*Read : Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
MIHASHI
- Chapter 5 -
Kenapa Aku Harus
Membawamu Pada Ayahmu? Bukannya Ayahmu...Ada Di Sini?
“........................”
Hujan turun lebih deras saat hari
sudah semakin sore.
Sekarang kira-kira pukul 15.00.
“..............Anak itu
terlambat...”
Gerutu Chiharu pelan.
Ia menghela nafas dan
menyandarkan kepalanya pada gerbang sekolah yang terbuka lebar, tanda bahwa
sekolah sudah berakhir.
Chiharu kemudian mengalihkan
pandangannya ke sekitarnya.
Beberapa anak terlihat sedang
dijemput oleh orang tua mereka.
Ketika anak-anak itu sudah tak
terlihat lagi di sekitar sekolahan, tidak ada anak-anak lain yang keluar lagi dari
balik gerbang sekolah itu.
Tentu saja.
Itu karena sekolah berakhir
sekitar 1 jam yang lalu.
Dan dalam jangka waktu yang
terasa cukup lama tersebut, Chiharu yang terus menunggu di luar sekolah dari
tadi, sama sekali tidak melihat Mihashi keluar dari dalam sekolah.
“Apa yang dia lakukan? Lama
sekali! Apa dia masih ada di kelas...?”
Ia menatap ke atas sambil
menggenggam sebuah payung dengan sebelah tangannya.
Langit terlihat benar-benar gelap
dan sepertinya hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat ini.
“...........................”
“................Aku...Tidak
boleh memberikan ‘cintaku’ lagi untuk Mihashi...”
“..................Hah...?”
Saat ini, ekspresi wajah Chiharu
menunjukkan rasa bingung yang cukup besar.
Kenapa Chiaki tidak boleh
memberikan cintanya pada Mihashi?
“Kenapa...Kau tidak
boleh...Mencintai Mihashi...?”
Chiaki terdiam, berusaha mencari
jawaban yang cocok untuk menjawab pertanyaan Chiharu.
“Kalau aku berada di dekat Mihashi, maka anak
itu akan menderita...”
Ia bicara dengan kepala
tertunduk.
Ekspresinya terlihat dingin.
Chiharu hanya memperhatikan
Chiaki dengan perasaan tidak paham.
Mihashi akan menderita...?
Bukannya dia akan merasa bahagia
jika berada di sisi ayah yang sangat dicintainya?
Apa yang akan membuat Mihashi
menderita!?
Ini sama sekali tidak masuk akal.
“Ini sama sekali tidak masuk
akal, Chiaki! Mihashi sudah bisa menerimamu’kan? Kalau begitu kenapa kau bilang
ia akan menderita kalau menerima cinta darimu? Berhentilah bermain ‘puzzle’
yang tidak jelas dan cepat jelaskan padaku, apa maksud dari perkataanmu itu
sebenarnya!!”
Chiharu berbicara dengan nada tinggi.
Karena daerah ini tidak terlalu
ramai, Chiharu mungkin berpikir ‘tidak masalah untuk bersuara keras, karena
tidak akan ada yang mendengarnya’, namun
hari ini terlihat beberapa orang berkeliaran, dan orang-orang yang lewat di
sekita mereka melirik ke arah mereka dengan ekspresi ketakutan dan langsung
berlalu pergi.
Chiharu kembali duduk di bangku
tersebut dengan wajah kesal dan menimbulkan suara ‘Brraakh’.
“Cinta...”
“?”
Chiharu menoleh ke arah Chiaki.
“Cinta adalah ‘racun’ untuk
Mihashi.”
“ ‘Racun?’ ”
Chiaki mengangguk pelan. Ia masih
tidak menoleh ke arah Chiharu.
“Semakin besar Mihashi merasakan
cinta atau mendapat cinta dari seseorang, hal itu akan membuat dirinya sendiri
maupun orang lain itu menderita.”
“.................Aku...Sama
sekali tidak paham...”
“Mihashi dibesarkan dengan penuh
cinta. Akibatnya ia tumbuh menjadi anak yang penuh dengan cinta. Di sanalah
akar permasalahan yang sebenarnya...”
Apa?
Masalahnya adalah karena anak itu
mencintai sesuatu?
“Mihashi memang seperti anak-anak
yang lain. Tapi sebenarnya, ada yang membedakan anak itu dari anak-anak yang
lain. Yaitu cinta. Cara berpikir maupun tingkah lakunya untuk menunjukkan rasa
cintanya terhadap seseorang atau sesuatu. Mihashi anak yang sangat baik. Bahkan
terlalu baik. Dan--“
“...........................”
“Sekali dia mencintai sesuatu
atau seseorang...Dia akan memberikan seluruh cintanya untuk mereka...”
“Maksudmu...”
“Iya, dia tidak bisa merasa
kehilangan seseorang yang sangat ia cintai. Sekali ia merasakan cinta dari
orang itu, Mihashi juga akan mencintai orang itu lebih banyak dari orang itu
mencintai dirinya. Sama seperti waktu Satone meninggal. Mihashi tidak bisa
menerima kenyataan bahwa orang yang sangat ia cintai pergi meninggalkannya
begitu saja. Ia akan bersikap seolah orang tersebut akan kembali lagi ke
sisinya dan mulai histeris. Ketika ia merasa tenang, ia akan melupakan semua
kejadian itu, seolah itu tidak pernah terjadi. Kemudian dia akan teringat,
menangis, berteriak dan--Dan--“
Chiharu hanya diam ketika Chiaki
menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Tapi Chiharu bisa melihat tetesan
air mata yang berusaha disembunyikan oleh kakaknya itu.
Pelan-pelan, Chiharu mulai
mengerti alasan kenapa Chiaki meninggalkan Mihashi padanya.
Tidak bisa mencintai putrimu
sendiri...
Benar-benar ironis...
“Aku--Setelah itu aku mulai
berpikir--Bagaimana--Bagaimana kalau--Ugh!!”
Air mata Chiaki turun semakin
deras membasahi wajahnya, membuatnya bicara terbata-bata.
Chiharu bukanlah tipe orang yang
suka menunjukkan rasa kasihan pada orang lain.
Tapi...
Melihat kakak kandungnya sendiri
seperti ini, Chiharu tidak bisa bersikap seolah ia tidak melihat air mata itu
turun...
Perlahan, ia sedikit bergeser,
mendekati Chiaki.
Ia kemudian mengangkat tangannya,
ingin meletakannya di pundak Chiaki dan berusaha menenangkannya.
Tapi timbul keraguan di hatinya,
sehingga ia sedikit menarik mundur tangannya.
Namun, melihat kakak laki-lakinya
itu tidak berhenti menangis, Chiharu
akhirnya melakukan hal yang harus ia lakukan.
Dengan lembut, ia meletakkannya
tangannya ke pundak Chiaki.
“Sudahlah...Aku paham dengan apa
yang terjadi...”
Chiaki terdiam, kemudian
mengangkat wajahnya dan melihat tepat ke arah Chiharu.
Selama bertahun-tahun hidup
bersama Chiharu, Chiaki belum pernah merasakan kehangatan yang terpancar dari
sorot matanya.
Begitu pula dengan Chiharu, belum
pernah ia melihat Chiaki menangis sampai seperti ini.
Perlahan, tembok yang membatasi
mereka berdua mulai runtuh sedikit demi sedikit dan membuat mereka menjadi
sedikit memahami satu sama lain.
Chiaki tidak bisa memberikan
cintanya untuk Mihashi...
Artinya...
Ia tidak ingin Mihashi
menderita...
Begitu anak itu mencintai
sesuatu, ia benar-benar akan ‘mencintainya’.
Kejadian yang dialami oleh Chiharu
selama tinggal bersama dengan Mihashi, adalah bukti cinta anak itu kepada
ayahnya yang sudah sangat besar.
Itu adalah tanda bahwa Mihashi sangat
mencintai ayahnya.
Seharusnya sebagai orang tua,
Chiaki merasa bahagia dengan itu.
Namun yang terjadi justru
sebaliknya.
Hatinya justru hancur ketika
melihat betapa Mihashi sangat menyayangi dirinya lebih dari apapun.
