Kamis, 13 November 2014

Story : Hana no Uta Chapter 3



 Story : Hana no Uta Chapter 3

 *Read : 
                 Chapter 1

                 Chapter -XXX-

                 Chapter 2

                 Chapter -XXX-

* Read Another Stories :

            

Ini adalah kota kecil Hanasaki.
Semua orang yang tinggal di dalam lingkaran kota ini, menyebut kota ini sebagai ‘kota tanpa harapan’.

“Ah, sayang sekali, ya, Yui-chan. Kita berdua tidak sekelas. Padahal aku ingin sekali sekelas denganmu. Huh, kenapa juga dari sekian banyak murid, kau harus satu kelas dengan si bodoh itu?”
Kalau mendengar ini, si bodoh itu--maksudnya Sugata, pasti akan langsung berteriak ‘Siapa juga yang mau satu kelas dengan dia!!???’ sambil menunjuk ke arah Yui.
“Hi hi.”
 Tiba-tiba, Yui tertawa kecil.
“Hm?”
 Hinata dan Satou yang mendengar tawa Yui langsung tertegun dan menoleh ke arah gadis itu.
“Tidak seperti itu. Aku senang, kok. Bisa satu kelas dengan Sugata-kun. He he.”
Kata Yui sambil tersenyum bahagia.
“Se--Serius?”
 Hinata bertanya seolah tidak percaya dengan ucapan Yui.
“Hm. Menurutku, Sugata-kun itu bukan orang yang jahat. Ah, sudah dulu ya. Aku harus kembali ke kelas.”
 Yui berkata sambil tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Hinata dan Satou.
 Sementara itu, Hinata dan Satou melambaikan tangan ke arah Yui dengan wajah bingung.
Dan bel tanda pulang pun berbunyi.
HANA NO UTA
[Song of Flower]
Chapter 3
2 Keluarga

“Aku pulang.”
Sore itu ketika pelajaran sekolah berkahir, Sugata Yoshikawa langsung berjalan menuju ke arah rumahnya seorang diri tanpa didampingi oleh Satou yang biasanya selalu menemaninya.
‘Dia pasti akan pulang bersama dengan Akazawa dan Morisaki’ pikir Sugata yang membuatnya lebih memilih untuk pulang sendiri daripada harus beramai-ramai seperti itu.
Meskipun ia tidak tahu apakah ia benar-benar ingin ‘pulang’ ke rumah kecil yang sudah tua itu dan bertemu dengan ‘kedua orang’ tidak penting tersebut.
Sugata membuka pintu rumahnya dengan tidak semangat.
“.................”
Tak ada seorangpun yang membalas sapaannya.
Tapi Sugata tidak mempedulikan hal itu dan mempermasalahkannya.
Karena hal ini sudah biasa terjadi ketika ia mengucapkan salam baik saat akan pergi ataupun kembali ke rumah.
Ia sendiri bahkan tidak tahu kenapa ia terus mengucapkan salam meskipun orang-orang rumah tidak ada yang mau membalasnya.
Entahlah.
Cahaya matahari sore terlihat membelakangi dirinya, membuat rumah yang terlihat gelap itu menjadi terkena pancaran cahayanya.
Namun itu hanya terjadi untuk beberapa saat, sampai pintu itu kembali tertutup.
Dengan perlahan, pemuda berambut coklat itu berjalan masuk dan melepas sepatunya.
Kemudian ia berjalan menyusuri lorong yang gelap dan berjalan di atas lantai kayu sehingga menimbulkan suara berdecit.
“..............”
Ketika melewati sebuah ruangan yang sedikit terbuka, cahaya berwarna putih terlihat keluar dari celah yang terbuka dari pintu itu.
Perlahan, Sugata membuka pintu itu sedikit kemudian mengintip ke dalamnya.
Di sana, ada seorang wanita yang mungkin berumur sekitar 40-tahunan, sedang duduk di lantai kayu yang dingin.
Rambutnya sudah agak tipis dan rontok, membuat umurnya terlihat lebih tua.
Pandangan matanya kosong, seolah tidak ada apapun yang terpantul di bola matanya itu.
Tidak ada ekspresi yang tergambar di wajahnya, baik itu sedih, senang maupun kesal.
Hanya terus-menerus menatap ke ‘sesuatu’ yang ada di depannya tanpa ada maksud untuk melihat ke arah lain.
Sugata tidak mengatakan apapun.
Namun ekspresinya terlihat sangat sedih dan juga tertekan melihat kondisi wanita yang seperti tidak memiliki harapan hidup itu lagi.
Ia terdiam sesaat di tempatnya berdiri tanpa berhenti mengamati wanita itu.
Wanita itu seperti tidak menyadari kehadiran Sugata.
Atau mungkin ia tidak peduli dengan kehadiran pemuda berambut coklat itu.
Di rumah ini, tidak ada yang peduli ‘siapa yang pergi ke mana, jam berapa, dengan siapa’ dan ‘siapa yang pulang’.
Bahkan jika salah satu dari ketiga orang yang menghuni rumah yang sangat kecil ini tidak pulang sehari atau bahkan lebih, tidak ada yang peduli.
Karena juga mereka tidak saling bicara atau melihat satu sama lain kecuali ketika sedang berkumpul di satu meja makan, yang biasanya berakhir dengan kesunyian atau bahkan pertengkaran.
“...................”
Tidak tahu harus berbuat dan mengatakan apa, Sugata menutup pintu itu tanpa mengatakan apapun.
***-***
“Papa! Mama! Aku pulang!!”
Sambil berteriak dengan riangnya, gadis itu, dengan rambut merah tua pendek sebahu yang menari-nari dengan indahnya tertiup oleh angin, Morisaki Yui, membuka pintu rumahnya.
Rumah Yui terlihat cukup besar dan nyaman dengan dinding berwarna putih.
Di hadapannya sudah ada seorang wanita muda yang kelihatan masih sangat cantik dengan rambut berwarna sama seperti Yui yang panjang sepunggung dan diikat ponytail.
Wanita itu tersenyum.
Kelihatannya orang yang sangat ramah.
Ia berjalan ke arah Yui dan menyambutnya.
“Ah, kau sudah pulang, Yui? Bagaimana? Hari pertamamu menyenangkan?”
Yui tersenyum manis.
“Ehe he, hari pertamaku sangat menyenangkan! Bahkan aku sudah memiliki teman-teman yang baik! Ah, mama, mama! Perkenalkan mereka teman-temanku.”
Sambil berkata seperti itu, Yui menunjuk ke arah pintu sambil bergeser sedikit agar ibunya bisa melihat tamu yang datang tersebut.
Di di depan pintu, sudah berdiri Akazawa Hinata dan Satou Koichiiro.
Akazawa Hinata, rambut nya berwarna biru tua yang panjang sepunggung berbeda dengan rambut Yui yang pendek.
Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Yui yang memang cukup pendek untuk anak SMA.
Wajahnya terlihat cukup manis dan ia anak yang baik [Meskipun terkadang ia suka bertengkar dengan Sugata tanpa sebab dan alasan yang jelas dan suka menyuruh-nyuruh orang lain melakukan sesuatu untuknya].
Ia juga pandai bergaul dan cepat akrab bahkan dengan orang yang baru di kenalnya.
Satou Koichiiro, rambutnya pendek berwarna putih dan tidak lebih panjang dari Sugata.
Ia memakai kacamata yang identik dengan anak pintar.
Satou memang cukup pintar jika dilihat dari penampilannya yang rapi dan juga sopan.
Nilanya di sekolahnya dulu juga cukup tinggi dan selalu dipercaya untuk menjadi ketua kelas.
Ia juga bertanggung jawab dan setia kawan.
Terbukti dari meskipun reputasi Sugata di kota dan di sekolahnya buruk, Satou tidak meninggalkannya dan tetap menjadi satu-satunya orang yang mau mengerti dan memahami pemuda itu sehingga mereka bisa berteman sampai sekarang [Tapi apakah Sugata menganggap Satou sebagai sahabatnya atau bukan...Hal itu masih belum diselidiki dan masih menjadi misteri sampai saat ini].
Tapi apapun yang terjadi, satou terus berjanji pada Sugata bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan dirinya hanya karena orang-orang lain menjauhinya.
Ibunya yang tidak menyadari keberadaan mereka berdua sejak tadi, agak sedikit tertegun karena tiba-tiba ada orang lain di sana.
Ia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya dan tersenyum.
“Ah, jadi mereka teman-temanmu, ya? Kelihatannya anak yang baik dan juga manis~”
 Pujinya.
“Ahaha, Bibi bisa saja memujinya.”
Hinata berkata dengan wajah merona dan tersenyum malu meskipun ia tidak tahu kata ‘manis’ itu ditujukan untuknya untuk atau tidak sementara Satou hanya menunduk lemah melihat tingkah sahabat satu SMP-nya itu yang seperti anak kecil.
Hinata memang terkadang galak dan suka bersikap seperti bos yang menyuruh-nyuruh seenaknya [waktu festival kebudayaan SMP,  ia dengan santainya menyuruh murid-murid lain membawakan ini dan itu, padahal dia sendirinya hanya duduk sambil santai-santai. Sugata dan Satou saksi matanya].
Tapi ia paling lemah kalau dipuji.
Maka dari itu, kalau kalian secara tidak sengaja bertemu dengan gadis bernama Akazawa Hinata di tengah jalan, pujilah dia, dan dia pasti akan melepaskanmu dari cengkeramannya//plaaak.
“Perkenalkan, aku Satou Koichiiro. Dan gadis ini Akaza--Agh!!”
Belum selesai Satou memperkenalkan Hinata, gadis itu menginjak kakinya dengan sangat keras dan itu otomatis membuat ibu Yui kaget.
“Kau itu! Biarkan aku memperkenalkan diriku sendiri!! Huh!”
Hinata memalingkan mukanya dari Satou yang masih berusaha menahan rasa sakit yang teramat sangat di kakinya, kemudian langsung tersenyum dengan manis ke arah ibu Yui.
“Ah, selamat sore, Bi. Aku Akazawa Hinata, he he.”
“Y--Ya, Selamat sore...”
 Kata ibunya [sweatdrop] sambil berusaha tersenyum dan mempersilahkan kedua anak itu untuk masuk.
Begitu masuk ke dalam rumah keluarga Morisaki, Hinata dan Satou langsung terkejut.
Bagaimanapun rumah ini cukup bahkan mungkin sangat besar untuk orang yang tinggal di kota kecil ini.
Rumah keluarga Morisaki memang tergolong cukup mewah jika dibandingkan dengan rumah-rumah lain di Hanasaki.
“Uwaaah!! Rumahmu besar sekali, Morisaki-san!! Aku sampai takjub, lho~~!!”
 Kata Satou terkagum-kagum sambil tak berhenti-hentinya mengamati seluruh perabotan di rumah Yui.
“Ah, biasa saja, kok.”
Jawab Yui tersenyum malu sambil menggaruk rambutnya.
“Tidak, tidak!! Ini kebalikan dari ‘biasa’! Ini luar biasa!! Ini adalah rumah paling bagus yang pernah aku lihat di kota ini. Bahkan sejak aku melihat halaman rumahmu ini, aku langsung mengetahui kalau kau adalah orang kaya!!! Iya’kan, Akazawa-san?!”
Masih dengan wajah berbinar-binar, Satou berkata ke arah Hinata.
“Eh...Iya...”
 Jawab Hinata pelan.
“Akazawa-san...?”
“Ah, maksudku...Ya! Rumah ini sangat bagus!!”
Kata Hinata lagi, kali ini dengan suara lebih keras dan dengan senyuman di wajahnya.
“Iya’kan? Sudah kuduga kau akan berpikiran hal yang sama denganku!”
Satou lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah Yui,
“Tapi, Morisaki-san, bagaimana bisa kau tinggal di rumah sebagus ini? Setahuku, di Hanasaki, tidak ada rumah sebesar ini. Ah, tapi rumah walikota Shibutani juga sangat besar dan mewah. Yah..Dia’kan walikota Hanasaki, jadi sudah sewajarnya kalau sangat kaya...”
“Sebenarnya, rumah ini sudah mulai dibangun sebelum aku dan keluargaku memutuskan untuk pindah kemari.”
Cerita Yui.
“Pindah kemari...? Pindah kemari!? Tunggu dulu, Yui-chan!”
 Tanpa alasan yang jela, Hinata tiba-tiba berteriak dan itu membuat Satou kaget.
“Ya?”
“Pindah kemari itu maksudnya...Kamu bukan berasal dari Hanasaki?!”
 Tanya gadis berambut biru tua itu ke arah Yui.
Yui terdiam sesaat kemudian membuat ekspresi yang seolah berkata ‘Oh ya, aku lupa menceritakannya’ dan tersenyum malu.
Yui bersandar di dinding kemudian melihat ke atas sedikit.
“Sebelumnya, aku dan keluargaku tinggal di kota yang sangat besar. Namun karena pekerjaan ayahku, kami terpaksa pindah kemari. Begitu ceritanya, he he.”
Satou dan Hinata terdiam sesaat.
Namun ekspresi mereka terlihat agak sedih.
Yui dan keluarganya ternyata berasal dari kota besar tidak seperti Hanasaki.
Dan sekarang ini gadis itu juga harus merasakan penderitaan yang seharusnya tidak ia rasakan ketika tinggal di kota besar.
Dengan kata lain, Yui dan keluarganya telah terjebak di kota kecil ini.
“Kota yang besar, ya? Pasti menyenangkan sekali...”
 Kata Satou pelan sambil sedikit tersenyum.
“Iya, memang sangat menyenangkan.”
Yui membalas senyuman Satou.
Hinata menghela nafas pelan.
“Tapi...Apa tidak sayang? Di kota besar’kan semuanya serba nyaman. Semuanya ada. Tidak seperti di sini. Kehidupan di sini sangat sulit. Pasti akan berat untukmu tinggal di kota ini...Seharusnya kau tetap tinggal di kota besar saja.”
Gadis berambut merah tua pendek itu berpikir sejenak.
Beberapa saat kemudian ia tersenyum.
“Tidak juga.”
“Eh?”
 Kata Hinata dan Satou bersamaan.
“Justru sebaliknya. Aku merasa senang bisa pindah ke kota ini.”
Jawab Yui yang membuat kedua sahabat itu merasa terkejut.
Seseorang yang baru saja pindah kemari dan baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini...Berkata bahwa ia merasa senang?
Bagaimana mungkin?
“Itu tidak mungkin. Apa bagusnya bisa pindah ke kota kecil ini?”
Hinata berkata dengan nada tidak suka, tapi tetap berusaha tersenyum.
“Hmmm....Apa, ya? Ah, di sini sangat indah!”
 Kata Yui.
“Indah?”
 Satou sedikit memiringkan kepalanya.
“Hm! Di sini benar-benar indah. Berbeda sekali dengan di kota besar! Di kota besar banyak kendaraan dan udaranya sudah tercemar oleh polusi udara. Tapi di Hanasaki, udaranya benar-benar segar! Oh ya, tapi yang lebih penting lagi, pemandangan di sini benar-benar luar biasa! Kalian tahu? Di kota sudah banyak pabrik-pabrik.  Jujur saja, aku sudah bosan melihat yang seperti itu. Tapi, di sini! Kita bisa melihat gunung-gunung menjulang tinggi ke langit. Ada hutan kecil juga di belakang sekolah. Tapi, yang paling membuatku menyukai tempat ini adalah padang bunga itu...”
Satou dan Hinata hanya mampu terdiam ketika melihat gadis itu dengan ekspresi sangat bahagia menceritakan semua hal yang ia sukai di Hanasaki.
Perlahan, kedua anak penduduk Hanasaki itu melihat ke atas.
Benar juga.
Ada banyak hal di Hanasaki yang tidak dimiliki oleh kota-kota besar.
Hanasaki sebenarnya kota yang sangat indah.
Pemandangan yang indah, laut, hutan-hutan, hewan-hewan yang berlarian ke sana-kemari dengan riangnya, burung-burung yang bernyanyi dengan indahnya serta...
Padang bunga berwarna keemasan yang seolah bisa menyebarkan kebahagiaan hanya bagi yang melihatnya.
Namun mata mereka semua telah dibutakan oleh kehidupan sengsara dan juga penderitaan.
Mereka tidak mampu melihat keindahan yang ada di kota kecil ini.
Tiap saat hanya mampu untuk menyalahkan dan berkata buruk tentangnya.
Satou dan Hinata menghela nafas bersamaan kemudian tersenyum kecil.
“Yah...Kurasa ucapanmu itu ada sedikit benarnya...”
 Kata Satou.
Yui tersenyum.
“Benar’kan? Lagipula...Karena aku pindah ke kota ini, aku jadi bisa bertemu dengan kalian berdua. Saat SMP, aku sama sekali tidak memiliki seorang teman. Karena itu aku benar-benar senang ketika kalian mau menjadi temanku.”
“Y--Yui-chan...A--Aku juga senang bisa bertemu denganmu di sini dan menjadi temanmu!”
 Kata Hinata sambil langsung memeluk Yui dengan erat.
“Aku juga senang bisa bertemu denganmu, Morisaki-san.”
Satou berjalan ke arah mereka berdua tapi baru beberapa langkah, Hinata langsung menatapnya dengan tatapan seperti hewan buas.
“Apa...? Ke--Kenapa kau menatapku seperti itu!?”
“Kau mau ikut berpelukan dengan kami’kan? Tak’kan kubiarkan kau menyentuh tubuh kami!!”
“Siapa juga yang mau melakukannyaaaaaaa!!!!!!!???”
 Satou berteriak dengan ekspresi kesal di wajahnya kemudian menghentakkan kakinya ke lantai dengan keras.
Melihat itu, Yui tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa.
“Aha ha!!”
“Mo--Morisaki-san...”
“Fuh...Aha ha ha ha XDDD”
Hinata juga ikut-ikutan tertawa.
Melihat kedua gadis itu tertawa, Satou terdiam kemudian sedikit tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya.
***-***
Sugata kembali berjalan di lorong rumahnya yang gelap.
Ketika ia akan menaiki sebuah anak tangga, pandangannya tertuju ke arah sebuah ruangan lain.
Berbeda dengan ruangan sebelumnya yang terlihat terang dan juga rapi, ruangan yang terletak di sudut ruangan itu terlihat gelap.
Sugata menurunkan sebelah kakinya yang sudah menaiki anak tangga itu, kemudian membuka pintu kamar itu lebar-lebar.
Sampah serta berbagai bungkus makanan berserakan di mana-mana. Botol-botol minuman keras juga tergeletak di lantai dan beberapa ada yang tumpah di atas lantai.
TV masih menyala meskipun tak ada seorangpun di dalamnya.
Melihat pemandangan mengerikan yang ada di hadapannya ini, Sugata terdiam sambil memasang ekspresi kesal.
“Tch. Orang tua itu belum pulang juga rupanya.”
 Kata Sugata sambil berjalan masuk ke dalam kamar itu.
Ia mengambil beberapa kantong plastik kemudian memasukkan sampah-sampah yang berserakan di mana-mana itu ke dalamnya.
Setelah selesai, ia bangkit berdiri kemudian tidak lupa mematikan televisi.
“Setidaknya, matikan TV-nya kalau kau sedang pergi. Itu akan mengurangi biaya listrik.”
Sugata berkata tidak kepada siapapun tapi sangat jelas kalimat itu ditujukan untuk siapa.
Sambil membawa 2 kantong plastik berwarna putih yang telah penuh, Sugata kembali berjalan ke arah pintu keluar, kemudian membuang sampah-sampah itu di tempat sampah.
Ia terdiam sesaat sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamarnya.
Lantai 2 rumah keluarga Sugata berisi sebuah kamar berukuran sangat kecil, kamar Sugata.
Dapur yang sempit, ruang makan, kamar mandi serta 2 buah kamar yang tidak lebih luas dari kamar Sugata, semuanya ada di lantai 1.
Perlahan, Sugata berjalan menaiki anak tangga itu kemudian memasuki sebuah ruangan kecil di dalamnya.
Tidak seperti reputasinya yang buruk di kota, kamar Sugata terlihat cukup rapi untuk seorang pemuda yang dijuluki sebagai ‘pelanggar aturan’ di kota ini meskipun ukurannya sangat kecil.
Hanya ada satu meja belajar kecil dan satu tempat tidur serta jendela di samping tempat tidurnya.
Tanpa menyalakan lampu kamarnya, Sugata menutup pintu kemudian menguncinya sehingga terdengar bunyi ‘klik’.
Ia lalu berbaring di atas tempat tidurnya dan membenamkan wajahnya pada bantal.
Ia menghela nafas kemudian berkata dengan suara pelan,
“Rumah ini sangat menyebalkan. Sekolah itu juga menyebalkan. Kota ini juga menyebalkan. Gadis itu juga menyebalkan...”
Sugata terdiam kemudian membalik tubuhnya perlahan.
Matanya bertemu dengan langit-langit kamarnya yang berwarna putih.
Perlahan, ia mengangkat sebelah tangannya ke atas.
“Tapi yang lebih menyebalkan lagi adalah hidupku. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini? Kenapa aku harus dilahirkan di kota yang setengah hancur ini? Kenapa, Tuhan...?”
Pertanyaan yang sangat menyedihkan terlontar dari mulut pemuda itu.
Itu adalah pertanyaan yang sudah berkali-kali ia ucapkan sampai bosan rasanya.
Namun apapun yang terjadi, sampai saat ini ia belum menemukan jawabannya.
Untuk apa ia menjalani kehidupan yang sama sekali tidak ada artinya seperti ini?
Apakah akan lebih baik kalau ia menghilang saja dari dunia ini?
“........Iya, ya...Kurasa itu memang yang terbaik. Apapun yang terjadi, apapun yang kulakukan, aku sama sekali tidak bisa merasakan kalau diriku ’hidup’, di dunia ini, di sini, di kota kecil ini. Aku sama sekali tidak menemukan sesuatu yang berharga dan ingin kulindungi. Kalau begitu untuk apa aku hidup? Apa hanya untuk mengeluh dan terus mengeluh seperti ini? Hanya untuk itukah aku hidup?”
Seolah meminta jawaban kepada Tuhan, Sugata terus memandang ke arah langit-langit kamarnya, seolah itu terhubung ke langit.
Sambil menghela nafas, Sugata menurunkan tangannya.
“Tentu saja. Tidak mungkin Tuhan menjawab pertanyaan orang sepertiku ini...”
Sugata bangkit dan terduduk di atas tempat tidurnya yang berselimutkan kain berwarna biru pucat.
Ia membuka tirai dan cahaya matahari sore masuk ke kamar yang gelap itu.
“Ukh, silaunya...”
 Kata Sugata pelan.
Setelah matanya bisa menyesuaikan dengan cahaya, Sugata memandangi langit sore itu.
Tiba-tiba ada seekor burung berwarna kecoklatan yang hinggap di jendela Sugata.
Sugata tertegun kemudian membuka jendelanya sehingga burung itu langsung terbang dan pergi menjauh.
Sugata memperhatikan ke arah burung itu terbang kemudian sedikit tersenyum.
“Kalau aku jadi burung itu, pasti aku bisa terbang dan pergi dari kota ini...”
Sambil berkata seperti itu, Sugata menutup kembali jendelanya.
“Oh ya.”
Tiba-tiba pemuda berambut coklat itu sedikit tertegun.
“ Hari ini aku ada kerja part-time di Cafe Hanashima-san. Lebih baik aku cepat-cepat berangkat.”
Katanya sambil langsung meloncat turun dari tempat tidurnya dan mengambil seragamnya di lemari.
***-***
“Ah, disini kamarku.”
Setelah melihat-lihat lantai satu, Yui mengajak kedua teman barunya untuk melihat ke lantai 2.
Rumah Yui ternyata memang sangat luas, benar-benar terlihat seperti rumah orang kaya.
Di lantai satu terdapat dapur yang ukurannya cukup besar dan perlengkapan memasak yang lengkap, sebuah ruang tamu yang sangat besar, sebuah ruang makan, kamar mandi dan kamar ibu Yui.
Di lantai 2 terdapat sebuah kamar mandi lagi yang ukurannya lebih kecil dengan yang di lantai 1, kamar ayah Yui dan juga kamar gadis itu yang terletak di pojok ruangan.
Begitu Yui membuka pintu kamarnya, ekspresi wajah Satou dan Hinata langsung berubah takjub.
“Ini kamarmu, Yui-chan!? Luas sekali!”
Kata Hinata kagum sambil melangkah masuk ke dalam kamar Yui yang didominasi oleh warna pink dan juga putih.
“Ehe he, terima kasih. Tapi, maaf kalau agak berantakan.”
Yui tersenyum malu sambil memainkan rambut pendeknya.
”Kau terlihat seperti seorang putri dari negeri dongeng saja.”
Puji Satou yang langsung membuat gadis itu tersipu malu dengan wajah merah.
“Tempat tidurmu nyaman sekali. Pasti menyenangkan kalau aku bisa tidur siang di sini setiap saat, ha ha.”
 Canda Hinata sambil mencoba berbaring di tempat tidur Yui.
“Hey, hati-hati, nanti kau akan membuatnya berantakan!”
 Satou berkata ke arah Hinata yang langsung menanggapinya dengan ekspresi tidak suka dan segera bangun kemudian duduk.
“Iya, iya. Aku tahu, kok. Oh, ya, Yui-ch--................................”
Belum selesai menyelesaikan ucapannya, Hinata terdiam dengan mulut terbuka.
Matanya memandang ke arah beberapa boneka lucu yang ada di sisi tempat tidur Yui.
Dengan cepat, ia segera memeluk salah satu dari boneka itu yang berbentuk beruang.
“Uwaaah!! Lucunya! Juga sangat lembut!!!........Eh........”
Hinata langsung menghentikan tingkahnya yang seperti anak kecil itu ketika Satou menatapnya dengan ekspresi aneh dan Yui dengan wajah bingung.
“Akazawa-san...Aku tidak tahu kalau kau ternyata menyukai benda-benda imut seperti itu...”
“Eh...”
“Fu fu fu, awalnya aku kaget sekali tadi. Kupikir Hinata-chan itu lebih suka sesuatu yang seperti olahraga. Mungkin bola basket, yang seperti ini! Atau mungkin sepak bola, yang seperti itu! Tapi, ternyata Hinata-chan manis juga, ya~~? He he...”
Dan akhirnya, Hinata meletakkan kembali boneka itu di tempatnya kemudian berjalan keluar dengan aura kegelapan yang seolah berkata ‘jangan mendekat’.
“Eh...Apa aku mengatakan sesuatu yang salah...?”
Tanya Yui bingung.
“Ha ha ha, kurasa tidak. Aku yakin, dia hanya malu karena sisinya yang tidak ingin ia perlihatkan pada orang lain itu, kelihatan oleh kita berdua. Hi hi, aku sudah tidak sabar melihat ekspresi wajah Sugata ketika aku memberitahunya nanti.”
Satou berkata dengan senyuman super licik di wajahnya.
“A--Ano... Ada apa dengan wajahmu, Satou-kun...?”
Siapa kau dan apa yang kau lakukan pada Satou Koichiiro!?
 “Shi shi shi, tidak apa-apa, Morisaki-san........Tapi...”
Tiba-tiba saja, pemuda berkacamata itu tertawa.
“?”
“Itu benar-benar tidak cocok dengan Akazawa-san. Iya’kan? Hidup seperti seorang putri...Aku sama sekali tidak bisa membayangkan gadis yang suka menggunakan kekerasan itu mengenakan gaun pesta yang cantik. Ha ha ha, hanya membayangkannya saja, aku sudah ingin tertawa. benar-benar tidak cocok dengan dia.”
“Itu tidak baik, Satou-kun.”
“Eh, apa?”
“Kurasa bukan sesuatu yang aneh kalau Hinata-chan memiliki sisi yang seperti itu. semua gadis pasti memiliki sisi yang lemah di balik sikapnya yang kuat. Menurutku, itu sangat cocok untuk Hinata-chan!”
“Eh...Tapi aku tetap berpikir kalau dia akan tampak sangat aneh dengan penampilannya yang seperti itu.”
“Tidak aneh!”
“Aneh.”
“Tidak!”
“Aneh, ha ha.”
Mereka berduapun terus beradu argumen mengenai ‘Hinata yang tidak cocok dan cocok sebagai seorang putri’.
Dan tanpa mereka sadari, Hinata mendengarkan pembicaraan mereka dari balik pintu.
“.....................”
***-***
“Selamat datang, Anda mau pesan apa ©??”
Sambil mengenakan seragam pelayan yang lengkap, Sugata melayani salah seorang pelanggan dengan senyuman super ramah.
Karena kedua orang tuanya tidak memiliki pekerjaan, maka Sugata terpaksa harus bekerja di usianya yang masih sangat muda.
Bagi anak yang baru saja masuk SMA sepertinya, tidak ada tempat atau perusahaan yang mau menerima Sugata.
Apalagi mengingat reputasinya yang buruk di kota ini, semua orang tidak ada yang berani memperkerjakan dia, karena takut kalau pekerjaan yang Sugata lakukan tidak akan berjalan dengan baik.
Jadi, satu-satunya tempat yang mau menerimanya hanyalah sebuah cafe dengan pemilik tua yang memiliki hati sebaik malaikat.
Ya, tidak ada pemilik cafe yang sebaik Hanashima-san.
“Aku mau pesan 2 ramen.”
Salah seorang pelanggan berkata dengan daftar menu di tangannya.
“Siap tuan! Segera saya sediakan!! ¯
Kata Sugata dengan pose memberi hormat.
Memang ini upacara?
“Ah, pelayan! Sini, sini!”
Pelanggan lain sepertinya sudah selesai memesan dan melambai-lambaikan tangan, isyarat untuk Sugata supaya segera melayani pesanan mereka.
Melihat itu, Sugata langsung berbalik ke arah mereka, tanpa mengubah sikap hormatnya yang terkesan seperti seorang idiot itu.
“Siap! Saya segera ke sa--Akh!! Apa yang sebenarnya sedang aku lakukan di sini sih!!!!?”
Teriak Sugata kesal sambil membanting buku catatan untuk mencatat pesanan tiap pelanggan.
Buku yang malang...
Sugata yang tidak berperasaan itu membantingmu dengan keras sekali...
Seseorang, bisa panggil ambulanc--
Akh!! Apa yang sebenarnya sedang aku tulis di sini!!!?
[Lupakan saja 4 baris di atas itu].
“Ha ha, hari ini kau kelihatan sangat bersemangat, Yoshi-kun.”
“Aku tidak sedang bersemangat, Hanashima-san!! Dan apa-apaan baju pelayan yang memalukan ini!!? Setahuku aku melamar di sini sebagai petugas cuci piring yang seperti ini!”
Sugata berkata sambil menirukan gaya mencuci piring seperti seorang ibu-ibu.
Ia lalu melanjutkan komplainnya yang terkesan seperti dunia akan segera runtuh itu,
“Bukannya seorang pelayan dengan seragam norak dan harus selalu tersenyum seperti boneka yang biasanya dimiliki oleh anak-anak perempuan itu!!”
Ia berkata sambil menunjukkan seragam yang ia kenakan kemudian menarik pipinya dan membuat wajah tersenyum yang--Entah kenapa sangat mengerikan...
Namun, pria tua yang berdiri di dekat dapur itu hanya tersenyum.
“Ha ha, bukannya seragam itu sangat cocok untukmu, Yoshi-kun? Kau terlihat sangat tampan. Aku yakin, gadis-gadis  yang melihatmu dalam pakaian seragam pelayan pria itu akan langsung jatuh hati pada--“
“Oh, tidak, tidak, tidak!! TIDAK!!!! Dari sekian banyak kejadian aneh yang terjadi hari ini, hal itulah yang sangat ingin aku hindari!! Sudah cukup dengan bertemu gadis aneh yang kemudian ternyata dia satu sekolah denganku, lalu ternyata dia satu kelas denganku, dan lalu--Lalu aku harus mengenakan seragam ini!!? Tidak akan!! Aku tidak ingin ada orang yang melihatku dengan seragam ini!! Sejak awal, aku tidak peduli dengan menarik perhatian para gadis yang aneh itu! Aku tidak pernah tertarik ke arah sana!! Apalagi, kalau sampai Akazawa dan Satou melihatku dengan pakaian seperti ini, aku--Aku--”

