*Read : Chapter -XXX-
Chapter 2
Chapter -XXX-
Chapter 3
* Read Another Stories :
Ini adalah kota
Hanasaki.
Sebuah kota
kecil yang terletak di daerah pinggiran.
Orang-orang
menjalani hari-hari di sini, sama seperti hari-hari yang lainnya, tidak ada
yang spesial.
Namun di saat
yang bersamaan, bukan berarti tidak ada sesuatu yang spesial.
Tinggal di
sebuah kota yang kecil, dengan jumlah penduduk yang sedikit, tidaklah membuat
kehidupan masyarakat di sini terasa mudah.
Masalah
penduduk, masalah pendidikan ataupun masalah kesehatan masih menjadi sesuatu
yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Banyak orang
menderita dan mengeluh atas masalah itu, namun pemerintah hanya sibuk
memperkaya diri mereka sendiri tanpa memperdulikan nasib orang-orang di kota
kecil ini.
Bagi sebagian
orang, terlahir di kota kecil seperti ini seperti sebuah kutukan.
Kutukan yang
tidak akan pernah terputus atau terhenti bagi keluarga serta keturunan mereka.
Situasi yang
mereka alami seperti sebuah situasi yang sama sekali tidak ada harapan, baik
untuk sekarang maupaun untuk masa depan mereka.
Namun di saat
yang bersamaan juga, bukanlah situasi
yang sama sekali tidak ada harapannya.
HANA NO UTA
[Song of Flower]
Chapter 1
Dan Kuncup Bunga yang Kecil itu Akhirnya
Mekar
“Yo, Sugata!
Hari ini jalan kaki seperti biasanya, ya?”
Sugata
menghentikan langkahnya tanpa menatap ke arah pemuda berambut putih pendek yang
mengenakan kacamata itu.
“Satou...Ada
apa?”
Pemuda bernama
Satou itu tertawa kecil kemudian menepuk pundak Sugata sambil tetap menaiki
sepedanya.
“Tidak ada
sesuatu yang penting. Aku hanya ingin menyapamu.” Satou tersenyum.
“Oh.” Sugata
berkata singkat.
Sugata
menyingkirkan tangan Satou dari pundaknya dan kembali berjalan.
Satou tertegun
sesaat kemudian mengayuh sepedanya dan mengikuti Sugata yang terus berjalan
dari samping.
“Hey, Sugata,
jujur saja...aku merasa sedikit kasihan selalu melihatmu jalan kaki sejak dulu.
Mintalah orang tuamu membelikan sepeda.”
“Jangan
bercanda. Orang tuaku miskin. Mana mungkin bisa membelikanku sepeda. Mereka
juga membenciku.” Sugata berkata dengan ekspresi sedikit kesal.
Sugata sangat
tidak suka membicarakan tentang kedua orang tuanya.
Satou langsung
menundukkan kepalanya, menyadari kalau seharusnya ia tidak berkata seperti itu.
Beberapa saat
kemudian, ia kembali mengangkat wajahnya dan tersenyum.
“Ah...Jangan pasang wajah cemberut seperti itu,
Sugata. Nanti gadis-gadis bisa kabur. Yah, sebenarnya sih kau cukup keren. Tapi
kalau bersikap seperti ini terus, bisa-bisa kau tidak akan mendapat kekasih
seumur hidupmu.”
“Aku tidak peduli. Aku sama sekali tidak
tertarik dengan hal seperti itu.”
“Masa? Kita sekarang’kan sudah SMA. Sudah
waktunya memikirkan percintaan. Memang hal itu sama sekali tidak ada di
pikiranmu atau di dalam ‘daftar yang harus kau lakukan selama SMA’?”
“Tidak ada.”
Sugata berkata tanpa melihat ke arah Satou sedikitpun.
Mendengar reaksi
Sugata yang seperti itu, Satou menghela nafas pelan.
Dia sudah tahu kalau pemuda berambut coklat
cukup panjang itu akan mengatakan hal yang bisa langsung membuat orang lain
merasa kesal dan pergi meninggalkannya sendiri.
“Haah...kau
terdengar dingin seperti biasanya, ya? Aku hanya ingin mencairkan suasana tapi
kau malah bersikap seperti itu. Sejujurnya, sih aku juga belum memikirkan
sampai ke situ. Yang ada dipikiranku sekarang ini hanyalah belajar dengan
serius lalu setelah aku lulus dari SMA ini aku akan mencari pekerjaan dan
memulai hidup di kota ini. Yah...ini memang
masih sangat lama sih. Tapi aku penasaran, apa yang akan Sugata lakukan?”
Tiba-tiba saja
Sugata menghentikan langkahnya.
Bersamaan dengan
itu, Satou menghentikan sepedanya dan melihat ke arah Sugata yang terdiam.
“Sugata? Ada
apa?”
“..............”
“Hm?”
Sugata menoleh
perlahan ke arah Satou yang dari tadi terus menatapnya kemudian berkata pelan.
“Aku...akan
pergi dari kota ini.”
“Hah? Apa?”
Sugata kembali
memalingkan pandangannya dari Satou.
Kali ini, dia
menatap ke arah pohon sakura yang sedang bermekaran.
Sinar matahari
yang menyinari seluruh kota ini seolah berkumpul jadi satu dan menyinari pohon
sakura tersebut, membuat Sugata harus menggunakan sebelah tangannya untuk
melindungi matanya dari cahaya matahari yang terasa menyilaukan.
Pertanyaan Satou
tadi, masih terus terbayang di pikiran Sugata.
Adalah hal yang
wajar kalau orang ingin segera pergi dari tempat ini.
Kota kecil yang
sama sekali tidak terurus, kota kecil yang tidak dipenuhi oleh harapan.
Orang normal
tidak akan menginginkan hidup di tempat seperti ini.
Begitu pula
dengan Sugata.
Begitu pula
dengan semua orang di kota ini.
Semua sudah
lelah terus hidup di kota kecil seperti ini.
Semua
menginginkan kehidupan yang lebih baik.
Semua orang
ingin keluar dari penderitaan ini kemudian menemukan harapan-harapan baru di
luar sana.
Di luar kota
ini.
“Aku duluan.”
Sugata kembali
berjalan dan mendahului Satou.
“Oi, Sugata! Kau
mau ke mana? Sekolahnya’kan lewat sini.” Satou berteriak ke arah Sugata tapi
pemuda itu sama sekali tidak meresponnya.
“Hey!! Nanti kau
bisa melewatkan upacara pembukaan, lho!!!”
“Biar saja.
Nanti setelah upacara selesai, aku akan datang.” Sugata berjalan menaiki
jalanan yang sedikit menurun.
“Akh...ah...sejak
SMP selalu saja seperti ini. Si Sugata itu...sepertinya dia sudah benar-benar benci
dengan kota ini, ya...? Hm...”
Satou berkata
pelan sambil memperhatikan jalanan yang dilalui oleh Sugata kemudian kembali
mengayuh sepedanya menuju ke sekolah.
***-***
Sugata Yoshikawa hidup bersama ayah
dan ibunya di kota kecil Hanasaki.
Meskipun semua orang membenci
kehidupan di kota ini, namun Sugata pernah sekali merasakan kebaikan dan
kebahagiaan di kota ini.
Tinggal bersama dengan keluarganya
dan membuat berbagai macam kenangan dengan mereka adalah yang tidak akan pernah
bisa tergantikan sampai kapanpun.
Namun, seiring dengan berubahnya
kota ini, semuanya terasa berubah bagi Sugata.
Ayahnya yang dipecat dari
pekerjaan menjadi pengangguran sering pulang
malam dan menghabiskan uang yang sebenarnya untuk memenuhi keperluan
sehari-hari mereka.
Ibunya juga tidak bekerja dan
setiap hari selalu bertengkar dengan ayahnya.
Untuk itu selain sekolah, Sugata
juga harus berjuang untuk menghidupi keluarganya dengan melakukan berbagai
macam pekerjaan paruh waktu.
Meskipun begitu, entah sejak kapan
kedua orang tuanya memperlakukannya seperti orang asing.
Mereka tak saling menyapa bahkan
ketika mereka makan di satu meja yang sama, mereka tidak saling bicara satu sama
lain.
Sugata ingat dengan jelas kenapa
orang tuanya berbalik membencinya seperti itu.
Ya, seandainya saja dia tidak
bersikap egois...
Mungkin saja...
Saat ini, bunga kebahagiaan akan
terus mekar di tengah-tengah Sugata dan keluarganya.
Dan sejak saat itu, Sugata jadi
membenci kota ini.
Sugata berjalan
sampai akhirnya ia sampai di sebuah padang bunga yang indah.
Satu-satunya
sisi baik dari kota tanpa harapan ini dan tempat favorit Sugata sejak kecil.
Ia berdiri di
sana sambil mengamati padang bunga yang luas itu.
Untuk sesaat,
pandangan Sugata tidak bisa lepas dari pemandangan padang bunga yang luar biasa
ini.
Banyak sekali
kenangan yang sudah ia buat bersama dengan keluarganya di sini, kenangan yang
indah.
Bayangan dirinya
ketika masih anak-anak, bermain dan berlarian dengan gembiranya di padang bunga
ini muncul.
Kedua orang
tuanya yang terlihat bahagia sambil duduk di bawah pohon sakura yang indah
memperhatikan Sugata kecil dari jauh sambil sesekali melambaikan tangan ke
arahnya.
Ketika tiba-tiba
bayangan seorang gadis kecil mengikuti Sugata dari belakang terbayang di
pikirannya, Sugata langsung tertegun.
Perlahan, ia
memundurkan kakinya perlahan kemudian memegang kepalanya.
Keringat dingin
langsung mengucur deras.
Perlahan, Sugata
menghela nafasnya.
“Haah...Kurasa...memang
tidak seharusnya aku pergi ke tempat ini...”
Sugata berbalik
kemudian terdiam sesaat.
Ia memandang ke
arah langit musim semi.
Begitu biru,
sama seperti hari itu.
“Ah!”
Sugata tiba-tiba
berteriak tanpa alasan yang jelas.
Ia menundukkan
kepalanya kemudian berkata pelan,
“Aku harus
berhenti memikirkan hal itu.”
Di saat yang
sama, padang bunga ini telah menjadi tempat yang paling dibenci oleh Sugata.
Banyak kenangan
manis yang tidak ingin Sugata lupakan, namun di saat yang sama...kenangan itu
terlalu menyakitkan untuk diingat.
“Yosh, aku akan
pergi ke toko sebentar kemudian pergi ke sekolah ketika upacara pembukaan sudah
selesai.”
“Di jalan berbatu yang biasa kau lalui”
“Suara?”
Ketika ingin
berbalik dan pergi meninggalkan padang bunga itu, Sugata dikejutkan oleh suara
nyanyian seseorang yang tidak dikenalnya.
“Di kota ini
Kota kita berdua
Sinar matahari yang menyilaukan menembus
pepohonan di sekitarnya
Ketika diriku berjalan melintasi jalan
berbatu tersebut
Aku teringat ketika aku pertama kali bertemu
denganmu
Aku mulai merasa ingin menangis
Air mata membasahi wajahku dengan perlahan
Banyak sekali kenangan di dalamnya
Di dalam kota yang kecil ini
Hanya kau yang aku cintai
Hanya kau yang ada di hatiku
Hey, apa kau ingat?
Ini lagu yang selalu kunyanyikan untukmu
Wahai kupu-kupu ku
Musim telah berganti
Musim semi yang hangat datang menggantikan
musim dingin yang beku
Bunga-bunga yang sebelumnya tertidur telah
kembali bermekaran
Aku harap kita bisa terus bersama
Terus menjalani kehidupan seperti ini
Hanya dirimu yang ingin aku lihat
Hanya suaramu yang ingin aku dengar
Sampai kapanpun aku tidak ingin melupakanmu
Namun akankah suatu saat nanti, waktu yang
terus berputar ini akan menjadi pudar
Dan membuatku melupakan dirimu?
Hari-hari terus berlalu
Kita melaluinya dengan canda dan tawa
Berjanji jangan sampai ada setetes air mata
yang jatuh diantara kita
Sambil menggenggam erat tanganku
Kau tersenyum dan berkata pelan
‘Aku menyukaimu’
Hal yang ingin kudengar
Kini terdengar menyakitkan ketika kuingat
lagi
Akhirnya air mata yang terus tertahankan itu
terjatuh
Dunia ini hanyalah sekumpulan debu yang
suatu saat nanti akan menghilang
Dan di saat itu terjadi, akankah rasa
cintaku padamu juga akan menghilang?
Kumohon hentikan!
Semua perasaan ini menyiksaku
Hari-hari yang kulalui di kota ini tak lagi
sama tanpa kehadiranmu
Saat aku terbangun
Hanya kau yang tidak ada disisiku
Meskipun kemarin kau masih ada di sampingku
dan menggenggam tanganku
Berjalan bersama di jalan berbatu itu
Di kota ini
Saat ini kau seolah menghilang
Ke mana kau pergi?
Aku ingin tahu
Apa kau pergi menuju ke ribuan bintang di atas langit?
Aku menyadari satu hal
Kalau kau akan selalu ada melihatku dari
atas langit
Seperti seekor kupu-kupu yang melihat
bunganya dari atas langit
Aku melihat bayanganmu di langit malam
Meneteskan air mata
Namun di saat yang sama
Aku bisa melihat senyuman kebahagiaan di
wajahmu
Kini aku tahu
Kau ingin aku bahagia
Kau ingin aku melanjutkan hidupku
Untuk terus mengingat semua kenangan kita bersama
‘Jangan lupakan’
Samar-samar aku bisa mendengar suaramu yang
berbicara padaku dari balik awan
Tidak peduli seberapa banyak aku menyesal
seumur hidup karena kehilangan dirimu
Aku tidak peduli
Karena itu adalah bukti kalau kau pernah
hidup
Di sini
Di kota kita
Aku tidak akan pernah melupakannya
Meskipun semuanya berubah
Meskipun jalan berbatu itu berubah
Meskipun kota kecil ini berubah
Namun seekor kupu-kupu yang selalu mengejar
bunga cintanya itu
Tidak akan pernah berubah sampai kapanpun
Sampai kapanpun
Sampai kapanpun
Ingatlah selalu
Bahwa apapun yang terjadi
Aku akan selalu ada di sampingmu
Berada di dekatmu
Meskipun kau tidak terlihat oleh mataku
Namun hatiku bisa melihatmu dengan jelas
Ayo, kupu-kupu ku
Kita
lanjutkan perjalanan kita
Bersama, menuju ke padang bunga itu
Sambil menyanyikan lagu kita berdua
Dan di hari yang baru, musim yang baru
akhirnya akan datang
Bunga-bunga yang baru akan bermekaran
Dan membawa harapan yang baru untuk kita
berdua”
Untuk sesaat,
Sugata seolah terpaku oleh lagu tersebut.
Sangat indah,
namun di saat yang bersamaan juga sangat menyedihkan.
Tiba-tiba, di
tengah padang bunga itu, muncul seorang gadis berambut merah tua pendek yang
tengah berdiri tengah padang bunga itu.
DEG!!
Sugata merasa
jantungnya berdebar dengan kencang tanpa alasan yang jelas.
Mungkin ia
terkejut karena ternyata ada orang selain dirinya di sini.
Gadis itu
menghela nafas perlahan kemudian memejamkan kedua matanya.
“Haaah...akhirnya
selesai juga...Tapi aku berpikir...apa yang tadi itu sudah cukup bagus, ya?”
Gadis itu
berkata kepada dirinya sendiri.
Kemudian...
“Hm?” Gadis
tersebut tak sengaja menoleh ke arah Sugata.
...........
........................
..................................
“KYAAAAAAAA!!!!!!!!!!”
“Ukh!!”
Mendengar suara teriakkan gadis yang luar biasa kerasnya itu, Sugata langsung
menutup telinganya.
“[A--apa-apaan gadis itu!! Kenapa berteriak
sekeras itu ke arahku!!? Apa benar dia gadis yang menyanyikan lagu tadi!!!?
UGH!!]”
“K--kau...kau...kau
men--mendengar---lagu itu...?” Berkata dengan terbata-bata sambil menunjuk ke
arah Sugata, gadis itu terlihat sangat ketakutan.
“Hm? Ya, aku
mendengarmu lalu--“
“KYAAAAAAAAAH!!!!”
“Ugh!!!”
“Ja--jadi!! Jadi kau benar-benar
mendengarnya!!!!? Kau mendengarnya!!? Uwaaaaaaaah!!!!!” Ia kembali berteriak,
lebih kencang dari sebelumnya.
“Sudah! Hentikan
teriakanmu!! Memangnya kenapa kalau aku mendengarnya?! Kau menyanyi juga pasti
untuk didengar oleh orang lain’kan?!!”
“Hiks...k--kau
marah padaku, ya? Ma--maaf...aku sama sekali tidak bermaksud untuk berteriak
sekeras itu ke arahmu...hiks...maafkan aku ya...?”
Oh baiklah,
sekarang dia mulai menangis.
“[Inilah alasan terbesar kenapa aku tidak
ingin berurusan dengan gadis-gadis!!] Sudahlah, aku sama sekali tidak
marah, kok. Kau teruskan saja menyanyimu. Aku juga sudah mau pergi.”
Gadis itu
mengusap air matanya dan berdiri di tempatnya sementara Sugata langsung
berbalik dan melangkahkan kakinya perlahan.
Kota ini memang
tidak dipenuhi oleh harapan.
“T--tunggu!!”
“!!!?”
Namun di saat
yang bersamaan, bukanlah sebuah kota yang sama sekali tidak ada harapannya.
“......”
Gadis berambut
merah itu menarik lengan seragam Sugata dengan kuat.
“Tu--tunggu
sebentar...”
Sugata menghela
nafas pelan dan berusaha melepaskan tangan gadis itu dari lengan seragamnya.
Namun, gadis itu
sama sekali tidak memiliki niat untuk melepaskannya begitu saja.
“Hah, baiklah.
Sekarang, apa maumu? Kau mau aku pergi’kan? Ya sudah, aku akan pergi sekarang.
Lanjutkan saja menyanyimu.” Sugata ingin berbalik lagi tapi...
“Bagaimana
menurutmu?!”
Gadis itu
berkata tiba-tiba dengan wajah tersipu malu sambil menatap ke arah mata Sugata.
Air mata masih terlihat sedikit di mata gadis itu.
Untuk sesaat
mata mereka berdua bertemu dan saling berpandangan untuk beberapa saat.
“H--Hah?” Sugata
tidak mengerti dengan ucapan gadis itu.
“B--bagaimana
menurutmu?” Gadis berambut merah pendek itu kembali mengulangi pertanyannya
dengan suara lebih pelan. Ia menundukkan kepalanya perlahan.
Ekspresi gadis
itu terlihat seperti baru saja mengatakan sesuatu yang sama sulitnya seperti
seorang gadis yang ingin menyatakan perasaannya pada pemuda yang ia sukai.
Sekali lagi,
Sugata menghela nafasnya.
Ia sama sekali
tidak menyukai situasi ini.
Situasi ketika
kau terjebak bersama dengan seorang gadis cengeng dan pemalu seperti dia sangat menyebalkan,
tidak peduli bahwa gadis itu sebenarnya sangat manis.
“Apanya yang
bagaimana? Kau tanya bagaimana pendapatku tentang lagu yang kau nyanyikan itu?”
Sugata langsung mengarah ke topik utamanya. Tidak ingin berlama-lama dengan
gadis itu.
“Ah, kau
mengerti, ya? Iya, aku...i--ingin tanya--apa...pe--pendapatmu tentang...lagu
itu...Etto...bagaimana cara aku
mengatakannya, ya...? K--karena tadi kau sudah terlanjur mendengarnya...Ano...Menurutmu...apa lagu itu...su--sudah
bagus...?” Sambil memainkan jari-jari mungilnya, gadis itu bertanya kepada
Sugata tanpa melirik ke arahnya dan terus melihat ke bawah.
“Hentikan
sikapmu yang lembek itu. Jujur saja, cara bicaramu yang sangat bertele-tele itu
benar-benar mengangguku. Aku tidak suka gadis sepertimu.” Kata Sugata tanpa
mempedulikan perasaan gadis itu yang langsung merasa seperti ditusuk oleh
jutaan pedang.
“Hee? K--kau
tidak menyukaiku, ya? M--maaf...” Gadis itu kembali terlihat murung.
Melihat gadis
berambut merah pendek yang kembali menangis itu, Sugata semakin merasa kesal
dan menggaruk rambutnya bagian belakangnya dengan kasar.
“Haaaah!!! Hen-ti-kan!
Aku tidak membencimu tapi bukan berarti aku menyukaimu. Kalau kau ingin dengar
pendapatku, baiklah akan kuberikan. Tapi, ini tidak gratis. Setelah ini, kau
harus traktir aku es krim vanilla. Kau paham?” Kata Sugata sambill mendekatkan
wajahnya ke arah gadis yang hanya setinggi pundak Sugata.
“P--paham...tapi
tolong si--singkirkan wajahmu dariku...Uh...” Gadis itu memejamkan matanya
sambil melihat ke belakang, tidak ingin melihat wajah kesal Sugata dari dekat.
Atau mungkin dia
hanya malu karena berada di jarak nol dengan laki-laki yang sama sekali belum
dikenalnya.
“Baiklah...menurutku...Hm...Etto...La--lagu itu... sangat indah.”
Sugata berkata sambil menggaruk sebelah pipinya.
Meskipun ia
hanya bermaksud untuk membuat hati gadis itu senang, entah kenapa tapi wajahnya
berubah menjadi sedikit merah.
Mendengar pujian
dari Sugata, gadis itu langsung tersenyum lebar kemudian menatap Sugata dengan
mata berbinar-binar.
“Be--benarkah!?
K--kau pikir itu indah!?” Kata gadis itu sambil menggenggam tangan Sugata
dengan tiba-tiba.
Sugata yang
terkejut karena gadis itu tiba-tiba saja menggenggam tangannya, langsung
melepas tangan gadis itu.
“Aku bilang lagu
itu bagus! Tapi bukan berarti kau bisa menggenggam tanganku seenaknya!!” Teriak
Sugata ke arah gadis itu.
Meskipun Sugata
berteriak keras ke arahnya, reaksi gadis itu tidak seperti yang sebelumnya.
Ia tertawa kecil
dan tersenyum.
“He he, maaf,
ya...Aku hanya senang sekali ketika kau bilang lagu itu bagus. Syukurlah...Aku
takut kau akan menertawakanku tadi.”
Gadis itu
menghela nafas lega sambil mengelus dadanya.
Sugata
mengalihkan pandangannya ke arah lain dan menghela nafas untuk yang sekian
kalinya di hari ini.
“[Gadis yang aneh.]”
“Hm?” Tiba-tiba
sebuah pertanyaan terbayang di benak Sugata.
“Hey, yang tadi itu lagu siapa? Aku belum
pernah mendengarnya sebelum ini. Yah, aku sebenarnya sih tidak peduli... hanya
ingin tahu saja. Itu sih kalau kau ingin memberitahuku. Tidak juga tidak
apa-apa sih.” Kata Sugata sambil memejamkan sebelah matanya.
“Ehe he...lagu
tadi itu...sebenarnya lagu ciptaanku sendiri...[Duh, aku malu...].”
Mendengar itu,
Sugata langsung terpaku di tempatnya.
Tas yang dari
tadi terus berada di pundaknya tiba-tiba terjatuh ke atas rerumputan.
Angin berhembus
dengan perlahan menerpa mereka berdua dan membuat rambut mereka berkibar.
Lagu ciptaannya?
Tolong di garis
bawahi.
Lagu
ciptaannya?
La--
“LAGU
CIPTAANMU!!!?” Sugata berteriak sekencang yang ia bisa dengan semua udara yang
tertampung di paru-parunya. Rasanya suara itu seperti bergema ke seluruh padang
bunga yang sunyi ini.
Ah, dan tolong
singkirkan garis bawahnya!!
Sekali lagi,
Sugata mengulangi perkataannya.
“LAGU
CIPTAANMU!!!?”
“Eh...?! K--kenapa?
Me--memangnya aneh, ya?” Gadis itu sedikit mundur ke belakang.
“[Tunggu dulu! Apa benar gadis itu yang
menciptakannya? Lu--luar biasa...Siapa dia!? Aku yakin di kehidupan yang sebelumnya
dia pasti seorang legenda dalam dunia vokal!!]” Sugata benar-benar terkejut
ketika mengetahui kalau lagu itu ternyata adalah ciptaan gadis tersebut.
Tapi dengan
cepat Sugata langsung bangun dari lamunannya dan menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Ah, ti--tidak.
Tidak aneh. Aku hanya...sedikit terkejut saja.” Sugata berusaha tersenyum.
“Be--begitu, ya?
He he, aku sampai kaget tadi.” Kata gadis itu tersenyum lega.
“Baiklah,
sekarang kau traktir aku es krim. Seperti janji kita tadi.”
Hanya es krim.
Setelah itu, ia
dan gadis itu tidak akan pernah bertemu lagi.
Untuk selamanya.
“Siap! Ah!
Ga--gawat...aku sudah terlambat!” Gadis itu mendadak terlihat tegang.
“Terlambat?
Terlambat untuk apa?”
“Upacara
pembukaan!!”
“Upacara--PEMBUKAAN!!?”
Tunggu dulu!
Ini
mustahil’kan?
Perlahan, Sugata
mengamati gadis itu dari atas ke bawah.
Ya, yang
dikenakan gadis itu tidak lain adalah seragam siswi SMA Hanasaki.
SMA yang sama
dengan Sugata.
“I--ini
bercanda’kan...”
Kota ini memang
tidak dipenuhi dengan harapan.
Namun...
Di saat yang
bersamaan juga, bukanlah sebuah kota yang
sama sekali tidak ada harapannya.
Sama seperti
sebuah kuncup bunga kecil yang belum mekar.
Akan ada waktu
di mana bunga itu akan mekar dan menunjukkan pada kita, sebuah harapan baru
yang selama ini terpendam.
Tanpa kita
sadari, harapan itu ternyata ada di samping kita.
Ada di dekat
kita.
Kita hanya perlu
untuk menunggu dan menyadari, hingga akhirnya kuncup bunga yang kecil itu mekar
dan menunjukkan suatu jalan menuju cahaya pada kita...
***-***
A/N : Hai, minna XDD
Akhirnya upload di sini juga he he :)
Ini adalah versi remake dari Hana no Uta yang sempat ga jadi (baru prologue, tapi langsung ga dilanjutin///plaaak)
Semoga Hana no Uta yang ini bisa selesai sampai tamat :D
Maaf juga kalau cerita ini sangat dan amat membosankan atau terlalu mainstream...
Arigato!
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar