Read : Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Epilogue
* Read Another Stories :
MIHASHI
- Chapter 4 -
Aku...Tidak Boleh Memberikan ‘Cintaku’ Lagi
Untuk Mihashi
“.............Ah,
hai.”
“...............................................”
Sesosok
laki-laki melambaikan tangan ke arah Chiharu yang berjalan ke arahnya.
Chiharu hanya
menatapnya dengan tatapan dingin tak membalas sapaan pemuda itu.
Ia kemudian
meletakkan payungnya di dekat kursi lalu berdiri di samping pemuda itu.
Berdua, mereka
berdiri di salah satu halte yang terletak agak sedikit jauh dari rumah Chiharu
tapi dekat dari sekolah Mihashi.
Sehingga dia
bisa langsung menjemput gadis itu ketika sekolah telah berakhir.
Mereka berdua
berdiri terdiam selama beberapa saat.
“Jadi...”
Yang pertama
kali bicara adalah Chiaki.
“Apa yang ingin
kau bicarakan?”
“Hmph! Kupikir
aku sudah memberitahumu tadi di telepon. Atau jangan-jangan otakmu sudah kering
akibat terus bekerja?”
“Ha ha ha, tidak
juga. Atau mungkin memang seperti itu, ya? Ah, tapi, setidaknya tolong biarkan
aku menyelesaikan kalimatku saat di telepon ta--“
“Aku tidak punya
waktu untuk mendengar omong kosongmu itu. Yang ingin kudengar hanya jawaban
‘ya’ dari mulutmu.”
Chiharu adalah
orang yang sangat pemaksa.
“Begitu? Jadi
apapun yang terjadi, meskipun aku menolaknya, kau akan terus memaksaku untuk
menuruti perkataanmu...?”
Chiaki bertanya
dengan sedikit senyuman di wajahnya.
“Tentu saja.”
Chiaru menjawab
singkat.
Chiaki sedikit
tertawa kemudian berkata ‘Chiharu memang seperti itu. Sudah kuduga’, kemudian
berhenti.
Ekspresinya
berubah terlihat agak serius.
Namun ada
setitik perasaan sedih di dalamnya.
Chiharu hanya
menatapnya sambil terus berpikiran ‘Ada apa dengannya’.
Akhirnya, Chiaki
kembali bicara.
“Jadi...Kau
sudah menyadari?”
“Menyadari apa?”
“Keanehan pada
diri Mihashi?”
“Mhm...”
Jawab Chiharu
singkat.
Chiaki tersenyum
kecil kemudian menatap ke bawa sambil memainkan jarinya.
“Sebelumnya,
biarkan aku menceritakan sesuatu kepadamu. Tidak masalah’kan?”
“Silahkan saja.”
“Terima kasih.”
“Tidak usah
berterima kasih. Cepat katakan yang ingin kau katakan padaku.” Bentak Chiharu
yang hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Chiaki.
Sejak dulu, Chiharu
tidak pernah tahu apa yang dipikirkan oleh kakaknya itu.
Ia terlihat
bahagia.
Dan juga tidak
pernah peduli dengan urusan hidup Chiharu.
Apakah memang
benar begitu?
Atau mungkin
justru sebaliknya?
Apa dia yang
sebenarnya tidak pernah peduli dengan urusan hidup Chiaki sehingga seolah
terlihat Chiaki yang mendiamkan dirinya?
Dia terlihat
baik dan juga lembut sangat menghadapi sikap kasar Chiharu.
Sekarang...Sepertinya
bukan waktu yang tepat untuk berpikiran seperti itu...
Chiaki duduk
perlahan di bangku panjang yang disediakan di sana, diikuti oleh Chiharu.
Chiaki terdiam
selama beberapa saat, kemudian berkata pelan ‘Sebaiknya aku mulai dari mana,
ya?’, dan Chiaru menunggu dengan tidak sabaran.
Ia ingin tahu.
Apa yang
sebenarnya terjadi pada anak yang dititipkan kepadanya itu?
Apa alasan
sebenarnya kenapa Chiaki membuang Mihashi seperti itu?
Apa karena ia
sibuk?
Atau...
Memang benar ada
alasan lain di balik semua perbuatan Chiaki...?
Akhirnya setelah
beberapa menit berlalu dengan kesunyian, Chiaki menghela nafas kemudian sedikit
tersenyum.
“Jadi, aku
pernah punya seorang istri.”
Cerita Chiaki
tanpa menatap ke arah Chiharu.
“ ‘Pernah’?”
“Iya, istriku
sudah meninggal.”
Mendengar ucapan
Chiaki yang terdengar sedih, Chiharu terkejut.
Ia tidak pernah
datang ke pesta pernikahan adiknya itu.
Ia tidak begitu
mengenal siapa istri Chiaki san wanita seperti apa dia
Itu karena ia
juga sangat jarang berkunjung ke rumah kakaknya itu.
Sejak
bertahun-tahun Chiharu pergi meninggalkan rumah mereka saat berusia 18 tahun
[Chiharu sekarang berumur 27 tahun dan Chiaki berumur sekitar 29 tahun],
Chiharu dan Chiaki tidak pernah bertemu lagi.
Sampai beberapa
waktu yang lalu.
Saat tiba-tiba
Chiaki datang dan menitipkan putrinya, Mihashi, kepadanya di hari hujan.
Chiharu menatap
ke atas.
Perlahan,
titik-titik hujan mulai turun.
Ia jadi
teringat.
Hari itu juga
hujan’kan?
Ia menatap ke
arah Chiaki.
Chiharu selalu
berpikir kalau Chiaki selalu hidup bahagia dengan keluarganya.
Karena itu ia
tidak peduli.
Karena
ketidakpeduliannya itulah, ia tidak tahu kalau Chiaki memiliki seorang putri
dan kenyataan bahwa istrinya telah meninggal.
Sambil
berpikiran seperti itu, Chiaki melanjutkan ceritanya.
“Aku menikah
pada saat berumur 21 tahun. Saat itu, aku merasa sangat bahagia karena bisa
mendapatkan istri yang sangat baik seperti dia. Dia perhatian padaku dan aku
sangat menyanyanginya. 1 tahun kemudian, dia melahirkan Mihashi. Kebahagiaan
kami pun langsung bertambah berkali-kali lipat. Kami menganggap bahwa Mihashi
adalah berkah terbesar dalam hidup kami.”
Chiaki
menghentikan ceritanya.
Setelah beberapa
saat, ia kembali bercerita, kali ini, entah kenapa nada bicaranya terdengar
lebih hangat.
“Ia adalah harta
yang tak mungkin tergantikan oleh apapun. Kami sangat sayang padanya. Kami
membesarkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Mihashi akhirnya tumbuh
menjadi anak yang penuh cinta. Ia pengertian, dan selalu berusaha membuat aku
dan istriku merasa senang. Ia juga mandiri dan sebagai imbalannya, ia suka
sekali ketika dipuji. Ia sering menghiburku ketika aku sedang lelah sehabis
pulang kerja. Ia mandiri dan juga tidak suka merepotkan orang lain. Kami
mencintainya. Tapi, Mihashi jauh lebih mencintai kami lebih dari apapun.”
“Kami mencintainya.”
Chiaki
menyayangi Mihashi.
Ia adalah putri
satu-satunya.
Tidak ada alasan
bagi Chiaki untuk meninggalkan putri sebaik Mihashi.
Apa yang dia
pikirkan sebenarnya...?
‘Dia ayah yang
baik’, pikir Chiharu.
Namun, ada satu
masalah yang ia belum tahu jawabannnya.
“Kau...Sangat
sayang padanya ‘kan?”
Tanya Chiharu
pada akhirnya.
Chiaki hanya
mengangguk pelan.
Kalau begitu...
“Kenapa kau
menitipkannya kepadaku? Kenapa tidak kau rawat sendiri saja dia!?”
“............Itu
dia...Masalahnya...”
“...............’Masalah’.......?”
Apa yang ingin
dikatakan oleh Chiaki?
“Ketika Mihashi
berumur 4 tahun...Istriku meninggal.”
Setelah
mengatakan itu, Chiaki kembali terdiam.
Mungkin saja
kenangan tentang istri yang sangat dicintainya itu kembali.
Chiharu
memutuskan untuk bertanya kembali.
“Lalu apa yang
terjadi...?”
“.........Masalah
sebenarnya dalam diri Mihashi, tumbuh setelah itu.”
“?”
Chiaki yang dari
tadi terus melihat ke bawah, akhirnya menatap Chiharu.
Ia sedikit
tersenyum.
Namun sepertinya
ia memaksakan senyuman itu.
“Bagaimana
dengan keadaan Mihashi?”
“Hah? Kenapa kau
malah bertanya tentang hal itu? Lanjutkan dulu ceritamu!”
Teriaknya kasar.
Tapi Chiaki
hanya tertawa kecil kemudian melanjutkan,
“Apa dia terus
berteriak-teriak memanggil aku? Atau dia mengatakan ingin pulang kepadaku?”
“Eh...?”
Chiharu
tertegun.
“Apa dia terus beranggapan
bahwa aku akan datang dan tinggal bersamanya? Apa ketika kau mengatakan bahwa
aku tidak akan kembali lagi, Mihashi justru membentakmu, berteriak ke arahmu,
menyebutmu ‘penjahat’ yang berusaha memisahkan dia dari ku?”
“......................”
Chiharu tidak
mengatakan apapun.
Itu adalah hal
yang jelas-jelas dialaminya selama tinggal beberapa hari dengan Mihashi.
Berteriak.
Marah.
Menangis.
Histeris.
Kemudian kembali
‘normal’ seolah tidak ada yang terjadi.
Dan kembali
histeris lagi.
“Lalu dia akan mengurung
diri, memanggil-manggil aku, berkata ingin bertemu denganku, dan hal-hal aneh
lainnya. Tapi beberapa saat kemudian, ia akan bersikap normal dan seolah tidak
ada apapun yang terjadi. Ia akan bersikap biasa, sampai pada akhirnya, ia
kembali ingat padaku. Begitu’kan?”
“.......Y--Ya...Aku
sampai merasa kerepotan dengan kejadian itu. Apa yang sebenarnya terjadi
denga--“
“Akupun juga
mengalami hal yang sama...”
“Maksudmu?”
Chiharu bertanya
penuh kebingungan.
“Mihashi...Ia
jauh lebih mencintai ibunya dibanding dengan aku. Yah, itu wajar saja mengingat
aku yang jarang ada di rumah untuk bekerja meskipun pada saat-saat khusus aku
selalu menemaninya. Tapi--“
3 tahun yang
lalu, Upacara pemakaman Matsuyuki Satone, istri Chiaki...
“Satone adalah
wanita yang baik.”
“Aku turut
berduka cita.”
“Dia sangat
cantik.”
“Aku kasihan
melihat suaminya.”
“Kalau tidak
salah mereka memiliki seorang putri’kan?”
“Namanya
Mihashi. Dia putri satu-satunya.”
“Iya, aku kasihan melihat Chiaki-san harus
membesarkan putri yang masih sangat kecil tanpa didampingi Satone-san.”
“Pasti akan
sulit sekali untuknya. Apalagi karirnya sedang ada di puncak.”
“................................”
Chiaki hanya
terdiam sambil duduk di depan foto istrinya.
Wajah istrinya
yang sedang tersenyum kembali terbayang di pikirannya.
Semua perkataan
dan omongan dari orang-orang yang datang, tidak ia dengarkan.
Rasanya ucapan
mereka itu seperti angin.
Sangat lemah dan
juga samar-samar.
“...................”
Chiaki menoleh
ke sampingnya.
Di sana, duduk
seorang gadis berambut coklat pendek yang dikuncir twintail.
Gadis kecil itu
menatap ke arah foto ibunya dengan tatapan kosong.
Sepertinya ia
sangat terpukul dengan kepergian ibunya yang tiba-tiba.
Perlahan, Chiaki
membelai kepala gadis itu dengan lembut.
“Mihashi...”
“.........................”
Mihashi hanya
terdiam tanpa mengatakan apapun.
Ekspresi Chiaki
terlihat semakin sedih.
Ibu yang sangat
disayanginya telah meninggalkannya dan tidak akan pernah kembali lagi.
Tentu saja ia
sangat sedih.
Chiaki menghela
nafas singkat kemudian menarik tangannya dari kepala Mihashi.
“Papa...”
“?”
Saat itulah,
Mihashi untuk pertama kalinya bicara dan mengatakan,
“Apa mama ada di
surga sekarang?”
Ia bertanya
tanpa menoleh ke arah Chiaki sedikitpun.
Chiaki
mengangguk.
“Ya. Mama sekarang
ada di surga. Ia memperhatikan Mihashi dari atas, diantara ribuan bintang.
Mihashi jangan khawatir, karena meskipun Mihashi tidak bisa melihat mama, tapi
mama akan selalu melihat dan menjaga Mihashi.”
Untuk beberapa
saat, gadis itu terdiam, kemudian,
“.............Begitu...Baiklah...”
Ia hanya
menjawab singkat.
Dalam perjalanan
pulang ke rumah, ia tidak mengatakan sepatah kata apapun.
Ia hanya menatap
ke bawah sambil menggandeng erat tangan Chiaki.
Sejak tadi, tak
terlihat setetes air mata yang turun mengalir dari matanya.
Chiaki tahu.
Pasti berat bagi
Mihashi untuk menjalani semua ini.
Tapi tidak ada
yang bisa mereka lakukan.
Menangis dan
meratapi semuanya tidak akan mengubah apapun.
Yang bisa mereka
berdua lakukan hanyalah melihat ke depan dan melihat langit di hari esok.
Masa depan yang
indah tergambar dengan luas di sana.
Mereka harus
bisa menerima, kemudian melangkah maju dan terus menjalani hidup ini.
Itulah...
“Yang kau
ingin’kan? Iya’kan...Satone...”
Chiaki berkata
pelan sambil menatap ke langit malam.
Bintang-bintang
menerangi perjalanan mereka.
Dan di saat
itulah, Chiaki melihat sebuah bintang bersinar dengan sangat terang, melebihi
cahaya bintang lainnya.
Ia tersenyum.
Ia tahu, Satone
pasti sedang memperhatikannya dari sana.
Jauh di antara lautan
penuh bintang.
Chiaki bisa
merasakan pancaran kehangatannya dari sini.
Perlahan, ia
berkata,
“Tolong jaga aku
dan Mihashi dari sana...”
“PAPA!!!! PAPAAAAA!!!!!!!!!”
“!!!!”
Chiaki yang
sedang tertidur, tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan Mihashi di sampingnya.
Ia terlihat
ketakutan.
Apa yang
terjadi?
“Mihashi? Ada apa? Apa kau mimpi buruk?”
“Papa...”
Perlahan, Mihashi menoleh ke arah
Chiaki.
“Papa...”
“Ada apa, Mihashi?”
“.............Kenapa mama tidak
ada di sini...?”
...................
..............................................
.....................................................................
“..........Eh........?”
Tubuh Chiaki membeku.
Apa yang Mihashi katakan seolah
terdengar kabur di telinganya.
Butuh waktu cukup lama untuk bisa
mencerna kata itu baik-baik.
“.............Kenapa mama tidak ada di sini...?”
Satone sudah meninggal.
Bukannya mereka baru saja datang
ke upacara pemakamannya?
Lalu...
Kenapa Mihashi...?
“Mi--Mihashi...Apa yang Mihashi
katakan?”
“Tadi aku terbangun. Kemudian aku
melihat ke sampingku tapi mama tidak ada di sana. Apa yang terjadi? Apa mama
sedang ke kamar mandi...?”
“......................”
Chiaki hanya bisa terdiam.
Ia tidak bisa menjawab pertanyaan
putrinya itu.
Apa yang harus ia katakan pada
Mihashi...?
“M--Mihashi...”
Pemuda itu akhirnya memegang
pundak Mihashi.
“Papa?”
“Dengar’kan papa, ya...Mama
sudah...”
“Mama kenapa?”
Tanyanya tidak mengerti.
Chiaki membuka mulutnya, berusaha
mengatakan sesuatu, tapi kemudian kembali menutup mulutnya.
Perlahan, setetes air mata turun
membasahi pipinya.
Mihashi yang melihat itu segera
mengusap air mata ayahnya.
“Papa kenapa? Kenapa
menangis...?”
“Mihashi...Dengar...”
“...................”
“Mama sudah meninggal...”
DEG!!!
“A--A--“
Tubuh Mihashi terlihat bergetar.
Di wajahnya sekarang, tergambar
rasa tidak percaya yang sangat besar.
Chiaki memeluk tubuh putrinya itu
dengan erat, berusaha menenangkannya.
“Mihashi, mama sudah tidak ada di
sini lagi bersama kita.”
“.............................”
“Mama sudah pergi...Mama suda--“
“BOHONG!!!!”
“!!!!”
Tiba-tiba saja Mihashi langsung
mendorong ayahnya dengan keras!
“Ah! Mihashi!! Apa yang--“
“KAU BOHONG!!!!”
“............A--Apa...Aku tidak
bohong!! Ini juga sangat berat untuk pa--“
“Diam, diam, DIAAAAAAAM!!!!!!!!!!”
“.............................”
“Tidak mungkin!! Mama tidak
mungkin meninggal!!! Mama masih hidup!! Dia ada di sini! Dia ada di sini!!!”
Gadis itu berteriak dan mulai
menangis.
Chiaki sama sekali tidak paham
apa yang sedang terjadi pada putrinya itu.
Ia berteriak, berteriak dan tidak
berhenti berteriak, memanggil-manggil ibunya yang sudah meninggal.
“Mama!!! MAMA!!!!!!”
“Mihashi! Mihashi!! Tenanglah!!!”
Chiaki berteriak sambil memegang kedua tangan
Mihashi.
Mata mereka saling bertatapan.
Mihashi memperhatikan wajah
ayahnya yang terlihat serius, tapi juga menyiratkan kesedihan dan perasaan
tersiksa.
“Mihashi, dengar’kan aku! Aku
tahu kalau ini juga sangat berat untukmu! Tapi berhentilah bersikap begini dan TERIMA KENYATAANNYA!!!!”
“TIDAK!!!”
“..............................”
Chiaki terdiam di tempatnya.
“Mihashi...”
Ia berkata dengan suara pelan.
“Kau ingat yang terjadi hari
ini...?”
Suasana pemakaman istrinya
kembali terbayang di pikiran Chiaki.
“................Aku ingat.”
Jawab Mihashi singkat.
“Kalau begitu kenapa--“
“Aku ingat. Mama memang pergi. Ia
pergi meninggalkan kita...Tapi...”
“.............?”
Mihashi menundukkan kepalanya.
Tangannya menggenggam selimut
dengan erat.
Beberapa saat kemudian, ia
kembali mengangkat wajahnya dan--
“Mama akan kembali lagi’kan...?”
................
..............................
............................................................
Suasana hening.
Perlahan, Chiaki meletakkan
tangannya di pundak putrinya.
“Mihashi...Mama tidak akan
kembali lagi...”
Ekspresi Mihashi berubah semakin
terkejut.
Ia mengambil bantal yang berada
di dekatnya lalu melemparnya ke arah Chiaki!
“Kau bohong padaku!! Kau
bohong!!!! Mama!!! Mama!! Aku ingin bertemu!!”
“Diam!! Hentikan, Mihashi!!”
“Mama!!! Mama! Tolong aku!!! MAMA!!!!”
“IBUMU SUDAH TIDAK ADA
DI DUNIA INI LAGI!!!!”
“KALAU BEGITU, KAU YANG
SUDAH MEMBUNUHNYA!!!”
..................
..........................................
....................................................................
“...........Apa!?”
“Kau yang sudah membunuhnya!! Kau
yang sudah membuat mama meninggal!!!!!”
“........Mihashi...? Apa yang kau
katakan...?”
“Kau yang membunuh mama-ku!!! KAU YANG MEMBUNUHNYA!!!!!”
“T--Tidak mungkin aku membunuh
istriku sendiri!!!!”
“BOHONG!!!!!
Kau pembunuh!!! Kau pembunuh!!!!!”
“.....................”
“Kau pembunuh!!! AKU BENCI PADAMU!!!!!!!!!!”
“.........................”
Itu adalah malam terberat yang
pernah di rasakan oleh Chiaki.
Bukan hanya telah kehilangan
istrinya, tapi bahkan putrinya sendiri berkata bahwa ia yang sudah membunuh
istrinya sendiri.
Malam itu...
Chiaki keluar dari kamar dan
duduk di depan pintu, membiarkan Mihashi berteriak dan menangis sepanjang malam
sampai akhirnya ia tertidur akibat kelelahan...
“......................”
Chiharu terdiam.
Ia mendengarkan cerita kakak
laki-lakinya itu dengan perasaan sedih.
Baru pertama kali ia merasakan
perasaan simpati pada kakaknya itu.
Rasa benci yang selama ini
menyelimuti hatinya...
Entah kenapa perlahan-lahan mulai
menghilang...
Chiaki pasti sangat menderita
ketika putrinya sendiri mengatakan bahwa ia sendirilah yang membunuh istri yang
sangat ia sayangi.
Mau dilihat dari sisi manapaun...
Itu semua terlalu kejam...
“Jadi...Itulah yang terjadi...”
Kata Chiaki pelan dengan kepala
tertunduk.
Ia melanjutkan,
“Setelah itu, pagi hari keesokan
harinya...Aku masuk ke dalam kamar Mihashi. Aku mendapati ia tengah tertidur
dengan nyenyaknya. Ketika ia melihatku masuk, ia membuka matanya perlahan. Saat
itu, aku ketakutan...”
Tubuh Chiaki gemetar.
“Aku takut kalau ia akan mengatakan
aku adalah orang yang sudah membunuh istriku sendiri. Aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan pada saat itu. Jadi, aku memutuskan untuk menghindarinya.
Ketika aku bermaksud untuk keluar dari kamarnya, Mihashi turun dari tempat
tidur, kemudian menggandeng tanganku. Aku terkejut. Tapi aku terlalu takut
untuk melihat atau menatap ke arahnya.”
“Lalu...?”
“Kurasa tanpa aku cerita
kelanjutannya, kau pasti sudah mengerti. Ia menggenggam tanganku dengan erat.
Aku tahu, tidak mungkin aku bisa melarikan diri dari putriku sendiri. Karena
itu aku memutuskan untuk menghadapinya. Aku tidak tahu apa yang akan ia katakan
padaku, tapi aku tetap menoleh ke arahnya. Dan--“
“Selamat pagi, Papa.”
“.......................”
“Dia berkata dengan senyuman di
wajahnya dan nada yang terdengar sangat gembira.”
“......................”
“Selamat
pagi, Bibi Chiharu.”
Itu sama persis dengan yang
dialaminya.
Chiharu sebanarnya sudah sangat
paham dengan apa ayng terjadi selanjutnya.
Tanpa Chiaki melanjutkan cerita
yang membuat hatinya sendiri ini hancurpun, Chiharu sudah paham.
Tapi ia tidak bisa berkata ‘Sudah
hentikan, aku paham bagaimana perasaanmu’ dan membiarkan Chiaki melanjutkan
ceritanya.
“Ia bersikap normal seolah
kejadian semalam itu tidak pernah terjadi. Ia tidak membenciku seperti yang aku
kira. Saat aku aku berpikir, ‘Ah, itu mungkin hal yang biasa terjadi’, apalagi
Mihashi baru saja kehilangan ibu yang sangat ia sayangi. Jadi kurasa, ia hanya
butuh waktu untuk menerimanya. waktu itu, aku cukup bahagia mengetahui Mihashi
sudah kembali seperti semula. Tapi...”
Tapi...
Rasa bahagia itu tidak akan
berlangsung lama...
“Ketika ia tidak sengaja melihat
cangkir kesayangan milik Satone yang aku letakkan di dalam kardus, Mihashi
mengatakan hal yang kembali membuatku sangat terkejut--“
“Papa, kenapa cangkir mama ada di dalam kardus.”
“Eh, itu--“
“Aku keluarkan, ya? Nanti kalau mama mau minum tapi cangkirnya tidak
ada bagaimana? Aku akan meletakkannya di rak, he he.”
“..............................”
“Bibi,
aku mau ini!”
“Ini?
Tapi bukannya kemarin malam kau sudah makan ini? Kau tidak ingin makan yang
lain?”
“Tidak.
Soalnya, papa suka makanan ini.”
“[Papa...?]........Baiklah,
aku akan membuatkannya untukmu. Kau duduk di sana dulu, ya.”
“Oke.”
Sementara
Chiharu membuatkan sarapan untuk mereka berdua, Mihashi sibuk mempersiapkan
buku-buku pelajarannya untuk sekolah nanti.
“Bibi.”
“Ya?”
“Papa
ada di mana?”
“Setelah itu, kejadian yang sama
berulang-ulang terjadi.”
“Pembohong!! Mama-ku ada di sini!!! Dia tidak meninggal!
“Kau yang sudah membunuh mamma!!! KAU PEMBUNUH!!!!”
“Saat itu--“
Chiaki berkata dengan nada sedih
kemudian meremas rambutnya yang biasanya selalu tertata rapi dengan tangannya.
“Aku tidak tahu harus bagaimana
lagi!!? Aku sama sekali tidak sanggup menghadapi anak itu lagi!! Apa itu!!? Ia
bersikap normal kemudian beberapa menit kemudian ia berteriak bahwa aku
pembunuh!! setelah itu ia kembali bersikap layaknya gadis normal!!! Apa itu!!!?
Aku sama sekali tidak paham!!!”
“...........Chiaki...”
“Aku bahkan hampir menyerah
mengurusnya dan berniat untuk menitipkannya pada orang tua kita!!”
Chiharu tertegun.
“Kau apa?!”
“AKU SUDAH TIDAK TAHAN
LAGI!!!!!!!!”
“Ah...........”
Chiharu menundukkan kepalanya.
Ia tidak pantas mengatakan bahwa
‘Chiaki bukanlah orang tua yang baik’.
Karena ia tidak paham bagaimana
rasanya mengalami hal seperti itu.
Buat dia yang sama sekali tidak
ada hubungan darah dengan Mihashi bisa melepaskannya saja dengan mudah.
Tapi, bagi Chiaki yang adalah
orang tua kandungnya sendiri...
Mendapat perlakuan seperti itu,
pasti rasanya sudah seperti ingin mati.
“Tapi...”
Chiaki kembali bicara dengan
suara pelan.
Sepertinya ia sudah lebih tenang
dan emosinya sudah sedikit reda.
“Aku mengurungkan niatku karena
aku sangat sayang pada Mihashi!! Aku bahkan mengutuk diriku berkali-kali atas
keinginanku untuk membuang Mihashi!! Aku tidak percaya kalau aku, ayahnya
sendiri akan melakukan hal kotor dan menjijikan seperti itu kepada putriku
sendiri!”
Chiharu memperhatikan Chiaki.
Ia kelihatan sangat tersiksa.
Sangat menderita.
Ke mana senyuman yang biasanya
selalu menghiasi wajahnya?
“Aku memutuskan untuk merawat dan
membesarkan Mihashi seorang diri. Aku mencurahkan segala yang aku miliki dan
memberikan semua kasih sayangku padanya. Tapi, kejadian itu tetap saja berulang!
Aku tahu, Mihashi memang sangat menyayangi Satone... Aku tahu berat bagi anak seperti
dia untuk menerima kenyataan, apalagi usianya yang masih sangat kecil!! Aku
paham semua itu! Ada saat-saat di mana aku kembali merasa stress, ingin
membuangnya, tapi rasa cintaku kepada Mihashi berhasil menguatkan hatiku untuk
terus merawatnya.”
Chiaki berhenti bercerita.
Chiharu tidak berhenti menatap ke
arahnya.
Dengan nada penuh rasa simpati,
Chiharu melontarkan pertanyaan,
“Setelah itu, apa yang terjadi
pada Mihashi...? Dia yang sekarang...Sepertinya sangat menyayangimu...”
Chiharu sedikit memperlambat
bicaranya.
“..................”
Tidak ada jawaban dari Chiaki.
Sampai ia kembali menurunkan
kedua tangannya dari kepalanya dan sedikit tersenyum kecil.
“Sudah 2 tahun...”
Ia tertegun ketika tiba-tiba
Chiaki berbicara.
“2 tahun...?”
“Iya...Kau tahu? Butuh waktu 2
tahun bagi Mihashi untuk menerima kematian ibunya dan menerima keberadaanku
lagi di sisinya...”
“Tidak mungkin...Selama itu...?”
Nada bicaranya penuh dengan rasa
tidak percaya.
2 tahun...
Perasaan Mihashi kembali stabil 2
tahun kemudian...?
Chiharu berpikir mungkin Mihashi
akan kembali normal dalam waktu 2 atau 3 hari atau mungkin seminggu kemudian.
Tapi...
2 tahun...?
Itu waktu yang sangat lama...
Dan Chiaki harus mampu bertahan
menghadapi Mihashi yang kadang bersikap normal dan kadang histeris...
Sungguh...
Chiaki adalah orang tua yang luar
biasa...
“Setelah 2 tahun, Mihashi
perlahan-lahan bisa menerima kenyataan bahwa ibunya sudah tidak ada di dunia
ini lagi dan sudah meninggal. Pelan tapi pasti, ia mulai bersikap normal ketika
berada di dekatku. Seperti Mihashi yang dulu, sebelum Satone meninggal. Aku
bahagia, karena akhirnya putriku kembali sayang padaku. Ia tidak lagi
menyebutku ‘pembunuh’ ataupun berteriak histeris, ingin ibunya kembali. Hanya
dengan melihat senyuman Mihashi tiap harinya...Rasanya perasaan pedih yang aku
alami dan terus aku tahan selama 2 tahun lamanya, akhirnya terbayarkan...”
“Tunggu...”
Tiba-tiba Chiharu berkata
singkat.
“Ya?”
Akhirnya, Chiaki yang dari tadi
terus menatap ke bawah, menoleh ke arah adik perempuan satu-satunya itu.
Mihashi sudah kembali mencintai
Chiaki.
Dan Chiaki harusnya juga hidup
bahagia bersama dengan Mihashi.
Kehidupan mereka sudah kembali
normal.
Tapi, kenapa--
“Kalau seperti itu, kenapa kau
menitipkan anak itu kepadaku!? Aku sama sekali tidak paham dengan cara
berpikirmu! Kau bilang kau sangat sayang padanya! Bukannya hubungan kalian
sudah kembali seperti semula!? Jadi, kenapa kau--“
“Aku tidak bisa.”
Chiaki menjawab, suaranya
terdengar dingin dan datar, cukup untuk membuat Chiharu yang belum
menyelesaikan ucapannya kaget.
“Kenapa tidak bisa!?”
“Aku sudah bilang’kan...’Itu’ lah
masalahnya...”
Jawab Chiaki pelan.
Chiharu bangkit berdiri.
“Aku tidak paham...Seharusnya
kalian bisa hidup dengan bahagia...Tapi, kenapa...?”
“................Aku...Tidak
boleh memberikan ‘cintaku’ lagi untuk Mihashi...”
“..................Hah...?”
***-***
Sankyuu buat yang udah mampir!!
Next Chapter :
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar