Senin, 03 November 2014

Story : Mihashi Chapter 5

Story : Mihashi Chapter 5

*Read :  Prologue

            Chapter 1

            Chapter 2

            Chapter 3

            Chapter 4

            Chapter 6 

             Chapter 7

             Chapter 8 

MIHASHI
- Chapter 5 -


Kenapa Aku Harus Membawamu Pada Ayahmu? Bukannya Ayahmu...Ada Di Sini?

“........................”
Hujan turun lebih deras saat hari sudah semakin sore.
Sekarang kira-kira pukul 15.00.
“..............Anak itu terlambat...”
 Gerutu Chiharu pelan.
Ia menghela nafas dan menyandarkan kepalanya pada gerbang sekolah yang terbuka lebar, tanda bahwa sekolah sudah berakhir.
Chiharu kemudian mengalihkan pandangannya ke sekitarnya.
Beberapa anak terlihat sedang dijemput oleh orang tua mereka.
Ketika anak-anak itu sudah tak terlihat lagi di sekitar sekolahan, tidak ada anak-anak lain yang keluar lagi dari balik gerbang sekolah itu.
Tentu saja.
Itu karena sekolah berakhir sekitar 1 jam yang lalu.
Dan dalam jangka waktu yang terasa cukup lama tersebut, Chiharu yang terus menunggu di luar sekolah dari tadi, sama sekali tidak melihat Mihashi keluar dari dalam sekolah.
“Apa yang dia lakukan? Lama sekali! Apa dia masih ada di kelas...?”
Ia menatap ke atas sambil menggenggam sebuah payung dengan sebelah tangannya.
Langit terlihat benar-benar gelap dan sepertinya hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat ini.
“...........................”

“................Aku...Tidak boleh memberikan ‘cintaku’ lagi untuk Mihashi...”
“..................Hah...?”
Saat ini, ekspresi wajah Chiharu menunjukkan rasa bingung yang cukup besar.
Kenapa Chiaki tidak boleh memberikan cintanya pada Mihashi?
“Kenapa...Kau tidak boleh...Mencintai Mihashi...?”
Chiaki terdiam, berusaha mencari jawaban yang cocok untuk menjawab pertanyaan Chiharu.
 “Kalau aku berada di dekat Mihashi, maka anak itu akan menderita...”
Ia bicara dengan kepala tertunduk.
Ekspresinya terlihat dingin.
Chiharu hanya memperhatikan Chiaki dengan perasaan tidak paham.
Mihashi akan menderita...?
Bukannya dia akan merasa bahagia jika berada di sisi ayah yang sangat dicintainya?
Apa yang akan membuat Mihashi menderita!?
Ini sama sekali tidak masuk akal.
“Ini sama sekali tidak masuk akal, Chiaki! Mihashi sudah bisa menerimamu’kan? Kalau begitu kenapa kau bilang ia akan menderita kalau menerima cinta darimu? Berhentilah bermain ‘puzzle’ yang tidak jelas dan cepat jelaskan padaku, apa maksud dari perkataanmu itu sebenarnya!!”
 Chiharu berbicara dengan nada tinggi.
Karena daerah ini tidak terlalu ramai, Chiharu mungkin berpikir ‘tidak masalah untuk bersuara keras, karena tidak akan ada yang mendengarnya’,  namun hari ini terlihat beberapa orang berkeliaran, dan orang-orang yang lewat di sekita mereka melirik ke arah mereka dengan ekspresi ketakutan dan langsung berlalu pergi.
Chiharu kembali duduk di bangku tersebut dengan wajah kesal dan menimbulkan suara ‘Brraakh’.
“Cinta...”
“?”
Chiharu menoleh ke arah Chiaki.
“Cinta adalah ‘racun’ untuk Mihashi.”
“ ‘Racun?’ ”
Chiaki mengangguk pelan. Ia masih tidak menoleh ke arah Chiharu.
“Semakin besar Mihashi merasakan cinta atau mendapat cinta dari seseorang, hal itu akan membuat dirinya sendiri maupun orang lain itu menderita.”
“.................Aku...Sama sekali tidak paham...”
“Mihashi dibesarkan dengan penuh cinta. Akibatnya ia tumbuh menjadi anak yang penuh dengan cinta. Di sanalah akar permasalahan yang sebenarnya...”
Apa?
Masalahnya adalah karena anak itu mencintai sesuatu?
“Mihashi memang seperti anak-anak yang lain. Tapi sebenarnya, ada yang membedakan anak itu dari anak-anak yang lain. Yaitu cinta. Cara berpikir maupun tingkah lakunya untuk menunjukkan rasa cintanya terhadap seseorang atau sesuatu. Mihashi anak yang sangat baik. Bahkan terlalu baik. Dan--“
“...........................”
“Sekali dia mencintai sesuatu atau seseorang...Dia akan memberikan seluruh cintanya untuk mereka...”
“Maksudmu...”
“Iya, dia tidak bisa merasa kehilangan seseorang yang sangat ia cintai. Sekali ia merasakan cinta dari orang itu, Mihashi juga akan mencintai orang itu lebih banyak dari orang itu mencintai dirinya. Sama seperti waktu Satone meninggal. Mihashi tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang yang sangat ia cintai pergi meninggalkannya begitu saja. Ia akan bersikap seolah orang tersebut akan kembali lagi ke sisinya dan mulai histeris. Ketika ia merasa tenang, ia akan melupakan semua kejadian itu, seolah itu tidak pernah terjadi. Kemudian dia akan teringat, menangis, berteriak dan--Dan--“
Chiharu hanya diam ketika Chiaki menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Tapi Chiharu bisa melihat tetesan air mata yang berusaha disembunyikan oleh kakaknya itu.
Pelan-pelan, Chiharu mulai mengerti alasan kenapa Chiaki meninggalkan Mihashi padanya.
Tidak bisa mencintai putrimu sendiri...
Benar-benar ironis...
“Aku--Setelah itu aku mulai berpikir--Bagaimana--Bagaimana kalau--Ugh!!”
Air mata Chiaki turun semakin deras membasahi wajahnya, membuatnya bicara terbata-bata.
Chiharu bukanlah tipe orang yang suka menunjukkan rasa kasihan pada orang lain.
Tapi...
Melihat kakak kandungnya sendiri seperti ini, Chiharu tidak bisa bersikap seolah ia tidak melihat air mata itu turun...
Perlahan, ia sedikit bergeser, mendekati Chiaki.
Ia kemudian mengangkat tangannya, ingin meletakannya di pundak Chiaki dan berusaha menenangkannya.
Tapi timbul keraguan di hatinya, sehingga ia sedikit menarik mundur tangannya.
Namun, melihat kakak laki-lakinya itu  tidak berhenti menangis, Chiharu akhirnya melakukan hal yang harus ia lakukan.
Dengan lembut, ia meletakkannya tangannya ke pundak Chiaki.
“Sudahlah...Aku paham dengan apa yang terjadi...”
Chiaki terdiam, kemudian mengangkat wajahnya dan melihat tepat ke arah Chiharu.
Selama bertahun-tahun hidup bersama Chiharu, Chiaki belum pernah merasakan kehangatan yang terpancar dari sorot matanya.
Begitu pula dengan Chiharu, belum pernah ia melihat Chiaki menangis sampai seperti ini.
Perlahan, tembok yang membatasi mereka berdua mulai runtuh sedikit demi sedikit dan membuat mereka menjadi sedikit memahami satu sama lain.
Chiaki tidak bisa memberikan cintanya untuk Mihashi...
Artinya...
Ia tidak ingin Mihashi menderita...
Begitu anak itu mencintai sesuatu, ia benar-benar akan ‘mencintainya’.
Kejadian yang dialami oleh Chiharu selama tinggal bersama dengan Mihashi, adalah bukti cinta anak itu kepada ayahnya yang sudah sangat besar.
Itu adalah tanda bahwa Mihashi sangat mencintai ayahnya.
Seharusnya sebagai orang tua, Chiaki merasa bahagia dengan itu.
Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Hatinya justru hancur ketika melihat betapa Mihashi sangat menyayangi dirinya lebih dari apapun.
Tiap kali Mihashi berteriak ‘Aku mencintaimu, Papa’, yang terpikirkan dalam benak Chiaki adalah,
‘Bagaimana seandainya kalau aku sudah tidak ada di dunia ini lagi...?’
Ya.
Bagaimana kalau hal itu terjadi?
Tidak ada seorangpun di dunia yang tahu kapan ia akan mati atau sampai kapan ia akan hidup.
Yang bisa kita lakukan adalah menunggu sampai pada akhirnya waktu itu datang mejemput kita sendiri.
Tapi...
Bagaimana nasib Mihashi kalau seandainya Chiaki tidak ada di dunia ini lagi?
Mengingat semua yang terjadi...
Itu justru akan membuat luka yang sangat besar di hati Mihashi dan membuat penderitaan tanpa akhir bagi anak itu.
Mihashi mencintai lebih dari siapapun...
Maka ia juga merasa kehilangan lebih dari siapapun...
Ia dibesarkan oleh bersama ayah dan ibunya selama kurang lebih 4 tahun.
Ketika ibunya meninggal, butuh waktu 2 tahun bagi Mihashi untuk menyembuhkan luka itu dan memulai ‘cinta’ yang baru.
Dan...
Dan kalau seandainya Chiaki tetap berada di sisinya dan memberikan sepenuh cintanya pada Mihashi...
Selama bertahun-tahun sampai ia tumbuh dewasa...
Dan kalau Mihashi semakin mencintainya...
Apa yang akan terjadi pada Mihashi seandainya Chiaki tiba-tiba meninggal?
Berapa waktu yang dibutuhkan Mihashi untuk sembuh dari lukanya?
Dengan siapa Mihashi akan tinggal setelah Chiaki pergi?
Dengan pikiran-pikiran seperti itu, Chiaki tidak bisa tenang menghadapi hari-harinya bersama Mihashi.
Akhirnya, setelah satu tahun hidup bersama Mihashi, Chiaki memutuskan kalau itu waktu yang sudah sangat panjang.
Ia tidak bisa memberikan cintanya pada Mihashi lebih dari ini.
Dan dengan terpaksa...
Ia harus menghentikannya.
Ia harus berusaha berhenti mencintai Mihashi.
Berusaha berhenti mencintai putrinya sendiri.
Itulah...
“Alasan sebenarnya kenapa kau menitipkan Mihashi kepadaku...”
Chiharu berkata, dengan nada bicara terlembut yang belum pernah ia ucapkan sebelumnya.
Chiaki terdiam di tempat, kemudian mengangguk dengan lemah.
“Aku tidak bisa mencintainya lagi. Mihashi yang sekarang sudah tidak bisa ditinggal lagi olehku. Bahkan ketika di sekolah pun, ia akan berteriak-teriak kemudian memanggil-manggil namaku, berlari keluar dari sekolah tak peduli apakah hari sedang hujan dengan deras atau apakah jalanan sedang ramai atau sepi. Ia akan terus berlari dan berlari, sampai akhirnya ia menemukanku.”
“.....................”
“Aku tidak bisa membiarkannya terus hidup seperti itu. Karena itu aku memutuskan kalau aku harus berpisah dengannya.”
Sungguh kejam.
Demi membuat putrimu tidak merasakan kehilangan dan merasakan penderitaan yang besar,
Chiaki rela tidak bisa bertemu, bermain ataupun menghabiskan waktu bersama putri yang sangat ia cintai...
Semua itu lakukan demi Mihashi...
Chiaki memang memiliki segalanya.
Tapi,
Ada satu hal yang dia tidak miliki.
Yaitu ‘kebahagiaan seorang orang tua’.
“Aku menitipkan Mihashi kepadamu, dengan tujuan supaya dia terbiasa hidup tanpaku kemudian akan melupakanku. Tidak sepenuhnya. Tapi aku ingin kau membuat Mihashi melupakan ketergantungannya padaku. Setidaknya, cintanya padaku akan sedikit berkurang. Jika ia bisa terbiasa hidup tanpa ada aku di sisinya, maka ketika aku pergi nanti, Mihashi tidak akan bersikap seperti ini lagi. Ia memang pasti akan tetap terluka, tapi setidaknya ia tidak bersikap histeris seperti ini dan menyiksa dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya. Aku hanya...”
Ingin Mihashi hidup normal.
Itu saja.
Chiharu terdiam sambil menatap Chiaki.
Kemudian, di wajahnya, muncul sebuah senyuman kecil.
Senyuman yang muncul pertama kali semenjak pembicaraan mereka dimulai beberapa saat yang lalu.
Senyuman yang kecil, tapi kebaikan yang terpancar dari senyuman itu...
Sangat besar.
“Kau itu...Sangat menyayangi putrimu itu’kan?”
Chiaki tertegun, kemudian kembali menoleh ke arah Chiharu.
Begitu ia melihat senyuman itu, Chiaki juga tersenyum kecil.
“Tentu saja.”
Mereka berdua bertatapan cukup lama.
Ini pertama kalinya mereka saling tersenyum seperti ini.
Beberapa detik kemudian, Chiharu bangkit dari kursinya dan merentangkan kedua tangannya.
“Haaah...Benar-benar pembicaraan yang melelahkan...”
Sepertinya sisi baik Chiharu hanya muncul beberapa detik saja.
“Aha ha ha, iya.”
Chiharu menghela nafas kemudian melirik ke arah Chiaki yang masih duduk.
“Aku mengerti. Akan kujaga dia untukmu.”
“Terima kasih. Aku percayakan Mihashi kepadamu...”
Kata Chiaki pelan.
Chiharu mengangguk lalu mengambil payung yang ia letakkan di samping kursinya.
Ia membuka payung itu, kemudian berjalan pergi.
“Baiklah, sekarang aku harus menjemput anak itu.”
Saat itu, tiba-tiba Chiaki memanggilnya.
“Chiharu.”
Chiharu yang mendengar Chiaki memanggilnya, menghentikan langkahnya, kemudian menoleh di tengah hujan.
“Ada apa lagi?”
Chiaki bangkit dari bangku kemudian berjalan mendekati Chiharu.
Tubuhnya basah oleh air hujan.
“..............Tolong jangan terlalu mencintai Mihashi.’
“Hah?”
“Kau paham maksudku’kan...? Aku tidak ingin Mihashi terlalu sayang padamu dan terikat padamu. Kalau itu sampai terjadi, tujuanku menitipkan Mihashi padamu akan sia-sia saja karena itu berarti ia akan jadi bergantung sepenuhnya padamu. Aku tidak menyuruhmu untuk membencinya atau apapun. Tapi tolong, jangan berikan cinta yang berlebihan pada Mihashi...”
Chiharu terdiam di tempatnya.
Begitukah?
“[Aku bukanlah orang yang penuh dengan cinta. Aku hanyalah seorang wanita kasar dengan hidup yang berantakan dan tidak terarah. Tidak mungkin anak kecil itu akan menyukaiku...Makanya kau menitipkannya padaku, ya?].”
Sambil berpikiran seperti itu, Chiharu tersenyum kecil, kemudian menghela nafas pendek.
“.................Sudahlah, aku mengerti. Aku tidak akan memberikan cintaku sepenuhnya untuk anak itu [Lagipula sejak awal, aku memang tidak berniat untuk jadi lebih dekat dengan dia]. Kalau sudah tidak ada yang kau katakan lagi, aku akan segera menjemput putri kesayanganmu itu. Kau juga, pasti masih banyak pekerjaan’kan? Kembalilah ke kantor.” Chiharu berkata kemudian berbalik dan berjalan pergi dengan payung di tangannya, meninggalkan Chiaki yang masih berdiri di tempatnya.
Ia tersenyum kecil, kemudian berbalik--
“Hey.”
Chiaki tertegun.
“Lain kali jangan lupa membawa payung...Baka aniki...”
Chiharu berkata dengan suara pelan tanpa berbalik ke arah Chiaki sementara Chiaki berkata ‘Iya’ kemudian tersenyum dan segera berlari menuju mobilnya.

“Lamaaaa!! Apa saja yang sedang dilakukan oleh anak itu!!?”
30 menit yang lain kembali berlalu...
Sampai saat ini, Mihashi belum juga muncul.
“Akh! Kesabaranku sudah habis!!”
Chiharu berteriak sambil menghentakkan kakinya dengan keras.
“Aku sebenarnya tidak ingin sampai harus masuk ke sekolah itu, karena itu meski hujan turun dengan sangat deras, aku terus menunggu di luar. Tapi ini sudah kelewat lamaaa!!!! Tidak ada pilihan lain lagi!”
Sambil berkata seperti itu, Chiharu berbalik kemudian bermaksud masuk ke dalam sekolah.
Ketika ia baru masuk satu langkah, seorang wanita muda lewat di hadapannya.
Dengan cepat, Chiharu segera meraih lengan wanita itu yang membuatnya tersentak kaget.
“Permisi, apa kau guru di sini?”
 Tanya Chiharu kepada wanita berkacamata itu.
Wanita itu terlihat agak bingung dengan pertanyaan Chiharu yang tiba-tiba, tapi kemudian ia langsung tersenyum ramah.
“Iya, saya adalah salah seorang guru di sini. Apa ada yang bisa saya bantu?”
Chiharu menggaruk belakang rambutnya.
“Ah, y--ya...Aku menunggu seorang murid bernama Mihashi.”
Wanita itu agak terkejut.
“Mihashi? Maksud anda, Matsuyuki Mihashi?”
“Ya, Anda tahu di mana dia sekarang? Aku sudah menunggunya dari tadi, tapi dia tak muncul-muncul juga. Ah, maaf karena tba-tiba bertanya pada anda.”
Chiharu tersenyum.
“Tidak apa-apa.”
 Wanita itu membalas senyuman Chiharu.
Tapi hanya dalam beberapa detik, senyuman itu menghilang dari wajahnya.
Ano...Tentang Mihashi-chan...”
.......................
.........................................................
....................................................................................
Mata Chiharu terbuka lebar.
Perlahan, ia teringat akan ucapan Chiaki waktu itu.

“Aku tidak bisa mencintainya lagi. Mihashi yang sekarang sudah tidak bisa ditinggal lagi olehku. Bahkan ketika di sekolah pun, ia akan berteriak-teriak kemudian memanggil-manggil namaku, berlari keluar dari sekolah tak peduli apakah hari sedang hujan dengan deras atau apakah jalanan sedang ramai atau sepi. Ia akan terus berlari dan berlari, sampai akhirnya ia menemukanku.”

Wajahnya perlahan berubah menjadi pucat.
Genggamannya melemah sehingga payung yang ada di tangannya jatuh, kemudian terbang tertiup angin.
***-***
 “Hah!! Hah!!!”
Dengan sekuat tenaga, Chiharu berlari melewati kerumunan orang-orang di jalan.
Tak jarang ia bersenggolan atau hampir menabrak para pengguna jalan lain.
“Ah, hey!”
“Hati-hati!”
“Akh! Apa-apaan kau!? Sudah gila, ya!?”
Teriakan-teriakan orang itu tidak ia pedulikan.
Hujan yang turun dengan deras mengguyur dirinya juga tidak ia pedulikan.
Saat ini...
Hanya ada satu hal yang ada di pikirannya...
“Mihashi! Di mana kau!?”
Chiharu berteriak kemudian menghentikan langkahnya dengan cepat mendekati sebuah toko.
Ia melihat ke sekeliling, berusaha menemukan sosok yang sedang berusaha ia cari.
Tapi sosok itu tidak ada di sana.
“Sial!”
Chiharu menyipitkan sebelah matanya dan berteriak kesal kemudian kembali berlari menyusuri jalanan yang basah karena hujan.
Berkali-kali ia berhenti di tempat-tempat tertentu, tapi sosok itu tak juga ia temukan.
Mihashi menghilang.

“Ano...Tentang Mihashi-chan...”
“Ada apa?”
“Tadi sewaktu pelajaran, dia tiba-tiba berteriak dengan keras, memanggil-manggil ayahnya.”
“Dia melakukan itu!?”
“Iya, setelah itu ia menangis dan berteriak-teriak tidak jelas. Ia juga berkata padaku waktu itu bahwa ia berusaha memisahkan Mihashi-chan dari ayahnya.”
“.................Lalu!? Apa yang terjadi setelah itu!?”
“Mihashi-chan berlari keluar dari kelas. Kemudian ia tidak kembali lagi sampai saat ini. Aku berusaha mencarinya di sekitar sekolah, tapi tidak bisa menemukannya dimanapun! Tolong, temukan Mihashi-chan!!”

“Apa yang dia pikirkan!? Kenapa berbuat tidak penting seperti ini!!”
Chiharu terus berlari dan berlari.
Tak peduli apakah badannya yang basah karena air hujan mulai menggigil kedinginan,
Dia harus bisa menemukan anak itu apapun yang terjadi.

“Terima kasih. Aku percayakan Mihashi kepadamu...”

Ketika kata-kata itu kembali terngiang di pikirannya, Chiharu mempercepat larinya dan mencari ke seluruh tempat.
“[Aku memang tidak menginginkan anak itu. Tapi, kalau sampai terjadi sesuatu padanya, Chiaki tidak akan pernah memaafkanku...Begitupun dengan diriku sendiri...].”
“Awas, awas!”
“!?”
Di tengah jalan raya, sekumpulan orang tengah berkumpul.
Awalnya hanya beberapa orang, tapi makin lama semakin banyak yang mengerubungi tempat itu.
Sepertinya sedang melihat sesuatu.
Chiharu melihat ke arah mereka dan memperlambat langkahnya, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Ada apa? Ada apa?”
“Ada yang tertabrak!”
“Siapa?”
“Tidak tahu, tapi sepertinya anak-anak. Perempuan. Mungkin sekitar 7 tahun atau--“
Kelanjutan dari kalimat orang itu terdengar tidak jelas di telinga Chiharu.
Suaranya bercampur dengan suara hujan yang turun.
Tubuhnya gemetar.
Bukan lagi karena udara dingin.
Melainkan perasaan takut yang amat sangat yang menyelimuti dirinya.
Seorang gadis berusia 7 tahun...
Tertabrak?
Tidak...
Ini tidak mungkin...
Tidak mungkin!!
Sambil berpikiran seperti itu, Chiharu langsung berlari kemudian menerobos kerumunan itu, berusaha melihat wajah korban tersebut.
“Hah..Hah...”
Nafasnya mulai tidak teratur karena kelelahan dan panik.
Bagaimana kalau ternyata itu benar...
Bagaimana kalau ternyata Mihashi yang--
“Ukh...MIHASHIIIII!!!!!!!
....................
...................................
........................................................
“Bibi Chiharu...?”

DEG!

Suara itu...
Perlahan, Chiharu menoleh ke arah asal suara itu.
Di sana, Mihashi sedang berdiri di depan sebuah toko.
Sekujur tubuhnya basah karena air hujan.
Ia terlihat sangat kedinginan.
Chiharu terdiam.
Ia tidak membalas perkataan Mihashi dengan ‘Mihashi, aku sudah mencarimu  kemanapun!’ atau ‘Aku senang bisa menemukanmu’.
Melainkan dengan caranya sendiri.
Ia berjalan perlahan mendekati Mihashi.
“Ah, Bibi Chiharu. Ternyata memang bibi, ya?”
Mihashi berkata dengan nada riang dan senyuman di wajahnya.
Chiharu tidak mempedulikan.
Ia hanya bertanya dengan nada bicara yang sangat dingin.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Mihashi tertegun sesaat, tapi kemudian kembali tersenyum.
“Aku ingin pergi ke tempat papa!”
“...........................”
Chiharu sama sekali tidak merespon jawaban Mihashi untuknya.
Ia hanya melangkah dan melangkah dengan pelan mendekati gadis itu.
“Aku ingin menemuinya. Aku tidak ingin sekolah lagi karena mereka berusaha memisahkan aku dari--“

PLAAAAAAAK

Suasana menjadi hening.
Suara hujan yang rintik-rintik itupun tidak terdengar seolah mereka berdua berada di dimensi yang berbeda.
Tanpa adanya rasa belas kasihan atau apapun, Chiharu, ia menampar Mihashi dengan keras.
Gadis itu terjatuh di atas tanah yang basah dan membuat seragamnya sedikit robek.
Mihashi tertunduk diam di tempatnya jatuh.
Ekspresi dan tubuhnya yang gemetar menunjukkan rasa takut yang sangat hebat yang sedang dirasakannya sementara tangan kanannya memegang pipinya yang kini mulai memerah.
“A--A--“
APA YANG SEBENARNYA KAU PIKIRKAN!!!!!!!!!? DASAR ANAK BODOH!!!
“!!!!!!!”
Mihashi yang masih shock dan belum sempat berkata apapun, langsung terkejut ketika Chiharu tiba-tiba berteriak dengan suara keras.
“A--Aku--Aku--Aku ingin bertemu pa--“
MASA BODOH DENGAN SEMUA ITU!!!!
“Ah!”
“Kau pikir apa yang sudah kau lakukan!!!?”
“.................AKU INGIN BERTEMU DENGAN PAPA!!!!!
Mihashi berteriak, air mata mulai menetes dari membasahi wajahnya yang basah oleh air hujan.
“Kalau kau ingin bertemu dengan ayahmu tidak seperti ini caranya!!! Kenapa kau kabur dari sekolah!!?”
“Aku tidak peduli!! Aku hanya ingin bertemu papa!! Aku ingin pulang ke tempat papa!!!”
“Kau tidak sadar, kau sudah membuat seisi sekolah khawatir!!!”
“Mereka tidak peduli dengan keinginanku!! Seberapa banyaknya aku minta ingin bertemu papa, mereka tidak mau membawaku kepada papa!!! AKU INGIN KE TEMPAT PAPA!!!
“......................”
Chiharu melihat Mihashi yang terus meminta untuk bertemu Chiaki.
Entah kenapa, tapi kali ini, setelah ia tahu kisah yang sebenarnya dari Chiaki, perasaan yang aneh muncul di dalam dirinya ketika melihat Mihashi menangis.
Dulu ia akan berteriak dan menyuruhnya diam.
Dulu ia akan memberitahu Mihashi bahwa ayahnya sudah meninggalkan dia dan tidak akan kembali lagi.
Tapi semua itu salah.
Chiaki tidak pernah meninggalkan Mihashi.
Ia terus berada di sisinya dan menjaganya dari jauh, melalui Chiharu.
Itulah yang sebenarnya.
Tapi Mihashi tidak akan paham.
Karena itu...
Apa yang harus ia katakan padanya?
“Bibi...”
“?”
Chiharu terbangun dari lamunannya ketika Mihashi memanggilnya.
Ia tidak sadar kalau Mihashi sudah berdiri di dekatnya.
“Bibi Chiharu sayang padaku’kan?”
Chiharu tidak menjawab.
Ia hanya berlutut supaya tingginya sejajar dengan anak itu.
Mata mereka berdua saling bertemu.
“Bibi Chiharu sayang padaku’kan?”
Gadis berumur 7 tahun itu kembali mengulangi pertanyaannya.
“.....................Ya.”
“Kalau begitu--“
“Bibi akan membawaku pada papa’kan......?”
Ia berkata dengan mata yang penuh dengan harapan bahwa Chiharu akan membawanya untuk bertemu kembali dengan ayahnya.
Chiharu hanya diam di tempatnya.
Apa yang harus ia katakan...?
Apa yang bisa ia lakukan...?
Ia tidak tahu.
Ia tidak tahu harus menghadapi anak ini seperti apa lagi.
‘Baik, akan kukembalikan kau pada ayahmu’
Seandainya bisa, ia akan mengatakan kalimat pendek itu.
Hanya saja...

“Aku tidak bisa membiarkannya terus hidup seperti itu. Karena itu aku memutuskan kalau aku harus berpisah dengannya.”

Dia tidak mungkin melakukan semua itu.
Apalagi...
Ia sudah berjanji pada Chiaki akan merawatnya.
Karena itu,
 Ia kemudian berhenti berpikir tentang ‘Apa yang bisa ia lakukan’ tetapi ‘Apa yang seharusnya memang ia lakukan’, dan berkata dengan suara pelan,
“.........................Kenapa...?”
“Eh...?”
Mihashi tertegun.
Chiharu melanjutkan ucapannya,
“Kenapa aku harus membawamu pada ayahmu?”
Mendengar itu, ekspresi yang tergambar di wajah Mihashi terlihat makin sedih.
“Karena aku ingin bertemu dengan--“
“Bukannya--“
“.....................”
“Ayahmu...Ada di sini?”
“..................Apa...?”
“Ayahmu ada di sini. Kenapa aku harus membawamu kepadanya...?”
“I--Itu--“
“Mihashi-chan...”
Chiharu meletakkan tangannya di pundak Mihashi.
“Y--Ya..”
 Jawab Mihashi sedikit gugup.
“Apa kau menyayangi ayahmu?”
Tanya Chiharu.
Nada bicaranya terdengar lebih lembut.
Mihashi terlihat ragu tapi kemudian mengangguk dengan pasti.
“Ya, aku sayang pada papa.”
“Kalau begitu, apa Mihashi-chan yakin, kalau ayahmu juga sayang padamu?”
Chiharu berkata sambil sedikit tersenyum.
“Ya, aku yakin papa juga sayang padaku.”
“Kalau begitu, apa yang kau khawatirkan lagi?”
“!?”
Mihashi tertegun mendengar perkataan Chiharu.
Apa yang harus ia khawatirkan?
“Kau sayang pada ayahmu, dan di saat yang sama, ayahmu juga sangat sayang padamu. Apa yang kau khawatirkan? Cinta? Kau sudah memiliki semuanya. Kau tidak perlu berteriak memanggil ayahmu lagi. Ayahmu ada di sini.”
“Papa...Ada di sini...?”
Chiharu mengangguk dengan perlahan.
“Papamu ada di sini. Bahkan mungkin sekarang ia sedang memperhatikanmu.”
Mendengar itu, Mihashi langsung menoleh ke sana kemari, berusaha menemukan keberadaan Chiaki, tapi ia sama sekali tidak menemukan sosok ayah yang sangat dicintainya itu.
Iapun menyerah dan kembali menatap Chiharu dengan wajah kesal.
“Bibi bohong. Papa tidak ada di sini.”
Tapi Chiharu tetap tersenyum dengan lembut.
“Tidak. Kau saja yang tidak bisa melihat keberadaannya. Bibi yakin, dia pasti sedang memperhatikanmu sekarang. Meskipun kau tidak bisa melihatnya atau tidak menyadari keberadaannya di sisimu, ayahmu akan selalu melihatmu dan selalu menjagamu dari kejauhan. Dan...Meskipun ia berada di tempat yang sangat jauh sekalipun, di mana dia juga tidak bisa melihatmu...Aku yakin...Dia pasti akan tetap--”
“Mencintaimu...”
Itu benar.
Itu bukanlah suatu kebohongan.
Karena Chiaki memang sangat menyayangi Mihashi lebih dari apapun.
Mihashi adalah harta yang akan ia lindungi bahkan dengan taruhan nyawanya sendiri.
Chiaki tidak akan pernah meninggalkan Mihashi.
“Ayahmu tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Perlahan-lahan, air mata Mihashi berhenti mengalir.
“Benarkah...? Papa...Tidak meninggalkan aku...?”
“Hm. Ia tidak meninggalkanmu. Kalau ia memang meninggalkanmu begitu saja, kenapa ia menyuruhku menjagamu?”
“Karena ia sayang padaku...”
“Benar. Karena ia sayang padamu. Ia ingin kau bahagia. Ia ingin kau hidup normal.”
“Apa ini seperti mama?”
“?”
“Papa bilang, mama akan selalu menjagaku meskipun aku tidak bisa melihatnya. Apa papa juga seperti itu? Apa papa akan terus menjagaku? Apa ia melihatku?”
Chiharu tidak menjawab.
Ia hanya mengangguk sambil tersenyum.
Perlahan, ada sedikit senyuman yang tergambar di wajah Mihashi.
Ia lalu menggenggam tangan Chiharu dengan erat.
“Kalau begitu, ayo kita pulang, Bi. Aku tidak ingin papa melihatku hujan-hujan seperti ini dan khawatir.”
Chiharu menatapnya sebentar kemudian tersenyum kecil.
Ia bangkit berdiri sambil menggandeng tangan mungil Mihashi.
“Haah...Dasar kau anak nakal. Gara-gara kau, tubuhku jadi basah karena hujan.”
“Eeh...Maaf, Bi. Lain kali, Mihashi janji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Ini perbuatan tidak baik.”
“Benar sekali...Eh?”
Chiharu tertegun ketika pandangannya tertuju pada sebuah mesin permen di pinggir jalan.
Ia merogoh sakunya, kemudian mendapati beberapa uang receh.
“..............Hey.”
“Ada apa?”
 Tanya Mihashi bingung.
“Mau...Permen coklat?”
“Waaaah! Mau, mau!!”
“Ya sudah, ayo kita ke sana.”
“Hm!”

“[Aku sama sekali tidak pernah menginginkan anak ini].”

Sambil berjalan, Chiharu sedikit melirik ke arah Mihashi.

“[Bagiku, anak ini hanya akan membuat hidupku yang tidak terarah semakin berantakan].”

Mihashi yang menyadari kalau Chiharu menatapnya, mengangkat wajahnya.

“[Namun, sekarang ini...].”

Kemudian tersenyum.

“[Justru aku tidak bisa menolak permintaan kakak laki-lakiku sendiri yang ingin menitipkan anak ini kepadaku].”

Chiharu tertegun.

“[Gadis kecil yang terlihat manis dan juga penurut].”

Dan tersenyum kecil.

“[Namanya Mihashi].”

Mereka berduapun bergenggaman tangan lebih erat lagi.

“[Dan untuk selamanya, aku akan menjadi ‘Bibi Chiharu’ untuknya...].”

Hujan sudah tak terasa dingin lagi di tubuh mereka.
 Karena perasaan mereka berdua membuat suasana menjadi lebih hangat.
***-***

A/N : Hai, minna XDD

Sankyuu buat yang udah mampir :)

Next Chapter :


Author,
Fujiwara Hatsune

Tidak ada komentar:

Posting Komentar