Hinata --> Wow, sejak kapan kau hobi pakai baju pelayan, Yoshikawa?? Ha ha ha, cocok sekali untukmu!!
Satou --> Kalau begitu, layani aku. Aku mau 1 es sundae, satu ramen, satu teh hijau, 5 sandwich ya XDD
Hinata --> Pelayan!! Kemari! Aku minta kopi dingin pakai es!!! Tidak pakai lama, ya!

TIDAAAAAAAK!!! Aku lebih baik mati saja daripada mereka harus melihatku dengan seragam pelayan seperti ini!!”
Sugata berteriak dengan seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya
Dan--Itu tadi panjang sekali, sudah seperti pidato penting saja.
“Oho ho, kalau begitu, biar aku ralat perkataanku tadi. Bukannya seragam itu sangat cocok untukmu, Yoshi-kun? Kau terlihat sangat tampan. Aku yakin, para pria muda  yang melihatmu dalam pakaian seragam pelayan pria itu akan langsung jatuh hati pada--“
“Bukan berarti aku tertarik ke arah sana!!!”
Hanashima-san adalah salah satu orang yang sangat sulit untuk dihadapi [Menurut Sugata].
Hanashima-san tersenyum lembut.
“Tolong bertahanlah untuk sementara waktu, Yoshi-kun. Salah satu pelayan yang bekerja di cafe ini, sedang di rawat di rumah sakit. Anak itu tubuhnya memang lemah, karena itu kadang dia jarang datang. Makanya, aku menyuruhmu untuk menggantikannya sementara.”
“Hmph! Aku tidak percaya padamu, Hanashima-san. Orang hebat sepertimu, yang mampu mengelola sebuah cafe di usia yang sudah cukup tua seperti ini, bisa memperkerjakan orang yang sakit-sakitan seperti itu? Apa kau tidak bisa membedakan mana anak muda yang selalu olahraga lari pagi dan mana anak muda yang selalu berbaring seharian di atas tempat tidurnya yang empuk?”
Sugata berkata dengan nada sinis dan tidak suka.
Seharusnya, orang yang mendengar perkataannya itu, pasti akan langsung merasa kesal dan emosi.
Namun, pria itu sama sekali tidak menunjukkan setitik rasa kesal di wajahnya.
“......Iya, aku paham maksudmu, Yoshi-kun. Sebagai seorang yang profesional, seharusnya aku bisa memilih mana karyawan terbaik yang bisa aku pekerjakan di tokoku. Tapi...”
Hanashima-san menghentikan ucapannya, kemudian melihat ke atas.
“Di kota kecil ini, banyak yang membutuhkan pekerjaan. Karena situasi yang tidak memungkinkan, banyak yang akhirnya menganggur. Serta anak-anak yang ingin mendapatkan pekerjaan demi membantu orang tua mereka yang sudah kesusahan di kota kecil ini. Aku hanya ingin membantu mereka. Aku ini hanyalah seorang pemilik cafe kecil di kota ini. Tidak banyak yang bisa aku lakukan. Namun, meskipun begitu, aku tetap ingin bisa membantu semuanya dengan caraku sendiri. Setidaknya, kalau tidak ada yang menerima orang-orang dengan pendidikan rendah, atau orang yang selalu terbaring lemah di atas tempat tidur, aku ingin bisa menerima mereka dan memberi mereka kesempatan. Lagipula...”
“?”
Sugata tertegun ketika Hanashima-san menoleh ke arahnya dan tersenyum.
“Bukannya karena itu, aku menerimamu di sini, Yoshi-kun...?”
“...................”
Di kota ini, melihat orang-orang tinggal di rumah kecil atau bahkan melihat orang tinggal di jalanan, sudah merupakan pemandangan yang biasa.
Orang-orang dengan pendidikan rendah seperti mereka, yang akhirnya tidak bisa mendapatkan pekerjaan layak.
Orang-orang dengan masalah kesehatan yang tak kunjung sembuh.
Hanashima-san benar.
Siapa yang mau memperkerjakan orang-orang seperti itu di sini?
Kehidupan saja sudah sangat sulit, masih harus menggaji orang-orang yang sama sekali tidak berkompeten.
Semua pastinya mencari orang sehat yang berpendidikan tinggi, supaya bisa meningkatkan hasil usaha mereka.
Berbeda dengan Hanashima-san, yang mau menerima orang-orang dengan penuh kekurangan di cafe miliknya ini.
Sugata akhirnya tidak memiliki pilihan lain, selain menghela nafas pasrah.
“Haaahh...Iya, aku paham, Hanashima-san. Aku akan menggantikan karyawanmu yang tidak masuk itu. Hanya untuk sementara saja, ya! Baju ini menggelikan sekali! Aku saja tidak tahan melihat pantulan diriku ketika aku bercermin!”
Perkataan Sugata itu, langsung ditanggapi dengan senyuman kecil oleh Hanashima-san.
“Ha ha, baiklah. Semoga saja karyawanku itu cepat sehat. Kasihan sekali dia. Ibunya tidak bekerja dan ayahnya hanya seorang nelayan. Aku sampai tidak habis pikir, bagaimana cara mereka membiayai biaya rumah sakit putri mereka yang sangat mahal itu. Mungkin, aku harus meningkatkan gajinya nanti...Hmmm.”
Kata Hanashima-san sambil terlihat berpikir.
“Hey, hey, kalau kau terus saja meningkatkan gajinya seperti itu, bisa-bisa kau yang bangkrut...”
Sugata berkata sambil mengangkat sebelah alisnya.
Hanashima-san memang sangat baik.
Bahkan mungkin terlalu murah hati.
“Ah, tapi kalau kalian bekerja dengan semangat, maka penghasilanku akan semakin meningkat. Aku sudah tidak sabar untuk memberikan promosi pada kalian semua yang sudah mau membantuku di sini.”
Ia tersenyum.
Terlihat rasa tulus yang amat sangat dari wajahnya.
Sugata memperhatikan orang tua baik hati sambil mengangkat sebelah alis dan tersenyum kecil.
“Serius deh, Hanashima-san. Anda itu memang terlalu baik.”
Kata Sugata dan Hanashima-san membalasnya dengan sebuah ucapan terima kasih.
Ngomong-ngomong, Sugata baru saja menyadari satu hal.
“Karyawanmu yang sakit-sakitan itu...Pria atau wanita?”
Meskipun bekerja di satu tempat yang sama, Sugata ternyata tidak mengenal karyawan lain dengan baik.
Yah...Itulah yang akan terjadi pada setiap anti-sosial...
Mendengar itu, Hanashima-san menjawabnya dengan senyuman.
“Kalian bekerja di satu tempat yang sama selama beberapa bulan, tapi ternyata kau tidak mengenalnya, ya? Aku merasa, inilah salah satu sisi hebat Yoshi-kun.”
Ia mulai tertawa.
“Sisi hebat apanya?”
“Kau mungkin juga tidak tahu, kalau dia melamar di sini, tepat pada saat kau juga melamar di sini. Memang, kau tidak pernah memperhatikan gadis-gadis muda yang manis, yang aku pekerjakan di cafe-ku ini?? Padahal aku merasa, seragamnya sudah cukup menggoda.”
“Aku memang tidak tahu soal itu. Fakta bahwa selama ini aku selalu masuk lewat pintu belakang, yang langsung menuju dapur dan menikmati kegiatan mencuci yang tenang, kemudian pulang juga lewat pintu belakang, membuatku tidak mengenal siapa saja orang yang bekerja di sini [Aku juga tidak peduli soal itu]. Dan ternyata seleramu terhadap fashion itu norak, ya!? Tapi yang membuatku lebih terkejut lagi adalah fakta bahwa kau ternyata memperkerjakan gadis-gadis itu untuk menggoda pelangganmu!”
Semoga saja ini tidak akan membuat kesan Sugata terhadap pria tua itu menurun drastis.
“Ha ha, aku hanya bercanda. Dia itu seorang gadis. Umurnya masih sangat muda. Masih 16 tahun.”
Jelas Hanashima-san.
“[16 tahun?] Satu tahun di atasku, ya? Berarti seniorku...”
Sugata berkata pelan sambil menopang dagu kepada dirinya sendiri.
Namun, Hanashima-san sepertinya mendengar perkataan Sugata barusan, jadi ia segera menambahkan,
“Meskipun begitu, karena tubuhnya yang lemah, ia pernah ketinggalan pelajaran sampai 3 bulan lebih, dan terpaksa tinggal kelas. Mungkin, dia satu tingkat denganmu sekarang. Kudengar juga, dia masuk di SMA yang sama denganmu.”
Kata Hanashima-san yang hanya ditanggapi dengan ‘Oh’, oleh Sugata.
Ia kelihatannya tidak tertarik dengan cerita tentang gadis itu, jadi ia memutuskan untuk kembali bekerja.
“Ya sudah, Hanashima-san. Aku kembali bekerja dulu. Banyak yang harus dilayani hari ini.”
Sugata berkata sambil berjalan menuju ke salah satu meja.
“Yoshi-kun.”
“?”
Sugata sedikit tertegun ketika mendengar Hanashima-san memanggilnya.
Ia sedikit menoleh ke belakang.
Hanashima-san terdiam beberapa saat sebelum mengatakan sesuatu yang ingin ia katakan.
“..............Bagaimana keadaan orang tuamu? Mereka sehat-sehat saja’kan?”
Tanyanya pada akhirnya.
Mendengar pertanyaan seperti itu, Sugata tidak bisa menahan perasaan kesal yang langsung menumpuk di dalam dirinya.
Ia benci ketika orang-orang membicarakan ‘kedua orang menyebalkan’ yang harus ia sebut dengan sebutan ‘orang tua’.
Meskipun hanya sebatas menanyakan kabar tentang mereka.
“....................”
Sugata berdiri terdiam di tempatnya, tanpa menoleh ke arah Hanashima-san.
Ia kemudian kembali berjalan, lalu berkata,
“.............Sama seperti biasa.”
Dan berlalu menuju ke meja salah satu pengunjung.
Hanshima-san memperhatikan Sugata yang tengah melayani tamu.
Kemudian melihat ke atas dan berkata dengan suara pelan,
“Apa yang sebenarnya dia pikirkan tentang kedua orang tuanya itu...?”
***-***
“Waaa, masakan buatanmu lezat sekali, Morisaki-san!”
Puji Satou sambil mencicipi makan malam yang dibuat oleh ibu Yui.
Makan malam hari ini adalah daging panggang.
Ibu Yui yang mendengar pujian itu, langsung tersipu malu.
“Benarkah? Fu fu, terima kasih.”
“Iya, bibi ini masih muda, pandai memasak, cantik lagi. Benar-benar tipe idamanku.”
Satou berkata sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Ah, kau ini bisa saja, Satou-kun, aha ha ha.”
Yui ikut tertawa mendengar perkataan Satou yang secara terang-terangan berani menggoda wanita yang usianya jauh lebih tua darinya.
“.......................”
Tapi, hanya Hinata yang terus terdiam, tanpa menyentuh makanan yang ada di hadapannya sedikitpun.
“.........?”
Yui yang menoleh ke arah Hinata, merasa aneh melihat wajahnya yang terlihat lesu.
Ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menegur gadis itu.
“Hinata-chan.”
Panggil Yui yang langsung membuat Hinata tersentak kaget, bangun dari lamunannya
“Eh, ah, ya? Makanannya enak sekali.”
Hinata berkata dengan nada bicara gugup.
Semuanya memperhatikan ke arah gadis berambut biru tua panjang sepunggung itu dengan tatapan heran.
“Enak apanya? Kau bahkan belum menyantapnya sedikitpun.”
Satou berkata sambil menopang dagunya.
“Eh...? K--Kalau begitu, aku makan, ya...”
Kata Hinata sambil mulai menyantap makanan yang ada di depannya.
Meskipun makanan itu terlihat sangat mewah, tapi tak terlihat rasa senang di wajah gadis itu.
Hal itu membuat Yui semakin khawatir.
“Hinata-chan, ada a--“
“Ada sesuatu yang sedang kau pikirkan, Hinata-san?”
“Eh?”
Yui tertegun karena seseorang mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang ingin dia ajukan.
Ketika dia menoleh ke samping, ia mendapati ibunya tengah tersenyum sambil memotong daging di piringnya.
Seolah bisa membca pikiran Yui, ibunya kembali berkata,
“Kalau ada sesuatu yang menganggu pikiranmu, katakan saja. Aku tidak masalah harus mendengarnya. Yui dari tadi melihatmu dengan wajah khawatir.”
Katanya sambil sedikit melirik ke arah Yui, yang langsung terkejut.
Hinata langsung menatap Yui dengan wajah bersalah, ketika mendengar ucapan ibu gadis berambut merah pendek tersebut.
“Ah, Yui-chan, kau mengkhawatirkan aku, ya? Tapi, aku baik-baik saja, kok. Aku hanya tidak terbiasa dengan makanan dan suasana yang sangat mewah seperti ini. Maklum, aku’kan berasal dari kota kecil, yang tiap harinya hanya bisa makan nasi dengan ikan saja, ha ha ha.”
Kata Hinata sambil tertawa.
“Benar sekali tuh, apa yang Akazawa-san bilang. Kami ini memang jarang makan-makanan yang tergolong mewah dan mahal seperti ini. Mau makan daging saja sulitnya minta ampun. Makanya, jangan heran kalau tubuh Sugata kurus.”
Satou membenarkan perkataan Hinata sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Oh, begitu, ya? Hidup di sini ternyata susah, ya? Lebih susah daripada yang aku bayangkan...Aku jadi merasa sedih, kalau melihat kalian semua yang harus menjalani hidup seperti itu...Rasanya, aku tidak layak untuk terus berada di kota kecil ini...”
Kata Yui pelan sambil menundukkan kepalanya.
Melihat itu, Satou tentu saja merasa tidak enak pada Yui dan langsung menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan cepat.
“Ah, bukan seperti itu. Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu merasa sedih seperti itu, Morisaki-san. Dan tentu saja, kau sangat layak untuk tinggal di sini! Tidak akan ada yang mengusirmu atau apapun!!”
Satou berkata dengan ekspresi dan nada serius yang langsung ditanggapi dengan senyuman kecil oleh Yui.
“Syukurlah, ada kalian yang mau menerimaku di sini...”
Kata Yui sambil menghela nafas lega.
“Tentu saja, kami pasti akan menerimamu di sini!”
Hinata berkata dengan semangatnya.
Sepertinya, ia sudah kembali jadi Hinata yang biasanya.
Dan suasana yang tegang diantara mereka pun, perlahan-lahan mulai mencair dan semakin akrab.
“Oh, ya!”
Hinata tiba-tiba tertegun.
“Ada apa, Hinata-chan?”
Tanya Yui penasaran.
Hinata tidak menjawab pertanyaan dari Yui dan justru menoleh ke sana kemari seperti orang yang sedang bingung mencari sesuatu.
“Dari tadi aku penasaran, ayahmu ada di mana? Aku tidak melihatnya...”
Kata Hinata kepada Yui.
“Oh, ayahku sedang ada di rumah sakit.”
Jawab Yui sambil tersenyum.
Tentu saja, mendengar itu, Satou dan Hinata langsung berteriak keras.
“R--R--R--RUMAH SAKIIIT!!!?
Mereka berdua berteriak dengan histerisnya.
Duh, kompak banget deh...
“Eh, iya. Memangnya ada apa? [Kok kalian berdua histeris begitu??].”
Yui menatap Satou dan Hinata dengan ekspresi bingung.
“Ayahmu sakit apa?? Kenapa harus di rawat di rumah sakit?!”
Kata Hinata sambil bangkit berdiri.
“Apa? Ayahku--“
“Waah...Pasti parah sekali! Kasihan Morisaki-san harus hidup berdua saja dengan ibunya...Semoga ayahmu cepat sembuh, ya.”
Belum selesai Yui bicara, Satou langsung menyelanya dan bicara dengan gaya menghapus air mata sambil menggigit serbet putih yang ada di meja makan.
Benar-benar mirip dengan gadis yang tengah putus cinta.
Namun, Yui justru tertawa.
“Ha ha ha!!”
“Eh??”
Dan itu langsung membuat kedua orang itu, Satou dan Hinata menoleh ke arah Yui bersamaan.
“Yui-chan, kenapa kau tertawa? Ayahmu sakit kurasa itu bukan hal yang harus kau tertawakan deh...”
Kata Hinata tidak mengerti.
Apa ada orang yang akan menertawakan ayahnya yang sedang sakit??
Karena itu, bukan hal aneh kalau Hinata merasa aneh dengan sikap Yui.
“Ha ha, ayahku tidak sedang di rawat, kok. Ayahku’kan seorang dokter.”
Jawab Yui pada akhirnya.
Dan jawaban itu, langsung membuat baik Satou maupun Hinata, merasakan hantaman yang luar biasa menyakitkan tepat di wajah mereka.
“D--Dokter, ya? Wah, a--ayahmu pasti keren sekali, Yui-chan...”
Hinata berkata sambil berusaha menutupi wajahnya yang malu dengan sebelah tangan.
“Aha ha, ternyata ayah Morisaki-san itu seorang dokter? Pantas saja rumahmu bisa semewah ini. Kalau ayahku, dia cuma seorang guru SD saja.”
Berlawanan dengan Hinata yang merasa malu akibat ucapannya tadi, Satou justru berkata dengan santai, seolah tidak terjadi apapun.
“Wah, guru SD, ya? Bibi dulu juga seorang guru.”
Ibu Yui bergabung dalam pembicaraan.
Ia sepertinya memang wanita yang sangat ramah.
Terlihat dari sikapnya yang bisa dengan leluasa dan tidak merasa canggung, mengobrol dengan sahabat-sahabat putrinya.
Satou tersenyum ke arah ibu Yui.
“Ho ho, jadi bibi ini juga seorang guru? Wah, kalau saja seandainya ayahku lebih dulu bertemu dengan bibi, kalian pasti akan jadi pasangan yang serasi. Ibuku orangnya galak siiiiiiiiiiihh!!!”
Tiba-tiba, Satou berteriak dengan nada tinggi, langsung membuat Yui dan ibunya tertegun.
Penyebabnya tidak lain adalah, Hinata yang ternyata menancapkan garpu ke tangan Satou dengan keras.
“Kau itu bicara apa?! Enak saja bicaramu itu! Yang sopan dong sama orang tua!! Ah, bibi, tidak usah kau dengarkan ucapan si kacamata bodoh ini!”
Kata Hinata dengan menegaskan kata ‘Si kacamata bodoh’, sementara Satou langsung memegangi tangannya yang sakit sambil berteriak ‘Akazawa-san kejam!!’, yang tentu saja dan sudah pasti, tidak ditanggapi oleh Hinata.
Yui dan ibunya hanya bisa menatap, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Hinata terkadang bisa sangat menyeramkan.
Yui melanjutkan,
“Dulu, ayahku bekerja di salah satu rumah sakit besar di kota.”
“Apa di sana peralatannya lengkap? Pasti tidak seperti di sini’kan?”
Tanya Hinata.
Yui terlihat berpikir.
“Hmm...Memang sih...Tapi, karena itulah, ayahku memutuskan untuk pindah kemari. Karena rumah sakit di sini tidak lengkap, ayahku membawa beberapa peralatan dari kota dan memutuskan untuk membangun rumah sakit ini dari awal. Dengan membawa harapan, supaya orang-orang di sini bisa hidup dengan baik.”
Satou dan Hinata mendengarkan cerita Yui dengan seksama.
“Hoo...Mulai sekali ayahmu. Ia rela meninggalkan pekerjaannya di kota besar demi penduduk di kota kecil ini. Aku salut, lho.”
Yang pertama kali berkomentar adalah Satou.
Meskipun belum bertemu dengan ayah Yui, tapi mereka berdua langsung tahu, kalau ia adalah orang yang baik, sama seperti istri dan putrinya.
Benar-benar keluarga yang bahagia.
“Bagaimana denganmu, Hinata-san? Apa pekerjaan orang tuamu?”
Tanya ibu Yui sambil tersenyum.
Bukannya menjawab, Hinata justru merasa agak kaget.
Seharusnya pertanyaan seperti itu bisa dijawab dengan mudah.
Namun, Hinata justru kelihatan bingung dan gugup.
“A--Aku...Aku sekarang tinggal dengan paman dan juga bibiku...”
Hinata menjawab dengan nada dan ekspresi sedih.
“Memangnya, orang tuamu ke mana?”
Ibu Yui kembali melontarkan pertanyaan.
Tanpa mereka semua sadari, tubuh Hinata sedikit bergetar.
Satou yang melihat ekspresi tersiksa di wajah sahabat perempuannya itu, memejamkan mata kemudian menghela nafas.
Ia lalu membuka kedua matanya kembali dan menghadap ke arah ibu Yui dan putrinya.
“Begini, kedua orang tua Akazawa-san sudah meninggal saat dia masih kecil.”
Kata Satou, yang membuat Yui dan ibunya tersentak kaget.
“Orang tua Hinata-chan...”
Yui berkata dengan wajah tidak percaya sambil menutup mulutnya.
Sambil menundukkan kepalanya, Hinata menyambung perkataan Yui.
“Iya, orang tuaku...Sudah lama meninggal...”
Suaranya terdengar bergetar.
“Ah, maaf, bibi tidak tahu. Seharusnya aku tidak bertanya soal itu. M--Maaf, ya, Hinata-san...”
Ibu Yui berusaha meminta maaf.
Bagaimanapun juga, ia yang suda membuka luka masa lalu Hinata yang berusaha ia pendam jauh-jauh.
Tidak ada hal yang ia rasakan selain perasaan bersalah.
“................”
Di sisi lain, Yui terdiam di tempatnya.
Tangannya yang masih menggenggam garpu dan pisau, tiba-tiba terasa lemas.
Kedua peralatan makan itupun, jatuh ke meja makan dan menimbulkan suara yang nyaring.
Hinata yang mendengar suara itu, langsung mengangkat wajahnya.
Matanya yang berwarna biru gelap, bertemu dengan mata Yui yang berwarna merah tua, warna yang sama dengan rambutnya.
Hanya saja, bukan lagi pancaran kebaikan, maupun kepolosan dari gadis yang baru saja ia kenal itu, yang ia lihat di matanya.
Melainkan sorot kesedihan.
perlahan, air mata mulai menetes dari mata gadis manis itu.
“Y--Yui-chan??! Kenapa kau menangis??”
Hinata terlihat kebingungan dengan Yui yang tiba-tiba menangis.
Sambil berusaha mengusap air matanya, Yui berbicara dengan suara pelan.
“M--Maaf...Aku sama sekali tidak tahu kalau orang tua Hinata-chan sudah meninggal...Hiks...Jujur saja, a--aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau--Kalau seandainya, ayah dan ibuku pergi meninggalkanku...Hiks...Pasti Hinata-chan sedih, ya...? Hiks...Aku, malah dengan senangnya menceritakan tentang ayahku...Hinata-chan pasti jadi teringat lagi’kan...? Uh...Aku benar-benar jahat...Hiks...Hiks...”
“......................”
Hinata hanya bisa memperhatikan Yui, yang entah kenapa jutsru menangis untuk dirinya dan seolah bisa merasakan perasaannya.
Ia tersenyum kecil ke arah Yui sambil berpikir ‘Ah, dia gadis yang baik’, kemudian berkata,
“Ha ha, Yui-chan itu aneh, ya?”
“Eh?”
Yui tertegun ketika Hinata tertawa.
 “Kenapa kau yang justru menangis? Aku tidak apa-apa, kok. Lagipula...”
Hinata menghentikan ucapannya dan melihat ke bawah.
Beberapa detik kemudian, ia kembali mengangkat wajahnya lagi.
“Itu’kan sudah lama sekali. Sudah jadi masa lalu.”
Ekspresi sedih yang sebelumnya menghiasi wajahnya, menghilang.
“Hinata-chan...”
“Selain itu, aku juga senang waktu Yui-chan menceritakan banyak hal tentang keluargamu. Aku langsung bisa merasakan, kalau keluarga ini, benar-benar keluarga sempurna yang diinginkan oleh semua orang. Seorang ibu yang baik hati, seorang ayah yang memiliki rasa kepedulian besar terhadap orang-orang lain disekelilingnya, di tambah lagi, dengan adanya putri yang mampu melihat sesuatu dari sisi yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, kau adalah orang pertama, yang mengatakan padaku bahwa kota kecil ini adalah kota yang indah. Kau benar-benar berbeda, Yui-chan. Keluargamu ini, benar-benar menakjubkan!! Aku senang bisa mengenal keluargamu dan juga dirimu lebih dekat lagi!”
HInata, berkata dengan seluruh perasaan yang ada di dalam hatinya.
Semua yang ada di dalam ruangan itu, langsung bisa merasakan kebaikan dari kata-kata gadis tersebut.
Rasaya seperti ada sinar berwarna keemasan yang berkilauan di sekitar gadis berambut panjang itu.
Tiba-tiba saja--
“Eh?!”
Yui terlihat kaget, seolah habis melihat sesuatu yang tidak biasa.
“Kau terlihat terkejut, Morisaki-san, ada apa?”
Satou yang menyadari ekspresi terkejut di wajah Yui, langsung melayangkan pertanyaan ke arah gadis berambut pendek sebahu itu.
“....................”
Yui terdiam sesaat, tapi, pandangannya sama sekali tidak beralih dari Hinata.
“Eh, kenapa kau melihatku seperti itu, Yui-chan? Memang ada nasi di wajahku?”
Kata Hinata sambil meraba-raba bagian bawah mulutnya, berusaha menemukan nasi yang menempel.
“..............T--Tidak ada apa-apa...Kurasa aku hanya salah lihat saja...”
“[Salah lihat?] Memang apa yang kau lihat?”
Kata Satou penasaran sambil mengalihkan pandangan dari Yui ke arah Hinata.
Entah kenapa, ia bisa merasakan sesuatu yang aneh dari perkataan Yui barusan.
“[Morisaki-san bilang salah lihat...Tapi, apa yang dia lihat?].”
Pikir pemuda berkacamata itu dalam hati, sambil memperhatikan ke sekeliling Hinata dengan seksama.
Namun, ia tidak bisa menemukan hal apa yang mungkin di lihat oleh Yui tadi, maka Satou melihat tepat ke arah Hinata sambil menyipitkan sebelah mata agar lebih fokus.
“Hm? A--“
Hinata yang merasa bahwa Satou terus saja menatapnya sejak tadi, otomatis, langsung melayangkan tatapan tajam ke arah Satou dengan wajah merah.
“A--A--A--A--A--Apa yag kau lihat!!? Ukh, dasar hentai!!!”
Teriak Hinata sambil menyilangkan tangan di depan dada, seolah berusaha melindungi tubuhnya agar tidak dilihat-lihat XDD.
Yah, Hinata memang memiliki dada yang lebih besar dibanding Yui.
Tak heran kalau ada laki-laki yang rela meluangkan waktu demi memandang ke arah ‘bagian terlarang itu’.
Dan tentu saja, Satou langsung meloncat kaget ketika melihat reaksi Hinata yang seperti itu.
Dengan cepat, ia menggelengkan kepalanya dan berkata,
“B--Bukan seperti itu, Akazawa-san!! Aku tidak bermaksud melihat ‘bagian itu’! Se--Serius!!”
Kata Satou berusaha membela dirinya sendiri.
Wajahnya berubah menjadi merah seperti kepiting rebus.
“La--Lalu apa yang kau lihat!!!!? Me-Me-Memangnya aku bisa percaya padamu setelah kau melihatku dengan tatapan mesum seperti itu!!?”
Hinata berteriak kemudian bangkit berdiri dan menggebrak meja dengan keras.
Dia terus berusaha menyerang Satou sampai K.O.
“Sudah aku bilang bukan seperti itu!! Dan, itu bukan ‘tatapan mesum’!!! Aku hanya melihatmu dengan tatapan biasa, kok!”
Satou ikut berdiri dan menggebrak meja, kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Hinata yang berada di sampingnya.
Hinata langsung memasang tampang iblisnya.
“Oh,ya!? Kalau begitu, tatapanmu itu memang mesum!!”
SUDAH HENTIKAN KALIAN BERDUA!!! DI MEJA MAKAN DILARANG BERKELAHIIII!!!!
“Eh....?”
Hinata dan Satou yang sebelumnya saling berteriak, dan berhadapan, langsung menoleh ke arah sumber suara itu, yang ternyata berasal dari ibu Yui yang kini telah bangkit berdiri sambil meletakkan kedua tangan di atas meja.
Sementara itu, Yui yang masih tidak percaya bahwa wanita lembut di sampingnya itu baru saja berteriak dengan keras, langsung menarik baju ibunya sambil berkata ‘I--Ibu, ayo duduk...’.
Setelah ketiga orang itu kembali dudul Hinata dan satou sama-sama meminta maaf dan menundukkan kepala.
“Maaf, kami sudah berisik. Padahal kalian sudah berbaik hati mengundang kami makan malam bersama, tapi kami malah menganggu. Maaf.”
Kata mereka serempak sambil menundukkan kepala.
“Sudah, sudah. Aku juga minta maaf karena sudah berteriak pada kalian tadi.”
Ibu Yui memaafkan mereka berdua sambil tersenyum kecil.
Satou kemudian menghela nafas dan menggaruk sebelah pipinya.
“Maaf’kan aku juga, Akazawa-san. Aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya penasaran dengan apa yang Morisaki-san lihat tadi. Soalnya, dia kelihatan terkejut sekali.”
Katanya sambil sedikit melirik ke arah Hinata yang duduk di sampingnya.
Kemudian, ia mengalihkan pandangannya ke arah Yui.
“Jadi, apa yang sebenarnya kau lihat tadi, morisaki-san? Apa itu hantu?”
“H--Hantu!!??”
Hinata langsung meloncat kaget begitu mendengar kata ‘hantu’.
Sementara itu, Yui hanya tersenyum sambil menjawab dengan suara pelan,
“Bukan, kok. Sepertinya aku melihat sesuatu, tapi mungkin hanya perasaanku saja, he he he. Kadang aku suka begitu sih...”
Yui berkata sambil menggaruk rambutnya yang pendek.
Setelah mendengar penjelasan dari Yui, Satou langsung mengaguk-anggukan kepalanya sambil berkata ‘Oh, begitu...’, dengan suara pelan.
“Kalau begitu, kami pamit pulang dulu saja. Sudah malam nih!”
Kata Hinata sambil kembali bangkit dari kursinya, kemudian mengambil tas-nya.
“Eh, sudah mau pulang? Yah, padahal aku masih ingin kalian ada di sini...”
Yui menundukkan kepalanya tanda kecewa.
Karena Yui adalah anak tunggal, ia seringkali merasa kesepian.
Sudah beberapa kali ia meminta adik kepada ibunya, tapi wanita yang memiliki warna rambut sama dengan Yui itu hanya menjawab ‘Nanti saja, kalau ayahmu ada waktu luang’.
Ia merasa sangat senang ketika Hinata dan Satou berkunjung, karena sebelumnya belum pernah ada orang yang berkunjung ke rumahnya dan menceritakan banyak hal seperti saat ini.
Bukan sesuatu yang aneh, kalau ia merasa kehilangan ketika mereka berdua akan pulang ke rumah masing-masing.
Hinata yang melihat itu, langsung meletakkan tangannya di atas kepala Yui, yang membuat gadis itu tertegun dan melihat ke arahnya.
“Jangan sedih, Yui-chan. Besok kami pasti akan mampir ke kelasmu!”
Kata Hinata dengan lembut.
“Benarkah? Aku senang sekali kalau begitu!”
Yui berkata dengan senyuman lebar di wajahnya.
“Kita juga akan sering-sering mampir ke rumahmu, kok.”
HInata menambahkan sambil meletakkan tangannya dipinggang.
Mendengar itu, Yui, tentu saja langsung bertambah senang.
“Wah, aku senang sekali kalau begitu! Tapi...”
Yui menghentikan ucapannya, kemudian menundukkan kepala.
Wajahnya terlihat malu dan memerah.
“Mu--Mungkin lain kali, kalian bisa mengajak Sugata-kun ke sini juga.”
Katanya dengan suara yang pelan sambil memainkan jari-jarinya yang mungil dan langsung membuat Satou dan Hinata melompat kaget.
“Kau ingin Yoshikawa datang kemari?? Apa tidak salah? Dia itu’kan sepertinya tidak suka kamu. Bisa bahaya kalau dia datang ke sini nanti. Semua barangmu bisa dihancurkan!”
Kata Hinata yang kemudian berkata ‘Aku akan hancurkan rumahmu sampai hancur lebur! Akan kuambil semua barang-barang mewahmu dan kujual!! Setelah itu, aku akan pergi dari kota ini!! Ha ha ha!!!’, sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya ke arah Yui.
Sepertinya dia sedang menirukan apa yang kira-kira akan Sugata lakukan kalau dia sampai mampir ke rumah Yui.
Dan mungkin saja, kejadian itu memang akan terjadi...

Di cafe Hanashima...
Sugata : Hatsyii!! Hatsyi!!!
Hanashima-san : Kau baik-baik saja, Yoshi-kun?
Sugata : Tidak tau, ya. Tapi rasanya ada yang bicara tidak enak tentang aku deh...Hatsyii!

Kembali ke rumah keluarga Morisaki...
“Heee??? Tidak mungkin! Sugata-kun tidak mungkin melakukan hal seperti itu!”
Kata Yui berusaha membela Sugata.
“Kenapa kau bisa berkata seperti itu? Kau’kan belum mengenalnya.”
Tanya Hinata sambil mengangkat sebelah alis.
“Eh--?? A--I--Itu--“
Dan rupanya, pertanyaan itu sukses membuat Yui panik.
Setelah menghela nafas beberapa kali dan kembali tenang, Yui menjawab pertanyaan itu, tanpa melihat ke arah orang yang sudah mengajukan pertanyaan itu untuknya.
“.........Ya...Yah...Aku tahu saja. Menurutku, Sugata-kun itu...Bukan orang yang akan melakukan hal seperti itu...Kurasa...Dia baik...[Dia menolongku saat Kanzaki-san sedang menggodaku saat itu].”
Jawab Yui malu-malu.
“Baik? Hm...Sepertinya Akazawa-san benar tentangmu, Morisaki-san.”
Tiba-tiba Satou berkata sambil menopang dagu, sementara Yui berkata ‘Eh?’.
Ia melanjutkan perkataannya,
“Kau adalah orang yang bisa melihat sesuatu dari sudut yang berbeda dari orang kebanyakan. Seperti caramu memandang kota ini dan juga caramu memandang Sugata. Suatu saat nanti, aku yakin kalau kebaikanmu ini akan menyentuh hati laki-laki keras kepala itu. Dan sepertinya...”
Satou menghentikan ucapannya, kemudian menatap Yui dan tersenyum.
“Kau mungkin satu-satunya orang yang bisa melakukan hal itu.”
“............Apa...Maksudmu, Satou-kun?”
Tanya Yui sambil sedikit memiringkan kepalanya.
“Ha ha ha, bukan apa-apa, kok. Kalau begitu, kami berdua pulang dulu. Selamat malam, Morisaki-san. Selamat malam, Bi.”
Satou bangkit berdiri dari kursinya, kemudian membungkukkan badan dan mengucap salam.
“Hey, kau mau pergi begitu saja dan menggantung pertanyaan Yui-chan padamu? Koichiiro! Tunggu aku!!”
Kata Hinata sambil berdiri dan mengejar Satou yang tidak merespon ucapannya, melainkan terus berjalan sambil menyenandungkan lagu lama yang mungkin hanya diketahui oleh orang-orang tua.
“Ah!”
Hinata tertegun, kembali berbalik.
“Selamat malam, Yui-chan. selamat malam, Bibi. Terima kasih atas makan malamnya.”
Ia berkata sambil membungkukkan tubuhnya, kemudian berkata ‘Koichiiro! Kubilang tunggu aku!’, sambil mengacungkan tinjunya.
Yui dan ibunya yang masih berada di dalam ruang makan, melambaikan tangan ke arah mereka berdua.
“Mereka anak-anak yang baik. Meskipun kota ini kecil, tak kusangka ada anak-anak sebaik mereka. Kau sudah mendapatkan teman-teman yang baik, Yui.”
Ibu Yui berkata sambil mengusap pelan kepala Yui dengan lembut.
Yui mengangguk.
“Iya, mereka memang teman-teman yang baik.”
Jawabnya singkat.
Dari sana, mereka bisa mendengar Hinata dan Satou bercakap-cakap, meskipun mereka tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan.
Tiba-tiba saja, terdengar jerit kesakitan yang mirip dengan suara Satou.
Tunggu, mungkin memang suara Satou.
Sepertinya mereka sedang memperdebatkan sesuatu dan Hinata pasti melakukan kekerasan lagi.
Ibu Yui sedikit tertawa.
“Sepertinya...Bukan ide buruk kita pindah ke kota Hanasaki ini.”
Katanya sambil tersenyum.
“..................”
Yui hanya terdiam.
Ia lalu mengalihkan pandangannya yang sejak tadi terus memandang ke arah satou dan Hinata pergi, ke atas langit-langit yang berwarna putih.
Tanpa ia sadari, pikirannya melayang ke ‘masa lalu’.
“[Suatu hari...]
[ Yang sangat jauh dari hari ini]
[Hari di mana,]
[Benih bunga yang telah tertanam pada diriku,]
[Mulai tumbuh dan mekar untuk yang pertama kalinya]
[Memancarkan warna yang indah, di mana terdapat kebahagiaan dan juga harapan].”
Ia kemudian memejam mata sambil meletakkan tangannya di atas dada.
Lalu tersenyum dengan lembut dan berkata dengan suara pelan,
“Tentu saja. Bagaimanapun juga, aku sudah diselamatkan oleh kota ini...”
***-***
“Haah...Lelahnya...Hari ini aku capek sekali...”
Kata Sugata sambil berjalan menuju ke arah rumahnya.
Hari itu, pekerjaan Sugata selesai tepat pukul 20.00.
Usai bekerja, ia mengucapkan selamat tinggal pada Hanashima-san, yang dengan baik hatinya memberikan 3 buah bento untuk makan malam Sugata dan keluarganya.
Sebenarnya, ia tidak perlu repot-repot harus melakukan itu.
Apalagi, Hanashima-san tinggal dengan putranya yang sudah beristri dan telah memiliki 3 orang anak yang masih kecil.
Sugata merasa kalau lebih baik Pria tua itu memberikan bento itu pada keluarganya, tapi ia bersikeras untuk memberikannya kepada Sugata.
‘Kau masih muda, Yoshi-kun. Harus banyak makan yang banyak! Masalah keluargaku, aku masih memiliki bahan-bahan makanan yang tersisa di lemari es. Itu saja cukup. Kalau aku, tidak perlu makan banyak-banyak. Aku’kan sudah tua, ha ha’.
Itu yang ia katakan ketika Sugata bermaksud mengembalikan bento tersebut.
Hanashima-san juga mengatakan, kalau ia merasa pada Sugata karena harus memasak setelah bekerja keras.
Jadi, ia tidak punya pilihan lain selain membawanya pulang.
“Aku pulang.”
Kata Sugata sambil menggeser pintu rumahnya.
Begitu sampai di rumah, bahkan ketika ia kembali mengucapkan kalimat ‘Aku pulang’, tak ada seorangpun yang menjawab ataupun hanya sekedar melihat keluar, untuk melihat siapa yang datang.
Ia terdiam sejenak.
Pandangannya tertuju ke dalam tempat yang orang-orang sebuat dengan ‘rumah’.
Tapi bagi Sugata, hidup di dalam tempat kecil itu, lebih buruk dari neraka.
Berkali-kali ia terus menguatkan diri dan hatinya untuk kembali ke rumah ini.
Namun, di saat yang sama, keinginan untuk pergi selalu menyelimuti hatinya.
Tidak ada yang menginginkan ataupun  menganggap dirinya di rumah ini.
Tidak ada siapapun yang berharga untuknya di dalam rumah ini.
“.........[Hidupku diawali dari rumah ini. Dan selalu akan berakhir di dalamnya. Kapan rantai yang terus berulang itu akan terputus? Kapan aku bisa--] ?”
Saat itu, tiba-tiba seorang anak laki-laki muncul dari dalam rumah sambil berlarian dengan gembiranya.
“......................”
Sugata hanya berdiri terdiam, tidak bergerak, matanya terus memperhatikan gerak-gerak anak berambut coklat itu yang terus bergerak dengan lincahnya.

“Onii-chan, tunggu!”

“........!!?”
Ia tertegun begitu melihat sosok yang mengikuti anak laki-laki tersebut.
Suaranya yang kecil terdengar dengan jelas di telinga Sugata.
Seorang anak perempuan, yang beberapa tahun lebih muda dari anak laki-laki itu, mengejar dari belakang.
Dan hanya dengan melihat anak perempuan itu, tubuh Sugata mulai bergetar.
“[Tidak, ini tidak nyata--]”

Aha ha, ayo, kejar aku, ---!!

Mulut anak laki-laki itu terbuka, mengucapkan sebuah kata.
Tapi Sugata tidak bisa menangkap bagian terakhir dari ucapan anak itu.
Meskipun begitu, ia tidak berharap bisa mendengarnya.
“[Jangan--].”


Jangan cepat-cepat dong! Nanti aku jatuh!

Anak perempuan itu terus berlari, berusaha menangkap si bocah laki-laki.
Rambut merah tuanya yang diikat ponytail, menari-nari tertiup angin yang lembut.

Huuu, --- kau memang lambat!

“[Jangan sebut nama itu--Aku tidak ingin mendengarnya--].”

 Bahkan ketika anak laki-laki dan gadis misterius itu berlari melewatinya, Sugata masih terpaku di tempatnya semula.
“......................”
Begitu ia sadari, keringat sudah membasahi hampir seluruh wajahnya.
Ketika suara langkah kaki itu tidak terdengar lagi, perlahan, Sugata menoleh ke belakang, melihat apakah anak-anak itu sudah menghilang.
Di sana tidak ada siapapun, bahkan tidak mungkin seorang anak kecil bisa menghilang di tengah kegelapan malam secepat itu, seolah mereka tidaklah nyata.
Setelah beberapa saat, akhirnya Sugata menghela nafas pelan, kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Baru beberapa langkah, ia lalu menoleh ke salah satu ruangan yang tertutup, kamar ibunya.
“............................”
Ia tidak melakukan apapun, melainkan hanya berdiam diri di depan pintu.
Tak ada suara orang yang biasanya akan berkata ‘Ah, sedang apa kau di depan kamarku? Ayo, masuk’, melainkan hanya suasana yang hening dan tenang.
Sugata lalu mendekatkan tangannya ke arah pintu, dan menggesernya dengan perlahan.
Di dalam sana, ruangan terlihat lebih gelap karena matahari sudah tak nampak lagi.
Namun, bahkan setelah sekian lama sejak Sugata pulang dari sekolah, sampai pulang dari pekerjaannya, posisi ibu Sugata sama sekali tidak berubah.
Ia masih duduk di atas lantai yang dingin.
Dengan pandangan kosong yang mengarah pada ‘sesuatu’.
“.....................”
Sugata memperhatikan ibunya dari balik pintu dengan tatapan tidak suka, yang jika bisa berkata, akan mengatakan sesuatu seperti ‘Sampai kapan kau ingin seperti ini terus!? Menyebalkan’.
Ketika ia secara tidak sengaja melihat ke bawah, pandangannya tertuju pada kantong plastik yang berisi bento pemberian Hanashima-san.
“...Haah...”
Dengan malasnya, ia lalu membuka pintu itu lebih lebar lagi, kemudian berjalan masuk ke dalamnya.
Ibu Sugata, seolah tidak menyadari kehadiran putranya itu, sama sekali tidak menoleh ke arah Sugata sedikitpun.
Melirikpun tidak.
Ia terlihat seperti orang yang menganggap Sugata itu adalah hantu, sehingga tidak bisa bicara ataupun berinteraksi dengannya.
Ia hanya duduk dan terdiam.
Hanya itu yang dilakukannya.
Pemuda berambut coklat itu, sepertinya sama sekali tidak peduli, karena hal ini bukan sekali atau 2 kali sudah dialaminya.
“......................”
Sugata memperhatikan ibunya itu dari jarak dekat untuk beberapa saat, sebelum akhirnya, ia mengambil satu kotak bento dari dalam kantong plastik, dan meletakkannya di depan ibunya.
Tapi, ibu Sugata tidak menunjukkan ketertarikan sedikitpun.
Arah yang dituju oleh kedua matanya masih saja sama.
Perlahan, Sugata menoleh ke arah yang selalu dituju oleh kedua pasang bola mata ibunya yang terlihat sayu.
“....................”
Dan akhirnya, tanpa mengatakan apapun, Sugata berbalik pergi meninggalkan ibunya sendirian dalam kegelapan.
Pada saat Sugata melangkah keluar dari kamar ibunya--

Tap Tap Tap

“!!”
Suara langkah kaki terdengar dari arah luar.
Beberapa detik kemudian pintu rumah tersebut kembali terbuka.
“.................”
Sosok yang muncul dari balik kegelapan, tak lain adalah seorang pria, dengan rambut coklat yang berantakan.
Kemeja yang ia kenakan juga terlihat tidak rapi, serta dasi yang ia kenakan hampir saja terlepas.
Ia berjalan dengan sempoyongan, dan sesekali hampir menabrak dinding.
Terlihat dari sebotol bir di tangannya, sepertinya sedang mabuk.
Dan,
Yang terdengar selanjutnya adalah,
Suara teriakan,
Suara jeritan,
Kemudian, suara botol yang pecah menghantam sesuatu...
***-***
 A/N : Hai, minna XDD

Yeey, akhirnya Hana no Uta Chapter 3 update XDD
Buat ch yang ini, aku sama ga nyangka kalau bakal jadi sepanjang ini//plaak

Pokoknya, setelah ini Hana no Uta mungkin bakal rajin update, soalnya aku udah menemukan konsep ceritanya seperti apa he he he ^^

Maaf kalau mungkin terlalu membosankan atau memang mainstream banget nih cerita...

Sankyuu!!

Next Chapter : Chapter -XXX-

Author,
Fujiwara Hatsune

Tidak ada komentar:

Posting Komentar