Senin, 03 November 2014

Story : Mihashi Chapter 4

Story : Mihashi Chapter 4

Read : Prologue

           Chapter 1

           Chapter 2

           Chapter 3

            Chapter 5

            Chapter 6

            Chapter 7

            Chapter 8

            Chapter 9

           Chapter 10


            Epilogue

* Read Another Stories :


MIHASHI

- Chapter 4 -


Aku...Tidak Boleh Memberikan ‘Cintaku’ Lagi Untuk Mihashi
 



“.............Ah, hai.”
“...............................................”
Sesosok laki-laki melambaikan tangan ke arah Chiharu yang berjalan ke arahnya.
Chiharu hanya menatapnya dengan tatapan dingin tak membalas sapaan pemuda itu.
Ia kemudian meletakkan payungnya di dekat kursi lalu berdiri di samping pemuda itu.
Berdua, mereka berdiri di salah satu halte yang terletak agak sedikit jauh dari rumah Chiharu tapi dekat dari sekolah Mihashi.
Sehingga dia bisa langsung menjemput gadis itu ketika sekolah telah berakhir.
Mereka berdua berdiri terdiam selama beberapa saat.
“Jadi...”
Yang pertama kali bicara adalah Chiaki.
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Hmph! Kupikir aku sudah memberitahumu tadi di telepon. Atau jangan-jangan otakmu sudah kering akibat terus bekerja?”
“Ha ha ha, tidak juga. Atau mungkin memang seperti itu, ya? Ah, tapi, setidaknya tolong biarkan aku menyelesaikan kalimatku saat di telepon ta--“
“Aku tidak punya waktu untuk mendengar omong kosongmu itu. Yang ingin kudengar hanya jawaban ‘ya’ dari mulutmu.”
Chiharu adalah orang yang sangat pemaksa.
“Begitu? Jadi apapun yang terjadi, meskipun aku menolaknya, kau akan terus memaksaku untuk menuruti perkataanmu...?”
Chiaki bertanya dengan sedikit senyuman di wajahnya.
“Tentu saja.”
Chiaru menjawab singkat.
Chiaki sedikit tertawa kemudian berkata ‘Chiharu memang seperti itu. Sudah kuduga’, kemudian berhenti.
Ekspresinya berubah terlihat agak serius.
Namun ada setitik perasaan sedih di dalamnya.
Chiharu hanya menatapnya sambil terus berpikiran ‘Ada apa dengannya’.
Akhirnya, Chiaki kembali bicara.
“Jadi...Kau sudah menyadari?”
“Menyadari apa?”
“Keanehan pada diri Mihashi?”
“Mhm...”
Jawab Chiharu singkat.
Chiaki tersenyum kecil kemudian menatap ke bawa sambil memainkan jarinya.
“Sebelumnya, biarkan aku menceritakan sesuatu kepadamu. Tidak masalah’kan?”
“Silahkan saja.”
“Terima kasih.”
“Tidak usah berterima kasih. Cepat katakan yang ingin kau katakan padaku.” Bentak Chiharu yang hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Chiaki.
Sejak dulu, Chiharu tidak pernah tahu apa yang dipikirkan oleh kakaknya itu.
Ia terlihat bahagia.
Dan juga tidak pernah peduli dengan urusan hidup Chiharu.
Apakah memang benar begitu?
Atau mungkin justru sebaliknya?
Apa dia yang sebenarnya tidak pernah peduli dengan urusan hidup Chiaki sehingga seolah terlihat Chiaki yang mendiamkan dirinya?
Dia terlihat baik dan juga lembut sangat menghadapi sikap kasar Chiharu.
Sekarang...Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk berpikiran seperti itu...
Chiaki duduk perlahan di bangku panjang yang disediakan di sana, diikuti oleh Chiharu.
Chiaki terdiam selama beberapa saat, kemudian berkata pelan ‘Sebaiknya aku mulai dari mana, ya?’, dan Chiaru menunggu dengan tidak sabaran.
Ia ingin tahu.
Apa yang sebenarnya terjadi pada anak yang dititipkan kepadanya itu?
Apa alasan sebenarnya kenapa Chiaki membuang Mihashi seperti itu?
Apa karena ia sibuk?
Atau...
Memang benar ada alasan lain di balik semua perbuatan Chiaki...?
Akhirnya setelah beberapa menit berlalu dengan kesunyian, Chiaki menghela nafas kemudian sedikit tersenyum.
“Jadi, aku pernah punya seorang istri.”
Cerita Chiaki tanpa menatap ke arah Chiharu.
“ ‘Pernah’?”
“Iya, istriku sudah meninggal.”
Mendengar ucapan Chiaki yang terdengar sedih, Chiharu terkejut.
Ia tidak pernah datang ke pesta pernikahan adiknya itu.
Ia tidak begitu mengenal siapa istri Chiaki san wanita seperti apa dia
Itu karena ia juga sangat jarang berkunjung ke rumah kakaknya itu.
Sejak bertahun-tahun Chiharu pergi meninggalkan rumah mereka saat berusia 18 tahun [Chiharu sekarang berumur 27 tahun dan Chiaki berumur sekitar 29 tahun], Chiharu dan Chiaki tidak pernah bertemu lagi.
Sampai beberapa waktu yang lalu.
Saat tiba-tiba Chiaki datang dan menitipkan putrinya, Mihashi, kepadanya di hari hujan.
Chiharu menatap ke atas.
Perlahan, titik-titik hujan mulai turun.
Ia jadi teringat.
Hari itu juga hujan’kan?
Ia menatap ke arah Chiaki.
Chiharu selalu berpikir kalau Chiaki selalu hidup bahagia dengan keluarganya.
Karena itu ia tidak peduli.
Karena ketidakpeduliannya itulah, ia tidak tahu kalau Chiaki memiliki seorang putri dan kenyataan bahwa istrinya telah meninggal.
Sambil berpikiran seperti itu, Chiaki melanjutkan ceritanya.
“Aku menikah pada saat berumur 21 tahun. Saat itu, aku merasa sangat bahagia karena bisa mendapatkan istri yang sangat baik seperti dia. Dia perhatian padaku dan aku sangat menyanyanginya. 1 tahun kemudian, dia melahirkan Mihashi. Kebahagiaan kami pun langsung bertambah berkali-kali lipat. Kami menganggap bahwa Mihashi adalah berkah terbesar dalam hidup kami.”
Chiaki menghentikan ceritanya.
Setelah beberapa saat, ia kembali bercerita, kali ini, entah kenapa nada bicaranya terdengar lebih hangat.
“Ia adalah harta yang tak mungkin tergantikan oleh apapun. Kami sangat sayang padanya. Kami membesarkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Mihashi akhirnya tumbuh menjadi anak yang penuh cinta. Ia pengertian, dan selalu berusaha membuat aku dan istriku merasa senang. Ia juga mandiri dan sebagai imbalannya, ia suka sekali ketika dipuji. Ia sering menghiburku ketika aku sedang lelah sehabis pulang kerja. Ia mandiri dan juga tidak suka merepotkan orang lain. Kami mencintainya. Tapi, Mihashi jauh lebih mencintai kami lebih dari apapun.”

“Kami mencintainya.”

Chiaki menyayangi Mihashi.
Ia adalah putri satu-satunya.
Tidak ada alasan bagi Chiaki untuk meninggalkan putri sebaik Mihashi.
Apa yang dia pikirkan sebenarnya...?
‘Dia ayah yang baik’, pikir Chiharu.
Namun, ada satu masalah yang ia belum tahu jawabannnya.
“Kau...Sangat sayang padanya ‘kan?”
Tanya Chiharu pada akhirnya.
Chiaki hanya mengangguk pelan.
Kalau begitu...
“Kenapa kau menitipkannya kepadaku? Kenapa tidak kau rawat sendiri saja dia!?”
“............Itu dia...Masalahnya...”
“...............’Masalah’.......?”
Apa yang ingin dikatakan oleh Chiaki?
“Ketika Mihashi berumur 4 tahun...Istriku meninggal.”
Setelah mengatakan itu, Chiaki kembali terdiam.
Mungkin saja kenangan tentang istri yang sangat dicintainya itu kembali.
Chiharu memutuskan untuk bertanya kembali.
“Lalu apa yang terjadi...?”
“.........Masalah sebenarnya dalam diri Mihashi, tumbuh setelah itu.”
“?”
Chiaki yang dari tadi terus melihat ke bawah, akhirnya menatap Chiharu.
Ia sedikit tersenyum.
Namun sepertinya ia memaksakan senyuman itu.
“Bagaimana dengan keadaan Mihashi?”
“Hah? Kenapa kau malah bertanya tentang hal itu? Lanjutkan dulu ceritamu!”
 Teriaknya kasar.
Tapi Chiaki hanya tertawa kecil kemudian melanjutkan,
“Apa dia terus berteriak-teriak memanggil aku? Atau dia mengatakan ingin pulang kepadaku?”
“Eh...?”
Chiharu tertegun.
“Apa dia terus beranggapan bahwa aku akan datang dan tinggal bersamanya? Apa ketika kau mengatakan bahwa aku tidak akan kembali lagi, Mihashi justru membentakmu, berteriak ke arahmu, menyebutmu ‘penjahat’ yang berusaha memisahkan dia dari ku?”
“......................”
Chiharu tidak mengatakan apapun.
Itu adalah hal yang jelas-jelas dialaminya selama tinggal beberapa hari dengan Mihashi.
Berteriak.
Marah.
Menangis.
Histeris.
Kemudian kembali ‘normal’ seolah tidak ada yang terjadi.
Dan kembali histeris lagi.
“Lalu dia akan mengurung diri, memanggil-manggil aku, berkata ingin bertemu denganku, dan hal-hal aneh lainnya. Tapi beberapa saat kemudian, ia akan bersikap normal dan seolah tidak ada apapun yang terjadi. Ia akan bersikap biasa, sampai pada akhirnya, ia kembali ingat padaku. Begitu’kan?”
“.......Y--Ya...Aku sampai merasa kerepotan dengan kejadian itu. Apa yang sebenarnya terjadi denga--“
“Akupun juga mengalami hal yang sama...”
“Maksudmu?”
Chiharu bertanya penuh kebingungan.
“Mihashi...Ia jauh lebih mencintai ibunya dibanding dengan aku. Yah, itu wajar saja mengingat aku yang jarang ada di rumah untuk bekerja meskipun pada saat-saat khusus aku selalu menemaninya. Tapi--“

3 tahun yang lalu, Upacara pemakaman Matsuyuki Satone, istri Chiaki...

“Satone adalah wanita yang baik.”
“Aku turut berduka cita.”
“Dia sangat cantik.”
“Aku kasihan melihat suaminya.”
“Kalau tidak salah mereka memiliki seorang putri’kan?”
“Namanya Mihashi. Dia putri satu-satunya.”
 “Iya, aku kasihan melihat Chiaki-san harus membesarkan putri yang masih sangat kecil tanpa didampingi Satone-san.”
“Pasti akan sulit sekali untuknya. Apalagi karirnya sedang ada di puncak.”
“................................”
Chiaki hanya terdiam sambil duduk di depan foto istrinya.
Wajah istrinya yang sedang tersenyum kembali terbayang di pikirannya.
Semua perkataan dan omongan dari orang-orang yang datang, tidak ia dengarkan.
Rasanya ucapan mereka itu seperti angin.
Sangat lemah dan juga samar-samar.
“...................”
Chiaki menoleh ke sampingnya.
Di sana, duduk seorang gadis berambut coklat pendek yang dikuncir twintail.
Gadis kecil itu menatap ke arah foto ibunya dengan tatapan kosong.
Sepertinya ia sangat terpukul dengan kepergian ibunya yang tiba-tiba.
Perlahan, Chiaki membelai kepala gadis itu dengan lembut.
“Mihashi...”
“.........................”
Mihashi hanya terdiam tanpa mengatakan apapun.
Ekspresi Chiaki terlihat semakin sedih.
Ibu yang sangat disayanginya telah meninggalkannya dan tidak akan pernah kembali lagi.
Tentu saja ia sangat sedih.
Chiaki menghela nafas singkat kemudian menarik tangannya dari kepala Mihashi.
“Papa...”
“?”
Saat itulah, Mihashi untuk pertama kalinya bicara dan mengatakan,
“Apa mama ada di surga sekarang?”
Ia bertanya tanpa menoleh ke arah Chiaki sedikitpun.
Chiaki mengangguk.
“Ya. Mama sekarang ada di surga. Ia memperhatikan Mihashi dari atas, diantara ribuan bintang. Mihashi jangan khawatir, karena meskipun Mihashi tidak bisa melihat mama, tapi mama akan selalu melihat dan menjaga Mihashi.”
Untuk beberapa saat, gadis itu terdiam, kemudian,
“.............Begitu...Baiklah...”
Ia hanya menjawab singkat.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia tidak mengatakan sepatah kata apapun.
Ia hanya menatap ke bawah sambil menggandeng erat tangan Chiaki.
Sejak tadi, tak terlihat setetes air mata yang turun mengalir dari matanya.
Chiaki tahu.
Pasti berat bagi Mihashi untuk menjalani semua ini.
Tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan.
Menangis dan meratapi semuanya tidak akan mengubah apapun.
Yang bisa mereka berdua lakukan hanyalah melihat ke depan dan melihat langit di hari esok.
Masa depan yang indah tergambar dengan luas di sana.
Mereka harus bisa menerima, kemudian melangkah maju dan terus menjalani hidup ini.
Itulah...
“Yang kau ingin’kan? Iya’kan...Satone...”
Chiaki berkata pelan sambil menatap ke langit malam.
Bintang-bintang menerangi perjalanan mereka.
Dan di saat itulah, Chiaki melihat sebuah bintang bersinar dengan sangat terang, melebihi cahaya bintang lainnya.
Ia tersenyum.
Ia tahu, Satone pasti sedang memperhatikannya dari sana.
Jauh di antara lautan penuh bintang.
Chiaki bisa merasakan pancaran kehangatannya dari sini.
Perlahan, ia berkata,
“Tolong jaga aku dan Mihashi dari sana...”

PAPA!!!! PAPAAAAA!!!!!!!!!  
“!!!!”
Chiaki yang sedang tertidur, tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan Mihashi di sampingnya.
Ia terlihat ketakutan.
Apa yang terjadi?
“Mihashi? Ada apa? Apa kau mimpi buruk?”
“Papa...”
Perlahan, Mihashi menoleh ke arah Chiaki.
“Papa...”
“Ada apa, Mihashi?”
“.............Kenapa mama tidak ada di sini...?”
...................
..............................................
.....................................................................
“..........Eh........?”
Tubuh Chiaki membeku.
Apa yang Mihashi katakan seolah terdengar kabur di telinganya.
Butuh waktu cukup lama untuk bisa mencerna kata itu baik-baik.

“.............Kenapa mama tidak ada di sini...?”

Satone sudah meninggal.
Bukannya mereka baru saja datang ke upacara pemakamannya?
Lalu...
Kenapa Mihashi...?
“Mi--Mihashi...Apa yang Mihashi katakan?”
“Tadi aku terbangun. Kemudian aku melihat ke sampingku tapi mama tidak ada di sana. Apa yang terjadi? Apa mama sedang ke kamar mandi...?”
“......................”
Chiaki hanya bisa terdiam.
Ia tidak bisa menjawab pertanyaan putrinya itu.
Apa yang harus ia katakan pada Mihashi...?
“M--Mihashi...”
Pemuda itu akhirnya memegang pundak Mihashi.
“Papa?”
“Dengar’kan papa, ya...Mama sudah...”
“Mama kenapa?”
Tanyanya tidak mengerti.
Chiaki membuka mulutnya, berusaha mengatakan sesuatu, tapi kemudian kembali menutup mulutnya.
Perlahan, setetes air mata turun membasahi pipinya.
Mihashi yang melihat itu segera mengusap air mata ayahnya.
“Papa kenapa? Kenapa menangis...?”
“Mihashi...Dengar...”
“...................”
“Mama sudah meninggal...”

DEG!!!

“A--A--“
Tubuh Mihashi terlihat bergetar.
Di wajahnya sekarang, tergambar rasa tidak percaya yang sangat besar.
Chiaki memeluk tubuh putrinya itu dengan erat, berusaha menenangkannya.
“Mihashi, mama sudah tidak ada di sini lagi bersama kita.”
“.............................”
“Mama sudah pergi...Mama suda--“
BOHONG!!!!
“!!!!”
Tiba-tiba saja Mihashi langsung mendorong ayahnya dengan keras!
“Ah! Mihashi!! Apa yang--“
KAU BOHONG!!!!
“............A--Apa...Aku tidak bohong!! Ini juga sangat berat untuk pa--“
“Diam, diam, DIAAAAAAAM!!!!!!!!!!
“.............................”
“Tidak mungkin!! Mama tidak mungkin meninggal!!! Mama masih hidup!! Dia ada di sini! Dia ada di sini!!!”
Gadis itu berteriak dan mulai menangis.
Chiaki sama sekali tidak paham apa yang sedang terjadi pada putrinya itu.
Ia berteriak, berteriak dan tidak berhenti berteriak, memanggil-manggil ibunya yang sudah meninggal.
“Mama!!! MAMA!!!!!!
“Mihashi! Mihashi!! Tenanglah!!!”
 Chiaki berteriak sambil memegang kedua tangan Mihashi.
Mata mereka saling bertatapan.
Mihashi memperhatikan wajah ayahnya yang terlihat serius, tapi juga menyiratkan kesedihan dan perasaan tersiksa.
“Mihashi, dengar’kan aku! Aku tahu kalau ini juga sangat berat untukmu! Tapi berhentilah bersikap begini dan TERIMA KENYATAANNYA!!!!
TIDAK!!!
“..............................”
Chiaki terdiam di tempatnya.
“Mihashi...”
Ia berkata dengan suara pelan.
“Kau ingat yang terjadi hari ini...?”
Suasana pemakaman istrinya kembali terbayang di pikiran Chiaki.
“................Aku ingat.”
 Jawab Mihashi singkat.
“Kalau begitu kenapa--“
“Aku ingat. Mama memang pergi. Ia pergi meninggalkan kita...Tapi...”
“.............?”
Mihashi menundukkan kepalanya.
Tangannya menggenggam selimut dengan erat.
Beberapa saat kemudian, ia kembali mengangkat wajahnya dan--
“Mama akan kembali lagi’kan...?”
................
..............................
............................................................
Suasana hening.
Perlahan, Chiaki meletakkan tangannya di pundak putrinya.
“Mihashi...Mama tidak akan kembali lagi...”
Ekspresi Mihashi berubah semakin terkejut.
Ia mengambil bantal yang berada di dekatnya lalu melemparnya ke arah Chiaki!
“Kau bohong padaku!! Kau bohong!!!! Mama!!! Mama!! Aku ingin bertemu!!”
“Diam!! Hentikan, Mihashi!!”
“Mama!!! Mama! Tolong aku!!! MAMA!!!!
IBUMU SUDAH TIDAK ADA DI DUNIA INI LAGI!!!!
KALAU BEGITU, KAU YANG SUDAH MEMBUNUHNYA!!!
..................
..........................................
....................................................................
“...........Apa!?”
“Kau yang sudah membunuhnya!! Kau yang sudah membuat mama meninggal!!!!!”
“........Mihashi...? Apa yang kau katakan...?”
“Kau yang membunuh mama-ku!!! KAU YANG MEMBUNUHNYA!!!!!
“T--Tidak mungkin aku membunuh istriku sendiri!!!!”
BOHONG!!!!! Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!!!!”
“.....................”
“Kau pembunuh!!! AKU BENCI PADAMU!!!!!!!!!!
“.........................”
Itu adalah malam terberat yang pernah di rasakan oleh Chiaki.
Bukan hanya telah kehilangan istrinya, tapi bahkan putrinya sendiri berkata bahwa ia yang sudah membunuh istrinya sendiri.
Malam itu...
Chiaki keluar dari kamar dan duduk di depan pintu, membiarkan Mihashi berteriak dan menangis sepanjang malam sampai akhirnya ia tertidur akibat kelelahan...

“......................”
Chiharu terdiam.
Ia mendengarkan cerita kakak laki-lakinya itu dengan perasaan sedih.
Baru pertama kali ia merasakan perasaan simpati pada kakaknya itu.
Rasa benci yang selama ini menyelimuti hatinya...
Entah kenapa perlahan-lahan mulai menghilang...
Chiaki pasti sangat menderita ketika putrinya sendiri mengatakan bahwa ia sendirilah yang membunuh istri yang sangat ia sayangi.
Mau dilihat dari sisi manapaun...
Itu semua terlalu kejam...
“Jadi...Itulah yang terjadi...”
Kata Chiaki pelan dengan kepala tertunduk.
Ia melanjutkan,
“Setelah itu, pagi hari keesokan harinya...Aku masuk ke dalam kamar Mihashi. Aku mendapati ia tengah tertidur dengan nyenyaknya. Ketika ia melihatku masuk, ia membuka matanya perlahan. Saat itu, aku ketakutan...”
Tubuh Chiaki gemetar.
“Aku takut kalau ia akan mengatakan aku adalah orang yang sudah membunuh istriku sendiri. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan pada saat itu. Jadi, aku memutuskan untuk menghindarinya. Ketika aku bermaksud untuk keluar dari kamarnya, Mihashi turun dari tempat tidur, kemudian menggandeng tanganku. Aku terkejut. Tapi aku terlalu takut untuk melihat atau menatap ke arahnya.”
“Lalu...?”
“Kurasa tanpa aku cerita kelanjutannya, kau pasti sudah mengerti. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Aku tahu, tidak mungkin aku bisa melarikan diri dari putriku sendiri. Karena itu aku memutuskan untuk menghadapinya. Aku tidak tahu apa yang akan ia katakan padaku, tapi aku tetap menoleh ke arahnya. Dan--“

“Selamat pagi, Papa.”

“.......................”
“Dia berkata dengan senyuman di wajahnya dan nada yang terdengar sangat gembira.”
“......................”

“Selamat pagi, Bibi Chiharu.”

Itu sama persis dengan yang dialaminya.
Chiharu sebanarnya sudah sangat paham dengan apa ayng terjadi selanjutnya.
Tanpa Chiaki melanjutkan cerita yang membuat hatinya sendiri ini hancurpun, Chiharu sudah paham.
Tapi ia tidak bisa berkata ‘Sudah hentikan, aku paham bagaimana perasaanmu’ dan membiarkan Chiaki melanjutkan ceritanya.
“Ia bersikap normal seolah kejadian semalam itu tidak pernah terjadi. Ia tidak membenciku seperti yang aku kira. Saat aku aku berpikir, ‘Ah, itu mungkin hal yang biasa terjadi’, apalagi Mihashi baru saja kehilangan ibu yang sangat ia sayangi. Jadi kurasa, ia hanya butuh waktu untuk menerimanya. waktu itu, aku cukup bahagia mengetahui Mihashi sudah kembali seperti semula. Tapi...”
Tapi...
Rasa bahagia itu tidak akan berlangsung lama...
“Ketika ia tidak sengaja melihat cangkir kesayangan milik Satone yang aku letakkan di dalam kardus, Mihashi mengatakan hal yang kembali membuatku sangat terkejut--“

“Papa, kenapa cangkir mama ada di dalam kardus.”
“Eh, itu--“
“Aku keluarkan, ya? Nanti kalau mama mau minum tapi cangkirnya tidak ada bagaimana? Aku akan meletakkannya di rak, he he.”

“..............................”

“Bibi, aku mau ini!”
“Ini? Tapi bukannya kemarin malam kau sudah makan ini? Kau tidak ingin makan yang lain?”
“Tidak. Soalnya, papa suka makanan ini.”
“[Papa...?]........Baiklah, aku akan membuatkannya untukmu. Kau duduk di sana dulu, ya.”
“Oke.”
Sementara Chiharu membuatkan sarapan untuk mereka berdua, Mihashi sibuk mempersiapkan buku-buku pelajarannya untuk sekolah nanti.
“Bibi.”
“Ya?”
“Papa ada di mana?”

“Setelah itu, kejadian yang sama berulang-ulang terjadi.”

“Pembohong!! Mama-ku ada di sini!!! Dia tidak meninggal!
“Kau yang sudah membunuh mamma!!! KAU PEMBUNUH!!!!

“Saat itu--“
Chiaki berkata dengan nada sedih kemudian meremas rambutnya yang biasanya selalu tertata rapi dengan tangannya.
“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi!!? Aku sama sekali tidak sanggup menghadapi anak itu lagi!! Apa itu!!? Ia bersikap normal kemudian beberapa menit kemudian ia berteriak bahwa aku pembunuh!! setelah itu ia kembali bersikap layaknya gadis normal!!! Apa itu!!!? Aku sama sekali tidak paham!!!”
“...........Chiaki...”
“Aku bahkan hampir menyerah mengurusnya dan berniat untuk menitipkannya pada orang tua kita!!”
Chiharu tertegun.
“Kau apa?!”
AKU SUDAH TIDAK TAHAN LAGI!!!!!!!!
“Ah...........”
Chiharu menundukkan kepalanya.
Ia tidak pantas mengatakan bahwa ‘Chiaki bukanlah orang tua yang baik’.
Karena ia tidak paham bagaimana rasanya mengalami hal seperti itu.
Buat dia yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengan Mihashi bisa melepaskannya saja dengan mudah.
Tapi, bagi Chiaki yang adalah orang tua kandungnya sendiri...
Mendapat perlakuan seperti itu, pasti rasanya sudah seperti ingin mati.
“Tapi...”
Chiaki kembali bicara dengan suara pelan.
Sepertinya ia sudah lebih tenang dan emosinya sudah sedikit reda.
“Aku mengurungkan niatku karena aku sangat sayang pada Mihashi!! Aku bahkan mengutuk diriku berkali-kali atas keinginanku untuk membuang Mihashi!! Aku tidak percaya kalau aku, ayahnya sendiri akan melakukan hal kotor dan menjijikan seperti itu kepada putriku sendiri!”
Chiharu memperhatikan Chiaki.
Ia kelihatan sangat tersiksa.
Sangat menderita.
Ke mana senyuman yang biasanya selalu menghiasi wajahnya?
“Aku memutuskan untuk merawat dan membesarkan Mihashi seorang diri. Aku mencurahkan segala yang aku miliki dan memberikan semua kasih sayangku padanya. Tapi, kejadian itu tetap saja berulang! Aku tahu, Mihashi memang sangat menyayangi Satone... Aku tahu berat bagi anak seperti dia untuk menerima kenyataan, apalagi usianya yang masih sangat kecil!! Aku paham semua itu! Ada saat-saat di mana aku kembali merasa stress, ingin membuangnya, tapi rasa cintaku kepada Mihashi berhasil menguatkan hatiku untuk terus merawatnya.”
Chiaki berhenti bercerita.
Chiharu tidak berhenti menatap ke arahnya.
Dengan nada penuh rasa simpati, Chiharu melontarkan pertanyaan,
“Setelah itu, apa yang terjadi pada Mihashi...? Dia yang sekarang...Sepertinya sangat menyayangimu...”
Chiharu sedikit memperlambat bicaranya.
“..................”
Tidak ada jawaban dari Chiaki.
Sampai ia kembali menurunkan kedua tangannya dari kepalanya dan sedikit tersenyum kecil.
“Sudah 2 tahun...”
Ia tertegun ketika tiba-tiba Chiaki berbicara.
“2 tahun...?”
“Iya...Kau tahu? Butuh waktu 2 tahun bagi Mihashi untuk menerima kematian ibunya dan menerima keberadaanku lagi di sisinya...”
“Tidak mungkin...Selama itu...?”
Nada bicaranya penuh dengan rasa tidak percaya.
2 tahun...
Perasaan Mihashi kembali stabil 2 tahun kemudian...?
Chiharu berpikir mungkin Mihashi akan kembali normal dalam waktu 2 atau 3 hari atau mungkin seminggu kemudian.
Tapi...
 2 tahun...?
Itu waktu yang sangat lama...
Dan Chiaki harus mampu bertahan menghadapi Mihashi yang kadang bersikap normal dan kadang histeris...
Sungguh...
Chiaki adalah orang tua yang luar biasa...
“Setelah 2 tahun, Mihashi perlahan-lahan bisa menerima kenyataan bahwa ibunya sudah tidak ada di dunia ini lagi dan sudah meninggal. Pelan tapi pasti, ia mulai bersikap normal ketika berada di dekatku. Seperti Mihashi yang dulu, sebelum Satone meninggal. Aku bahagia, karena akhirnya putriku kembali sayang padaku. Ia tidak lagi menyebutku ‘pembunuh’ ataupun berteriak histeris, ingin ibunya kembali. Hanya dengan melihat senyuman Mihashi tiap harinya...Rasanya perasaan pedih yang aku alami dan terus aku tahan selama 2 tahun lamanya, akhirnya terbayarkan...”
“Tunggu...”
Tiba-tiba Chiharu berkata singkat.
“Ya?”
Akhirnya, Chiaki yang dari tadi terus menatap ke bawah, menoleh ke arah adik perempuan satu-satunya itu.
Mihashi sudah kembali mencintai Chiaki.
Dan Chiaki harusnya juga hidup bahagia bersama dengan Mihashi.
Kehidupan mereka sudah kembali normal.
Tapi, kenapa--
“Kalau seperti itu, kenapa kau menitipkan anak itu kepadaku!? Aku sama sekali tidak paham dengan cara berpikirmu! Kau bilang kau sangat sayang padanya! Bukannya hubungan kalian sudah kembali seperti semula!? Jadi, kenapa kau--“
“Aku tidak bisa.”
Chiaki menjawab, suaranya terdengar dingin dan datar, cukup untuk membuat Chiharu yang belum menyelesaikan ucapannya kaget.
“Kenapa tidak bisa!?”
“Aku sudah bilang’kan...’Itu’ lah masalahnya...”
Jawab Chiaki pelan.
Chiharu bangkit berdiri.
“Aku tidak paham...Seharusnya kalian bisa hidup dengan bahagia...Tapi, kenapa...?”
“................Aku...Tidak boleh memberikan ‘cintaku’ lagi untuk Mihashi...”
“..................Hah...?”
***-***

A/N : Hai, minna XDD

 Sankyuu buat yang udah mampir!!

Next Chapter :


Author,
Fujiwara Hatsune

Tidak ada komentar:

Posting Komentar