Sabtu, 17 Januari 2015

Story : Mihashi Epilogue

Story : Mihashi Epilogue


*Read : 
              Prologue

            Chapter 1

            Chapter 2

            Chapter 3

            Chapter 4

            Chapter 5

            Chapter 6

            Chapter 7

             Chapter 8

            Chapter 9

           Chapter 10

*Read Another Stories






MIHASHI

- Epilogue -
Aku Kembali Untuk Menyampaikan Pesan Yang Seharusnya Disampaikan 23 Tahun Yang Lalu


“....................”
“Anda sudah tiba?”
“Ya, jadwal penerbangannya tadi sedikit berubah, makanya aku sedikit terlambat.”
“Tidak masalah. Mau aku bawakan koper Anda sampai ke mobil?”
“Ha ha, tidak perlu repot-repot. Usiaku mungkin sudah tua, tapi bukan berarti aku tidak bisa membawa barang-barangku sendiri.”
Sambil berkata seperti itu, aku membenarkan topi kemudian menggeret koperku menuju ke mobil yang telah disiapkan oleh asistenku.
Dan dalam perjalanan yang tidak sampai beberapa kilometer itu, orang-orang sudah memandangku dengan tatapan waspada. Tentu saja, jika kalian melihatku saat ini, mungkin kalian akan mengira aku seorang pembunuh bayaran atau mungkin agen rahasia ang sedang bertugas, dilihat dari topi dan juga jas hitam panjang yang biasanya banyak dikenakan oleh para detektif di dalam film-film.
“............Sudah lama sekali aku tidak kembali kemari...Sejak saat itu...”
Ujarku pelan, mengamati keadaan di sekitarku.
Tiba-tiba saja, sehelai bunga sakura terbang beriringan dengan hembusan angin. Benar juga, sekarang sudah memasuki awal musim semi. Salju masih tersisa sedikit di jalanan, tapi beberapa bunga mulai terlihat mekar.
“Bunga sakura...Sudah sangat lama aku tidak melihatnya...”
Memajukan sebelah tanganku, aku membiarkan sehelai bunga yang terlihat lembut itu ke atas tanganku.
Pohon-pohon sakura, meskipun hanya ada satu atau 2 di sekeliling bandara ini, aku bisa merasakan keindahan dan kehangatan yang sangat luar biasa di tambah dengan rasa rindu yang sangat besar. Aku tidak bisa melakukan apapun, selain berdiri diam dan memandang dengan takjub bunga berwarna merah muda khas Jepang itu. Hanya sebentar, aku ingin mengamati bunga-bunga itu lebih lama lagi.
Sudah cukup lama, 23 tahun yang lalu, adalah saat terakhir aku melihat bunga sakura. Ah, tapi, mungkin sedikit lebih lama dari itu karena pada waktu itu adalah musim dingin, ketika aku pergi meninggalkan Jepang dan pergi ke Amerika.
“......................”
Ini terjadi dalam waktu yang sangat instan.
Pikiranku dipenuhi berbagai hal tentang musim semi, tentang bunga sakura tentang seberapa besar kerinduanku akan kampung halaman yang sudah sangat lama aku tinggalkan ini dan juga sebagainya. Tapi tiba-tiba saja, ketika aku tak sengaja memikirkan masa lalu, semua isi yang ada di kepalaku mendadak berubah.
Menghela nafas singkat, aku menundukkan kepala kemudian memejamkan mata perlahan. Beberapa detik kemudian, kedua mataku kembali terbuka, dan yang tergambar dengan jelas di depanku, adalah sebuah jalan yang rapi menuju ke masa depan. Mungkin, bukan saatnya aku terbawa ke masa lalu.
Yah, kurasa ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan itu.
Maka dengan itu, aku melanjutkan kembali perjalananku.
“Hm?”
ketika itu, pandanganku tertuju ke arah seorang gadis cilik berambut hitam, yang tengah bergandengan tangan dengan ibunya.
“Ah!!”
Anak itu menatapku dengan penuh rasa curiga, dengan penuh rasa ketakutan saat mata kami berdua bertemu. Tentu saja, jika melihat penampilanku, ia pasti akan mengira aku orang tua yang galak atau kejam. Bisa saja, dia menganggapku sebagai penculik anak karena penampilanku yang terkesan misterius dan sangat tidak biasa ini.
Sejak kecil, aku sudah menggemari berbagai macam cerita detektif. Aku berharap kalau seleraku itu tidak akan mempengaruhi seleraku dalam memilih pakaian yang tepat untuk jalan-jalan. Tapi tetap saja, aku selalu berpikir, kalau jas hitam panjang serta topi yang biasanya digunakan oleh polisi atau detektif itu, sangat cocok denganku.
Justru aku sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya saat aku keluar hanya dengan mengenakan kaus oblong putih, celana pendek dan juga sandal jepit.
Kurasa, jika dibandingkan dengan tatapan waspada yang aku dapatkan sekarang, orang-orang akan lebih menertawakanku dalam penampilanku yang seperti orang tua pemalas, yang biasanya hanya duduk di teras rumah sambil berjemur matahari.
“...................”
Aku tak mengindahkan tatapan gadis itu dan terus melanjutkan langkahku, sampai tiba-tiba, boneka beruang berwarna oranye yang ia pegang, terjatuh tepat di hadapanku. Hampir saja sepatuku yang juga berwarna hitam menginjaknya.
“.......................”
Gadis itu nampaknya sangat ketakutan melihatku berdiri di depannya seperti itu. Aku bisa melihat tangannya semakin menggenggam tangan ibunya dengan erat.
Tapi tentu saja, sejak awal aku tidak bermaksud untuk memakan atau menyakitinya, seperti yang sekarang ini ia pikirkan.
Jadi aku membungkuk dan berjongkok kemudian mengambil boneka itu dengan tanganku yang sudah terlihat rapuh. Karena usiaku memang tidak muda lagi.
Untuk sesaat, mataku yang sipit bergerak mengamati boneka yang terlihat sangat lucu, sesuai dengan kesukaan anak gadis biasanya. Pita berwarna merah di lehernya mencuri perhatianku. Tapi segera aku menghilangkan berbagai macam pikiran yang tiba-tiba kembali masuk itu.
Dengan senyuman di wajahku, aku menggerakkan tanganku, menyerahkan boneka itu kepada pemiliknya.
“Ini bonekamu.”
Kataku, dengan nada yang terdengar cukup ramah.
Wajahku mungkin sering terlihat serius dan juga agak menakutkan. Bahkan aku sendiri juga mengakui hal tersebut. Bukan berarti, aku tidak bisa memasang wajah ramah di hadapan seorang anak kecil. Aku memang cukup menyukai anak kecil, karena aku juga sering sekali bermain dengan cucu-cucuku yang masih sangat kecil di Amerika.
Sayang aku tidak bisa mengajak mereka kemari dan menunjukkan betapa indahnya Jepang kepada mereka. Bisa saja, suatu saat nanti, aku akan mengajak mereka kemari. Semoga saja aku masih sempat hidup sampai saat itu.
“................”
Gadis kecil bergaun oranye yang senada dengan boneka teddy bear-nya itu memandangku dengan mata bulatnya yang berwarna kecoklatan.
Ada bagian dari dirinya yang sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan. Ia pasti berpikir aku akan melewatinya begitu saja atau malah menginjak boneka itu.
Jadi, aku kembali tersenyum dan mengatakan sebuah kalimat ajaib,
“Boneka yang sangat cantik. Ini, ambilah.”
Tepat ketika aku mengatakan itu, seakan-akan seperti hewan liar yang kemudian membuka hatinya kepada manusia, gadis itu melepas tangan ibunya, lalu meraih boneka yang ada di tanganku, dan dengan cepat mendekapnya ke pelukannya dengan erat.
Ia menatapku sesaat, masih dengan ekspresi takut-takut, saat aku merogoh sakuku.
“Julurkan tanganmu.”
“................”
Ia terlihat sedikit ragu, namun akhirnya menuruti perkataanku.
Begitu ia mendekatkan tangannya, aku meletakkan tanganku yang tergenggam ke atas tangannya yang terbuka, kemudian menjatuhkan sesuatu.
“Oh, coklat!”
Seru gadis kecil itu dengan gembira. Wajahnya yang polos terlihat sangat mempesona.
Itu hanyalah coklat murah yang kubeli dari mesin permen di dekat cafeteria. Meski seperti itu, aku tahu kalau anak-anak menyukai coklat.
“Nah, Narumi,--
“[Narumi?]”
“--Bilang apa ke paman ini?”
“Terima kasih, paman!”
Seperti yang sudah aku duga sebelumnya, gadis itu tersenyum gembira menerima pemberianku. Secara tidak langsung, aku pasti telah mengajarinya konsep ‘Jangan menilai buku dari sampulnya saja’.
Kuharap dia menjadi lebih baik dalam menilai orang lain.
Akupun meletakkan tanganku yang berukuran cukup besar itu dan menepuk kepalanya dengan pelan. Tidak masalah selama ibunya tidak mempermasalahkannya. Aku berusaha, tanpa ia sadari, melirik ke arahnya. Ia hanya tersenyum kecil melihatku. Itu bagus, karena aku tidak ingin dikira sebagai orang tua yang tertarik pada anak-anak kecil.
Detik kemudian, seperti ninja yang melakukan pengamatan, aku segera melirik ke arah gadis itu lagi dan kembali tersenyum.
“Ya, sama-sama.”
Bersamaan dengan itu, aku segera bangkit berdiri dan berlalu meninggalkannya.
“Mama, mama!”
“Ya, sayang?”
“Paman itu baik, ya? Aku pikir dia sangat galak!”
“Ha ha, kalau begitu, mulai sekarang Narumi jangan melihat orang lain dari penampilannya saja, ya?”
“Iya!”
“Ah, tapi ada baiknya untuk waspada juga... Untuk berjaga-jaga...”
“....................”
Yah, aku sedikit senang.
Awal perjalananku kembali kemari, aku sudah memberikan kesan yang baik pada seorang gadis kecil, dan juga memberikannya sebuah pelajaran berharga, karena tak setiap saat aku bisa melakukannya.

Mobil berwarna hitam itu menungguku di depan bandara.
Aku dan asistenku berjalan berdampingan, dan ia membantuku memasukkan koper coklatku ke bagasi.
“Semuanya sudah siap. Tidak ada yang terlupa?”
“Tidak. Ayo, berangkat.”
Setelah itu, akupun masuk dan duduk di kursi belakang, sementara asistenku duduk di kursi pengemudi. Hanya beberapa menit selang ketika aku sampai dan meletakkan barangku, mobil akhirnya mulai melaju di jalanan.
“.....Hm...Hari ini cukup ramai, ya?”
Memandang ke arah jendela, aku berkata dengan volume suara yang pelan. Yang ada di hadapanku hanyalah mobil dan juga berbagai kendaraan lain. Pagi ini sepertinya sudah sangat sibuk.
“Iya, orang-orang banyak yang pergi ke kantor pada jam seperti ini. Bisa dibilang, ini adalah jam-jam yang padat.”
Asistenku yang sibuk mengemudi, merespon perkataanku.
“Hm...Tapi...”
“Ya?”
“Aku sudah pergi selama 20 tahun lebih. Tapi, kurasa daerah sini tidak terlalu banyak berubah. Baguslah.”
Alasannya hanya satu aku mengatakan semua itu, karena ada banyak kenangan yang tersimpan di dalamnya. Aku senang karena masih bisa mengenali beberapa tempat yang kami lalui, seperti taman kota Akasaki,
“Taman kota itu...2 pohon berbentuk spiral yang berada di samping kiri dan kanan gerbang tamannya, masih ada, ya?”
“Tentu saja, itu merupakan daya tarik taman itu’kan?”
“Ha ha, dulu aku selalu bertanya-tanya bagaimana caranya memotong pohon seperti itu. Semua tanaman ibuku habis kupotong dan aku dimarahi tanpa bisa menjawab rasa keingintahuanku. Pada waktu itu, orang tua itu sangat galak, kau tahu? Mereka akan menguncimu di gudang atau membiarkanmu tidur di luar dengan serigala liar yang berkelian di sekitar hutan. Kurasa kau tidak paham, ya? Senang menjadi anak muda.”
“Taman itu pasti menyimpan banyak kenangan untuk tuan.”
Kata asistenku dengan nada bicaranya yang tenang. Tapi aku tahu, sebenarnya pasti dia berusaha menahan tawa seusai mendengar ceritaku barusan.
“.............Aku bertemu dengan istriku di sana.”
“Fu fu fu.”
“Kenapa? Terlalu drama, ya?”
“Tidak, menurutku itu sangat romantis.”
“Jangan bohong.”
“Aku tidak bohong. Aku hanya tidak ingin gajiku dipotong.”
“Itu sama saja.”
Mengamati keadaan sekitar, aku dan asistenku, Ishizaki Ichijou, sedikit berbincang-bincang.
Masih banyak yang tidak berubah di daerah sini, ada air mancur yang akan memancarkan air tujuh warna ketika malam tiba, kebun binatang Sakura tempat favorit anak-anak kecil berlibur atau hanya sekedar untuk melihat dan mengenal hewan-hewan. Di tempat itu kalau tidak salah, banyak terdapat pohon sakura dan merupakan spot terbaik ketika festival Hanami berlangsung.
Aku sudah sangat tidak sabar untuk itu.
Perpustakaan kota, taman hiburan, semuanya masih sama persis seperti yang aku ingat dulu.
Hanya memang sudah ada beberapa gedung pusat perbelanjaan yang dulu tidak ada. Semakin modern saja.
“Oh ya...”
Ucapku, begitu aku teringat akan coklat batangan yang tersimpan di saku jas-ku.
Itu seharusnya bukan sesuatu di mana aku berkata ‘Oh ya’ atau semacamnya. Aku hanya sedikit terbiasa berkata ketika aku sedang melakukan sesuatu, meski sebenarnya aku bisa diam tanpa terlihat tertegun.
Kini sebatang coklat dengan bungkus merah itu sudah ada di tanganku. Dengan perlahan, aku membuka bungkusnya lalu memasukkan coklat itu ke dalam mulutku.
Gigitan pertama terasa sangat empuk. Juga manis. Ukurannya memang tidak terlalu besar, tapi aku punya, bahkan lebih dari 4 lagi di saku jas.
Mungkin kalian akan berpikir ‘Kenapa orang dewasa sepertiku makan coklat murah yang biasanya di beli anak-anak kecil dari sebuah mesin permen di pinggir jalan’?
Apalagi, bisa mempunyai banyak sekali stok coklat batang itu.
Itu sebuah pertanyaan mudah, tapi sangat sulit untuk menjawabnya.
“Anda sedang memakan coklat itu lagi?”
Asistenku, yang sepertinya melihatku dari kaca di depan mobil, melontarkan sebuah pertanyaan padaku.
“Hm...Aku ingin perjalananku sedikit dibumbui oleh rasa manis.”
“Aku merasa kalau perjalanan yang hanya diisi oleh 2 orang pria sangat membosankan untuk Anda.”
“Baguslah kalau kau mengerti. Setidaknya, satu atau 2 orang gadis tidak akan memperburuk suasana.”
“Aku terkejut Anda masih berpikiran ke arah sana.”
“Aku juga seorang pria dewasa.”
“...............”
“Tapi bahkan setelah bertahun-tahunpun...Aku sama sekali tidak menyangka kalau coklat ini masih ada...Rasanya juga tetap sama...”
Sekali lagi, kenangan masa lalu berusaha merasuki pikiranku.
“Ya, itu tetap menjadi favorit anak-anak.”
Percakapan yang terdengar bodoh ini berlanjut sampai kami sampai di dekat kawasan perumahan elit. Bukan hanya di namanya saja, tapi kenyataannya, perumahan di kawasan ini memang benar-benar elit.
Hampir tiap rumah memiliki satu kolam renang outdoor dan terdiri atas lebih dari 2 tingkat serta halaman depan yang sangat luas. Untuk keluar menuju gerbang saja, mungkin harus menggunakan sepeda agar tidak terlalu lama.
Anggap saja, ini adalah tempat orang-orang kaya mendirikan istana mereka.
Dan mobilpun, masuk ke dalam kawasan perumahan itu.
“Ngomong-ngomong, kenapa Anda tiba-tiba kembali ke Jepang?”
Tanya asistenku sambil sesekali melirik ke arah kaca di depan untuk melihat ekspresi seperti apa yang aku buat.
Apa dia takut kalau aku marah? Aku tidak tahu kalau dia orang yang sangat tidak ingin kehilangan isi di dalam amplop bulanannya barang sepeserpun. Kurasa, selama aku tidak ada di sini, dia sedikit agak berubah. Atau itu hanya spekulasi asal-asalanku saja...
Aku menyandarkan tanganku pada tepi jendela dan menopang dagu.
“Kenapa dengan pertanyaan itu? Kau tidak senang aku kembali?”
Aku berkata, berusaha membuat seakan-akan sedang kesal.
“Ah, tidak. Tentu saja saya sangat senang ketika mendengar kabar dari tuan kalau tuan akan kembali kemari. Saya sudah tidak sabar untuk bekerja sama lagi dengan tuan.”
Itu benar-benar bohong.
Meski ia terdengar sedikit tertawa dan menanggapi jawabanku dengan santai, aku tahu kalau ia sedikit agak panik.
Siapa yang akan merasa senang bekerja sama dengan seorang kakek-kakek seperti diriku ini?
Semenjak aku tinggal di Amerika, Ishizaki bertugas menjadi pelayan rumah salah seorang putriku yang kebetulan tinggal di Jepang. Kali inipun, aku akan tinggal bersama dengannya, suaminya dan juga putrinya yang masih berusia sekitar 7 tahun.
Aku memang biasa menelepon Ishizaki. Tapi kurasa kali terakhir aku meneleponnya telah membuatnya sedikit kesal.
Aku menelepon waktu pagi, tapi karena adanya perbedaan waktu, Ishizaki menerima telepon dariku tepat sekitar tengah malam. Dari nada bicaranya waktu itu, kelihatan sekali kalau dia sangat lelah. dan aku secara tidak telah mengganggu tidurnya yang nyenyak.
Waktu itu, aku bilang ‘Ishizaki, kau dipecat’. Ia yang biasanya selalu bersikap tenang, langsung bereaksi seolah ini adalah akhir dari dunia. Berkali-kali ia memohon kepadaku untuk tidak memecatnya dan bertanya apa kesalahan yang diperbuatnya. Aku membalasnya dengan,
Me : Yuuko bilang kau bersikap genit kepadanya
Ishizaki : Tidak tuan!! Itu tidak benar!!!
Me : Oh ya? Kalau kau jadi aku, apa kau akan lebih percaya dengan ucapan putrimu sendiri atau dengan pelayan setiamu yang sudah mengabdi pada keluargamu selama bertahun-tahun lamanya?
Ishizaki : Aku tahu kalau lebih baik percaya pada ucapan putriku, tapi setidaknya, tidak ada salahnya’kan percaya pada pelayan setiaku?? Apalagi kalau dia tampan, gigih bekerja, pandai bela diri, bisa mas--
Me : Kau kupecat
Ishizaki : Kumohon jangan pecat aku!! Hanya ini pekerjaan yang aku punya!
Me : Hmm...Sayang sekali, barusan aku mendapat SMS dari Yuuko, katanya saat ini kau sedang berada di kamarnya dengan bertelanjang dada.
Ishizaki : Mana ada yang seperti itu, Tuan!!? Aku sekarang sudah tidur di kamarku! Dan tidak ada nona Yuuko di sini!!
Me : Tapi kau bertelanjang dada?
Ishizaki :Tidak, tuan!! Malam ini sangat dingin, mana mungkin aku tidak berpakaian!!?
Me : .....................
Ishizaki : Tuan?
Me : Sayang sekali Ishizaki, tapi aku tidak akan pernah tahu yang sebenarnya terjadi kalau tidak melihatnya dengan kedua mataku sendiri
Ishizaki : Tuan!!
Me : Bersiaplah, Ishizaki, 2 hari lagi, aku ingin kau menjemputku di bandara. Aku akan pulang ke Jepang dan menemui Yuuko serta menyelidiki apa yang terjadi diantara kalin.
Ishizaki : Tidak ada yang terjadi, Tuan!! Saya berani bersumpah!
Me : Kalau begitu, bersumpahlah di hadapan hakim besok saat kita tiba di pengadilan!
Ishizaki : T--TUAN!!!
Me : ..................
Ishizaki : Tuan!!!!!!!
Me : Oh, dan aku bohong soal Yuuko. Aku hanya ingin memberitahumu kalau akan segera kembali. Itu saja.
Lihat?
Hanya orang aneh saja yang akan merasa senang menerima kabar dengan cara seperti itu.

Dalam jangka waktu yang tidak lama itu, aku seringkali menelepon dan menanyakan kabar mereka di sana melalui Ishizaki. Dan tiap kali menelepon, jawaban yang kudapat selalu saja sama.
‘Jangan khawatir, tuan. Semuanya baik-baik saja’.
Aku tahu, akupun akan sangat bahagia jika semuanya memang baik-baik saja. Tapi bahkan dalam kisah dongeng anak-anak, seorang putri tidak selamanya memperoleh kebahagiaan meski mereka terlahir sebagai seorang putri sekalipun. Hidup itu ada naik turunnya. Tak terkecuali kehidupan keluarga yang terkadang sering boros itu.
Harta tak terlalu berarti bagiku, tapi bagi putriku yang paling bungsu, aku rasa itu adalah segala-galanya. Aku masih sangat ingat, saat aku masih menemaninya tinggal di sini, hampir tiap hari ia membawa 7 tas belanjaan penuh. Pusing tiap hari aku melihat jumlah yang ia keluarkan untuk hobinya belanja itu. Ia hanya meletakkan kedua tangan di pinggang dan berkata ‘Apa gunanya punya orang tua yang kaya kalau tidak memanfaatkan uang mereka?’.
Sepertinya pikiran itu telah membuatnya tumbuh menjadi wanita yang berkepribadian buruk. Bukannya aku mau berkata buruk tentang putriku sendiri. Tapi bahkan akupun tidak tahu harus menanggapinya seperti apa.
Aku bisa sedikit memahami kalau Ishizaki hanya berusaha membuatku merasa tenang. Tapi itu justru akan menimbulkan kesan, bahwa sesuatu memang sedang terjadi di sana...Sesuatu yang mengerikan tentunya [dan itu adalah terkurasnya ATM-ku untuk hal yang tidak berguna].
“Sudah lama aku tinggal di Amerika. Aku hanya ingin mengecek keadaan putri dan juga cucuku, yang bahkan belum pernah aku lihat secera langsung.”
Aku berkata, dan bayangan tentang cucu perempuan yang selama ini hanya kulihat lewat foto yang dikirimkan oleh Ishizaki mulai terbayang di pikiranku.
“Keadaan nona Yuuko di sini baik-baik saja. Begitu juga dengan cucu Anda.”
“Itu adalah hal yang selalu kau katakan kepadaku.”
“Ha ha ha, anda ingin aku berkata apalagi?”
“Tidak. Itu saja sudah cukup.”
Aku memejamkan kedua mataku dan terdiam sejenak. Sebelah tanganku masuk ke dalam saku jas. Ketika tanganku meraba sesuatu yang tipis seperti kertas, aku sedikit menariknya ke atas.
Terlihat olehku, sepucuk surat putih.
“.....................”
Perlahan, aku sedikit menurunkan topiku, menghalangi siapapun yang berusaha melihat seperti apa raut wajah yang kubuat saat ini.
Tanpa mengatakan apapun, aku sedikit memberi dorongan kepada surat tersebut sehingga masuk kembali ke dalam saku jas-ku.
“..........................”
Yang sebenarnya adalah,
Aku kembali kemari bukan hanya karena aku ingin bertemu dengan keluargaku yang tinggal di Jepang. Kembalinya aku kemari, juga karena ada sebuah misi penting yang seharusnya sudah aku selesaikan jauh bertahun-tahun yang lalu.
Aku menyesal karena aku tidak melakukan hal ini sampai sekarang. Karena itu, mungkin sudah waktunya aku menyelesaikan semua ini.
“Sudah sangat lama...”
Kini, tanganku bergerak masuk ke saku jas-ku yang sebelah. Dan dari dalamnya, tanganku menarik selembar foto.
Seorang gadis kecil, berambut hitam pendek, dengan boneka beruang oranye dan pita berwarna merah di dekapannya.

Aku kembali untuk menyampaikan pesan yang seharusnya disampaikan 23 tahun yang lalu...
***-***

MIHASHI -END-

  

A/N : Hai, minna XDD

Yey, dengan ingin, Mihashi tamat!! Sebenarnya baru ending satu aja sih...

Tapi setidaknya aku bisa merasa senang karena telah menyelesaikan satu lagi cerita selain Memories in The Winter. Setelah ini, Hide and Seek bakal tamat! PASTI!!

Tunggu kelanjutan cerita Chiharu dan Mihashi ya!!

Sankyuu!!

Visit : Ngomik

          DA

Author,
Fujiwara Hatsune

Tidak ada komentar:

Posting Komentar