Senin, 03 November 2014

Story : Mihashi Chapter 6

Story : Mihashi Chapter 6

*Read :
            Prologue

            Chapter 1

            Chapter 2

            Chapter 3

            Chapter 4

            Chapter 5
          
            Chapter 7

            Chapter 8

            Chapter 9

            Chapter 10

             Epilogue
 

* Read Another Stories :


MIHASHI
- Chapter 6 -

Karena Kita Adalah Keluarga Matsuyuki!
 

“Aku pulang...”
Chiharu membuka pintu dengan malasnya kemudian masuk sambil melepaskan sepatunya.
Ia hanya melemparnya tanpa menatanya dengan benar.
Benar-benar wanita yang berantakan.
Dengan ekspresi wajah mengantuk, ia masuk ke ruang tamu sambil membawa 2 kantong plastik di tangannya.
Tidak tahu apa isinya, tapi ada beberapa benda yang terlihat seperti botol terlihat sedikit keluar dari kantong plastik itu.
Sepertinya minuman keras.
Di sana, ia melihat seorang gadis berambut coklat muda pendek dengan kuncir twintail yang diikat dengan pita berwarna merah tua.
Ia terlihat asyik memainkan lego yang tertumpuk di atas meja menjadi bentuk-bentuk seperti rumah atau--Yah, atau apapun itu.
Chiharu memperhatikan gadis itu [yang sepertinya belum menyadari keberadaannya di sini] cukup lama, sampai pada akhirnya, gadis itu menoleh ke arahnya kemudian tertegun.
Lalu tersenyum.
“Ah, selamat datang, Bi.”
Ia anak yang baik seperti biasanya.
“Hmm...”
Chiharu bergumam pelan sambil duduk di atas lantai, berhadapan dengan posisi anak itu.
“Aaaa...Aku mengantuk sekali...”
Sekarang sudah hampir 3 bulan sejak kedatangan Mihashi di rumahnya.
Dalam jangka watu tersebut, Mihashi masih sering bersikap histeris dan memanggil-manggil ayahnya.
Chiharu melakukan berbagai macam cara untuk membuatnya tidak mengingat Chiaki yaitu dengan menyingkirkan semua barang yang berhubungan dengannya seperti mie atau barang-barang lainnya.
Tapi yang lebih penting adalah...
Sikap Chiharu yang telah merubah diri Mihashi...
Jika dulu Chiharu selalu berteriak, berkata bahwa Chiaki tidak akan kembali dan telah meninggalkannya.
Sekarang ia berkata bahwa ayahnya tidak akan meninggalkan dia apapun yang terjadi dan akan selalu menjaganya meskipun ia tidak bisa menyadari keberadaaanya.
‘Apapun yang terjadi, ayahmu tidak akan pernah berhenti menyayangimu’.
Dan perlahan-lahan, Mihashi mulai bersikap normal tiap harinya.
Ia berubah.
Jauh lebih baik tiap harinya.
Namun, kehidupan Chiharu sama sekali tidak berubah.
Ia tetap wanita yang dulu, yang suka menghamburkan uangnya untuk hal yang tidak perlu.
Ia juga memilih untuk tidak bekerja.
Apalagi sekarang dia selalu mendapat uang dari Chiaki untuk memenuhi kehidupan Mihashi [yang sering ia gunakan untuk bersenang-senang], hal itu membuat kehidupannya semakin tidak terarah.
Tak peduli apakah Mihashi hadir dalam hidupnya atau tidak, Chiharu tidak akan pernah berubah.
Baik itu bagi Mihashi, maupun demi dirinya sendiri...
Ia mungkin bisa merubah orang lain.
Tapi ia sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk merubah dirinya sendiri.
Ia langsung meletakkan kepalanya di atas meja kemudian memejamkan matanya.
Mihashi yang melihatnya hanya tersenyum.
“Bibi tampak sangat kelelahan sekali...”
“Berisik...Aku mau tidur...”
Jawab Chiharu kasar tapi hanya ditanggapi dengan tawa kecil oleh Mihashi.
“Ah...”
Mihashi tertegun ketika pandangannya tertuju ke arah kantong-kantong plastik itu.
Perlahan, ia membukanya kemudian menemukan beberapa botol di dalamnya.
Benarkan, ternyata memang minuman keras.
“Bibi, aku harus bilang berapa kali jangan minum-minuman seperti ini lagi...Ini tidak baik untuk kesehatan...”
“Berisik...Aku tidak ingin diceramahi oleh anak kecil sepertimu...Cepat letakkan saja botol-botol itu di dalam kulkas...”
Chiharu berkata sambil menggerak-gerakkan tangannya, menyuruh Mihashi pergi.
Menyerah dengan sikap bibinya itu, Mihashi bangkit berdiri, kemudian membawa botol-botol minuman keras itu dan meletakkannya di dalam kulkas.
Beberapa saat kemudian, ia kembali dan duduk di tempatnya semula.
“Sudah kulakukan.”
“Bagus.”
“.......................”
“...................................”
“.............................”
“...?”
Entah kenapa, Chiharu bisa merasakan tatapan seseorang yang terus menatapnya sejak tadi.
Ia membuka sebelah matanya dan mengintip ke arah Mihashi
Benar saja.
Anak itu sedang menatap ke arahnya dengan wajahnya yang polos.
Menyadari hal itu, Chiharu hanya bisa menghela nafas pasrah kemudian menggaruk rambutnya.
“Baik, baik...Kau pintar, Mihashi-chan...”
 Katanya sambil mengelus kepala anak itu yang kini tersenyum dengan bahagianya :3.
“Ehe he...Mihashi-chan memang pintar...”
Ia juga suka sekali memuji dirinya sendiri.
Meskipun tidak tahu apakah memasukkan botol ke dalam kulkas bisa menjadi suatu hal yang dapat membuat seseorang menerima pujian -_-.
“Baik, kau puas’kan? Sekarang sudah malam. Cepat tidur. [Lagipula kenapa kau masih bangun jam segini?].”
“Bibi melupakan sesuatu,ya...?”
Kata Mihashi tiba-tiba yang membuat Chiharu sedikit tertegun.
“Melupakan sesuatu...? Apa...??”
Katanya tidak mengerti.
“Hmm...’hadiah’ yang biasanya...”
Mihashi berkata malu-malu dengan wajah memerah.
Mendengar itu, Chiharu berkata sesuatu seperti ‘Oh, itu’ kemudian merogoh tasnya.
Ia mengambil sesuatu.
Bentuknya persegi panjang dengan bungkus berwarna merah.
Perlahan, ia menyerahkannya kepada Mihashi.
“Ini yang kau maksud’kan?”
Melihat ‘hadiah’ yang ia maksud ada di tangan Chiharu, Mihashi tidak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa bahagia.
Dengan cepat, ia langsung mengambil bungkusan itu dari tangan Chiharu dan memeluknya dengan erat.
“Terima kasih, Bi! He he he...Aku senang bibi tidak melupakannya...”
Mihashi berkata, kemudian membuka bungkus berwarna merah tersebut yang ternyata adalah sebuah coklat.
Itu adalah coklat dari sebuah mesin permen di pinggir jalan.
Itu coklat yang sama yang diberikan Chiharu pada Mihashi saat hari hujan itu.
Dan entah sejak kapan coklat itu menjadi ‘hadiah’ yang selalu ia berikan pada Mihashi tiap harinya seperti orang bodoh. [Bayangkan saja, hampir tiap hari ia membeli coklat di mesin permen itu, dan orang-orang mulai memanggilnya dengan sebutan ‘Nona mesin permen’...].
Hal itu membuatnya selalu melirik tajam ke arah orang-orang yang melihatnya ketika sedang berdiri di depan mesin permen itu,
 “Ingat, jangan lupa menggosok gigi setelah menghabiskan coklat itu.”
“Oke.”
Melihat Mihashi sangat menikmati coklat itu, Chiharu merasa bingung.
Coklat itu sangat murah dan sangat biasa.
Tidak ada yang spesial di dalamnya yang bisa membuat orang-orang tertarik.
Tapi kenapa ia sangat menyukainya...?
Yah...Apapun alasannya juga Chiharu tidak akan peduli.
Justru ia merasa senang karena tidak harus membelikan hadiah-hadiah super mahal untuk Mihashi.
Lebih baik, ia simpan uang pemberian Chiaki untuk dirinya sendiri.
Selain untuk keperluan sekolah, tidak ada hal lain yang diperlukan oleh anak berumur 7 tahun’kan?
Selesai menggosok giginya, Mihashi pergi tidur setelah mengucapkan selamat malam pada Chiharu.
Tepat ketika ia memastikan bahwa Mihashi sudah tertidur, ia mengambil botol minuman kerasnya dari dalam kulkas, kemudian mulai minum sampai  akhirnya ia tertidur.
***-***
“Bibi, Bibi! Coba lihat ini.”
Sambil berteriak dengan riangnya, Mihashi berlari kemudian mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya.
Chiharu yang sedang bersantai [Atau lebih tepat dibilang sedang bermalas-malasan] sambil duduk di dekat mejapun, menoleh dengan malasnya.
“Ada apa ini...? Pulang-pulang langsung berisik seperti ini...”
Gerutu Chiharu kesal sambil menggaruk rambut hitamnya yang berantakan.
Hari ini, Mihashi diantar ke sekolah dan dijemput oleh tetangga Chiharu.
Alasannya adalah kemarin ia terlalu banyak minum sehingga ia terlalu pusing untuk mengantar Mihashi ke sekolah.
Benar-benar orang yang tidak bertanggung jawab.
Dengan senyuman di wajahnya, menyodorkan kertas itu kepada Chiharu yang terlihat seperti orang yang baru saja bangun tidur.
“Ini.”
“Hm?”
Kertas itu sangat penuh dengan warna dan sepertinya merupakan sebuah undangan.
Perlahan, Chiharu membaca judul kertas itu..
“Undangan festival perayaan ulang tahun sekolah yang ke- 57...?”
“Iya, iya, Bi! Sekolahku akan mengadakan festival bulan Februari ini untuk memperingati hari ulang tahun sekolah yang ke-57!”
 Kata Mihashi girang.
Chiharu meletakkan kertas itu di atas meja.
“Lalu...?”
Ia sama sekali tidak menunjukkan rasa tertarik sedikitpun.
Mendengar reaksi dari Chiharu, Mihashi terlihat agak kesal, kemudian ia mendekati Chharu dan mengambil kertas itu.
“Baca yang ini! Ini!”
Ia berkata sambil menunjukkan kertas itu lagi di hadapan Chiharu dan menunjuk bagian yang harus ia baca.
“Murid-murid akan melakukan pertunjukkan untuk memeriahkan acara. Dan di harapkan para orang tua bisa hadir dan--“
“Nah, itu!!?
“!!”
Chiharu tertegun ketika Mihashi tiba-tiba berteriak.
Tubuhnya sedikit mundur ke belakang.
“ ‘Nah itu’...Apa maksudmu...?”
Chiharu bertanya sambil menyipitkan sebelah matanya.
“Uh...Bibi ini tidak peka, ya...?”
Mihashi membuat wajah kesal dan membuang muka sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Katakan saja apa yang kau inginkan, dasar bocah!”
Kata Chiharu sambil mengacungkan tinjunya ke atas.
Mihashi terdiam di tempatnya selama beberapa saat, kemudian berbalik, menoleh ke arah Chiharu.
“Aku ingin datang denganmu.”
“................Ha?!”
“Aku ingin datang denganmu!”
Ekspresi yang tergambar di wajah Mihashi serius dan yakin.
Chiharu yang masih tidak tahu harus mengatakan apa, menghela nafas pendek kemudian merebut kertas itu dari tangan Mihashi.
“Dengar, yang tertulis di sini adalah para orang tua. Sedangkan aku bukan orang tuamu. Kenapa aku harus datang bersamamu?”
Benar.
Ia hanyalah Bibi Chiharu.
Dan ia tidak akan pernah menjadi orang tua bagi Mihashi sampai kapanpun.
“Eh...Tapi aku ingin datang bersamamu...”
Mihashi berkata dengan nada kecewa sambil menundukkan kepalanya.
“Karena itu aku bilang...Aku bukanlah orang tuamu atau apapun itu. Lagipula, sejak awal aku tidak berminat dengan acara seperti ini. Kau tahu’kan aku benci tempat ramai??”
Chiharu berkata sambil menopang dagunya.
“...............Tapi aku ingin datang bersamamu...”
“....................................”
Ia hanya terdiam memperhatikan Mihashi yang terlihat sangat kecewa.
Perlahan, ia mengangkat kepalanya, kemudian menoleh ke arah jendela dan memperhatikan langit yang berwarna biru.
 “Aku ingin datang bersamamu...”
Mihashi kembali berkata dengan suara pelan.
Sepertinya, tekad Mihashi untuk datang ke festival itu bersama Chiharu sudah bulat.
Chiharu kembali menoleh ke arah Mihashi.
Kenapa anak itu sangat ingin datang bersama dengannya?
Padahal, dia bukan keluarga atau siapa-siapanya...
Ia hanya orang biasa, yang disuruh untuk menjaga dan merawatnya.
Kenapa ia ingin datang ke acara yang sangat penting itu dengannya?
Perlahan, ia berpikir mungkin akan lebih baik kalau Chiaki yang pergi bersamanya.
Tapi sudah pasti Chiaki akan menolak karena ia sudah bertekad untuk menjauhkan diri dari putrinya tersebut.
Meskipun Chiharu memberitahunya kalau Mihashi sudah sedikit berubah dan tidak pernah bersikap aneh seperti dulu lagi, Chiaki pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya dan tidak mungkin bisa datang.
Ia selalu saja jadi orang yang sangat sibuk.
Chiharu menghela nafas panjang sambil memejamkan mata kemudian membuka matanya lagi dengan wajah sebal.
 “Hah...sekarang, cepat katakan padaku, alasan kenapa kau sangat ingin datang bersamaku?”
Dia tidak mungkin mengatakan sesuatu seperti ‘Karena aku ingin menghabiskan waktu bersama Bibi Chiharu yang sangat aku sayangi’kan??
Ia berpikiran seperti itu sambil menunggu jawaban dari Mihashi.
“Eh...Soal itu aku tidak tahu...”
Jawab Mihashi ragu sambil memainkan jarinya.
“Ah...Kalau soal itu saja kau tidak tahu...Bagaimana aku yakin kalau aku tidak akan membuang waktuku percuma saat datang ke acara itu?”
Chiharu yang mulai berpikir ‘Tidak apa-apa kalau hanya datang dan menemaninya’, tiba-tiba menjadi ragu kembali karena jawaban Mihashi yang terdengar tidak jelas.
Motivasinya untuk pergi hilang seketika seperti tertiup angin musim semi yang menggantikan musim dingin yang akan segera berakhir.
Bulan ini adalah bulan terakhir di musim dingin.
Gadis berambut coklat pendek itu kembali berbicara dengan suara kecil,
“Aku juga tidak tahu...Hanya saja aku...”
Mihashi menghentikan ucapannya.
Kemudian ia mengangkat wajahnya dengan wajah penuh harapan.
“Hanya saja aku ingin datang bersamamu...”
Melihat itu, Chiharu tertegun.
Mata bulat Mihashi terlihat bersinar di matanya.
Mihasi melanjutkan perkataannya,
“Sebenarnya aku ingin datang bersama papa...”
Mendengar itu, Chiharu tertegun.
“[‘Papa’...? Apa dia--].”
Tiap kali membicarakan Chiaki, Mihashi pasti akan bersikap aneh seperti saat itu.
Meskipun akhir-akhir ini ia tidak pernah berteriak histeris lagi, tiap kali kata ‘Papa’ keluar dari mulut Mihashi, itu selalu membuat Chiharu merasa khawatir dan was-was kalau Mihashi akan kembali bersikap seperti orang tidak waras.
Tapi sepertinya ia berpikiran terlalu jauh.
“Ah, tapi papa pasti sedang sibuk...Makanya aku ingin datang bersama bibi...Bisa’kan...? Aku ingin kau merekamku! Kemudian menunjukkannya pada papa!”
Ia yang sekarang terlihat jauh lebih bahagia.
Mendengar perkataan Mihashi, Chiharu terdiam sesaat.
“[Jadi begitu...? Dia ingin aku datang supaya bisa memperlihatkan pertunjukkannya pada Chiaki...?].”
“Dulu papa pernah berjanji padaku katanya kalau ada festival sekolah dan aku akan tampil di atas panggung, dia akan datang kemudian melihatku lalu berteriak memanggil namaku dan bertepuk tangan untukku!! Ah, lalu--“
Perkataan Mihashi itu terdengar kabur di telinga Chiharu.
Tak satupun kata yang ia tangkap, tak peduli apakah ia terus memperhatikan Mihashi yang terus saja berbicara tentang ayahnya dan festival dengan riangnya.
Ia hanya tersenyum dan sesekali mengangguk seolah menanggapi semua cerita Mihashi.
Sejak awal ia tidak tertarik untuk datang ke festival itu.
Tapi...
“Kata papa, ia ingin mendengar aku bernyanyi di atas pa--“
“Baik, baik, aku paham! Yang perlu aku lakukan hanya datang, menemanimu dan merekammu? Itu saja? Tidak lebih??”
Sekali-kali melakukan sesuatu demi laki-laki itu...
Sepertinya bukan hal yang buruk.
Mihashi terdiam sesaat, kemudian tersenyum lebar.
“Iya!”
Chiharu menggaruk belakang kepalanya dengan kasar.
“Haah...Baiklah...Kurasa kalau hanya itu tidak masalah. Aku akan datang bersamamu ke sana. Nah, apa kau puas sekarang?”
Jawab Chiharu menyetujui meskipun nada bicaranya tetap terdengar tidak suka.
“Ah, benarkah!! Bibi akan datang bersamaku!?”
Mihashi berteriak dengan nada riang dan wajah berbunga-bunga.
“Iya, iya. Kau melakukan ini demi ayahmu’kan? Sekali-kali tidak apalah membuat laki-laki tidak berguna itu senang.”
Kata Chiharu tanpa melihat ke arah Mihashi.
Tentu saja.
Apa yang akan dilakukan oleh Mihashi, pasti semua itu demi Chiaki.
Dan Ia yakin, Chiaki juga pasti akan senang bisa melihat pertunjukkan Mihashi meskipun hanya dari kaset rekaman, karena sudah sangat lama ia tidak melihat putrinya tersebut.
Ini pasti akan jadi hadiah terbaik untuk Chiaki.
“!!”
Chiharu dikejutkan oleh pikirannya sendiri.
‘Hadiah terbaik untuk Chiaki’
Tanpa ia sadari, pikirannya tertuju ke masa lalunya.
Dulu ia sama sekali tidak pernah peduli pada Chiaki apalagi peduli untuk memberikan hadiah pada ulang tahunnya.
Kebalikannya, Chiaki selalu memberikan hadiah untuk Chiharu meskipun pada akhirnya selalu tidak ia terima atau justru dibuang olehnya.
Ia selalu berpikir bahwa Chiaki adalah ‘orang jahat’nya.
Sekarang ia baru saja menyadari, bahwa dialah ‘orang jahat’nya.
Chiaki selalu peduli padanya.
Tapi ia sendiri yang selalu bersikap tidak peduli.
Karena itu perlahan-lahan Chiaki menjauhkan diri darinya.
Dan sejak saat itu, Chiharu selalu beranggapan bahwa Chiaki tidak mempedulikannya.
“....................[Mungkin ini adalah hadiah pertamaku untuknya...].”
“Baiklah, jadi kapan acaranya di mulai?”
Tanya Chiharu.
“Minggu depan, jam 08.00!!”
Jawab Mihashi dengan girang.
“Baiklah, aku akan sangat menantikan hari itu.”
Chiharu berkata sambil sedikit tersenyum dan mengusap kepala Mihashi.
“Hm!”
Mihashi menggangguk dengan senangnya kemudian berlari ke kamarnya sambil bersenandung.
Ia yang sekarang benar-benar terlihat jauh lebih bahagia.

‘Karena aku ingin menghabiskan waktu bersama Bibi Chiharu yang sangat aku sayangi’

“!!”
Ketika pikiran itu kembali terbayang, Chiharu tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum, bahkan hampir saja ia tertawa.
“Tentu saja. Mana mungkin ia mengajakku karena aku atau semacamnya. Yah...Ia selalu berteriak dengan suaranya yang berisik itu ‘Aku sayang Bibi Chiharu!’, sampai-sampai aku selalu pusing di buatnya.”
“............................”
“Tapi...Yah...Ia melakukan semua itu untuk Chiaki...Aku paham itu...Karena sampai kapanpun, aku adalah ‘Bibi Chiharu ‘ untuknya.”
Chiharu berkata dengan suara pelan kemudian menopang dagu sambil sedikit tersenyum memperhatikan arah ke mana Mihashi pergi.
***-***
“Ah, Chiharu. Sudah lama kita tidak bertemu sejak saat itu.”
Dengan senyuman di wajahnya, Chiaki yang duduk di hadapan Chiharu menyapanya seperti biasa.
Kemejanya masih rapi.
Sepertinya baru saja pulang dari kantor.
“Ya, sudah agak lama.”
Jawab Chiharu dengan suara pelan tanpa senyuman di wajahnya, sambil mengaduk secangkir kopi di depannya.
Sebenarnya, daripada harus bertemu di cafe seperti ini, dan minum kopi, Chiharu lebih memilih tempat di mana ia bisa minum-minuman keras,tapi karena Chiaki bukan orang yang suka minum-minuman yang tidak penting seperti itu, ia memberi saran ‘Ah, mau bertemu?? Bagaimana kalau di cafe dekat sekolah Mihashi?? Nanti kau bisa langsung menjemputnya’.
Yah, kira-kira seperti itu dan akhirnya, di sinilah mereka sekarang.
Sebuah cafe elit yang hanya bisa didatangi oleh orang-orang dengan kantong yang sangat tebal, bahkan mungkin harus sangat tebal karena harga di sini memang saaaangaaaaaaat maaaaaaahaaaaal!!!!!
Dan orang seperti Chiharu sejak awal memang tidak cocok dengan tempat semahal ini, dan akhirnya ia selalu menjadi pusat orang perhatian orang-orang di dalamnya.
“Nah, jadi...”
Chiaki memulai pembicaraan.
“Apa yang ingin kau bicarakan? Apa ini tentang Mihashi lagi?”
Langsung ke topik.
Chiharu mengangguk pelan.
“Hm...”
“Ada apa dengan Mihashi? Apa dia masih terus berteriak memanggilku?”
Nada bicara Chiaki terdengar khawatir.
Chiharu dengan cepat segera menjelaskan,
“Bukan, bukan begitu. Kalau tentang anak itu, jutsru kebalikannya yang terjadi.”
“Benarkah?”
“Iya, dia sudah tidak pernah berteriak memanggil-manggilmu lagi. Ia sudah hidup dengan ‘normal’ seperti yang kau inginkan selama ini.”
 Kata Chiharu sambil tersenyum kecil.
Mendengar itu, Chiaki hanya bisa bernafas lega.
“Begitukah...? Syukurlah...Akhirnya Mihashi tidak membuat dirinya sendiri maupun dirimu menderita lagi...Tapi...”
Senyuman di wajahnya tiba-tiba menghilang berganti dengan ekspresi yang seolah menggambarkan rasa putus asa.
“.............Ketika ia berteriak memanggil-manggil diriku, aku selalu bisa merasakan perasaan cinta dari Mihashi. Tapi, ketika sekarang ia sudah tidak lagi ingin bertemu denganku...Apa itu artinya ia mulai melupakanku, ya...?”
“.........................Tidak.”
“He...?”
Perkataan Chiharu yang singkat membuat Chiaki agak terkejut.
“Ia tidak berteriak-teriak seperti orang tidak waras lagi itu...Bukan berarti dia telah melupakanmu. Justru sebaliknya. Kurasa, ia semakin sayang padamu.”
“Menurutmu begitu...?”
Chiharu mengangguk pelan kemudian meminum kopinya.
“Begitu.”
Ia tidak menceritakan kejadian saat hari hujan itu [terutama ketika ia menampar Mihashi] pada Chiaki.
Entah kenapa, tapi ia tidak ingin menceritakannya saja dan memutuskan untuk diam.
“Anak itu, dia sudah sadar, kalau apapun yang terjadi, kau tidak akan pernah meninggalkannya, kau tidak akan melupakannya dan akan selalu berada di sisinya. Apapun yang terjadi, kau akan selalu menyayanginya. Ia paham itu. Makanya, perlahan-lahan dia bisa bersikap ‘normal’ meskipun kau tidak tepat berada di sisinya.”
“.........................”
“Sewaktu Satone-san meninggal, kau terus memberitahu Mihashi bahwa ibunya telah meninggal dan tidak akan kembali lagi padanya. Kurasa itu hal yang salah. Sama seperti waktu aku memberitahunya bahwa kau tidak akan kembali lagi padanya dan telah membuangmu. Itu akan membuatnya semakin merasa ditinggalkan dan...Kurasa ia akan merasa sendirian...”
Chiharu berkata sambil melipat kedua tangannya.
“Jadi, maksudmu...Yang harus kita lakukan adalah membuatnya percaya kalau apapun yang terjadi, ‘orang yang telah meninggalkannya’ itu, akan terus ada di sisinya dan menjaganya? Ternyata seperti itu, ya...?”
 Kata Chiaki sambil sedikit tersenyum.
“Mungkin. Aku bukan orang yang cocok untuk membicarakan masalah orangtua dan anak seperti ini. Tapi, aku yakin kalau dia tidak melupakanmu. Hey, coba kau lihat ini.”
Sambil berkata seperti itu, Chiharu membuka tasnya kemudian mengambil sesuatu dari dalamnya.
Chiaki sedikit mengintip.
“Apa yang kau lakukan?”
“Nah, ini dia. Coba kau lihat ini.”
 Kata Chiharu sambil menyodorkan sebuah kertas.
“Undangan festival perayaan ulang tahun sekolah yang ke-57...?”
“Iya, itu dari sekolah anak itu. Dan orang tua diharapkan untuk hadir.”
Cerita Chiharu meskipun sebenarnya Chiaki bisa membacanya sendiri di kertas undangan itu.
“............Orang tua...Maksudmu...Kau ingin aku hadir?”
Tanya Chiaki memastikan.
“Bukan hanya aku yang ingin kau hadir. Anak itu juga sangat mengharapkan kehadiranmu. Ia sempat bercerita bla bla bla, bahwa ia sangat ingin datang bersamamu, lalu bla bla bla, bahwa ia ingin kau melihatnya tampil di atas panggung, bla bla bla, memakai kostum yang imut dan manis atau apapun itulah...”
Chiharu berkata sambil menopang dagu dan mengaduk-aduk kopinya.
“.....................”
Chiaki hanya terdiam sambil memandangi cangkir kopi di hadapannya.
Chiharu yang menatapnya langsung tahu dan berpikir ‘Ah, dia pasti sedang sangat sibuk’.
Karena jika hanya datang sekali saja, Chiharu rasa itu tidak akan membuat ketergantungan Mihashi terhadap Chiaki kembali sehingga ia kembali bersikap histeris.
Ekspresi di wajahnya itu, sudah pasti ia tidak akan bisa datang apapun yang terjadi.
“Haaaah...”
Chiharu akhirnya menghela nafas panjang.
“Kalau masalah kau tidak bisa datang, tidak usah khawatir. Anak itu sudah tahu tentang kesibukanmu. Jangankan dia, akupun juga paham tentang kesibukanmu. Dia memintaku untuk merekam dirinya, hi hi.”
Tawa Chiharu.
“Merekam pertunjukannya?”
“Iya, supaya kau bisa menontonnya. Benar-benar anak yang sayang pada orang tuanya.”
“Ah...Jadi begitu, ya...? Mihashi masih ingin aku melihat pertunjukannya...Ia melakukan itu untukku?”
Chiaki bertanya, dengan senyuman lega di wajahnya.
“Mmhm...Itu inisiatifnya sendiri. Kau harus bangga padanya.”
 Kata Chiharu sambil tersenyum ke arah kakaknya itu.
“Tentu saja...Aku sudah tidak sabar saat aku bisa melihat hasil rekaman itu.”
“Tunggu saja tanggal mainnya. Akan kutunjukkan keahlianku dalam fotografi.”
Chiharu mengacungkan ibu jarinya.
“Iya.”
Chiaki membalasnya dengan sebuah senyuman.
Merasa bahwa tugasnya sudah selesai, Chiharu bangkit berdiri.
“Baiklah. Urusanku di sini sudah selesai. Kalau begitu, aku duluan, Maaf sudah mengganggumu, untuk yang kedua kalinya.”
Chiharu berkata sambil sedikit berbisik pada bagian ‘Yang kedua kalinya’.
“Tidak masalah. Aku juga sedang istirahat makan siang.”
Jawab Chiaki sambil menundukkan kepalanya.
Chiharu menghela nafas pendek, kemudian mengambil undangan itu dan memasukkannya lagi ke dalam tasnya.
“Kalau begitu sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
***-***
“Hmmm...Aku letakkan di mana, ya...?”
Malamnya, Chiharu membongkar isi lemari yang terletak di ruang tamu.
Ruangan itu terlihat seperti tempat sampah sekarang.
Mihashi yang mendengar suara berisik, bangkit dari tempat tidurnya.
Kemudian sambil membawa bantal dan dengan mata setengah terbuka, ia menuju ke ruang tamu.
“Ada apa, Bi...? Kenapa berisik seka--Aduuh!!”
Mihashi berteriak kesakitan ketika tidak sengaja menabrak dinding.
Chiharu yang kaget karena Mihashi tiba-tiba datang, langsung berteriak ke arahnya,
“Apa yang kau lakukan di sini!? Aku pikir kau sudah tidur! Dan kenapa kau bisa sampai nabrak dinding!!?”
Sama sekali tidak terdengar rasa peduli dalam nada bicaranya meskipun seorang anak kecil yang tidak berdosa baru saja menabrak dinding dengan keras.
“Huaaaamm...Tadinya aku sudah tidur...Tapi, aku mendengar suara berisik dari ruang tamu. Aku pikir itu monster atau dinosaurus, makanya aku bangun untuk mengecek...”
 Jawabnya sambil mengusap-usap matanya yang masih mengantuk.
“Monster atau dinosaurus...Ukh...Imajinasimu terlalu tinggi, bocah.”
“Iya’kan? Sejak dulu, aku memang paling jago kalau soal imajinasi! Aku selalu membayangkan papa memakai kostum kucing yang lucu itu...~ Hello Kitty~~”
Kata Mihashi sambil tersenyum bahagia.
“[Aku jadi kasihan padamu, Chiaki...Putrimu sendiri yang membayangkan kau memakai kostum kucing itu...Aku sendiri tidak bisa membayangkannya. Imajinasi anak itu benar-benar terlalu kuat...].”
Batin Chiharu dengan ekspresi wajah jijik.
“Ah, lalu...”
Mihashi kembali bicara.
“Aku juga selalu membayangkan Bibi Chiharu di dalam kostum wortel itu!”
“Jangan bayangkan aku dalam kostum seperti itu!!!!”
Bentaknya dengan suara keras.
Chiharu menghela nafasnya kemudian melanjutkan mencari barang yang dari tadi berusaha ia temukan.
“Di mana, ya...”
Melihat Chiharu yang sibuk sendiri, Mihashi berjalan mendekatinya.
“Apa yang sedang kau cari?”
Tanyanya.
“Kau diam saja.”
Katanya tanpa menoleh ke arah anak itu.
“Kau orang yang tidak ramah.”
Gumam Mihashi pelan tapi Chiharu tetap bisa mendengar suaranya.
“Aku dengar apa yang kau katakan. Memang kau baru tahu kalau aku tidak ramah?”
“Aku tahu.”
Mihashi menjawab sambil menundukkan kepalanya.
Kemudian, ia menoleh ke arah Chiharu dan tersenyum.
“Tapi, meskipun begitu, aku tahu kau orang yang baik.”
Kata-kata itu membuat Chiharu tertegun.
Perlahan, ia menurunkan pandangannya melihat ke arah anak itu yang sedang tersenyum bahagia.
Berapa orang yang bisa mengatakan kalau dia adalah orang yang baik?
Tidak ada.
Jawabannya tidak ada.
Sejak dulu, dia selalu di kenal oleh orang-orang di sekitarnya sebagai wanita yang penuh masalah.
Meskipun begitu...
Anak yang sekarang ini berada di sampingnya...
Dengan senyuman di wajahnya, mengatakan bahwa dia adalah orang yang baik.
Entah kenapa, itu membuat Chiharu merasa aneh.
Jadi, ia tidak mengatakan apapun ataupun hanya sekedar membalas senyumannya.
Ia kembali mengalahkan pandangannya ke arah lemari itu dan kembali mengeluarkan barang-barang yang ada di dalamnya.
Mihashi hanya memperhatikan bibinya sambil tersenyum dan berdiri di sampingnya, melihat benda-benda apa saja yang ada di dalam lemari itu.
Tiba-tiba--
“Ah, ketemu!”
 Chiharu langsung berteriak ketika ia melihat barang yang ia cari dari tadi berada di dalam salah satu kardus yang ia cari.
Dengan perlahan, ia mengangkat kardus itu dan berjalan ke arah meja yang terletak di tengah ruangan, diikuti oleh Mihashi yang masih dipenuhi dengan rasa penasaran ‘Apa yang ada di dalam kardus itu’.
Perlahan, ia meletakkan kardus itu di atas meja sambil tersenyum kecil.
Lalu membersihkan debu yang menutupi kardus itu.
Debunya banyak sekali.
Sepertinya sudah sangat lama sejak kardus itu di simpan di dalam sana.
Ketika Chiharu mengusap kardus itu untuk menyingkirkan debunya, Mihashi yang berada di dekatnya langsung bersin.
“Ha--Hatsyii!!”
Melihat itu, Chiharu tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa.
“Ha ha ha, hati-hati bocah. Sepertinya ada orang yang sedang membicarakanmu.”
“Bibi jangan bercanda.”
Kata Mihashi sambil menutup hidungnya.
Chiharu menggeleng pelan kemudian melepas isolasi dan membuka kardus itu.
Benda-benda yang berada di dalamnya akhirnya terlihat.
Mihashi berjalan maju dan melihat ke dalam kardus.
“Benda-benda apa ini...? Semuanya berdebu...Aku tidak suka debu.”
 Katanya sambil membuat wajah kesal.
“Ha! Kenapa kau tidak suka dengan debu?”
Chiharu bertanya dengan nada bicara sedikit merendahkan.
“Kata papa itu tidak sehat. Lagipula, tidak ada orang yang menyukai tempat penuh debu’kan?”
Ia menoleh ke arah Chiharu dengan tatapan yang polos.
“Yah...Ucapanmu itu ada benarnya juga.”
Chiharu berkata sambil terlihat berpikir.
Kemudian ia mengeluarkan barang-barang yang selama ini tersimpan di dalam kardus itu.
Ada beberapa buku yang sepertinya cukup tebal.
Bukan ensiklopedia atau kamus atau mungkin buku-buku yang biasanya dibaca oleh orang-orang berkaca mata tebal.
Di sampul bukunya yang berwarna coklat terdapat sebuah tulisan berwarna kuning keemasan.
Ketertarikan Mihashi tertuju pada buku tersebut.
Ia lalu mengambil buku itu dari dalam kardus tanpa sepengetahuan Chiharu.
“Mat-Su-Yu-Ki--“
Eja Mihashi sambil membaca perlahan tulisan yang tertera di sampul buku itu.
Bacanya adalah ‘Matsuyuki Family Album’.
“Matsuyuki...? Bukannya itu namaku?”
Dengan segera, ia mengambil buku itu, kemudian duduk di lantai.
Ia meletakkan buku yang cukup tebal itu di atas pangkuannya kemudian mulai membuka halaman pertama.
Di halaman berwarna putih itu tertulis,
‘Semua kenangan yang ada di dalam buku ini adalah kenangan keluarga kita. Suatu saat nanti, kalian pasti akan memilih jalan masing-masing dan harus pergi meninggalkan rumah. Percayalah pada jalan yang kalian masing-masing ambil. Kalian akan pergi dalam sebuah perjalanan yang sangat panjang seorang diri. Temukan arti dari kebaikan, kesedihan yang kalian alami, cinta dan kebencinan yang kalian rasakan, kemudian arti dari hidup kalian, arti perpisahan kita.’
‘Dalam perjalananmu itu, kau tidak akan melihat kami sepanjang waktu. Karena itu, tiap kali kau merindukan kami di sisimu, bukalah buku ini dan ingatlah lagi kenangan yang ada di dalamnya. Kami harap itu bisa menjadi kekuatan baru untuk kalian.’
‘Kemudian, ketika kalian sudah menemukan arti dari perjalanan itu, isilah buku ini dengan kenangan yang baru bersama dengan orang-orang yang kalian temui sepanjang perjalanan, yang nantinya akan menjadi bagian dari keluarga kita. Terakhir, kembalilah ke rumah sambil tersenyum.’
‘ Lalu, ceritakan pada kami hal-hal indah apa saja yang telah kalian lalui bersama melalui buku ini’.

Untuk Keluarga Matsuyuki di Masa Depan

Mata Mihashi menjadi semakin berbinar-binar ketika membaca tulisan ‘Untuk Keluarga Matsuyuki di Masa Depan’.
Dengan jantung berdebar-debar, dia membuka halaman selanjutnya.
Di halaman itu, terdapat beberapa gambar yang sepertinya adalah sebuah foto.
Ada seorang pria dan wanita.
Latar belakangnya...?
Sepertinya sebuah taman kalau di lihat di bagian belakangnya ada ayunan.
Keduanya terlihat masih muda.
Di depannya, ada seorang anak laki-laki berambut hitam yang mengenakan kemeja warna putih sedang bermain di kotak pasir dengan riangnya.
Sambil mengangkat sekop di tangannya, ia seolah berteriak ‘Hore, istana pasirku sudah selesai!’.
Mihashi tidak bisa memperhatikan memandang foto itu.
Perlahan, tangannya menyentuh wajah anak laki-laki yang berada di foto itu.
Meskipun foto ini diambil bertahun-tahun yang lalu, bahkan mungkin jauh sebelum ia lahir, Tapi ia jelas tahu siapa anak laki-laki tersebut.
Dengan suara pelan, ia berkata,
“Papa...”
Sambil terus memandangi foto itu dengan lekat.
“Papa...”
“Papa...Aku ingin bertemu...”
 Hanya ada satu hal yang ada dipikiran Mihashi saat ini.
Yaitu, entah kenapa ia sangat ingin bertemu dengan ayahnya.
Tiap kali ia melihat foto ayahnya di dalam album itu, keinginannya semakin meningkat dan terus meningkat.
“Papa...Papa...Aku rindu papa...Aku ingin bertemu...”
............................
AKU INGIN BERTEMU DENGAN PAPA!!!!
“!!!!!”
Chiharu yang sedang sibuk mengeluarkan benda-benda yang terletak di dalam kardus itu, dikejutkan oleh suara Mihashi yang tiba-tiba berteriak.
Perlahan, ia langsung mendekati anak itu.
“Mihashi-chan?! Ada ap--“
Kata-katanya terhenti begitu ia melihat sesuatu yang dipegang Mihashi dengan erat.
 “............[Tunggu...Sepertinya aku kenal buku itu--]. Ah!! Itu’kan--“
Chiharu tertegun.
Itu adalah...
“Album keluarga kami...!”
Benda yang sangat ia benci karena dipenuhi kenangan bersama dengan keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya.
Sambil berkata seperti itu, ia berusaha mengambil buku itu dari tangan Mihashi.
“Lepaskan buku ini!! Lancang sekali kau membuka barang milikku tanpa ijinku!!!”
Bentak Chiharu memerintah Mihashi untuk melepaskan buku itu.
Tapi, Mihashi justru memegang buku itu semakin erat.
“Tidak akan!! Aku tidak akan melepaskan papa!!!! TIDAK!!!!
“!!! [Dia--Mulai bertingkah aneh lagi].”
 Pikir Chiharu sambil melihat ke arah Mihashi yang terlihat marah ketika ia ingin mengambil buku itu darinya.
Perkiraannya salah.
“Mihashi-chan, kembalikan buku ini padaku! Kau anak yang baik’kan? Jadi menurutlah padaku!!”
Chiharu berkata sambil menarik buku itu dengan sekuat tenaga.
“Aku tidak akan menurut pada orang yang berusaha menjauhkan aku dari papa!!!!”
Ia pikir gadis itu sudah sembuh dari ketergantungannya terhadap Chiaki.
“Mihashi-chan!! Lepas!!”
“Tidak akan!! Aku ingin melihat papa!!!”
Ternyata tidak.
“Ayahmu akan selalu melihatmu, meskipun kau tidak bisa melihatnya di sini!!”
“Aku tahu itu!! Aku tahu! Tapi aku tetap saja ingin melihat papa yang berada di hadapanku!!! Aku ingin melihat wajahnya tersenyum ke arahku!!”
Gadis itu masih belum bisa hidup tanpa Chiaki di sisinya.
Tapi--
“[Kenapa buku itu ada di sini!!?].”
Bukan masalah itu yang ada di pikirannya sekarang.
“[Itu adalah album keluarga milik keluarga kami. Itu buku yang diberikan orang tuaku masing-masing kepadaku dan Chiaki. Tapi...Ketika aku pergi dan meninggalkan rumah, aku jelas-jelas tidak membawa buku itu! Jadi bagaimana buku itu bisa ada di sini!!?].”
“Aku ingin melihat papa!! Biarkan aku melihat buku ini!!”
 Teriak Mihashi.
“..........[Tidak...Aku tidak ingin melihat isinya...Tidak!!] Tidak!! Cepat lepaskan!!”
Mereka berdua terus saling menarik sampai akhirnya--
“Kau jahat!! Kau berusaha memisahkan aku dari papa!!!! KAU JAHAT!!!”
Sambil berteriak seperti itu, Mihashi mendorong tubuh Chiharu dengan keras!
“Kyaaah!!” Teriaknya ketika tubuhnya terjatuh ke belakang kemudian menabrak dinding.
Album foto itupun terlempar dan terbang di atas udara sampai akhirnya terjatuh ke lantai.
Beberapa fotonya ada yang jatuh dan berserakan di lantai.
Dengan cepat, Mihashi segera mengambil salah satu foto yang tergeletak di atas lantai itu kemudian melihat wajah ayahnya yang ada di sana.
Ia mengusap foto itu perlahan.
“Papa...”
“...................”
Sambil mengusap bagian belakang kepalanya yang sakit akibat terbentur dinding, Chiharu berusaha bangkit berdiri.
Ketika tangannya berusaha menopang tubuhnya untuk bangkit, tangannya tidak sengaja menyentuh sesuatu.
“......Ini...”
Chiharu menyingkirkan tangannya perlahan dari benda itu yang ternyata adalah selembar foto.
“.................................”
Tanpa mengambil foto tersebut, ia memperhatikan gambar di dalam foto yang tergeletak di dekatnya itu dari arah kiri ke kanan.
Di foto tersebut, terdapat seorang pria dan wanita sedang membuat tanda ‘V’ dengan jarinya. Di depannya, seorang anak laki-laki tengah berpose sama seperti kedua orang di belakang tapi dengan kedua tangan.
“..........................................”
Pandangan Chiharu kini berhenti tepat di gambar seorang gadis kecil berambut hitam sepundak.
Ia tidak membuat pose yang sama seperti ketiga orang lain di dalam gambar melainkan hanya melipat kedua tangan di depan dada sambil memasang wajah jutek yang super dingin.

“Nah, nah, semuanya! Ayo, kita berfoto.”
“Eh, tunggu dulu, Papa!”
“Ada apa, Chiaki?”
“Iya, ada apa? Kau tidak ingin berfoto? Bukannya kau suka sekali di foto?”
“Iya, aku suka. Tapi...Aku tidak tahu harus membuat pose apa...”
“.........................”
“Ha ha ha, kami pikir ada apa! Ya sudah, Mama ada ide tidak??”
“Hmmm...Ah! Mama punya ide bagus. Bagaimana kalau kita membuat huruf ‘V’ dengan jari kita sambil berkata ‘Peace’!!”
“Uwaaah!! Chiaki mau!! Ayo, kita berfoto! ..............Ah, Chi-chan!! Ayo, sini!”
“..........................”
“Uuh...Jangan hanya diam saja! Ayo!”
“Tidak! Aku tidak mau berfoto dengan kalian!! Kalau mau foto, foto saja sendiri!!”
“Uh...Papa, Mama, Chi-chan bilang dia tidak mau berfoto.”
“.......Y--Ya sudah, ayo kita foto bertiga saja.”
“...............Tch!”
“.....................Tidak mau!”
“..........?!”
“Chiaki mau foto berempat! Kalau Chi-chan tidak mau...Chiaki juga tidak mau!!”
“........................”
“Chi-chan! Ayo, kita berfoto!!”

“........................”
Kenangan yang terjadi pada saat itu, kembali terbayang di dalam pikiran Chiharu.
Meskipun ia sudah menolak untuk ikut berfoto dengan mereka, dengan kedua orang tua yang selalu saja memanjakan Chiaki karena ia lebih baik dalam segala hal. dengan kakak yang selalu membuatnya merasa iri, namun Chiaki terus saja memaksanya untuk ikut berfoto.
Ia masih ingat dengan jelas bagaimana senyuman di wajahnya yang ia buat pada hari itu, bagaimana saat Chiaki menggandeng tangannya, bagaimana saat ia memaksanya untuk membuat huruf ‘V’ namun Chiharu menolak dan menendang kaki Chiaki dengan keras.
Semua kejadian itu terekam dengan jelas di dalam ingatan Chiharu dan sekarang, seperti sebuah film, kejadian di masa lalu itu seolah berputar kembali dengan sendirinya.
“............................”
Ia tidak bisa berkata apa-apa, ketika ia tidak sengaja melihat ke beberapa foto lain yang juga tergeletak di dekatnya.
“................................”
Ada foto wajah Chiaki yang terkena lemparan es krim.

“Nah, ini untuk Chiaki.”
“Waaah, terima kasih, Papa! Rasa vanilla kesukaanku!!”
“........Chiharu, ini untukmu.”
“......................”
“Tidak ada yang ingin kau katakan?”
“.....Kau ingin aku berkata apa...?”
“.........Hm! Dasar anak tidak tahu sopan santun...”
“..............Aku dengar itu. Meskipun kau bermaksud berkata dengan suara pelan supaya aku tidak mendengarmu, tapi aku bisa mendengarmu dengan jelas, dasar pak tua bodoh.”
“Ah, Chi-chan. Tidak baik berkata seperti itu pada papa.”
“Apa sekarang? Kau mau membelanya dengan omong kosong mu itu?”
“B--Bukan begitu. Hanya saja, apa kau tidak kasihan pada papa kalau ia sampai mendengar ucapanmu itu?”
“Oh, justru bagus kalau dia mendengarnya.”
“Chi-chan!”
“Berhenti menyebutku ‘Chi-chan’. Itu menjijikan.”
“Anak-anak, lihat kemari!”
“Ah, mama!............Chi-chan, ayo lihat ke kamera!”
“Berisik.”
“............Mama, Papa!”
“Ya?”
“............Tolong dengar apa yang akan kukatakan sekarang!...........Chi-chan bilang--‘AKU SAYANG PADA KALIAN BERDUA!!!’
.........................
..............................................
................................................................................
“A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-APAAAAAAAA!!!!???
“Ha??”
“Sekarang ‘cheeseeee’”
“Apa yang kau pikir sudah kau lakukan, dasar bodoooooooooooooooh!!!!”
“Uwaaaghuuu!! Di--Dingiiiiin!!!!”

Foto ketika mereka sedang berwisata ke kolam renang di pusat kota, foto ketika di kebun binatang, foto ketike liburan musim panas, ketika liburan musim dingin dirumah kakek dan nenek, saat natal...
Dan berbagai foto lainnya.
“........................[Kenapa...? Aku harus melihat semua ini lagi...? Kenapa aku harus mengingat semuanya lagi...?].”
Chiharu menundukkan kepala perlahan.
“[Tidak bisakah aku melupakannya saja...?].”
“[Aku tidak ingin mengingatnya lagi...].”
Semua foto di dalam album itu adalah kumpulan kenangan dari semua hal yang pernah mereka lakukan.
Saat Chiharu dan Chiaki beranjak dewasa dan sudah siap untuk menjalani hidup mereka masing-masing dan harus pergi meninggalkan rumah, kedua orang tua mereka memberikan album yang sudah mereka copy itu kepada mereka berdua.
Chiaki dengan senang hati membawa album itu.
Namun, tidak ada sedikitpun keinginan di hati Chiharu untuk membawa benda yang berisi semua hal yang tidak ingin ia ingat lagi sampai kapanpun.
Tiap kali melihat foto itu, kebenciannya terhadap Chiaki dan kedua orang tuanya selalu meningkat.
Ia membenci mereka.
Tapi jauh dibalik semua itu, ia jauh lebih membenci dirinya yang sama sekali tidak bisa berguna untuk kedua orang tua yang sudah membesarkannya.
Ia membenci semua kenangan itu.
Ia sangat membencinya.
Seandainya bisa ia ingin melupakan semua itu untuk selamanya.
Tapi di saat yang sama...
Seberapa kerasnya ia berusaha untuk melupakan itu, justru semua kenangan itu semakin jelas terbayang di pikirannya.
Dan kini, benda yang berisi semua kenangan itu kembali memunculkan semuanya dengan jelas.
Dengan perlahan, Chiharu memeluk kedua lututnya sambil menyembunyikan wajahnya.
“............[Sudah cukup...Aku tidak bisa menghadapi semua ini lagi...].”
Sementara itu, Mihashi  memunguti foto itu satu per satu dan memperhatikan wajah ayahnya yang tersenyum bahagia.
“Papa...Terlihat sangat bahagia...”
Sambil berkata seperti itu, ia mengambil sebuah foto yang terletak di dekat kakinya.
“Papa...Aku ingin bertemu--?”
Ia tertegun ketika melihat foto itu.
Di sana terdapat gambar seorang anak laki-laki yang berada di kotak pasir.
Ia kelihatan berusaha melindungi diri dari sesuatu.
Ketika ia melihat ke samping, di sana terdapat seorang anak perempuan, sedang menendang pasir ke arah anak laki-laki itu dengan wajah kesal.
Mihashi menyentuh wajah anak perempuan di dalam foto itu.
“...............Anak ini tidak bahagia.”
Kemudian ia kembali mengumpulkan beberapa foto lain.
Di dalamnya, selalu ada anak perempuan itu.
Namun, ekspresinya selalu terlihat kesal dan tidak suka.
Tak ada satupun wajahnya yang terlihat bahagia ataupun sedang tersenyum.
“Anak ini tidak tersenyum...Dia tidak bahagia...”
..............................
Mihashi terdiam sambil memperhatikan foto anak perempuan itu dengan wajah sedih.
Kenapa anak itu tidak bahagia...?
Kenapa ia tidak tersenyum...?
Ia ingin tahu itu.
“?”
Pandangan Mihashi tertuju ke arah Chiharu yang sedang terduduk di sudut ruangan.
“...................Ah!”
Tiba-tiba ia tertegun.
“Bibi...”
Apa yang sudah ia lakukan...?
Bibi Chiharu-nya terlihat sangat menyedihkan.
Mihashi berjalan ke arah Chiharu, menjatuhkan foto-foto yang ia pegang dari tadi.
Melupakan semua tentang ayahnya untuk sesaat.
Dengan lembut, ia menyentuh tangan Chiharu.
“..........Bibi...Apa aku...Sudah melakukan sesuatu yang buruk...?”
Ketika suara kecil Mihashi terdengar di dekatnya, ia tidak ingin melihat wajah anak itu.
“Tidak...Kau tidak melakukan apapun yang salah...”
Jawabnya dengan suara lemah.
“....................Bohong...Bibi bohong...Bibi marah padaku’kan...?”
 Mihashi berkata pelan.
Tangannya menggenggam tangan Chiharu semakin erat.
“Tidak...Aku tidak bo--“
“Kalau begitu kenapa kau menangis?!”

DEG

Chiharu tertegun.
Ia...Menangis...?
Dengan pelan, ia mengangkat wajahnya.
Ya.
Ia bisa merasakan air mata itu mengalir di wajahnya.
Tapi kenapa?
“Aku--“
“Maaf’kan aku, Bi!! Aku minta maaf! Aku sudah bertingkah buruk! Aku sudah merepotkan bibi lagi!! Padahal bibi bilang aku tidak boleh bersikap seperti itu lagi...Tapi, aku--Benar-benar anak yang nakal!!”
“A--“
“Aku janji tidak akan nakal lagi!! Aku tidak akan membuka album itu! Aku tidak akan melakukan hal-hal yang bibi larang!! Karena itu...Karena itu jangan menangis lagi, Bi!!!”
Mihashi menghentikan ucapannya.
Ia menundukkan kepalanya.
Air mata membasahi wajahnya, menetes ke atas lantai.
“Mihashi-chan...”
Ia melanjutkan,
“Aku sudah berbuat buruk...Tapi aku tidak ingin bibi sedih karena aku...Aku tidak ingin jadi beban untuk siapapun...Aku tidak ingin membuat papa sedih atau khawatir...”
“...........................”
“Hey...Bibi...?”
“...............?”
“.........Apa kau membenciku...?”
Chiharu tertegun ketika tiba-tiba Mihashi menanyakan hal yang tidak masuk akal seperti itu.
Ia tidak menyukai anak itu hadir di dalam kehidupannya.
Tapi kata ‘Ya, aku membencimu’ tidak bisa keluar dari mulutnya.
“Kenapa...Kau bicara seperti itu...?”
Akhirnya ia bertanya alasan Mihashi mengatakan hal itu.
Ia ingin tahu, apa yang akan dia katakan.
“....................”
Mihashi hanya terdiam.
Tak satupun kata keluar dari mulutnya.
Perlahan, ia menunduk dan mengambil sesuatu dari atas lantai.
“............Anak perempuan di foto ini bibi’kan...?”
 Katanya sambil menunjukkan foto tersebut kepada Chiharu.
Chiharu mengamati foto itu dengan seksama, kemudian mengangguk pelan.
“Iya, itu aku.”
.......................
......................................................
.......................................................................................
“.....................Apa bibi membenci papa...?”
“!?”
Chiharu dikejutkan oleh pertanyaan Mihashi berikutnya.

“.....................Apa bibi membenci papa...?”

“...................”
Untuk pertanyaan itu, jawabannya sudah pasti dan sangat jelas.
Ya.
Di tambah dengan foto-foto tersebut, menjadi bukti kebencian Chiharu terhadap Chiaki dan keluarganya sampai ia tidak ingin melihatnya lagi.
Namun, butuh waktu lama bagi Chiharu untuk menjawabnya.
“Kenapa...Kau berkata seperti itu...?”
“...........Karena bibi tidak tersenyum...”
“.........Apa...?”
Karena ia tidak tersenyum...?
“..................Karena bibi selalu terlihat tidak suka ketika berada di dekat papa. Karena bibi selalu terlihat kesal ketika berfoto bersama papa.”
“............................”
Memang benar.
Semua fotonya di dalam album itu, tak ada satupun wajahnya yang tersenyum bahagia.
“Apa karena bibi membenci papa makanya bibi membenciku...? Makanya bibi tidak tersenyum...? Bibi, tolong maaf’kan papa dan Mihashi...”
 Sambil berkata seperti itu, Mihashi berlutut dan menundukkan tubuhnya di hadapan Chiharu.
“A--[Apa yang--!!?].”
“Papa dan Mihashi sudah berbuat buruk pada bibi. Pasti sebenarnya bibi tidak ingin merawatku dan lebih memilih untuk membuangku...”
“Itu--[Itu tidak benar!!].”
Tidak.
Itu benar.
Sangat benar sampai-sampai membuat Chiharu tidak sanggup untuk mengatakan anak itu secara langsung.
Ia bukanlah tipe orang yang suka menahan perasaan hanya untuk orang lain.
Ia selalu saja mengatakan apa yang ada dipikirannya.
Ia selalu jadi orang seperti itu.
Tapi kenapa sekarang seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya?
Kenapa ia tidak bisa mengatakan semua kebenarannya?
kenapa ia jadi merasa tidak tega seperti ini?
Apa karena itu terlalu menyakitkan untuk didengar langsung oleh Mihashi?
Apa pedulinya!!?
‘Toh, aku memang tidak pernah menginginkan kehadirannya di sini.’
Ia yang dulu pasti akan berpikir seperti itu.
Tapi--
“[Aku tidak bisa mengatakannya...] Sudah, kita lupakan saja semua ini.”
Chiharu berkata tanpa melihat ke arah Mihashi sambil menghapus air matanya kemudian bangkit berdiri.
Ia berjalan melewati Mihashi yang masih terus berlutut, lalu berhenti.
“Sudah malam, cepat tidur. [Berdirilah...].”
.................................

Grep

“!?”
Chiharu tertegun ketika tiba-tiba saja ada kekuatan aneh yang menarik tubuhnya.
Ia lalu menoleh perlahan ke belakang, mendapati sesosok anak kecil berambut coklat pendek yang dikuncir twintail, kini menggenggam tangannya dengan erat.
Wajahnya tidak terlihat jelas sehingga Chiharu tidak tahu ekspresi seperti apa yang ia buat.
“.....................”
Keheningan memenuhi seluruh ruangan.
“.................B--Bibi...”
“?”
Mihashi berkata dengan suara pelan.
“Aku...Aku juga keluarga Matsuyuki’kan...? Di album itu di tulis...’Untuk keluarga Matsuyuki di masa depan’...itu berarti...Apa aku termasuk di dalamnya...?”
“..............Terserah kau mau menanggapinya seperti apa. Lebih baik kau pergi ke kamarmu dan--“
“Suatu saat nanti...”
Ketika akan kembali melangkah, Mihashi memotong perkataan Chiharu yang belum selesai dan sedikit menarik tangannya.
Tangannya sedikit gemetaran.
“................Suatu saat nanti...Apa fotoku juga akan di masukkan ke dalam album itu...?”
Ia bertanya dengan suara pelan.
Chiharu menatap anak itu sesaat kemudian melemparkan pandangan ke arah lain.
“.............Soal itu, mana aku tahu...”
Jawab Chiharu singkat.
“Bibi...”
Panggil Mihashi.
“..............Hm...”
 Tanpa melihat ke arah Mihashi, Chiharu kembali menjawab dengan singkat tanpa ada ketertarikan sedikitpun dalam nada bicaranya.
“Ketika saat itu tiba...Maukah kau tersenyum dan berfoto bersamaku...?”
“!?”
Chiharu tertegun.
“Foto bibi...Tidak ada satupun yang tersenyum...Aku ingin melihat foto bibi yang tersenyum. Bersama denganku...”
“....................”
Kenapa...?
Kenapa ia mengatakan hal seperti itu...?
Tersenyum bersamanya?
“Kenapa...?”
“.............?”
“Kenapa kau mengatakan itu...?”
Sambil berkata seperti itu, Chiharu perlahan menoleh ke arah Mihashi yang kini juga melihatnya dengan wajahnya yang sangat polos.
“.............Karena...”
Karena...
“.............[Paling-paling dia akan berkata sesuatu seperti ‘Karena aku ingin saja’. Hah! Benar-benar konyol--].”
“Karena kita adalah Keluarga Matsuyuki!”
“!!”
Dengan senyuman di wajahnya, anak itu berkata dengan riang.
Karena kita adalah Keluarga Matsuyuki...?

“Selesai.”
“Apa yang selesai, papa?”
“Chiaki, coba kau lihat ini.”
“Buku apa ini...?”
“Itu adalah buku kenangan Keluarga Matsuyuki.”
“Buku kenangan keluarga Matsuyuki? Mama, apa itu?”
“Itu adalah buku yang menyimpan kenangan keluarga kita.”
“Menyimpan kenangan...?”
“Iya, jadi sampai kapanpun, kita akan selalu ingat kalau kita adalah satu keluarga besar bahkan ketika kita tidak tinggal di satu atap yang sama, kenangan itu akan selalu hidup di dalam hati kita. Ini adalah buku yang nantinya akan berisi semua kisah-kisah dari keluarga Matsuyuki sekarang maupun di masa depan nanti.”
“Maksudnya, kalau aku seandainya punya seorang istri yang cantik dan seorang anak yang lucu...Aku bisa mengisi album ini dengan foto mereka??”
“Iya.”
“Waaah!! Asyik! Papa, papa, aku ingin melihat album-nya.”
“Nah, ini. Bukalah.”
“Waaah!! Ini aku! Ini pada saat di taman, lalu ini di pantai, saat festival kebudayaan sekolah. Ah, aku ingat ini. Ini saat aku pentas, ya?................Eh tapi...”
“.........? Ada apa, Chiaki? Apa ada yang salah?”
“...............Chi-chan tidak tersenyum...”
“...........S--Soal itu...”
“............Chi-chan.”
“.............Ada apa...?”
“Ayo, tersenyum.”
“Ha?? Apa yang tiba-tiba merasukimu? Kenapa meminta hal yang aneh dan tidak penting itu kepadaku!?”
“Karena di album ini tidak ada fotomu yang tersenyum. Aku ingin melihat foto Chi-chan yang tersenyum, setidaknya sekali saja!”
“................K--Kau ini!! Dasar aneh! Kenapa kau segitu inginnya melihatku tersenyum!!?”
“Eh--I--Itu karena--“
“Kalau tidak punya alasan yang bagus, lebih baik kau diam saja!”
“Chiharu! Jaga mulutmu!! Kau tidak ingat!? Chiaki itu ka--“
“Karena aku ingin membuat kenangan yang indah dengan semuanya.”
“!?”
“Karena aku ingin membuat kenangan yang bisa di lihat oleh anak-anakku dan juga cucu-cucuku. Aku ingin mereka melihat bagaimana bahagianya keluarga Matsuyuki di masa kita!”
“..................Ka--Kalau ingin melakukan itu, lakukan saja bersama papa dan mama. Anggap saja aku tidak ada. Beres’kan...?”
“M--Mana bisa!!? Mana bisa seperti itu!!”
“Kenapa!? Kenapa tidak bisa!? Tinggal lupakan saja aku seperti yang biasanya kalian lakukan!!”
“Chiaki! Chiharu!! Tolong hentikan!”
“Tidak bisa!! Kalau tidak ada Chi-chan tidak akan bisa!!”
“Kenapa!!?
KARENA KITA ADALAH SATU KELUARGA!! KELUARGA MATSUYUKI!!!”
“!!?”
“...........Kalau tidak ada Chi-chan...Berarti kita bukan Keluarga Matsuyuki!!”
“.......................”
“..............Karena itu...suatu saat nanti...Tersenyumlah, Chi-chan...!”

“................................Ha ha...”
“???”
AHA HA HA HA!!!!!
“!!!?”
Tiba-tiba saja, Chiharu tertawa dengan keras dan membuat Mihashi kaget.
Tangan mereka terlepas.
Mihashi yang melihat Chiharu terus tertawa merasa kebingungan dengan sikap bibinya itu.
A--Ano--Bibi Chiharu...? Bibi baik-baik saja?”
“Aha ha ha!! Bagaimana mungkin aku bisa baik-baik saja!!!? Kau ingin membuatku mati tertawa dengan kata-katamu yang tidak masuk akal itu!!? Apa itu!!? ‘Karena kita keluarga Matsuyuki’!!? Jangan bercanda denganku!! Bagaimana bisa kau mengatakan hal yang sama dengan yang si bodoh Chiaki itu katakan!!? Akh!!! Aku tidak percaya kalau aku akan mendengar omong kosong yang datang dari orang super tidak penting itu sekali lagi dalam hidupku!! Sudah hentikan!! Cukup sekali aku mendengarnya!!!”
Chiharu berteriak keras kemudian berbalik dan melipat kedua tangannya dengan eskpresi kesal.
............................
Tapi...
“[Tapi...Yang paling menyebalkan adalah... Karena hal itu bisa membuatku tersentuh untuk yang kedua kalinya...].”
Ia tersenyum kecil.
Mungkin...
“........Bibi! Bibi tersenyum!!”
“Ekh!!? Tidak! Kau salah lihat!”
Ya, mungkin...
“Bibi malu-malu~ Imutnya~~”
“I--Imut!!!? Jangan pernah mengatakan hal mengerikan itu dihadapanku lagi!!”
Suatu saat nanti...
“Ayo, kita foto, Bi!”
“Kau foto saja sendiri! Lagipula, keluargamu itu’kan ayahmu! Suruh dia yang mem-fotomu!!”
“Aha ha ha, nggak mau! Bibi’kan juga keluargaku!!”
“Sampai kapanpun, sampai dunia kiamat dan sampai matipun aku tidak sudi menjadi keluargamu!!”
“Ah, Bibi Chiharu ini tidak jujur orangnya!”
“Jangan ngomong sembarangan kau bocah! Aku ini orang paling jujur di seluruh dunia!!”
Di halaman terakhir album keluarga itu...
Chiharu akan bisa memperlihatkan senyumannya pada orang-orang di dekatnya...

“Mihashi-chan. Mihashi-chan bangun.”
“............Ng...?”
“Mihashi-chan. Ayo, bangun!”
“....Huaaah...Ada apa, Bi...?”
Sambil mengusap matanya, Mihashi yang masih mengantuk berusaha bangkit untuk duduk.
“Hm......?”
“Lihat kemari.”
Mihashi perlahan menoleh ke arah Chiharu yang sekarang sudah membawa sebuah kamera berwarna hitam di tangannya.
Menyadari bahwa Chiharu telah merekam dirinya, Mihashi langsung berteriak kaget.
“Ah, Bibi! Jangan tiba-tiba merekamku seperti itu!”
 Ia berkata sambil menutupi wajahnya karena malu.
“Eh, kenapa? Perlihatkan wajah ‘baru bangun tidur’mu yang jelek itu!”
Chiharu berkata sambil mendekatkan kameranya ke arah Mihashi yang kini menutupi wajahnya dengan bantal.
 “Kalau ingin merekamku, setidaknya, biarkan aku dandan yang cantik terlebih dahulu.”
“ ’Dandan yang cantik’...? Aku tidak yakin kalau kata-kata itu akan dikeluarkan oleh anak berumur 7 tahun. Ah, tapi aku tidak peduli karena sekarang wajah ‘baru bangun tidur’mu yang jelek itu sudah terekam oleh kameraku, mue he he XDDD.”
Chiharu berkata dengan nada bicara dan senyuman terlicik yang pernah ia buat.
“Uuh...Bibi ini apa-apaan sih...? Seperti anak kecil saja...”
 Kata Mihashi datar yang langsung membuat Chiharu serasa ditusuk oleh pedang yang mungkin sangat cocok dengan sound effectJleb’.
“Maaf, tapi aku tidak ingin dikatakan ‘seperti anak kecil’ oleh anak kecil. Lagipula, siapa yang kemarin bilang ‘Aku mau papa melihat pertunjukanku’?”
Tanyanya dengan cara bicara seperti polisi menginterogasi penjahat.
“Ah...Itu aku...”
“Nah, sudah bangun kau rupanya?? Kau pikir aku susah-susah mau mencari kamera tua ini semalaman demi siapa? Ayo, katakan sesuatu. Aku tidak suka kalau harus menunggu. ”
“Aku harus mengatakan apa...?”
Tanya Mihashi tidak mengerti.
“Ukh...”
Mendengar reaksi anak itu, Chiharu merasa di hantam sebuah batu yang ukurannya sangaaaaaat besar kemudian menghela nafas.
“Terserah kau mau mengatakan apa. Kalau kau tidak tahu, biar aku berikan satu petunjuk untukmu...Hmmm...Contohnya seperti ini, ‘Ah, selamat pagi papaku sayang~ Sebentar lagi di sekolahku akan ada festival--dan bla bla bla’, ya, kira-kira seperti itu.”
“Penjelasanmu tidak jelas.”
“Terserah aku!!! Sekarang, cepat kau bicara atau akan kubakar kamera ini!”
 Teriak Chiharu kesal sambil berbalik pergi, ingin menuju ke dapur dan membakar kamera itu di atas kompor yang langsung dicegah oleh Mihashi.
“Tunggu dulu, Bi!! Jangan bakar kamera itu! A--Ada yang ingin aku katakan pada papa!!” Mihashi berkata sambil menarik baju Chiharu dengan erat.
“Haah...Kenapa tidak dari tadi. Ayo, cepat.”
 Chiharu berbalik lagi kemudian duduk di hadapan Mihashi dan mengarahkan kamera itu ke arahnya.
Mihashi berdiri kemudian sedikit memalingkan wajahnya yang terlihat malu.
“A...Papa...Ini aku, Mihashi. Anak papa yang paling unyu...”
“Ukh...[Bagian pembuka yang benar-benar menjijikan!!!!!!!]. Kurasa bagian itu tidak diperlukan. Akan kuhapus nanti.”
“Akh!! Jangan, Bi!!!”
Teriak Mihashi yang langsung ingin menerjang ke arah Chiharu.
“Kalau begitu cepat saja ke intinya! Kau mau membuatku muntah dengan prologue yang super menjijikan itu!!??”
Huff...
Mihashi menghela nafas beberapa kali, kemudian ketika ia sudah siap, ia kembali menghadap ke arah kamera.
“Ah...Selamat pagi, Papa. Bagaimana kabar papa? Papa sehat-sehat saja’kan? Di sini aku baik-baik saja. Bibi Chiharu merawatku dengan baik. Ah, tapi terkadang ia suka berteriak ke arahku.”
 Ceritanya sambil tersenyum.
“Tidak usah membual, ceritakan saja yang sesuai dengan kenyataannya.”
Chiharu berkata sambil terus mengarahkan kamera ke arah Mihashi yang langsung ditanggapi oleh gadis itu ‘Eh, tapi aku bicara sesuai kenyataan’.
Mihashi melanjutkan,
“Ehm...Papa...Apa kau merindukanku? Apa kau selalu dan tidak bisa berhenti memikirkanku? Kalau aku, aku tidak bisa tidak memikirkan papa sedikitpun...”
“..............[Anak ini...Dia memang benar-benar sayang pada Chiaki dengan sepenuh hatinya...].”
Batin Chiharu sambil tersenyum kecil.
“Aku...Aku sangat sayang pada papa! Aku...Sebenarnya sangat ingin bertemu dengan papa...Tapi, kalau aku terus bersikap seperti anak kecil, papa juga akan merasa repot’kan? Aku paham, kok. Papa menitipkan aku pada Bibi Chiharu karena papa sayang padaku’kan? Aku memang tidak tahu alasannya. Tapi, itu pasti yang terbaik untukku.”
Mihashi berkata dengan penuh perasaan.
Semua kata-katanya terdengar indah dan juga hangat.
Tiap kali ia berbicara, mata birunya selalu terlihat bersinar seolah mampu menghapuskan kegelapan.
“Mihashi janji tidak akan merepotkan papa lagi dan juga Bibi Chiharu. Mihashi akan menjadi anak yang baik dan juga penurut. Karena itu, papa tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja di sini, bersama dengan Bibi Chiharu.”
Ia tersenyum.
“Papa, sebentar lagi di sekolahku akan ada festival untuk merayakan ulang tahun sekolah yang ke-57. Aku akan menyanyi di atas panggung! Aku sudah tidak sabar saat itu tiba!! Aku ingin memakai kostum yang disiapkan oleh sensei! Ah...”
Tiba-tiba, ekspresinya berubah menjadi sedih.
“Sebenarnya...Aku ingin papa datang dan melihatku menyanyi di atas panggung. Tapi, aku tahu kalau papa sangat sibuk dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan papa begitu saja hanya untuk datang melihat penampilanku.”
“..................”
Melihat wajah Mihashi yang berubah sedih, Chiharu ikut terlihat sedih.
Ia tahu bagaimana rasanya ketika orang tuanya tidak bisa datang ke acara festival di sekolahnya hanya untuk melihatnya tampil.
Meskipun begitu, tiap kali Chiaki ada acara atau kegiatan, kedua orang tuanya selalu ada untuk dia.
Ini benar-benar tidak adil.
Itulah yang selalu ada di pikiran Chiharu.
“Tapi...”
Ketika tiba-tiba Mihashi kembali berbicara, itu membuat Chiharu sedikit tertegun.
Perlahan, ia mengangkat wajahnya, ingin melihat wajah seperti apa yang kini dibuat oleh anak itu.
“Tapi, Bibi Chiharu janji akan merekamku! Jadi, papa tetap bisa melihat penampilanku meskipun tidak datang!!”
Ia terlihat bersinar seperti matahari.
“Aku akan menampilkan yang terbaik! Jadi...Papa!”
.............................................
“Lihat aku, ya!!”

Hari-hari berikutnya, semua murid sibuk membuat persiapan untuk merayakan festival ulang tahun sekolah mereka yang ke-57.
Ada yang bertugas untuk menghias kelas, menghias sekolah maupun berlatih bagi mereka yang akan tampil.
Pokoknya, hari-hari mereka di sekolah terasa menjadi lebih sibuk dari biasanya.
Mereka juga selalu pulang lebih sore akibat kegiatan yang menumpuk.
Tapi mereka tidak mengeluh karena udara yang dingin atau karena kegiatan mereka yang sangat banyak dan melelahkan.
Justru kebalikannya, mereka merasa senang dengan semua kegiatan itu dan selalu bekerja dengan penuh semangat.
Dan tiap kali pulang dari sekolah, Mihashi selalu punya cerita yang ia ceritakan tiap harinya kepada Chiharu.
Seperti,
“Bibi, hari ini semuanya sibuk sekali, lho.”
“Hari ini aku membantu temanku menghias kelas! Senang sekali rasanya.”
“Bibi, tadi hampir saja ada teman sekelasku yang jatuh dari tangga ketika akan menghias dinding! Hii, untung saja sensei cepat datang dan memegangnya! Kalau tidak--Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi!”
“Bibi, Bibi, tadi aku berlatih bersama teman-temanku. Kita akan bernyanyi di atas panggung! Hebat’kan? Seperti yang papa ingin lihat!”
“Hari ini kita ukur kostum. Semoga saja kostumnya cepat jadi!”
“Waaah, aku sudah lihat kostumnya, Bi! Bagus sekali! Warnanya merah dengan hiasan mawar! Pasti bibi sudah tidak sabar untuk melihatnya!!”
Meskipun Chiharu hanya menanggapinya dengan senyuman, tapi Mihashi terus saja menceritakannya.
Menurut Chiharu, ia jadi lebih berisik dari biasanya.
Dan tanpa mereka sadari, hari dimulainya festival pun datang...
***-***

A/N : Hai, minna XDD
Yey, akhirnya hari festivalpun datang XDD

Kira-kira, apakah festival akan berjalan lancar??

Tunggu di next ch-nya ya ^^

Sankyuu dah mampir ya XD


Author,
Fujiwara Hatsune

Tidak ada komentar:

Posting Komentar