Minggu, 04 Januari 2015

Story : How To Make A Friend Chapter 7

Story : How To Make A Friend Chapter 7

*Read: 
           Prologue

           Chapter 1

           Chapter 2

           Chapter 3

           Chapter 4

           Chapter 5

            Chapter 6






Chapter 7 Tragedi
“Jadi ini...Di sini benar-benar tempat Emi tinggal. Dia punya rumah, ya...? [Bukan cuma itu...Dia bahkan punya satu keluarga yang lengkap...]”
Riya terdiam sambil terus memperhatikan ke arah rumah Emi.
Pelan-pelan, ia mulai tersenyum.
“[Ah, aku mengerti. Karena menciptakan seorang manusia tidak akan bisa menjadi benar-benar nyata kalau ia tidak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh manusia lain. Karena itu, Emi punya keluarga! Bukan hanya keluarga, bahkan pikiran ibuku sampai dimanipulasi supaya Emi bisa masuk ke dalam kehidupanku dengan mudah dan bisa menjadi sahabatku!].”
Buku itu memang benar-benar luar biasa.
“Entah kenapa...Aku mulai merasa kalau kehidupan seterusnya akan semakin membaik...Karena sekarang sudah ada 4 orang diantara kita...Ha ha ha...”
Dan Riya akhirnya memutuskan untuk kembali ke dalam rumahnya.

Keesokan harinya seolah menjadi sebuah hari baru untuk Riya.
Dia yang biasanya bangun dengan malas, kini bahkan bangun 30 menit lebih awal. Langsung saja hal itu membuat ibunya merasa takjub karena tidak harus susah-susah membangunkan putrinya itu.
Begitu selesai mengenakan seragamnya dan menghabiskan sarapan, Riya langsung berlari melesat keluar rumah.
Dan seperti yang ia duga, sebuah senyuman langsung menyambutnya di depan.
“Riya-chan, pagi.”
Emi sudah berdiri di depan rumah Riya sambil melambaikan tangan ke arahnya.
“Pagi, Emi-chan!”
Balas Riya dengan riangnya.
“Oh ya, Emi-chan.”
Riya berkata kepada Emi yang langsung di balas dengan ‘Ya?’.
“Aku tidak tahu kalau kau ternyata tinggal di sebelah. Kenapa kau tidak menceritakannya padaku?”
“He he he.”
Emi justru tertawa.
Melihat tingkah sahabatnya itu, Riya langsung merasa dipermainkan.
“Uh...Kenapa kau tertawa seperti itu? Memang ada yang lucu, ya?”
Kata Riya sambil melipat kedua tangan di depan dada.
“Ha ha, tidak, kok. Aku memang sengaja tidak memberitahu Riya-chan kalau aku pindah ke sebelah rumahmu. Aku hanya ingin memberikan sebuah kejutan kecil. Jadi, bagaimana? Apa itu mengejutkanmu??”
Tanya Emi sambil menatap ke arah Riya.
“Sangat mengejutkan sekali tahu! Kau tidak tahu betapa terkejutnya aku ketika ibuku bilang kalau ternyata ‘Orang yang pagi-pagi sudah berisik dan pindah ke sebelah rumahku’, itu ternyata keluargamu, Emi-chan!! Kalau tujuanmu adalah membuatku terkena serangan jantung, maka aku sudah seharusnya memberi acungan 3 jempol untukmu!!”
Riya berkata dengan nada sedikit kesal, meskipun sebenarnya dia tidak sekesal itu.
“He he, maaf’kan aku, Riya-chan. Habisnya, aku sangat ingin melihat reaksi lucu dari Riya-chan ketika tahu kalau aku adalah tetangga barumu.”
Kata Emi malu-malu sambil menggaruk belakang kepalanya.
Rambutnya yang berwarna kecoklatan panjang sepunggung sedikit berkibar
“Hmph! Oke, oke, kali ini aku maaf’kan! Dan sebenarnya, aku juga tidak marah, kok! Justru sebaliknya, aku senang kamu tinggal di sebelah rumahku! Dengan begini, kita bisa berangkat dan pulang sekolah bersama!”
Riya berkata sambil menjabat kedua tangan Emi.
Melihat itu, Emi terdiam sesaat.
Kemudian, sebuah senyuman manis mengembang di wajahnya.
“Iya, aku juga senang bisa selalu berada di dekat Riya-chan!”
Mereka berdua saling tersenyum, yang sepertinya hanya berlangsung beberapa detik saja.
Sampai akhirnya Riya merasa ada sepasang mata yang melihat ke arahnya.
“[Aku merasa sedang diawasi lagi].”
Batin Riya tanpa berani menoleh ke sekelilingnya.
Akhir-akhir ini, entah kenapa tapi Riya bisa merasa kalau ada sepasang bola mata yang memperhatikannya dari kejauhan.
Ia sudah tahu kalau mungkin itu ulah Itsuki, yang tiba-tiba saja jadi membencinya gara-gara rumor aneh yang tersebar antara dia dan Mochida.
Tapi, memang Itsuki juga akan mengikuti sampai ke rumahnya?
Apa ia akan berbuat sampai sejauh itu hanya demi Mochida?
Memberanikan diri, Riyapun sedikit melirik ke belakang.
“[Apa Itsuki ada di sini, ya? Wah, dia mengikutiku ke mana-mana...Sudah seperti stalker saja...].”
Ia tidak ingin melihat tatapan tajam yang selalu dilemparkan oleh Itsuki kepadanya.
Siapa yang tahu apa yang akan gadis kasar itu lakukan kepadanya?
Dan ketika ia menoleh--
“Riya, halo. Kau sudah di luar rupanya.”
“H--Haruko?!”
Rupa-rupanya...Itu Haruko... -_-
“Hey, jangan melupakanku, ya! Haruko datang ke rumahku pagi-pagi sekali supaya kami tidak terlambat datang ke rumahmu. Huaamm...Padahal mataku masih terasa sangat berat...”
Dan juga Runa yang tiba-tiba muncul dari belakang Haruko.
Yah, apa boleh buat...Padahal sudah terlanjur kaget, tapi...
“[Hanya mereka berdua, ya?...Aku pikir si Itsuki! Syukurlah bukan dia].”
Riya langsung mengelus dada sambil menghela nafas lega.
Meskipun begitu, bukan saatnya merasa lega di sini, mata Itsuki bisa saja melihat ke arahnya di sekolah nanti.
Ia hanya bisa berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi di sekolah.
Ya, semoga saja tidak ada.
“Kamu kenapa, Riya? Kok tiba-tiba pucat begitu?”
Tanya Haruko yang berdiri di samping Runa.
Riya yang masih hanyut dalam pikirannya sendiri langsung kaget begitu Haruko menyebut namanya.
“Apa? A--Aku baik-baik saja, kok. Hanya saja aku masih belum terbiasa bangun sepagi ini, jadi...”
Katanya sambil menggaruk matanya berpura-pura masih mengantuk.
Padahal memang masih mengantuk’kan?
“Tapi bukannya sesuatu yang bagus kalau kau mulai bangun lebih awal?”
Kali ini Runa yang bicara, dengan senyuman yang biasa menghiasi wajahnya.
Ketika melihat itu, Riya langsung bisa merasakan aura pada diri Runa.
Kalau di lihat-lihat lagi, sebenarnya Runa tidaklah sejelek itu.
Justru kebalikannya, dengan rambut ungu kemerahan yang di kuncir twintail pendek di bagian bawahnya, selalu terlihat menari-nari tertiup angin, Runa sebenarnya cukup imut seperti wajah seorang artis ternama.
Bukan hanya itu, ia juga sepertinya periang dan mudah menarik orang-orang untuk menjadi sahabatnya.
Atau mungkin bisa dengan mudah mendapatkan seorang kekasih.
Dan, kalau ada yang seharusnya ‘Dicurigai karena merebut Mochida darinya’, Itsuki harusnya mencurigai Runa, bukannya Riya [yang memang biasa-biasa saja kalau dibandingkan dengan Runa].
Apalagi kalau melihat sikapnya yang agak...Ganjen tiap kali membicarakan Mochida, Runa kelihatannya cukup tertarik pada laki-laki berambut kecoklatan yang merupakan salah satu murid yang paling disayang oleh guru-guru di sekolah.
“[Itu benar...Runa yang seperti itu harusnya bisa menarik perhatian Mochida. Kenapa orang-orang malah menggosipkan yang tidak-tidak soal aku begitu sih?].”
Tanpa Riya sadari, ia dari tadi terus memperhatikan Runa dengan seksama, dan tentu saja, itu langsung membuat Runa merasa aneh.
“Hey, hey...Kau itu...Sebenarnya kenapa sih? Masih mengantuk, ya? Kok melihatku sampai segitunya? Yah, aku tahu kalau aku itu memang cantik, manis, imut, baik hati, tapi--“
“Sudah, sudah, hentikan, Runa! Aku paham apa yang ingin kau katakan!”
Riya berkata ke arah Runa sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan cepat ke arah wajah Runa.
Tingkat kepercayaan diri Runa sudah melebihi jarak dari bumi ke bulan rupanya.
“[Kurasa aku paham kenapa sampai saat ini tidak ada laki-laki yang mendekati gadis manis seperti dia].”
Kata Riya dalam hati, yang langsung disambung dengan ‘Iya, ya, susah juga jadi gadis cantik’.
“Eh, tapi--“
“?”
Haruko memecahkan lamunan Riya.
Ia terdiam kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Emi.
“Aku tidak tahu kalau Kawada-san juga akan berangkat sekolah bersama kita. Apa tidak apa-apa?”
Haruko bertanya kepada Emi sambil sedikit tersenyum.
Namun entah kenapa, Riya merasakan ada yang aneh dari perkataan Haruko barusan.
Mendengar pertanyaan itu, Emi hanya tersenyum kemudian berkata,
“Iya, tidak apa-apa, kok. Rumahku juga ada di dekat sini.”
Dan itu langsung membuat Haruko dan Runa memasang wajah kaget yang seolah akan berkata ‘Eh?!’, sambil meloncat kaget.
“Kau tinggal di dekat sini, Kawada-san?”
Tanya Runa.
“Iya, aku tinggal di sebelah rumah Riya. Bisa dibilang kalau aku ini adalah tetangga barunya.”
Emi menjelaskan pada Runa.
“Kau...Tinggal di sebelah rumah Riya...?”
Haruko, mengulang pertanyaan singkat yang baru saja beberapa saat yang lalu diajukan oleh Runa.
Wajahnya, tidak tahu kenapa terlihat sedikit panik, atau mungkin ia merasa bingung.
Melihat ekspresi Haruko yang seperti itu, Emi bukannya berkata sesuatu seperti ‘Ada apa, Takashi-san?’, melainkan justru tersenyum dan mendekatkan tubuhnya pada Riya.
“Iya, mulai sekarang, aku akan semakin dekat dengan Riya-chan. Dan tiap pagi, aku akan menjadi orang yang menyapa Riya-chan pertama kali.”
Emi berkata dengan senyuman bangga di wajahnya, sementara Riya hanya bisa merasa bingung melihat perilaku Emi yang tidak biasanya.
Bisa menyapanya tiap pagi bukanlah hal yang bisa dibanggakan.
Jujur saja, mungkin itu akan terasa aneh ketika kau bangun pagi hanya untuk menyapa sahabat baikmu yang tinggal di rumah sebelah.
Tapi, kelihatannya Emi sangat senang hanya karena hal seperti itu.
Namun, ekspresi yang sebaliknya justru diperlihatkan oleh Haruko.
“.......................”
Suasana tiba-tiba menjadi sunyi yang aneh.
Emi tidak berhenti memegang tangan Riya dengan erat.
Haruko terus menatap ke arah mereka berdua dengan tatapan tidak suka, sementara Runa memperhatikan Haruko dengan wajah agak kecewa.
“Ah, ayo, kita berangkat sekarang! Sudah bangun lebih awal, masa masih terlambat juga?”
Runa yang pertama kali bicara, membuat ketiga sahabatnya itu terkejut.
“Iya, iya, ayo berangkat sekarang. Ayo, Riya-chan.”
Kata Emi sambil menggandeng tangan Riya.
“[Ini bukan mimpi’kan...?].”
Sambil mengikuti Emi yang menarik tangannya, Riya berpikir.
Ia lalu melihat ke arah Haruko dan Runa.
“[Benar-benar ada 4 orang diantara kita sekarang...].”
Rasanya dengan adanya satu orang tambahan itu, Riya bisa merasakan akhir yang baik.
Dan dari dalam lubuk hatinya yang terdalam, sambil memperhatikan ketiga sahabatnya yang saling tersenyum,
Riya berdoa dalam hati,
“[Semoga kami berempat bisa menjadi teman baik sampai seterusnya!].”

Rutinitas seperti inilah yang selalu dilakukan oleh Riya setiap pagi sejak saat itu.
Sudah tidak ada lagi ‘Pagi yang membosankan’.
Tiap harinya, selalu Riya jalani dengan penuh semangat dan senyuman.
Sudah tidak ada lagi ‘Terjebak di dalam lingkaran 3 orang’.
Sekarang sudah ada dia, Haruko, Runa dan juga Emi.
Saat pelajaran berlangsung, Haruko dan Runa asyik membicarakan sesuatu seperti biasanya.
Tapi di saat yang bersamaan, Riya dan Emi juga saling berbincang dan itu selalu menjadi pembicaraan favorit Riya.
Pada saat kelompok 2 orang, Haruko tetap dengan Runa.
Jika biasanya Riya akan meremas pensilnya sambil berkata dalam hati,

“[Ukh...! Kenapa lagi-lagi harus 2 orang!!?]”

Dan selalu berharap apapun selain kelompok 2 orang,
Sekarang justru kebalikannya yang terjadi.
Mau kelompok 2 orangpun, sekarang baginya sudah bukan menjadi masalah yang besar lagi.
Karena sekarang sudah ada Emi yang setia menjadi teman sekelompoknya.
Saat studi wisata, Riya tidak harus duduk sendirian di dalam bus karena sekarang ia bisa duduk bersebelahan dengan Emi.
Riya berpikir setiap saat,
Semua kejadian yang berlangsung, semua hal yang terjadi sekarang ini benar-benar sesuai yang ia harapkan.
Ia memiliki seorang teman sempurna yang selalu ada untuknya.
Ia juga sudah tidak sendirian lagi.
Persis dengan apa yang selalu ia inginkan selama ini dengan kemunculan Emi.
Apalagi, Emi adalah seorang ‘Teman yang sempurna’.

Cantik,
Dengan rambut coklat panjang sepunggung dan senyuman yang selalu mengembang di wajahnya.

Saat tidak sengaja melewati loker sepatunya,
“Waa, Emi-chan! Banyak sekali suratnya!!”
Kata Riya terkagum-kagum begitu melihat isi loker sepatu Emi yang penuh dengan surat-surat bergambar hati.
“Ah, tidak. Biasa saja, kok. Hampir setiap hari seperti ini, jujur aku juga merasa sedikit terganggu.”
Emi berkata dengan nada sedikit kesal sambil memunguti surat itu satu per satu dan memasukkannya ke dalam tas.
“H--Hampir setiap hari?? [W--WOW!!]. A--Apa kau akan membacanya satu per satu?”
Tanya Riya dengan nada penasaran sambil melihat ke dalam tas Emi.
Ia sedikit melihat siapa-siapa saja nama yang tercantum di surat itu.
Mungkin ia penasaran dengan siapa yang sudah mengirimkan surat cinta kepada Emi.
“[Tanaka, Watase, Yuka, Nakamura...Tak satupun nama yang aku kenal...].”
“Ya, tentu saja aku akan membacanya. Bagaimanapun juga, aku harus menghargai mereka dan menulis balasan untuk mereka’kan?”
Sambil berkata seperti itu Emi tersenyum kemudian menutup lokernya.

Pintar,
Selalu teratas dalam pelajaran dan bisa membantunya belajar setiap waktu.

Saat pelajaran berlangsung,
“Kawada-san, coba kau kerjakan soal ini.”
Kata Akimoto-sensei sambil menunjuk ke arah Emi.
Dengan anggunnya seperti sedang berjalan di atas catwalk, Emi berjalan maju ke depan.
Beberapa saat kemudian, papan tulis sudah penuh dengan jawaban-jawaban yang Riya sama sekali tidak paham.
Bahkan Akimoto-sensei sampai sangat terkejut ketika Emi berhasil mengerjakan semua soal-soal itu dengan benar.
Langsung saja, semua murid langsung heboh menyoraki Emi.
Mereka bertepuk tangan dan berteriak-teriak seperti sedang menyambut seorang putri.
Riya juga melihatnya sambil terkagun-kagum.
“[Dia benar-benar pintar!!].”
Di ulangan kemarin juga, Emi meraih skor sempurna untuk setiap mata pelajaran.
Bukan hanya itu sisi baiknya,
Karena rumah mereka yang tinggal berdekatan, Emi bisa mengajari Riya berbagai macam pelajaran yang dia tidak mengerti.

Jago dalam segala hal,
Memasak,

Saat pelajaran memasak,
“Waa!! Coba semuanya! Lihat cake buatan Kawada-san!!!”
“Mewahnya!!”
“Cantik sekali!!”
Semua murid langsung mengerumuni kue buatan Emi saat pelajaran memasak.
Kue itu persis seperti kue-kue dalam pesta pernikahan yang pernah dihadiri oleh Riya sekali dua kali.
Siapa yang bisa membuat kue seindah itu, apalagi saat usianya masih sangat muda?
Dan yang terpenting, rasanya luar biasa lezat.
Semua murid berebutan untuk mencobanya, tak terkecuali murid-murid dari kelas sebelah.
Ketika harus praktek membuat satu set makanan yang komplit mulai dari Appetizer, Main Course dan tak ketinggalan Dessert, semua buatan Emi terlihat sangat cantik dan sempurna, seperti buatan chef profesional.
Siapapun tidak akan ada yang percaya kalau yang membuat semua makanan dengan cita rasa kelas atas itu adalah seorang murid SMA berumur 15 tahun.

Olahraga,

Saat pelajaran olahraga,
“Ayo, Kawada-san!!”
Kegiatan olahraga kali ini adalah pertandingan bola basket.
“Emi-chan! Ayo, masukkan bolanya!!”
Riya dan semua murid langsung memberi semangat pada tim Emi yang sedang bertanding.
Bukan cuma jago dalam hal pelajaran dan memasak juga, tapi ternyata gadis berambut panjang sepunggung itu, juga pandai dalam hal olahraga.
Coba lihat, baru saja pertandingan berlangsung 5 menit, Emi sudah berhasil memasukkan bola lebih dari 10 kali ke dalam ring lawan.
Selain gerakannya yang benar-benar gesit dan lincah, Emi juga tidak membiarkan musuhnya merebut bola darinya meskipun itu hanya satu detik.

Kesenian,

Saat pelajaran kesenian,
“Kawada-san, apa yang kau gambar itu? Cantik sekali!!”
Seorang murid perempuan yang kebetulan ada di samping Emi, langsung mengomentari lukisan yang dibuat olehnya.
“Ini aku dan Riya-chan. Aku tidak yakin apa ini sudah bagus...Aku tidak terlalu pandai melukis. Maaf kalau aku membuat wajahmu jadi aneh, Riya-chan, he he.”
Kata Emi sambil menggaruk rambutnya yang panjang.
Namun yang dikatakan oleh orang-orang justru berlawanan.
“Apaan itu!!? asdadasdagfdgurfigjgklkjjsd!!!! Itu cantik sekali, Kawada-san!!!!”
“ ‘Tidak terlalu pandai melukis’ apanya??! Jago begitu!!”
“Kawada-san itu terlalu merendah orangnya!”
“Bahkan mungkin ini jauh lebih cantik dari Miyashita yang asli!!”
“[A--Apa!!!?].”
Ketika di suruh membuat replika dari tanah liat, Emi berhasil membuat replika Menara Tokyo dengan sempurna.
Ketika pelajaran memahat patung, Emi memahat batu itu menjadi wajah Riya [yang memang terlihat lebih cantik dari aslinya].
Dan berbagai macam tugas lainnya yang berhasil ia selesaikan dengan sempurna.
Sampai-sampai, Emi diperebutkan oleh berbagai macam klub yang ada di sekolahnya, mulai dari klub memasak, klub olahraga dan sampai klub seni.
Jujur saja, kelebihan Emi dalam berbagai macam bidang memang menjadi daya tarik yang luar biasa.
Tapi, wajah cantik dan sempurna dalam segala hal itu, tidak akan membuat Emi semakin populer kalau seandainya ia tidak memiliki sifat yang satu ini.

Baik

Benar-benar memiliki hati seorang malaikat.
Ketika ada seorang siswi yang tidak sengaja menumpahkan minuman ke seragamnya,
“Ah! K--Kawada-san! Maaf, aku tidak sengaja!! Duh, seragammu jadi kotor... B--Biar aku bersih--“
“Tidak apa-apa, he he.”
“Eh...?”
“Kau tidak usah repot-repot. Ini’kan cuma noda. Nanti juga akan hilang kalau aku mencucinya. Sudah, lupakan saja.”
“........T--Terima kasih, Kawada-san!!”
Begitulah, Emi adalah orang yang sangat pemaaf, tidak mempermasalahkan masalah kecil seperti kebanyakan orang.
Tak heran kalau ia bisa menjadi sangat populer dalam waktu singkat.
Semua murid berlomba-lomba ingin menjadi temannya.
Dan, ketika orang lain sibuk mengantri, Riya sudah terlebih dahulu berdiri di antrian paling depan.
Ya, mungkin bagi semua murid, Emi adalah ‘Teman yang sempurna’ karena bakat-bakat yang dia miliki.
Tapi bagi Riya, yang membuat Emi menjadi lebih sempurna lagi hanya satu hal,

“Sahabat yang tidak akan pernah meninggalkan aku--Selalu berada di sisiku apapun yang terjadi.”

Benar.
Apapun yang terjadi, seberapa banyak teman yang dimiliki Emi, gadis itu tidak akan meninggalkan Riya sendirian, dan apapun yang terjadi--
“Emi akan selalu berada di sisiku...”

Meskipun begitu, ada beberapa murid yang tidak menyukai Emi bersahabat dengan Riya.
Entah kenapa, sebagian murid di kelasnya, menganggap Riya itu sedikit aneh dan juga tidak bersahabat.
Terlihat dari sorot matanya yang selalu terlihat tidak suka jika ada orang lain yang mendekatinya.
Dan, bukan hal yang mengejutkan kalau ternyata, mereka berpikir bahwa Riya hanya memanfaatkan Emi...

Saat itu, istirahat makan siang sedang berlangsung.
Haruko dan Runa tidak ada di kelas, mungkin sedang ke perpustakaan.
Ia baru ingat kalau guru perpustakaan yang waktu itu ternyata hanya ingin menanyakan apakah Riya mengenal Haruko.
‘Aku sering lihat kalian bertiga ke sini, jadi kurasa kau pasti mengenalnya. Tolong beritahu pada Takashi-san kalau 7 buku yang ia pinjam sudah seharusnya dikembalikan 1 bulan yang lalu’.
Meskipun pada akhirnya Riya melupakan pesan itu [Selama 2 bulan penuh dan semenjak hari itu Riya jarang sekali mengunjungi perpustakaan karena lebih sering menghabiskan waktu dengan Emi], beberapa hari yang lalu dia tiba-tiba ingat.
Dan ketika ia memberitahukannya pada Haruko, ternyata ia belum selesai membaca semuanya.
Jadi, mungkin hari ini dia sudah selesai dan meminta Runa untuk menemaninya ke perpustakaan.
“[Mengajak Runa tapi tidak mengajakku...].”
Riya saat ini sedang duduk sendirian tanpa melakukan apapun.
Biasanya saat istirahat seperti ini, mereka berempat selalu pergi ke kantin bersama.
Tapi sepertinya masing-masing sudah punya acara sendiri sekarang.
Ketika ia melirik ke sampingnya, ia melihat Emi sedang asyik mencatat pelajaran yang ada di papan tulis.
‘Sepertinya dia masih belum selesai mencatat, jadi tidak enak kalau tiba-tiba menganggunya’,
Pikir Riya.
Akhirnya, ia hanya bisa menghela nafas pasrah.
“[Mungkin aku akan ke kantin saja].”
Dan ketika Riya akan bangkit berdiri dari kursinya, tiba-tiba--
“Miyashita!!”
“[Ah!! Dia lagi!!!!].”
Jerit Riya dalam hati ketika melihat Mochida berjalan ke arahnya.
Langsung saja, Mochida duduk di atas meja Riya sambil tersenyum.
“Hey, kau sedang tidak ada kerjaan’kan? Mau ke kantin denganku?”
Tanyanya.
“Memang tidak ada. Tapi bukan berarti aku mau pergi denganmu. Aku cuma mau duduk-duduk saja dan menunggu Emi. Dan siapa yang menyuruhmu duduk di atas mejaku?! Cepat turun!”
Riya berkata dengan nada sinis kepada Mochida.
Tidak tahu kenapa, tapi Riya sama sekali tidak tertarik dengan laki-laki bernama Mochida itu.
Baginya, ia hanya serangga pengganggu yang menyebalkan [meskipun Mochida sama sekali tidak pernah berbuat salah padanya].
Mendengar itu, Mochida langsung tersenyum malu, kemudian turun dari meja Riya.
Ia lalu melihat ke sana kemari, seperti sedang mencari sesuatu.
Lalu, ketika ia melihat bangku di depan meja Emi terlihat kosong, ia langsung berkata ‘Ah, itu dia’, kemudian menarik kursi itu untuk duduk di dekat Riya.
Saat ia tak sengaja melihat Emi, Mochida tidak bisa menahan diri untuk tidak menyapanya.
“Ah, Kawada, kau sedang apa? Rajin sekali sepertinya.”
Mochida bertanya dengan senyuman di wajahnya.
Emi yang sepertinya tidak menyadari kehadian laki-laki itu, langsung tertegun kaget, tapi kemudian kembali memasang wajah tenang.
“Mochida-kun. Aku sedang mencatat pelajaran. Habisnya banyak sekali sih, dan aku masih belum selesai.”
Kata Emi sambil berhenti mencatat.
“Ohh...Begitu...¯
Mochida berkata sambil senyum-senyum kepada Emi.
Riya yang melihat itu langsung menopang dagu sambil menatap ke arah mereka berdua.
“Hey, kalau sudah tahu Emi sedang sibuk, lebih baik kau jangan ganggu dia!”
Katanya dengan nada kesal.
Mochida yang mendengar itu dari Riya langsung memasang wajah kaget sambil mendekatkan kursinya ke arah Riya kemudian duduk di dekatnya.
“Kenapa? Kau cemburu, ya?”
Mochida menanyakan hal memalukan itu dengan santai dan Riya tidak bisa menahan wajahnya yang telah berubah menjadi merah.
“A--Ap--Apa katamu!!!? Ce--Ce--Cemburuagdjsdjhfdhuasdsdasdads padamu!!!!?? Ih! Yang benar saja deh!!”
Kata Riya sambil memalingkan wajah.
“Ah!”
Untuk yang kesekian kalinya, matanya kembali bertemu dengan Itsuki.
Kali ini, ia ditemani oleh 2 orang temannya yang sama-sama memandang sinis ke arahnya.
Karisawa dan Sasagawa.
“.......................”
Sepertinya mereka tidak sedang mengobrol atau apapun.
Karena jelas-jelas, mereka tengah memandang ke arah Riya, seperti seekor elang yang hendak memangsa seekor tikus kecil.
Dan berita buruknya, Riya merasa kalau hari ini, akan ada sesuatu yang terjadi, karena tatapan Itsuki jauh lebih menakutkan dari biasanya.
“[Aku sudah lelah terus ditatap seperti itu...Aku harus menghentikan semua ini!]. Hey, Mochida!”
Riya akhirnya berkata sambil menoleh ke arah Mochida.
“Hm? Ada apa?”
“Bisakah kau berhenti mendekatiku?”
Itu tadi benar-benar frontal sekali, Riya.
Tentu saja, Mochida langsung melompat kaget ketika Riya mengatakan hal seperti itu.
“Apa? K--Kenapa? Kau membenciku, ya?”
Tanya Mochida dengan ekspresi heran.
“Iya kenapa, Riya-chan? Mochida-kun orang yang baik.”
Emi ikut-ikutan dalam pembicaraan ini.
“B--Bukan begitu...Y--Yah...Ada benarnya juga sih...”
Riya memelankan suaranya pada kata ‘Ada benarnya juga’, sambil menundukkan kepalanya.
“Tapi bukan itu masalahnya!!”
Teriak Riya tiba-tiba sambil memukul meja, tapi dengan sedikit kekuatan sehingga tidak menimbulkan suara yang terlalu keras.
Mochida dan Emi sama-sama memasang tampang ‘Aku tidak mengerti’ di wajah mereka.
“Maksudmu? Lalu kenapa aku tidak boleh mendekatimu?”
Mochida kembali bertanya sambil mengangkat sebelah alisnya.
Riya terdiam sesaat, kemudian diam-diam sedikit melirik ke arah Itsuki dan gerombolannya.
Mochida dan Emi langsung melihat ke arah yang dituju oleh Riya.
“Ah, bukannya itu Kana?”
Kata Mochida sambil melihat ke arah itsuki.
Itsuki Kanako.
“Jangan lihat ke sana, bodoh!!”
Riya berkata sambil menekan paksa kepala Mochida turun.
“Aduh, Miyashita! Kau kejam sekali! Sakit tahu!!”
Gerutu Mochida kesal sambil memegangi bagian atas kepalanya.
“Lagipula,”
Ia melanjutkan,
“Kenapa aku tidak boleh melihat ke sana?”
Ia bertanya dengan polosnya, tanpa mengerti situasi yang sedang terjadi.
Riya tidak punya pilihan selain menjelaskannya.
Ia mendekatkan dirinya pada Mochida dan berbisik.
“!!?”
Dan tanpa ia tahu, saat ia mendekatkan diri pada Mochida, Itsuki terlihat sangat marah.
“Kau tidak lihat? Di sedang mengawasi kita!!”
“Mengawasi? Siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan Itsuki!! Kau tidak lihat!? Dari tadi itu, matanya tidak lepas dari kita, terutama dariku! Dan sejak kau datang kemarin, dia terlihat makin marah!! Aku memang tidak kenal dengan dia sih, tapi itu bukan berarti aku tidak tahu kalau dia benci aku!!”
Riya berusaha berkata dengan suara sepelan mungkin.
“Ah, kalau tidak salah, Takashi-san dan Hasegawa-san pernah memberitahuku soal Itsuki. Katanya dia selalu menatapmu dengan tatapan tidak suka. Tapi, kenapa?”
Emi bertanya pada Riya, sambil sesekali melirik ke arah Itsuki dan 2 temannya.
Benar saja.
Mereka masih mengawasi.
“Ada gosip aneh dan tidak jelas yang mengatakan kalau aku dan Mochida itu pacaran!! Kurasa itu yang membuatnya selalu mengawasiku. Aku jadi tidak bisa tenang tiap harinya.”
Riya bercerita sambil menghela nafas.
“Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Jadi, tolong, Jangan dekati aku lagi. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan Itsuki. Kau tahu seperti apa dia’kan? Dia akan melakukan apapun demi mendapatkan semua yang dia mau!”
“Ah, aku tahu, kok. Aku sudah kenal dia sejak lama. Dan terkadang sikapnya itu membuatku merasa tidak suka tiap kali berada di dekatnya. Tapi, apa hubungannya semua ini denganmu?”
Tanya Mochida sambil melipat kedua tangan.
“Kau tidak sadar? Itsuki itu suka kamu!”
Kata Riya dengan suara sedikit lebih keras ke arah Mochida yang langsung membuatnya tersentak.
“Apa katamu!? Kana suka aku!?? Kau bercanda’kan!!?”
Mochida berkata dengan nada penuh rasa tidak percaya.
“Sudah berapa lama kau mengenalnya?! Satu detik yang lalu!!? Kau bilang sudah sangat lama! Masa hal seperti itu kau tidak sadar sih!? Ukh, makanya aku benci laki-laki!”
Riya berkata dengan ekspresi kesal di wajahnya sambil menendang kursi Mochida dengan pelan.
“............Aku memang tidak sadar. Selama ini, kami selalu bersama dan aku tidak pernah sekalipun menganggapnya lebih dari seorang teman biasa. Itu saja. Aku tidak punya perasaan untuknya atau apapun seperti itu.”
Mochida berusaha membela dirinya.
Sepertinya ia masih kaget mendengar ucapan Riya yang tiba-tiba itu.
 “Aku tidak peduli dengan hal itu! Itu urusanmu sendiri. Yang penting sekarang, jauhi aku atau Itsuki akan menguliti kulit kepalaku satu per satu!!”
Paksa Riya sambil memasang wajah yang seolah berkata ‘Aku tidak peduli dengan urusanmu!’.
Sekarang ini, ia benar-benar tidak berani melihat ke arah Itsuki.
Satu-satunya yang ia inginkan saat ini adalah, Mochida pergi jauh-jauh dari hadapannya.
Tiba-tiba--
“.................Riya-chan...”
“?”
Riya langsung tertegun begitu mendengar Emi menyebut namanya dengan suara pelan.
Tapi, ketika Riya menoleh ke arah Emi, ia kelihatan sangat aneh.
Tidak seperti Emi yang biasanya.
“A--Ada apa, Emi-chan? Apa aku membuatmu takut? Aku tidak bermaksud untuk berteriak seperti itu, kok.”
Riya berkata, berusaha menenangkan Emi.
“Bukan...Bukan itu...”
Emi berkata dengan nada yang monoton.
Meskipun begitu, terasa sedikit menakutkan di telinga Riya.
Ada apa dengan dia...?
“Lalu, ada apa?”
Tanya Riya, yang entah kenapa menjadi sedikit gugup.
“Itu...Kau itu...Takut sama Itsuki, ya?”
Kata Emi pada akhirnya.
“Hah? Kenapa dengan pertanyaan seperti itu?”
Riya otomatis langsung menjadi heran dengan sikap Emi yang tiba-tiba berubah menjadi aneh.
“Habisnya...Tiap kali membicarakannya, suaramu terdengar bergetar...Kau takut, ya?”
Ia mengulangi pertanyaannya dengan nada monoton yang sama.
“..............[Ada apa denganmu, Emi!?] Y--Yah...Kalau aku bilang tidak takut sih, bohong namanya...Habisnya, dia selalu melihatku, seolah mengawasiku tiap waktu! Aku’kan jadi merasa aneh...”
Kata Riya sambil menggaruk pipinya.
Kenapa Emi jadi menanyakan hal seperti ini?
Di lain pihak, Mochida entah kenapa terlihat seperti orang yang merasa bersalah.
“..............M--Maaf’kan aku, Miyashita...”
Kata Mochida dengan suara yang terdengar lemah sambil melihat ke arah lantai yang berwarna putih bersih.
Melihat itu, Riya justru merasa bingung.
“[D--Dia kenapa juga nih!!?].”
Pikir Riya dengan wajah panik.
“.........Selama ini aku terus mendekatimu tanpa tahu kalau kau sebenarnya ketakutan terhadap Kana. Aku juga, sama sekali tidak pernah menyadari hal itu sampai kau mengatakannya sendiri padaku. Tapi, aku tidak bisa menjauh darimu!”
Ekspresi Mochida berubah ketika ia menatap Riya.
“Apa?! Kenapa tidak bisa!!?”
“Karena aku--Aku--!!”

TAP TAP TAP

“!!?”
Mereka bertiga, Riya, Emi dan juga Mochida, langsung merasa kaget begitu mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka.
Siapa?
“Permisi.”
Suara yang tidak Riya kenal, seolah bergema.
“Ah, Karisawa, Sasagawa, ada apa kalian kemari?”
Mochida menyebut kedua orang itu.
2 orang sahabat Itsuki.
“[Apa yang mereka inginkan di sini!!?]”
Riya berkata dalam hati, tanpa bermaksud sedikitpun untuk menoleh ke arah mereka berdua, dan hanya menundukkan kepala.
Tubuhnya terlihat sedikit gemetaran.
Dan Emi terus memandangnya dengan wajah yang terkesan dingin.
Sasagawa, yang memiliki tubuh sedikit lebih tinggi dari kebanyakan siswi SMA lainnya, memulai pembicaraan.
“Hmm...Kawada-san.”
Ia menyebut nama Emi.
“Eh, iya?”
Jawab Emi dengan cepat.
Ia terlihat sedikit terkejut.
Mungkin ia baru saja memikirkan sesuatu.
“Kami berdua ingin mengajakmu ke kantin. Kau mau’kan?”
Kali ini, Karisawa, yang memiliki potongan rambut pendek [mungkin lebih mirip potongan rambut anak laki-laki] dengan warna pirang pucat, bicara.
Riya memperhatikan ke arah Emi.
Jujur saja, ia merasa sedikit khawatir.
Apa yang anak buah Itsuki inginkan dari Emi?
“Baiklah. Kurasa tidak masalah. Aku juga sudah selesai mencatat.”
Emi berkata sambil bangkit berdiri dan menutup bukunya.
“Maaf, ya, Miyashita. Kami pinjam Kawada-san sebentar.”
Kata Karisawa sambil membentuk huruf ‘V’ ke arah Riya. Saat itu, wristband bertuliskan ‘KING’ di pergelangan tangan gadis yang cukup pendek itu, tertangkap oleh mata Riya.
“...................”
Yah, itu juga bukan sesuatu yang penting.
“Kami duluan, ya. Tidak akan lama, kok.”
Tambah Sasagawa sambil memegang pundak Emi dan berlalu pergi.
“.................”
Riya terdiam di tempatnya sambil memperhatikan ketiga orang yang kini sudah tak nampak itu lagi.
Perlahan, ia bangkit dari kursinya.
“Miyashita?”
Mochida hanya bisa memandang Riya heran sambil mengikuti ke mana ia pergi.
Riya berjalan ke arah meja Emi yang terletak di sampingnya, kemudian membuka buku catatan itu.
“...................”
“Ada apa?”
Mochida memutar balik kursinya dan mendekatkan kepalanya ke arah buku Emi.
“Emi belum selesai mencatat...”
Kata Riya pelan sambil memegang buku Emi.
“[Kalau begitu, kenapa Emi bilang kalau ia sudah selesai dan mau pergi dengan mereka?!].”
“Lho? Ini’kan baru setengahnya. Bukannya tadi dia bilang sudah selesai? Hmm...Ini memang agak aneh, tapi mungkin Kawada hanya ingin pergi bersama mereka. Ia tidak ingin kelihatan malas di depanmu.”
Mochida tersenyum ke arah Riya.
“........[Tapi kenapa harus sampai berbohong segala...? Apa yang sebenarnya mereka berdua inginkan dari Emi?].”
“Miyashita, ke kantin, yuk!”
Ajak Mochida yang langsung disambut tatapan tajam oleh Riya.
“Kenapa aku harus pergi ke kantin denganmu!? Mau pergi, ya pergi sendiri saja! Kau sudah lupa kalau aku menyuruhmu untuk jauh-jauh dari aku!!? Apapun yang terjadi, aku tidak ingin berhubungan denganmu maupun dengan Itsuki! Sudah, ah! Aku mau keluar dulu!!”
Riya menggebrak meja kemudian langsung bangkit berdiri dari kursinya sementara Mochida berkata ‘Miyashita! Tunggu!!’, sambil mengarahkan tangannya ke arah Riya pergi.
Ketika Riya sampai di depan pintu kelas, ia berbalik perlahan.
“Hi hi hi.”
“!!?”
Seperti yang ia duga, Itsuki masih terus menatapnya.
Anehnya, ia tersenyum licik, seolah sedang merencanakan sesuatu.
“[Ada apa ini...?].”
Pikir Riya sampai akhirnya Itsuki berbalik dan bergabung dengan teman-temannya yang lain.
“.......................”

Setelah keluar dari kelas, Riya berjalan dengan lemas menuju ke tangga turun.
“..............”
Wajah Itsuki yang tersenyum licik kembali terbayang di pikirannya dan membuatnya merasa tidak nyaman.
“[Uh, apa yang sebenarnya aku pikir’kan? Berpikir positif, Riya! Berpikir positif!!].”
Riya menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan semua perasaan negatif yang ada.
“Apa tidak lebih baik kau tinggalkan Miyashita saja?”
“Eh...?”
Riya langsung tertegun begitu mendengar perkataan itu.
Perasaan pikirannya kembali kacau.

“Apa tidak lebih baik kau tinggalkan Miyashita saja?”

“[Apa itu? Siapa yang mengatakan hal seperti itu!?].”
Riya berjalan perlahan menuju ke arah tangga turun, untuk mencari tahu siapa yang menggosipkan dirinya seperti itu.
“!!?”
Dan ketika ia secara tidak sengaja melihat segerombolan gadis, yang sepertinya sedang serius membicarakan sesuatu, Riya segera bersembunyi di balik sebuah tembok dengan cepat.
Namun ia kembali tertegun, ketika ia menyadari kalau ketiga gadis itu tidak asing lagi untuknya.
Ia kembali mengintip sedikit, tapi tetap berusaha supaya ketiga gadis itu tidak bisa melihat dirinya.
“[Itu’kan--Sasagawa dan Karisawa! Emi juga ada di sana! Apa yang mereka bicarakan!? Padahal katanya mau ke kantin, tapi--].”
Kenapa mereka bertiga justru berbicara di dekat tangga seperti itu--!!?
Riya terus memperhatikan, dan kali ini, ia bisa mendengar suara Emi.
“Eh? Kenapa aku harus melakukan hal seperti itu?”
Ia terdengar agak ragu.
“Emi...”
Kata Riya pelan.
Sasagawa dan Karisawa tertawa.
“Ha ha, tentu saja alasannya cuma ada satu. Karena si Miyashita itu sama sekali tidak berguna!”

DEG

“[Aku tidak berguna?].”
Ketika mendengar kata-kata itu, Riya merasakan hantaman yang besar pada dirinya.
Rasanya seperti dihantamkan ke dinding berkali-kali.
Sampai ingin mati rasanya.
Tapi bahkan itu belum cukup untuk mendeskripsikan bagaimana perasaan Riya saat ini.
“Sasagawa-san, itu tidak baik. Jangan mengatakan hal seperti itu tentang Riya-chan. Aku tidak suka!”
Kali ini, Emi berkata dengan nada sedikit kesal.
Karisawa langsung menepuk pundaknya dengan pelan.
“Jangan marah seperti, Kawada-san. Kami mengatakan hal ini bukan tanpa sebab, kok. Jujur saja, Miyashita itu bukanlah sahabat terbaik untukmu. Coba kau lihat dia? Dia kelihatannya tidak ramah dan juga sombong. Selain itu, nilainya selalu rendah dan malas. Kami berdua yakin, kalau dia itu sebenarnya hanya memanfaatkan semua kehebatanmu supaya bisa jadi populer!”
Kalimatnya benar-benar mengintimidasi Emi supaya membenci Riya.
Di sisi lain, Riya tidak bisa menghentikan tubuhnya bergetar, mendengar tiap kata yang keluar dari mulut mereka.
Ia penasaran dengan apa yang akan Emi katakan.
“.........Aku tidak mengerti. Kenapa Riya-chan harus melakukan semua itu? Dia memang tidak terlalu rajin, tapi dia tidak pernah memanfaatkan aku untuk menjadi populer atau apapun!”
Emi benar-benar terdengar kesal sekarang.
“Dari mana kau tahu kalau dia tidak memanfaatkanmu seperti itu?!”
Sasagawa yang sebelumnya masih bisa memasang senyuman palsu di wajahnya itu, mulai menunjukkan sifat aslinya pada Emi.
Namun, Emi menjawabnya dengan tenang.
“Karena Riya-chan adalah sahabat masa kecilku. Tidak mungkin terpikirkan olehnya untuk memanfaatkanku seperti itu. Aku ingin kalian hentikan semua ini. Jauhi aku dan juga Riya-chan! Kalau kalian sampai berani-berani berkata buruk soal Riya-chan lagi...Aku--“
Emi menghentikan kata-katanya dan mengepalkan kedua tangannya.
“.........[Emi...].”
Riya memundurkan dirinya, bersandar pada dinding yang terasa dingin.
Jauh di dalam hatinya, ia merasa sedikit senang ketika Emi membelanya.
“[Ternyata...Emi memang sahabat terbaik...].”
Riya sedikit tersenyum sebelum akhirnya kembali melirik ke arah mereka bertiga.
Mendengar jawaban Emi, Karisawa dan Sasagawa terdengar tidak puas.
Tapi, mereka tidak berhenti sampai di sana.
“Kau masih tidak paham juga, Kawada-san? Dengar, kau tahu seberapa populernya kau di sekolah ini? Kau cantik, populer, pintar dan juga sempurna. Semuanya ingin menjadi sahabatmu! Tapi, dari banyaknya orang di sini, kenapa justru kau memilih berteman dengan orang seperti Miyashita? Yah, aku paham karena dia teman masa kecilmu. Teman masa kecil yang payah tentunya.”
Karisawa berkata dengan santainya.
“Apa katamu!!?--“
Emi sedikit melangkah maju, tapi kemudian langsung menghentikan langkahnya.
Perlahan, wajahnya kembali berubah tanpa emosi.
Sasagawa langsung menyambung perkataan Karisawa.
Dengan perlahan, ia mendekati Emi.
“Hey, Kawada-san, kenapa tidak kau tinggalkan saja sahabat masa kecilmu itu? Menurutku pribadi sih, ah, bukan hanya menurutku, tapi pasti semuanya juga akan berpikiran sama denganku. Kau itu terlalu baik untuk Miyashita. Kalian itu terlihat bagai langit dan bumi. Berbeda jauh. Dan hanya dengan sekali melihat saja, orang-orang pasti langsung tahu kalau kau dan Miyashita itu tidak cocok. Sangat tidak cocok.”
“Apa yang sebenarnya coba kau katakan?”
Kata Emi sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Hmm...Begini, ya...Sepertinya, kau lebih cocok jika bersama dengan Itsuki-san.”
“Itsuki?”
Emi bertanya dengan nada bingung.
Di sisi Riya, ketika ia mendengar nama Itsuki disebut, ia langsung menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“............[Sudah kuduga ini perbuatan Itsuki! Jadi, dia bermaksud membuat Emi memusuhiku!? Itu rencana liciknya!? Dengan menghasut Emi supaya menjauhiku!].”
“Iya, kau pasti kenal’kan dengan Itsuki-san? Dia itu gadis paling populer di sekolah kita. Dan Itsuki-san ingin kau menjadi sahabatnya! Bukannya itu hal baik Kawada-san? Semua orang ingin menjadi sahabat Itsuki. Tapi, hanya orang-orang terpilih dan berkelas seperti kita-kita saja yang bisa menjadi temannya. Bagaimana? Apa kau mau bergabung dengan kami dan Itsuki-san? Atau, kau masih mau bersama dengan Miyashita yang aneh itu?”
Kata Sasagawa sambil menatap ke arah Emi.
Nada bicaranya ketika menyebut dan memuji Itsuki, terdengar seperti ketika seseorang memuja dewa.
Apa yang sebenarnya orang-orang bodoh itu lihat dari gadis mengerikan seperti Itsuki?!
“........................”
Emi hanya terdiam dan tidak mengatakan sepatah katapun pada mereka berdua.
Riya dengan jantung berdebar-debar, menunggu apa yang akan dikatakan Emi.
Apa pada akhirnya, Emi benar-benar akan bergabung dengan kelompok Itsuki?
Apa dia akan meninggalkannya sendirian?
“[Tidak, tidak! Aku sudah mendapatkan seorang teman dengan susah payah! Pada akhirnya terkabul juga! Apa aku harus kehilangan seperti ini!?].”
Pikiran-pikiran negatif itu mulai membuat perasaan Riya menjadi semakin ketakutan.
Ia tidak sanggup mendengar apa yang akan Emi katakan selanjutnya.
Jadi, ia memutuskan untuk berlari pergi.
Namun, ketika ia melangkah, Riya tidak menyadari kalau ternyata ada sebuah botol minuman kosong di depannya dan terus melangkahkan kakinya, menginjak botol minuman kosong itu yang akhirnya menimbulkan suara yang cukup keras.
“!!!?”
Baik Riya maupun Sasagawa, Karisawa dan juga Emi langsung tertegun mendengar suara itu.
Dengan refleks, Riya langsung menutup mulutnya, mencegah dirinya untuk berteriak, ketika seseorang berteriak dengan keras ‘Siapa di sana’.
Karena ketakutan dan panik, ia tidak tahu siapa diantara Karisawa atau Sasagawa yang berteriak ke rahnya.
“[Mereka sadar aku ada di sini!?].”
Pikir Riya dalam hati.
Ia berpikir, kalau ketiga orang itu tidak tahu bahwa ialah yang ternyata sudah menguping pembicaraan mereka.
Tapi, ternyata ia salah besar.
“.............Riya-chan...?”
Dari balik tembok putih itu, Riya bisa mendengar suara Emi, menyebut namanya.
Ia tidak punya pilihan lain, maka dengan melangkahkan kakinya yang terasa berat seperti di tahan dengan rantai besi, ia keluar dari dari tempat persembunyiannya dan menampakkan dirinya.
Langsung saja, Karisawa dan Sasagawa menunjukkan ekspresi kaget ketika bertatapan dengan Riya.
“Miyashita...!!”
Kata Karisawa kaget sebelum akhirnya berkata ‘Ayo, kita pergi dari sini!’, dan mengajak Sasagawa untuk berlari meninggalkan mereka berdua.
“.....................”
Sekarang ini, hanya ada Emi dan Riya yang saling berpandangan.
 Tapi tak satupun diantara mereka berdua, tahu apa yang harus mereka katakan.
Emi menatapnya dengan tatapan terkejut dan juga merasa bersalah.
Riya sendiri--
Ia tidak tahu wajah seperti apa yang ia buat.
Tapi ia tahu.
Kalau ekspresinya saat ini, pasti sudah membuat Emi merasa ketakutan.
“.......................”
Beberapa saat berlalu seperti sudah melewati satu hari.
Keheningan yang aneh masih menyelimuti mereka berdua.
“[Apa yang aku lakukan? Aku harus mengatakan sesuatu pada Emi].”
Riya berpikir bahwa ia harus segera mengakhiri keheningan ini.
Jadi, ketika ia membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu--

GREP

Ia tidak paham benar kapan hal itu terjadi.
Yang ia mengerti adalah, Emi, tiba-tiba sudah berada di dekatnya dan memeluk tubuhnya dengan erat.
“.......................”
Riya hanya bisa terdiam, masih terkejut dengan apa yang tiba-tiba dilakukan oleh Emi.
Dan ternyata, yang pertama kali memecahakn kesunyian ini bukan Riya, melainkan Emi.
“Ini tidak seperti yang kau lihat!! Maaf’kan aku, Riya-chan!! Aku minta maaf!!!”
Emi berteriak dengan suara sedikit keras.
Bukan hanya itu, ia sepertinya juga menangis.
Mendengar itu, Riya semakin tidak tahu harus membalasnya seperti apa.
Tidak ada yang salah diantara mereka berdua.
Jadi, siapa yang harus dimaaf’kan?
“Sudahlah, Emi-chan. Aku mengerti. Aku memang bukan orang yang hebat, yang bisa melakukan semuanya dengan baik sepertimu. Aku bisa paham itu. Jadi, kau tidak usah seperti ini. Aku tidak apa-apa, kok...”
Riya berkata dengan suara lembut, berusaha menenangkan Emi.
Hanya saja, itu saja sepertinya masih belum cukup.
“Tidak bisa! Kau--Kau sudah mendengar orang-orang jahat itu berkata hal yang sangat mengerikan itu padamu!! Mana mungkin kau tidak merasa sedih?! Aku juga--Sama sekali tidak ada maksud untuk berbicara dengan orang yang sudah membenci Riya-chan seperti itu! Aku tidak bermaksud untuk mengikuti apa mau mereka atau apapun itu! Kumohon, mengertilah, Riya-chan!!”
Emi berusaha menjelaskan situasinya pada Riya.
“..............Aku mengerti. Lagipula, Sasagawa dan Karisawa’kan anak buah Itsuki. Bukan hal aneh kalau Itsuki menyuruh mereka berkata buruk tentang aku.”
Kata Riya sambil tersenyum kecil.
“Riya-chan...Aku--Aku--!”
Emi kemudian melepaskan pelukannya dan menatap ke arah Riya.
“Aku--Apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah mendengarkan apa kata-kata mereka!! Aku tidak akan bergabung dengan Itsuki, ataupun menjadi teman siapapun! Sampai kapanpun, aku hanyalah sahabat Riya-chan saja!!! Aku tidak akan menghianatimu!! Aku akan selalu menjadi temanmu, tidak peduli seperti apa kau!!”
Sinara matahari yang masuk melalui jendela, membuat wajah mereka nampak bersinar.
Riya bisa melihat dengan jelas, air mata yang menetes membasahi wajah Emi, juga kesungguhan yang besar dari kata-kata yang ia ucapkan barusan.
Ia bisa merasakan kebaikan dari kata-kata Emi barusan, dan itu langsung membuat perasaan negatif tersebut sirna seketika.
“[Ah, aku bisa merasakannya...Kehangatan yang dipancarkan oleh Emi...].”
Maka, sambil tersenyum, Riya mengusap air mata Emi dengan perlahan, kemudian berkata dengan suara pelan.
“Iya, aku paham. Sampai kapanpun, Emi-chan akan menjadi sahabatku. Aku tahu kalau Emi-chan tidak akan pernah meninggalkanku...Aku percaya kalau kau tidak akan menghianati ataupun bergabung dengan Itsuki ataupun berkata buruk di belakangku. Tadi, aku juga sudah dengar kau membelaku di hadapan mereka berdua. Kau tahu? Rasanya aku senang sekali tadi sewaktu kau berkata ‘Karena Riya-chan adalah sahabat masa kecilku’. Aku benar-benar bahagia...”
Tanpa ia sadari, air mata mulai menetes, mengalir dengan perlahan.
“Riya-chan...”
Emi berkata pelan kemudian kembali memeluk tubuh Riya dengan erat.
“Aku tidak akan membiarkan siapapun berkata buruk atau mengganggu Riya-chan lagi! Aku berjanji!!”
Emi berteriak dengan segenap perasaannya, berharap semoga perasaannya itu bisa sampai kepada Riya.
Riya juga balas memeluk Emi sambil tersenyum.
“Iya, aku percaya padamu.”
Rasanya,
 Persahabatan yang terjalin diantara mereka berdua sudah sangat kuat.
Hanya saja...
“............................”

‘Apa tidak lebih baik kau tinggalkan Miyashita saja?’
‘Karena si Miyashita itu sama sekali tidak berguna!’
‘ Dia kelihatannya tidak ramah dan juga sombong. Selain itu, nilainya selalu rendah dan malas. Kami berdua yakin, kalau dia itu sebenarnya hanya memanfaatkan semua kehebatanmu supaya bisa jadi populer!’
’ Teman masa kecil yang payah tentunya.’
‘Orang-orang pasti langsung tahu kalau kau dan Miyashita itu tidak cocok. Sangat tidak cocok.’

“Aku akan melindungimu selalu, Riya-chan...Aku janji...”
***-***
Keesokan harinya, sama seperti hari-hari yang lain.
Emi menunggu Riya di depan rumahnya, dan tak lama kemudian, Haruko dan Runa datang menyusul.
Mereka berempat bercanda, dan membicarakan banyak hal bersama.
Hanya saja, Riya tidak bermaksud untuk membicarakan kejadian kemarin dengan Haruko dan Runa.
Ia tahu, Itsuki bisa saja melakukan apapun untuk membuat hubungannya dengan sahabat-sahabatnya itu hancur, hanya supaya ia bisa puas membuat Riya menderita.
Sehingga, perbincangan yang terjadi diantara mereka, hanyalah perbincangan dengan topik yang umum biasanya dibicarakan oleh gadis-gadis remaja.
Pagi itu, menjadi salah satu pagi yang biasa untuk Riya.
Kejadian yang tidak biasa, terjadi ketika Riya dan teman-temannya sampai di depan gerbang sekolah mereka.
Saat itu, Riya sedang membicarakan tentang film yang kemarin ia tonton jam 24.00 malam, tapi perbincangan itu harus berakhir, ketika Riya melihat semua murid berkumpul di depan gerbang sekolah.
Bukan hanya para murid, para guru dan orang-orang yang tidak berkepentingan di sekolah itu, ikut berada di sekitar sekolah, seolah sedang menyaksikan sesuatu.
Riya yang menyadari kalau ada ‘sesuatu yang tidak biasa’ sedang terjadi di sekolahnya, langsung menghentikan langkah ketiga temannya.
“Tunggu dulu!”
Kata Riya tiba-tiba.
Melihat kelakuan yang tiba-tiba itu, baik Emi, Haruko maupun Runa saling berpandangan satu sama lain dengan tatapan bingung.
“Ada apa, Riya?”
Runa bertanya ke arah Riya yang tiba-tiba menyuruh mereka berhenti.
“Kalian tidak lihat? Kenapa orang-orang itu berkumpul di dekat skeolah kita?”
Tunjuk Riya ke arah sekolah.
Mendengar ucapan temannya itu, Haruko langsung tertegun.
“Ah, iya. Sekolah kita jadi ramai, ya?”
“Bukan hanya itu...Kenapa semua murid dan guru juga berada di luar sekolah? Kenapa mereka tidak masuk?”
Kali ini, giliran Runa yang merasa heran.
Tapi, yang jauh membuat mereka terkejut lagi, adalah--
“Lalu, apa yang mobil-mobil polisi itu lakukan di sekolah kita!?”
Emi berkata panik ketika ia tidak sengaja mendapati beberapa mobil polisi berhenti di dekat sekolah mereka.
Apa ada sesuatu yang terjadi?
“Ini pasti sesuatu yang gawat! Ayo!!”
Riya memberi isyarat pada teman-temannya untuk berlari mengikutinya, menuju ke depan gerbang sekolah.
Di depan sekolah, lautan orang sudah menutupi seluruh jalan masuk.
“Permisi, maaf, kami mau lewat. Permisi.”
Riya berusaha menerobos masuk, diikuti Emi, Haruko dan Runa di belakangnya.
Bersamaan dengan itu, ia bisa mendengar beberapa orang berbicara dengan takut dan tidak percaya.
Otomatis, itu langsung membuat Runa merinding, bahkan sebelum ia melihat apa yang terjadi di sana.
 “Haruko, aku takut...”
Runa berkata sambil memegang tangan Haruko dengan erat.
Ketakutan tergambar sangat jelas baik dari kata-katanya maupun dari raut wajah Runa.
“Jangan takut. Tidak akan ada yang terjadi. Mungkin hanya kebakaran kecil, atau sesuatu seperti itu.”
Kata Haruko berusaha menenangkan Runa, meskipun ia sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi.
Dan ternyata,
Tepat seperti apa yang Haruko katakan.
Ini memang kebakaran.
Masalahnya, ini bukan hanya soal ‘kebarakan kecil’ saja.
Melainkan--
“A--A--Apa itu!!!?”
Teriak Riya histeris ketika melihat sesuatu yang tengah di lihat oleh orang-orang itu sejak tadi.
Jantungnya langsung berdebar dengan kencang, seolah bisa saja terhenti sewaktu-waktu.
Keringat dingin mulai membasahi wajahnya dengan perlahan
Runa langsung menutup mulut tidak percaya.
Haruko menatap dengan mata terbuka lebar.
Begitu pula dengan Emi.
Semua orang yang melihatnya, menunjukkan satu wajah yang sama.
Yaitu ketakutan dan rasa tidak percaya.
Bagaimanapun, ini semua tidak mungkin terjadi.
Iya, tidak mungkin.
Sesuatu yang mengerikan seperti ini, ternyata terjadi di sekitar mereka...
“Apa yang--!!!?”
Di hadapan mereka saat ini, tepatnya di sebuah pohon di dekat gerbang sekolah,
Ada 2 mayat tergantung dengan perut mereka yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan keluar.
Tubuh mereka hampir hangus, seolah habis dibakar dengan api.
“Mati--Terbunuh--Ah--“
Pikiran Riya kacau, seolah apa yang ingin ia ungkapkan, meski hanya berteriak ketakutan, tak bisa ia lakukan.
Ia berusaha menyakinkan dirinya, bahwa ini hanyalah sebuah lelucon buruk yang dibuat oleh seseorang. Sayangnya, permintaannya itu tak bisa dikabulkan. Karena yang sekarang ada di hadapannya, sama sekali bukan lelucon atau mainan anak-anak.
“Kejam--Ini sungguh kejam!!!”
Memegang lengan seragam Riya dengan erat, Emi berkata, dengan wajah ketakutan dan nada bicara yang bergetar.
Tidak, tidak tidak!! Apa yang terjadi di sini!!?
Berkali-kali, kata-kata itu muncul di benak Riya.
Sampai saat ini, tak satu orang pun mampu memberikan jawabannya, karena mereka masih terlalu terkejut dengan pemandangan mengerikan di depan mereka.
“...................Ah!”
Tapi, bagian yang paling mengerikannya lagi, adalah ketika kedua mata Riya menangkap sesuatu. Sesuatu di pergelangan tangan salah satu dari 2 mayat itu.
Sudah banyak yang terjadi kemarin. Dan ia ingin melupakan kejadian buruk yang terjadi saat itu. Hanya saja, kini, pikirannya seolah dipaksa untuk kembali pada masa itu, mundur beberapa menit ke belakang.
Itu, adalah sesuatu yang awalnya hanya ia lihat sekilas pada waktu itu dan mungkin akan ia lupakan begitu saja.
Mungkin, ia merasa itu bukan sesuatu yang penting, dan hanya sekedar ketidaksengajaan matanya yang menangkap sesuatu tersebut.
“I--Itu...Itu tidak mungkin...Kan...?”
Karena, yang ada di pergelangan tangannya itu adalah--Dan tak salah lagi, memang  hanya dia yang terlihat mengenakannya pada waktu itu--
--Sebuah wristband dengan tulisan ‘KING’,
...................
........................................
....................................................................
“.............Sasagawa dan...Karisawa...?”
Dan tepat saat itu,
Itsuki,
 Datang menuju ke arahnya,
Kemudian--
“Ini pasti perbuatanmu!!!!”
***-***




A/N : Hai, minna XDD
 How To Make A Friend Chapter 7

It's killing time!! Udah waktunya untuk part horror dari cerita ini keluar he he ^^

kalo sebelumnya mungkin masih ada komedi atau lucu-lucu dikit, sekarang cerita udah mulai serius. 
korban pertama sasagawa dan juga karisawa. siapa korban berikutnya ya??

Btw, karisawa adalah nama keluarga dari chara di Memories in The Winter, novel pertama yang aku buat :)

Makasih buat yang udah mampir!!

Visit : Ngomik

          DA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar