gadis itu.
 “Chiharu, aku mengerti kalau kau membenciku. Tapi, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.”
 Chiaki berkata dengan suara pelan yang langsung ditanggapi dengan sinis oleh adik perempuannya itu.
“Hah!? ‘Sesuatu’? Kau pikir aku pelayanmu!? Bisa seenaknya tiba-tiba datang dan menyuruhku untuk melakukan sesuatu untukmu!!? Jangan bercanda!! Kau sendiri juga sudah tahu’kan kalau aku sangat sangat sangat membencimu!?? Karena itu, aku tidak akan pernah berbuat sesuatu untuk--“
“Tolong rawat Mihashi.”
“..........Eh...?”
Amarah Chiharu yang sebelumnya telah meledak, kini tiba-tiba lenyap, berganti dengan perasaan terkejut.
“Chiharu, rawatlah Mihashi...Tolong jaga putriku.”
Kata-katanya terdengar singkat namun entah kenapa terasa dingin.
Meninggalkan putrinya sendiri di tangan orang lain...?
Apa yang Chiaki pikirkan!?
“Ada apa ini...? Kenapa kau tiba-tiba--“
“Aku akan membiayai seluruh biaya hidupmu.” Lanjut Chiaki.
“Apa?” Chiharu berkata kaget.
“Aku akan melunasi semua hutang-hutangmu. Tapi dengan satu syarat. Kau harus menjaga dan merawat Mihashi dengan baik.”
Chiaki akhirnya menghentikan perkataannya.
“Tunggu! Maksudmu kau benar-benar akan meninggalkan anakmu ini di sini!? Hey! Apa kau sudah gila!? Dia putrimu! Kau yang harus merawatnya!! Kenapa tanggung jawabmu harus jadi tanggung jawabku!? Aku sama sekali tidak paham!!!”
“Kumohon...Hanya kau yang bisa kumintai tolong...”
“..................”
Mendengar nada bicara kakaknya yang terdengar lemah dan putus asa, Chiharu tidak bisa berkata apapun.
Sepertinya, dia serius.
Serius akan meninggalkan putrinya ini bersama dengan dirinya.
Chiharu terdiam, ia menundukkan kepalanya.
Sesekali ia melirik ke arah gadis kecil itu yang hanya menatapnya tanpa mengatakan sepatah kata apapun sejak tadi.
Namanya Mihashi.
Ia juga terlihat sangat manis.
Tapi kenapa Chiaki justru ‘membuang’nya seperti ini...?
Ada apa ini...?
Perlahan, Chiharu menghela nafas dan berkata pelan ‘Sepertinya tidak ada pilihan lain’.
“Baiklah, baiklah. Terserah padamu! Aku juga tidak peduli. Tapi kau harus ingat dengan janjimu itu! Paham?”
Mendengar jawaban yang sesuai dengan harapannya itu, Chiaki tersenyum puas.
“Ya, pasti aku akan menepatinya. Chiharu, sekali lagi tolong jaga Mihashi, ya?”
“..............Baiklah, baiklah. Sekarang, lebih baik kau pergi!” Bentak Chiharu sambil melipat tangannya di depan dada dan memalingkan wajahnya dari Chiaki.
Chiaki sedikit tersenyum.
Ia kemudian menoleh ke arah Mihashi dan berlutut supaya tingginya setara dengan putrinya.
Perlahan, ia meletakkan tangannya di pundak Mihashi.
“Mihashi, perkenalkan, ini Bibi Chiharu.”
“?”
Mihashi menoleh ke arah Chiharu.
Tatapannya dipenuhi oleh rasa keingintahuan yang besar.
“Mihashi.”
Gadis itu kembali menoleh ketika ayahnya menyebut namanya.
“Mulai sekarang Mihashi akan tinggal bersama Bibi Chiharu. Jaga dirimu baik-baik, ya. Ingat, jauhi benda-benda berbahaya seperti api atau benda-benda tajam lainnya. Jangan main jauh-jauh dan keluar dari rumah tanpa pengawasan Bibi Chiharu. Jangan bermain di jalan raya.”
Chiaki berkata sambil menggenggam tangan kecil gadis itu.
Chiharu yang mendengar perkataan Chiaku berkata ‘Hah!’ tanpa menoleh ke arah mereka.
“Untuk seorang ayah yang akan membuang putrinya sendiri, kau ternyata cukup protektif juga. Kenapa tidak kau urus sendiri saja dia?”
“.....................Aku tidak bisa.”
Butuh agak sedikit lama buat Chiaki untuk mengatakan kalimat itu.
Setelah sekian lama, Chiharu akhirnya menoleh ke arah Chiaki yang masih berlutut di depan Mihashi.
Kata-katanya barusan membuatnya sedikit penasaran.
“Kenapa tidak bisa? Kau kelihatan sangat menyayanginya.”
“Kau akan tahu sendiri nanti.”
“Hah?”
“Dan lagi, aku tidak membuangnya. Aku menitipkannya padamu.”
“Itu sama saja! Sama saja tidak ada tanggung jawabnya!!”
Chiaki tersenyum kecil ke arah Chiharu, kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke arah Mihashi.
“Mihashi, papa harus pergi. Selamat tinggal, Papa mencintaimu.”
Sambil berkata seperti itu, ia mengecup kening Mihashi perlahan, kemudian memandanginya untuk beberapa saat.
Berpisah dengan seorang putri yang sangat dicintai pastilah sangat sulit.
Namun bagi orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan semua ini, merawat anak yang bukan anaknya sendiri, pasti jauh lebih sulit.
Setelah itu, ia bangkit berdiri, merogoh sakunya dan menyerahkan sejumlah uang pada Chiharu.
“Ini untuk satu bulan ke depan. Gunakan untuk membayar semua keperluan Mihashi dan biaya uang sekolahnya.”
“Ini banyak sekali.”
“Itu bukan apa-apa kalau untuk Mihashi.”
“Ya, terserahlah. Baiklah, akan kuambil uang ini.”
Chiaki lali menggandeng tangan Mihashi dan membawanya ke samping Chiharu.
Ia lalu mendekati Chiharu dan berbisik pelan.
“Tapi ingat, jangan sampai kau menjadi ‘ibu’ bagi Mihashi. Sampai seterusnya, kau harus terus memposisikan dirimu sebagai ‘Bibi Chiharu’. Kalau kau sampai menjadi ‘ibu’ bagi Mihashi, maka--“
“?”
Chiharu sedikit tertegun ketika Chiaki membisikkan kelanjutan dari kalimat itu di telinganya.
Tapi kemudian ia tersenyum dan tertawa dengan sangat keras.
“Kau jangan bercanda. Mana aku mungkin aku menjadi ‘ibu’nya?! Ha ha ha!! Hal itu bahkan tidak sampai terpikirkan olehku!”
Mendengar itu dari adik perempuannya, Chiaki memutuskan kalau urusannya sudah selesai.
Ia membungkukan badan lalu berjalan pergi.
Dari kejauhan, Chiharu masih bisa melihat punggung Chiaki.
“Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang itu? Meninggalkan putrinya sendiri padaku seperti ini...Hah!! Buang-buang waktu saja.”
Chiharu sedikit agak keras, karena Chiaki sudah berjalan cukup jauh dari rumahnya, jadi ia tidak takut kalau-kalau pria itu akan datang dan mengambil lagi semua uang yang sudah ia terima dengan mudah itu.
Chiharu menghitung uang di tangannya dengan ekspresi puas.
Baru pertama kali ia memegang uang sebanyak itu.
Coba bayangkan?
Apa saja yang bisa ia beli dengan semua uang itu?
“Ha ha, dengan uang ini, aku bisa membeli semua barang yang dulu tidak bisa aku beli. Lumayan...”
“........................”
“?”
Menyadari kalau Mihashi dari tadi memperhatikannya, ia memasukkan uang tersebut ke saku celana.
Ia memandang anak itu dengan tatapan dingin.
“Kenapa melihatku seperti itu? Apa yang kau inginkan?”
“..........................”
Tidak ada jawaban.
“Hey, kau ini tidak bisa mendengar...Atau tidak bisa bicara, sih!? Kalau ada orang dewasa yang bertanya, ayo dijawab!!”
Bentak Chiharu sambil mendekatkan wajahnya mendekati wajah anak itu.
Mihashi sama sekali tidak menunjukkan ekspresi ketakutan meskipun Chiharu telah berteriak dengan suara keras di hadapannya.
Atau mungkin ia sama sekali tidak mengerti kalau Chiharu sedang membentaknya.
Dengan suara kecil, Mihashi berkata,
“Di sini dingin.”
Chiharu tertegun kemudian menghela nafas panjang.
“Hanya itu yang mau kau katakan? Ya sudah, ayo cepat masuk. Kalau kau terkena demam, aku juga yang bakal repot! Tapi, ingat. Jangan kotori rumahku dan sentuh apapun! Ingat itu!!”
Mihashi mengangguk pelan.
Chiharu terdiam sesaat memperhatikan wajah polos Mihashi.
“[Sepertinya ia sangat penurut. Baguslah, tidak akan repot mengurusnya kalau begitu]” Batin Chiharu sambil menghela nafas lega.
Ia menggandeng tangan Mihashi dan mengajaknya masuk.
Tiba-tiba Mihashi menghentikan langkahnya.
“Ada apa lagi? Ayo, cepat masuk.”
“....................”
Mihashi terdiam sambil memperhatikan tangan Chiharu yang menggandengnya.
Kemudian menggenggamnya semakin erat.
“Tanganmu sangat hangat. Aku suka.”
Itu adalah pertama kalinya Mihashi memperlihatkan senyumannya di hadapan Chiharu sejak tadi.
Ketika melihat itu, tiba-tiba perasaan yang aneh menyelimuti hati Chiharu.

“Jangan sampai kau jadi ‘ibu’ buat Mihashi.”

Chiharu tertegun, tapi sesaat kemudian langsung tersenyum kecil.
Ia berkata ‘Mana mungkin’ dengan suara pelan kemudian membawa Mihashi masuk ke dalam rumahnya yang kecil.

“[Aku sama sekali tidak pernah menginginkan anak ini].”
“[Bagiku, anak ini hanya akan membuat hidupku yang tidak terarah semakin berantakan].”
“[Namun, sekarang ini...].”
“[Justru aku tidak bisa menolak permintaan kakak laki-lakiku sendiri yang ingin menitipkan anak ini kepadaku].”
“[Gadis kecil yang terlihat manis dan juga penurut].”
“[Namanya Mihashi].”
“[Dan untuk selamanya, aku akan menjadi ‘Bibi Chiharu’ untuknya...].”
***-***

A/N :
 Hai minna XDD

Pembaca : What!!? Cuma segini? 
Fujiwara : Eh, iya cuma segini...

Ch-1nya ga terlalu panjang, tapi ch--ch selanjutnya malah kebalikannya //loh??
Mungkin harusnya ch-1 memang lebih panjang dari ch yang lain, kan awalnya gitu. Cuma aku ga tau, kenapa malah jadi ch setelahnya yang panjang.
Chiaki ga bertanggung jawab banget sih, masa anak dititipin ke orang//plaaak
Chiharu juga mata duitan gitu//plaak
Ga ada chara yang bener di nih cerita...
 Oh ya, nggak seperti ceritaku yang 'My Perfect and Romantic Highschool Life is Ruined Because of My Cute [TRAP] Roommate!!' yang chara-nya ada banyak banget//sampai aku pusing gambarnya dan bikin percakapannya// sana ngomong, sini ngomong// jadi ingat kalau ilus-nya belum selesaaaaai, aaaaaaakh!!!//jerit-jerit.
Malah jadi curhat cerita lain//plaak
Cerita ini mungkin bakal lebih simple dnegan chara minim //yang memang sangat minim...

Ya udah, aku berusaha bikin cerita sesuai style dan cara yang aku suka, jadi mungkin masih aneh (semoga aku bisa berkembang lagi...:) )

Sankyuu!!


Author,
Fujiwara Hatsune

Story : Mihashi Prologue


Story : Mihashi Prologue

*Read : Chapter 1

             Chapter 2 
  
            Chapter 3 

           Chapter 4

            Chapter 5

            Chapter 6 

            Chapter 7

           Chapter 8


           Chapter 9

           Chapter 10 

            Epilogue

* Read Another Stories :






MIHASHI
- Prologue -
Sudah kubilang’kan? Firasatku tidak pernah salah.

Ini, adalah malam pada waktu itu.

“Bos, aku pulang dulu.”
“Ya, hati-hati di jalan.”
Aku mengucap salam kepada bos-ku, yang masih sibuk mengetik, menyalin lembaran-lembaran kertas yang hampir menumpuk.
Bahkan ketika aku beberapa langkah di depan pintu keluar dan sedikit menoleh ke belakang, aku masih melihatnya sibuk dengan komputernya. Kurasa, pekerjaannya tidak akan selesai dalam waktu dekat ini.
Sebenarnya, aku bukanlah tipe orang yang suka pulang duluan dan meninggalkan atasanku di belakang. Meskipun aku baru magang dan belum benar-benar bekerja di sini, kalau boleh sih, aku lebih memilih untuk tinggal lebih lama. Entah dengan berpura-pura menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya sudah selesai, atau mungkin dengan bermain game di komputerku.
Tidak ada alasan khusus untuk itu.
Aku hanyalah tipe orang yang selalu berpikir ‘Tidak sopan pulang duluan sebelum atasanku pulang’. Tapi aku punya alasan untuk yang satu ini,
Kenapa aku memutuskan pulang lebih dulu.
Kenalanku, lebih tepatnya, temanku semasa SMA, mungkin, akan segera melahirkan. Dan tugasku adalah mengantarkannya ke rumah sakit jika saatnya sudah tiba.
Kalau kalian sekarang bertanya-tanya kenapa aku yang justru harus, dalam tanda petik ‘repot-repot’ melakukan hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab suaminya, aku sudah menyiapkan jawaban yang tepat.
Suaminya adalah seorang pekerja kantoran yang cukup sukses dan harus bekerja sampai larut malam. Bisa saja, ia tidak sempat datang ketika istrinya akan segera melahirkan.
 Jadi dia memintaku untuk selalu siap jika-jika aku harus mengantarnya menggunakan mobil kakakku yang menganggur.

Dan entah kenapa, aku merasa kalau hari ini, aku akan tidur lebih malam dari yang biasanya. Bukannya mau sombong atau apapun. Tapi aku memang memiliki firasat yang cukup tajam.

“Tomedonai asu ni kawaranai bokutachi wo
Nagu minamo no saki dokomade mo utsushite
Kono mama de ii
Sono hitomi ni yureteta hakanai omoi mo
Sotto shimatte…”


Panjang umur.

Aku baru saja melangkah keluar dari kantor tempatku magang, ketika ponsel yang baru saja kubeli berdering. Karena aku baru saja membelinya beberapa hari yang lalu, tidak banyak nomor yang ada di dalamnya.
Hanya nomor kedua orang tuaku, nomor kakak laki-lakiku, nomor kenalanku yang akan segera melahirkan dan juga nomor suaminya.
Orang tuaku mungkin sedang tidur saat ini, sekarang sudah menunjukkan pukul 00.54 A.M.  Dan kakakku mungkin sedang main ke bar atau tempat-tempat hiburan malam lainnya.
Bersamaan dengan kedua mataku yang mengamati nama yang tertera di layar, aku segera berjalan kemudian mempercepat langkah, menekan tombol untuk menjawab telepon.

“Sudah kuduga firasatku tidak pernah salah!!”
***-***
“Yutaka!!”
“Oh, Chiaki-san! Anda sudah tiba?”

Begitu aku mendapat panggilan telepon itu, aku segera menyetir mobil menuju ke rumah kenalanku, Satone.
Untung saja malam ini keadaan tidak terlalu ramai, jadi aku bisa cepat sampai ke rumah Satone yang kebetulan, sedikit jauh dari kantor tempatku magang.

Aku sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau aku tinggal di...Apa itu? Salah satu kota yang ada di Indonesia...Tempat ibuku bekerja...Ah, iya. Jakarta.
Tiap kali aku menelepon untuk menanyai kabanya, ia selalu curhat dan mengeluh kalau sedang terjebak macet. Bunyi klakson ada di mana-mana dan aku seringkali kesulitan mendengar suara ibuku.
Bukannya aku yang malas membersihkan telinga atau mulai tuli, usiaku baru menginjak 21 tahun, kau tahu?
Tapi serius, tiap kali aku menelepon ibuku, yang terdengar selalu,
‘Halo, Yu--Tiiin Tiiiiiiin!!!!!!! Ib--Tiiiin Tiiin Tiin!!! Kau--Tiiin!! Di sana bai--Tiiin Tiiin TOOOOOOON!!!!! LANJUTNANTISAJAKEPALAIBUPUSINGGARAGARASUARAKLAKSON!! WOICEPETJALAAAAAAN!!!!!!!
......................
Super sekali bukan?
Menurut yang aku dengar, Kota Jakarta sangat macet. Bukan cuma itu, tapi juga sering banjir. Bahkan ada yang sampai se-atap. Untung aku tidak tinggal di sana karena aku sebenarnya tidak bisa berenang.
Aku sama sekali tidak tahu bagaimana ibuku bisa tahan bekerja di tempat seperti itu.
Mungkin karena itu para ibu memiliki julukan ‘Super Mom’?
Yah, kira-kira begitulah...Makanya aku malas untuk pergi ke sana dan menemuinya.
Kalian tahu?
Aku bukan orang yang tahan untuk berada di dalam mobil tanpa melakukan apapun. Kalau disuruh memilih, aku lebih memilih bermain bola dari malam sampai subuh daripada harus diam di dalam mobil.
Yah...Silahkan saja kalau mau menganggap aku orang aneh.

Begitu sampai di rumah sakit, para suster langsung dengan gesit dan cekatan membawa Satone-san ke ruang perawatan. Aku salut sekali dengan kinerja para ahli di sini.
Sementara itu, aku masih ada di halaman depan, kemudian memencet nomor suami Satone-san dan memberitahu kalau Satone-san akan segera melahirkan.
Pekerjaanku malam hari itu, berakhir sampai di sini.
Kalau menurut istilah dalam game-game, tulisan ‘Mission Complete’, pasti sedang menyala terang di atas kepalaku.

Saat itu, aku sedang menunggu kedatangan suami Satone-san.
Namanya Matsuyuki Chiaki-san.
Usianya 1 tahun di atasku, tapi dia sudah sangat sukses. Menurutku pribadi, Satone sangat beruntung karena bisa menikah dengan pria yang sangat lembut dan juga penyayang seperti Chiaki-san.
Sebagai teman SMA-nya, sudah seharusnya aku merasa senang’kan?

Ketika aku sedang duduk di bangku, tepat di depan ruangan Satone sedang di rawat, Chiaki-san, datang dengan terburu-buru dan aku langsung bangkit berdiri menghampirinya.

“Hah, hah! Bagaimana? Apa Satone sudah melahirkan?!”
Tanya Chiaki-san dengan terengah-engah.
 Sepertinya begitu mendapat kabar dariku, ia langsung meninggalkan kantornya dan segera pergi ke rumah sakit.
Kalau aku jadi Satone, aku pasti akan sangat terharu. Ekspresi khawatir jelas tergambar di wajahnya yang kelihatan lelah.
“Sepertinya belum. Dokter belum keluar ruangan sejak tadi. Bagaimana kalau Anda duduk dulu? Kelihatannya Anda sangat lelah.”
Kataku, berjalan pelan ke arah tempat duduk yang telah disediakan.

Agaknya, terasa sedikit aneh saat aku bersikap formal--Maksudku, sangat formal kepada suami dari sahabat baikku sendiri.
Kenapa aku tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Chiaki’ saja atau mungkin dengan sebutan ‘dude’?
Oke, yang terakhir itu sangat tidak sesuai dengan gayaku.
Aku menaruh rasa hormat kepada Chiaki-san, dan aku benar-benar menganggumi dirinya.  Maksudku, siapa yang tidak ingin jadi seperti dirinya?
Kaya, sukses di usia muda, tampan dan memiliki istri yang sangat cantik. Dan bagiku, akan jadi sesuatu yang luar biasa kalau aku bisa menjadi junior-nya di tempat kerja. Aku ingin bisa belajar lebih banyak darinya.
Hanya saja...
Sungguh menyedihkan ketika aku di pecat, bahkan sebenarnya aku belum bekerja tapi baru saja magang [aku tidak bisa bayangkan bagaimana jadinya kalau aku benar-benar bekerja di sana] dari kantor tempat Chiaki-san bekerja.
Hanya karena aku menyenggol keranjang sampah, bukan berarti aku tidak bisa bekerja dengan baik.
................
Baik, baik, aku menyenggol keranjang sampah yang secara tidak sengaja membuat cleaning service tersandung dan membuat air yang berada di ember yang dibawanya terjatuh, kemudian membuat seorang karyawati cantik yang sedang membawa makan siang berupa obento buatan rumah, terpeleset. Dan bekalnya itu,
Mendarat dengan cantik di wajah manager-ku.
Jadi, aku bekerja selama 5 menit 49 detik, dan tahu-tahu, aku sudah dipecat pada detik berikutnya...

“Tidak, aku tidak bisa tenang menghadapi situasi ini...Ah, apa yang harus aku lakukan! Istriku sedang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan anak kami...”
 Chiaki-san mondar-mandir di depan ruangan tempat Satone dirawat sambil menggigit kukunya.
Itu adalah kebiasaan Satone ketika sedang gugup dulu. Dan aku bisa melihat kalau itu tertular ke Chiaki-san.
“Tenanglah, Chiaki-san. Aku yakin Satone akan bik-baik saja. Kau selalu tahu’kan? Kalau dia wanita yang sangat kuat?”
Aku berkata, mengangkat kedua tangan setinggi dada, berusaha sebisa mungkin menenangkan seorang pria yang akan segera menjadi ayah.
Ketika mendengar ucapanku itulah, Chiaki-san menoleh ke arahku. Ia lalu tersenyum,
“.............Iya...Iya, kurasa benar. Aku harus percaya sepenuhnya pada Satone’kan? Dia memang sangat luar biasa.”
“Nah, nah, itu baru semangatnya.”
“Terima kasih, Yutaka. Aku beruntung sekali Satone memiliki sahabat yang sangat baik sepertimu.”
 “Ha ha, terima kasih. Tapi kurasa Satone lebih beruntung karena memiliki suami sepertimu, Chiaki-san. Sewaktu kami sempat mengadakan reuni SMA sekitar beberapa bulan yang lalu, Satone tidak henti-hentinya menceritakan tentang Chiaki-san.”
Aku mulai bercerita tentang reuni. Mungkin sedikit pembicaraan akan menghilangkan rasa tegang dan khawatir Chiaki-san.
“Benarkah? Dia membicarakan tentang aku?”
Tepat seperti yang aku duga sebelumnya, Chiaki-san menoleh ke arahku. Sepertinya aku berhasil menarik perhatiannya--Bukan ‘perhatian’ dalam arti ‘itu’ maksudku...
Tapi yang aku tidak paham dalam keadaan kali ini adalah--
“Eh, Satone tidak memberitahumu tentang itu?”
Tanyaku dengan nada sedikit tidak percaya.
“Mmm...Tidak. Dia tidak memberitahuku kalau ia menggosipkan diriku dengan teman-teman SMA-nya. Dia cuma bilang, reuni itu sangat menyenangkan karena bisa berbincang-bincang dengan sahabat lama. Itu saja.”
Chiaki-san menjawab, menopang dagu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berada di saku celananya.
Melihat dari raut di wajahnya, aku bisa benar-benar tahu kalau Chiaki-san memang tidak mengetahui apapun.
Baik, meskipun aku tidak punya pengalaman menjadi seorang ‘istri’, tapi aku tahu, bahkan ada satu hal yang membuat seorang istri merasa malu. Yaitu saat mereka membicarakan suami tentu saja.
Satone memang cukup pemalu waktu SMA dulu. Dia bahkan tidak bisa membaca satu baris dalam buku dengan lancar tanpa harus terbata-bata. Begitu semua mata tertuju ke arahnya, wajahnya langsung menjadi pucat.
Aku lihat dia sedikit berbeda ketika ia sudah menikah.
Tapi tetap saja, kebiasaan bukanlah hal yang bisa dihilangkan begitu saja.
“Menurutmu, kenapa Satone tidak menceritakannya padaku? Apa dia...Mengatakan yang jelek-jelek soal aku?”
Ujar Chiaki-san, yang menoleh ke arahku dengan tatapan curiga seperti baru saja menangkap basah seorang pencuri murahan yang sedang mencuri pakaian dalam.
Bisa aku membela diriku di sini? Bukan aku yang harusnya kau curigai, dan aku merasa tidak pantas mendapat hadiah tatapan seperti itu.
Aku menggaruk belakang kepalaku dan menjawab dengan sewajarnya saja.
“Ah, Chiaki-san masa tidak paham sih? Satone memang pada dasarnya’kan pemalu. Bukan cuma itu, tapi kalau aku jadi Satone, aku juga tidak akan mengatakan pada suamiku sendiri kalau aku membicarakannya dengan teman-teman. Malu’kan?”
Ucapku dengan sedikit tertawa.
Tunggu dulu! Apa aku baru saja mengatakan ‘pada suamiku sendiri’?
Meskipun aku bermaksud mengatakannya sebagai candaan, tapi kata-kataku sendiri sudah membuatku merasa takut.
Begitu selesai mencerna perkataanku, Chiaki-san bergumam pelan ‘Mungkin ada benarnya juga’, dan melontarkan pertanyaan padaku,
“...Jadi, Yutaka, apa yang Satone katakan tentang aku?”
Tanyanya, dengan penasaran.
“Yang dia katakan?”
Aku sedikit tertegun ketika mendengar pertanyaan yang sudah aku antisipasi sejak awal pembicaraan itu terdengar dari Chiaki-san.
Meskipun itu pertanyaan yang sudah kuduga akan keluar dari mulu Chiaki-san, namun entah kenapa aku justru tertegun dan bingung harus menjawab apa.
Aku sudah merencakan jawaban untuk pertanyaan seperti ni sebelumnya, bersamaan dengan perbincanganku dengannya. Kalian paham? Bukan cuma mulutku saja yang bergerak, otakkupun tak berhenti berpikir sejak tadi. Aku adalah orang yang sangat suka mengantisipasi segala hal agar tidak keluar dari jalur yang sudah kuprediksi.
Meski seperti itu, sesuatu yang ada di pikiran akan menjadi menakutkan ketika itu datang ke dalam kenyataan.
Jadi, begini kira-kira aku memprekdisikan keadaan :
Aku : Kau sangat perhatian, baik, tampan!!
Chiaki : Gomenasai, Yutaka-san, boku wa not a HOMO...
Itu adalah jawaban paling normal yang bisa aku berikan karena itu memang sesuai dengan kenyataannya!
Aku baru saja menyadarinya. Situasi ini jauh lebih menakutkan dari yang aku pikirkan selama ini...
Sekilas terpikirkan olehku untuk tidak memberikan jawaban dan hanya terdiam. Tapi kurasa itu akan semakin meningkatkan kesan kalau Satone mengatakan sesuatu yang tidak-tidak saat reuni itu. Mungkin jika kutambahkan kata ‘Satone bilang’,
“Satone bilang...Kau sangat, perhatian, baik, tampan--“
Oke, bisa kita hentikan ini? Aku mulai terlihat seperti seorang idiot di sini.
“Yah...Mu--Mungkin sesuatu seperti itu. Intinya sih, dia benar-benar merasa bersyukur karena bisa memiliki suami sepertimu.”
“Khu khu khu, terima kasih, Yutaka. Tapi kurasa aku akan lebih senang kalau mendengarnya langsung dari Satone.”
Sial! Sudah kuduga aku tidak seharusnya mengatakan itu!! Bahkan menambahkan ‘Satone bilang’, sama sekali tidak membantu!!
“Ha ha, kurasa memang akan terdengar lebih baik kalau itu semua terdengar dari mulut Satone sendiri.”
Hanya tertawa yang bisa aku lakukan saat ini. Bagaimanapun juga, aku harus berusaha agar harga diriku tidak jatuh di sini.
Dan perlahan-lahan, ingatan tentang reuni itu kembali terbayang di benakku. Aku bukanlah pengingat yang baik. Sehingga mungkin aku sudah melupakan beberapa detail dan perbincangan seperti apa yang kami bincangkan pada waktu itu.
Tapi kini, entah mengapa ingatanku seolah di-refresh kembali, seperti baru saja reuni itu terjadi. Aku bisa mengingat semuanya dengan jelas. Gaun seperti apa yang dikenakan oleh Takahashi waktu itu, berapa harga kemeja yang disewa oleh Sugishita, serta--
“ Dan aku bisa melihat dari pancaran matanya waktu itu...Kalau dia benar-benar bahagia...”
Sambil berkata seperti itu, aku yang awalnya menatap Chiaki-san, tiba-tiba jadi tertunduk. Bersamaan dengan itu, aku mulai memainkan jari-jariku. Aku sama sekali tidak tahu apa yang merasuki saat ini. Tapi yang jelas, ada bagian dari diriku yang merasa...’Aneh’, ketika mengatakan hal itu.
Kalian mungkin tidak akan paham.
Dan Chiaki-san juga tidak akan paham.
Aku sama sekali tidak bisa menahan diriku untuk merasa, dalam situasi ini, semua ini, dan semua perkataanku, tidak benar-benar aku katakan dengan serius. Aku bahkan merasakan hal bodoh, yang sebelumnya belum pernah aku rasakan.
Akan lebih jelas kalau mungkin aku mendeskripsikannya seperti ini,
‘Kenapa aku mengatakan semua itu?’
Meski aku tak sepenuhnya paham dengan situasiku saat ini, yang seakan-akan berada di daerah antara hitam dan putih yaitu abu-abu...
Aku sama sekali tidak menyukai diriku yang berpikiran seperti ini dan juga situasi ini.
“Yutaka?”
“Oh.”
Aku langsung tersentak kaget ketika mendengar Chiaki-san menyebut namaku.
Kurasa ia sudah menyadari adanya keanehan pada diriku yang secara tiba-tiba ini. Akupun tidak ingin membuatnya berpikiran yang aneh-aneh tentang diriku, dan hanya tersenyum normal.
“Maaf, kebiasaanku memang suka melamun. Bahkan itu sampai terbawa saat aku sedang berbincang-bincang dengan orang lain. Rasanya tiba-tiba aku tenggelam dengan pikiranku sendiri. Sadar-sadar, orang yang ada di depanku ternyata sudah menjadi orang yang berbeda, ha ha ha.”
Aku berkata se-natural mungkin, sebisa mungkin meyakinkannya kalau ini bukan akting.
“Aku rasa kau terlalu sering mengalami Day Dreaming.”
Chiaki-san berkata dengan sedikit tertawa, sementara aku hanya menanggapi dengan senyuman kecil yang biasa ditunjukkan oleh orang-orang yang sedang menahan rasa malu.
Entah apa yang terjadi, di detik berikutnya, Chiaki-san terdiam di tempatnya sambil menggaruk pipi dan tersenyum. Ia lalu melihat ke arahku dan menepuk pundakku.
“Tapi, terima kasih, ya.”
Katanya singkat, yang membuatku tidak paham.
“Maksudnya?”
“Maksudku, kau melakukan semua ini untuk menghiburku’kan? Agar aku bisa sedikit merasa tenang menunggu persalinan Satone...Terima kasih, ya. Kurasa usahamu itu sedikit berhasil. Aku bisa merasakan beban sedikit berkurang dari pundakku.”
Ujar Chiaki-san, mengingatkan tujuan awalku menceritakan soal reuni.
Bahkan aku sendiri sudah hampir lupa dengan itu. Terima kasih karena sudah mengingatkanku.
“Ya, tidak masalah. Oh ya, boleh aku bertanya satu hal?”
“Hm?”
“Putri atau putra? Kau ingin punya anak perempuan atau laki-laki?”
Aku bertanya kepadanya, sebuah pertanyaan biasa yang akan ditanyakan oleh setiap orang.
“Hmm...Sejujurnya sih, aku ingin punya anak kembar. Laki-laki dan perempuan.”
Jawabnya dengan nada sesikit agak ragu, melihat ke atas langit-langit.
Jawabannya Chiaki-san setidaknya membuatku merasa takjub. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Saat ini, aku hanya ingin berkata ‘Wah, benarkah??’, sesuatu seperti itulah. Jadi, aku mengatakannya saja.
“Wah, benarkah? Anda ingin punya anak kembar?”
“Kira-kira seperti itu. Karena aku ingin anakku nanti memiliki teman bermain yang seusia dengannya. Jadi dia tidak perlu merasa kesepian ketika aku dan Satone sedang sibuk.”
“Oh, menarik sekali. Ide yang bagus juga. Tapi, akan sangat sulit membedakannya, ya?”
Sambil mengatakan itu, aku menopang dagu dengan sebuah senyuman, yang entah kenapa terkesan konyol di wajahku.
“Tapi pada akhirnya, semua Tuhan yang menentukan’kan?”
“Mhmm...Manusia cuma bisa merencakan tapi semua yang terjadi ada di tangan Tuhan yang selalu mengamati kita.”
Ucapku dengan suara pelan.
Cuma bisa merencanakan, ya?
“Hngh...”
“?”
Aku mengalihkan pandanganku dari lantai ke arah Chiaki-san yang sedang merentangkan kedua tangan ke samping. Sepertinya dia sangat lelah sekali.
“Jadi...Dalam waktu singkat, aku akan menjadi seorang ayah...Dan memiliki seorang anak...Ah, aku bahkan belum memberitahu orang tuaku tentang ini. Aku yakin, ini akan jadi kejutan terbaik untuk mereka.”
