Story : Mihashi Chapter 8
*Read :
Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 9
Chapter 10
Epilogue
* Read Another Stories :
MIHASHI
- Chapter 8 -
Putriku Tersayang, Mihashi
Putriku Tersayang, Mihashi
“Mama, mama!”
“Ya, ada apa Mihashi?”
“Hari ini Mihashi akan tampil! Pastikan mama melihat penampilan Mihashi
nanti, ya!”
“Sudah pasti mama akan melihatnya. Mama juga sudah menyiapkan kamera
untuk merekam pertunjukkan Mihashi. Nanti, kita tunjukkan sama-sama pada papa,
ya?”
“Hm! Mihashi akan menampilkan yang terbaik!!”
“Baiklah semuanya, sekarang kita
sambut persembahan dari murid kelas 2-C!”
Begitu Aragaki-sensei berkata
seperti itu, semua penonton langsung berteriak dengan heboh.
Para orang tua anak-anak yang
akan tampil langsung mengangkat kamera mereka untuk mengambil gambar
putra-putri mereka.
Karena jumlah pengunjung yang
sangat banyak, tempat itu jadi berdesak-desakan.
Tak jarang mereka saling
bersenggolan satu sama lain dan bergerak ke sana kemari akibat orang-orang yang
ingin melihat pertunjukkan.
“Akh, kenapa sempit sekali sih!?
Kerumunannya semakin banyak saja! Aduh!”
“Maaf!”
Chiharu yang sedang komplain
sendiri, tiba-tiba ada orang yang tidak sengaja menabrak dirinya dari belakang.
Baru saja orang itu sedikit
menjauh dari Chiharu, ia kembali terdorong ke samping oleh orang di sebelahnya.
Melihat itu, Chiharu hanya bisa
menghela nafas pasrah.
“Haaah...Kalau seperti ini
caranya, sampai kapanpun aku tidak akan bisa mengambil gambar!”
Beberapa detik kemudian, semua
murid sudah ada di atas panggung.
Mereka terlihat sangat manis dan
juga lucu serta polos.
Chiharu melihat ke barisan
anak-anak di atas panggung itu dan berusaha menemukan keberadaan Mihashi.
Kemudian, setelah melihat-lihat, akhirnya
ia menemukan sosok Mihashi yang berdiri di barisan depan paling pojok.
“Mihashi-chan!! Ini Bibi Chiharu!
Hoiiii!”
Chiharu berteriak di tengah
kerumunan, berusaha mendapatkan perhatian Mihashi sambil sedikit melompat dan
melambaikan tangannya.
Namun anehnya, Mihashi sama
sekali tidak merespon panggilannya.
Bahkan ia tidak melihat
sedikitpun ke arahnya.
Melihat reaksi Mihashi yang
terkesan datar dan tidak mempedulikannya itu, Chiharu berhenti memanggilnya.
Wajahnya terlihat bingung.
“..............Ada apa dengan
dia? Apa dia tidak mendengarku? Yah...Tempat ini memang ramai dan berisik
sekali...Tapi masa dia tidak menyadari keberadaanku...? Hey! Mihashi!!!”
Chiharu kembali berteriak memanggil gadis itu.
Tapi, gadis itu tetap saja
melihat ke depan dengan tatapan yang kosong.
Tunggu...
“Kenapa wajahnya seperti itu...? Kenapa
dia pucat sekali? Apa jangan-jangan--Dia sakit!?”
Chiharu tertegun dan menjadi agak
khawatir begitu melihat keanehan pada diri Mihashi.
Ini aneh...
Sebelumnya dia berkata dengan yakinnya
‘Aku akan menampilkan yang terbaik!’.
Tapi...
kenapa sekarang ia bersikap
seolah tidak peduli dengan pertunjukkan ini lagi?
Kenapa sekarang semangatnya
seolah menghilang begitu saja?
Kenapa ia tidak terlihat tertarik
untuk mengikuti pertunjukkan yang sudah ia tunggu sejak dulu ini?
Apa yang terjadi dengannya?
“Apa yang terjadi?!”
“Mereka akan menyanyikan sebuah
lagu berjudul, ‘Four Season’. Selamat
menikmati.”
Aragaki-sensei membungkukkan
tubuhnya, kemudian berjalan turun dari panggung, meninggalkan murid-murid di
sana sendirian.
Suasana menjadi agak hening, dan
itu membuat beberapa murid kembali merasa canggung.
Mereka menoleh ke sana kemari
dengan wajah bingung, seolah berkata ‘Apa yang harus aku lakukan’.
Aragaki-sensei berbisik pelan
dari sisi lain ‘Jangan khawatir, kalian pasti bisa’.
Dan itu sukses membuat para murid
mendapatkan kepercayaan diri mereka lagi.
Perlahan, musik mengalun dengan
lembut.
Mereka melihat ke arah depan,
melihat wajah kerumunan orang itu.
para orang tua tersenyum dan melambai.
Tapi Chiharu hanya terdiam,
perasaannya entah kenapa menjadi tidak enak.
“Ada 4 musim”
Lagu sudah mulai dinyanyikan.
“Bulan Maret yang hangat”
“Awal musim semi yang penuh cerita
Angin berhembus dengan tenang
Membuat rambutku sedikit berkibar
Disekelilingku adalah bunga-bunga sakura yang bermekaran dengan sangat
indah
Bulan Juni yang panas”
“............................”
Semua murid bernyanyi dengan
suara lembut mengikuti alunan musik piano yang mengiringi mereka.
Namun,
Mihashi hanya terdiam.
Ekspresi wajahnya terlihat
seperti orang yang sedang mengalami tekanan yang luar biasa.
“.............Papa...Papa tidak
ada di sini...”
Ia berkata dengan suara pelan,
tersembunyi di balik suara nyanyian teman-temannya.
“Mihashi-chan...?”
Aragaki-sensei terlihat bingung
karena Mihashi tidak ikut bernyanyi seperti teman-temannya yang lain.
Ia kemudian berbisik dengan pelan
kepada Mihashi,
“Mihashi-chan, Mihashi-chan! Ayo,
buka mulutmu dan menyanyi!”
Tapi Mihashi tak meresponnya
sedikitpun.
Perlahan, Mihashi memegang roknya
dengan erat.
“.................Aku...Aku...Aku
ingin papa melihat penampilanku...Aku ingin ia ada di sini...”
“....................................”
“Ada apa, Mihashi-chan? Ayo, naik ke atas panggung.”
“.................Tapi mama tidak ada di sini.”
“Ibumu bilang dia ingin membeli minuman sebentar.”
“Tapi, aku ingin mama melihatku.”
“Ibumu akan kembali saat kau tampil. Ia hanya pergi sebentar.”
“Awal musim panas yang penuh dengan semangat
Cuaca yang cerah
Udara yang terasa lebih panas
Meskipun begitu, semuanya tetap semangat menjalani hari-harinya
kunang-kunang bermunculan di malam hari
Memenuhi langit malam”
“Ada dengan anak itu?”
“Kenapa dia hanya diam saja?”
“Apa dia gugup?”
“Waaa, waaa, ada apa, ya?”
Semua orang yang menonton
pertunjukkan mereka, mulai ribut dan mengomentari penampilan Mihashi yang
buruk.
“Tapi...Tapi kenapa papa...!”
Konsentrasi mereka yang semula
terhanyut di dalam lagu yang mereka bawakan, perlahan mulai pecah.
“..................................”
“Hey, ada apa dengan anak itu?”
“Mama...di mana mama?”
“Kenapa dia hanya diam saja?”
“Mama--Mama--Aku ingin kau melihatku...Di mana kau...?”
“Suruh anak itu turun!”
“Suara jangkrik yang merdu terdengar menggema sampai ke angkasa
Kembang api yang indah terbang dan menghilang di langit malam
Bulan September
Awal musim gugur yang penuh canda tawa
Daun-daun berguguran
Berubah menjadi kecoklatan”
“............Kenapa dia tidak
ikut menyanyi!?”
Chiharu bergumam pelan sambil
tetap berusaha merekam penampilan Mihashi yang terbaik.
Namun, Mihashi sama sekali tidak
menampilkan penampilan yang terbaik.
Sesekali, mulutnya terlihat
terbuka, namun Chiharu sama sekali tidak tahu apa yang ia ucapkan.
“Apa dia terlalu gugup
sampai-sampai kalimat itu tidak bisa keluar dari mulutnya...?”
“..............Papa...Kenapa ia
tidak ada di sini...? Bukannya ia sudah janji...Ia sudah janji kalau akan
menonton pertunjukanku...Kemudian meneriakkan namaku dan bertepuk tangan
untukku...Tapi--“
Tubuhnya semakin gemetar.
Genggaman Mihashi semakin erat
sampai-sampai rok itu bisa sobek kapan saja.
Bukan hanya itu, wajahnya juga
semakin pucat dengan keringat yang membasahi.
“.................................”
“Turun!! Turun!!”
“Ah, mama--Bukannya mama sudah janji akan melihatku...Kenapa mama
meninggalkanku sendiri di sini...”
“Turun!! Huuuu!!”
Pandangan semua orang semakin
tertuju ke arah Mihashi.
“Angin terasa lebih dingin dari musim sebelumnya
Tiap kali aku berbicara, aku bisa melihat embun keluar dari mulutku
Namun bersama dengan teman
Tertawa, bercanda bersama
Adalah sumber kehangatan yang sangat luar biasa”
Teman-teman sepanggung Mihashi
yang menyadari kalau orang-orang terlihat tidak begitu puas ketika menonton
pertunjukkan mereka, langsung sedikit melirik satu sama lain sambil sedikit
berbisik ‘Ada apa, ada apa’.
Menyadari ada yang tidak beres,
gadis berambut coklat panjang sedikit mencondongkan tubuhnya maju dan melihat
ke arah Mihashi yang kini terlihat sedikit gemetar dengan wajah tidak tenang
dan nafas yang sangat tidak teratur.
“Apa yang dia lakukan!?”
Gumamnya pelan sambil melemparkan
tatapan tajam.
“Papa--Kenapa papa tidak ada di
sini--“
“Mama...Kenapa mama--Mama...”
“Bulan Desember
Awal musim dingin yang penuh perjuangan
Pohon-pohon telah kehilangan daunnya sepenuhnya
Hewan-hewan pergi tidur untuk menghadapi musim dingin yang panjang
Bunga-bunga tdak lagi nampak
Hanya salju putih yang terlihat sejauh mata memandang dengan langit
yang penuh bintang
Meskipun begitu semuanya tetap berjuang untuk hidup
Supaya mereka bisa kembali pada awal musim semi yang baru
Suatu saat nanti di musim semi berikutnya
Bulan Desember, Januari, Februari
Sampai akhirnya
Lagupun sudah mencapai
klimaksnya.
Tapi orang-orang terlihat tidak
menikmati lagu itu karena fokus mereka sekarang terarah pada Mihashi yang
semakin terlihat gugup.
“Ayo, menyanyi! Bukannya kau
ingin menampilkan yang terbaik!?” Teriak Chiharu sedikit pelan, karena tidak
ingin merusak pertunjukkan karena tiba-tiba berteriak.
“Mihashi-chan! Ayo, kemari.”
Tidak tahu apa yang terjadi,
Aragaki-sensei menyuruh Mihashi untuk turun dari panggung supaya akhir
pertunjukkan bisa berjalan lancar.
Tapi, Mihashi sama sekali tidak
beranjak dari tempatnya berdiri.
“Papa--Papa--Papa--“
“Mihashi-chan!”
Aragaki-sensei berteriak sedikit
keras.
“.............Mama--“
“Kalau tidak bisa menyanyi, jangan maju!! Huuuuu!!!”
“Turun kau!! Turun!!!!”
“Mihashi-chan! Cepat turun!”
“Apa yang gadis itu katakan?”
“Aku sedikit mendengar sesuatu,
yang jelas dia sedang tidak menyanyi.”
“Apa tidak lebih baik kalau anak
itu turun?”
“.....................”
Chiharu yang mendengar
komentar-komentar orang-orang di sekelilingnya tidak bisa berhenti untuk tidak
gelisah.
Ia kembali menoleh ke arah
Mihashi di atas panggung.
“[Apa yang terjadi denganmu!!?].”
Bulan Maret
Awal musim semi
Pohon-pohon kembali menumbuhkan daunnya
Hewan-hewan kembali bangun dari tidur panjangnya dan mengHirup udara
segar
Bunga-bunga yang indah kembali menghiasi
“Mama--“
“Papa--“
Angin berhembus dengan tenang
Membuat rambutku sedikit berkibar
Disekelilingku adalah bunga-bunga sakura yang bermekaran dengan sa--
“MAMA!!!!!!!!!!”
“PAPA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
DEG!!!
Mihashi jatuh berlutut sambil
memegangi kepalanya.
Orang-orang yang melihat mulai
terlihat panik.
“Hey, hey! Apa yang terjadi!?”
“Apa yang anak itu lakukan!!?”
“PAPA!! PAPA!!!! AKU
INGIN BERTEMU DENGAN PAPA!!!!!!”
Mihashi berteriak semakin keras
dan histeris.
Air mata mulai turun mengaliri
pipinya.
Musik berhenti.
Begitu pula dengan nyanyian yang
sedang mereka bawakan.
Teman-teman Mihashi kini melihat
ke arahnya satu per satu dengan wajah yang seolah berkata ‘Ada apa dengan
dia!!?’.
Mata Chiharu terbuka lebar,
menyadari apa yang terjadi kemudian berteriak dengan sekuat tenaga,
“JANGAN SEKARANG!!!”
“Papa! Papa!!! Aku ingin papa ada
di sini! Bukannya papa sudah janji mau melihat pertunjukkanku!!!?”
Teriak Mihashi dengan keras.
“Mihashi!! Mihashi!!!”
Chiharu berusaha
memanggil-manggil Mihashi dengan meneriakkan namanya.
Ia berusaha berjalan mendekati
panggung.
“Maaf, permisi! Mihashi!!
Permisi, biarkan aku lewat!! Mihashi!!!”
Tapi, orang-orang di sana justru
mulai melempari panggung dengan cup
bekas minuman atau plastik dan bungkus snack.
“Apa-apaan ini!!!?”
“Huuu! Payah!!!”
“Turun!! Turun!!! Turun!!!!”
Teriakkan orang-orang itu sangat
keras sampai membuat telinga Chiharu terasa sakit.
Berkali-kali ia berteriak pada
mereka untuk menghentikannya, tapi tidak ada yang mau mendengar.
Suaranya kalah jika dibandingkan
dengan orang sebanyak ini.
“Mihashi!!! Mihashi!!!!”
“Ah!” Salah seorang murid yang
terkena lemparan berusaha melindungi dirinya.
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang!!?”
Gadis berambut kuning itu panik
sambil melindungi diri dengan kedua tangan di depan tubuhnya seperti membentuk
sebuah pelindung.
“Aaaakh!! Ini semua gara-gara
dia!!!”
Sambil menghentakkan kaki kesal,
gadis berambut coklat itu berjalan ke arah Mihashi.
“Turun! Turun!!!! Cepat turun
dari atas panggung!!!!”
Dengan kasar, ia menarik
lengannya dan menyuruhnya berdiri.
“Ah, sakit! Lepaskan aku!”
“Ini semua gara-gara kau dasar
gadis aneh!!!! Gara-gara kau, pertunjukkan kita jadi hancur seperti ini!!”
Ia berteriak dengan tatapan
seperti hendak akan menelan Mihashi bulat-bulat.
“Aku tidak peduli!! Aku hanya
ingin papaku ada di sini!!! Dia sudah berjanji akan melihat pertunjukkan
pertamaku!!”
Mihashi berusaha melawan dan
melepaskan cengkeraman gadis itu dari lengannya.
Tapi, gadis berambut coklat itu
jutsru mencengkeramnya lebih erat lagi.
“ ‘Papa’ apanya!!? Dia tidak ada
di sini tahu! Bukannya, AYAHMU SENDIRI YANG SUDAH MEMBUANGMU,
YA!!?”
BRAAAAKH!!!
“Kyaaah!!”
Terdengar suara teriakan yang
cukup keras ketika Mihashi mendorong jatuh gadis tersebut.
“Mihashi!!!” Teriak Chiharu
ketika melihat kejadian itu.
“Ukh!”
“Ringo! Ringo! Kau baik-baik
saja!?”
Beberapa temannya langsung
berjalan ke arah gadis itu dan membantunya berdiri.
“Kau tidak bisa mengatakan hal
seperti itu!! Papaku--PAPAKU TIDAK MUNGKIN MEMBUANGKU!!!!”
“ANAK SEPERTIMU SUDAH
SEPANTASNYA DI BUANG!!!!!”
“A--“
Mihashi tersentak.
Gadis berambut hitam itu
berteriak dengan suara keras, membuat tubuh Mihashi sedikit mundur ke belakang
dengan bola mata terbelalak.
Ia berusaha membalas, berusaha
mengatakan sesuatu seperti ‘Itu tidak benar’, namun, kata-kata itu seperti
tersangkut di tenggorokannya.
“Kau itu tidak sadar!!? Kau sudah
membuat semuanya kerepotan!!! Kau sadar tidak!!?” Gadis berambut kuning itu
menambahkan.
“A--Aku--“
Tubuh Mihashi semakin mundur ke
belakang.
Para murid di atas panggung mulai
saling melihat satu sama lain.
“Iya, apa yang dia bilang benar.”
“Semua ini gara-gara Mihashi!”
“Sejak awal seharusnya tidak kita
biarkan dia ikut.”
“Dia hanya bisa merusak.”
“Tidak aneh kalau ayahnya
membuangnya seperti sampah yang tidak ada gunanya!!”
“.....................................”
Gadis berambut coklat itu
mendekati Mihashi lagi sambil meletakkan tangannya di pinggang.
“Hah! Ternyata kau memang tidak
berguna!! Kalau aku jadi, ayahmu--Tanpa harus berpikir untuk yang kedua
kalinya, aku akan membuangmu!!! Dan seandainya aku diberi kesempatan kedua
untuk memperbaiki semuanya, Maka aku--Tanpa ragu--PASTI AKAN MEMBUANGMU
LAGI!!!”
“...........................”
“!!!!!!!!!!!”
Chiharu dan Mihashi sama-sama
sangat terkejut ketika kata-kata itu akhirnya keluar dari mulut gadis itu.
Kata-kata yang terakhir itu--
Membuat Mihashi tidak mengatakan
apa-apa lagi selain memandang mereka dengan tatapan yang berkata seolah tidak
percaya dengan apa yang mereka ucapkan.
Namun, yang lebih tidak ia
percayai lagi adalah, bahwa mereka sungguh-sungguh ketika mengatakan semua itu
pada dirinya.
“...............Tidak--Tidak...Papa
tidak mungkin membuangku--Tidak...”
“Mihashi!! Mihashi!!!” Chiharu
melambai-lambaikan tangannya, berusaha menarik perhatian Mihashi.
“[Sudah cukup! Aku harus membawa anak itu turun!]. Mihashi! Cepat
turun dari sana!!!”
Aragaki-sensei yang melihat situasinya
semakin bertambah buruk, langsung memberi isyarat pada murid-murid untuk turun
dari panggung.
“Semuanya! Ayo, cepat turun!!”
Semua murid langsug bergegas
turun dari panggung.
Mereka berlarian tidak karuan
seperti sedang dikejar seekor anjing yang
terkena rabies.
“Ayo, turun!”
“Ayo, cepat semuany--!!!”
Aragaki-sensei yang sedang
menyuruh semuanya untuk turun, tiba-tiba tertegun ketika melihat Mihashi jatuh
terduduk di atas panggung.
Merasa bahwa Mihashi tidak bisa
menghadapi semua ini sendiri, Aragaki-sensei datang untuk menjemputnya.
“Mihashi-chan! Mihashi-chan! Ayo,
kita turun.”
Kata Aragaki-sensei sambil
menyodorkan tangannya ke arah Mihashi.
Tapi Mihashi terus menangis
sambil berteriak’
“Aku tidak mau! Papa akan datang
dan menonton pertunjukkanku!!”
“Mihashi-chan! Sekarang bukan
waktunya untuk itu!”
Aragaki-sensei berteriak sambil
memegang tangan Mihashi.
Mihashi terus meronta supaya
dilepaskan.
“Aku tidak akan turun dari
panggung ini!! Bagaimana nanti kalau papa tiba-tiba datang!!?”
“Mihashi! Ayo, turun!!”
“Aku tidak mau sensei! Bagaimana nanti kalau mama datang dan tidak
melihatku di atas panggung!?”
Mendengar itu, Aragaki-sensei
terdiam.
Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Ia paham bagaimana perasaan
Mihashi.
Karena ia juga tahu semua tentang
anak itu.
Dan kalau sudah seperti ini,
tidak ada cara lain selain mempertemukannya dengan ayahnya.
Tapi--
Aragaki-sensei berlutut, kemudian
memegang pundak Mihashi dan berkata dengan pelan,
“Ayahmu--Ayahmu sekarang tidak
ada di sini...”
Aragaki-sensei berkata dengan
lembut, seolah berusaha memberi pengertian pada Mihashi.
“...................................”
Mihashi menatapnya dengan tatapan
kosong, kemudian,
“Tidak!! Tidak!! Sensei bohong!
Mana mungkin papa tidak datang untuk melihatku tampil!!? Papa pasti datang!
Papa pasti datang! Papa--Papa tidak mungkin membuangku’kan!?”
Ia berteriak dengan keras,
wajahnya menunjukkan rasa putus asa yang sangat besar.
Perlahan, air mata ikut mengalir
dari mata Aragaki-sensei.
“............Ayahmu tidak
membuangmu...Ayahmu sayang padamu...Tapi, sekarang dia tidak ada di
sini...Kumohon, mengertilah, Mihashi-chan...Kumohon, ayo kita turun dari
sini...Aku tidak tahan melihatmu di hina seperti ini lagi...“
Tangisnya.
“Turun!!!”
“Huuuu!!!”
“Pertunjukan apa ini!!?”
“..........Aragaki-sensei...”
Chiharu berkata pelan.
Ia bisa merasakan rasa simpati
yang sangat besar dari guru SD itu.
“Tidak!! Aku tidak mau turun!!!!
Aku ingin papa ada di sini!!! Papa pasti datang dan menonton pertunjukkanku!!”
Namun apapun yang terjadi, Mihashi
tetap menolak.
Ia bersikeras ingin terus berada
di panggung itu, menunggu ayahnya datang.
Dan kerumunan itu semakin
menjadi-jadi.
“Kalian ingin mempermainkan
kami!?”
“Cepat turun dari panggung!!”
“Berikan kami pertunjukkan!!”
“Huuuu!!!”
“Ah, Mihashi!! Mihashi!!!”
Teriak Chiharu yang semakin
terhimpit oleh kerumunan yang marah.
“Miha--Ah!!”
Chiharu berteriak ketika ia tidak
sengaja terdorong oleh orang di belakangnya, menabrak orang di depannya, dan
tanpa sengaja membuat kamera di tangannya terjatuh.
“Kameranya!”
Chiharu berusaha menggapai
kameranya yang jatuh ke tanah, namun tubuhnya tidak bisa bergerak dengan bebas
akibat terjebak di tengah kerumunan yang ramai itu.
“Minggir!!!”
BRAAAAAAAK
“!!!”
Matanya terbelalak kaget, begitu
melihat kamera tersebut telah hancur ketika tak sengaja terinjak oleh orang di
depannya, kemudian oleh orang-orang lain di sekitarnya.
“H--Hentikan!!”
Teriaknya sambil berusaha
melepaskan diri dari kerumunan orang itu.
Beberapa saat kemudian, ia
berhasil meloloskan diri, kemudian berlutut mengambil kamera rusak yang kini
tergeletak di atas tanah.
Perlahan, ia memandangi kamera
yang telah hancur berantakan itu.
“...............................”
“Ah, tapi papa pasti sedang sibuk...Makanya aku ingin datang bersama
bibi...Bisa’kan...? Aku ingin kau merekamku! Kemudian menunjukkannya pada
papa!”
Tangannya menggenggam kamera itu
dengan erat, kemudian ia melihat ke atas panggung.
Terlihat Aragaki-sensei yang
terus berusaha membujuk Mihashi untuk turun dari atas panggung dan Mihashi yang
terus berteriak memanggil ayahnya dengan wajah berlinangan air mata.
Ia lalu bangkit berdiri.
Tanpa mengatakan apapun, ia
berjalan dengan pelan mendekati panggung, melewati kerumunan orang yang tidak
berhentinya berteriak dan melempar sesuatu ke atas panggung.
“..........................”
“Mihashi-chan!! Ayo, kita turun!”
“Tidak!! Aku ingin di sini
menunggu papa!! Papa!!!”
“Aku ingin di sini menunggu mama!!!”
“Papa--Papa!--PAPA!!!”
“MIHASHI!!!!”
“MIHASHI!!!”
“!!!!”
Mihashi tertegun.
Ia terdiam seolah kehabisan
kata-kata, kemudian ia berkata dengan suara pelan--
“...............Mama...”
“Mihashi!!”
“Mihashi!!!”
Pandangan Mihashi tertuju ke arah
Chiharu yang sekarang berada tepat di dekat panggung.
“.................”
“Meskipun ayahmu tidak ada, tapi AKU ADA DI SINI!!!”
“...........................”
“Mama ada di sini!!!”
“!!”
“Meskipun ayahmu tidak melihat
pertunjukkanmu, tapi AKU MELIHATMU!!”
“Mama melihatmu!”
“.............Mama--“
“Tidak apa! Aku akan berteriak
untukmu! Memanggil namamu dan bertepuk tangan untukmu!!”
“Mama akan berteriak untukmu! Memanggil namamu dan bertepuk tangan
untukmu!!”
“..........................”
“.............Mama--“
“Karena itu--“
“Karena itu--“
“AYO, LOMPAT!!”
“LOMPAT!”
“..................”
Saat itu, Mihashi tidak tahu apa
yang terjadi.
Kata-kata itu seolah menggerakkan
tubuhnya yang sebelumnya terasa lemah.
Dengan cepat, ia bangkit berdiri,
berlari menuju tepi depan panggung dan--
TAP
Melompat turun dari atas
panggung.
Di sana, Chiharu sudah mengangkat
kedua tangannya, bersiap untuk menangkap Mihashi.
“............................”
“Kemarilah!”
“Kemarilah...”
Samar-samar, Mihashi melihat
bayangan seorang wanita berambut panjang.
Ia mengangkat kedua tangannya,
seolah ingin menangkap Mihashi jatuh ke pelukannya.
Wanita itu kelihatan sangat
cantik.
Anehnya, ia memiliki sepasang
sayap berwarna putih seperti seorang malaikat yang turun dari surga.
Ia tersenyum.
Dan Mihashi bisa merasakan
kehangatan dari senyuman wanita itu.
Ia tidak bisa lagi menahan air matanya.
“........................”
“.............M--“
“.................Ma--“
............................
........................................................
................................................................................
“MAMA!!!!”
Dan ia jatuh ke pelukan wanita
itu, kemudian wanita itu memeluknya dengan sangat erat, seolah tidak ingin
melepaskannya...
“Putriku tersayang, Mihashi...”
***-***
A/N : Hai, minna XDD
Masih berusaha belajar masukin feel ke dalam cerita...Tapi ga tau kenapa, mesti gagal...
Oh ya, bikin cerita itu ternyata susah, ya?
Apalagi mau bikin yang anti mainstream...
Baru aja aku nonton salah salah satu anime, aku langsung 'Wah, idenya keren banget!!'.
Meski aku belum nonton sampai tamat, cuma udah ga sabar buat download lagi lanjutannya :333
Tapi dari situ, aku langsung mikir...Kalau dibandingkan sama cerita-cerita punya aku, bedanya jauh banget ya?
Jadi ga pede sama cerita sendiri...
Aku jadi rada minder buat masukin cerita ke penerbit...Ga tau kenapa akhir-akhir ini aku selalu ngerasa kalau ceritaku itu ga layak buat jadi buku...
Mungkin tujuanku sekarang bukan buat bikin novel lagi, tapi cuma berusaha mewujudkan ide yang tertimbun di dalam kepala aja.
Oke, malah jadi curhat//plaak.
Sankyuu buat yang udah mampir XDDD
Next Chapter : Aku Ingin Semuanya Berakhir Bahagia
Sankyuu!!!
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar