*Read:
Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7 Tragedi
“Jadi ini...Di
sini benar-benar tempat Emi tinggal. Dia punya rumah, ya...? [Bukan cuma itu...Dia bahkan punya satu
keluarga yang lengkap...]”
Riya terdiam
sambil terus memperhatikan ke arah rumah Emi.
Pelan-pelan, ia
mulai tersenyum.
“[Ah, aku mengerti. Karena menciptakan seorang
manusia tidak akan bisa menjadi benar-benar nyata kalau ia tidak memiliki
hal-hal yang dimiliki oleh manusia lain. Karena itu, Emi punya keluarga! Bukan
hanya keluarga, bahkan pikiran ibuku sampai dimanipulasi supaya Emi bisa masuk
ke dalam kehidupanku dengan mudah dan bisa menjadi sahabatku!].”
Buku itu memang
benar-benar luar biasa.
“Entah
kenapa...Aku mulai merasa kalau kehidupan seterusnya akan semakin
membaik...Karena sekarang sudah ada 4 orang diantara kita...Ha ha ha...”
Dan Riya
akhirnya memutuskan untuk kembali ke dalam rumahnya.
Keesokan harinya
seolah menjadi sebuah hari baru untuk Riya.
Dia yang
biasanya bangun dengan malas, kini bahkan bangun 30 menit lebih awal. Langsung
saja hal itu membuat ibunya merasa takjub karena tidak harus susah-susah
membangunkan putrinya itu.
Begitu selesai
mengenakan seragamnya dan menghabiskan sarapan, Riya langsung berlari melesat
keluar rumah.
Dan seperti yang
ia duga, sebuah senyuman langsung menyambutnya di depan.
“Riya-chan,
pagi.”
Emi sudah
berdiri di depan rumah Riya sambil melambaikan tangan ke arahnya.
“Pagi,
Emi-chan!”
Balas Riya
dengan riangnya.
“Oh ya,
Emi-chan.”
Riya berkata
kepada Emi yang langsung di balas dengan ‘Ya?’.
“Aku tidak tahu
kalau kau ternyata tinggal di sebelah. Kenapa kau tidak menceritakannya
padaku?”
“He he he.”
Emi justru
tertawa.
Melihat tingkah
sahabatnya itu, Riya langsung merasa dipermainkan.
“Uh...Kenapa kau
tertawa seperti itu? Memang ada yang lucu, ya?”
Kata Riya sambil
melipat kedua tangan di depan dada.
“Ha ha, tidak,
kok. Aku memang sengaja tidak memberitahu Riya-chan kalau aku pindah ke sebelah
rumahmu. Aku hanya ingin memberikan sebuah kejutan kecil. Jadi, bagaimana? Apa
itu mengejutkanmu??”
Tanya Emi sambil
menatap ke arah Riya.
“Sangat
mengejutkan sekali tahu! Kau tidak tahu betapa terkejutnya aku ketika ibuku
bilang kalau ternyata ‘Orang yang pagi-pagi sudah berisik dan pindah ke sebelah
rumahku’, itu ternyata keluargamu, Emi-chan!! Kalau tujuanmu adalah membuatku
terkena serangan jantung, maka aku sudah seharusnya memberi acungan 3 jempol
untukmu!!”
Riya berkata
dengan nada sedikit kesal, meskipun sebenarnya dia tidak sekesal itu.
“He he, maaf’kan
aku, Riya-chan. Habisnya, aku sangat ingin melihat reaksi lucu dari Riya-chan
ketika tahu kalau aku adalah tetangga barumu.”
Kata Emi
malu-malu sambil menggaruk belakang kepalanya.
Rambutnya yang
berwarna kecoklatan panjang sepunggung sedikit berkibar
“Hmph! Oke, oke,
kali ini aku maaf’kan! Dan sebenarnya, aku juga tidak marah, kok! Justru
sebaliknya, aku senang kamu tinggal di sebelah rumahku! Dengan begini, kita
bisa berangkat dan pulang sekolah bersama!”
Riya berkata
sambil menjabat kedua tangan Emi.
Melihat itu, Emi
terdiam sesaat.
Kemudian, sebuah
senyuman manis mengembang di wajahnya.
“Iya, aku juga
senang bisa selalu berada di dekat Riya-chan!”
Mereka berdua
saling tersenyum, yang sepertinya hanya berlangsung beberapa detik saja.
Sampai akhirnya
Riya merasa ada sepasang mata yang melihat ke arahnya.
“[Aku merasa sedang diawasi lagi].”
Batin Riya tanpa
berani menoleh ke sekelilingnya.
Akhir-akhir ini,
entah kenapa tapi Riya bisa merasa kalau ada sepasang bola mata yang
memperhatikannya dari kejauhan.
Ia sudah tahu
kalau mungkin itu ulah Itsuki, yang tiba-tiba saja jadi membencinya gara-gara
rumor aneh yang tersebar antara dia dan Mochida.
Tapi, memang
Itsuki juga akan mengikuti sampai ke rumahnya?
Apa ia akan
berbuat sampai sejauh itu hanya demi Mochida?
Memberanikan
diri, Riyapun sedikit melirik ke belakang.
“[Apa Itsuki
ada di sini, ya? Wah, dia mengikutiku ke mana-mana...Sudah seperti stalker
saja...].”
Ia tidak ingin
melihat tatapan tajam yang selalu dilemparkan oleh Itsuki kepadanya.
Siapa yang tahu
apa yang akan gadis kasar itu lakukan kepadanya?
Dan ketika ia
menoleh--
“Riya, halo. Kau
sudah di luar rupanya.”
“H--Haruko?!”
Rupa-rupanya...Itu
Haruko... -_-
“Hey, jangan
melupakanku, ya! Haruko datang ke rumahku pagi-pagi sekali supaya kami tidak
terlambat datang ke rumahmu. Huaamm...Padahal mataku masih terasa sangat
berat...”
Dan juga Runa
yang tiba-tiba muncul dari belakang Haruko.
Yah, apa boleh buat...Padahal
sudah terlanjur kaget, tapi...
“[Hanya mereka berdua, ya?...Aku pikir si
Itsuki! Syukurlah bukan dia].”
Riya langsung
mengelus dada sambil menghela nafas lega.
Meskipun begitu,
bukan saatnya merasa lega di sini, mata Itsuki bisa saja melihat ke arahnya di
sekolah nanti.
Ia hanya bisa
berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi di sekolah.
Ya, semoga saja
tidak ada.
“Kamu kenapa,
Riya? Kok tiba-tiba pucat begitu?”
Tanya Haruko
yang berdiri di samping Runa.
Riya yang masih
hanyut dalam pikirannya sendiri langsung kaget begitu Haruko menyebut namanya.
“Apa? A--Aku
baik-baik saja, kok. Hanya saja aku masih belum terbiasa bangun sepagi ini,
jadi...”
Katanya sambil
menggaruk matanya berpura-pura masih mengantuk.
Padahal memang
masih mengantuk’kan?
“Tapi bukannya
sesuatu yang bagus kalau kau mulai bangun lebih awal?”
Kali ini Runa
yang bicara, dengan senyuman yang biasa menghiasi wajahnya.
Ketika melihat
itu, Riya langsung bisa merasakan aura pada diri Runa.
Kalau di
lihat-lihat lagi, sebenarnya Runa tidaklah sejelek itu.
Justru
kebalikannya, dengan rambut ungu kemerahan yang di kuncir twintail pendek di bagian bawahnya, selalu terlihat menari-nari
tertiup angin, Runa sebenarnya cukup imut seperti wajah seorang artis ternama.
Bukan hanya itu,
ia juga sepertinya periang dan mudah menarik orang-orang untuk menjadi
sahabatnya.
Atau mungkin bisa dengan mudah mendapatkan seorang kekasih.
Atau mungkin bisa dengan mudah mendapatkan seorang kekasih.
Dan, kalau ada
yang seharusnya ‘Dicurigai karena merebut Mochida darinya’, Itsuki harusnya
mencurigai Runa, bukannya Riya [yang memang biasa-biasa saja kalau dibandingkan
dengan Runa].
Apalagi kalau
melihat sikapnya yang agak...Ganjen tiap kali membicarakan Mochida, Runa
kelihatannya cukup tertarik pada laki-laki berambut kecoklatan yang merupakan
salah satu murid yang paling disayang oleh guru-guru di sekolah.
“[Itu benar...Runa yang seperti itu harusnya
bisa menarik perhatian Mochida. Kenapa orang-orang malah menggosipkan yang
tidak-tidak soal aku begitu sih?].”
Tanpa Riya
sadari, ia dari tadi terus memperhatikan Runa dengan seksama, dan tentu saja,
itu langsung membuat Runa merasa aneh.
“Hey, hey...Kau
itu...Sebenarnya kenapa sih? Masih mengantuk, ya? Kok melihatku sampai
segitunya? Yah, aku tahu kalau aku itu memang cantik, manis, imut, baik hati,
tapi--“
“Sudah, sudah, hentikan,
Runa! Aku paham apa yang ingin kau katakan!”
Riya berkata ke
arah Runa sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan cepat ke arah wajah Runa.
Tingkat
kepercayaan diri Runa sudah melebihi jarak dari bumi ke bulan rupanya.
“[Kurasa aku paham kenapa sampai saat ini
tidak ada laki-laki yang mendekati gadis manis seperti dia].”
Kata Riya dalam
hati, yang langsung disambung dengan ‘Iya, ya, susah juga jadi gadis cantik’.
“Eh, tapi--“
“?”
Haruko
memecahkan lamunan Riya.
Ia terdiam
kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Emi.
“Aku tidak tahu
kalau Kawada-san juga akan berangkat sekolah bersama kita. Apa tidak apa-apa?”
Haruko bertanya
kepada Emi sambil sedikit tersenyum.
Namun entah
kenapa, Riya merasakan ada yang aneh dari perkataan Haruko barusan.
Mendengar
pertanyaan itu, Emi hanya tersenyum kemudian berkata,
“Iya, tidak
apa-apa, kok. Rumahku juga ada di dekat sini.”
Dan itu langsung
membuat Haruko dan Runa memasang wajah kaget yang seolah akan berkata ‘Eh?!’,
sambil meloncat kaget.
“Kau tinggal di
dekat sini, Kawada-san?”
Tanya Runa.
“Iya, aku
tinggal di sebelah rumah Riya. Bisa dibilang kalau aku ini adalah tetangga
barunya.”
Emi menjelaskan
pada Runa.
“Kau...Tinggal
di sebelah rumah Riya...?”
Haruko,
mengulang pertanyaan singkat yang baru saja beberapa saat yang lalu diajukan
oleh Runa.
Wajahnya, tidak
tahu kenapa terlihat sedikit panik, atau mungkin ia merasa bingung.
Melihat ekspresi
Haruko yang seperti itu, Emi bukannya berkata sesuatu seperti ‘Ada apa,
Takashi-san?’, melainkan justru tersenyum dan mendekatkan tubuhnya pada Riya.
“Iya, mulai
sekarang, aku akan semakin dekat dengan Riya-chan. Dan tiap pagi, aku akan
menjadi orang yang menyapa Riya-chan pertama kali.”
Emi berkata
dengan senyuman bangga di wajahnya, sementara Riya hanya bisa merasa bingung
melihat perilaku Emi yang tidak biasanya.
Bisa menyapanya
tiap pagi bukanlah hal yang bisa dibanggakan.
Jujur saja,
mungkin itu akan terasa aneh ketika kau bangun pagi hanya untuk menyapa sahabat
baikmu yang tinggal di rumah sebelah.
Tapi, kelihatannya
Emi sangat senang hanya karena hal seperti itu.
Namun, ekspresi
yang sebaliknya justru diperlihatkan oleh Haruko.
“.......................”
Suasana
tiba-tiba menjadi sunyi yang aneh.
Emi tidak
berhenti memegang tangan Riya dengan erat.
Haruko terus menatap
ke arah mereka berdua dengan tatapan tidak suka, sementara Runa memperhatikan
Haruko dengan wajah agak kecewa.
“Ah, ayo, kita
berangkat sekarang! Sudah bangun lebih awal, masa masih terlambat juga?”
Runa yang
pertama kali bicara, membuat ketiga sahabatnya itu terkejut.
“Iya, iya, ayo
berangkat sekarang. Ayo, Riya-chan.”
Kata Emi sambil
menggandeng tangan Riya.
“[Ini bukan mimpi’kan...?].”
Sambil mengikuti
Emi yang menarik tangannya, Riya berpikir.
Ia lalu melihat
ke arah Haruko dan Runa.
“[Benar-benar ada 4 orang diantara kita
sekarang...].”
Rasanya dengan
adanya satu orang tambahan itu, Riya bisa merasakan akhir yang baik.
Dan dari dalam
lubuk hatinya yang terdalam, sambil memperhatikan ketiga sahabatnya yang saling
tersenyum,
Riya berdoa
dalam hati,
“[Semoga kami berempat bisa menjadi teman baik sampai seterusnya!].”
Rutinitas
seperti inilah yang selalu dilakukan oleh Riya setiap pagi sejak saat itu.
Sudah tidak ada
lagi ‘Pagi yang membosankan’.
Tiap harinya,
selalu Riya jalani dengan penuh semangat dan senyuman.
Sudah tidak ada
lagi ‘Terjebak di dalam lingkaran 3 orang’.
Sekarang sudah
ada dia, Haruko, Runa dan juga Emi.
Saat pelajaran
berlangsung, Haruko dan Runa asyik membicarakan sesuatu seperti biasanya.
Tapi di saat
yang bersamaan, Riya dan Emi juga saling berbincang dan itu selalu menjadi
pembicaraan favorit Riya.
Pada saat
kelompok 2 orang, Haruko tetap dengan Runa.
Jika biasanya
Riya akan meremas pensilnya sambil berkata dalam hati,
“[Ukh...! Kenapa lagi-lagi harus 2
orang!!?]”
Dan selalu
berharap apapun selain kelompok 2 orang,
Sekarang justru
kebalikannya yang terjadi.
Mau kelompok 2
orangpun, sekarang baginya sudah bukan menjadi masalah yang besar lagi.
Karena sekarang
sudah ada Emi yang setia menjadi teman sekelompoknya.
Saat studi
wisata, Riya tidak harus duduk sendirian di dalam bus karena sekarang ia bisa
duduk bersebelahan dengan Emi.
Riya berpikir
setiap saat,
Semua kejadian
yang berlangsung, semua hal yang terjadi sekarang ini benar-benar sesuai yang
ia harapkan.
Ia memiliki seorang
teman sempurna yang selalu ada untuknya.
Ia juga sudah
tidak sendirian lagi.
Persis dengan
apa yang selalu ia inginkan selama ini dengan kemunculan Emi.
Apalagi, Emi
adalah seorang ‘Teman yang sempurna’.
Cantik,
Dengan rambut coklat panjang sepunggung dan
senyuman yang selalu mengembang di wajahnya.
Saat tidak
sengaja melewati loker sepatunya,
“Waa, Emi-chan!
Banyak sekali suratnya!!”
Kata Riya
terkagum-kagum begitu melihat isi loker sepatu Emi yang penuh dengan
surat-surat bergambar hati.
“Ah, tidak.
Biasa saja, kok. Hampir setiap hari seperti ini, jujur aku juga merasa sedikit
terganggu.”
Emi berkata
dengan nada sedikit kesal sambil memunguti surat itu satu per satu dan
memasukkannya ke dalam tas.
“H--Hampir
setiap hari?? [W--WOW!!]. A--Apa kau
akan membacanya satu per satu?”
Tanya Riya
dengan nada penasaran sambil melihat ke dalam tas Emi.
Ia sedikit
melihat siapa-siapa saja nama yang tercantum di surat itu.
Mungkin ia
penasaran dengan siapa yang sudah mengirimkan surat cinta kepada Emi.
“[Tanaka, Watase, Yuka, Nakamura...Tak satupun
nama yang aku kenal...].”
“Ya, tentu saja
aku akan membacanya. Bagaimanapun juga, aku harus menghargai mereka dan menulis
balasan untuk mereka’kan?”
Sambil berkata
seperti itu Emi tersenyum kemudian menutup lokernya.
Pintar,
Selalu teratas dalam pelajaran dan bisa
membantunya belajar setiap waktu.
Saat pelajaran
berlangsung,
“Kawada-san,
coba kau kerjakan soal ini.”
Kata
Akimoto-sensei sambil menunjuk ke arah Emi.
Dengan anggunnya
seperti sedang berjalan di atas catwalk, Emi berjalan maju ke depan.
Beberapa saat
kemudian, papan tulis sudah penuh dengan jawaban-jawaban yang Riya sama sekali
tidak paham.
Bahkan
Akimoto-sensei sampai sangat terkejut ketika Emi berhasil mengerjakan semua
soal-soal itu dengan benar.
Langsung saja,
semua murid langsung heboh menyoraki Emi.
Mereka bertepuk
tangan dan berteriak-teriak seperti sedang menyambut seorang putri.
Riya juga
melihatnya sambil terkagun-kagum.
“[Dia benar-benar pintar!!].”
Di ulangan
kemarin juga, Emi meraih skor sempurna untuk setiap mata pelajaran.
Bukan hanya itu
sisi baiknya,
Karena rumah
mereka yang tinggal berdekatan, Emi bisa mengajari Riya berbagai macam
pelajaran yang dia tidak mengerti.
Jago dalam segala hal,
Memasak,
Saat pelajaran
memasak,
“Waa!! Coba semuanya!
Lihat cake buatan Kawada-san!!!”
“Mewahnya!!”
“Cantik
sekali!!”
Semua murid
langsung mengerumuni kue buatan Emi saat pelajaran memasak.
Kue itu persis
seperti kue-kue dalam pesta pernikahan yang pernah dihadiri oleh Riya sekali
dua kali.
Siapa yang bisa
membuat kue seindah itu, apalagi saat usianya masih sangat muda?
Dan yang
terpenting, rasanya luar biasa lezat.
Semua murid
berebutan untuk mencobanya, tak terkecuali murid-murid dari kelas sebelah.
Ketika harus
praktek membuat satu set makanan yang komplit mulai dari Appetizer, Main Course
dan tak ketinggalan Dessert, semua buatan Emi terlihat sangat cantik dan
sempurna, seperti buatan chef profesional.
Siapapun tidak
akan ada yang percaya kalau yang membuat semua makanan dengan cita rasa kelas
atas itu adalah seorang murid SMA berumur 15 tahun.
Olahraga,
Saat pelajaran
olahraga,
“Ayo,
Kawada-san!!”
Kegiatan
olahraga kali ini adalah pertandingan bola basket.
“Emi-chan! Ayo,
masukkan bolanya!!”
Riya dan semua
murid langsung memberi semangat pada tim Emi yang sedang bertanding.
Bukan cuma jago
dalam hal pelajaran dan memasak juga, tapi ternyata gadis berambut panjang
sepunggung itu, juga pandai dalam hal olahraga.
Coba lihat, baru
saja pertandingan berlangsung 5 menit, Emi sudah berhasil memasukkan bola lebih
dari 10 kali ke dalam ring lawan.
Selain
gerakannya yang benar-benar gesit dan lincah, Emi juga tidak membiarkan
musuhnya merebut bola darinya meskipun itu hanya satu detik.
Kesenian,
Saat pelajaran
kesenian,
“Kawada-san, apa
yang kau gambar itu? Cantik sekali!!”
Seorang murid
perempuan yang kebetulan ada di samping Emi, langsung mengomentari lukisan yang
dibuat olehnya.
“Ini aku dan
Riya-chan. Aku tidak yakin apa ini sudah bagus...Aku tidak terlalu pandai
melukis. Maaf kalau aku membuat wajahmu jadi aneh, Riya-chan, he he.”
Kata Emi sambil
menggaruk rambutnya yang panjang.
Namun yang
dikatakan oleh orang-orang justru berlawanan.
“Apaan itu!!?
asdadasdagfdgurfigjgklkjjsd!!!! Itu cantik sekali, Kawada-san!!!!”
“ ‘Tidak terlalu
pandai melukis’ apanya??! Jago begitu!!”
“Kawada-san itu
terlalu merendah orangnya!”
“Bahkan mungkin
ini jauh lebih cantik dari Miyashita yang asli!!”
“[A--Apa!!!?].”
Ketika di suruh
membuat replika dari tanah liat, Emi berhasil membuat replika Menara Tokyo
dengan sempurna.
Ketika pelajaran
memahat patung, Emi memahat batu itu menjadi wajah Riya [yang memang terlihat
lebih cantik dari aslinya].
Dan berbagai
macam tugas lainnya yang berhasil ia selesaikan dengan sempurna.
Sampai-sampai,
Emi diperebutkan oleh berbagai macam klub yang ada di sekolahnya, mulai dari
klub memasak, klub olahraga dan sampai klub seni.
Jujur saja,
kelebihan Emi dalam berbagai macam bidang memang menjadi daya tarik yang luar
biasa.
Tapi, wajah
cantik dan sempurna dalam segala hal itu, tidak akan membuat Emi semakin
populer kalau seandainya ia tidak memiliki sifat yang satu ini.
Baik
Benar-benar
memiliki hati seorang malaikat.
Ketika ada
seorang siswi yang tidak sengaja menumpahkan minuman ke seragamnya,
“Ah!
K--Kawada-san! Maaf, aku tidak sengaja!! Duh, seragammu jadi kotor... B--Biar
aku bersih--“
“Tidak apa-apa,
he he.”
“Eh...?”
“Kau tidak usah
repot-repot. Ini’kan cuma noda. Nanti juga akan hilang kalau aku mencucinya.
Sudah, lupakan saja.”
“........T--Terima
kasih, Kawada-san!!”
Begitulah, Emi
adalah orang yang sangat pemaaf, tidak mempermasalahkan masalah kecil seperti
kebanyakan orang.
Tak heran kalau
ia bisa menjadi sangat populer dalam waktu singkat.
Semua murid
berlomba-lomba ingin menjadi temannya.
Dan, ketika
orang lain sibuk mengantri, Riya sudah terlebih dahulu berdiri di antrian
paling depan.
Ya, mungkin bagi
semua murid, Emi adalah ‘Teman yang sempurna’ karena bakat-bakat yang dia
miliki.
Tapi bagi Riya,
yang membuat Emi menjadi lebih sempurna lagi hanya satu hal,
“Sahabat yang tidak akan pernah
meninggalkan aku--Selalu berada di sisiku apapun yang terjadi.”
Benar.
Apapun yang
terjadi, seberapa banyak teman yang dimiliki Emi, gadis itu tidak akan
meninggalkan Riya sendirian, dan apapun yang terjadi--
“Emi akan selalu
berada di sisiku...”
Meskipun begitu,
ada beberapa murid yang tidak menyukai Emi bersahabat dengan Riya.
Entah kenapa,
sebagian murid di kelasnya, menganggap Riya itu sedikit aneh dan juga tidak
bersahabat.
Terlihat dari
sorot matanya yang selalu terlihat tidak suka jika ada orang lain yang
mendekatinya.
Dan, bukan hal
yang mengejutkan kalau ternyata, mereka berpikir bahwa Riya hanya memanfaatkan
Emi...
Saat itu,
istirahat makan siang sedang berlangsung.
Haruko dan Runa
tidak ada di kelas, mungkin sedang ke perpustakaan.
Ia baru ingat
kalau guru perpustakaan yang waktu itu ternyata hanya ingin menanyakan apakah
Riya mengenal Haruko.
‘Aku sering
lihat kalian bertiga ke sini, jadi kurasa kau pasti mengenalnya. Tolong
beritahu pada Takashi-san kalau 7 buku yang ia pinjam sudah seharusnya
dikembalikan 1 bulan yang lalu’.
Meskipun pada
akhirnya Riya melupakan pesan itu [Selama 2 bulan penuh dan semenjak hari itu
Riya jarang sekali mengunjungi perpustakaan karena lebih sering menghabiskan
waktu dengan Emi], beberapa hari yang lalu dia tiba-tiba ingat.
Dan ketika ia
memberitahukannya pada Haruko, ternyata ia belum selesai membaca semuanya.
Jadi, mungkin
hari ini dia sudah selesai dan meminta Runa untuk menemaninya ke perpustakaan.
“[Mengajak Runa tapi tidak mengajakku...].”
Riya saat ini
sedang duduk sendirian tanpa melakukan apapun.
Biasanya saat
istirahat seperti ini, mereka berempat selalu pergi ke kantin bersama.
Tapi sepertinya
masing-masing sudah punya acara sendiri sekarang.
Ketika ia
melirik ke sampingnya, ia melihat Emi sedang asyik mencatat pelajaran yang ada
di papan tulis.
‘Sepertinya dia
masih belum selesai mencatat, jadi tidak enak kalau tiba-tiba menganggunya’,
Pikir Riya.
Akhirnya, ia
hanya bisa menghela nafas pasrah.
“[Mungkin aku akan ke kantin saja].”
Dan ketika Riya
akan bangkit berdiri dari kursinya, tiba-tiba--
“Miyashita!!”
“[Ah!! Dia lagi!!!!].”
Jerit Riya dalam
hati ketika melihat Mochida berjalan ke arahnya.
Langsung saja,
Mochida duduk di atas meja Riya sambil tersenyum.
“Hey, kau sedang
tidak ada kerjaan’kan? Mau ke kantin denganku?”
Tanyanya.
“Memang tidak
ada. Tapi bukan berarti aku mau pergi denganmu. Aku cuma mau duduk-duduk saja
dan menunggu Emi. Dan siapa yang menyuruhmu duduk di atas mejaku?! Cepat
turun!”
Riya berkata
dengan nada sinis kepada Mochida.
Tidak tahu
kenapa, tapi Riya sama sekali tidak tertarik dengan laki-laki bernama Mochida
itu.
Baginya, ia
hanya serangga pengganggu yang menyebalkan [meskipun Mochida sama sekali tidak
pernah berbuat salah padanya].
Mendengar itu,
Mochida langsung tersenyum malu, kemudian turun dari meja Riya.
Ia lalu melihat
ke sana kemari, seperti sedang mencari sesuatu.
Lalu, ketika ia
melihat bangku di depan meja Emi terlihat kosong, ia langsung berkata ‘Ah, itu
dia’, kemudian menarik kursi itu untuk duduk di dekat Riya.
Saat ia tak
sengaja melihat Emi, Mochida tidak bisa menahan diri untuk tidak menyapanya.
“Ah, Kawada, kau
sedang apa? Rajin sekali sepertinya.”
Mochida bertanya
dengan senyuman di wajahnya.
Emi yang
sepertinya tidak menyadari kehadian laki-laki itu, langsung tertegun kaget,
tapi kemudian kembali memasang wajah tenang.
“Mochida-kun.
Aku sedang mencatat pelajaran. Habisnya banyak sekali sih, dan aku masih belum
selesai.”
Kata Emi sambil
berhenti mencatat.
“Ohh...Begitu...¯”
Mochida berkata
sambil senyum-senyum kepada Emi.
Riya yang
melihat itu langsung menopang dagu sambil menatap ke arah mereka berdua.
“Hey, kalau
sudah tahu Emi sedang sibuk, lebih baik kau jangan ganggu dia!”
Katanya dengan
nada kesal.
Mochida yang
mendengar itu dari Riya langsung memasang wajah kaget sambil mendekatkan
kursinya ke arah Riya kemudian duduk di dekatnya.
“Kenapa? Kau
cemburu, ya?”
Mochida
menanyakan hal memalukan itu dengan santai dan Riya tidak bisa menahan wajahnya
yang telah berubah menjadi merah.
“A--Ap--Apa katamu!!!?
Ce--Ce--Cemburuagdjsdjhfdhuasdsdasdads padamu!!!!?? Ih! Yang benar saja deh!!”
Kata Riya sambil
memalingkan wajah.
“Ah!”
Untuk yang
kesekian kalinya, matanya kembali bertemu dengan Itsuki.
Kali ini, ia
ditemani oleh 2 orang temannya yang sama-sama memandang sinis ke arahnya.
Karisawa dan
Sasagawa.
“.......................”
Sepertinya
mereka tidak sedang mengobrol atau apapun.
Karena
jelas-jelas, mereka tengah memandang ke arah Riya, seperti seekor elang yang
hendak memangsa seekor tikus kecil.
Dan berita
buruknya, Riya merasa kalau hari ini, akan ada sesuatu yang terjadi, karena
tatapan Itsuki jauh lebih menakutkan dari biasanya.
“[Aku sudah lelah terus ditatap seperti
itu...Aku harus menghentikan semua ini!]. Hey, Mochida!”
Riya akhirnya
berkata sambil menoleh ke arah Mochida.
“Hm? Ada apa?”
“Bisakah kau
berhenti mendekatiku?”
Itu tadi
benar-benar frontal sekali, Riya.
Tentu saja,
Mochida langsung melompat kaget ketika Riya mengatakan hal seperti itu.
“Apa? K--Kenapa?
Kau membenciku, ya?”
Tanya Mochida
dengan ekspresi heran.
“Iya kenapa,
Riya-chan? Mochida-kun orang yang baik.”
Emi ikut-ikutan
dalam pembicaraan ini.
“B--Bukan
begitu...Y--Yah...Ada benarnya juga sih...”
Riya memelankan
suaranya pada kata ‘Ada benarnya juga’, sambil menundukkan kepalanya.
“Tapi bukan itu
masalahnya!!”
Teriak Riya
tiba-tiba sambil memukul meja, tapi dengan sedikit kekuatan sehingga tidak
menimbulkan suara yang terlalu keras.
Mochida dan Emi
sama-sama memasang tampang ‘Aku tidak mengerti’ di wajah mereka.
“Maksudmu? Lalu kenapa
aku tidak boleh mendekatimu?”
Mochida kembali
bertanya sambil mengangkat sebelah alisnya.
Riya terdiam
sesaat, kemudian diam-diam sedikit melirik ke arah Itsuki dan gerombolannya.
Mochida dan Emi
langsung melihat ke arah yang dituju oleh Riya.
“Ah, bukannya
itu Kana?”
Kata Mochida
sambil melihat ke arah itsuki.
Itsuki Kanako.
“Jangan lihat ke
sana, bodoh!!”
Riya berkata
sambil menekan paksa kepala Mochida turun.
“Aduh,
Miyashita! Kau kejam sekali! Sakit tahu!!”
Gerutu Mochida
kesal sambil memegangi bagian atas kepalanya.
“Lagipula,”
Ia melanjutkan,
“Kenapa aku
tidak boleh melihat ke sana?”
Ia bertanya
dengan polosnya, tanpa mengerti situasi yang sedang terjadi.
Riya tidak punya
pilihan selain menjelaskannya.
Ia mendekatkan
dirinya pada Mochida dan berbisik.
“!!?”
Dan tanpa ia
tahu, saat ia mendekatkan diri pada Mochida, Itsuki terlihat sangat marah.
“Kau tidak
lihat? Di sedang mengawasi kita!!”
“Mengawasi?
Siapa?”
“Siapa lagi
kalau bukan Itsuki!! Kau tidak lihat!? Dari tadi itu, matanya tidak lepas dari
kita, terutama dariku! Dan sejak kau datang kemarin, dia terlihat makin marah!!
Aku memang tidak kenal dengan dia sih, tapi itu bukan berarti aku tidak tahu
kalau dia benci aku!!”
Riya berusaha
berkata dengan suara sepelan mungkin.
“Ah, kalau tidak
salah, Takashi-san dan Hasegawa-san pernah memberitahuku soal Itsuki. Katanya
dia selalu menatapmu dengan tatapan tidak suka. Tapi, kenapa?”
Emi bertanya
pada Riya, sambil sesekali melirik ke arah Itsuki dan 2 temannya.
Benar saja.
Mereka masih
mengawasi.
“Ada gosip aneh
dan tidak jelas yang mengatakan kalau aku dan Mochida itu pacaran!! Kurasa itu
yang membuatnya selalu mengawasiku. Aku jadi tidak bisa tenang tiap harinya.”
Riya bercerita
sambil menghela nafas.
“Aku sudah tidak
tahu lagi harus berbuat apa. Jadi, tolong, Jangan dekati aku lagi. Aku tidak
ingin mengambil resiko dengan Itsuki. Kau tahu seperti apa dia’kan? Dia akan
melakukan apapun demi mendapatkan semua yang dia mau!”
“Ah, aku tahu,
kok. Aku sudah kenal dia sejak lama. Dan terkadang sikapnya itu membuatku
merasa tidak suka tiap kali berada di dekatnya. Tapi, apa hubungannya semua ini
denganmu?”
Tanya Mochida
sambil melipat kedua tangan.
“Kau tidak
sadar? Itsuki itu suka kamu!”
Kata Riya dengan
suara sedikit lebih keras ke arah Mochida yang langsung membuatnya tersentak.
“Apa katamu!?
Kana suka aku!?? Kau bercanda’kan!!?”
Mochida berkata
dengan nada penuh rasa tidak percaya.
“Sudah berapa
lama kau mengenalnya?! Satu detik yang lalu!!? Kau bilang sudah sangat lama!
Masa hal seperti itu kau tidak sadar sih!? Ukh, makanya aku benci laki-laki!”
Riya berkata
dengan ekspresi kesal di wajahnya sambil menendang kursi Mochida dengan pelan.
“............Aku
memang tidak sadar. Selama ini, kami selalu bersama dan aku tidak pernah
sekalipun menganggapnya lebih dari seorang teman biasa. Itu saja. Aku tidak
punya perasaan untuknya atau apapun seperti itu.”
Mochida berusaha
membela dirinya.
Sepertinya ia
masih kaget mendengar ucapan Riya yang tiba-tiba itu.
“Aku tidak peduli dengan hal itu! Itu urusanmu
sendiri. Yang penting sekarang, jauhi aku atau Itsuki akan menguliti kulit
kepalaku satu per satu!!”
Paksa Riya
sambil memasang wajah yang seolah berkata ‘Aku tidak peduli dengan urusanmu!’.
Sekarang ini, ia
benar-benar tidak berani melihat ke arah Itsuki.
Satu-satunya
yang ia inginkan saat ini adalah, Mochida pergi jauh-jauh dari hadapannya.
Tiba-tiba--
“.................Riya-chan...”
“?”
Riya langsung
tertegun begitu mendengar Emi menyebut namanya dengan suara pelan.
Tapi, ketika
Riya menoleh ke arah Emi, ia kelihatan sangat aneh.
Tidak seperti
Emi yang biasanya.
“A--Ada apa,
Emi-chan? Apa aku membuatmu takut? Aku tidak bermaksud untuk berteriak seperti
itu, kok.”
Riya berkata,
berusaha menenangkan Emi.
“Bukan...Bukan
itu...”
Emi berkata
dengan nada yang monoton.
Meskipun begitu,
terasa sedikit menakutkan di telinga Riya.
Ada apa dengan
dia...?
“Lalu, ada apa?”
Tanya Riya, yang
entah kenapa menjadi sedikit gugup.
“Itu...Kau
itu...Takut sama Itsuki, ya?”
Kata Emi pada
akhirnya.
“Hah? Kenapa
dengan pertanyaan seperti itu?”
Riya otomatis
langsung menjadi heran dengan sikap Emi yang tiba-tiba berubah menjadi aneh.
“Habisnya...Tiap
kali membicarakannya, suaramu terdengar bergetar...Kau takut, ya?”
Ia mengulangi
pertanyaannya dengan nada monoton yang sama.
“..............[Ada apa denganmu, Emi!?] Y--Yah...Kalau
aku bilang tidak takut sih, bohong namanya...Habisnya, dia selalu melihatku,
seolah mengawasiku tiap waktu! Aku’kan jadi merasa aneh...”
Kata Riya sambil
menggaruk pipinya.
Kenapa Emi jadi
menanyakan hal seperti ini?
Di lain pihak,
Mochida entah kenapa terlihat seperti orang yang merasa bersalah.
“..............M--Maaf’kan
aku, Miyashita...”
Kata Mochida
dengan suara yang terdengar lemah sambil melihat ke arah lantai yang berwarna
putih bersih.
Melihat itu,
Riya justru merasa bingung.
“[D--Dia kenapa juga nih!!?].”
Pikir Riya
dengan wajah panik.
“.........Selama
ini aku terus mendekatimu tanpa tahu kalau kau sebenarnya ketakutan terhadap
Kana. Aku juga, sama sekali tidak pernah menyadari hal itu sampai kau
mengatakannya sendiri padaku. Tapi, aku tidak bisa menjauh darimu!”
Ekspresi Mochida
berubah ketika ia menatap Riya.
“Apa?! Kenapa
tidak bisa!!?”
“Karena
aku--Aku--!!”
TAP TAP TAP
“!!?”
Mereka bertiga,
Riya, Emi dan juga Mochida, langsung merasa kaget begitu mendengar suara
langkah kaki mendekat ke arah mereka.
Siapa?
“Permisi.”
Suara yang tidak
Riya kenal, seolah bergema.
“Ah, Karisawa,
Sasagawa, ada apa kalian kemari?”
Mochida menyebut
kedua orang itu.
2 orang sahabat
Itsuki.
“[Apa yang mereka inginkan di sini!!?]”
Riya berkata
dalam hati, tanpa bermaksud sedikitpun untuk menoleh ke arah mereka berdua, dan
hanya menundukkan kepala.
Tubuhnya
terlihat sedikit gemetaran.
Dan Emi terus
memandangnya dengan wajah yang terkesan dingin.
Sasagawa, yang
memiliki tubuh sedikit lebih tinggi dari kebanyakan siswi SMA lainnya, memulai
pembicaraan.
“Hmm...Kawada-san.”
Ia menyebut nama
Emi.
“Eh, iya?”
Jawab Emi dengan
cepat.
Ia terlihat
sedikit terkejut.
Mungkin ia baru saja
memikirkan sesuatu.
“Kami berdua
ingin mengajakmu ke kantin. Kau mau’kan?”
Kali ini,
Karisawa, yang memiliki potongan rambut pendek [mungkin lebih mirip potongan
rambut anak laki-laki] dengan warna pirang pucat, bicara.
Riya
memperhatikan ke arah Emi.
Jujur saja, ia
merasa sedikit khawatir.
Apa yang anak
buah Itsuki inginkan dari Emi?
“Baiklah. Kurasa
tidak masalah. Aku juga sudah selesai mencatat.”
Emi berkata
sambil bangkit berdiri dan menutup bukunya.
“Maaf, ya,
Miyashita. Kami pinjam Kawada-san sebentar.”
Kata Karisawa
sambil membentuk huruf ‘V’ ke arah Riya. Saat itu, wristband bertuliskan ‘KING’
di pergelangan tangan gadis yang cukup pendek itu, tertangkap oleh mata Riya.
“...................”
Yah, itu juga
bukan sesuatu yang penting.
“Kami duluan,
ya. Tidak akan lama, kok.”
Tambah Sasagawa
sambil memegang pundak Emi dan berlalu pergi.
“.................”
Riya terdiam di
tempatnya sambil memperhatikan ketiga orang yang kini sudah tak nampak itu
lagi.
Perlahan, ia
bangkit dari kursinya.
“Miyashita?”
Mochida hanya
bisa memandang Riya heran sambil mengikuti ke mana ia pergi.
Riya berjalan ke
arah meja Emi yang terletak di sampingnya, kemudian membuka buku catatan itu.
“...................”
“Ada apa?”
Mochida memutar
balik kursinya dan mendekatkan kepalanya ke arah buku Emi.
“Emi belum
selesai mencatat...”
Kata Riya pelan
sambil memegang buku Emi.
“[Kalau begitu, kenapa Emi bilang kalau ia sudah
selesai dan mau pergi dengan mereka?!].”
“Lho? Ini’kan
baru setengahnya. Bukannya tadi dia bilang sudah selesai? Hmm...Ini memang agak
aneh, tapi mungkin Kawada hanya ingin pergi bersama mereka. Ia tidak ingin
kelihatan malas di depanmu.”
Mochida
tersenyum ke arah Riya.
“........[Tapi kenapa harus sampai berbohong
segala...? Apa yang sebenarnya mereka berdua inginkan dari Emi?].”
“Miyashita, ke
kantin, yuk!”
Ajak Mochida
yang langsung disambut tatapan tajam oleh Riya.
“Kenapa aku
harus pergi ke kantin denganmu!? Mau pergi, ya pergi sendiri saja! Kau sudah
lupa kalau aku menyuruhmu untuk jauh-jauh dari aku!!? Apapun yang terjadi, aku
tidak ingin berhubungan denganmu maupun dengan Itsuki! Sudah, ah! Aku mau
keluar dulu!!”
Riya menggebrak
meja kemudian langsung bangkit berdiri dari kursinya sementara Mochida berkata
‘Miyashita! Tunggu!!’, sambil mengarahkan tangannya ke arah Riya pergi.
Ketika Riya
sampai di depan pintu kelas, ia berbalik perlahan.
“Hi hi hi.”
“!!?”
Seperti yang ia
duga, Itsuki masih terus menatapnya.
Anehnya, ia
tersenyum licik, seolah sedang merencanakan sesuatu.
“[Ada apa ini...?].”
Pikir Riya sampai
akhirnya Itsuki berbalik dan bergabung dengan teman-temannya yang lain.
“.......................”
Setelah keluar
dari kelas, Riya berjalan dengan lemas menuju ke tangga turun.
“..............”
Wajah Itsuki
yang tersenyum licik kembali terbayang di pikirannya dan membuatnya merasa
tidak nyaman.
“[Uh, apa yang sebenarnya aku pikir’kan?
Berpikir positif, Riya! Berpikir positif!!].”
Riya
menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan semua perasaan negatif
yang ada.
“Apa tidak lebih
baik kau tinggalkan Miyashita saja?”
“Eh...?”
Riya langsung
tertegun begitu mendengar perkataan itu.
Perasaan
pikirannya kembali kacau.
“Apa tidak lebih baik kau tinggalkan
Miyashita saja?”
“[Apa itu? Siapa yang mengatakan hal seperti
itu!?].”
Riya berjalan
perlahan menuju ke arah tangga turun, untuk mencari tahu siapa yang
menggosipkan dirinya seperti itu.
“!!?”
Dan ketika ia
secara tidak sengaja melihat segerombolan gadis, yang sepertinya sedang serius
membicarakan sesuatu, Riya segera bersembunyi di balik sebuah tembok dengan
cepat.
Namun ia kembali
tertegun, ketika ia menyadari kalau ketiga gadis itu tidak asing lagi untuknya.
Ia kembali
mengintip sedikit, tapi tetap berusaha supaya ketiga gadis itu tidak bisa
melihat dirinya.
“[Itu’kan--Sasagawa dan Karisawa! Emi juga ada
di sana! Apa yang mereka bicarakan!? Padahal katanya mau ke kantin, tapi--].”
Kenapa mereka
bertiga justru berbicara di dekat tangga seperti itu--!!?
Riya terus
memperhatikan, dan kali ini, ia bisa mendengar suara Emi.
“Eh? Kenapa aku
harus melakukan hal seperti itu?”
Ia terdengar
agak ragu.
“Emi...”
Kata Riya pelan.
Sasagawa dan
Karisawa tertawa.
“Ha ha, tentu
saja alasannya cuma ada satu. Karena si Miyashita itu sama sekali tidak
berguna!”
DEG
“[Aku tidak berguna?].”
Ketika mendengar
kata-kata itu, Riya merasakan hantaman yang besar pada dirinya.
Rasanya seperti
dihantamkan ke dinding berkali-kali.
Sampai ingin
mati rasanya.
Tapi bahkan itu
belum cukup untuk mendeskripsikan bagaimana perasaan Riya saat ini.
“Sasagawa-san,
itu tidak baik. Jangan mengatakan hal seperti itu tentang Riya-chan. Aku tidak
suka!”
Kali ini, Emi
berkata dengan nada sedikit kesal.
Karisawa
langsung menepuk pundaknya dengan pelan.
“Jangan marah
seperti, Kawada-san. Kami mengatakan hal ini bukan tanpa sebab, kok. Jujur
saja, Miyashita itu bukanlah sahabat terbaik untukmu. Coba kau lihat dia? Dia
kelihatannya tidak ramah dan juga sombong. Selain itu, nilainya selalu rendah
dan malas. Kami berdua yakin, kalau dia itu sebenarnya hanya memanfaatkan semua
kehebatanmu supaya bisa jadi populer!”
Kalimatnya
benar-benar mengintimidasi Emi supaya membenci Riya.
Di sisi lain,
Riya tidak bisa menghentikan tubuhnya bergetar, mendengar tiap kata yang keluar
dari mulut mereka.
Ia penasaran
dengan apa yang akan Emi katakan.
“.........Aku
tidak mengerti. Kenapa Riya-chan harus melakukan semua itu? Dia memang tidak
terlalu rajin, tapi dia tidak pernah memanfaatkan aku untuk menjadi populer
atau apapun!”
Emi benar-benar
terdengar kesal sekarang.
“Dari mana kau
tahu kalau dia tidak memanfaatkanmu seperti itu?!”
Sasagawa yang
sebelumnya masih bisa memasang senyuman palsu di wajahnya itu, mulai
menunjukkan sifat aslinya pada Emi.
Namun, Emi
menjawabnya dengan tenang.
“Karena
Riya-chan adalah sahabat masa kecilku. Tidak mungkin terpikirkan olehnya untuk
memanfaatkanku seperti itu. Aku ingin kalian hentikan semua ini. Jauhi aku dan
juga Riya-chan! Kalau kalian sampai berani-berani berkata buruk soal Riya-chan
lagi...Aku--“
Emi menghentikan
kata-katanya dan mengepalkan kedua tangannya.
“.........[Emi...].”
Riya memundurkan
dirinya, bersandar pada dinding yang terasa dingin.
Jauh di dalam
hatinya, ia merasa sedikit senang ketika Emi membelanya.
“[Ternyata...Emi memang sahabat terbaik...].”
Riya sedikit
tersenyum sebelum akhirnya kembali melirik ke arah mereka bertiga.
Mendengar
jawaban Emi, Karisawa dan Sasagawa terdengar tidak puas.
Tapi, mereka
tidak berhenti sampai di sana.
“Kau masih tidak
paham juga, Kawada-san? Dengar, kau tahu seberapa populernya kau di sekolah
ini? Kau cantik, populer, pintar dan juga sempurna. Semuanya ingin menjadi
sahabatmu! Tapi, dari banyaknya orang di sini, kenapa justru kau memilih
berteman dengan orang seperti Miyashita? Yah, aku paham karena dia teman masa
kecilmu. Teman masa kecil yang payah tentunya.”
Karisawa berkata
dengan santainya.
“Apa
katamu!!?--“
Emi sedikit
melangkah maju, tapi kemudian langsung menghentikan langkahnya.
Perlahan,
wajahnya kembali berubah tanpa emosi.
Sasagawa
langsung menyambung perkataan Karisawa.
Dengan perlahan,
ia mendekati Emi.
“Hey, Kawada-san,
kenapa tidak kau tinggalkan saja sahabat masa kecilmu itu? Menurutku pribadi
sih, ah, bukan hanya menurutku, tapi pasti semuanya juga akan berpikiran sama
denganku. Kau itu terlalu baik untuk Miyashita. Kalian itu terlihat bagai
langit dan bumi. Berbeda jauh. Dan hanya dengan sekali melihat saja,
orang-orang pasti langsung tahu kalau kau dan Miyashita itu tidak cocok. Sangat
tidak cocok.”
“Apa yang
sebenarnya coba kau katakan?”
Kata Emi sambil
mengangkat sebelah alisnya.
“Hmm...Begini,
ya...Sepertinya, kau lebih cocok jika bersama dengan Itsuki-san.”
“Itsuki?”
Emi bertanya
dengan nada bingung.
Di sisi Riya,
ketika ia mendengar nama Itsuki disebut, ia langsung menyadari apa yang
sebenarnya sedang terjadi.
“............[Sudah kuduga ini perbuatan Itsuki! Jadi, dia
bermaksud membuat Emi memusuhiku!? Itu rencana liciknya!? Dengan menghasut Emi
supaya menjauhiku!].”
“Iya, kau pasti
kenal’kan dengan Itsuki-san? Dia itu gadis paling populer di sekolah kita. Dan
Itsuki-san ingin kau menjadi sahabatnya! Bukannya itu hal baik Kawada-san?
Semua orang ingin menjadi sahabat Itsuki. Tapi, hanya orang-orang terpilih dan
berkelas seperti kita-kita saja yang bisa menjadi temannya. Bagaimana? Apa kau
mau bergabung dengan kami dan Itsuki-san? Atau, kau masih mau bersama dengan
Miyashita yang aneh itu?”
Kata Sasagawa
sambil menatap ke arah Emi.
Nada bicaranya
ketika menyebut dan memuji Itsuki, terdengar seperti ketika seseorang memuja
dewa.
Apa yang
sebenarnya orang-orang bodoh itu lihat dari gadis mengerikan seperti Itsuki?!
“........................”
Emi hanya
terdiam dan tidak mengatakan sepatah katapun pada mereka berdua.
Riya dengan
jantung berdebar-debar, menunggu apa yang akan dikatakan Emi.
Apa pada
akhirnya, Emi benar-benar akan bergabung dengan kelompok Itsuki?
Apa dia akan
meninggalkannya sendirian?
“[Tidak, tidak! Aku sudah mendapatkan seorang
teman dengan susah payah! Pada akhirnya terkabul juga! Apa aku harus kehilangan
seperti ini!?].”
Pikiran-pikiran
negatif itu mulai membuat perasaan Riya menjadi semakin ketakutan.
Ia tidak sanggup
mendengar apa yang akan Emi katakan selanjutnya.
Jadi, ia
memutuskan untuk berlari pergi.
Namun, ketika ia
melangkah, Riya tidak menyadari kalau ternyata ada sebuah botol minuman kosong
di depannya dan terus melangkahkan kakinya, menginjak botol minuman kosong itu
yang akhirnya menimbulkan suara yang cukup keras.
“!!!?”
Baik Riya maupun
Sasagawa, Karisawa dan juga Emi langsung tertegun mendengar suara itu.
Dengan refleks,
Riya langsung menutup mulutnya, mencegah dirinya untuk berteriak, ketika
seseorang berteriak dengan keras ‘Siapa di sana’.
Karena ketakutan
dan panik, ia tidak tahu siapa diantara Karisawa atau Sasagawa yang berteriak
ke rahnya.
“[Mereka sadar aku ada di sini!?].”
Pikir Riya dalam
hati.
Ia berpikir,
kalau ketiga orang itu tidak tahu bahwa ialah yang ternyata sudah menguping
pembicaraan mereka.
Tapi, ternyata
ia salah besar.
“.............Riya-chan...?”
Dari balik
tembok putih itu, Riya bisa mendengar suara Emi, menyebut namanya.
Ia tidak punya
pilihan lain, maka dengan melangkahkan kakinya yang terasa berat seperti di
tahan dengan rantai besi, ia keluar dari dari tempat persembunyiannya dan
menampakkan dirinya.
Langsung saja,
Karisawa dan Sasagawa menunjukkan ekspresi kaget ketika bertatapan dengan Riya.
“Miyashita...!!”
Kata Karisawa
kaget sebelum akhirnya berkata ‘Ayo, kita pergi dari sini!’, dan mengajak
Sasagawa untuk berlari meninggalkan mereka berdua.
“.....................”
Sekarang ini,
hanya ada Emi dan Riya yang saling berpandangan.
Tapi tak satupun diantara mereka berdua, tahu
apa yang harus mereka katakan.
Emi menatapnya
dengan tatapan terkejut dan juga merasa bersalah.
Riya sendiri--
Ia tidak tahu
wajah seperti apa yang ia buat.
Tapi ia tahu.
Kalau
ekspresinya saat ini, pasti sudah membuat Emi merasa ketakutan.
“.......................”
Beberapa saat
berlalu seperti sudah melewati satu hari.
Keheningan yang
aneh masih menyelimuti mereka berdua.
“[Apa yang aku lakukan? Aku harus mengatakan
sesuatu pada Emi].”
Riya berpikir
bahwa ia harus segera mengakhiri keheningan ini.
Jadi, ketika ia
membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu--
GREP
Ia tidak paham
benar kapan hal itu terjadi.
Yang ia mengerti
adalah, Emi, tiba-tiba sudah berada di dekatnya dan memeluk tubuhnya dengan
erat.
“.......................”
Riya hanya bisa
terdiam, masih terkejut dengan apa yang tiba-tiba dilakukan oleh Emi.
Dan ternyata,
yang pertama kali memecahakn kesunyian ini bukan Riya, melainkan Emi.
“Ini tidak
seperti yang kau lihat!! Maaf’kan aku, Riya-chan!! Aku minta maaf!!!”
Emi berteriak
dengan suara sedikit keras.
Bukan hanya itu,
ia sepertinya juga menangis.
Mendengar itu,
Riya semakin tidak tahu harus membalasnya seperti apa.
Tidak ada yang
salah diantara mereka berdua.
Jadi, siapa yang
harus dimaaf’kan?
“Sudahlah,
Emi-chan. Aku mengerti. Aku memang bukan orang yang hebat, yang bisa melakukan
semuanya dengan baik sepertimu. Aku bisa paham itu. Jadi, kau tidak usah
seperti ini. Aku tidak apa-apa, kok...”
Riya berkata
dengan suara lembut, berusaha menenangkan Emi.
Hanya saja, itu
saja sepertinya masih belum cukup.
“Tidak bisa!
Kau--Kau sudah mendengar orang-orang jahat itu berkata hal yang sangat
mengerikan itu padamu!! Mana mungkin kau tidak merasa sedih?! Aku juga--Sama
sekali tidak ada maksud untuk berbicara dengan orang yang sudah membenci
Riya-chan seperti itu! Aku tidak bermaksud untuk mengikuti apa mau mereka atau
apapun itu! Kumohon, mengertilah, Riya-chan!!”
Emi berusaha
menjelaskan situasinya pada Riya.
“..............Aku
mengerti. Lagipula, Sasagawa dan Karisawa’kan anak buah Itsuki. Bukan hal aneh
kalau Itsuki menyuruh mereka berkata buruk tentang aku.”
Kata Riya sambil
tersenyum kecil.
“Riya-chan...Aku--Aku--!”
Emi kemudian
melepaskan pelukannya dan menatap ke arah Riya.
“Aku--Apapun
yang terjadi, aku tidak akan pernah mendengarkan apa kata-kata mereka!! Aku
tidak akan bergabung dengan Itsuki, ataupun menjadi teman siapapun! Sampai
kapanpun, aku hanyalah sahabat Riya-chan saja!!! Aku tidak akan menghianatimu!!
Aku akan selalu menjadi temanmu, tidak peduli seperti apa kau!!”
Sinara matahari
yang masuk melalui jendela, membuat wajah mereka nampak bersinar.
Riya bisa
melihat dengan jelas, air mata yang menetes membasahi wajah Emi, juga
kesungguhan yang besar dari kata-kata yang ia ucapkan barusan.
Ia bisa
merasakan kebaikan dari kata-kata Emi barusan, dan itu langsung membuat
perasaan negatif tersebut sirna seketika.
“[Ah, aku bisa merasakannya...Kehangatan yang
dipancarkan oleh Emi...].”
Maka, sambil
tersenyum, Riya mengusap air mata Emi dengan perlahan, kemudian berkata dengan
suara pelan.
“Iya, aku paham.
Sampai kapanpun, Emi-chan akan menjadi sahabatku. Aku tahu kalau Emi-chan tidak
akan pernah meninggalkanku...Aku percaya kalau kau tidak akan menghianati
ataupun bergabung dengan Itsuki ataupun berkata buruk di belakangku. Tadi, aku
juga sudah dengar kau membelaku di hadapan mereka berdua. Kau tahu? Rasanya aku
senang sekali tadi sewaktu kau berkata ‘Karena Riya-chan adalah sahabat masa
kecilku’. Aku benar-benar bahagia...”
Tanpa ia sadari,
air mata mulai menetes, mengalir dengan perlahan.
“Riya-chan...”
Emi berkata
pelan kemudian kembali memeluk tubuh Riya dengan erat.
“Aku tidak akan
membiarkan siapapun berkata buruk atau mengganggu Riya-chan lagi! Aku
berjanji!!”
Emi berteriak
dengan segenap perasaannya, berharap semoga perasaannya itu bisa sampai kepada
Riya.
Riya juga balas
memeluk Emi sambil tersenyum.
“Iya, aku
percaya padamu.”
Rasanya,
Persahabatan yang terjalin diantara mereka
berdua sudah sangat kuat.
Hanya saja...
“............................”
‘Apa tidak lebih baik kau tinggalkan
Miyashita saja?’
‘Karena si Miyashita itu sama sekali tidak
berguna!’
‘ Dia kelihatannya tidak ramah dan juga
sombong. Selain itu, nilainya selalu rendah dan malas. Kami berdua yakin, kalau
dia itu sebenarnya hanya memanfaatkan semua kehebatanmu supaya bisa jadi
populer!’
’ Teman masa kecil yang payah tentunya.’
‘Orang-orang pasti langsung tahu kalau kau
dan Miyashita itu tidak cocok. Sangat tidak cocok.’
“Aku akan
melindungimu selalu, Riya-chan...Aku janji...”
***-***
Keesokan
harinya, sama seperti hari-hari yang lain.
Emi menunggu
Riya di depan rumahnya, dan tak lama kemudian, Haruko dan Runa datang menyusul.
Mereka berempat
bercanda, dan membicarakan banyak hal bersama.
Hanya saja, Riya
tidak bermaksud untuk membicarakan kejadian kemarin dengan Haruko dan Runa.
Ia tahu, Itsuki
bisa saja melakukan apapun untuk membuat hubungannya dengan sahabat-sahabatnya
itu hancur, hanya supaya ia bisa puas membuat Riya menderita.
Sehingga,
perbincangan yang terjadi diantara mereka, hanyalah perbincangan dengan topik
yang umum biasanya dibicarakan oleh gadis-gadis remaja.
Pagi itu,
menjadi salah satu pagi yang biasa untuk Riya.
Kejadian yang
tidak biasa, terjadi ketika Riya dan teman-temannya sampai di depan gerbang
sekolah mereka.
Saat itu, Riya sedang
membicarakan tentang film yang kemarin ia tonton jam 24.00 malam, tapi
perbincangan itu harus berakhir, ketika Riya melihat semua murid berkumpul di
depan gerbang sekolah.
Bukan hanya para
murid, para guru dan orang-orang yang tidak berkepentingan di sekolah itu, ikut
berada di sekitar sekolah, seolah sedang menyaksikan sesuatu.
Riya yang
menyadari kalau ada ‘sesuatu yang tidak biasa’ sedang terjadi di sekolahnya,
langsung menghentikan langkah ketiga temannya.
“Tunggu dulu!”
Kata Riya
tiba-tiba.
Melihat kelakuan
yang tiba-tiba itu, baik Emi, Haruko maupun Runa saling berpandangan satu sama
lain dengan tatapan bingung.
“Ada apa, Riya?”
Runa bertanya ke
arah Riya yang tiba-tiba menyuruh mereka berhenti.
“Kalian tidak
lihat? Kenapa orang-orang itu berkumpul di dekat skeolah kita?”
Tunjuk Riya ke
arah sekolah.
Mendengar ucapan
temannya itu, Haruko langsung tertegun.
“Ah, iya.
Sekolah kita jadi ramai, ya?”
“Bukan hanya
itu...Kenapa semua murid dan guru juga berada di luar sekolah? Kenapa mereka
tidak masuk?”
Kali ini,
giliran Runa yang merasa heran.
Tapi, yang jauh
membuat mereka terkejut lagi, adalah--
“Lalu, apa yang
mobil-mobil polisi itu lakukan di sekolah kita!?”
Emi berkata
panik ketika ia tidak sengaja mendapati beberapa mobil polisi berhenti di dekat
sekolah mereka.
Apa ada sesuatu
yang terjadi?
“Ini pasti
sesuatu yang gawat! Ayo!!”
Riya memberi
isyarat pada teman-temannya untuk berlari mengikutinya, menuju ke depan gerbang
sekolah.
Di depan
sekolah, lautan orang sudah menutupi seluruh jalan masuk.
“Permisi, maaf,
kami mau lewat. Permisi.”
Riya berusaha
menerobos masuk, diikuti Emi, Haruko dan Runa di belakangnya.
Bersamaan dengan
itu, ia bisa mendengar beberapa orang berbicara dengan takut dan tidak percaya.
Otomatis, itu
langsung membuat Runa merinding, bahkan sebelum ia melihat apa yang terjadi di
sana.
“Haruko, aku takut...”
Runa berkata
sambil memegang tangan Haruko dengan erat.
Ketakutan
tergambar sangat jelas baik dari kata-katanya maupun dari raut wajah Runa.
“Jangan takut.
Tidak akan ada yang terjadi. Mungkin hanya kebakaran kecil, atau sesuatu
seperti itu.”
Kata Haruko
berusaha menenangkan Runa, meskipun ia sendiri juga tidak tahu apa yang
terjadi.
Dan ternyata,
Tepat seperti
apa yang Haruko katakan.
Ini memang
kebakaran.
Masalahnya, ini
bukan hanya soal ‘kebarakan kecil’ saja.
Melainkan--
“A--A--Apa
itu!!!?”
Teriak Riya
histeris ketika melihat sesuatu yang tengah di lihat oleh orang-orang itu sejak
tadi.
Jantungnya
langsung berdebar dengan kencang, seolah bisa saja terhenti sewaktu-waktu.
Keringat dingin
mulai membasahi wajahnya dengan perlahan
Runa langsung
menutup mulut tidak percaya.
Haruko menatap
dengan mata terbuka lebar.
Begitu pula
dengan Emi.
Semua orang yang
melihatnya, menunjukkan satu wajah yang sama.
Yaitu ketakutan
dan rasa tidak percaya.
Bagaimanapun,
ini semua tidak mungkin terjadi.
Iya, tidak
mungkin.
Sesuatu yang
mengerikan seperti ini, ternyata terjadi di sekitar mereka...
“Apa yang--!!!?”
Di hadapan
mereka saat ini, tepatnya di sebuah pohon di dekat gerbang sekolah,
Ada 2 mayat
tergantung dengan perut mereka yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan
keluar.
Tubuh mereka
hampir hangus, seolah habis dibakar dengan api.
“Mati--Terbunuh--Ah--“
Pikiran Riya
kacau, seolah apa yang ingin ia ungkapkan, meski hanya berteriak ketakutan, tak
bisa ia lakukan.
Ia berusaha
menyakinkan dirinya, bahwa ini hanyalah sebuah lelucon buruk yang dibuat oleh
seseorang. Sayangnya, permintaannya itu tak bisa dikabulkan. Karena yang
sekarang ada di hadapannya, sama sekali bukan lelucon atau mainan anak-anak.
“Kejam--Ini
sungguh kejam!!!”
Memegang lengan
seragam Riya dengan erat, Emi berkata, dengan wajah ketakutan dan nada bicara
yang bergetar.
Tidak, tidak
tidak!! Apa yang terjadi di sini!!?
Berkali-kali,
kata-kata itu muncul di benak Riya.
Sampai saat ini,
tak satu orang pun mampu memberikan jawabannya, karena mereka masih terlalu
terkejut dengan pemandangan mengerikan di depan mereka.
“...................Ah!”
Tapi, bagian
yang paling mengerikannya lagi, adalah ketika kedua mata Riya menangkap
sesuatu. Sesuatu di pergelangan tangan salah satu dari 2 mayat itu.
Sudah banyak
yang terjadi kemarin. Dan ia ingin melupakan kejadian buruk yang terjadi saat
itu. Hanya saja, kini, pikirannya seolah dipaksa untuk kembali pada masa itu,
mundur beberapa menit ke belakang.
Itu, adalah
sesuatu yang awalnya hanya ia lihat sekilas pada waktu itu dan mungkin akan ia
lupakan begitu saja.
Mungkin, ia
merasa itu bukan sesuatu yang penting, dan hanya sekedar ketidaksengajaan
matanya yang menangkap sesuatu tersebut.
“I--Itu...Itu
tidak mungkin...Kan...?”
Karena, yang ada
di pergelangan tangannya itu adalah--Dan tak salah lagi, memang hanya dia
yang terlihat mengenakannya pada waktu itu--
--Sebuah wristband dengan tulisan ‘KING’,
...................
........................................
....................................................................
“.............Sasagawa
dan...Karisawa...?”
Dan tepat saat
itu,
Itsuki,
Datang menuju ke arahnya,
Kemudian--
“Ini pasti
perbuatanmu!!!!”
***-***
A/N : Hai, minna XDD
How To Make A Friend Chapter 7
It's killing time!! Udah waktunya untuk part horror dari cerita ini keluar he he ^^
kalo sebelumnya mungkin masih ada komedi atau lucu-lucu dikit, sekarang cerita udah mulai serius.
korban pertama sasagawa dan juga karisawa. siapa korban berikutnya ya??
Btw, karisawa adalah nama keluarga dari chara di Memories in The Winter, novel pertama yang aku buat :)
Makasih buat yang udah mampir!!
Next Chapter : Tidak Mungkin Di Dunia Ini Aku Bisa Melakukan Hal Seperti Itu
Sankyuu!!
Author,
Fujiwara Hatsune
Sankyuu!!
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar