Story : Hana no Uta Chapter 3
*Read :
Ini adalah kota
kecil Hanasaki.
Semua orang yang
tinggal di dalam lingkaran kota ini, menyebut kota ini sebagai ‘kota tanpa
harapan’.
“Ah, sayang
sekali, ya, Yui-chan. Kita berdua tidak sekelas. Padahal aku ingin sekali
sekelas denganmu. Huh, kenapa juga dari sekian banyak murid, kau harus satu
kelas dengan si bodoh itu?”
Kalau mendengar
ini, si bodoh itu--maksudnya Sugata, pasti akan langsung berteriak ‘Siapa juga
yang mau satu kelas dengan dia!!???’ sambil menunjuk ke arah Yui.
“Hi hi.”
Tiba-tiba, Yui tertawa kecil.
“Hm?”
Hinata dan Satou yang mendengar tawa Yui
langsung tertegun dan menoleh ke arah gadis itu.
“Tidak seperti
itu. Aku senang, kok. Bisa satu kelas dengan Sugata-kun. He he.”
Kata Yui sambil
tersenyum bahagia.
“Se--Serius?”
Hinata bertanya seolah tidak percaya dengan
ucapan Yui.
“Hm. Menurutku,
Sugata-kun itu bukan orang yang jahat. Ah, sudah dulu ya. Aku harus kembali ke
kelas.”
Yui berkata sambil tersenyum dan melambaikan
tangan ke arah Hinata dan Satou.
Sementara itu, Hinata dan Satou melambaikan
tangan ke arah Yui dengan wajah bingung.
Dan bel tanda
pulang pun berbunyi.
HANA NO UTA
[Song of
Flower]
Chapter 3
2 Keluarga
“Aku pulang.”
Sore itu ketika
pelajaran sekolah berkahir, Sugata Yoshikawa langsung berjalan menuju ke arah
rumahnya seorang diri tanpa didampingi oleh Satou yang biasanya selalu
menemaninya.
‘Dia pasti akan
pulang bersama dengan Akazawa dan Morisaki’ pikir Sugata yang membuatnya lebih
memilih untuk pulang sendiri daripada harus beramai-ramai seperti itu.
Meskipun ia tidak
tahu apakah ia benar-benar ingin ‘pulang’ ke rumah kecil yang sudah tua itu dan
bertemu dengan ‘kedua orang’ tidak penting tersebut.
Sugata membuka
pintu rumahnya dengan tidak semangat.
“.................”
Tak ada
seorangpun yang membalas sapaannya.
Tapi Sugata
tidak mempedulikan hal itu dan mempermasalahkannya.
Karena hal ini
sudah biasa terjadi ketika ia mengucapkan salam baik saat akan pergi ataupun
kembali ke rumah.
Ia sendiri
bahkan tidak tahu kenapa ia terus mengucapkan salam meskipun orang-orang rumah
tidak ada yang mau membalasnya.
Entahlah.
Cahaya matahari
sore terlihat membelakangi dirinya, membuat rumah yang terlihat gelap itu
menjadi terkena pancaran cahayanya.
Namun itu hanya
terjadi untuk beberapa saat, sampai pintu itu kembali tertutup.
Dengan perlahan,
pemuda berambut coklat itu berjalan masuk dan melepas sepatunya.
Kemudian ia
berjalan menyusuri lorong yang gelap dan berjalan di atas lantai kayu sehingga
menimbulkan suara berdecit.
“..............”
Ketika melewati
sebuah ruangan yang sedikit terbuka, cahaya berwarna putih terlihat keluar dari
celah yang terbuka dari pintu itu.
Perlahan, Sugata
membuka pintu itu sedikit kemudian mengintip ke dalamnya.
Di sana, ada
seorang wanita yang mungkin berumur sekitar 40-tahunan, sedang duduk di lantai
kayu yang dingin.
Rambutnya sudah
agak tipis dan rontok, membuat umurnya terlihat lebih tua.
Pandangan
matanya kosong, seolah tidak ada apapun yang terpantul di bola matanya itu.
Tidak ada
ekspresi yang tergambar di wajahnya, baik itu sedih, senang maupun kesal.
Hanya
terus-menerus menatap ke ‘sesuatu’ yang ada di depannya tanpa ada maksud untuk
melihat ke arah lain.
Sugata tidak
mengatakan apapun.
Namun ekspresinya
terlihat sangat sedih dan juga tertekan melihat kondisi wanita yang seperti
tidak memiliki harapan hidup itu lagi.
Ia terdiam
sesaat di tempatnya berdiri tanpa berhenti mengamati wanita itu.
Wanita itu
seperti tidak menyadari kehadiran Sugata.
Atau mungkin ia
tidak peduli dengan kehadiran pemuda berambut coklat itu.
Di rumah ini,
tidak ada yang peduli ‘siapa yang pergi ke mana, jam berapa, dengan siapa’ dan
‘siapa yang pulang’.
Bahkan jika
salah satu dari ketiga orang yang menghuni rumah yang sangat kecil ini tidak
pulang sehari atau bahkan lebih, tidak ada yang peduli.
Karena juga
mereka tidak saling bicara atau melihat satu sama lain kecuali ketika sedang
berkumpul di satu meja makan, yang biasanya berakhir dengan kesunyian atau
bahkan pertengkaran.
“...................”
Tidak tahu harus
berbuat dan mengatakan apa, Sugata menutup pintu itu tanpa mengatakan apapun.
***-***
“Papa! Mama! Aku
pulang!!”
Sambil berteriak
dengan riangnya, gadis itu, dengan rambut merah tua pendek sebahu yang
menari-nari dengan indahnya tertiup oleh angin, Morisaki Yui, membuka pintu
rumahnya.
Rumah Yui
terlihat cukup besar dan nyaman dengan dinding berwarna putih.
Di hadapannya
sudah ada seorang wanita muda yang kelihatan masih sangat cantik dengan rambut
berwarna sama seperti Yui yang panjang sepunggung dan diikat ponytail.
Wanita itu
tersenyum.
Kelihatannya
orang yang sangat ramah.
Ia berjalan ke
arah Yui dan menyambutnya.
“Ah, kau sudah
pulang, Yui? Bagaimana? Hari pertamamu menyenangkan?”
Yui tersenyum
manis.
“Ehe he, hari
pertamaku sangat menyenangkan! Bahkan aku sudah memiliki teman-teman yang baik!
Ah, mama, mama! Perkenalkan mereka teman-temanku.”
Sambil berkata
seperti itu, Yui menunjuk ke arah pintu sambil bergeser sedikit agar ibunya
bisa melihat tamu yang datang tersebut.
Di di depan
pintu, sudah berdiri Akazawa Hinata dan Satou Koichiiro.
Akazawa Hinata, rambut
nya berwarna biru tua yang panjang sepunggung berbeda dengan rambut Yui yang
pendek.
Tubuhnya sedikit
lebih tinggi dari Yui yang memang cukup pendek untuk anak SMA.
Wajahnya
terlihat cukup manis dan ia anak yang baik [Meskipun terkadang ia suka bertengkar
dengan Sugata tanpa sebab dan alasan yang jelas dan suka menyuruh-nyuruh orang
lain melakukan sesuatu untuknya].
Ia juga pandai
bergaul dan cepat akrab bahkan dengan orang yang baru di kenalnya.
Satou Koichiiro,
rambutnya pendek berwarna putih dan tidak lebih panjang dari Sugata.
Ia memakai
kacamata yang identik dengan anak pintar.
Satou memang
cukup pintar jika dilihat dari penampilannya yang rapi dan juga sopan.
Nilanya di
sekolahnya dulu juga cukup tinggi dan selalu dipercaya untuk menjadi ketua kelas.
Ia juga
bertanggung jawab dan setia kawan.
Terbukti dari
meskipun reputasi Sugata di kota dan di sekolahnya buruk, Satou tidak
meninggalkannya dan tetap menjadi satu-satunya orang yang mau mengerti dan
memahami pemuda itu sehingga mereka bisa berteman sampai sekarang [Tapi apakah
Sugata menganggap Satou sebagai sahabatnya atau bukan...Hal itu masih belum
diselidiki dan masih menjadi misteri sampai saat ini].
Tapi apapun yang
terjadi, satou terus berjanji pada Sugata bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan
dirinya hanya karena orang-orang lain menjauhinya.
Ibunya yang
tidak menyadari keberadaan mereka berdua sejak tadi, agak sedikit tertegun
karena tiba-tiba ada orang lain di sana.
Ia berusaha
menyembunyikan rasa terkejutnya dan tersenyum.
“Ah, jadi mereka
teman-temanmu, ya? Kelihatannya anak yang baik dan juga manis~”
Pujinya.
“Ahaha, Bibi
bisa saja memujinya.”
Hinata berkata
dengan wajah merona dan tersenyum malu meskipun ia tidak tahu kata ‘manis’ itu
ditujukan untuknya untuk atau tidak sementara Satou hanya menunduk lemah
melihat tingkah sahabat satu SMP-nya itu yang seperti anak kecil.
Hinata memang
terkadang galak dan suka bersikap seperti bos yang menyuruh-nyuruh seenaknya
[waktu festival kebudayaan SMP, ia
dengan santainya menyuruh murid-murid lain membawakan ini dan itu, padahal dia
sendirinya hanya duduk sambil santai-santai. Sugata dan Satou saksi matanya].
Tapi ia paling
lemah kalau dipuji.
Maka dari itu,
kalau kalian secara tidak sengaja bertemu dengan gadis bernama Akazawa Hinata
di tengah jalan, pujilah dia, dan dia pasti akan melepaskanmu dari
cengkeramannya//plaaak.
“Perkenalkan,
aku Satou Koichiiro. Dan gadis ini Akaza--Agh!!”
Belum selesai
Satou memperkenalkan Hinata, gadis itu menginjak kakinya dengan sangat keras
dan itu otomatis membuat ibu Yui kaget.
“Kau itu!
Biarkan aku memperkenalkan diriku sendiri!! Huh!”
Hinata
memalingkan mukanya dari Satou yang masih berusaha menahan rasa sakit yang
teramat sangat di kakinya, kemudian langsung tersenyum dengan manis ke arah ibu
Yui.
“Ah, selamat
sore, Bi. Aku Akazawa Hinata, he he.”
“Y--Ya, Selamat
sore...”
Kata ibunya [sweatdrop] sambil berusaha tersenyum dan mempersilahkan kedua anak
itu untuk masuk.
Begitu masuk ke
dalam rumah keluarga Morisaki, Hinata dan Satou langsung terkejut.
Bagaimanapun
rumah ini cukup bahkan mungkin sangat besar untuk orang yang tinggal di kota
kecil ini.
Rumah keluarga
Morisaki memang tergolong cukup mewah jika dibandingkan dengan rumah-rumah lain
di Hanasaki.
“Uwaaah!!
Rumahmu besar sekali, Morisaki-san!! Aku sampai takjub, lho~~!!”
Kata Satou terkagum-kagum sambil tak
berhenti-hentinya mengamati seluruh perabotan di rumah Yui.
“Ah, biasa saja,
kok.”
Jawab Yui
tersenyum malu sambil menggaruk rambutnya.
“Tidak, tidak!!
Ini kebalikan dari ‘biasa’! Ini luar biasa!! Ini adalah rumah paling bagus yang
pernah aku lihat di kota ini. Bahkan sejak aku melihat halaman rumahmu ini, aku
langsung mengetahui kalau kau adalah orang kaya!!! Iya’kan, Akazawa-san?!”
Masih dengan
wajah berbinar-binar, Satou berkata ke arah Hinata.
“Eh...Iya...”
Jawab Hinata pelan.
“Akazawa-san...?”
“Ah,
maksudku...Ya! Rumah ini sangat bagus!!”
Kata Hinata
lagi, kali ini dengan suara lebih keras dan dengan senyuman di wajahnya.
“Iya’kan? Sudah
kuduga kau akan berpikiran hal yang sama denganku!”
Satou lalu
kembali mengalihkan pandangannya ke arah Yui,
“Tapi,
Morisaki-san, bagaimana bisa kau tinggal di rumah sebagus ini? Setahuku, di
Hanasaki, tidak ada rumah sebesar ini. Ah, tapi rumah walikota Shibutani juga
sangat besar dan mewah. Yah..Dia’kan walikota Hanasaki, jadi sudah sewajarnya
kalau sangat kaya...”
“Sebenarnya,
rumah ini sudah mulai dibangun sebelum aku dan keluargaku memutuskan untuk
pindah kemari.”
Cerita Yui.
“Pindah
kemari...? Pindah kemari!? Tunggu dulu, Yui-chan!”
Tanpa alasan yang jela, Hinata tiba-tiba
berteriak dan itu membuat Satou kaget.
“Ya?”
“Pindah kemari
itu maksudnya...Kamu bukan berasal dari Hanasaki?!”
Tanya gadis berambut biru tua itu ke arah Yui.
Yui terdiam
sesaat kemudian membuat ekspresi yang seolah berkata ‘Oh ya, aku lupa
menceritakannya’ dan tersenyum malu.
Yui bersandar di
dinding kemudian melihat ke atas sedikit.
“Sebelumnya, aku
dan keluargaku tinggal di kota yang sangat besar. Namun karena pekerjaan
ayahku, kami terpaksa pindah kemari. Begitu ceritanya, he he.”
Satou dan Hinata
terdiam sesaat.
Namun ekspresi
mereka terlihat agak sedih.
Yui dan
keluarganya ternyata berasal dari kota besar tidak seperti Hanasaki.
Dan sekarang ini
gadis itu juga harus merasakan penderitaan yang seharusnya tidak ia rasakan ketika
tinggal di kota besar.
Dengan kata
lain, Yui dan keluarganya telah terjebak di kota kecil ini.
“Kota yang
besar, ya? Pasti menyenangkan sekali...”
Kata Satou pelan sambil sedikit tersenyum.
“Iya, memang
sangat menyenangkan.”
Yui membalas
senyuman Satou.
Hinata menghela
nafas pelan.
“Tapi...Apa
tidak sayang? Di kota besar’kan semuanya serba nyaman. Semuanya ada. Tidak
seperti di sini. Kehidupan di sini sangat sulit. Pasti akan berat untukmu
tinggal di kota ini...Seharusnya kau tetap tinggal di kota besar saja.”
Gadis berambut
merah tua pendek itu berpikir sejenak.
Beberapa saat
kemudian ia tersenyum.
“Tidak juga.”
“Eh?”
Kata Hinata dan Satou bersamaan.
“Justru
sebaliknya. Aku merasa senang bisa pindah ke kota ini.”
Jawab Yui yang
membuat kedua sahabat itu merasa terkejut.
Seseorang yang
baru saja pindah kemari dan baru pertama kali menginjakkan kaki di kota
ini...Berkata bahwa ia merasa senang?
Bagaimana
mungkin?
“Itu tidak
mungkin. Apa bagusnya bisa pindah ke kota kecil ini?”
Hinata berkata
dengan nada tidak suka, tapi tetap berusaha tersenyum.
“Hmmm....Apa,
ya? Ah, di sini sangat indah!”
Kata Yui.
“Indah?”
Satou sedikit memiringkan kepalanya.
“Hm! Di sini
benar-benar indah. Berbeda sekali dengan di kota besar! Di kota besar banyak
kendaraan dan udaranya sudah tercemar oleh polusi udara. Tapi di Hanasaki,
udaranya benar-benar segar! Oh ya, tapi yang lebih penting lagi, pemandangan di
sini benar-benar luar biasa! Kalian tahu? Di kota sudah banyak
pabrik-pabrik. Jujur saja, aku sudah
bosan melihat yang seperti itu. Tapi, di sini! Kita bisa melihat gunung-gunung
menjulang tinggi ke langit. Ada hutan kecil juga di belakang sekolah. Tapi,
yang paling membuatku menyukai tempat ini adalah padang bunga itu...”
Satou dan Hinata
hanya mampu terdiam ketika melihat gadis itu dengan ekspresi sangat bahagia
menceritakan semua hal yang ia sukai di Hanasaki.
Perlahan, kedua
anak penduduk Hanasaki itu melihat ke atas.
Benar juga.
Ada banyak hal
di Hanasaki yang tidak dimiliki oleh kota-kota besar.
Hanasaki sebenarnya
kota yang sangat indah.
Pemandangan yang
indah, laut, hutan-hutan, hewan-hewan yang berlarian ke sana-kemari dengan
riangnya, burung-burung yang bernyanyi dengan indahnya serta...
Padang bunga
berwarna keemasan yang seolah bisa menyebarkan kebahagiaan hanya bagi yang
melihatnya.
Namun mata
mereka semua telah dibutakan oleh kehidupan sengsara dan juga penderitaan.
Mereka tidak mampu melihat
keindahan yang ada di kota kecil ini.
Tiap saat hanya mampu untuk
menyalahkan dan berkata buruk tentangnya.
Satou dan Hinata menghela nafas
bersamaan kemudian tersenyum kecil.
“Yah...Kurasa ucapanmu itu ada
sedikit benarnya...”
Kata Satou.
Yui tersenyum.
“Benar’kan? Lagipula...Karena aku
pindah ke kota ini, aku jadi bisa bertemu dengan kalian berdua. Saat SMP, aku
sama sekali tidak memiliki seorang teman. Karena itu aku benar-benar senang
ketika kalian mau menjadi temanku.”
“Y--Yui-chan...A--Aku juga senang
bisa bertemu denganmu di sini dan menjadi temanmu!”
Kata Hinata sambil langsung memeluk Yui dengan
erat.
“Aku juga senang bisa bertemu
denganmu, Morisaki-san.”
Satou berjalan ke arah mereka
berdua tapi baru beberapa langkah, Hinata langsung menatapnya dengan tatapan
seperti hewan buas.
“Apa...? Ke--Kenapa kau menatapku
seperti itu!?”
“Kau mau ikut berpelukan dengan
kami’kan? Tak’kan kubiarkan kau menyentuh tubuh kami!!”
“Siapa juga yang mau
melakukannyaaaaaaa!!!!!!!???”
Satou berteriak dengan ekspresi kesal di
wajahnya kemudian menghentakkan kakinya ke lantai dengan keras.
Melihat itu, Yui tidak bisa menahan
dirinya untuk tertawa.
“Aha ha!!”
“Mo--Morisaki-san...”
“Fuh...Aha ha ha ha XDDD”
Hinata juga ikut-ikutan tertawa.
Melihat kedua gadis itu tertawa,
Satou terdiam kemudian sedikit tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya.
***-***
Sugata kembali berjalan di lorong rumahnya
yang gelap.
Ketika ia akan menaiki sebuah anak
tangga, pandangannya tertuju ke arah sebuah ruangan lain.
Berbeda dengan
ruangan sebelumnya yang terlihat terang dan juga rapi, ruangan yang terletak di
sudut ruangan itu terlihat gelap.
Sugata
menurunkan sebelah kakinya yang sudah menaiki anak tangga itu, kemudian membuka
pintu kamar itu lebar-lebar.
Sampah serta
berbagai bungkus makanan berserakan di mana-mana. Botol-botol minuman keras
juga tergeletak di lantai dan beberapa ada yang tumpah di atas lantai.
TV masih menyala
meskipun tak ada seorangpun di dalamnya.
Melihat
pemandangan mengerikan yang ada di hadapannya ini, Sugata terdiam sambil
memasang ekspresi kesal.
“Tch. Orang tua
itu belum pulang juga rupanya.”
Kata Sugata sambil berjalan masuk ke dalam
kamar itu.
Ia mengambil
beberapa kantong plastik kemudian memasukkan sampah-sampah yang berserakan di
mana-mana itu ke dalamnya.
Setelah selesai,
ia bangkit berdiri kemudian tidak lupa mematikan televisi.
“Setidaknya, matikan
TV-nya kalau kau sedang pergi. Itu akan mengurangi biaya listrik.”
Sugata berkata
tidak kepada siapapun tapi sangat jelas kalimat itu ditujukan untuk siapa.
Sambil membawa 2
kantong plastik berwarna putih yang telah penuh, Sugata kembali berjalan ke arah
pintu keluar, kemudian membuang sampah-sampah itu di tempat sampah.
Ia terdiam
sesaat sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamarnya.
Lantai 2 rumah
keluarga Sugata berisi sebuah kamar berukuran sangat kecil, kamar Sugata.
Dapur yang
sempit, ruang makan, kamar mandi serta 2 buah kamar yang tidak lebih luas dari
kamar Sugata, semuanya ada di lantai 1.
Perlahan, Sugata
berjalan menaiki anak tangga itu kemudian memasuki sebuah ruangan kecil di
dalamnya.
Tidak seperti
reputasinya yang buruk di kota, kamar Sugata terlihat cukup rapi untuk seorang
pemuda yang dijuluki sebagai ‘pelanggar aturan’ di kota ini meskipun ukurannya
sangat kecil.
Hanya ada satu
meja belajar kecil dan satu tempat tidur serta jendela di samping tempat
tidurnya.
Tanpa menyalakan
lampu kamarnya, Sugata menutup pintu kemudian menguncinya sehingga terdengar
bunyi ‘klik’.
Ia lalu
berbaring di atas tempat tidurnya dan membenamkan wajahnya pada bantal.
Ia menghela
nafas kemudian berkata dengan suara pelan,
“Rumah ini sangat
menyebalkan. Sekolah itu juga menyebalkan. Kota ini juga menyebalkan. Gadis itu
juga menyebalkan...”
Sugata terdiam
kemudian membalik tubuhnya perlahan.
Matanya bertemu
dengan langit-langit kamarnya yang berwarna putih.
Perlahan, ia
mengangkat sebelah tangannya ke atas.
“Tapi yang lebih
menyebalkan lagi adalah hidupku. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini?
Kenapa aku harus dilahirkan di kota yang setengah hancur ini? Kenapa, Tuhan...?”
Pertanyaan yang
sangat menyedihkan terlontar dari mulut pemuda itu.
Itu adalah
pertanyaan yang sudah berkali-kali ia ucapkan sampai bosan rasanya.
Namun apapun
yang terjadi, sampai saat ini ia belum menemukan jawabannya.
Untuk apa ia
menjalani kehidupan yang sama sekali tidak ada artinya seperti ini?
Apakah akan lebih
baik kalau ia menghilang saja dari dunia ini?
“........Iya,
ya...Kurasa itu memang yang terbaik. Apapun yang terjadi, apapun yang
kulakukan, aku sama sekali tidak bisa merasakan kalau diriku ’hidup’, di dunia
ini, di sini, di kota kecil ini. Aku sama sekali tidak menemukan sesuatu yang
berharga dan ingin kulindungi. Kalau begitu untuk apa aku hidup? Apa hanya
untuk mengeluh dan terus mengeluh seperti ini? Hanya untuk itukah aku hidup?”
Seolah meminta
jawaban kepada Tuhan, Sugata terus memandang ke arah langit-langit kamarnya,
seolah itu terhubung ke langit.
Sambil menghela
nafas, Sugata menurunkan tangannya.
“Tentu saja.
Tidak mungkin Tuhan menjawab pertanyaan orang sepertiku ini...”
Sugata bangkit
dan terduduk di atas tempat tidurnya yang berselimutkan kain berwarna biru
pucat.
Ia membuka tirai
dan cahaya matahari sore masuk ke kamar yang gelap itu.
“Ukh,
silaunya...”
Kata Sugata pelan.
Setelah matanya
bisa menyesuaikan dengan cahaya, Sugata memandangi langit sore itu.
Tiba-tiba ada
seekor burung berwarna kecoklatan yang hinggap di jendela Sugata.
Sugata tertegun
kemudian membuka jendelanya sehingga burung itu langsung terbang dan pergi
menjauh.
Sugata
memperhatikan ke arah burung itu terbang kemudian sedikit tersenyum.
“Kalau aku jadi
burung itu, pasti aku bisa terbang dan pergi dari kota ini...”
Sambil berkata
seperti itu, Sugata menutup kembali jendelanya.
“Oh ya.”
Tiba-tiba pemuda
berambut coklat itu sedikit tertegun.
“ Hari ini aku
ada kerja part-time di Cafe Hanashima-san. Lebih baik aku cepat-cepat
berangkat.”
Katanya sambil
langsung meloncat turun dari tempat tidurnya dan mengambil seragamnya di
lemari.
***-***
“Ah, disini
kamarku.”
Setelah
melihat-lihat lantai satu, Yui mengajak kedua teman barunya untuk melihat ke
lantai 2.
Rumah Yui
ternyata memang sangat luas, benar-benar terlihat seperti rumah orang kaya.
Di lantai satu
terdapat dapur yang ukurannya cukup besar dan perlengkapan memasak yang lengkap,
sebuah ruang tamu yang sangat besar, sebuah ruang makan, kamar mandi dan kamar
ibu Yui.
Di lantai 2
terdapat sebuah kamar mandi lagi yang ukurannya lebih kecil dengan yang di
lantai 1, kamar ayah Yui dan juga kamar gadis itu yang terletak di pojok
ruangan.
Begitu Yui
membuka pintu kamarnya, ekspresi wajah Satou dan Hinata langsung berubah
takjub.
“Ini kamarmu,
Yui-chan!? Luas sekali!”
Kata Hinata
kagum sambil melangkah masuk ke dalam kamar Yui yang didominasi oleh warna pink
dan juga putih.
“Ehe he, terima
kasih. Tapi, maaf kalau agak berantakan.”
Yui tersenyum
malu sambil memainkan rambut pendeknya.
”Kau terlihat
seperti seorang putri dari negeri dongeng saja.”
Puji Satou yang
langsung membuat gadis itu tersipu malu dengan wajah merah.
“Tempat tidurmu
nyaman sekali. Pasti menyenangkan kalau aku bisa tidur siang di sini setiap
saat, ha ha.”
Canda Hinata sambil mencoba berbaring di
tempat tidur Yui.
“Hey, hati-hati,
nanti kau akan membuatnya berantakan!”
Satou berkata ke arah Hinata yang langsung
menanggapinya dengan ekspresi tidak suka dan segera bangun kemudian duduk.
“Iya, iya. Aku
tahu, kok. Oh, ya, Yui-ch--................................”
Belum selesai
menyelesaikan ucapannya, Hinata terdiam dengan mulut terbuka.
Matanya
memandang ke arah beberapa boneka lucu yang ada di sisi tempat tidur Yui.
Dengan cepat, ia
segera memeluk salah satu dari boneka itu yang berbentuk beruang.
“Uwaaah!!
Lucunya! Juga sangat lembut!!!........Eh........”
Hinata langsung
menghentikan tingkahnya yang seperti anak kecil itu ketika Satou menatapnya
dengan ekspresi aneh dan Yui dengan wajah bingung.
“Akazawa-san...Aku
tidak tahu kalau kau ternyata menyukai benda-benda imut seperti itu...”
“Eh...”
“Fu fu fu,
awalnya aku kaget sekali tadi. Kupikir Hinata-chan itu lebih suka sesuatu yang
seperti olahraga. Mungkin bola basket, yang seperti ini! Atau mungkin sepak
bola, yang seperti itu! Tapi, ternyata Hinata-chan manis juga, ya~~? He he...”
Dan akhirnya,
Hinata meletakkan kembali boneka itu di tempatnya kemudian berjalan keluar
dengan aura kegelapan yang seolah berkata ‘jangan mendekat’.
“Eh...Apa aku
mengatakan sesuatu yang salah...?”
Tanya Yui
bingung.
“Ha ha ha,
kurasa tidak. Aku yakin, dia hanya malu karena sisinya yang tidak ingin ia
perlihatkan pada orang lain itu, kelihatan oleh kita berdua. Hi hi, aku sudah
tidak sabar melihat ekspresi wajah Sugata ketika aku memberitahunya nanti.”
Satou berkata dengan
senyuman super licik di wajahnya.
“A--Ano... Ada
apa dengan wajahmu, Satou-kun...?”
Siapa kau dan
apa yang kau lakukan pada Satou Koichiiro!?
“Shi shi shi, tidak apa-apa, Morisaki-san........Tapi...”
Tiba-tiba saja,
pemuda berkacamata itu tertawa.
“?”
“Itu benar-benar
tidak cocok dengan Akazawa-san. Iya’kan? Hidup seperti seorang putri...Aku sama
sekali tidak bisa membayangkan gadis yang suka menggunakan kekerasan itu
mengenakan gaun pesta yang cantik. Ha ha ha, hanya membayangkannya saja, aku
sudah ingin tertawa. benar-benar tidak cocok dengan dia.”
“Itu tidak baik,
Satou-kun.”
“Eh, apa?”
“Kurasa bukan
sesuatu yang aneh kalau Hinata-chan memiliki sisi yang seperti itu. semua gadis
pasti memiliki sisi yang lemah di balik sikapnya yang kuat. Menurutku, itu
sangat cocok untuk Hinata-chan!”
“Eh...Tapi aku
tetap berpikir kalau dia akan tampak sangat aneh dengan penampilannya yang
seperti itu.”
“Tidak aneh!”
“Aneh.”
“Tidak!”
“Aneh, ha ha.”
Mereka berduapun
terus beradu argumen mengenai ‘Hinata yang tidak cocok dan cocok sebagai
seorang putri’.
Dan tanpa mereka
sadari, Hinata mendengarkan pembicaraan mereka dari balik pintu.
“.....................”
***-***
“Selamat datang,
Anda mau pesan apa ©??”
Sambil
mengenakan seragam pelayan yang lengkap, Sugata melayani salah seorang
pelanggan dengan senyuman super ramah.
Karena kedua
orang tuanya tidak memiliki pekerjaan, maka Sugata terpaksa harus bekerja di
usianya yang masih sangat muda.
Bagi anak yang
baru saja masuk SMA sepertinya, tidak ada tempat atau perusahaan yang mau
menerima Sugata.
Apalagi
mengingat reputasinya yang buruk di kota ini, semua orang tidak ada yang berani
memperkerjakan dia, karena takut kalau pekerjaan yang Sugata lakukan tidak akan
berjalan dengan baik.
Jadi,
satu-satunya tempat yang mau menerimanya hanyalah sebuah cafe dengan pemilik
tua yang memiliki hati sebaik malaikat.
Ya, tidak ada
pemilik cafe yang sebaik Hanashima-san.
“Aku mau pesan 2
ramen.”
Salah seorang
pelanggan berkata dengan daftar menu di tangannya.
“Siap tuan!
Segera saya sediakan!! ¯”
Kata Sugata
dengan pose memberi hormat.
Memang ini
upacara?
“Ah, pelayan!
Sini, sini!”
Pelanggan lain
sepertinya sudah selesai memesan dan melambai-lambaikan tangan, isyarat untuk
Sugata supaya segera melayani pesanan mereka.
Melihat itu, Sugata
langsung berbalik ke arah mereka, tanpa mengubah sikap hormatnya yang terkesan
seperti seorang idiot itu.
“Siap! Saya
segera ke sa--Akh!! Apa yang sebenarnya sedang aku lakukan di sini sih!!!!?”
Teriak Sugata
kesal sambil membanting buku catatan untuk mencatat pesanan tiap pelanggan.
Buku yang
malang...
Sugata yang
tidak berperasaan itu membantingmu dengan keras sekali...
Seseorang, bisa
panggil ambulanc--
Akh!! Apa yang
sebenarnya sedang aku tulis di sini!!!?
[Lupakan saja 4
baris di atas itu].
“Ha ha, hari ini
kau kelihatan sangat bersemangat, Yoshi-kun.”
“Aku tidak
sedang bersemangat, Hanashima-san!! Dan apa-apaan baju pelayan yang memalukan
ini!!? Setahuku aku melamar di sini sebagai petugas cuci piring yang seperti
ini!”
Sugata berkata
sambil menirukan gaya mencuci piring seperti seorang ibu-ibu.
Ia lalu
melanjutkan komplainnya yang terkesan seperti dunia akan segera runtuh itu,
“Bukannya
seorang pelayan dengan seragam norak dan harus selalu tersenyum seperti boneka
yang biasanya dimiliki oleh anak-anak perempuan itu!!”
Ia berkata
sambil menunjukkan seragam yang ia kenakan kemudian menarik pipinya dan membuat
wajah tersenyum yang--Entah kenapa sangat mengerikan...
Namun, pria tua
yang berdiri di dekat dapur itu hanya tersenyum.
“Ha ha, bukannya
seragam itu sangat cocok untukmu, Yoshi-kun? Kau terlihat sangat tampan. Aku
yakin, gadis-gadis yang melihatmu dalam
pakaian seragam pelayan pria itu akan langsung jatuh hati pada--“
“Oh, tidak,
tidak, tidak!! TIDAK!!!! Dari sekian banyak kejadian aneh
yang terjadi hari ini, hal itulah yang sangat ingin aku hindari!! Sudah cukup
dengan bertemu gadis aneh yang kemudian ternyata dia satu sekolah denganku,
lalu ternyata dia satu kelas denganku, dan lalu--Lalu aku harus mengenakan
seragam ini!!? Tidak akan!! Aku tidak ingin ada orang yang melihatku dengan
seragam ini!! Sejak awal, aku tidak peduli dengan menarik perhatian para gadis
yang aneh itu! Aku tidak pernah tertarik ke arah sana!! Apalagi, kalau sampai
Akazawa dan Satou melihatku dengan pakaian seperti ini, aku--Aku--”
Hinata -->
Wow, sejak kapan kau hobi pakai baju pelayan, Yoshikawa?? Ha ha ha, cocok
sekali untukmu!!
Satou -->
Kalau begitu, layani aku. Aku mau 1 es sundae, satu ramen, satu teh hijau, 5
sandwich ya XDD
Hinata -->
Pelayan!! Kemari! Aku minta kopi dingin pakai es!!! Tidak pakai lama, ya!
“TIDAAAAAAAK!!! Aku lebih baik mati saja daripada mereka harus
melihatku dengan seragam pelayan seperti ini!!”
Sugata berteriak
dengan seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya
Dan--Itu tadi
panjang sekali, sudah seperti pidato penting saja.
“Oho ho, kalau
begitu, biar aku ralat perkataanku tadi. Bukannya seragam itu sangat cocok
untukmu, Yoshi-kun? Kau terlihat sangat tampan. Aku yakin, para pria muda yang melihatmu dalam pakaian seragam pelayan
pria itu akan langsung jatuh hati pada--“
“Bukan berarti
aku tertarik ke arah sana!!!”
Hanashima-san
adalah salah satu orang yang sangat sulit untuk dihadapi [Menurut Sugata].
Hanashima-san
tersenyum lembut.
“Tolong
bertahanlah untuk sementara waktu, Yoshi-kun. Salah satu pelayan yang bekerja
di cafe ini, sedang di rawat di rumah sakit. Anak itu tubuhnya memang lemah,
karena itu kadang dia jarang datang. Makanya, aku menyuruhmu untuk
menggantikannya sementara.”
“Hmph! Aku tidak
percaya padamu, Hanashima-san. Orang hebat sepertimu, yang mampu mengelola
sebuah cafe di usia yang sudah cukup tua seperti ini, bisa memperkerjakan orang
yang sakit-sakitan seperti itu? Apa kau tidak bisa membedakan mana anak muda
yang selalu olahraga lari pagi dan mana anak muda yang selalu berbaring
seharian di atas tempat tidurnya yang empuk?”
Sugata berkata
dengan nada sinis dan tidak suka.
Seharusnya,
orang yang mendengar perkataannya itu, pasti akan langsung merasa kesal dan
emosi.
Namun, pria itu
sama sekali tidak menunjukkan setitik rasa kesal di wajahnya.
“......Iya, aku
paham maksudmu, Yoshi-kun. Sebagai seorang yang profesional, seharusnya aku
bisa memilih mana karyawan terbaik yang bisa aku pekerjakan di tokoku. Tapi...”
Hanashima-san
menghentikan ucapannya, kemudian melihat ke atas.
“Di kota kecil
ini, banyak yang membutuhkan pekerjaan. Karena situasi yang tidak memungkinkan,
banyak yang akhirnya menganggur. Serta anak-anak yang ingin mendapatkan
pekerjaan demi membantu orang tua mereka yang sudah kesusahan di kota kecil ini.
Aku hanya ingin membantu mereka. Aku ini hanyalah seorang pemilik cafe kecil di
kota ini. Tidak banyak yang bisa aku lakukan. Namun, meskipun begitu, aku tetap
ingin bisa membantu semuanya dengan caraku sendiri. Setidaknya, kalau tidak ada
yang menerima orang-orang dengan pendidikan rendah, atau orang yang selalu
terbaring lemah di atas tempat tidur, aku ingin bisa menerima mereka dan
memberi mereka kesempatan. Lagipula...”
“?”
Sugata tertegun
ketika Hanashima-san menoleh ke arahnya dan tersenyum.
“Bukannya karena
itu, aku menerimamu di sini, Yoshi-kun...?”
“...................”
Di kota ini,
melihat orang-orang tinggal di rumah kecil atau bahkan melihat orang tinggal di
jalanan, sudah merupakan pemandangan yang biasa.
Orang-orang
dengan pendidikan rendah seperti mereka, yang akhirnya tidak bisa mendapatkan
pekerjaan layak.
Orang-orang
dengan masalah kesehatan yang tak kunjung sembuh.
Hanashima-san
benar.
Siapa yang mau
memperkerjakan orang-orang seperti itu di sini?
Kehidupan saja
sudah sangat sulit, masih harus menggaji orang-orang yang sama sekali tidak
berkompeten.
Semua pastinya
mencari orang sehat yang berpendidikan tinggi, supaya bisa meningkatkan hasil
usaha mereka.
Berbeda dengan
Hanashima-san, yang mau menerima orang-orang dengan penuh kekurangan di cafe
miliknya ini.
Sugata akhirnya
tidak memiliki pilihan lain, selain menghela nafas pasrah.
“Haaahh...Iya,
aku paham, Hanashima-san. Aku akan menggantikan karyawanmu yang tidak masuk
itu. Hanya untuk sementara saja, ya! Baju ini menggelikan sekali! Aku saja tidak
tahan melihat pantulan diriku ketika aku bercermin!”
Perkataan Sugata
itu, langsung ditanggapi dengan senyuman kecil oleh Hanashima-san.
“Ha ha, baiklah.
Semoga saja karyawanku itu cepat sehat. Kasihan sekali dia. Ibunya tidak
bekerja dan ayahnya hanya seorang nelayan. Aku sampai tidak habis pikir,
bagaimana cara mereka membiayai biaya rumah sakit putri mereka yang sangat
mahal itu. Mungkin, aku harus meningkatkan gajinya nanti...Hmmm.”
Kata
Hanashima-san sambil terlihat berpikir.
“Hey, hey, kalau
kau terus saja meningkatkan gajinya seperti itu, bisa-bisa kau yang
bangkrut...”
Sugata berkata
sambil mengangkat sebelah alisnya.
Hanashima-san
memang sangat baik.
Bahkan mungkin
terlalu murah hati.
“Ah, tapi kalau
kalian bekerja dengan semangat, maka penghasilanku akan semakin meningkat. Aku
sudah tidak sabar untuk memberikan promosi pada kalian semua yang sudah mau
membantuku di sini.”
Ia tersenyum.
Terlihat rasa
tulus yang amat sangat dari wajahnya.
Sugata
memperhatikan orang tua baik hati sambil mengangkat sebelah alis dan tersenyum
kecil.
“Serius deh,
Hanashima-san. Anda itu memang terlalu baik.”
Kata Sugata dan
Hanashima-san membalasnya dengan sebuah ucapan terima kasih.
Ngomong-ngomong,
Sugata baru saja menyadari satu hal.
“Karyawanmu yang
sakit-sakitan itu...Pria atau wanita?”
Meskipun bekerja
di satu tempat yang sama, Sugata ternyata tidak mengenal karyawan lain dengan
baik.
Yah...Itulah
yang akan terjadi pada setiap anti-sosial...
Mendengar itu,
Hanashima-san menjawabnya dengan senyuman.
“Kalian bekerja
di satu tempat yang sama selama beberapa bulan, tapi ternyata kau tidak
mengenalnya, ya? Aku merasa, inilah salah satu sisi hebat Yoshi-kun.”
Ia mulai
tertawa.
“Sisi hebat
apanya?”
“Kau mungkin
juga tidak tahu, kalau dia melamar di sini, tepat pada saat kau juga melamar di
sini. Memang, kau tidak pernah memperhatikan gadis-gadis muda yang manis, yang
aku pekerjakan di cafe-ku ini?? Padahal aku merasa, seragamnya sudah cukup
menggoda.”
“Aku memang
tidak tahu soal itu. Fakta bahwa selama ini aku selalu masuk lewat pintu
belakang, yang langsung menuju dapur dan menikmati kegiatan mencuci yang
tenang, kemudian pulang juga lewat pintu belakang, membuatku tidak mengenal
siapa saja orang yang bekerja di sini [Aku
juga tidak peduli soal itu]. Dan ternyata seleramu terhadap fashion itu norak, ya!? Tapi yang
membuatku lebih terkejut lagi adalah fakta bahwa kau ternyata memperkerjakan
gadis-gadis itu untuk menggoda pelangganmu!”
Semoga saja ini
tidak akan membuat kesan Sugata terhadap pria tua itu menurun drastis.
“Ha ha, aku
hanya bercanda. Dia itu seorang gadis. Umurnya masih sangat muda. Masih 16
tahun.”
Jelas
Hanashima-san.
“[16 tahun?] Satu tahun di atasku, ya?
Berarti seniorku...”
Sugata berkata
pelan sambil menopang dagu kepada dirinya sendiri.
Namun, Hanashima-san
sepertinya mendengar perkataan Sugata barusan, jadi ia segera menambahkan,
“Meskipun
begitu, karena tubuhnya yang lemah, ia pernah ketinggalan pelajaran sampai 3
bulan lebih, dan terpaksa tinggal kelas. Mungkin, dia satu tingkat denganmu
sekarang. Kudengar juga, dia masuk di SMA yang sama denganmu.”
Kata
Hanashima-san yang hanya ditanggapi dengan ‘Oh’, oleh Sugata.
Ia kelihatannya
tidak tertarik dengan cerita tentang gadis itu, jadi ia memutuskan untuk
kembali bekerja.
“Ya sudah,
Hanashima-san. Aku kembali bekerja dulu. Banyak yang harus dilayani hari ini.”
Sugata berkata
sambil berjalan menuju ke salah satu meja.
“Yoshi-kun.”
“?”
Sugata sedikit
tertegun ketika mendengar Hanashima-san memanggilnya.
Ia sedikit
menoleh ke belakang.
Hanashima-san
terdiam beberapa saat sebelum mengatakan sesuatu yang ingin ia katakan.
“..............Bagaimana
keadaan orang tuamu? Mereka sehat-sehat saja’kan?”
Tanyanya pada
akhirnya.
Mendengar
pertanyaan seperti itu, Sugata tidak bisa menahan perasaan kesal yang langsung
menumpuk di dalam dirinya.
Ia benci ketika
orang-orang membicarakan ‘kedua orang menyebalkan’ yang harus ia sebut dengan
sebutan ‘orang tua’.
Meskipun hanya
sebatas menanyakan kabar tentang mereka.
“....................”
Sugata berdiri
terdiam di tempatnya, tanpa menoleh ke arah Hanashima-san.
Ia kemudian
kembali berjalan, lalu berkata,
“.............Sama
seperti biasa.”
Dan berlalu
menuju ke meja salah satu pengunjung.
Hanshima-san
memperhatikan Sugata yang tengah melayani tamu.
Kemudian melihat
ke atas dan berkata dengan suara pelan,
“Apa yang sebenarnya
dia pikirkan tentang kedua orang tuanya itu...?”
***-***
“Waaa, masakan
buatanmu lezat sekali, Morisaki-san!”
Puji Satou
sambil mencicipi makan malam yang dibuat oleh ibu Yui.
Makan malam hari
ini adalah daging panggang.
Ibu Yui yang
mendengar pujian itu, langsung tersipu malu.
“Benarkah? Fu
fu, terima kasih.”
“Iya, bibi ini
masih muda, pandai memasak, cantik lagi. Benar-benar tipe idamanku.”
Satou berkata
sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Ah, kau ini bisa
saja, Satou-kun, aha ha ha.”
Yui ikut tertawa
mendengar perkataan Satou yang secara terang-terangan berani menggoda wanita
yang usianya jauh lebih tua darinya.
“.......................”
Tapi, hanya
Hinata yang terus terdiam, tanpa menyentuh makanan yang ada di hadapannya
sedikitpun.
“.........?”
Yui yang menoleh
ke arah Hinata, merasa aneh melihat wajahnya yang terlihat lesu.
Ia tidak dapat
menahan dirinya untuk tidak menegur gadis itu.
“Hinata-chan.”
Panggil Yui yang
langsung membuat Hinata tersentak kaget, bangun dari lamunannya
“Eh, ah, ya?
Makanannya enak sekali.”
Hinata berkata
dengan nada bicara gugup.
Semuanya
memperhatikan ke arah gadis berambut biru tua panjang sepunggung itu dengan
tatapan heran.
“Enak apanya?
Kau bahkan belum menyantapnya sedikitpun.”
Satou berkata
sambil menopang dagunya.
“Eh...? K--Kalau
begitu, aku makan, ya...”
Kata Hinata
sambil mulai menyantap makanan yang ada di depannya.
Meskipun makanan
itu terlihat sangat mewah, tapi tak terlihat rasa senang di wajah gadis itu.
Hal itu membuat
Yui semakin khawatir.
“Hinata-chan,
ada a--“
“Ada sesuatu
yang sedang kau pikirkan, Hinata-san?”
“Eh?”
Yui tertegun
karena seseorang mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang ingin dia ajukan.
Ketika dia
menoleh ke samping, ia mendapati ibunya tengah tersenyum sambil memotong daging
di piringnya.
Seolah bisa
membca pikiran Yui, ibunya kembali berkata,
“Kalau ada
sesuatu yang menganggu pikiranmu, katakan saja. Aku tidak masalah harus
mendengarnya. Yui dari tadi melihatmu dengan wajah khawatir.”
Katanya sambil
sedikit melirik ke arah Yui, yang langsung terkejut.
Hinata langsung
menatap Yui dengan wajah bersalah, ketika mendengar ucapan ibu gadis berambut
merah pendek tersebut.
“Ah, Yui-chan,
kau mengkhawatirkan aku, ya? Tapi, aku baik-baik saja, kok. Aku hanya tidak
terbiasa dengan makanan dan suasana yang sangat mewah seperti ini. Maklum,
aku’kan berasal dari kota kecil, yang tiap harinya hanya bisa makan nasi dengan
ikan saja, ha ha ha.”
Kata Hinata
sambil tertawa.
“Benar sekali
tuh, apa yang Akazawa-san bilang. Kami ini memang jarang makan-makanan yang
tergolong mewah dan mahal seperti ini. Mau makan daging saja sulitnya minta
ampun. Makanya, jangan heran kalau tubuh Sugata kurus.”
Satou
membenarkan perkataan Hinata sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Oh, begitu, ya?
Hidup di sini ternyata susah, ya? Lebih susah daripada yang aku bayangkan...Aku
jadi merasa sedih, kalau melihat kalian semua yang harus menjalani hidup
seperti itu...Rasanya, aku tidak layak untuk terus berada di kota kecil ini...”
Kata Yui pelan
sambil menundukkan kepalanya.
Melihat itu,
Satou tentu saja merasa tidak enak pada Yui dan langsung menggerak-gerakkan
kedua tangannya dengan cepat.
“Ah, bukan
seperti itu. Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu merasa sedih seperti itu,
Morisaki-san. Dan tentu saja, kau sangat layak untuk tinggal di sini! Tidak
akan ada yang mengusirmu atau apapun!!”
Satou berkata
dengan ekspresi dan nada serius yang langsung ditanggapi dengan senyuman kecil
oleh Yui.
“Syukurlah, ada
kalian yang mau menerimaku di sini...”
Kata Yui sambil
menghela nafas lega.
“Tentu saja,
kami pasti akan menerimamu di sini!”
Hinata berkata
dengan semangatnya.
Sepertinya, ia
sudah kembali jadi Hinata yang biasanya.
Dan suasana yang
tegang diantara mereka pun, perlahan-lahan mulai mencair dan semakin akrab.
“Oh, ya!”
Hinata tiba-tiba
tertegun.
“Ada apa,
Hinata-chan?”
Tanya Yui
penasaran.
Hinata tidak
menjawab pertanyaan dari Yui dan justru menoleh ke sana kemari seperti orang
yang sedang bingung mencari sesuatu.
“Dari tadi aku
penasaran, ayahmu ada di mana? Aku tidak melihatnya...”
Kata Hinata
kepada Yui.
“Oh, ayahku
sedang ada di rumah sakit.”
Jawab Yui sambil
tersenyum.
Tentu saja, mendengar
itu, Satou dan Hinata langsung berteriak keras.
“R--R--R--RUMAH SAKIIIT!!!?”
Mereka berdua
berteriak dengan histerisnya.
Duh, kompak
banget deh...
“Eh, iya.
Memangnya ada apa? [Kok kalian berdua
histeris begitu??].”
Yui menatap
Satou dan Hinata dengan ekspresi bingung.
“Ayahmu sakit
apa?? Kenapa harus di rawat di rumah sakit?!”
Kata Hinata
sambil bangkit berdiri.
“Apa? Ayahku--“
“Waah...Pasti
parah sekali! Kasihan Morisaki-san harus hidup berdua saja dengan
ibunya...Semoga ayahmu cepat sembuh, ya.”
Belum selesai
Yui bicara, Satou langsung menyelanya dan bicara dengan gaya menghapus air mata
sambil menggigit serbet putih yang ada di meja makan.
Benar-benar mirip
dengan gadis yang tengah putus cinta.
Namun, Yui
justru tertawa.
“Ha ha ha!!”
“Eh??”
Dan itu langsung
membuat kedua orang itu, Satou dan Hinata menoleh ke arah Yui bersamaan.
“Yui-chan,
kenapa kau tertawa? Ayahmu sakit kurasa itu bukan hal yang harus kau tertawakan
deh...”
Kata Hinata
tidak mengerti.
Apa ada orang
yang akan menertawakan ayahnya yang sedang sakit??
Karena itu,
bukan hal aneh kalau Hinata merasa aneh dengan sikap Yui.
“Ha ha, ayahku
tidak sedang di rawat, kok. Ayahku’kan seorang dokter.”
Jawab Yui pada
akhirnya.
Dan jawaban itu,
langsung membuat baik Satou maupun Hinata, merasakan hantaman yang luar biasa
menyakitkan tepat di wajah mereka.
“D--Dokter, ya?
Wah, a--ayahmu pasti keren sekali, Yui-chan...”
Hinata berkata
sambil berusaha menutupi wajahnya yang malu dengan sebelah tangan.
“Aha ha,
ternyata ayah Morisaki-san itu seorang dokter? Pantas saja rumahmu bisa semewah
ini. Kalau ayahku, dia cuma seorang guru SD saja.”
Berlawanan
dengan Hinata yang merasa malu akibat ucapannya tadi, Satou justru berkata
dengan santai, seolah tidak terjadi apapun.
“Wah, guru SD,
ya? Bibi dulu juga seorang guru.”
Ibu Yui
bergabung dalam pembicaraan.
Ia sepertinya
memang wanita yang sangat ramah.
Terlihat dari
sikapnya yang bisa dengan leluasa dan tidak merasa canggung, mengobrol dengan
sahabat-sahabat putrinya.
Satou tersenyum
ke arah ibu Yui.
“Ho ho, jadi
bibi ini juga seorang guru? Wah, kalau saja seandainya ayahku lebih dulu bertemu
dengan bibi, kalian pasti akan jadi pasangan yang serasi. Ibuku orangnya galak
siiiiiiiiiiihh!!!”
Tiba-tiba, Satou
berteriak dengan nada tinggi, langsung membuat Yui dan ibunya tertegun.
Penyebabnya
tidak lain adalah, Hinata yang ternyata menancapkan garpu ke tangan Satou
dengan keras.
“Kau itu bicara
apa?! Enak saja bicaramu itu! Yang sopan dong sama orang tua!! Ah, bibi, tidak
usah kau dengarkan ucapan si kacamata bodoh ini!”
Kata Hinata
dengan menegaskan kata ‘Si kacamata bodoh’, sementara Satou langsung memegangi
tangannya yang sakit sambil berteriak ‘Akazawa-san kejam!!’, yang tentu saja
dan sudah pasti, tidak ditanggapi oleh Hinata.
Yui dan ibunya
hanya bisa menatap, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Hinata terkadang
bisa sangat menyeramkan.
Yui melanjutkan,
“Dulu, ayahku
bekerja di salah satu rumah sakit besar di kota.”
“Apa di sana
peralatannya lengkap? Pasti tidak seperti di sini’kan?”
Tanya Hinata.
Yui terlihat
berpikir.
“Hmm...Memang
sih...Tapi, karena itulah, ayahku memutuskan untuk pindah kemari. Karena rumah
sakit di sini tidak lengkap, ayahku membawa beberapa peralatan dari kota dan
memutuskan untuk membangun rumah sakit ini dari awal. Dengan membawa harapan,
supaya orang-orang di sini bisa hidup dengan baik.”
Satou dan Hinata
mendengarkan cerita Yui dengan seksama.
“Hoo...Mulai
sekali ayahmu. Ia rela meninggalkan pekerjaannya di kota besar demi penduduk di
kota kecil ini. Aku salut, lho.”
Yang pertama
kali berkomentar adalah Satou.
Meskipun belum
bertemu dengan ayah Yui, tapi mereka berdua langsung tahu, kalau ia adalah
orang yang baik, sama seperti istri dan putrinya.
Benar-benar
keluarga yang bahagia.
“Bagaimana
denganmu, Hinata-san? Apa pekerjaan orang tuamu?”
Tanya ibu Yui
sambil tersenyum.
Bukannya
menjawab, Hinata justru merasa agak kaget.
Seharusnya
pertanyaan seperti itu bisa dijawab dengan mudah.
Namun, Hinata
justru kelihatan bingung dan gugup.
“A--Aku...Aku
sekarang tinggal dengan paman dan juga bibiku...”
Hinata menjawab
dengan nada dan ekspresi sedih.
“Memangnya,
orang tuamu ke mana?”
Ibu Yui kembali
melontarkan pertanyaan.
Tanpa mereka
semua sadari, tubuh Hinata sedikit bergetar.
Satou yang
melihat ekspresi tersiksa di wajah sahabat perempuannya itu, memejamkan mata
kemudian menghela nafas.
Ia lalu membuka
kedua matanya kembali dan menghadap ke arah ibu Yui dan putrinya.
“Begini, kedua
orang tua Akazawa-san sudah meninggal saat dia masih kecil.”
Kata Satou, yang
membuat Yui dan ibunya tersentak kaget.
“Orang tua
Hinata-chan...”
Yui berkata
dengan wajah tidak percaya sambil menutup mulutnya.
Sambil
menundukkan kepalanya, Hinata menyambung perkataan Yui.
“Iya, orang
tuaku...Sudah lama meninggal...”
Suaranya
terdengar bergetar.
“Ah, maaf, bibi
tidak tahu. Seharusnya aku tidak bertanya soal itu. M--Maaf, ya, Hinata-san...”
Ibu Yui berusaha
meminta maaf.
Bagaimanapun
juga, ia yang suda membuka luka masa lalu Hinata yang berusaha ia pendam
jauh-jauh.
Tidak ada hal
yang ia rasakan selain perasaan bersalah.
“................”
Di sisi lain,
Yui terdiam di tempatnya.
Tangannya yang
masih menggenggam garpu dan pisau, tiba-tiba terasa lemas.
Kedua peralatan
makan itupun, jatuh ke meja makan dan menimbulkan suara yang nyaring.
Hinata yang
mendengar suara itu, langsung mengangkat wajahnya.
Matanya yang
berwarna biru gelap, bertemu dengan mata Yui yang berwarna merah tua, warna
yang sama dengan rambutnya.
Hanya saja,
bukan lagi pancaran kebaikan, maupun kepolosan dari gadis yang baru saja ia
kenal itu, yang ia lihat di matanya.
Melainkan sorot
kesedihan.
perlahan, air
mata mulai menetes dari mata gadis manis itu.
“Y--Yui-chan??!
Kenapa kau menangis??”
Hinata terlihat
kebingungan dengan Yui yang tiba-tiba menangis.
Sambil berusaha
mengusap air matanya, Yui berbicara dengan suara pelan.
“M--Maaf...Aku
sama sekali tidak tahu kalau orang tua Hinata-chan sudah meninggal...Hiks...Jujur
saja, a--aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi
kalau--Kalau seandainya, ayah dan ibuku pergi meninggalkanku...Hiks...Pasti
Hinata-chan sedih, ya...? Hiks...Aku, malah dengan senangnya menceritakan
tentang ayahku...Hinata-chan pasti jadi teringat lagi’kan...? Uh...Aku
benar-benar jahat...Hiks...Hiks...”
“......................”
Hinata hanya
bisa memperhatikan Yui, yang entah kenapa jutsru menangis untuk dirinya dan
seolah bisa merasakan perasaannya.
Ia tersenyum
kecil ke arah Yui sambil berpikir ‘Ah, dia gadis yang baik’, kemudian berkata,
“Ha ha, Yui-chan
itu aneh, ya?”
“Eh?”
Yui tertegun
ketika Hinata tertawa.
“Kenapa kau yang justru menangis? Aku tidak
apa-apa, kok. Lagipula...”
Hinata menghentikan
ucapannya dan melihat ke bawah.
Beberapa detik
kemudian, ia kembali mengangkat wajahnya lagi.
“Itu’kan sudah
lama sekali. Sudah jadi masa lalu.”
Ekspresi sedih
yang sebelumnya menghiasi wajahnya, menghilang.
“Hinata-chan...”
“Selain itu, aku
juga senang waktu Yui-chan menceritakan banyak hal tentang keluargamu. Aku
langsung bisa merasakan, kalau keluarga ini, benar-benar keluarga sempurna yang
diinginkan oleh semua orang. Seorang ibu yang baik hati, seorang ayah yang
memiliki rasa kepedulian besar terhadap orang-orang lain disekelilingnya, di
tambah lagi, dengan adanya putri yang mampu melihat sesuatu dari sisi yang
tidak bisa dilihat oleh orang lain, kau adalah orang pertama, yang mengatakan
padaku bahwa kota kecil ini adalah kota yang indah. Kau benar-benar berbeda,
Yui-chan. Keluargamu ini, benar-benar menakjubkan!! Aku senang bisa mengenal
keluargamu dan juga dirimu lebih dekat lagi!”
HInata, berkata
dengan seluruh perasaan yang ada di dalam hatinya.
Semua yang ada
di dalam ruangan itu, langsung bisa merasakan kebaikan dari kata-kata gadis
tersebut.
Rasaya seperti
ada sinar berwarna keemasan yang berkilauan di sekitar gadis berambut panjang
itu.
Tiba-tiba saja--
“Eh?!”
Yui terlihat
kaget, seolah habis melihat sesuatu yang tidak biasa.
“Kau terlihat
terkejut, Morisaki-san, ada apa?”
Satou yang
menyadari ekspresi terkejut di wajah Yui, langsung melayangkan pertanyaan ke
arah gadis berambut pendek sebahu itu.
“....................”
Yui terdiam
sesaat, tapi, pandangannya sama sekali tidak beralih dari Hinata.
“Eh, kenapa kau
melihatku seperti itu, Yui-chan? Memang ada nasi di wajahku?”
Kata Hinata
sambil meraba-raba bagian bawah mulutnya, berusaha menemukan nasi yang
menempel.
“..............T--Tidak
ada apa-apa...Kurasa aku hanya salah lihat saja...”
“[Salah lihat?] Memang apa yang kau
lihat?”
Kata Satou
penasaran sambil mengalihkan pandangan dari Yui ke arah Hinata.
Entah kenapa, ia
bisa merasakan sesuatu yang aneh dari perkataan Yui barusan.
“[Morisaki-san bilang salah lihat...Tapi, apa
yang dia lihat?].”
Pikir pemuda
berkacamata itu dalam hati, sambil memperhatikan ke sekeliling Hinata dengan
seksama.
Namun, ia tidak
bisa menemukan hal apa yang mungkin di lihat oleh Yui tadi, maka Satou melihat
tepat ke arah Hinata sambil menyipitkan sebelah mata agar lebih fokus.
“Hm? A--“
Hinata yang
merasa bahwa Satou terus saja menatapnya sejak tadi, otomatis, langsung
melayangkan tatapan tajam ke arah Satou dengan wajah merah.
“A--A--A--A--A--Apa
yag kau lihat!!? Ukh, dasar hentai!!!”
Teriak Hinata
sambil menyilangkan tangan di depan dada, seolah berusaha melindungi tubuhnya
agar tidak dilihat-lihat XDD.
Yah, Hinata
memang memiliki dada yang lebih besar dibanding Yui.
Tak heran kalau
ada laki-laki yang rela meluangkan waktu demi memandang ke arah ‘bagian
terlarang itu’.
Dan tentu saja,
Satou langsung meloncat kaget ketika melihat reaksi Hinata yang seperti itu.
Dengan cepat, ia
menggelengkan kepalanya dan berkata,
“B--Bukan
seperti itu, Akazawa-san!! Aku tidak bermaksud melihat ‘bagian itu’!
Se--Serius!!”
Kata Satou
berusaha membela dirinya sendiri.
Wajahnya berubah
menjadi merah seperti kepiting rebus.
“La--Lalu apa
yang kau lihat!!!!? Me-Me-Memangnya aku bisa percaya padamu setelah kau
melihatku dengan tatapan mesum seperti itu!!?”
Hinata berteriak
kemudian bangkit berdiri dan menggebrak meja dengan keras.
Dia terus
berusaha menyerang Satou sampai K.O.
“Sudah aku
bilang bukan seperti itu!! Dan, itu bukan ‘tatapan mesum’!!! Aku hanya
melihatmu dengan tatapan biasa, kok!”
Satou ikut
berdiri dan menggebrak meja, kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Hinata yang
berada di sampingnya.
Hinata langsung
memasang tampang iblisnya.
“Oh,ya!? Kalau
begitu, tatapanmu itu memang mesum!!”
“SUDAH HENTIKAN KALIAN BERDUA!!! DI MEJA MAKAN DILARANG BERKELAHIIII!!!!”
“Eh....?”
Hinata dan Satou
yang sebelumnya saling berteriak, dan berhadapan, langsung menoleh ke arah
sumber suara itu, yang ternyata berasal dari ibu Yui yang kini telah bangkit
berdiri sambil meletakkan kedua tangan di atas meja.
Sementara itu,
Yui yang masih tidak percaya bahwa wanita lembut di sampingnya itu baru saja
berteriak dengan keras, langsung menarik baju ibunya sambil berkata ‘I--Ibu,
ayo duduk...’.
Setelah ketiga
orang itu kembali dudul Hinata dan satou sama-sama meminta maaf dan menundukkan
kepala.
“Maaf, kami sudah
berisik. Padahal kalian sudah berbaik hati mengundang kami makan malam bersama,
tapi kami malah menganggu. Maaf.”
Kata mereka
serempak sambil menundukkan kepala.
“Sudah, sudah.
Aku juga minta maaf karena sudah berteriak pada kalian tadi.”
Ibu Yui memaafkan
mereka berdua sambil tersenyum kecil.
Satou kemudian
menghela nafas dan menggaruk sebelah pipinya.
“Maaf’kan aku
juga, Akazawa-san. Aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya
penasaran dengan apa yang Morisaki-san lihat tadi. Soalnya, dia kelihatan
terkejut sekali.”
Katanya sambil
sedikit melirik ke arah Hinata yang duduk di sampingnya.
Kemudian, ia
mengalihkan pandangannya ke arah Yui.
“Jadi, apa yang
sebenarnya kau lihat tadi, morisaki-san? Apa itu hantu?”
“H--Hantu!!??”
Hinata langsung meloncat
kaget begitu mendengar kata ‘hantu’.
Sementara itu,
Yui hanya tersenyum sambil menjawab dengan suara pelan,
“Bukan, kok.
Sepertinya aku melihat sesuatu, tapi mungkin hanya perasaanku saja, he he he.
Kadang aku suka begitu sih...”
Yui berkata
sambil menggaruk rambutnya yang pendek.
Setelah
mendengar penjelasan dari Yui, Satou langsung mengaguk-anggukan kepalanya
sambil berkata ‘Oh, begitu...’, dengan suara pelan.
“Kalau begitu,
kami pamit pulang dulu saja. Sudah malam nih!”
Kata Hinata
sambil kembali bangkit dari kursinya, kemudian mengambil tas-nya.
“Eh, sudah mau
pulang? Yah, padahal aku masih ingin kalian ada di sini...”
Yui menundukkan
kepalanya tanda kecewa.
Karena Yui
adalah anak tunggal, ia seringkali merasa kesepian.
Sudah beberapa
kali ia meminta adik kepada ibunya, tapi wanita yang memiliki warna rambut sama
dengan Yui itu hanya menjawab ‘Nanti saja, kalau ayahmu ada waktu luang’.
Ia merasa sangat
senang ketika Hinata dan Satou berkunjung, karena sebelumnya belum pernah ada
orang yang berkunjung ke rumahnya dan menceritakan banyak hal seperti saat ini.
Bukan sesuatu
yang aneh, kalau ia merasa kehilangan ketika mereka berdua akan pulang ke rumah
masing-masing.
Hinata yang
melihat itu, langsung meletakkan tangannya di atas kepala Yui, yang membuat
gadis itu tertegun dan melihat ke arahnya.
“Jangan sedih,
Yui-chan. Besok kami pasti akan mampir ke kelasmu!”
Kata Hinata
dengan lembut.
“Benarkah? Aku
senang sekali kalau begitu!”
Yui berkata
dengan senyuman lebar di wajahnya.
“Kita juga akan
sering-sering mampir ke rumahmu, kok.”
HInata
menambahkan sambil meletakkan tangannya dipinggang.
Mendengar itu,
Yui, tentu saja langsung bertambah senang.
“Wah, aku senang
sekali kalau begitu! Tapi...”
Yui menghentikan
ucapannya, kemudian menundukkan kepala.
Wajahnya
terlihat malu dan memerah.
“Mu--Mungkin
lain kali, kalian bisa mengajak Sugata-kun ke sini juga.”
Katanya dengan
suara yang pelan sambil memainkan jari-jarinya yang mungil dan langsung membuat
Satou dan Hinata melompat kaget.
“Kau ingin
Yoshikawa datang kemari?? Apa tidak salah? Dia itu’kan sepertinya tidak suka
kamu. Bisa bahaya kalau dia datang ke sini nanti. Semua barangmu bisa
dihancurkan!”
Kata Hinata yang
kemudian berkata ‘Aku akan hancurkan rumahmu sampai hancur lebur! Akan kuambil
semua barang-barang mewahmu dan kujual!! Setelah itu, aku akan pergi dari kota
ini!! Ha ha ha!!!’, sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya ke arah Yui.
Sepertinya dia
sedang menirukan apa yang kira-kira akan Sugata lakukan kalau dia sampai mampir
ke rumah Yui.
Dan mungkin
saja, kejadian itu memang akan terjadi...
Di cafe
Hanashima...
Sugata :
Hatsyii!! Hatsyi!!!
Hanashima-san :
Kau baik-baik saja, Yoshi-kun?
Sugata : Tidak
tau, ya. Tapi rasanya ada yang bicara tidak enak tentang aku deh...Hatsyii!
Kembali ke rumah
keluarga Morisaki...
“Heee??? Tidak
mungkin! Sugata-kun tidak mungkin melakukan hal seperti itu!”
Kata Yui
berusaha membela Sugata.
“Kenapa kau bisa
berkata seperti itu? Kau’kan belum mengenalnya.”
Tanya Hinata
sambil mengangkat sebelah alis.
“Eh--??
A--I--Itu--“
Dan rupanya,
pertanyaan itu sukses membuat Yui panik.
Setelah menghela
nafas beberapa kali dan kembali tenang, Yui menjawab pertanyaan itu, tanpa
melihat ke arah orang yang sudah mengajukan pertanyaan itu untuknya.
“.........Ya...Yah...Aku
tahu saja. Menurutku, Sugata-kun itu...Bukan orang yang akan melakukan hal
seperti itu...Kurasa...Dia baik...[Dia
menolongku saat Kanzaki-san sedang menggodaku saat itu].”
Jawab Yui
malu-malu.
“Baik?
Hm...Sepertinya Akazawa-san benar tentangmu, Morisaki-san.”
Tiba-tiba Satou
berkata sambil menopang dagu, sementara Yui berkata ‘Eh?’.
Ia melanjutkan
perkataannya,
“Kau adalah
orang yang bisa melihat sesuatu dari sudut yang berbeda dari orang kebanyakan.
Seperti caramu memandang kota ini dan juga caramu memandang Sugata. Suatu saat
nanti, aku yakin kalau kebaikanmu ini akan menyentuh hati laki-laki keras
kepala itu. Dan sepertinya...”
Satou
menghentikan ucapannya, kemudian menatap Yui dan tersenyum.
“Kau mungkin
satu-satunya orang yang bisa melakukan hal itu.”
“............Apa...Maksudmu,
Satou-kun?”
Tanya Yui sambil
sedikit memiringkan kepalanya.
“Ha ha ha, bukan
apa-apa, kok. Kalau begitu, kami berdua pulang dulu. Selamat malam,
Morisaki-san. Selamat malam, Bi.”
Satou bangkit
berdiri dari kursinya, kemudian membungkukkan badan dan mengucap salam.
“Hey, kau mau
pergi begitu saja dan menggantung pertanyaan Yui-chan padamu? Koichiiro! Tunggu
aku!!”
Kata Hinata sambil
berdiri dan mengejar Satou yang tidak merespon ucapannya, melainkan terus
berjalan sambil menyenandungkan lagu lama yang mungkin hanya diketahui oleh orang-orang
tua.
“Ah!”
Hinata tertegun,
kembali berbalik.
“Selamat malam,
Yui-chan. selamat malam, Bibi. Terima kasih atas makan malamnya.”
Ia berkata
sambil membungkukkan tubuhnya, kemudian berkata ‘Koichiiro! Kubilang tunggu
aku!’, sambil mengacungkan tinjunya.
Yui dan ibunya
yang masih berada di dalam ruang makan, melambaikan tangan ke arah mereka berdua.
“Mereka
anak-anak yang baik. Meskipun kota ini kecil, tak kusangka ada anak-anak sebaik
mereka. Kau sudah mendapatkan teman-teman yang baik, Yui.”
Ibu Yui berkata
sambil mengusap pelan kepala Yui dengan lembut.
Yui mengangguk.
“Iya, mereka
memang teman-teman yang baik.”
Jawabnya
singkat.
Dari sana,
mereka bisa mendengar Hinata dan Satou bercakap-cakap, meskipun mereka tidak
bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan.
Tiba-tiba saja,
terdengar jerit kesakitan yang mirip dengan suara Satou.
Tunggu, mungkin
memang suara Satou.
Sepertinya
mereka sedang memperdebatkan sesuatu dan Hinata pasti melakukan kekerasan lagi.
Ibu Yui sedikit
tertawa.
“Sepertinya...Bukan
ide buruk kita pindah ke kota Hanasaki ini.”
Katanya sambil
tersenyum.
“..................”
Yui hanya
terdiam.
Ia lalu
mengalihkan pandangannya yang sejak tadi terus memandang ke arah satou dan
Hinata pergi, ke atas langit-langit yang berwarna putih.
Tanpa ia sadari,
pikirannya melayang ke ‘masa lalu’.
“[Suatu hari...]
[ Yang sangat jauh dari hari ini]
[Hari di mana,]
[Benih bunga yang telah tertanam pada diriku,]
[Mulai tumbuh dan mekar untuk yang pertama
kalinya]
[Memancarkan warna yang indah, di mana
terdapat kebahagiaan dan juga harapan].”
Ia kemudian
memejam mata sambil meletakkan tangannya di atas dada.
Lalu tersenyum
dengan lembut dan berkata dengan suara pelan,
“Tentu saja.
Bagaimanapun juga, aku sudah diselamatkan oleh kota ini...”
***-***
“Haah...Lelahnya...Hari
ini aku capek sekali...”
Kata Sugata
sambil berjalan menuju ke arah rumahnya.
Hari itu,
pekerjaan Sugata selesai tepat pukul 20.00.
Usai bekerja, ia
mengucapkan selamat tinggal pada Hanashima-san, yang dengan baik hatinya
memberikan 3 buah bento untuk makan malam Sugata dan keluarganya.
Sebenarnya, ia
tidak perlu repot-repot harus melakukan itu.
Apalagi,
Hanashima-san tinggal dengan putranya yang sudah beristri dan telah memiliki 3
orang anak yang masih kecil.
Sugata merasa
kalau lebih baik Pria tua itu memberikan bento itu pada keluarganya, tapi ia
bersikeras untuk memberikannya kepada Sugata.
‘Kau masih muda,
Yoshi-kun. Harus banyak makan yang banyak! Masalah keluargaku, aku masih
memiliki bahan-bahan makanan yang tersisa di lemari es. Itu saja cukup. Kalau
aku, tidak perlu makan banyak-banyak. Aku’kan sudah tua, ha ha’.
Itu yang ia
katakan ketika Sugata bermaksud mengembalikan bento tersebut.
Hanashima-san
juga mengatakan, kalau ia merasa pada Sugata karena harus memasak setelah
bekerja keras.
Jadi, ia tidak
punya pilihan lain selain membawanya pulang.
“Aku pulang.”
Kata Sugata
sambil menggeser pintu rumahnya.
Begitu sampai di
rumah, bahkan ketika ia kembali mengucapkan kalimat ‘Aku pulang’, tak ada
seorangpun yang menjawab ataupun hanya sekedar melihat keluar, untuk melihat
siapa yang datang.
Ia terdiam
sejenak.
Pandangannya
tertuju ke dalam tempat yang orang-orang sebuat dengan ‘rumah’.
Tapi bagi
Sugata, hidup di dalam tempat kecil itu, lebih buruk dari neraka.
Berkali-kali ia
terus menguatkan diri dan hatinya untuk kembali ke rumah ini.
Namun, di saat
yang sama, keinginan untuk pergi selalu menyelimuti hatinya.
Tidak ada yang
menginginkan ataupun menganggap dirinya
di rumah ini.
Tidak ada
siapapun yang berharga untuknya di dalam rumah ini.
“.........[Hidupku diawali dari rumah ini. Dan selalu
akan berakhir di dalamnya. Kapan rantai yang terus berulang itu akan terputus?
Kapan aku bisa--] ?”
Saat itu,
tiba-tiba seorang anak laki-laki muncul dari dalam rumah sambil berlarian
dengan gembiranya.
“......................”
Sugata hanya
berdiri terdiam, tidak bergerak, matanya terus memperhatikan gerak-gerak anak
berambut coklat itu yang terus bergerak dengan lincahnya.
“Onii-chan, tunggu!”
“........!!?”
Ia tertegun
begitu melihat sosok yang mengikuti anak laki-laki tersebut.
Suaranya yang
kecil terdengar dengan jelas di telinga Sugata.
Seorang anak
perempuan, yang beberapa tahun lebih muda dari anak laki-laki itu, mengejar
dari belakang.
Dan hanya dengan
melihat anak perempuan itu, tubuh Sugata mulai bergetar.
“[Tidak, ini tidak nyata--]”
“Aha ha, ayo, kejar aku, ---!!”
Mulut anak
laki-laki itu terbuka, mengucapkan sebuah kata.
Tapi Sugata
tidak bisa menangkap bagian terakhir dari ucapan anak itu.
Meskipun begitu,
ia tidak berharap bisa mendengarnya.
“[Jangan--].”
“Jangan cepat-cepat dong! Nanti aku jatuh!”
Anak perempuan
itu terus berlari, berusaha menangkap si bocah laki-laki.
Rambut merah
tuanya yang diikat ponytail, menari-nari tertiup angin yang lembut.
“Huuu, --- kau memang lambat!”
“[Jangan sebut nama itu--Aku tidak ingin
mendengarnya--].”
Bahkan ketika anak laki-laki dan gadis misterius
itu berlari melewatinya, Sugata masih terpaku di tempatnya semula.
“......................”
Begitu ia
sadari, keringat sudah membasahi hampir seluruh wajahnya.
Ketika suara
langkah kaki itu tidak terdengar lagi, perlahan, Sugata menoleh ke belakang,
melihat apakah anak-anak itu sudah menghilang.
Di sana tidak
ada siapapun, bahkan tidak mungkin seorang anak kecil bisa menghilang di tengah
kegelapan malam secepat itu, seolah mereka tidaklah nyata.
Setelah beberapa
saat, akhirnya Sugata menghela nafas pelan, kemudian berjalan masuk ke dalam
rumahnya.
Baru beberapa
langkah, ia lalu menoleh ke salah satu ruangan yang tertutup, kamar ibunya.
“............................”
Ia tidak
melakukan apapun, melainkan hanya berdiam diri di depan pintu.
Tak ada suara
orang yang biasanya akan berkata ‘Ah, sedang apa kau di depan kamarku? Ayo,
masuk’, melainkan hanya suasana yang hening dan tenang.
Sugata lalu
mendekatkan tangannya ke arah pintu, dan menggesernya dengan perlahan.
Di dalam sana,
ruangan terlihat lebih gelap karena matahari sudah tak nampak lagi.
Namun, bahkan
setelah sekian lama sejak Sugata pulang dari sekolah, sampai pulang dari
pekerjaannya, posisi ibu Sugata sama sekali tidak berubah.
Ia masih duduk
di atas lantai yang dingin.
Dengan pandangan
kosong yang mengarah pada ‘sesuatu’.
“.....................”
Sugata
memperhatikan ibunya dari balik pintu dengan tatapan tidak suka, yang jika bisa
berkata, akan mengatakan sesuatu seperti ‘Sampai kapan kau ingin seperti ini
terus!? Menyebalkan’.
Ketika ia secara
tidak sengaja melihat ke bawah, pandangannya tertuju pada kantong plastik yang
berisi bento pemberian Hanashima-san.
“...Haah...”
Dengan malasnya,
ia lalu membuka pintu itu lebih lebar lagi, kemudian berjalan masuk ke
dalamnya.
Ibu Sugata, seolah
tidak menyadari kehadiran putranya itu, sama sekali tidak menoleh ke arah
Sugata sedikitpun.
Melirikpun
tidak.
Ia terlihat
seperti orang yang menganggap Sugata itu adalah hantu, sehingga tidak bisa
bicara ataupun berinteraksi dengannya.
Ia hanya duduk
dan terdiam.
Hanya itu yang
dilakukannya.
Pemuda berambut
coklat itu, sepertinya sama sekali tidak peduli, karena hal ini bukan sekali
atau 2 kali sudah dialaminya.
“......................”
Sugata
memperhatikan ibunya itu dari jarak dekat untuk beberapa saat, sebelum
akhirnya, ia mengambil satu kotak bento dari dalam kantong plastik, dan
meletakkannya di depan ibunya.
Tapi, ibu Sugata
tidak menunjukkan ketertarikan sedikitpun.
Arah yang dituju
oleh kedua matanya masih saja sama.
Perlahan, Sugata
menoleh ke arah yang selalu dituju oleh kedua pasang bola mata ibunya yang
terlihat sayu.
“....................”
Dan akhirnya,
tanpa mengatakan apapun, Sugata berbalik pergi meninggalkan ibunya sendirian
dalam kegelapan.
Pada saat Sugata
melangkah keluar dari kamar ibunya--
Tap Tap Tap
“!!”
Suara langkah
kaki terdengar dari arah luar.
Beberapa detik
kemudian pintu rumah tersebut kembali terbuka.
“.................”
Sosok yang
muncul dari balik kegelapan, tak lain adalah seorang pria, dengan rambut coklat
yang berantakan.
Kemeja yang ia
kenakan juga terlihat tidak rapi, serta dasi yang ia kenakan hampir saja
terlepas.
Ia berjalan
dengan sempoyongan, dan sesekali hampir menabrak dinding.
Terlihat dari
sebotol bir di tangannya, sepertinya sedang mabuk.
Dan,
Yang terdengar
selanjutnya adalah,
Suara teriakan,
Suara jeritan,
Kemudian, suara
botol yang pecah menghantam sesuatu...
***-***
A/N : Hai, minna XDD
Yeey, akhirnya Hana no Uta Chapter 3 update XDD
Buat ch yang ini, aku sama ga nyangka kalau bakal jadi sepanjang ini//plaak
Pokoknya, setelah ini Hana no Uta mungkin bakal rajin update, soalnya aku udah menemukan konsep ceritanya seperti apa he he he ^^
Maaf kalau mungkin terlalu membosankan atau memang mainstream banget nih cerita...
Sankyuu!!
Next Chapter : Chapter -XXX-
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar