*Read :
Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Epilogue
* Read Another Stories :
MIHASHI
- Chapter 6 -
Karena Kita Adalah Keluarga Matsuyuki!
“Aku pulang...”
Chiharu membuka pintu dengan
malasnya kemudian masuk sambil melepaskan sepatunya.
Ia hanya melemparnya tanpa
menatanya dengan benar.
Benar-benar wanita yang
berantakan.
Dengan ekspresi wajah mengantuk,
ia masuk ke ruang tamu sambil membawa 2 kantong plastik di tangannya.
Tidak tahu apa isinya, tapi ada
beberapa benda yang terlihat seperti botol terlihat sedikit keluar dari kantong
plastik itu.
Sepertinya minuman keras.
Di sana, ia melihat seorang gadis
berambut coklat muda pendek dengan kuncir twintail
yang diikat dengan pita berwarna merah tua.
Ia terlihat asyik memainkan lego
yang tertumpuk di atas meja menjadi bentuk-bentuk seperti rumah atau--Yah, atau
apapun itu.
Chiharu memperhatikan gadis itu
[yang sepertinya belum menyadari keberadaannya di sini] cukup lama, sampai pada
akhirnya, gadis itu menoleh ke arahnya kemudian tertegun.
Lalu tersenyum.
“Ah, selamat datang, Bi.”
Ia anak yang baik seperti
biasanya.
“Hmm...”
Chiharu bergumam pelan sambil
duduk di atas lantai, berhadapan dengan posisi anak itu.
“Aaaa...Aku mengantuk sekali...”
Sekarang sudah hampir 3 bulan
sejak kedatangan Mihashi di rumahnya.
Dalam jangka watu tersebut,
Mihashi masih sering bersikap histeris dan memanggil-manggil ayahnya.
Chiharu melakukan berbagai macam
cara untuk membuatnya tidak mengingat Chiaki yaitu dengan menyingkirkan semua
barang yang berhubungan dengannya seperti mie atau barang-barang lainnya.
Tapi yang lebih penting adalah...
Sikap Chiharu yang telah merubah
diri Mihashi...
Jika dulu Chiharu selalu
berteriak, berkata bahwa Chiaki tidak akan kembali dan telah meninggalkannya.
Sekarang ia berkata bahwa ayahnya
tidak akan meninggalkan dia apapun yang terjadi dan akan selalu menjaganya
meskipun ia tidak bisa menyadari keberadaaanya.
‘Apapun yang terjadi, ayahmu
tidak akan pernah berhenti menyayangimu’.
Dan perlahan-lahan, Mihashi mulai
bersikap normal tiap harinya.
Ia berubah.
Jauh lebih baik tiap harinya.
Namun, kehidupan Chiharu sama
sekali tidak berubah.
Ia tetap wanita yang dulu, yang
suka menghamburkan uangnya untuk hal yang tidak perlu.
Ia juga memilih untuk tidak
bekerja.
Apalagi sekarang dia selalu
mendapat uang dari Chiaki untuk memenuhi kehidupan Mihashi [yang sering ia
gunakan untuk bersenang-senang], hal itu membuat kehidupannya semakin tidak
terarah.
Tak peduli apakah Mihashi hadir dalam
hidupnya atau tidak, Chiharu tidak akan pernah berubah.
Baik itu bagi Mihashi, maupun
demi dirinya sendiri...
Ia mungkin bisa merubah orang
lain.
Tapi ia sama sekali tidak
memiliki kekuatan untuk merubah dirinya sendiri.
Ia langsung meletakkan kepalanya
di atas meja kemudian memejamkan matanya.
Mihashi yang melihatnya hanya
tersenyum.
“Bibi tampak sangat kelelahan
sekali...”
“Berisik...Aku mau tidur...”
Jawab Chiharu kasar tapi hanya
ditanggapi dengan tawa kecil oleh Mihashi.
“Ah...”
Mihashi tertegun ketika
pandangannya tertuju ke arah kantong-kantong plastik itu.
Perlahan, ia membukanya kemudian
menemukan beberapa botol di dalamnya.
Benarkan, ternyata memang minuman
keras.
“Bibi, aku harus bilang berapa
kali jangan minum-minuman seperti ini lagi...Ini tidak baik untuk kesehatan...”
“Berisik...Aku tidak ingin
diceramahi oleh anak kecil sepertimu...Cepat letakkan saja botol-botol itu di
dalam kulkas...”
Chiharu berkata sambil
menggerak-gerakkan tangannya, menyuruh Mihashi pergi.
Menyerah dengan sikap bibinya
itu, Mihashi bangkit berdiri, kemudian membawa botol-botol minuman keras itu
dan meletakkannya di dalam kulkas.
Beberapa saat kemudian, ia
kembali dan duduk di tempatnya semula.
“Sudah kulakukan.”
“Bagus.”
“.......................”
“...................................”
“.............................”
“...?”
Entah kenapa, Chiharu bisa
merasakan tatapan seseorang yang terus menatapnya sejak tadi.
Ia membuka sebelah matanya dan
mengintip ke arah Mihashi
Benar saja.
Anak itu sedang menatap ke
arahnya dengan wajahnya yang polos.
Menyadari hal itu, Chiharu hanya
bisa menghela nafas pasrah kemudian menggaruk rambutnya.
“Baik, baik...Kau pintar,
Mihashi-chan...”
Katanya sambil mengelus kepala anak itu yang
kini tersenyum dengan bahagianya :3.
“Ehe he...Mihashi-chan memang
pintar...”
Ia juga suka sekali memuji
dirinya sendiri.
Meskipun tidak tahu apakah memasukkan
botol ke dalam kulkas bisa menjadi suatu hal yang dapat membuat seseorang
menerima pujian -_-.
“Baik, kau puas’kan? Sekarang
sudah malam. Cepat tidur. [Lagipula
kenapa kau masih bangun jam segini?].”
“Bibi melupakan sesuatu,ya...?”
Kata Mihashi tiba-tiba yang
membuat Chiharu sedikit tertegun.
“Melupakan sesuatu...? Apa...??”
Katanya tidak mengerti.
“Hmm...’hadiah’ yang biasanya...”
Mihashi berkata malu-malu dengan
wajah memerah.
Mendengar itu, Chiharu berkata
sesuatu seperti ‘Oh, itu’ kemudian merogoh tasnya.
Ia mengambil sesuatu.
Bentuknya persegi panjang dengan
bungkus berwarna merah.
Perlahan, ia menyerahkannya
kepada Mihashi.
“Ini yang kau maksud’kan?”
Melihat ‘hadiah’ yang ia maksud
ada di tangan Chiharu, Mihashi tidak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa
bahagia.
Dengan cepat, ia langsung
mengambil bungkusan itu dari tangan Chiharu dan memeluknya dengan erat.
“Terima kasih, Bi! He he he...Aku
senang bibi tidak melupakannya...”
Mihashi berkata, kemudian membuka
bungkus berwarna merah tersebut yang ternyata adalah sebuah coklat.
Itu adalah coklat dari sebuah
mesin permen di pinggir jalan.
Itu coklat yang sama yang
diberikan Chiharu pada Mihashi saat hari hujan itu.
Dan entah sejak kapan coklat itu
menjadi ‘hadiah’ yang selalu ia berikan pada Mihashi tiap harinya seperti orang
bodoh. [Bayangkan saja, hampir tiap hari ia membeli coklat di mesin permen itu,
dan orang-orang mulai memanggilnya dengan sebutan ‘Nona mesin permen’...].
Hal itu membuatnya selalu melirik
tajam ke arah orang-orang yang melihatnya ketika sedang berdiri di depan mesin
permen itu,
“Ingat, jangan lupa menggosok gigi setelah
menghabiskan coklat itu.”
“Oke.”
Melihat Mihashi sangat menikmati
coklat itu, Chiharu merasa bingung.
Coklat itu sangat murah dan
sangat biasa.
Tidak ada yang spesial di
dalamnya yang bisa membuat orang-orang tertarik.
Tapi kenapa ia sangat
menyukainya...?
Yah...Apapun alasannya juga
Chiharu tidak akan peduli.
Justru ia merasa senang karena
tidak harus membelikan hadiah-hadiah super mahal untuk Mihashi.
Lebih baik, ia simpan uang
pemberian Chiaki untuk dirinya sendiri.
Selain untuk keperluan sekolah,
tidak ada hal lain yang diperlukan oleh anak berumur 7 tahun’kan?
Selesai menggosok giginya,
Mihashi pergi tidur setelah mengucapkan selamat malam pada Chiharu.
Tepat ketika ia memastikan bahwa
Mihashi sudah tertidur, ia mengambil botol minuman kerasnya dari dalam kulkas,
kemudian mulai minum sampai akhirnya ia
tertidur.
***-***
“Bibi, Bibi! Coba lihat ini.”
Sambil berteriak dengan riangnya,
Mihashi berlari kemudian mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya.
Chiharu yang sedang bersantai
[Atau lebih tepat dibilang sedang bermalas-malasan] sambil duduk di dekat
mejapun, menoleh dengan malasnya.
“Ada apa ini...? Pulang-pulang
langsung berisik seperti ini...”
Gerutu Chiharu kesal sambil
menggaruk rambut hitamnya yang berantakan.
Hari ini, Mihashi diantar ke
sekolah dan dijemput oleh tetangga Chiharu.
Alasannya adalah kemarin ia
terlalu banyak minum sehingga ia terlalu pusing untuk mengantar Mihashi ke sekolah.
Benar-benar orang yang tidak
bertanggung jawab.
Dengan senyuman di wajahnya,
menyodorkan kertas itu kepada Chiharu yang terlihat seperti orang yang baru
saja bangun tidur.
“Ini.”
“Hm?”
Kertas itu sangat penuh dengan
warna dan sepertinya merupakan sebuah undangan.
Perlahan, Chiharu membaca judul
kertas itu..
“Undangan festival perayaan ulang
tahun sekolah yang ke- 57...?”
“Iya, iya, Bi! Sekolahku akan
mengadakan festival bulan Februari ini untuk memperingati hari ulang tahun
sekolah yang ke-57!”
Kata Mihashi girang.
Chiharu meletakkan kertas itu di
atas meja.
“Lalu...?”
Ia sama sekali tidak menunjukkan
rasa tertarik sedikitpun.
Mendengar reaksi dari Chiharu,
Mihashi terlihat agak kesal, kemudian ia mendekati Chharu dan mengambil kertas
itu.
“Baca yang ini! Ini!”
Ia berkata sambil menunjukkan
kertas itu lagi di hadapan Chiharu dan menunjuk bagian yang harus ia baca.
“Murid-murid akan melakukan
pertunjukkan untuk memeriahkan acara. Dan di harapkan para orang tua bisa hadir
dan--“
“Nah, itu!!?
“!!”
Chiharu tertegun ketika Mihashi
tiba-tiba berteriak.
Tubuhnya sedikit mundur ke
belakang.
“ ‘Nah itu’...Apa maksudmu...?”
Chiharu bertanya sambil
menyipitkan sebelah matanya.
“Uh...Bibi ini tidak peka,
ya...?”
Mihashi membuat wajah kesal dan
membuang muka sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Katakan saja apa yang kau
inginkan, dasar bocah!”
Kata Chiharu sambil mengacungkan
tinjunya ke atas.
Mihashi terdiam di tempatnya
selama beberapa saat, kemudian berbalik, menoleh ke arah Chiharu.
“Aku ingin datang denganmu.”
“................Ha?!”
“Aku ingin datang denganmu!”
Ekspresi yang tergambar di wajah
Mihashi serius dan yakin.
Chiharu yang masih tidak tahu
harus mengatakan apa, menghela nafas pendek kemudian merebut kertas itu dari
tangan Mihashi.
“Dengar, yang tertulis di sini
adalah para orang tua. Sedangkan aku bukan orang tuamu. Kenapa aku harus datang
bersamamu?”
Benar.
Ia hanyalah Bibi Chiharu.
Dan ia tidak akan pernah menjadi
orang tua bagi Mihashi sampai kapanpun.
“Eh...Tapi aku ingin datang
bersamamu...”
Mihashi berkata dengan nada
kecewa sambil menundukkan kepalanya.
“Karena itu aku bilang...Aku
bukanlah orang tuamu atau apapun itu. Lagipula, sejak awal aku tidak berminat
dengan acara seperti ini. Kau tahu’kan aku benci tempat ramai??”
Chiharu berkata sambil menopang
dagunya.
“...............Tapi aku ingin
datang bersamamu...”
“....................................”
Ia hanya terdiam memperhatikan
Mihashi yang terlihat sangat kecewa.
Perlahan, ia mengangkat
kepalanya, kemudian menoleh ke arah jendela dan memperhatikan langit yang
berwarna biru.
“Aku ingin datang bersamamu...”
Mihashi kembali berkata dengan
suara pelan.
Sepertinya, tekad Mihashi untuk
datang ke festival itu bersama Chiharu sudah bulat.
Chiharu kembali menoleh ke arah
Mihashi.
Kenapa anak itu sangat ingin
datang bersama dengannya?
Padahal, dia bukan keluarga atau
siapa-siapanya...
Ia hanya orang biasa, yang
disuruh untuk menjaga dan merawatnya.
Kenapa ia ingin datang ke acara
yang sangat penting itu dengannya?
Perlahan, ia berpikir mungkin
akan lebih baik kalau Chiaki yang pergi bersamanya.
Tapi sudah pasti Chiaki akan
menolak karena ia sudah bertekad untuk menjauhkan diri dari putrinya tersebut.
Meskipun Chiharu memberitahunya
kalau Mihashi sudah sedikit berubah dan tidak pernah bersikap aneh seperti dulu
lagi, Chiaki pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya dan tidak mungkin bisa
datang.
Ia selalu saja jadi orang yang
sangat sibuk.
Chiharu menghela nafas panjang
sambil memejamkan mata kemudian membuka matanya lagi dengan wajah sebal.
“Hah...sekarang, cepat katakan padaku, alasan
kenapa kau sangat ingin datang bersamaku?”
Dia tidak mungkin mengatakan
sesuatu seperti ‘Karena aku ingin menghabiskan waktu bersama Bibi Chiharu yang
sangat aku sayangi’kan??
Ia berpikiran seperti itu sambil
menunggu jawaban dari Mihashi.
“Eh...Soal itu aku tidak tahu...”
Jawab Mihashi ragu sambil
memainkan jarinya.
“Ah...Kalau soal itu saja kau
tidak tahu...Bagaimana aku yakin kalau aku tidak akan membuang waktuku percuma
saat datang ke acara itu?”
Chiharu yang mulai berpikir
‘Tidak apa-apa kalau hanya datang dan menemaninya’, tiba-tiba menjadi ragu
kembali karena jawaban Mihashi yang terdengar tidak jelas.
Motivasinya untuk pergi hilang
seketika seperti tertiup angin musim semi yang menggantikan musim dingin yang
akan segera berakhir.
Bulan ini adalah bulan terakhir
di musim dingin.
Gadis berambut coklat pendek itu
kembali berbicara dengan suara kecil,
“Aku juga tidak tahu...Hanya saja
aku...”
Mihashi menghentikan ucapannya.
Kemudian ia mengangkat wajahnya
dengan wajah penuh harapan.
“Hanya saja aku ingin datang
bersamamu...”
Melihat itu, Chiharu tertegun.
Mata bulat Mihashi terlihat
bersinar di matanya.
Mihasi melanjutkan perkataannya,
“Sebenarnya aku ingin datang
bersama papa...”
Mendengar itu, Chiharu tertegun.
“[‘Papa’...? Apa dia--].”
Tiap kali membicarakan Chiaki,
Mihashi pasti akan bersikap aneh seperti saat itu.
Meskipun akhir-akhir ini ia tidak
pernah berteriak histeris lagi, tiap kali kata ‘Papa’ keluar dari mulut
Mihashi, itu selalu membuat Chiharu merasa khawatir dan was-was kalau Mihashi
akan kembali bersikap seperti orang tidak waras.
Tapi sepertinya ia berpikiran
terlalu jauh.
“Ah, tapi papa pasti sedang
sibuk...Makanya aku ingin datang bersama bibi...Bisa’kan...? Aku ingin kau
merekamku! Kemudian menunjukkannya pada papa!”
Ia yang sekarang terlihat jauh
lebih bahagia.
Mendengar perkataan Mihashi,
Chiharu terdiam sesaat.
“[Jadi begitu...? Dia ingin aku datang supaya bisa memperlihatkan
pertunjukkannya pada Chiaki...?].”
“Dulu papa pernah berjanji padaku
katanya kalau ada festival sekolah dan aku akan tampil di atas panggung, dia
akan datang kemudian melihatku lalu berteriak memanggil namaku dan bertepuk
tangan untukku!! Ah, lalu--“
Perkataan Mihashi itu terdengar
kabur di telinga Chiharu.
Tak satupun kata yang ia tangkap,
tak peduli apakah ia terus memperhatikan Mihashi yang terus saja berbicara
tentang ayahnya dan festival dengan riangnya.
Ia hanya tersenyum dan sesekali
mengangguk seolah menanggapi semua cerita Mihashi.
Sejak awal ia tidak tertarik
untuk datang ke festival itu.
Tapi...
“Kata papa, ia ingin mendengar
aku bernyanyi di atas pa--“
“Baik, baik, aku paham! Yang
perlu aku lakukan hanya datang, menemanimu dan merekammu? Itu saja? Tidak
lebih??”
Sekali-kali melakukan sesuatu
demi laki-laki itu...
Sepertinya bukan hal yang buruk.
Mihashi terdiam sesaat, kemudian
tersenyum lebar.
“Iya!”
Chiharu menggaruk belakang
kepalanya dengan kasar.
“Haah...Baiklah...Kurasa kalau
hanya itu tidak masalah. Aku akan datang bersamamu ke sana. Nah, apa kau puas
sekarang?”
Jawab Chiharu menyetujui meskipun
nada bicaranya tetap terdengar tidak suka.
“Ah, benarkah!! Bibi akan datang
bersamaku!?”
Mihashi berteriak dengan nada riang
dan wajah berbunga-bunga.
“Iya, iya. Kau melakukan ini demi
ayahmu’kan? Sekali-kali tidak apalah membuat laki-laki tidak berguna itu
senang.”
Kata Chiharu tanpa melihat ke
arah Mihashi.
Tentu saja.
Apa yang akan dilakukan oleh
Mihashi, pasti semua itu demi Chiaki.
Dan Ia yakin, Chiaki juga pasti
akan senang bisa melihat pertunjukkan Mihashi meskipun hanya dari kaset
rekaman, karena sudah sangat lama ia tidak melihat putrinya tersebut.
Ini pasti akan jadi hadiah
terbaik untuk Chiaki.
“!!”
Chiharu dikejutkan oleh
pikirannya sendiri.
‘Hadiah terbaik untuk Chiaki’
Tanpa ia sadari, pikirannya
tertuju ke masa lalunya.
Dulu ia sama sekali tidak pernah
peduli pada Chiaki apalagi peduli untuk memberikan hadiah pada ulang tahunnya.
Kebalikannya, Chiaki selalu memberikan
hadiah untuk Chiharu meskipun pada akhirnya selalu tidak ia terima atau justru
dibuang olehnya.
Ia selalu berpikir bahwa Chiaki
adalah ‘orang jahat’nya.
Sekarang ia baru saja menyadari,
bahwa dialah ‘orang jahat’nya.
Chiaki selalu peduli padanya.
Tapi ia sendiri yang selalu
bersikap tidak peduli.
Karena itu perlahan-lahan Chiaki
menjauhkan diri darinya.
Dan sejak saat itu, Chiharu
selalu beranggapan bahwa Chiaki tidak mempedulikannya.
“....................[Mungkin ini adalah hadiah pertamaku untuknya...].”
“Baiklah, jadi kapan acaranya di
mulai?”
Tanya Chiharu.
“Minggu depan, jam 08.00!!”
Jawab Mihashi dengan girang.
“Baiklah, aku akan sangat
menantikan hari itu.”
Chiharu berkata sambil sedikit
tersenyum dan mengusap kepala Mihashi.
“Hm!”
Mihashi menggangguk dengan
senangnya kemudian berlari ke kamarnya sambil bersenandung.
Ia yang sekarang benar-benar
terlihat jauh lebih bahagia.
‘Karena aku ingin menghabiskan waktu bersama Bibi Chiharu yang sangat
aku sayangi’
“!!”
Ketika pikiran itu kembali
terbayang, Chiharu tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum, bahkan hampir
saja ia tertawa.
“Tentu saja. Mana mungkin ia
mengajakku karena aku atau semacamnya. Yah...Ia selalu berteriak dengan
suaranya yang berisik itu ‘Aku sayang Bibi Chiharu!’, sampai-sampai aku selalu
pusing di buatnya.”
“............................”
“Tapi...Yah...Ia melakukan semua
itu untuk Chiaki...Aku paham itu...Karena sampai kapanpun, aku adalah ‘Bibi
Chiharu ‘ untuknya.”
Chiharu berkata dengan suara
pelan kemudian menopang dagu sambil sedikit tersenyum memperhatikan arah ke
mana Mihashi pergi.
***-***
“Ah, Chiharu. Sudah lama kita
tidak bertemu sejak saat itu.”
Dengan senyuman di wajahnya,
Chiaki yang duduk di hadapan Chiharu menyapanya seperti biasa.
Kemejanya masih rapi.
Sepertinya baru saja pulang dari
kantor.
“Ya, sudah agak lama.”
Jawab Chiharu dengan suara pelan
tanpa senyuman di wajahnya, sambil mengaduk secangkir kopi di depannya.
Sebenarnya, daripada harus
bertemu di cafe seperti ini, dan minum kopi, Chiharu lebih memilih tempat di
mana ia bisa minum-minuman keras,tapi karena Chiaki bukan orang yang suka
minum-minuman yang tidak penting seperti itu, ia memberi saran ‘Ah, mau
bertemu?? Bagaimana kalau di cafe dekat sekolah Mihashi?? Nanti kau bisa
langsung menjemputnya’.
Yah, kira-kira seperti itu dan
akhirnya, di sinilah mereka sekarang.
Sebuah cafe elit yang hanya bisa
didatangi oleh orang-orang dengan kantong yang sangat tebal, bahkan mungkin
harus sangat tebal karena harga di sini memang saaaangaaaaaaat maaaaaaahaaaaal!!!!!
Dan orang seperti Chiharu sejak
awal memang tidak cocok dengan tempat semahal ini, dan akhirnya ia selalu
menjadi pusat orang perhatian orang-orang di dalamnya.
“Nah, jadi...”
Chiaki memulai pembicaraan.
“Apa yang ingin kau bicarakan?
Apa ini tentang Mihashi lagi?”
Langsung ke topik.
Chiharu mengangguk pelan.
“Hm...”
“Ada apa dengan Mihashi? Apa dia
masih terus berteriak memanggilku?”
Nada bicara Chiaki terdengar
khawatir.
Chiharu dengan cepat segera
menjelaskan,
“Bukan, bukan begitu. Kalau tentang
anak itu, jutsru kebalikannya yang terjadi.”
“Benarkah?”
“Iya, dia sudah tidak pernah
berteriak memanggil-manggilmu lagi. Ia sudah hidup dengan ‘normal’ seperti yang
kau inginkan selama ini.”
Kata Chiharu sambil tersenyum kecil.
Mendengar itu, Chiaki hanya bisa
bernafas lega.
“Begitukah...?
Syukurlah...Akhirnya Mihashi tidak membuat dirinya sendiri maupun dirimu
menderita lagi...Tapi...”
Senyuman di wajahnya tiba-tiba
menghilang berganti dengan ekspresi yang seolah menggambarkan rasa putus asa.
“.............Ketika ia berteriak
memanggil-manggil diriku, aku selalu bisa merasakan perasaan cinta dari
Mihashi. Tapi, ketika sekarang ia sudah tidak lagi ingin bertemu denganku...Apa
itu artinya ia mulai melupakanku, ya...?”
“.........................Tidak.”
“He...?”
Perkataan Chiharu yang singkat
membuat Chiaki agak terkejut.
“Ia tidak berteriak-teriak
seperti orang tidak waras lagi itu...Bukan berarti dia telah melupakanmu.
Justru sebaliknya. Kurasa, ia semakin sayang padamu.”
“Menurutmu begitu...?”
Chiharu mengangguk pelan kemudian
meminum kopinya.
“Begitu.”
Ia tidak menceritakan kejadian
saat hari hujan itu [terutama ketika ia menampar Mihashi] pada Chiaki.
Entah kenapa, tapi ia tidak ingin
menceritakannya saja dan memutuskan untuk diam.
“Anak itu, dia sudah sadar, kalau
apapun yang terjadi, kau tidak akan pernah meninggalkannya, kau tidak akan
melupakannya dan akan selalu berada di sisinya. Apapun yang terjadi, kau akan
selalu menyayanginya. Ia paham itu. Makanya, perlahan-lahan dia bisa bersikap
‘normal’ meskipun kau tidak tepat berada di sisinya.”
“.........................”
“Sewaktu Satone-san meninggal,
kau terus memberitahu Mihashi bahwa ibunya telah meninggal dan tidak akan
kembali lagi padanya. Kurasa itu hal yang salah. Sama seperti waktu aku memberitahunya
bahwa kau tidak akan kembali lagi padanya dan telah membuangmu. Itu akan
membuatnya semakin merasa ditinggalkan dan...Kurasa ia akan merasa
sendirian...”
Chiharu berkata sambil melipat
kedua tangannya.
“Jadi, maksudmu...Yang harus kita
lakukan adalah membuatnya percaya kalau apapun yang terjadi, ‘orang yang telah
meninggalkannya’ itu, akan terus ada di sisinya dan menjaganya? Ternyata
seperti itu, ya...?”
Kata Chiaki sambil sedikit tersenyum.
“Mungkin. Aku bukan orang yang
cocok untuk membicarakan masalah orangtua dan anak seperti ini. Tapi, aku yakin
kalau dia tidak melupakanmu. Hey, coba kau lihat ini.”
Sambil berkata seperti itu,
Chiharu membuka tasnya kemudian mengambil sesuatu dari dalamnya.
Chiaki sedikit mengintip.
“Apa yang kau lakukan?”
“Nah, ini dia. Coba kau lihat
ini.”
Kata Chiharu sambil menyodorkan sebuah kertas.
“Undangan festival perayaan ulang
tahun sekolah yang ke-57...?”
“Iya, itu dari sekolah anak itu.
Dan orang tua diharapkan untuk hadir.”
Cerita Chiharu meskipun
sebenarnya Chiaki bisa membacanya sendiri di kertas undangan itu.
“............Orang
tua...Maksudmu...Kau ingin aku hadir?”
Tanya Chiaki memastikan.
“Bukan hanya aku yang ingin kau
hadir. Anak itu juga sangat mengharapkan kehadiranmu. Ia sempat bercerita bla
bla bla, bahwa ia sangat ingin datang bersamamu, lalu bla bla bla, bahwa ia
ingin kau melihatnya tampil di atas panggung, bla bla bla, memakai kostum yang
imut dan manis atau apapun itulah...”
Chiharu berkata sambil menopang
dagu dan mengaduk-aduk kopinya.
“.....................”
Chiaki hanya terdiam sambil
memandangi cangkir kopi di hadapannya.
Chiharu yang menatapnya langsung
tahu dan berpikir ‘Ah, dia pasti sedang sangat sibuk’.
Karena jika hanya datang sekali
saja, Chiharu rasa itu tidak akan membuat ketergantungan Mihashi terhadap
Chiaki kembali sehingga ia kembali bersikap histeris.
Ekspresi di wajahnya itu, sudah
pasti ia tidak akan bisa datang apapun yang terjadi.
“Haaaah...”
Chiharu akhirnya menghela nafas
panjang.
“Kalau masalah kau tidak bisa datang,
tidak usah khawatir. Anak itu sudah tahu tentang kesibukanmu. Jangankan dia,
akupun juga paham tentang kesibukanmu. Dia memintaku untuk merekam dirinya, hi
hi.”
Tawa Chiharu.
“Merekam pertunjukannya?”
“Iya, supaya kau bisa
menontonnya. Benar-benar anak yang sayang pada orang tuanya.”
“Ah...Jadi begitu, ya...? Mihashi
masih ingin aku melihat pertunjukannya...Ia melakukan itu untukku?”
Chiaki bertanya, dengan senyuman
lega di wajahnya.
“Mmhm...Itu inisiatifnya sendiri.
Kau harus bangga padanya.”
Kata Chiharu sambil tersenyum ke arah kakaknya
itu.
“Tentu saja...Aku sudah tidak
sabar saat aku bisa melihat hasil rekaman itu.”
“Tunggu saja tanggal mainnya.
Akan kutunjukkan keahlianku dalam fotografi.”
Chiharu mengacungkan ibu jarinya.
“Iya.”
Chiaki membalasnya dengan sebuah
senyuman.
Merasa bahwa tugasnya sudah
selesai, Chiharu bangkit berdiri.
“Baiklah. Urusanku di sini sudah
selesai. Kalau begitu, aku duluan, Maaf sudah mengganggumu, untuk yang kedua
kalinya.”
Chiharu berkata sambil sedikit
berbisik pada bagian ‘Yang kedua kalinya’.
“Tidak masalah. Aku juga sedang
istirahat makan siang.”
Jawab Chiaki sambil menundukkan
kepalanya.
Chiharu menghela nafas pendek,
kemudian mengambil undangan itu dan memasukkannya lagi ke dalam tasnya.
“Kalau begitu sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.”
***-***
“Hmmm...Aku letakkan di mana,
ya...?”
Malamnya, Chiharu membongkar isi
lemari yang terletak di ruang tamu.
Ruangan itu terlihat seperti
tempat sampah sekarang.
Mihashi yang mendengar suara
berisik, bangkit dari tempat tidurnya.
Kemudian sambil membawa bantal
dan dengan mata setengah terbuka, ia menuju ke ruang tamu.
“Ada apa, Bi...? Kenapa berisik
seka--Aduuh!!”
Mihashi berteriak kesakitan
ketika tidak sengaja menabrak dinding.
Chiharu yang kaget karena Mihashi
tiba-tiba datang, langsung berteriak ke arahnya,
“Apa yang kau lakukan di sini!?
Aku pikir kau sudah tidur! Dan kenapa kau bisa sampai nabrak dinding!!?”
Sama sekali tidak terdengar rasa
peduli dalam nada bicaranya meskipun seorang anak kecil yang tidak berdosa baru
saja menabrak dinding dengan keras.
“Huaaaamm...Tadinya aku sudah
tidur...Tapi, aku mendengar suara berisik dari ruang tamu. Aku pikir itu
monster atau dinosaurus, makanya aku bangun untuk mengecek...”
Jawabnya sambil mengusap-usap matanya yang
masih mengantuk.
“Monster atau
dinosaurus...Ukh...Imajinasimu terlalu tinggi, bocah.”
“Iya’kan? Sejak dulu, aku memang
paling jago kalau soal imajinasi! Aku selalu membayangkan papa memakai kostum
kucing yang lucu itu...~ Hello Kitty~~”
Kata Mihashi sambil tersenyum
bahagia.
“[Aku jadi kasihan padamu, Chiaki...Putrimu sendiri yang membayangkan kau
memakai kostum kucing itu...Aku sendiri tidak bisa membayangkannya. Imajinasi
anak itu benar-benar terlalu kuat...].”
Batin Chiharu dengan ekspresi
wajah jijik.
“Ah, lalu...”
Mihashi kembali bicara.
“Aku juga selalu membayangkan
Bibi Chiharu di dalam kostum wortel itu!”
“Jangan bayangkan aku dalam
kostum seperti itu!!!!”
Bentaknya dengan suara keras.
Chiharu menghela nafasnya
kemudian melanjutkan mencari barang yang dari tadi berusaha ia temukan.
“Di mana, ya...”
Melihat Chiharu yang sibuk
sendiri, Mihashi berjalan mendekatinya.
“Apa yang sedang kau cari?”
Tanyanya.
“Kau diam saja.”
Katanya tanpa menoleh ke arah
anak itu.
“Kau orang yang tidak ramah.”
Gumam Mihashi pelan tapi Chiharu
tetap bisa mendengar suaranya.
“Aku dengar apa yang kau katakan.
Memang kau baru tahu kalau aku tidak ramah?”
“Aku tahu.”
Mihashi menjawab sambil
menundukkan kepalanya.
Kemudian, ia menoleh ke arah
Chiharu dan tersenyum.
“Tapi, meskipun begitu, aku tahu
kau orang yang baik.”
Kata-kata itu membuat Chiharu
tertegun.
Perlahan, ia menurunkan
pandangannya melihat ke arah anak itu yang sedang tersenyum bahagia.
Berapa orang yang bisa mengatakan
kalau dia adalah orang yang baik?
Tidak ada.
Jawabannya tidak ada.
Sejak dulu, dia selalu di kenal
oleh orang-orang di sekitarnya sebagai wanita yang penuh masalah.
Meskipun begitu...
Anak yang sekarang ini berada di
sampingnya...
Dengan senyuman di wajahnya,
mengatakan bahwa dia adalah orang yang baik.
Entah kenapa, itu membuat Chiharu
merasa aneh.
Jadi, ia tidak mengatakan apapun
ataupun hanya sekedar membalas senyumannya.
Ia kembali mengalahkan
pandangannya ke arah lemari itu dan kembali mengeluarkan barang-barang yang ada
di dalamnya.
Mihashi hanya memperhatikan
bibinya sambil tersenyum dan berdiri di sampingnya, melihat benda-benda apa
saja yang ada di dalam lemari itu.
Tiba-tiba--
“Ah, ketemu!”
Chiharu langsung berteriak ketika ia melihat
barang yang ia cari dari tadi berada di dalam salah satu kardus yang ia cari.
Dengan perlahan, ia mengangkat
kardus itu dan berjalan ke arah meja yang terletak di tengah ruangan, diikuti
oleh Mihashi yang masih dipenuhi dengan rasa penasaran ‘Apa yang ada di dalam
kardus itu’.
Perlahan, ia meletakkan kardus itu
di atas meja sambil tersenyum kecil.
Lalu membersihkan debu yang
menutupi kardus itu.
Debunya banyak sekali.
Sepertinya sudah sangat lama
sejak kardus itu di simpan di dalam sana.
Ketika Chiharu mengusap kardus
itu untuk menyingkirkan debunya, Mihashi yang berada di dekatnya langsung
bersin.
“Ha--Hatsyii!!”
Melihat itu, Chiharu tidak bisa
menahan dirinya untuk tidak tertawa.
“Ha ha ha, hati-hati bocah.
Sepertinya ada orang yang sedang membicarakanmu.”
“Bibi jangan bercanda.”
Kata Mihashi sambil menutup
hidungnya.
Chiharu menggeleng pelan kemudian
melepas isolasi dan membuka kardus itu.
Benda-benda yang berada di
dalamnya akhirnya terlihat.
Mihashi berjalan maju dan melihat
ke dalam kardus.
“Benda-benda apa ini...? Semuanya
berdebu...Aku tidak suka debu.”
Katanya sambil membuat wajah kesal.
“Ha! Kenapa kau tidak suka dengan
debu?”
Chiharu bertanya dengan nada
bicara sedikit merendahkan.
“Kata papa itu tidak sehat.
Lagipula, tidak ada orang yang menyukai tempat penuh debu’kan?”
Ia menoleh ke arah Chiharu dengan
tatapan yang polos.
“Yah...Ucapanmu itu ada benarnya
juga.”
Chiharu berkata sambil terlihat
berpikir.
Kemudian ia mengeluarkan
barang-barang yang selama ini tersimpan di dalam kardus itu.
Ada beberapa buku yang sepertinya
cukup tebal.
Bukan ensiklopedia atau kamus
atau mungkin buku-buku yang biasanya dibaca oleh orang-orang berkaca mata
tebal.
Di sampul bukunya yang berwarna
coklat terdapat sebuah tulisan berwarna kuning keemasan.
Ketertarikan Mihashi tertuju pada
buku tersebut.
Ia lalu mengambil buku itu dari
dalam kardus tanpa sepengetahuan Chiharu.
“Mat-Su-Yu-Ki--“
Eja Mihashi sambil membaca
perlahan tulisan yang tertera di sampul buku itu.
Bacanya adalah ‘Matsuyuki Family
Album’.
“Matsuyuki...? Bukannya itu
namaku?”
Dengan segera, ia mengambil buku
itu, kemudian duduk di lantai.
Ia meletakkan buku yang cukup
tebal itu di atas pangkuannya kemudian mulai membuka halaman pertama.
Di halaman berwarna putih itu
tertulis,
‘Semua kenangan yang ada di dalam buku ini adalah kenangan keluarga kita.
Suatu saat nanti, kalian pasti akan memilih jalan masing-masing dan harus pergi
meninggalkan rumah. Percayalah pada jalan yang kalian masing-masing ambil.
Kalian akan pergi dalam sebuah perjalanan yang sangat panjang seorang diri.
Temukan arti dari kebaikan, kesedihan yang kalian alami, cinta dan kebencinan
yang kalian rasakan, kemudian arti dari hidup kalian, arti perpisahan kita.’
‘Dalam perjalananmu itu, kau tidak akan melihat kami sepanjang waktu.
Karena itu, tiap kali kau merindukan kami di sisimu, bukalah buku ini dan
ingatlah lagi kenangan yang ada di dalamnya. Kami harap itu bisa menjadi
kekuatan baru untuk kalian.’
‘Kemudian, ketika kalian sudah menemukan arti dari perjalanan itu, isilah
buku ini dengan kenangan yang baru bersama dengan orang-orang yang kalian temui
sepanjang perjalanan, yang nantinya akan menjadi bagian dari keluarga kita.
Terakhir, kembalilah ke rumah sambil tersenyum.’
‘ Lalu, ceritakan pada kami hal-hal indah apa saja yang telah kalian lalui
bersama melalui buku ini’.
Untuk Keluarga Matsuyuki di
Masa Depan
Mata Mihashi menjadi semakin
berbinar-binar ketika membaca tulisan ‘Untuk Keluarga Matsuyuki di Masa Depan’.
Dengan jantung berdebar-debar,
dia membuka halaman selanjutnya.
Di halaman itu, terdapat beberapa
gambar yang sepertinya adalah sebuah foto.
Ada seorang pria dan wanita.
Latar belakangnya...?
Sepertinya sebuah taman kalau di
lihat di bagian belakangnya ada ayunan.
Keduanya terlihat masih muda.
Di depannya, ada seorang anak
laki-laki berambut hitam yang mengenakan kemeja warna putih sedang bermain di
kotak pasir dengan riangnya.
Sambil mengangkat sekop di
tangannya, ia seolah berteriak ‘Hore, istana pasirku sudah selesai!’.
Mihashi tidak bisa memperhatikan
memandang foto itu.
Perlahan, tangannya menyentuh
wajah anak laki-laki yang berada di foto itu.
Meskipun foto ini diambil
bertahun-tahun yang lalu, bahkan mungkin jauh sebelum ia lahir, Tapi ia jelas
tahu siapa anak laki-laki tersebut.
Dengan suara pelan, ia berkata,
“Papa...”
Sambil terus memandangi foto itu dengan
lekat.
“Papa...”
“Papa...Aku ingin bertemu...”
Hanya ada satu hal yang ada dipikiran Mihashi
saat ini.
Yaitu, entah kenapa ia sangat
ingin bertemu dengan ayahnya.
Tiap kali ia melihat foto ayahnya
di dalam album itu, keinginannya semakin meningkat dan terus meningkat.
“Papa...Papa...Aku rindu
papa...Aku ingin bertemu...”
............................
“AKU INGIN BERTEMU
DENGAN PAPA!!!!”
“!!!!!”
Chiharu yang sedang sibuk
mengeluarkan benda-benda yang terletak di dalam kardus itu, dikejutkan oleh
suara Mihashi yang tiba-tiba berteriak.
Perlahan, ia langsung mendekati
anak itu.
“Mihashi-chan?! Ada ap--“
Kata-katanya terhenti begitu ia
melihat sesuatu yang dipegang Mihashi dengan erat.
“............[Tunggu...Sepertinya aku kenal buku itu--]. Ah!! Itu’kan--“
Chiharu tertegun.
Itu adalah...
“Album keluarga kami...!”
Benda yang sangat ia benci karena
dipenuhi kenangan bersama dengan keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya.
Sambil berkata seperti itu, ia
berusaha mengambil buku itu dari tangan Mihashi.
“Lepaskan buku ini!! Lancang
sekali kau membuka barang milikku tanpa ijinku!!!”
Bentak Chiharu memerintah Mihashi
untuk melepaskan buku itu.
Tapi, Mihashi justru memegang
buku itu semakin erat.
“Tidak akan!! Aku tidak akan
melepaskan papa!!!! TIDAK!!!!”
“!!! [Dia--Mulai bertingkah aneh lagi].”
Pikir Chiharu sambil melihat ke arah Mihashi
yang terlihat marah ketika ia ingin mengambil buku itu darinya.
Perkiraannya salah.
“Mihashi-chan, kembalikan buku
ini padaku! Kau anak yang baik’kan? Jadi menurutlah padaku!!”
Chiharu berkata sambil menarik
buku itu dengan sekuat tenaga.
“Aku tidak akan menurut pada
orang yang berusaha menjauhkan aku dari papa!!!!”
Ia pikir gadis itu sudah sembuh
dari ketergantungannya terhadap Chiaki.
“Mihashi-chan!! Lepas!!”
“Tidak akan!! Aku ingin melihat
papa!!!”
Ternyata tidak.
“Ayahmu akan selalu melihatmu,
meskipun kau tidak bisa melihatnya di sini!!”
“Aku tahu itu!! Aku tahu! Tapi
aku tetap saja ingin melihat papa yang berada di hadapanku!!! Aku ingin melihat
wajahnya tersenyum ke arahku!!”
Gadis itu masih belum bisa hidup
tanpa Chiaki di sisinya.
Tapi--
“[Kenapa buku itu ada di sini!!?].”
Bukan masalah itu yang ada di
pikirannya sekarang.
“[Itu adalah album keluarga milik keluarga kami. Itu buku yang diberikan
orang tuaku masing-masing kepadaku dan Chiaki. Tapi...Ketika aku pergi dan
meninggalkan rumah, aku jelas-jelas tidak membawa buku itu! Jadi bagaimana buku
itu bisa ada di sini!!?].”
“Aku ingin melihat papa!! Biarkan
aku melihat buku ini!!”
Teriak Mihashi.
“..........[Tidak...Aku tidak ingin melihat isinya...Tidak!!] Tidak!! Cepat
lepaskan!!”
Mereka berdua terus saling menarik sampai akhirnya--
“Kau jahat!! Kau berusaha memisahkan aku dari papa!!!! KAU JAHAT!!!”
Sambil berteriak seperti itu, Mihashi mendorong tubuh
Chiharu dengan keras!
“Kyaaah!!” Teriaknya ketika tubuhnya terjatuh ke belakang
kemudian menabrak dinding.
Album foto itupun terlempar dan terbang di atas udara sampai
akhirnya terjatuh ke lantai.
Beberapa fotonya ada yang jatuh dan berserakan di lantai.
Dengan cepat, Mihashi segera mengambil salah satu foto yang
tergeletak di atas lantai itu kemudian melihat wajah ayahnya yang ada di sana.
Ia mengusap foto itu perlahan.
“Papa...”
“...................”
Sambil mengusap bagian belakang kepalanya yang sakit akibat
terbentur dinding, Chiharu berusaha bangkit berdiri.
Ketika tangannya berusaha menopang tubuhnya untuk bangkit,
tangannya tidak sengaja menyentuh sesuatu.
“......Ini...”
Chiharu menyingkirkan tangannya perlahan dari benda itu yang
ternyata adalah selembar foto.
“.................................”
Tanpa mengambil foto tersebut, ia memperhatikan gambar di
dalam foto yang tergeletak di dekatnya itu dari arah kiri ke kanan.
Di foto tersebut, terdapat seorang pria dan wanita sedang
membuat tanda ‘V’ dengan jarinya. Di depannya, seorang anak laki-laki tengah
berpose sama seperti kedua orang di belakang tapi dengan kedua tangan.
“..........................................”
Pandangan Chiharu kini berhenti tepat di gambar seorang
gadis kecil berambut hitam sepundak.
Ia tidak membuat pose yang sama seperti ketiga orang lain di
dalam gambar melainkan hanya melipat kedua tangan di depan dada sambil memasang
wajah jutek yang super dingin.
“Nah, nah, semuanya!
Ayo, kita berfoto.”
“Eh, tunggu dulu,
Papa!”
“Ada apa, Chiaki?”
“Iya, ada apa? Kau
tidak ingin berfoto? Bukannya kau suka sekali di foto?”
“Iya, aku suka.
Tapi...Aku tidak tahu harus membuat pose apa...”
“.........................”
“Ha ha ha, kami pikir
ada apa! Ya sudah, Mama ada ide tidak??”
“Hmmm...Ah! Mama punya
ide bagus. Bagaimana kalau kita membuat huruf ‘V’ dengan jari kita sambil
berkata ‘Peace’!!”
“Uwaaah!! Chiaki mau!!
Ayo, kita berfoto! ..............Ah, Chi-chan!! Ayo, sini!”
“..........................”
“Uuh...Jangan hanya
diam saja! Ayo!”
“Tidak! Aku tidak mau
berfoto dengan kalian!! Kalau mau foto, foto saja sendiri!!”
“Uh...Papa, Mama,
Chi-chan bilang dia tidak mau berfoto.”
“.......Y--Ya sudah,
ayo kita foto bertiga saja.”
“...............Tch!”
“.....................Tidak
mau!”
“..........?!”
“Chiaki mau foto
berempat! Kalau Chi-chan tidak mau...Chiaki juga tidak mau!!”
“........................”
“Chi-chan! Ayo, kita berfoto!!”
“........................”
Kenangan yang terjadi pada saat itu, kembali terbayang di
dalam pikiran Chiharu.
Meskipun ia sudah menolak untuk ikut berfoto dengan mereka,
dengan kedua orang tua yang selalu saja memanjakan Chiaki karena ia lebih baik
dalam segala hal. dengan kakak yang selalu membuatnya merasa iri, namun Chiaki
terus saja memaksanya untuk ikut berfoto.
Ia masih ingat dengan jelas bagaimana senyuman di wajahnya
yang ia buat pada hari itu, bagaimana saat Chiaki menggandeng tangannya, bagaimana
saat ia memaksanya untuk membuat huruf ‘V’ namun Chiharu menolak dan menendang
kaki Chiaki dengan keras.
Semua kejadian itu terekam dengan jelas di dalam ingatan
Chiharu dan sekarang, seperti sebuah film, kejadian di masa lalu itu seolah
berputar kembali dengan sendirinya.
“............................”
Ia tidak bisa berkata apa-apa, ketika ia tidak sengaja
melihat ke beberapa foto lain yang juga tergeletak di dekatnya.
“................................”
Ada foto wajah Chiaki yang terkena lemparan es krim.
“Nah, ini untuk
Chiaki.”
“Waaah, terima kasih,
Papa! Rasa vanilla kesukaanku!!”
“........Chiharu, ini
untukmu.”
“......................”
“Tidak ada yang ingin
kau katakan?”
“.....Kau ingin aku
berkata apa...?”
“.........Hm! Dasar
anak tidak tahu sopan santun...”
“..............Aku
dengar itu. Meskipun kau bermaksud berkata dengan suara pelan supaya aku tidak
mendengarmu, tapi aku bisa mendengarmu dengan jelas, dasar pak tua bodoh.”
“Ah, Chi-chan. Tidak
baik berkata seperti itu pada papa.”
“Apa sekarang? Kau mau
membelanya dengan omong kosong mu itu?”
“B--Bukan begitu.
Hanya saja, apa kau tidak kasihan pada papa kalau ia sampai mendengar ucapanmu
itu?”
“Oh, justru bagus
kalau dia mendengarnya.”
“Chi-chan!”
“Berhenti menyebutku
‘Chi-chan’. Itu menjijikan.”
“Anak-anak, lihat
kemari!”
“Ah,
mama!............Chi-chan, ayo lihat ke kamera!”
“Berisik.”
“............Mama,
Papa!”
“Ya?”
“............Tolong
dengar apa yang akan kukatakan sekarang!...........Chi-chan bilang--‘AKU SAYANG PADA KALIAN BERDUA!!!’”
.........................
..............................................
................................................................................
“A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-A-APAAAAAAAA!!!!???”
“Ha??”
“Sekarang ‘cheeseeee’”
“Apa yang kau pikir
sudah kau lakukan, dasar bodoooooooooooooooh!!!!”
“Uwaaaghuuu!!
Di--Dingiiiiin!!!!”
Foto ketika mereka sedang berwisata ke kolam renang di pusat
kota, foto ketika di kebun binatang, foto ketike liburan musim panas, ketika
liburan musim dingin dirumah kakek dan nenek, saat natal...
Dan berbagai foto lainnya.
“........................[Kenapa...? Aku harus melihat semua ini lagi...? Kenapa aku harus
mengingat semuanya lagi...?].”
Chiharu menundukkan kepala perlahan.
“[Tidak bisakah aku
melupakannya saja...?].”
“[Aku tidak ingin
mengingatnya lagi...].”
Semua foto di dalam album itu adalah kumpulan kenangan dari
semua hal yang pernah mereka lakukan.
Saat Chiharu dan Chiaki beranjak dewasa dan sudah siap untuk
menjalani hidup mereka masing-masing dan harus pergi meninggalkan rumah, kedua
orang tua mereka memberikan album yang sudah mereka copy itu kepada mereka
berdua.
Chiaki dengan senang hati membawa album itu.
Namun, tidak ada sedikitpun keinginan di hati Chiharu untuk
membawa benda yang berisi semua hal yang tidak ingin ia ingat lagi sampai
kapanpun.
Tiap kali melihat foto itu, kebenciannya terhadap Chiaki dan
kedua orang tuanya selalu meningkat.
Ia membenci mereka.
Tapi jauh dibalik semua itu, ia jauh lebih membenci dirinya
yang sama sekali tidak bisa berguna untuk kedua orang tua yang sudah
membesarkannya.
Ia membenci semua kenangan itu.
Ia sangat membencinya.
Seandainya bisa ia ingin melupakan semua itu untuk
selamanya.
Tapi di saat yang sama...
Seberapa kerasnya ia berusaha untuk melupakan itu, justru
semua kenangan itu semakin jelas terbayang di pikirannya.
Dan kini, benda yang berisi semua kenangan itu kembali
memunculkan semuanya dengan jelas.
Dengan perlahan, Chiharu memeluk kedua lututnya sambil
menyembunyikan wajahnya.
“............[Sudah cukup...Aku
tidak bisa menghadapi semua ini lagi...].”
Sementara itu, Mihashi
memunguti foto itu satu per satu dan memperhatikan wajah ayahnya yang
tersenyum bahagia.
“Papa...Terlihat sangat bahagia...”
Sambil berkata seperti itu, ia mengambil sebuah foto yang
terletak di dekat kakinya.
“Papa...Aku ingin bertemu--?”
Ia tertegun ketika melihat foto itu.
Di sana terdapat gambar seorang anak laki-laki yang berada
di kotak pasir.
Ia kelihatan berusaha melindungi diri dari sesuatu.
Ketika ia melihat ke samping, di sana terdapat seorang anak
perempuan, sedang menendang pasir ke arah anak laki-laki itu dengan wajah
kesal.
Mihashi menyentuh wajah anak perempuan di dalam foto itu.
“...............Anak ini tidak bahagia.”
Kemudian ia kembali mengumpulkan beberapa foto lain.
Di dalamnya, selalu ada anak perempuan itu.
Namun, ekspresinya selalu terlihat kesal dan tidak suka.
Tak ada satupun wajahnya yang terlihat bahagia ataupun
sedang tersenyum.
“Anak ini tidak tersenyum...Dia tidak bahagia...”
..............................
Mihashi terdiam sambil memperhatikan foto anak perempuan itu
dengan wajah sedih.
Kenapa anak itu tidak bahagia...?
Kenapa ia tidak tersenyum...?
Ia ingin tahu itu.
“?”
Pandangan Mihashi tertuju ke arah Chiharu yang sedang
terduduk di sudut ruangan.
“...................Ah!”
Tiba-tiba ia tertegun.
“Bibi...”
Apa yang sudah ia lakukan...?
Bibi Chiharu-nya terlihat sangat menyedihkan.
Mihashi berjalan ke arah Chiharu, menjatuhkan foto-foto yang
ia pegang dari tadi.
Melupakan semua tentang ayahnya untuk sesaat.
Dengan lembut, ia menyentuh tangan Chiharu.
“..........Bibi...Apa aku...Sudah melakukan sesuatu yang
buruk...?”
Ketika suara kecil Mihashi terdengar di dekatnya, ia tidak
ingin melihat wajah anak itu.
“Tidak...Kau tidak melakukan apapun yang salah...”
Jawabnya dengan suara lemah.
“....................Bohong...Bibi bohong...Bibi marah
padaku’kan...?”
Mihashi berkata
pelan.
Tangannya menggenggam tangan Chiharu semakin erat.
“Tidak...Aku tidak bo--“
“Kalau begitu kenapa kau menangis?!”
DEG
Chiharu tertegun.
Ia...Menangis...?
Dengan pelan, ia mengangkat wajahnya.
Ya.
Ia bisa merasakan air mata itu mengalir di wajahnya.
Tapi kenapa?
“Aku--“
“Maaf’kan aku, Bi!! Aku minta maaf! Aku sudah bertingkah
buruk! Aku sudah merepotkan bibi lagi!! Padahal bibi bilang aku tidak boleh
bersikap seperti itu lagi...Tapi, aku--Benar-benar anak yang nakal!!”
“A--“
“Aku janji tidak akan nakal lagi!! Aku tidak akan membuka
album itu! Aku tidak akan melakukan hal-hal yang bibi larang!! Karena
itu...Karena itu jangan menangis lagi, Bi!!!”
Mihashi menghentikan ucapannya.
Ia menundukkan kepalanya.
Air mata membasahi wajahnya, menetes ke atas lantai.
“Mihashi-chan...”
Ia melanjutkan,
“Aku sudah berbuat buruk...Tapi aku tidak ingin bibi sedih
karena aku...Aku tidak ingin jadi beban untuk siapapun...Aku tidak ingin
membuat papa sedih atau khawatir...”
“...........................”
“Hey...Bibi...?”
“...............?”
“.........Apa kau membenciku...?”
Chiharu tertegun ketika tiba-tiba
Mihashi menanyakan hal yang tidak masuk akal seperti itu.
Ia tidak menyukai anak itu hadir
di dalam kehidupannya.
Tapi kata ‘Ya, aku membencimu’
tidak bisa keluar dari mulutnya.
“Kenapa...Kau bicara seperti
itu...?”
Akhirnya ia bertanya alasan
Mihashi mengatakan hal itu.
Ia ingin tahu, apa yang akan dia
katakan.
“....................”
Mihashi hanya terdiam.
Tak satupun kata keluar dari
mulutnya.
Perlahan, ia menunduk dan
mengambil sesuatu dari atas lantai.
“............Anak perempuan di
foto ini bibi’kan...?”
Katanya sambil menunjukkan foto tersebut kepada
Chiharu.
Chiharu mengamati foto itu dengan
seksama, kemudian mengangguk pelan.
“Iya, itu aku.”
.......................
......................................................
.......................................................................................
“.....................Apa bibi
membenci papa...?”
“!?”
Chiharu dikejutkan oleh
pertanyaan Mihashi berikutnya.
“.....................Apa bibi membenci papa...?”
“...................”
Untuk pertanyaan itu, jawabannya
sudah pasti dan sangat jelas.
Ya.
Di tambah dengan foto-foto
tersebut, menjadi bukti kebencian Chiharu terhadap Chiaki dan keluarganya
sampai ia tidak ingin melihatnya lagi.
Namun, butuh waktu lama bagi
Chiharu untuk menjawabnya.
“Kenapa...Kau berkata seperti
itu...?”
“...........Karena bibi tidak
tersenyum...”
“.........Apa...?”
Karena ia tidak tersenyum...?
“..................Karena bibi
selalu terlihat tidak suka ketika berada di dekat papa. Karena bibi selalu
terlihat kesal ketika berfoto bersama papa.”
“............................”
Memang benar.
Semua fotonya di dalam album itu,
tak ada satupun wajahnya yang tersenyum bahagia.
“Apa karena bibi membenci papa
makanya bibi membenciku...? Makanya bibi tidak tersenyum...? Bibi, tolong
maaf’kan papa dan Mihashi...”
Sambil berkata seperti itu, Mihashi berlutut
dan menundukkan tubuhnya di hadapan Chiharu.
“A--[Apa yang--!!?].”
“Papa dan Mihashi sudah berbuat
buruk pada bibi. Pasti sebenarnya bibi tidak ingin merawatku dan lebih memilih
untuk membuangku...”
“Itu--[Itu tidak benar!!].”
Tidak.
Itu benar.
Sangat benar sampai-sampai
membuat Chiharu tidak sanggup untuk mengatakan anak itu secara langsung.
Ia bukanlah tipe orang yang suka
menahan perasaan hanya untuk orang lain.
Ia selalu saja mengatakan apa
yang ada dipikirannya.
Ia selalu jadi orang seperti itu.
Tapi kenapa sekarang seperti ada
sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya?
Kenapa ia tidak bisa mengatakan
semua kebenarannya?
kenapa ia jadi merasa tidak tega
seperti ini?
Apa karena itu terlalu
menyakitkan untuk didengar langsung oleh Mihashi?
Apa pedulinya!!?
‘Toh, aku memang tidak pernah
menginginkan kehadirannya di sini.’
Ia yang dulu pasti akan berpikir
seperti itu.
Tapi--
“[Aku tidak bisa mengatakannya...] Sudah, kita lupakan saja semua
ini.”
Chiharu berkata tanpa melihat ke
arah Mihashi sambil menghapus air matanya kemudian bangkit berdiri.
Ia berjalan melewati Mihashi yang
masih terus berlutut, lalu berhenti.
“Sudah malam, cepat tidur. [Berdirilah...].”
.................................
Grep
“!?”
Chiharu tertegun ketika tiba-tiba
saja ada kekuatan aneh yang menarik tubuhnya.
Ia lalu menoleh perlahan ke
belakang, mendapati sesosok anak kecil berambut coklat pendek yang dikuncir twintail, kini menggenggam tangannya
dengan erat.
Wajahnya tidak terlihat jelas
sehingga Chiharu tidak tahu ekspresi seperti apa yang ia buat.
“.....................”
Keheningan memenuhi seluruh
ruangan.
“.................B--Bibi...”
“?”
Mihashi berkata dengan suara
pelan.
“Aku...Aku juga keluarga
Matsuyuki’kan...? Di album itu di tulis...’Untuk keluarga Matsuyuki di masa
depan’...itu berarti...Apa aku termasuk di dalamnya...?”
“..............Terserah kau mau
menanggapinya seperti apa. Lebih baik kau pergi ke kamarmu dan--“
“Suatu saat nanti...”
Ketika akan kembali melangkah, Mihashi
memotong perkataan Chiharu yang belum selesai dan sedikit menarik tangannya.
Tangannya sedikit gemetaran.
“................Suatu saat
nanti...Apa fotoku juga akan di masukkan ke dalam album itu...?”
Ia bertanya dengan suara pelan.
Chiharu menatap anak itu sesaat
kemudian melemparkan pandangan ke arah lain.
“.............Soal itu, mana aku
tahu...”
Jawab Chiharu singkat.
“Bibi...”
Panggil Mihashi.
“..............Hm...”
Tanpa melihat ke arah Mihashi, Chiharu kembali
menjawab dengan singkat tanpa ada ketertarikan sedikitpun dalam nada bicaranya.
“Ketika saat itu tiba...Maukah
kau tersenyum dan berfoto bersamaku...?”
“!?”
Chiharu tertegun.
“Foto bibi...Tidak ada satupun yang
tersenyum...Aku ingin melihat foto bibi yang tersenyum. Bersama denganku...”
“....................”
Kenapa...?
Kenapa ia mengatakan hal seperti
itu...?
Tersenyum bersamanya?
“Kenapa...?”
“.............?”
“Kenapa kau mengatakan itu...?”
Sambil berkata seperti itu,
Chiharu perlahan menoleh ke arah Mihashi yang kini juga melihatnya dengan
wajahnya yang sangat polos.
“.............Karena...”
Karena...
“.............[Paling-paling dia akan berkata sesuatu
seperti ‘Karena aku ingin saja’. Hah! Benar-benar konyol--].”
“Karena kita adalah Keluarga
Matsuyuki!”
“!!”
Dengan senyuman di wajahnya, anak
itu berkata dengan riang.
Karena kita adalah Keluarga
Matsuyuki...?
“Selesai.”
“Apa yang selesai, papa?”
“Chiaki, coba kau lihat ini.”
“Buku apa ini...?”
“Itu adalah buku kenangan Keluarga Matsuyuki.”
“Buku kenangan keluarga Matsuyuki? Mama, apa itu?”
“Itu adalah buku yang menyimpan kenangan keluarga kita.”
“Menyimpan kenangan...?”
“Iya, jadi sampai kapanpun, kita akan selalu ingat kalau kita adalah
satu keluarga besar bahkan ketika kita tidak tinggal di satu atap yang sama,
kenangan itu akan selalu hidup di dalam hati kita. Ini adalah buku yang
nantinya akan berisi semua kisah-kisah dari keluarga Matsuyuki sekarang maupun
di masa depan nanti.”
“Maksudnya, kalau aku seandainya punya seorang istri yang cantik dan
seorang anak yang lucu...Aku bisa mengisi album ini dengan foto mereka??”
“Iya.”
“Waaah!! Asyik! Papa, papa, aku ingin melihat album-nya.”
“Nah, ini. Bukalah.”
“Waaah!! Ini aku! Ini pada saat di taman, lalu ini di pantai, saat
festival kebudayaan sekolah. Ah, aku ingat ini. Ini saat aku pentas,
ya?................Eh tapi...”
“.........? Ada apa, Chiaki? Apa ada yang salah?”
“...............Chi-chan tidak tersenyum...”
“...........S--Soal itu...”
“............Chi-chan.”
“.............Ada apa...?”
“Ayo, tersenyum.”
“Ha?? Apa yang tiba-tiba merasukimu? Kenapa meminta hal yang aneh dan
tidak penting itu kepadaku!?”
“Karena di album ini tidak ada fotomu yang tersenyum. Aku ingin melihat
foto Chi-chan yang tersenyum, setidaknya sekali saja!”
“................K--Kau ini!! Dasar aneh! Kenapa kau segitu inginnya
melihatku tersenyum!!?”
“Eh--I--Itu karena--“
“Kalau tidak punya alasan yang bagus, lebih baik kau diam saja!”
“Chiharu! Jaga mulutmu!! Kau tidak ingat!? Chiaki itu ka--“
“Karena aku ingin membuat kenangan yang indah dengan semuanya.”
“!?”
“Karena aku ingin membuat kenangan yang bisa di lihat oleh anak-anakku
dan juga cucu-cucuku. Aku ingin mereka melihat bagaimana bahagianya keluarga
Matsuyuki di masa kita!”
“..................Ka--Kalau ingin melakukan itu, lakukan saja bersama papa
dan mama. Anggap saja aku tidak ada. Beres’kan...?”
“M--Mana bisa!!? Mana bisa seperti itu!!”
“Kenapa!? Kenapa tidak bisa!? Tinggal lupakan saja aku seperti yang
biasanya kalian lakukan!!”
“Chiaki! Chiharu!! Tolong hentikan!”
“Tidak bisa!! Kalau tidak ada Chi-chan tidak akan bisa!!”
“Kenapa!!?
“KARENA KITA ADALAH SATU
KELUARGA!! KELUARGA MATSUYUKI!!!”
“!!?”
“...........Kalau tidak ada Chi-chan...Berarti kita bukan Keluarga
Matsuyuki!!”
“.......................”
“..............Karena itu...suatu saat nanti...Tersenyumlah,
Chi-chan...!”
“................................Ha
ha...”
“???”
“AHA HA HA HA!!!!!”
“!!!?”
Tiba-tiba saja, Chiharu tertawa
dengan keras dan membuat Mihashi kaget.
Tangan mereka terlepas.
Mihashi yang melihat Chiharu
terus tertawa merasa kebingungan dengan sikap bibinya itu.
“A--Ano--Bibi Chiharu...? Bibi baik-baik saja?”
“Aha ha ha!! Bagaimana mungkin
aku bisa baik-baik saja!!!? Kau ingin membuatku mati tertawa dengan kata-katamu
yang tidak masuk akal itu!!? Apa itu!!? ‘Karena kita keluarga Matsuyuki’!!?
Jangan bercanda denganku!! Bagaimana bisa kau mengatakan hal yang sama dengan
yang si bodoh Chiaki itu katakan!!? Akh!!! Aku tidak percaya kalau aku akan
mendengar omong kosong yang datang dari orang super tidak penting itu sekali
lagi dalam hidupku!! Sudah hentikan!! Cukup sekali aku mendengarnya!!!”
Chiharu berteriak keras kemudian
berbalik dan melipat kedua tangannya dengan eskpresi kesal.
............................
Tapi...
“[Tapi...Yang paling menyebalkan adalah... Karena hal itu bisa membuatku
tersentuh untuk yang kedua kalinya...].”
Ia tersenyum kecil.
Mungkin...
“........Bibi! Bibi tersenyum!!”
“Ekh!!? Tidak! Kau salah lihat!”
Ya, mungkin...
“Bibi malu-malu~ Imutnya~~”
“I--Imut!!!? Jangan pernah
mengatakan hal mengerikan itu dihadapanku lagi!!”
Suatu saat nanti...
“Ayo, kita foto, Bi!”
“Kau foto saja sendiri! Lagipula,
keluargamu itu’kan ayahmu! Suruh dia yang mem-fotomu!!”
“Aha ha ha, nggak mau! Bibi’kan
juga keluargaku!!”
“Sampai kapanpun, sampai dunia
kiamat dan sampai matipun aku tidak sudi menjadi keluargamu!!”
“Ah, Bibi Chiharu ini tidak jujur
orangnya!”
“Jangan ngomong sembarangan kau
bocah! Aku ini orang paling jujur di seluruh dunia!!”
Di halaman terakhir album
keluarga itu...
Chiharu akan bisa memperlihatkan
senyumannya pada orang-orang di dekatnya...
“Mihashi-chan. Mihashi-chan
bangun.”
“............Ng...?”
“Mihashi-chan. Ayo, bangun!”
“....Huaaah...Ada apa, Bi...?”
Sambil mengusap matanya, Mihashi
yang masih mengantuk berusaha bangkit untuk duduk.
“Hm......?”
“Lihat kemari.”
Mihashi perlahan menoleh ke arah
Chiharu yang sekarang sudah membawa sebuah kamera berwarna hitam di tangannya.
Menyadari bahwa Chiharu telah
merekam dirinya, Mihashi langsung berteriak kaget.
“Ah, Bibi! Jangan tiba-tiba
merekamku seperti itu!”
Ia berkata sambil menutupi wajahnya karena
malu.
“Eh, kenapa? Perlihatkan wajah
‘baru bangun tidur’mu yang jelek itu!”
Chiharu berkata sambil
mendekatkan kameranya ke arah Mihashi yang kini menutupi wajahnya dengan
bantal.
“Kalau ingin merekamku, setidaknya, biarkan
aku dandan yang cantik terlebih dahulu.”
“ ’Dandan yang cantik’...? Aku
tidak yakin kalau kata-kata itu akan dikeluarkan oleh anak berumur 7 tahun. Ah,
tapi aku tidak peduli karena sekarang wajah ‘baru bangun tidur’mu yang jelek
itu sudah terekam oleh kameraku, mue he he XDDD.”
Chiharu berkata dengan nada
bicara dan senyuman terlicik yang pernah ia buat.
“Uuh...Bibi ini apa-apaan sih...?
Seperti anak kecil saja...”
Kata Mihashi datar yang langsung membuat
Chiharu serasa ditusuk oleh pedang yang mungkin sangat cocok dengan sound effect ‘Jleb’.
“Maaf, tapi aku tidak ingin
dikatakan ‘seperti anak kecil’ oleh anak kecil. Lagipula, siapa yang kemarin
bilang ‘Aku mau papa melihat pertunjukanku’?”
Tanyanya dengan cara bicara
seperti polisi menginterogasi penjahat.
“Ah...Itu aku...”
“Nah, sudah bangun kau rupanya?? Kau
pikir aku susah-susah mau mencari kamera tua ini semalaman demi siapa? Ayo,
katakan sesuatu. Aku tidak suka kalau harus menunggu. ”
“Aku harus mengatakan apa...?”
Tanya Mihashi tidak mengerti.
“Ukh...”
Mendengar reaksi anak itu,
Chiharu merasa di hantam sebuah batu yang ukurannya sangaaaaaat besar kemudian
menghela nafas.
“Terserah kau mau mengatakan apa.
Kalau kau tidak tahu, biar aku berikan satu petunjuk untukmu...Hmmm...Contohnya
seperti ini, ‘Ah, selamat pagi papaku sayang~ Sebentar lagi di sekolahku akan
ada festival--dan bla bla bla’, ya, kira-kira seperti itu.”
“Penjelasanmu tidak jelas.”
“Terserah aku!!! Sekarang, cepat
kau bicara atau akan kubakar kamera ini!”
Teriak Chiharu kesal sambil berbalik pergi,
ingin menuju ke dapur dan membakar kamera itu di atas kompor yang langsung
dicegah oleh Mihashi.
“Tunggu dulu, Bi!! Jangan bakar
kamera itu! A--Ada yang ingin aku katakan pada papa!!” Mihashi berkata sambil
menarik baju Chiharu dengan erat.
“Haah...Kenapa tidak dari tadi.
Ayo, cepat.”
Chiharu berbalik lagi kemudian duduk di
hadapan Mihashi dan mengarahkan kamera itu ke arahnya.
Mihashi berdiri kemudian sedikit
memalingkan wajahnya yang terlihat malu.
“A...Papa...Ini aku, Mihashi.
Anak papa yang paling unyu...”
“Ukh...[Bagian pembuka yang benar-benar menjijikan!!!!!!!]. Kurasa bagian itu
tidak diperlukan. Akan kuhapus nanti.”
“Akh!! Jangan, Bi!!!”
Teriak Mihashi yang langsung
ingin menerjang ke arah Chiharu.
“Kalau begitu cepat saja ke
intinya! Kau mau membuatku muntah dengan prologue yang super menjijikan
itu!!??”
Huff...
Mihashi menghela nafas beberapa
kali, kemudian ketika ia sudah siap, ia kembali menghadap ke arah kamera.
“Ah...Selamat pagi, Papa.
Bagaimana kabar papa? Papa sehat-sehat saja’kan? Di sini aku baik-baik saja.
Bibi Chiharu merawatku dengan baik. Ah, tapi terkadang ia suka berteriak ke
arahku.”
Ceritanya sambil tersenyum.
“Tidak usah membual, ceritakan
saja yang sesuai dengan kenyataannya.”
Chiharu berkata sambil terus
mengarahkan kamera ke arah Mihashi yang langsung ditanggapi oleh gadis itu ‘Eh,
tapi aku bicara sesuai kenyataan’.
Mihashi melanjutkan,
“Ehm...Papa...Apa kau
merindukanku? Apa kau selalu dan tidak bisa berhenti memikirkanku? Kalau aku,
aku tidak bisa tidak memikirkan papa sedikitpun...”
“..............[Anak ini...Dia memang benar-benar sayang
pada Chiaki dengan sepenuh hatinya...].”
Batin Chiharu sambil tersenyum
kecil.
“Aku...Aku sangat sayang pada
papa! Aku...Sebenarnya sangat ingin bertemu dengan papa...Tapi, kalau aku terus
bersikap seperti anak kecil, papa juga akan merasa repot’kan? Aku paham, kok.
Papa menitipkan aku pada Bibi Chiharu karena papa sayang padaku’kan? Aku memang
tidak tahu alasannya. Tapi, itu pasti yang terbaik untukku.”
Mihashi berkata dengan penuh
perasaan.
Semua kata-katanya terdengar
indah dan juga hangat.
Tiap kali ia berbicara, mata
birunya selalu terlihat bersinar seolah mampu menghapuskan kegelapan.
“Mihashi janji tidak akan
merepotkan papa lagi dan juga Bibi Chiharu. Mihashi akan menjadi anak yang baik
dan juga penurut. Karena itu, papa tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja di
sini, bersama dengan Bibi Chiharu.”
Ia tersenyum.
“Papa, sebentar lagi di sekolahku
akan ada festival untuk merayakan ulang tahun sekolah yang ke-57. Aku akan
menyanyi di atas panggung! Aku sudah tidak sabar saat itu tiba!! Aku ingin
memakai kostum yang disiapkan oleh sensei!
Ah...”
Tiba-tiba, ekspresinya berubah
menjadi sedih.
“Sebenarnya...Aku ingin papa
datang dan melihatku menyanyi di atas panggung. Tapi, aku tahu kalau papa
sangat sibuk dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan papa begitu saja hanya untuk
datang melihat penampilanku.”
“..................”
Melihat wajah Mihashi yang
berubah sedih, Chiharu ikut terlihat sedih.
Ia tahu bagaimana rasanya ketika
orang tuanya tidak bisa datang ke acara festival di sekolahnya hanya untuk
melihatnya tampil.
Meskipun begitu, tiap kali Chiaki
ada acara atau kegiatan, kedua orang tuanya selalu ada untuk dia.
Ini benar-benar tidak adil.
Itulah yang selalu ada di pikiran
Chiharu.
“Tapi...”
Ketika tiba-tiba Mihashi kembali
berbicara, itu membuat Chiharu sedikit tertegun.
Perlahan, ia mengangkat wajahnya,
ingin melihat wajah seperti apa yang kini dibuat oleh anak itu.
“Tapi, Bibi Chiharu janji akan
merekamku! Jadi, papa tetap bisa melihat penampilanku meskipun tidak datang!!”
Ia terlihat bersinar seperti
matahari.
“Aku akan menampilkan yang terbaik!
Jadi...Papa!”
.............................................
“Lihat aku, ya!!”
Hari-hari berikutnya, semua murid
sibuk membuat persiapan untuk merayakan festival ulang tahun sekolah mereka
yang ke-57.
Ada yang bertugas untuk menghias
kelas, menghias sekolah maupun berlatih bagi mereka yang akan tampil.
Pokoknya, hari-hari mereka di
sekolah terasa menjadi lebih sibuk dari biasanya.
Mereka juga selalu pulang lebih
sore akibat kegiatan yang menumpuk.
Tapi mereka tidak mengeluh karena
udara yang dingin atau karena kegiatan mereka yang sangat banyak dan
melelahkan.
Justru kebalikannya, mereka
merasa senang dengan semua kegiatan itu dan selalu bekerja dengan penuh
semangat.
Dan tiap kali pulang dari
sekolah, Mihashi selalu punya cerita yang ia ceritakan tiap harinya kepada
Chiharu.
Seperti,
“Bibi, hari ini semuanya sibuk sekali, lho.”
“Hari ini aku membantu temanku menghias kelas! Senang sekali rasanya.”
“Bibi, tadi hampir saja ada teman sekelasku yang jatuh dari tangga
ketika akan menghias dinding! Hii, untung saja sensei cepat datang dan
memegangnya! Kalau tidak--Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi!”
“Bibi, Bibi, tadi aku berlatih bersama teman-temanku. Kita akan
bernyanyi di atas panggung! Hebat’kan? Seperti yang papa ingin lihat!”
“Hari ini kita ukur kostum. Semoga saja kostumnya cepat jadi!”
“Waaah, aku sudah lihat kostumnya, Bi! Bagus sekali! Warnanya merah
dengan hiasan mawar! Pasti bibi sudah tidak sabar untuk melihatnya!!”
Meskipun Chiharu hanya
menanggapinya dengan senyuman, tapi Mihashi terus saja menceritakannya.
Menurut Chiharu, ia jadi lebih
berisik dari biasanya.
Dan tanpa mereka sadari, hari
dimulainya festival pun datang...
***-***
A/N : Hai, minna XDD
Yey, akhirnya hari festivalpun datang XDD
Kira-kira, apakah festival akan berjalan lancar??
Tunggu di next ch-nya ya ^^
Yey, akhirnya hari festivalpun datang XDD
Kira-kira, apakah festival akan berjalan lancar??
Tunggu di next ch-nya ya ^^
Sankyuu dah mampir ya XD
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar