Jumat, 09 Januari 2015

Story : Mihashi Chapter 10

Story : Mihashi Chapter 10


*Read : 
              Prologue

            Chapter 1

            Chapter 2

            Chapter 3

            Chapter 4

            Chapter 5

            Chapter 6

            Chapter 7

             Chapter 8

            Chapter 9
     
             Epilogue


*Read Another Stories





MIHASHI
- Chapter 10 -
Kau Hanya Ingin Membuatnya Bahagia’kan?

Keesokan harinya...
“Bibi! Bibi, bangun!!”
“Hhmmm....Ada apa ini...?”
Chiharu berusaha membuka matanya yang masih terasa sangat berat.
Begitu ia melihat ke sampingnya, sudah ada Mihashi yang menarik-narik selimutnya.
“Bibi, ayo bangun!”
Mihashi berkata sambil menggoyang-goyangkan tubuh Chiharu yang masih berbaring di tempat tidurnya.
Kesal dengan tingkahnya di pagi hari itu, Chiharu langsung mengibaskan selimutnya dan duduk di atas tempat tidurnya.
“Ah, ada apa sih!?”
Teriaknya kesal sambil melemparkan tatapan tajam.
“Bibi, selamat pagi!”
Katanya dengan wajah yang mengatakan ‘Aku bahagia sekali hari ini!!’ itu.
Chiharu hanya bisa menatapnya bingung.
“A--Ada apa denganmu?! Kau membangunkanku hanya untuk itu!? Kau bisa mengatakannya nanti’kan!? Coba lihat jam berapa sekarang?”
Chiharu berkata sambil menoleh ke arah jam dinding di kamarnya.
Di jam dinding berbentuk lingkaran itu, jam 06.15 A.M.
“Nah! Coba kau lihat itu!! Baru jam segini! Ini masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah!! Sudah sana, lebih baik kau tidur lagi!”
Teriak Chiharu sambil menunjuk ke arah jam dinding itu, kemudian menarik selimutnya lagi dan masuk kembali ke dalamnya.
“Bibi, ayo bangun! Ada yang ingin aku tunjukkan pada bibi!”
Ia kembali menggoyang-goyangkan tubuh Chiharu.
“.........................”
“Bibi!!”
Mihashi yang kesal, memukul-mukul pelan tubuh Chiharu dengan tangannya yang mungil.
“......................”
Tapi apapun yang terjadi, Chiharu tidak ingjn bangun lagi dari tempat tidurnya, meskipun ada gempa sekalipun.
Tidur adalah istirahat yang terbaik, karena itu, nikmatilah.
“Bibi Chiharu seperti sapi--Ubh!!”
Mihashi langsung terdorong ke belakang ketika Chiharu melemparkan selimutnya tepat ke arah tubuhnya yang kecil, sehingga selimut itu langsung menutupi seluruh tubuhnya dengan sempurna.
“Siapa yang seperti sapi, hah!??”
“Huu!! Aku tidak bisa melihaaaaaat!!! Siapa yang mematikan lampunya!!?”
Mihashi berkata sambil menjulurkan tangannya, seperti berusaha meraba-raba sesuatu.
Penampilannya terlihat seperti hantu saja.
Sementara itu, Chiharu langsung berdiri sambil berteriak ‘Jangan bercanda di rumahku!!!!!’.
Pagi itu adalah salah satu pagi yang paling berisik dalam hidup Chiharu.
Biasanya Mihashi akan bangun dengan tenang dan tidak pernah berusaha membangunkannya seperti ini.
Ketika melihat Chiharu sudah bangkit berdiri dan berteriak dengan semangatnya [itu artinya dia sudah bangun], Mihashi langsung berlari dan membuka jendela kamarnya yang sempit.
Langsung saja, sinar matahari yang menyilaukan mata, menusuk mata Chiharu yang masih belum menyesuaikan dengan cahaya, sehingga ia harus melindungi matanya dengan sebelah tangan.
“Bibi! Ayo, sini.”
Panggil Mihashi dengan semangatnya, sambil melambai-lambaikan tangannya.
Dengan malasnya, Chiharu berjalan sambil menghela nafas pelan, ke arah jendela.
“!?”
Ia sedikit tertegun ketika sehelai kelopak bunga berwarna merah muda terbang melewatinya.
begitu ia melihat lebih jelas keluar, ternyata bunga-bunag sudah beberapa yang mulai bermekaran.
Salju masih sedikit turun, namun sudah tidak menutupi jalanan seperti kemarin, mungkin sudah sedikit meleleh.
Udara juga sudah semakin hangat.
“Ah, benar...Sekarang sudah akhir musim dingin, ya? Berarti sebentar lagi musim semi...?”
Kata Chiharu pelan sambil melihat pemandangan di luar jendela.
“Indahnya...Benar-benar tidak terasa musim semi sudah akan datang sebentar lagi.”
Tambah Mihashi sambil tersenyum.
“Tapi, aku sedikit penasaran...”
Tiba-tiba ia berkata.
Chiharu menoleh ke arahnya.
“Penasaran tentang apa?”
Tanyanya.
Mihashi terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan sesuatu, kemudian langsung menoleh ke arah Chiharu.
“Aku penasaran, kira-kira musim semi bersama Bibi Chiharu seperti apa, ya? He he he.”
“Tidak seperti apa-apa! Musim semi, musim panas, musim gugur, semuanya akan sama saja! Maaf menghancurkan imajinasimu!!”
Chiharu berkata sambil meletakan tangannya di pinggiran jendela dan tersenyum kesal.
Mihashi menjawab dengan ‘Meskipun begitu aku sangat menantikannya!’, kemudian berlari keluar dari kamar Chiharu dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
Chiharu menyandarkan tubuhnya di dekat jendela, kemudian tersenyum kecil.
Setelah itu, Mihashi sarapan dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
Seragamnya sudah tertata dengan rapi.
Rambutnya diikat dengan model twintail yang biasa.
Ketika sudah siap, mereka berdua berjalan keluar rumah.
Sementara Chiharu sedang mengunci pintu, tiba-tiba--
“Pagi, semuanya.”
Orang yang berkata dengan nada riang itu, tidak lain adalah Matsuyuki Chiaki, kakak laki-laki Chiharu dan juga ayah Mihashi.
Seolah sudah beratus-ratus tahun terpisah oleh ruang dan waktu, Mihashi langsung berteriak girang kemudian berlari ke arah Chiaki dan langsung meloncat ke pelukan Chiaki.
Mereka berdua saling memeluk satu sama lain, seperti sebuah keluarga yang akhirnya kembali bersatu setelah terpisah dalam waktu yang cukup lama.
Namun, tidak ada air mata yang menetes turun dalam reuni yang sangat mengharukan ini.
Hanya tawa, dan kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka berdua.
Chiharu berdiri sedikit agak jauh dari mereka.
Namun ia bisa merasakan perasaan dari anak dan ayah tersebut yang sangat hangat.
Sebenarnya, ia masih agak kaget dengan kedatangan Chiaki yang tiba-tiba, apalagi di tambah dengan keputusannya yang mengatakan kalau ia tidak akan melihat Mihashi lagi, sampai akhirnya Mihashi bisa hidup seperti anak-anak lainnya.
Tapi, melihat kedatangannya kemari, apakah itu berarti Mihashi perlahan-lahan mulai berubah?
Tentu saja, semua orang bisa berubah.
Cepat atau lambat, tergantung dari kemauan orang itu sendiri untuk bisa merubah dirinya sendiri.
Mihashi sudah membuktikannya.
Dengan semua air mata yang ia tumpahkan kemarin, janji kepada dirinya sendiri untuk menjadi lebih dewasa, agar semua orang yang berada di dekatnya tidak lagi merasa terbebani.
‘Aku akan berubah’.
Setiap orang bisa mengatakan kata itu dengan sangat mudah.
Namun, hanya beberapa orang saja yang mampu bersungguh-sungguh untuk melakukannya.
Keinginan yang besar dapat mengubah segalanya.
Saat ini, hanya hal itu yang dipercayai oleh Chiharu.
Yah, kedatangan Chiaki bukanlah suatu masalah yang harus dipertanyakan sekarang ini.
Dan ia  tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum ketika memandang keluarga kecil itu.

Chiaki mengatakan, bahwa mulai saat ini, dirinya akan selalu mengunjungi Mihashi setiap kali ada waktu luang.
Tidak ada yang membuat Mihashi merasa bahagia lagi, selain bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama ayah yang sangat ia cintai.

Dalam perjalanan menuju ke sekolah, Mihashi menggandeng tangan Chaiki dan juga Chiharu yang berada di sampingnya.
Ia dengan senangnya, berjalan sambil berjingkat-jingkat, menyenandungkan sebuah lagu yang terdengar sangat indah.
Chiharu tidak  setuju dengan hal itu.
‘Ini sangat memalukan!’
Begitulah yang selalu ia katakan sejak tadi.
Dan ia tidak bisa menghentikan wajahnya untuk berubah menjadi merah sambil melihat ke sana kemari, melihat ke arah orang-orang yang terus saja memperhatikan mereka dengan senyuman aneh!
Sementara itu, Chiaki hanya tersenyum sambil menggaruk pipi dengan sebelah tangan,
‘Tidak masalah sekali-kali seperti ini’
Dia selalu jadi orang santai seperti biasanya, yang langsung ditanggapi dengan tatapan dingin oleh Chiharu.
“Coba lihat!”
Mihashi tiba-tiba berkata dengan suara sedikit keras.
Chiaki dan Chiharu sama-sama menoleh ke arah anak itu.
Mihashi terdiam sesaat, kemudian menoleh ke atas dan tersenyum,
“Bukannya kita yang sekarang ini terlihat seperti keluarga?”
Ia berkata dengan nada riang seperti biasanya.
Apa ia tidak sadar kalau ia baru saja mengatakan hal yang sangat memalukan?
Sepertinya sikap santainya itu ia dapat dari ayahnya.
Mendengar itu, Chiharu tidak bisa menahan dirinya untuk berteriak kaget ‘Ke-Ke-Ke-Keluarga!!!!?’, dengan histerisnya.
Memang kalau dilihat lagi, mereka bertiga terlihat sebuah keluarga kecil.
Ayah, ibu dan juga seorang putri.
“Ah, benar juga. Kalau seperti ini, kita nampak seperti sebuah keluarga, ya?”
Chiaki berkata, menyetujui ucapan putrinya.
Hal itu langsung membuat Chiharu sedikit mencondongkan tubuhnya lalu melemparkan tatapan tajam ke arah Chiaki,
“Jangan setuju dengan semua ucapannya!! Apa kau tidak merasa malu!!?”
Teriak Chiharu kesal.
Namun, Chiaki menjawab pertanyaan dengan nada kesal itu dengan senyuman,
“Untuk apa merasa malu? Bukannya--Kita ini memang keluarga?”
“....................”
Jawaban Chiaki membuat Chiharu langsung terdiam dengan ekspresi wajah sedikit kaget, meskipun itu adalah kata-kata yang tidak asing lagi keluar dari mulut Chiaki.
Namun sekarang, ia bisa merasakan sesuatu seperti cahaya-cahaya keemasan aneh yang meluap-luap di dalam dirinya.
Perlahan, ia mengangkat tangannya kemudian meletakannya di depan dada.
Rasanya hangat.
“Papa, Bibi...”
Mihashi kembali berkata, kali ini dengan suara lebih pelan, tanpa menoleh ke arah mereka berdua.
Chiaki tersenyum.
“Ya?”
“.......................Aku harap kita bisa terus seperti ini selamanya.”
...........................................
Perkataan Mihashi, entah kenapa membuat Chiaki dan Chiharu sama-sama tertegun.
Senyuman di wajah Chiaki langsung lenyap begitu saja.
Apa yang harus ia katakan?
Bukan berarti ia tidak sependapat dengan apa yang dibilang oleh Mihashi.
Namun--
“..........................”
Ia menoleh ke arah Chiharu, yang kelihatannya sedang memikirkan sesuatu.
‘Apa yang dia pikirkan?’
Itulah yang ada dipikirann Chiaki saat ini.
Ia tidak bisa seenaknya menjawab ‘Ya, kita pasti bisa terus seperti ini’.
Ini bukan hanya menyangkut dirinya dan Mihashi.
Ada orang ketiga di sini.
Lalu, sedikitnya tahu, kalau Chiharu pasti akan menjawab ‘Tidak’.
Dan ternyata--
“Apa kau bodoh? Itu tidak mungkin!”
Itu 100 % persen benar.
Chiharu berkata sambil memalingkan wajahnya dan berkata ‘Hmph!’
Sementara itu Chiaki hanya menghela nafas pasrah.
“He he.”
“?”
“Sudah kuduga kalau bibi akan mengatakan hal seperti itu.”
Kata Mihashi sambil tersenyum kecil.
“.......................”
Mihashi melanjutkan,
“Kalau tidak bisa selamanya...Bisa’kan kalau cuma ‘sekali ini saja’...?”
“..........................”
Chiharu terdiam sambil mengangkat sebelah alisnya.
Chiaki terus memperhatikannya, menunggu jawaban seperti apa yang akan dibuatnya.
Beberada detik kemudian, Chiharu mengangguk pelan lalu,
“Hmm...Kurasa kalau hanya kali ini--Tidak ada masalah...”
Chiharu menjawab tanpa menoleh ke arah Mihashi dan justru melihat ke arah Chiaki berada, meskipun ia tidak melihat ke arah pria itu.
Mendengar itu, Chiaki sedikit terkejut.
Ia pikir Chiharu akan mengatakan sesuatu seperti ‘Tidak’.
Tapi--
“Kurasa...Kau sedikit berubah...”
Chiaki berkata pelan sambil tersenyum kecil.
“Hm? Apa kau mengatakan sesuatu?”
Chiharu bertanya sambil memasang wajah ingin tahu ke arah Chiaki.
Ia hanya tertawa kecil , kemudian berkata ‘Tidak ada apa-apa’.

GREP

“?!”
Tubuh Chiaki dan Chiharu serasa seperti tertarik.
Mihashi menggenggam mereka lebih erat lagi dan mempercepat langkahnya.
“[Aku sangat bersyukur atas hari ini].”
Mereka berdua hanya bisa terdiam, kemudian saling melihat satu sama lain.
“[Seandainya bisa sebenarnya aku ingin selalu bisa seperti ini].”
Dan saling tersenyum.
“[Namun, begini saja...Aku sudah sangat berterima kasih...].”

Chiaki dan Mihashi tidak henti-hentinya menceritakan berbagai macam kejadian di saat mereka tidak bertemu satu sama lain.
Mereka berdua benar-benar terlihat sangat bahagia.
Kemudian, ketika melewati sebuah mesin permen di pingir jalan, Mihashi langsung berkata kepada Chiaki, ‘Ini adalah coklat yang biasanya Bibi Chiharu berikan padaku!’, dengan riangnya.
Chiharu langsung tertegun kemudian berkata pada Chiaki,
“Maaf aku tidak memberikannya coklat yang lebih mahal yang dijual di toko-toko dan justru memberikannya coklat murah dari mesin permen tua di pinggir jalan! [Mesin permen ini katanya sudah jauh ada sebelum aku lahir].”
Chiaki tidak meresponnya, baik dengan ucapan maupun gerak tubuh.
Ia hanya merogoh sakunya kemudian mengambil sesuatu berbentuk lingkaran.
Sepertinya uang receh.
Ia lalu memasukkan koin itu ke dalam mesin permen dan dalam waktu sekejap, keluarlah coklat yang biasanya Chiharu berikan pada Mihashi.
“Asyik! Aku dapat coklat lagi hari ini! Tapi--Yang ini dari papa!!”
Begitu Chiaki memberikan sebatang coklat itu padanya, Mihashi langsung mendekapnya dengan erat seolah coklat murah itu adalah barang paling berharga yang ia miliki.
Chiharu hanya bisa terdiam sambil menatap bingung ke arah Chiaki.
“K--Kenapa kau memberikan coklat itu padanya? Bukannya itu cuma coklat murah?”
Tanyanya.
Mendengar pertanyaan adiknya itu, Chiaki langsung menoleh ke arahnya.
“Kenapa, ya?”
Katanya sambil tersenyum dan menggaruk belakang kepalanya.
“Mungkin karena--“
Ia terdiam sambil menundukkan kepalanya lalu,
“Alasan yang sama dengan ‘Kenapa kau memberikan coklat ini padanya’?”
“?!”
Chiaki langsung tertawa begitu melihat reaksi Chiharu yang kaget.
Chiharu langsung melemparkan tatapan kesal ke arahnya sambil mengangkat sebelah tangannya, sementara Chiaki hanya bisa berkata ‘Oke, oke, maaf’kan aku, Nona’.
“Simple saja...”
Ia berkata sambil memejamkan matanya.
“Kau hanya ingin membuatnya bahagia’kan?”
“....................................”
“Kebahagiaan itu...Bukanlah ketika mendapat barang-barang bagus atau mahal. Tapi--Ketika kita memperoleh, bahkan sesuatu yang sangat kecil ataupun tidak berharga dari orang yang kita sayangi. Sesuatu yang tidak berharga itu, akan berubah menjadi berharga, bahkan lebih berharga daripada emas ataupun berlian. Karena itu adalah bukti bahwa--“
.................
........................................
..................................................................
“Orang tersebut ternyata masih mencintai kita.”
“....................”
Setelah berkata seperti itu, Chiaki mengelus kepala Mihashi dengan lembut dan berkata ‘Nah, nah, ayo, kita ke sekolah sekarang’.
“............................”
“Bibi, bibi sedang apa? Ayo, kita pergi!”
“Ah, iya!”

Sesampainya di sekolah, Mihashi mengucapkan selamat tinggal pada Chiharu dan juga Chiaki.
Kemudian dari dalam gerbang sekolah, muncul sosok Aragaki-sensei yang memberi salam pada mereka berdua.
Ia dan Chiaki berbincang-bincang sebentar kemudian membawa Mihashi masuk ke dalam sekolah.
Pada saat itu--
“Mihashi!”
“?”
Ketika mendengar suara ayahnya memanggil namanya, Mihashi menoleh.
“Ingat, apapun yang terjadi, meskipun kau tidak bisa melihat papa, papa akan selalu melihatmu dan berada di sisimu...”
“...............”
“Karena itu, kau tidak usah khawatir lagi. Papa tidak akan pernah meninggalkan--Ataupun membuangmu. Papa akan selalu mencintaimu apapun yang terjadi.”
“..........................”
Mihashi terdiam agak lama begitu mendengar ucapan ayahnya.
Benar.
Sekarang ia sudah tidak perlu khawatir lagi.
Tidak akan ada yang meninggalkannya.
Maka dengan yakinnya, ia berkata,
“Ya!!”
Sambil tersenyum.
Aragaki-sensei yang melihatnya hanya bisa tersenyum.
Chiaki melambaikan tangan kemudian berbalik pergi.
Mihashi membalas lambaian tangan ayahnya dan berjalan pergi bersama Aragaki-sensei.
Chiharu hanya bisa menghela nafas lega.
Sepertinya, ini akan jadi awal yang baru untuk Mihashi.
Hanya ada satu hal yang membuat Chiharu khawatir.
Maka diam-diam, dia mengikuti Aragaki-sensei dan Mihashi masuk ke dalam ruangan aula.

“.....................................”
Di dalam ruangan aula, seluruh murid yang berada di satu kelas yang sama dengan Mihashi sudha berkumpul.
Mihashi memandang ke arah mereka dengan wajah sedikit takut.
Namun ia sudah bertekad untuk minta maaf pada semuanya.
Maka ia tidak bisa mundur lagi.
Ia melepas genggaman tangan Aragaki-sensei, kemudian maju perlahan.
“...................”
Teman-temannya satu per satu memandang ke arahnya.
Ada yang melihat dengan wajah tidak suka, benci maupun takut.
Tak ada yang mengatakan satu kata pun.
Semuanya diam dan itu membuat Mihashi semakin canggung.
Tapi, ia sudah menggagalkan festival sekolah yang penting bagi semuanya.
Tidak ada waktu untuk merasa takut.
Maka, setelah menyiapkan dirinya, Mihashi berkata pelan,
A--Ano--Semuanya--Aku--“
..................
...............................
.................................................
“Ma--Maaf’kan aku!!”
Ia berkata dengan suara lantang sambil membungkukkan tubuhnya.
........................
Tidak ada reaksi apapun.

Tap Tap Tap

Hanya suara langkah kaki yang terdengar.
Perlahan, ia mengangkat wajahnya, melihat siapa orang yang sedang berjalan ke arahnya itu.
“..........................”
Dengan wajah angkuh dan sombong itu, ekspresi yang tidak lain hanya dimiliki oleh Kinomiya Ringo, yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.
“..........Ringo-chan--“
“Aku minta maaf.”
Ringo berkata dengan pelan kemudian membungkukkan tubuhnya.
“.....................Eh...?”
Setelah itu, semua murid satu per satu mendekati Mihashi dan membungkukkan tubuhnya.
“Kami minta maaf!”
“Maaf’kan aku, ya!”
“Maaf!!”
“Kumohon maaf’kan kami!”
“.......................”
Mihashi menatap semuanya dengan ekspresi bingung.
Matanya mulai berkaca-kaca.
“A--Apa yang kalian semua katakan...? Kalian tidak berbuat salah...Aku yang sudah menghancurkan pertunjukkan kelas kita--Jadi--Aku yang seharusnya minta maaf pada kalian semua...Maaf...Maaf’kan aku...Aku--Aku--“

GREP

“....................”
“Sudahlah.”
“.............................”
Mihashi hanya bisa berdiri terdiam tanpa mengucapkan apapun, ketika ia merasakan tubuh Ringo memeluknya.
“Kau tidak perlu minta maaf. Aku--Waktu itu tidak seharusnya aku mengatakan semua hal itu padamu...”

“ ‘Papa’ apanya!!? Dia tidak ada di sini tahu! Bukannya, AYAHMU SENDIRI YANG SUDAH MEMBUANGMU, YA!!?
“Hah! Ternyata kau memang tidak berguna!! Kalau aku jadi, ayahmu--Tanpa harus berpikir untuk yang kedua kalinya, aku akan membuangmu!!! Dan seandainya aku diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya, Maka aku--Tanpa ragu--PASTI AKAN MEMBUANGMU LAGI!!!

“........................”
“Aku benar-benar jahat...Tanpa memikirkan perasaanmu, aku mengatakan hal sekejam dan semengerikan itu...Padahal aku tidak tahu apa-apa, tapi aku selalu bersikap seolah aku tahu segalanya...”
“.............Ringo-chan...”
“Ayahmu tidak membuangmu...”
“Eh...?”
“Ayahmu, adalah orang paling menakjubkan di dunia ini. Ia rela membesarkanmu seorang diri, dengan penuh kasih sayang dan juga cinta. Ia rela berpisah darimu, supaya kau bisa hidup bahagia. Harusnya aku tidak bersikap buruk padamu. Harusnya aku tidak bersikap seolah benar-benar mengenal siapa dirimu...Lalu...”
“........................”
“Aku percaya, ayahmu tidak akan pernah membuang ataupun meninggalkanmu. Karena--“
“Kau adalah purti satu-satunya yang paling berharga...”
Ia mengatakannya, dengan senyuman di wajahnya.
“.......................A--Aku--Aku--“
“...........Hey,”
“?”
“Maukah kau--Memulai semuanya dari awal dengan kami semua...?”
“......................T--TENTU SAJA!!!
Dan, mereka semua akhirnya berbaikkan, menerima diri Mihashi apa adanya.
Sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai terlihat dari air mata mereka semua.
Chiharu yang menatap dari luar ruangan, hanya bisa melihat dengan tatapan haru.
Dari sana, ia bisa melihat Aragaki-sensei tersenyum sambil melihat ke arahnya.
Sepertinya, ia sudah memberitahu pada semuanya tentang kebenarannya.
Tentang apa yang terjadi selama ini dan menjernihkan semua permasalahan yang ada.

Pada akhirnya, semuanya berakhir dengan baik.
Chiaki datang hampir setiap minggunya untuk menengok Mihashi.
Mihashi dan teman-temannya yang lain juga sudah berbaikkan.
Sebagai pengganti pertunjukkan mereka yang gagal waktu itu, mereka membuat sebuah pertunjukkan kecil di aula sekolah, yang ditonton oleh para guru.
Hampir tiap harinya, mereka lewati dengan senyuman.
Tidak ada ending cerita yang lebih baik daripada ini...

“Bibi...”
“Hm?”
“Bunga sakura-nya cantik, ya?”
“Terserah pada katamu.”
“.....................”
“................................”
“Bibi...”
“Ada apa lagi?”
“................Terima kasih.”
“......untuk apa?”
“Untuk semua yang sudah kau lakukan untukku.”
“Aku tidak melakukan apapun.”
“Itu tidak benar. Kau sudah berbuat banyak untukku. Aku sangat berterima kasih dan juga sangat menghargai semuanya.”
“Kalau begitu berterima kasihlah dengan tidak membuat keributan tiap harinya.”
“Ha ha, oke.....Hmm...Boleh aku bertanya sesuatu...?”
“Apa? Kalau menyusahkan, aku tidak akan menjawabnya.”
“...............Kalau seandainya kau diberi kesempatan kedua, apakah kau akan memilih pilihan yang sama...? Ataukah, kau akan meninggalkan aku dan tidak merawatku...?”
“Pertanyaan macam itu?! Aku tidak mau menjawabnya! Itu menyusahkan!!”
“Begitu, ya...? Kalau begitu, yang ini saja...”
“................”
“.............................Apa boleh aku memanggilmu ‘Mama’...?”
“Tidak, tidak, tidak!!! Apa-apan dengan pertanyaan itu!!? Itu buruk sekali!! Benar-benar buruk!! Mau sekarang kau kutinggalkan di jalanan!!?”
“Eh!? J--Jangan!”
“Kalau begitu, tutup mulutmu dan jangan bicara lagi!”
“B--Baik--“
Chiharu dan Mihashi berjalan bersama, bergandengan tangan, di bawah pohon-pohon sakura yang menjulang tinggi di sekeliling mereka.
Bunga-bunga sakura berwarna merah muda yang cantik, terbang jatuh di sekitar mereka
Chiharu melihat ke atas untuk sesaat, memperhatikan langit.
Langit biru yang sangat indah.
Apakah hari seperti ini dapat berlangsung selamanya?
Chiharu terdiam, kemudian tersenyum dan menggeleng pelan...
***-***
“............Apa kau sudah menyiapkan semua barang-barang yang harus kita bawa?”
Kata seorang pria tua berambut putih hampir botak sambil duduk di sebuah kursi goyang.
Di tangannya ada sebuah koran yang sedang ia baca.
Dari dalam rumah, seorang wanita tua menjawab ‘Sebentar lagi’, sambil memasukan beberapa pakaian ke dalam sebuah tas yang ukurannya cukup besar.
Mereka adalah sepasang suami istri yang tinggal di sebuah kota kecil.
Rumah mereka juga terlihat sudah sangat tua, sepertinya mereka sudah tinggal di sana bertahun-tahun lamanya.
Sambil mengelap keringat di dahi dengan tangannya, wanita tua tersebut, berjalan mendekati suaminya.
“Aku sudah selesai mengemasi seluruh barang-barangnya.”
Tanpa melihat ke arah istrinya, pria tua itu berkata ‘Hm’, yang singkat.
Beberapa saat kemudian, wanita tua itu berjalan mendekati salah satu meja di dalam ruang tamu, di mana terdapat sebuah bingkai foto di  atasnya.
“Apa kita harus benar-benar melakukan hal ini? Tak bisakah kita biarkan dia yang melakukannya?”
Ia bertanya, dengan nada sedikit khawatir sambil menyentuh bingkai foto itu dengan perlahan.
Di dalam foto itu, terdapat gambar pria dan wanita tua itu.
Tapi, di tengah-tengah mereka, ada seorang gadis berambut coklat muda, yang sedang mengangkat kedua tangan dan tersenyum.
Sang kakek menghela nafas kemudian menoleh ke arah istrinya.
“Tidak mungkin aku bisa mempercayakannya pada orang itu. Sejak dulu, kau sudah tahu seperti apa dia’kan?!”
Ia bicara dengan nada sedikit marah.
“Tapi--“
“Sudahlah.”
Pria tua itu akhirnya bangkit berdiri dari kursinya.
“Bersiap-siaplah. Sebentar lagi, kita akan pergi untuk menjemput cucu kita...”
***-***

A/N : Hai, minna

Sankyuu!!

Visit : Ngomik

          DA

Next Chapter : Epilogue

Author, 
Fujiwara Hatsune

Tidak ada komentar:

Posting Komentar