Selasa, 30 September 2014

Story : Mihashi Prologue


Story : Mihashi Prologue

*Read : Chapter 1

             Chapter 2 
  
            Chapter 3 

           Chapter 4

            Chapter 5

            Chapter 6 

            Chapter 7

           Chapter 8


           Chapter 9

           Chapter 10 

            Epilogue

* Read Another Stories :






MIHASHI
- Prologue -
Sudah kubilang’kan? Firasatku tidak pernah salah.

Ini, adalah malam pada waktu itu.

“Bos, aku pulang dulu.”
“Ya, hati-hati di jalan.”
Aku mengucap salam kepada bos-ku, yang masih sibuk mengetik, menyalin lembaran-lembaran kertas yang hampir menumpuk.
Bahkan ketika aku beberapa langkah di depan pintu keluar dan sedikit menoleh ke belakang, aku masih melihatnya sibuk dengan komputernya. Kurasa, pekerjaannya tidak akan selesai dalam waktu dekat ini.
Sebenarnya, aku bukanlah tipe orang yang suka pulang duluan dan meninggalkan atasanku di belakang. Meskipun aku baru magang dan belum benar-benar bekerja di sini, kalau boleh sih, aku lebih memilih untuk tinggal lebih lama. Entah dengan berpura-pura menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya sudah selesai, atau mungkin dengan bermain game di komputerku.
Tidak ada alasan khusus untuk itu.
Aku hanyalah tipe orang yang selalu berpikir ‘Tidak sopan pulang duluan sebelum atasanku pulang’. Tapi aku punya alasan untuk yang satu ini,
Kenapa aku memutuskan pulang lebih dulu.
Kenalanku, lebih tepatnya, temanku semasa SMA, mungkin, akan segera melahirkan. Dan tugasku adalah mengantarkannya ke rumah sakit jika saatnya sudah tiba.
Kalau kalian sekarang bertanya-tanya kenapa aku yang justru harus, dalam tanda petik ‘repot-repot’ melakukan hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab suaminya, aku sudah menyiapkan jawaban yang tepat.
Suaminya adalah seorang pekerja kantoran yang cukup sukses dan harus bekerja sampai larut malam. Bisa saja, ia tidak sempat datang ketika istrinya akan segera melahirkan.
 Jadi dia memintaku untuk selalu siap jika-jika aku harus mengantarnya menggunakan mobil kakakku yang menganggur.

Dan entah kenapa, aku merasa kalau hari ini, aku akan tidur lebih malam dari yang biasanya. Bukannya mau sombong atau apapun. Tapi aku memang memiliki firasat yang cukup tajam.

“Tomedonai asu ni kawaranai bokutachi wo
Nagu minamo no saki dokomade mo utsushite
Kono mama de ii
Sono hitomi ni yureteta hakanai omoi mo
Sotto shimatte…”


Panjang umur.

Aku baru saja melangkah keluar dari kantor tempatku magang, ketika ponsel yang baru saja kubeli berdering. Karena aku baru saja membelinya beberapa hari yang lalu, tidak banyak nomor yang ada di dalamnya.
Hanya nomor kedua orang tuaku, nomor kakak laki-lakiku, nomor kenalanku yang akan segera melahirkan dan juga nomor suaminya.
Orang tuaku mungkin sedang tidur saat ini, sekarang sudah menunjukkan pukul 00.54 A.M.  Dan kakakku mungkin sedang main ke bar atau tempat-tempat hiburan malam lainnya.
Bersamaan dengan kedua mataku yang mengamati nama yang tertera di layar, aku segera berjalan kemudian mempercepat langkah, menekan tombol untuk menjawab telepon.

“Sudah kuduga firasatku tidak pernah salah!!”
***-***
“Yutaka!!”
“Oh, Chiaki-san! Anda sudah tiba?”

Begitu aku mendapat panggilan telepon itu, aku segera menyetir mobil menuju ke rumah kenalanku, Satone.
Untung saja malam ini keadaan tidak terlalu ramai, jadi aku bisa cepat sampai ke rumah Satone yang kebetulan, sedikit jauh dari kantor tempatku magang.

Aku sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau aku tinggal di...Apa itu? Salah satu kota yang ada di Indonesia...Tempat ibuku bekerja...Ah, iya. Jakarta.
Tiap kali aku menelepon untuk menanyai kabanya, ia selalu curhat dan mengeluh kalau sedang terjebak macet. Bunyi klakson ada di mana-mana dan aku seringkali kesulitan mendengar suara ibuku.
Bukannya aku yang malas membersihkan telinga atau mulai tuli, usiaku baru menginjak 21 tahun, kau tahu?
Tapi serius, tiap kali aku menelepon ibuku, yang terdengar selalu,
‘Halo, Yu--Tiiin Tiiiiiiin!!!!!!! Ib--Tiiiin Tiiin Tiin!!! Kau--Tiiin!! Di sana bai--Tiiin Tiiin TOOOOOOON!!!!! LANJUTNANTISAJAKEPALAIBUPUSINGGARAGARASUARAKLAKSON!! WOICEPETJALAAAAAAN!!!!!!!
......................
Super sekali bukan?
Menurut yang aku dengar, Kota Jakarta sangat macet. Bukan cuma itu, tapi juga sering banjir. Bahkan ada yang sampai se-atap. Untung aku tidak tinggal di sana karena aku sebenarnya tidak bisa berenang.
Aku sama sekali tidak tahu bagaimana ibuku bisa tahan bekerja di tempat seperti itu.
Mungkin karena itu para ibu memiliki julukan ‘Super Mom’?
Yah, kira-kira begitulah...Makanya aku malas untuk pergi ke sana dan menemuinya.
Kalian tahu?
Aku bukan orang yang tahan untuk berada di dalam mobil tanpa melakukan apapun. Kalau disuruh memilih, aku lebih memilih bermain bola dari malam sampai subuh daripada harus diam di dalam mobil.
Yah...Silahkan saja kalau mau menganggap aku orang aneh.

Begitu sampai di rumah sakit, para suster langsung dengan gesit dan cekatan membawa Satone-san ke ruang perawatan. Aku salut sekali dengan kinerja para ahli di sini.
Sementara itu, aku masih ada di halaman depan, kemudian memencet nomor suami Satone-san dan memberitahu kalau Satone-san akan segera melahirkan.
Pekerjaanku malam hari itu, berakhir sampai di sini.
Kalau menurut istilah dalam game-game, tulisan ‘Mission Complete’, pasti sedang menyala terang di atas kepalaku.

Saat itu, aku sedang menunggu kedatangan suami Satone-san.
Namanya Matsuyuki Chiaki-san.
Usianya 1 tahun di atasku, tapi dia sudah sangat sukses. Menurutku pribadi, Satone sangat beruntung karena bisa menikah dengan pria yang sangat lembut dan juga penyayang seperti Chiaki-san.
Sebagai teman SMA-nya, sudah seharusnya aku merasa senang’kan?

Ketika aku sedang duduk di bangku, tepat di depan ruangan Satone sedang di rawat, Chiaki-san, datang dengan terburu-buru dan aku langsung bangkit berdiri menghampirinya.

“Hah, hah! Bagaimana? Apa Satone sudah melahirkan?!”
Tanya Chiaki-san dengan terengah-engah.
 Sepertinya begitu mendapat kabar dariku, ia langsung meninggalkan kantornya dan segera pergi ke rumah sakit.
Kalau aku jadi Satone, aku pasti akan sangat terharu. Ekspresi khawatir jelas tergambar di wajahnya yang kelihatan lelah.
“Sepertinya belum. Dokter belum keluar ruangan sejak tadi. Bagaimana kalau Anda duduk dulu? Kelihatannya Anda sangat lelah.”
Kataku, berjalan pelan ke arah tempat duduk yang telah disediakan.

Agaknya, terasa sedikit aneh saat aku bersikap formal--Maksudku, sangat formal kepada suami dari sahabat baikku sendiri.
Kenapa aku tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Chiaki’ saja atau mungkin dengan sebutan ‘dude’?
Oke, yang terakhir itu sangat tidak sesuai dengan gayaku.
Aku menaruh rasa hormat kepada Chiaki-san, dan aku benar-benar menganggumi dirinya.  Maksudku, siapa yang tidak ingin jadi seperti dirinya?
Kaya, sukses di usia muda, tampan dan memiliki istri yang sangat cantik. Dan bagiku, akan jadi sesuatu yang luar biasa kalau aku bisa menjadi junior-nya di tempat kerja. Aku ingin bisa belajar lebih banyak darinya.
Hanya saja...
Sungguh menyedihkan ketika aku di pecat, bahkan sebenarnya aku belum bekerja tapi baru saja magang [aku tidak bisa bayangkan bagaimana jadinya kalau aku benar-benar bekerja di sana] dari kantor tempat Chiaki-san bekerja.
Hanya karena aku menyenggol keranjang sampah, bukan berarti aku tidak bisa bekerja dengan baik.
................
Baik, baik, aku menyenggol keranjang sampah yang secara tidak sengaja membuat cleaning service tersandung dan membuat air yang berada di ember yang dibawanya terjatuh, kemudian membuat seorang karyawati cantik yang sedang membawa makan siang berupa obento buatan rumah, terpeleset. Dan bekalnya itu,
Mendarat dengan cantik di wajah manager-ku.
Jadi, aku bekerja selama 5 menit 49 detik, dan tahu-tahu, aku sudah dipecat pada detik berikutnya...

“Tidak, aku tidak bisa tenang menghadapi situasi ini...Ah, apa yang harus aku lakukan! Istriku sedang berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan anak kami...”
 Chiaki-san mondar-mandir di depan ruangan tempat Satone dirawat sambil menggigit kukunya.
Itu adalah kebiasaan Satone ketika sedang gugup dulu. Dan aku bisa melihat kalau itu tertular ke Chiaki-san.
“Tenanglah, Chiaki-san. Aku yakin Satone akan bik-baik saja. Kau selalu tahu’kan? Kalau dia wanita yang sangat kuat?”
Aku berkata, mengangkat kedua tangan setinggi dada, berusaha sebisa mungkin menenangkan seorang pria yang akan segera menjadi ayah.
Ketika mendengar ucapanku itulah, Chiaki-san menoleh ke arahku. Ia lalu tersenyum,
“.............Iya...Iya, kurasa benar. Aku harus percaya sepenuhnya pada Satone’kan? Dia memang sangat luar biasa.”
“Nah, nah, itu baru semangatnya.”
“Terima kasih, Yutaka. Aku beruntung sekali Satone memiliki sahabat yang sangat baik sepertimu.”
 “Ha ha, terima kasih. Tapi kurasa Satone lebih beruntung karena memiliki suami sepertimu, Chiaki-san. Sewaktu kami sempat mengadakan reuni SMA sekitar beberapa bulan yang lalu, Satone tidak henti-hentinya menceritakan tentang Chiaki-san.”
Aku mulai bercerita tentang reuni. Mungkin sedikit pembicaraan akan menghilangkan rasa tegang dan khawatir Chiaki-san.
“Benarkah? Dia membicarakan tentang aku?”
Tepat seperti yang aku duga sebelumnya, Chiaki-san menoleh ke arahku. Sepertinya aku berhasil menarik perhatiannya--Bukan ‘perhatian’ dalam arti ‘itu’ maksudku...
Tapi yang aku tidak paham dalam keadaan kali ini adalah--
“Eh, Satone tidak memberitahumu tentang itu?”
Tanyaku dengan nada sedikit tidak percaya.
“Mmm...Tidak. Dia tidak memberitahuku kalau ia menggosipkan diriku dengan teman-teman SMA-nya. Dia cuma bilang, reuni itu sangat menyenangkan karena bisa berbincang-bincang dengan sahabat lama. Itu saja.”
Chiaki-san menjawab, menopang dagu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berada di saku celananya.
Melihat dari raut di wajahnya, aku bisa benar-benar tahu kalau Chiaki-san memang tidak mengetahui apapun.
Baik, meskipun aku tidak punya pengalaman menjadi seorang ‘istri’, tapi aku tahu, bahkan ada satu hal yang membuat seorang istri merasa malu. Yaitu saat mereka membicarakan suami tentu saja.
Satone memang cukup pemalu waktu SMA dulu. Dia bahkan tidak bisa membaca satu baris dalam buku dengan lancar tanpa harus terbata-bata. Begitu semua mata tertuju ke arahnya, wajahnya langsung menjadi pucat.
Aku lihat dia sedikit berbeda ketika ia sudah menikah.
Tapi tetap saja, kebiasaan bukanlah hal yang bisa dihilangkan begitu saja.
“Menurutmu, kenapa Satone tidak menceritakannya padaku? Apa dia...Mengatakan yang jelek-jelek soal aku?”
Ujar Chiaki-san, yang menoleh ke arahku dengan tatapan curiga seperti baru saja menangkap basah seorang pencuri murahan yang sedang mencuri pakaian dalam.
Bisa aku membela diriku di sini? Bukan aku yang harusnya kau curigai, dan aku merasa tidak pantas mendapat hadiah tatapan seperti itu.
Aku menggaruk belakang kepalaku dan menjawab dengan sewajarnya saja.
“Ah, Chiaki-san masa tidak paham sih? Satone memang pada dasarnya’kan pemalu. Bukan cuma itu, tapi kalau aku jadi Satone, aku juga tidak akan mengatakan pada suamiku sendiri kalau aku membicarakannya dengan teman-teman. Malu’kan?”
Ucapku dengan sedikit tertawa.
Tunggu dulu! Apa aku baru saja mengatakan ‘pada suamiku sendiri’?
Meskipun aku bermaksud mengatakannya sebagai candaan, tapi kata-kataku sendiri sudah membuatku merasa takut.
Begitu selesai mencerna perkataanku, Chiaki-san bergumam pelan ‘Mungkin ada benarnya juga’, dan melontarkan pertanyaan padaku,
“...Jadi, Yutaka, apa yang Satone katakan tentang aku?”
Tanyanya, dengan penasaran.
“Yang dia katakan?”
Aku sedikit tertegun ketika mendengar pertanyaan yang sudah aku antisipasi sejak awal pembicaraan itu terdengar dari Chiaki-san.
Meskipun itu pertanyaan yang sudah kuduga akan keluar dari mulu Chiaki-san, namun entah kenapa aku justru tertegun dan bingung harus menjawab apa.
Aku sudah merencakan jawaban untuk pertanyaan seperti ni sebelumnya, bersamaan dengan perbincanganku dengannya. Kalian paham? Bukan cuma mulutku saja yang bergerak, otakkupun tak berhenti berpikir sejak tadi. Aku adalah orang yang sangat suka mengantisipasi segala hal agar tidak keluar dari jalur yang sudah kuprediksi.
Meski seperti itu, sesuatu yang ada di pikiran akan menjadi menakutkan ketika itu datang ke dalam kenyataan.
Jadi, begini kira-kira aku memprekdisikan keadaan :
Aku : Kau sangat perhatian, baik, tampan!!
Chiaki : Gomenasai, Yutaka-san, boku wa not a HOMO...
Itu adalah jawaban paling normal yang bisa aku berikan karena itu memang sesuai dengan kenyataannya!
Aku baru saja menyadarinya. Situasi ini jauh lebih menakutkan dari yang aku pikirkan selama ini...
Sekilas terpikirkan olehku untuk tidak memberikan jawaban dan hanya terdiam. Tapi kurasa itu akan semakin meningkatkan kesan kalau Satone mengatakan sesuatu yang tidak-tidak saat reuni itu. Mungkin jika kutambahkan kata ‘Satone bilang’,
“Satone bilang...Kau sangat, perhatian, baik, tampan--“
Oke, bisa kita hentikan ini? Aku mulai terlihat seperti seorang idiot di sini.
“Yah...Mu--Mungkin sesuatu seperti itu. Intinya sih, dia benar-benar merasa bersyukur karena bisa memiliki suami sepertimu.”
“Khu khu khu, terima kasih, Yutaka. Tapi kurasa aku akan lebih senang kalau mendengarnya langsung dari Satone.”
Sial! Sudah kuduga aku tidak seharusnya mengatakan itu!! Bahkan menambahkan ‘Satone bilang’, sama sekali tidak membantu!!
“Ha ha, kurasa memang akan terdengar lebih baik kalau itu semua terdengar dari mulut Satone sendiri.”
Hanya tertawa yang bisa aku lakukan saat ini. Bagaimanapun juga, aku harus berusaha agar harga diriku tidak jatuh di sini.
Dan perlahan-lahan, ingatan tentang reuni itu kembali terbayang di benakku. Aku bukanlah pengingat yang baik. Sehingga mungkin aku sudah melupakan beberapa detail dan perbincangan seperti apa yang kami bincangkan pada waktu itu.
Tapi kini, entah mengapa ingatanku seolah di-refresh kembali, seperti baru saja reuni itu terjadi. Aku bisa mengingat semuanya dengan jelas. Gaun seperti apa yang dikenakan oleh Takahashi waktu itu, berapa harga kemeja yang disewa oleh Sugishita, serta--
“ Dan aku bisa melihat dari pancaran matanya waktu itu...Kalau dia benar-benar bahagia...”
Sambil berkata seperti itu, aku yang awalnya menatap Chiaki-san, tiba-tiba jadi tertunduk. Bersamaan dengan itu, aku mulai memainkan jari-jariku. Aku sama sekali tidak tahu apa yang merasuki saat ini. Tapi yang jelas, ada bagian dari diriku yang merasa...’Aneh’, ketika mengatakan hal itu.
Kalian mungkin tidak akan paham.
Dan Chiaki-san juga tidak akan paham.
Aku sama sekali tidak bisa menahan diriku untuk merasa, dalam situasi ini, semua ini, dan semua perkataanku, tidak benar-benar aku katakan dengan serius. Aku bahkan merasakan hal bodoh, yang sebelumnya belum pernah aku rasakan.
Akan lebih jelas kalau mungkin aku mendeskripsikannya seperti ini,
‘Kenapa aku mengatakan semua itu?’
Meski aku tak sepenuhnya paham dengan situasiku saat ini, yang seakan-akan berada di daerah antara hitam dan putih yaitu abu-abu...
Aku sama sekali tidak menyukai diriku yang berpikiran seperti ini dan juga situasi ini.
“Yutaka?”
“Oh.”
Aku langsung tersentak kaget ketika mendengar Chiaki-san menyebut namaku.
Kurasa ia sudah menyadari adanya keanehan pada diriku yang secara tiba-tiba ini. Akupun tidak ingin membuatnya berpikiran yang aneh-aneh tentang diriku, dan hanya tersenyum normal.
“Maaf, kebiasaanku memang suka melamun. Bahkan itu sampai terbawa saat aku sedang berbincang-bincang dengan orang lain. Rasanya tiba-tiba aku tenggelam dengan pikiranku sendiri. Sadar-sadar, orang yang ada di depanku ternyata sudah menjadi orang yang berbeda, ha ha ha.”
Aku berkata se-natural mungkin, sebisa mungkin meyakinkannya kalau ini bukan akting.
“Aku rasa kau terlalu sering mengalami Day Dreaming.”
Chiaki-san berkata dengan sedikit tertawa, sementara aku hanya menanggapi dengan senyuman kecil yang biasa ditunjukkan oleh orang-orang yang sedang menahan rasa malu.
Entah apa yang terjadi, di detik berikutnya, Chiaki-san terdiam di tempatnya sambil menggaruk pipi dan tersenyum. Ia lalu melihat ke arahku dan menepuk pundakku.
“Tapi, terima kasih, ya.”
Katanya singkat, yang membuatku tidak paham.
“Maksudnya?”
“Maksudku, kau melakukan semua ini untuk menghiburku’kan? Agar aku bisa sedikit merasa tenang menunggu persalinan Satone...Terima kasih, ya. Kurasa usahamu itu sedikit berhasil. Aku bisa merasakan beban sedikit berkurang dari pundakku.”
Ujar Chiaki-san, mengingatkan tujuan awalku menceritakan soal reuni.
Bahkan aku sendiri sudah hampir lupa dengan itu. Terima kasih karena sudah mengingatkanku.
“Ya, tidak masalah. Oh ya, boleh aku bertanya satu hal?”
“Hm?”
“Putri atau putra? Kau ingin punya anak perempuan atau laki-laki?”
Aku bertanya kepadanya, sebuah pertanyaan biasa yang akan ditanyakan oleh setiap orang.
“Hmm...Sejujurnya sih, aku ingin punya anak kembar. Laki-laki dan perempuan.”
Jawabnya dengan nada sesikit agak ragu, melihat ke atas langit-langit.
Jawabannya Chiaki-san setidaknya membuatku merasa takjub. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Saat ini, aku hanya ingin berkata ‘Wah, benarkah??’, sesuatu seperti itulah. Jadi, aku mengatakannya saja.
“Wah, benarkah? Anda ingin punya anak kembar?”
“Kira-kira seperti itu. Karena aku ingin anakku nanti memiliki teman bermain yang seusia dengannya. Jadi dia tidak perlu merasa kesepian ketika aku dan Satone sedang sibuk.”
“Oh, menarik sekali. Ide yang bagus juga. Tapi, akan sangat sulit membedakannya, ya?”
Sambil mengatakan itu, aku menopang dagu dengan sebuah senyuman, yang entah kenapa terkesan konyol di wajahku.
“Tapi pada akhirnya, semua Tuhan yang menentukan’kan?”
“Mhmm...Manusia cuma bisa merencakan tapi semua yang terjadi ada di tangan Tuhan yang selalu mengamati kita.”
Ucapku dengan suara pelan.
Cuma bisa merencanakan, ya?
“Hngh...”
“?”
Aku mengalihkan pandanganku dari lantai ke arah Chiaki-san yang sedang merentangkan kedua tangan ke samping. Sepertinya dia sangat lelah sekali.
“Jadi...Dalam waktu singkat, aku akan menjadi seorang ayah...Dan memiliki seorang anak...Ah, aku bahkan belum memberitahu orang tuaku tentang ini. Aku yakin, ini akan jadi kejutan terbaik untuk mereka.”
Chiaki-san memperlihatkan sekilas senyumannya sambil sesekali meregangkan tubuhnya.
“Benar juga...Orang tuamu tidak tinggal di kota ini. Kenapa tidak membawa mereka tinggal bersama denganmu?”
“Aku sudah inisiatif untuk melakukan itu. Tapi mereka bilang kalau mereka tidak akan bisa beradaptasi dengan kondisi kota besar.”
“Oh...”
Sesuatu yang jelas akan para orang tua katakan.
Ada benarnya juga, karena sewaktu saat nanti ketika aku sudah menginjak usia senja, aku ingin kembali ke kampung halamanku yang terletak di kota kecil. Tidak ada polusi yang mencemari, suara yang berisik dan yang lain-lainnya yang biasanya sangat mudah ditemukan di kota besar.
Hanya ada suara jangkrik, suara air mengalir dan hembusan udara yang menentramkan hatiku. aku ingin sekali tinggal di tempat seperti itu. Mungkin kalian berpikir adalah hal yang sangat aneh ketika aku mengatakan hal seperti itu, memilih kehidupan desa daripada kehidupan kota yang serba ada.
Yah, aku tidak terlalu peduli tentang hal itu.
Karena yang terpenting, bukan di mana kita tinggal, tapi dengan siapa kita akan tinggal dan menghabiskan waktu. Asalkan aku bisa bersama dengan orang yang aku sayangi dan berharga untukku, tinggal di sebuah rumah kardus pun akan kujalani dengan sepenuh hati, seperti tinggal di sebuah rumah mewah.
“Mmm...Tapi sayang sekali...”
Perkataan Chiaki-san yang barusan itu, menarik perhatianku walau cuma sedikit. Kenapa dengan suaranya yang mendadak melemah? Itu yang ingin aku tanyakan.
“Apanya?”
“Sayang sekali, aku tidak bisa memberitahu adikku soal ini.”
Chiak-san tersenyum, tapi di balik senyumannya itu, aku bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi.
Tapi yang sebenarnya membuatku tertegun adalah,
“Aku baru tahu kalau kau memiliki adik?”
Apa itu pertanyaan yang wajar untuk kutanyakan? Kurasa iya.
“Yah, itu karena aku memang jarang sekali membicarakannya. Aku punya adik perempuan yang usianya 2 tahun di bawahku.”
Oh, berarti dia satu tahun di bawahku? Kurasa ini salah satu saat yang tepat untuk menemukan jodohku.
Lagipula, aku memang memilih gadis yang lebih muda dariku.
“Kau dan dia ada masalah, ya?”
“Aku juga tidak begitu paham...Tapi kurasa dia membenciku. Dia meninggalkan rumah saat berumur 18 tahun, dan kami tak pernah saling kontak sejak itu. Dia tinggal di mana sekarangpun aku juga tidak tahu...”
Aku tarik perkataanku. Sepertinya adiknya itu wanita yang sangat penuh dengan masalah. Bukan karena itu aku menarik kata-kataku, aku suka membantu orang lain menyelesaikan dan membereskan masalah mereka. Karena itu orang-orang menjuluki ‘HELPER’. Itu, adalah 2 hal kelebihan yang kumiliki dalam diriku. Dan aku sangat bangga karena itu.
................
Oke, satu. Karena menyelesaikan dan membereskan memang memiliki arti yang sama...Meskipun berbeda huruf...
Tapi bahkan ia tidak tahu di mana adiknya berada, mana bisa aku memulai ‘rencana penaklukanku’?
Meski demikian, aku bisa merasa kesedihan dari nada bicara Chiaki-san barusan. Mungkin dia sebenarnya sangat sayang pada adiknya itu. Tentu saja, bodohnya aku. Yang membenci Chiaki-san itu adiknya. Bukan berarti ia juga balas membencinya.
Hal itu pasti sangat berat untuk dilalui.
“Apa adikmu itu, juga tidak tahu kalau kau sudah menikah?”
Tanyaku penuh dengan simpati di dalamnya.
“............Dia tidak tahu. Tapi kurasa dia juga tidak peduli tentang kehidupan pribadiku...”
Balasnya.
“Oh...Hmm...Kurasa...Aku bisa membantumu untuk bertemu dengannya...”
Aku sama sekali tidak tahu. Mulutku bergerak dengan sendirinya. Bisa saja jiwa penolongku yang menuntunku untuk mengatakan hal itu.
Seperti yang aku duga sebelumnya, Chiaki-san langsung terlihat kaget begitu kata-kataku yang mungkin tidak masuk akal itu terdengar.
“Eh, kau bisa melakukan itu, Yutaka?”
“Coba aku pikir-pikir dulu...”
Ijinkan aku mendapat kesempatan untuk berpikir barang semenit atau 2 menit karena ketika aku mengatakan hal itu tadi, aku sama sekali tidak berpikir.
Tapi, mungkin saja aku benar-benar bisa melakukannya. Itu lho, seperti yang ada di acara-acara TV itu. Kita mempertemukan seorang tua dengan anaknya yang sudah lama tidak bertemu. Aku yakin akan sangat hebat kalau aku benar-benar bisa melakukan hal seperti itu.
Kemudian, aku teringat akan suatu kejadian yang pernah aku alami! Ya, mungkin dnegan itu, aku memang bisa membantu Chiaki-san!
“Kurasa bisa. Aku lumayan jago soal melacak orang. Aku pernah mempertemukan seorang cucu dengan neneknya yang hampir terpisah selama 5 tahun...”
Ucapku, sedikit ragu.
“Benarkah? Wah, mungkin aku memang bisa mengandalkanmu, Yutaka!”
“Siip! Serahkan saja padaku!!”
Aku mengacungkan jempol dengan bangganya.
Tapi...
Tunggu sebentar...Kenapa dalam waktu singkat aku menjadi ragu, ya?
5 tahun?
Coba kuingat-ingat lagi...
Bukannya 5 menit, ya?
.....................
Ah!!! Bodohnya aku! Ternyata aku tidak benar-benar bisa melakukannya!!
Image-ku yang bercahaya dan seakan bisa melakukan semua hal itu langsung runtuh!
Kalau saja bayanganku bisa bicara, dia pasti akan berkata,
‘Yutaka, kau itu benar-benar seorang idiot’
Dan aku tidak mungkin menarik perkataanku kembali, karena Chiaki-san sudah terlanjur berharap banyak padaku.
Yah, tinggal berharap saja, imouto itu tidak bersembunyi di sarang semut...

“Permisi.”
“!!”
Baik aku dan Chiaki-san, dikejutkan oleh suara tiba-tiba yang berasal dari belakang kami.
Suara yang terdengar lembut dan penuh keibuan itu menyambut telinga kami, bersamaan dengan itu, sesosok wanita berpakain serbaa putih khas rumah sakit, muncul dari balik pintu.
“Siapa Matsuyuki Chiaki-san?”
Tanya wanita itu kepada kami berdua.
Mendengar itu, Chiaki-san langsung maju, berhadapan dengan wanita itu.
“Saya Chiaki. Bagaimana, dokter? Apa istri saya sudah melahirkan?”
kekhawatiran pasti sudah kembali mengambil alih dirinya. Baik dari suara maupun ekspresi yang kini ada di wajahnya, aku bisa melihat semua itu dengan jelas.
Akupun, yang sebelumnya terduduk, langsung bangkit berdiri ke samping Chiaki-san dan ikut menanyakan bagaimana keadaan Satone.
“.................”
Beberapa detik berlalu dengan keheningan.
Dokter itu sama sekali tidak memberikan jawaban. Jawaban yang kami ingin dengar tentunya.
Ia hanya memperlihatkan eskpresi muram, mungkin karena lelah harus bekerja dari pagi sampai selarut ini.
Diam yang aneh ini, membuat perasaanku dan Chiaki-san bercampur aduk. Apa Satone baik-baik saja? Apa dia melahirkan dengan selamat? Apa bayi mereka sehat?
Semua tanda tanya yang penuh misteri itu membuatku susah bernafas. Aku hanya bisa menahan nafasku beriringan dengan kedua mataku yang tak henti-hentinya mencuri-curi pandang ke dalam ruangan yang kini sedikit terbuka itu. Apa ini perasaanku? Atau waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya?
“Begini...”
“....................”
Ucapan singkat dokter tersebut, yang bahkan belum menjelaskan satu halpun pada kami, mulai membuat tubuhku terasa tegang. Aku tidak tahu, karena aku memang tidak melihat ke arahnya. Tapi aku yakin, Chiaki-san juga merasakan hal yang sama denganku.
Seolah bertele-tele dalam mengungkapkan sesuatu, aku paham benar skenario macam ini. Ini adalah cara yang biasanya digunakan seseorang untuk mengungkapkan suatu berita buruk...Seperti mungkin ditemukan penyakit, atau ternyata ada kanker yang menyebar. Kira-kira seperti itulah. Yang lebih buruk lagi, kematian.
Terlepas dari semua itu, aku bisa merasa akan ada kejutan yang menanti di depan sana. Aku tahu itu. Yang tidak aku ketahui, apa itu kejutan yang buruk atau kejutan yang akan membuat kami melompat girang.
Dalam hati, aku mulai berdoa semoga hal itu tidak terjadi. Jangan berakhir sekarang, jangan biarkan semuanya berakhir sekarang! Apapun yang terjadi, tolong biarkan harapan kami menjadi kenyataan.
Selamatkan Satone dan juga anaknya!
Akhirnya barulah kami mendapat jawaban atas ketidakpastian itu.
Tak lama kemudian, dokter wanita itu menghela nafas singkat, kemudian berkata--
“Selamat! Anda telah menjadi seorang ayah dari putri yang sangat manis!!”
Itu,
Adalah senyuman yang pertama kali ia buat sejak keluar dari ruangan.

Sudah kubilang’kan?
Firasatku tidak pernah salah.
***-***



A/N :
Hai, minna XDD
Akhirnya cerita baru muncul! //tapi gara-gara nulis cerita ini, ceritaku yang lainnya jadi terpaksa hiatus dulu, soalnya aku mau fokus ke cerita ini XDD.

Semoga semangat nulisku ga hilang dan bisa cepat selesai :)
Sebenarnya, ini cerita one-shot, tapi karena rada ribet jadi aku bikin seri aja//plaak

Sankyuu!!

Next Chapter : Tanganmu Sangat Hangat, Aku Suka

Author,
Fujiwara Hatsune


Tidak ada komentar:

Posting Komentar