Chiaki-san memperlihatkan sekilas senyumannya sambil sesekali meregangkan tubuhnya.
“Benar juga...Orang tuamu tidak tinggal di kota ini. Kenapa tidak membawa mereka tinggal bersama denganmu?”
“Aku sudah inisiatif untuk melakukan itu. Tapi mereka bilang kalau mereka tidak akan bisa beradaptasi dengan kondisi kota besar.”
“Oh...”
Sesuatu yang jelas akan para orang tua katakan.
Ada benarnya juga, karena sewaktu saat nanti ketika aku sudah menginjak usia senja, aku ingin kembali ke kampung halamanku yang terletak di kota kecil. Tidak ada polusi yang mencemari, suara yang berisik dan yang lain-lainnya yang biasanya sangat mudah ditemukan di kota besar.
Hanya ada suara jangkrik, suara air mengalir dan hembusan udara yang menentramkan hatiku. aku ingin sekali tinggal di tempat seperti itu. Mungkin kalian berpikir adalah hal yang sangat aneh ketika aku mengatakan hal seperti itu, memilih kehidupan desa daripada kehidupan kota yang serba ada.
Yah, aku tidak terlalu peduli tentang hal itu.
Karena yang terpenting, bukan di mana kita tinggal, tapi dengan siapa kita akan tinggal dan menghabiskan waktu. Asalkan aku bisa bersama dengan orang yang aku sayangi dan berharga untukku, tinggal di sebuah rumah kardus pun akan kujalani dengan sepenuh hati, seperti tinggal di sebuah rumah mewah.
“Mmm...Tapi sayang sekali...”
Perkataan Chiaki-san yang barusan itu, menarik perhatianku walau cuma sedikit. Kenapa dengan suaranya yang mendadak melemah? Itu yang ingin aku tanyakan.
“Apanya?”
“Sayang sekali, aku tidak bisa memberitahu adikku soal ini.”
Chiak-san tersenyum, tapi di balik senyumannya itu, aku bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi.
Tapi yang sebenarnya membuatku tertegun adalah,
“Aku baru tahu kalau kau memiliki adik?”
Apa itu pertanyaan yang wajar untuk kutanyakan? Kurasa iya.
“Yah, itu karena aku memang jarang sekali membicarakannya. Aku punya adik perempuan yang usianya 2 tahun di bawahku.”
Oh, berarti dia satu tahun di bawahku? Kurasa ini salah satu saat yang tepat untuk menemukan jodohku.
Lagipula, aku memang memilih gadis yang lebih muda dariku.
“Kau dan dia ada masalah, ya?”
“Aku juga tidak begitu paham...Tapi kurasa dia membenciku. Dia meninggalkan rumah saat berumur 18 tahun, dan kami tak pernah saling kontak sejak itu. Dia tinggal di mana sekarangpun aku juga tidak tahu...”
Aku tarik perkataanku. Sepertinya adiknya itu wanita yang sangat penuh dengan masalah. Bukan karena itu aku menarik kata-kataku, aku suka membantu orang lain menyelesaikan dan membereskan masalah mereka. Karena itu orang-orang menjuluki ‘HELPER’. Itu, adalah 2 hal kelebihan yang kumiliki dalam diriku. Dan aku sangat bangga karena itu.
................
Oke, satu. Karena menyelesaikan dan membereskan memang memiliki arti yang sama...Meskipun berbeda huruf...
Tapi bahkan ia tidak tahu di mana adiknya berada, mana bisa aku memulai ‘rencana penaklukanku’?
Meski demikian, aku bisa merasa kesedihan dari nada bicara Chiaki-san barusan. Mungkin dia sebenarnya sangat sayang pada adiknya itu. Tentu saja, bodohnya aku. Yang membenci Chiaki-san itu adiknya. Bukan berarti ia juga balas membencinya.
Hal itu pasti sangat berat untuk dilalui.
“Apa adikmu itu, juga tidak tahu kalau kau sudah menikah?”
Tanyaku penuh dengan simpati di dalamnya.
“............Dia tidak tahu. Tapi kurasa dia juga tidak peduli tentang kehidupan pribadiku...”
Balasnya.
“Oh...Hmm...Kurasa...Aku bisa membantumu untuk bertemu dengannya...”
Aku sama sekali tidak tahu. Mulutku bergerak dengan sendirinya. Bisa saja jiwa penolongku yang menuntunku untuk mengatakan hal itu.
Seperti yang aku duga sebelumnya, Chiaki-san langsung terlihat kaget begitu kata-kataku yang mungkin tidak masuk akal itu terdengar.
“Eh, kau bisa melakukan itu, Yutaka?”
“Coba aku pikir-pikir dulu...”
Ijinkan aku mendapat kesempatan untuk berpikir barang semenit atau 2 menit karena ketika aku mengatakan hal itu tadi, aku sama sekali tidak berpikir.
Tapi, mungkin saja aku benar-benar bisa melakukannya. Itu lho, seperti yang ada di acara-acara TV itu. Kita mempertemukan seorang tua dengan anaknya yang sudah lama tidak bertemu. Aku yakin akan sangat hebat kalau aku benar-benar bisa melakukan hal seperti itu.
Kemudian, aku teringat akan suatu kejadian yang pernah aku alami! Ya, mungkin dnegan itu, aku memang bisa membantu Chiaki-san!
“Kurasa bisa. Aku lumayan jago soal melacak orang. Aku pernah mempertemukan seorang cucu dengan neneknya yang hampir terpisah selama 5 tahun...”
Ucapku, sedikit ragu.
“Benarkah? Wah, mungkin aku memang bisa mengandalkanmu, Yutaka!”
“Siip! Serahkan saja padaku!!”
Aku mengacungkan jempol dengan bangganya.
Tapi...
Tunggu sebentar...Kenapa dalam waktu singkat aku menjadi ragu, ya?
5 tahun?
Coba kuingat-ingat lagi...
Bukannya 5 menit, ya?
.....................
Ah!!! Bodohnya aku! Ternyata aku tidak benar-benar bisa melakukannya!!
Image-ku yang bercahaya dan seakan bisa melakukan semua hal itu langsung runtuh!
Kalau saja bayanganku bisa bicara, dia pasti akan berkata,
‘Yutaka, kau itu benar-benar seorang idiot’
Dan aku tidak mungkin menarik perkataanku kembali, karena Chiaki-san sudah terlanjur berharap banyak padaku.
Yah, tinggal berharap saja, imouto itu tidak bersembunyi di sarang semut...

“Permisi.”
“!!”
Baik aku dan Chiaki-san, dikejutkan oleh suara tiba-tiba yang berasal dari belakang kami.
Suara yang terdengar lembut dan penuh keibuan itu menyambut telinga kami, bersamaan dengan itu, sesosok wanita berpakain serbaa putih khas rumah sakit, muncul dari balik pintu.
“Siapa Matsuyuki Chiaki-san?”
Tanya wanita itu kepada kami berdua.
Mendengar itu, Chiaki-san langsung maju, berhadapan dengan wanita itu.
“Saya Chiaki. Bagaimana, dokter? Apa istri saya sudah melahirkan?”
kekhawatiran pasti sudah kembali mengambil alih dirinya. Baik dari suara maupun ekspresi yang kini ada di wajahnya, aku bisa melihat semua itu dengan jelas.
Akupun, yang sebelumnya terduduk, langsung bangkit berdiri ke samping Chiaki-san dan ikut menanyakan bagaimana keadaan Satone.
“.................”
Beberapa detik berlalu dengan keheningan.
Dokter itu sama sekali tidak memberikan jawaban. Jawaban yang kami ingin dengar tentunya.
Ia hanya memperlihatkan eskpresi muram, mungkin karena lelah harus bekerja dari pagi sampai selarut ini.
Diam yang aneh ini, membuat perasaanku dan Chiaki-san bercampur aduk. Apa Satone baik-baik saja? Apa dia melahirkan dengan selamat? Apa bayi mereka sehat?
Semua tanda tanya yang penuh misteri itu membuatku susah bernafas. Aku hanya bisa menahan nafasku beriringan dengan kedua mataku yang tak henti-hentinya mencuri-curi pandang ke dalam ruangan yang kini sedikit terbuka itu. Apa ini perasaanku? Atau waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya?
“Begini...”
“....................”
Ucapan singkat dokter tersebut, yang bahkan belum menjelaskan satu halpun pada kami, mulai membuat tubuhku terasa tegang. Aku tidak tahu, karena aku memang tidak melihat ke arahnya. Tapi aku yakin, Chiaki-san juga merasakan hal yang sama denganku.
Seolah bertele-tele dalam mengungkapkan sesuatu, aku paham benar skenario macam ini. Ini adalah cara yang biasanya digunakan seseorang untuk mengungkapkan suatu berita buruk...Seperti mungkin ditemukan penyakit, atau ternyata ada kanker yang menyebar. Kira-kira seperti itulah. Yang lebih buruk lagi, kematian.
Terlepas dari semua itu, aku bisa merasa akan ada kejutan yang menanti di depan sana. Aku tahu itu. Yang tidak aku ketahui, apa itu kejutan yang buruk atau kejutan yang akan membuat kami melompat girang.
Dalam hati, aku mulai berdoa semoga hal itu tidak terjadi. Jangan berakhir sekarang, jangan biarkan semuanya berakhir sekarang! Apapun yang terjadi, tolong biarkan harapan kami menjadi kenyataan.
Selamatkan Satone dan juga anaknya!
Akhirnya barulah kami mendapat jawaban atas ketidakpastian itu.
Tak lama kemudian, dokter wanita itu menghela nafas singkat, kemudian berkata--
“Selamat! Anda telah menjadi seorang ayah dari putri yang sangat manis!!”
Itu,
Adalah senyuman yang pertama kali ia buat sejak keluar dari ruangan.

Sudah kubilang’kan?
Firasatku tidak pernah salah.
***-***



A/N :
Hai, minna XDD
Akhirnya cerita baru muncul! //tapi gara-gara nulis cerita ini, ceritaku yang lainnya jadi terpaksa hiatus dulu, soalnya aku mau fokus ke cerita ini XDD.

Semoga semangat nulisku ga hilang dan bisa cepat selesai :)
Sebenarnya, ini cerita one-shot, tapi karena rada ribet jadi aku bikin seri aja//plaak

Sankyuu!!

Next Chapter : Tanganmu Sangat Hangat, Aku Suka

Author,
Fujiwara Hatsune