Tiap kali Mihashi berteriak ‘Aku
mencintaimu, Papa’, yang terpikirkan dalam benak Chiaki adalah,
‘Bagaimana seandainya kalau aku
sudah tidak ada di dunia ini lagi...?’
Ya.
Bagaimana kalau hal itu terjadi?
Tidak ada seorangpun di dunia
yang tahu kapan ia akan mati atau sampai kapan ia akan hidup.
Yang bisa kita lakukan adalah
menunggu sampai pada akhirnya waktu itu datang mejemput kita sendiri.
Tapi...
Bagaimana nasib Mihashi kalau
seandainya Chiaki tidak ada di dunia ini lagi?
Mengingat semua yang terjadi...
Itu justru akan membuat luka yang
sangat besar di hati Mihashi dan membuat penderitaan tanpa akhir bagi anak itu.
Mihashi mencintai lebih dari
siapapun...
Maka ia juga merasa kehilangan
lebih dari siapapun...
Ia dibesarkan oleh bersama ayah
dan ibunya selama kurang lebih 4 tahun.
Ketika ibunya meninggal, butuh
waktu 2 tahun bagi Mihashi untuk menyembuhkan luka itu dan memulai ‘cinta’ yang
baru.
Dan...
Dan kalau seandainya Chiaki tetap
berada di sisinya dan memberikan sepenuh cintanya pada Mihashi...
Selama bertahun-tahun sampai ia
tumbuh dewasa...
Dan kalau Mihashi semakin
mencintainya...
Apa yang akan terjadi pada
Mihashi seandainya Chiaki tiba-tiba meninggal?
Berapa waktu yang dibutuhkan
Mihashi untuk sembuh dari lukanya?
Dengan siapa Mihashi akan tinggal
setelah Chiaki pergi?
Dengan pikiran-pikiran seperti
itu, Chiaki tidak bisa tenang menghadapi hari-harinya bersama Mihashi.
Akhirnya, setelah satu tahun
hidup bersama Mihashi, Chiaki memutuskan kalau itu waktu yang sudah sangat
panjang.
Ia tidak bisa memberikan cintanya
pada Mihashi lebih dari ini.
Dan dengan terpaksa...
Ia harus menghentikannya.
Ia harus berusaha berhenti
mencintai Mihashi.
Berusaha berhenti mencintai
putrinya sendiri.
Itulah...
“Alasan sebenarnya kenapa kau
menitipkan Mihashi kepadaku...”
Chiharu berkata, dengan nada
bicara terlembut yang belum pernah ia ucapkan sebelumnya.
Chiaki terdiam di tempat,
kemudian mengangguk dengan lemah.
“Aku tidak bisa mencintainya
lagi. Mihashi yang sekarang sudah tidak bisa ditinggal lagi olehku. Bahkan
ketika di sekolah pun, ia akan berteriak-teriak kemudian memanggil-manggil
namaku, berlari keluar dari sekolah tak peduli apakah hari sedang hujan dengan
deras atau apakah jalanan sedang ramai atau sepi. Ia akan terus berlari dan
berlari, sampai akhirnya ia menemukanku.”
“.....................”
“Aku tidak bisa membiarkannya
terus hidup seperti itu. Karena itu aku memutuskan kalau aku harus berpisah
dengannya.”
Sungguh kejam.
Demi membuat putrimu tidak
merasakan kehilangan dan merasakan penderitaan yang besar,
Chiaki rela tidak bisa bertemu,
bermain ataupun menghabiskan waktu bersama putri yang sangat ia cintai...
Semua itu lakukan demi Mihashi...
Chiaki memang memiliki segalanya.
Tapi,
Ada satu hal yang dia tidak
miliki.
Yaitu ‘kebahagiaan seorang orang
tua’.
“Aku menitipkan Mihashi kepadamu,
dengan tujuan supaya dia terbiasa hidup tanpaku kemudian akan melupakanku.
Tidak sepenuhnya. Tapi aku ingin kau membuat Mihashi melupakan
ketergantungannya padaku. Setidaknya, cintanya padaku akan sedikit berkurang. Jika
ia bisa terbiasa hidup tanpa ada aku di sisinya, maka ketika aku pergi nanti,
Mihashi tidak akan bersikap seperti ini lagi. Ia memang pasti akan tetap
terluka, tapi setidaknya ia tidak bersikap histeris seperti ini dan menyiksa
dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya. Aku hanya...”
Ingin Mihashi hidup normal.
Itu saja.
Chiharu terdiam sambil menatap
Chiaki.
Kemudian, di wajahnya, muncul
sebuah senyuman kecil.
Senyuman yang muncul pertama kali
semenjak pembicaraan mereka dimulai beberapa saat yang lalu.
Senyuman yang kecil, tapi
kebaikan yang terpancar dari senyuman itu...
Sangat besar.
“Kau itu...Sangat menyayangi
putrimu itu’kan?”
Chiaki tertegun, kemudian kembali
menoleh ke arah Chiharu.
Begitu ia melihat senyuman itu,
Chiaki juga tersenyum kecil.
“Tentu saja.”
Mereka berdua bertatapan cukup
lama.
Ini pertama kalinya mereka saling
tersenyum seperti ini.
Beberapa detik kemudian, Chiharu
bangkit dari kursinya dan merentangkan kedua tangannya.
“Haaah...Benar-benar pembicaraan
yang melelahkan...”
Sepertinya sisi baik Chiharu
hanya muncul beberapa detik saja.
“Aha ha ha, iya.”
Chiharu menghela nafas kemudian
melirik ke arah Chiaki yang masih duduk.
“Aku mengerti. Akan kujaga dia
untukmu.”
“Terima kasih. Aku percayakan
Mihashi kepadamu...”
Kata Chiaki pelan.
Chiharu mengangguk lalu mengambil
payung yang ia letakkan di samping kursinya.
Ia membuka payung itu, kemudian
berjalan pergi.
“Baiklah, sekarang aku harus
menjemput anak itu.”
Saat itu, tiba-tiba Chiaki
memanggilnya.
“Chiharu.”
Chiharu yang mendengar Chiaki
memanggilnya, menghentikan langkahnya, kemudian menoleh di tengah hujan.
“Ada apa lagi?”
Chiaki bangkit dari bangku
kemudian berjalan mendekati Chiharu.
Tubuhnya basah oleh air hujan.
“..............Tolong jangan
terlalu mencintai Mihashi.’
“Hah?”
“Kau paham maksudku’kan...? Aku
tidak ingin Mihashi terlalu sayang padamu dan terikat padamu. Kalau itu sampai
terjadi, tujuanku menitipkan Mihashi padamu akan sia-sia saja karena itu
berarti ia akan jadi bergantung sepenuhnya padamu. Aku tidak menyuruhmu untuk
membencinya atau apapun. Tapi tolong, jangan berikan cinta yang berlebihan pada
Mihashi...”
Chiharu terdiam di tempatnya.
Begitukah?
“[Aku bukanlah orang yang penuh dengan cinta. Aku hanyalah seorang wanita
kasar dengan hidup yang berantakan dan tidak terarah. Tidak mungkin anak kecil
itu akan menyukaiku...Makanya kau menitipkannya padaku, ya?].”
Sambil berpikiran seperti itu,
Chiharu tersenyum kecil, kemudian menghela nafas pendek.
“.................Sudahlah, aku
mengerti. Aku tidak akan memberikan cintaku sepenuhnya untuk anak itu [Lagipula sejak awal, aku memang tidak
berniat untuk jadi lebih dekat dengan dia]. Kalau sudah tidak ada yang kau
katakan lagi, aku akan segera menjemput putri kesayanganmu itu. Kau juga, pasti
masih banyak pekerjaan’kan? Kembalilah ke kantor.” Chiharu berkata kemudian
berbalik dan berjalan pergi dengan payung di tangannya, meninggalkan Chiaki
yang masih berdiri di tempatnya.
Ia tersenyum kecil, kemudian
berbalik--
“Hey.”
Chiaki tertegun.
“Lain kali jangan lupa membawa
payung...Baka aniki...”
Chiharu berkata dengan suara
pelan tanpa berbalik ke arah Chiaki sementara Chiaki berkata ‘Iya’ kemudian
tersenyum dan segera berlari menuju mobilnya.
“Lamaaaa!! Apa saja yang sedang
dilakukan oleh anak itu!!?”
30 menit yang lain kembali
berlalu...
Sampai saat ini, Mihashi belum
juga muncul.
“Akh! Kesabaranku sudah habis!!”
Chiharu berteriak sambil
menghentakkan kakinya dengan keras.
“Aku sebenarnya tidak ingin
sampai harus masuk ke sekolah itu, karena itu meski hujan turun dengan sangat
deras, aku terus menunggu di luar. Tapi ini sudah kelewat lamaaa!!!! Tidak ada
pilihan lain lagi!”
Sambil berkata seperti itu, Chiharu
berbalik kemudian bermaksud masuk ke dalam sekolah.
Ketika ia baru masuk satu
langkah, seorang wanita muda lewat di hadapannya.
Dengan cepat, Chiharu segera
meraih lengan wanita itu yang membuatnya tersentak kaget.
“Permisi, apa kau guru di sini?”
Tanya Chiharu kepada wanita berkacamata itu.
Wanita itu terlihat agak bingung
dengan pertanyaan Chiharu yang tiba-tiba, tapi kemudian ia langsung tersenyum
ramah.
“Iya, saya adalah salah seorang
guru di sini. Apa ada yang bisa saya bantu?”
Chiharu menggaruk belakang
rambutnya.
“Ah, y--ya...Aku menunggu seorang
murid bernama Mihashi.”
Wanita itu agak terkejut.
“Mihashi? Maksud anda, Matsuyuki
Mihashi?”
“Ya, Anda tahu di mana dia
sekarang? Aku sudah menunggunya dari tadi, tapi dia tak muncul-muncul juga. Ah,
maaf karena tba-tiba bertanya pada anda.”
Chiharu tersenyum.
“Tidak apa-apa.”
Wanita itu membalas senyuman Chiharu.
Tapi hanya dalam beberapa detik,
senyuman itu menghilang dari wajahnya.
“Ano...Tentang Mihashi-chan...”
.......................
.........................................................
....................................................................................
Mata Chiharu terbuka lebar.
Perlahan, ia teringat akan ucapan Chiaki waktu itu.
“Aku tidak bisa mencintainya lagi. Mihashi yang sekarang sudah tidak
bisa ditinggal lagi olehku. Bahkan ketika di sekolah pun, ia akan
berteriak-teriak kemudian memanggil-manggil namaku, berlari keluar dari sekolah
tak peduli apakah hari sedang hujan dengan deras atau apakah jalanan sedang ramai
atau sepi. Ia akan terus berlari dan berlari, sampai akhirnya ia menemukanku.”
Wajahnya perlahan berubah menjadi pucat.
Genggamannya melemah sehingga payung yang ada di tangannya
jatuh, kemudian terbang tertiup angin.
***-***
“Hah!! Hah!!!”
Dengan sekuat tenaga, Chiharu
berlari melewati kerumunan orang-orang di jalan.
Tak jarang ia bersenggolan atau
hampir menabrak para pengguna jalan lain.
“Ah, hey!”
“Hati-hati!”
“Akh! Apa-apaan kau!? Sudah gila,
ya!?”
Teriakan-teriakan orang itu tidak
ia pedulikan.
Hujan yang turun dengan deras
mengguyur dirinya juga tidak ia pedulikan.
Saat ini...
Hanya ada satu hal yang ada di
pikirannya...
“Mihashi! Di mana kau!?”
Chiharu berteriak kemudian
menghentikan langkahnya dengan cepat mendekati sebuah toko.
Ia melihat ke sekeliling,
berusaha menemukan sosok yang sedang berusaha ia cari.
Tapi sosok itu tidak ada di sana.
“Sial!”
Chiharu menyipitkan sebelah
matanya dan berteriak kesal kemudian kembali berlari menyusuri jalanan yang
basah karena hujan.
Berkali-kali ia berhenti di
tempat-tempat tertentu, tapi sosok itu tak juga ia temukan.
Mihashi menghilang.
“Ano...Tentang Mihashi-chan...”
“Ada apa?”
“Tadi sewaktu pelajaran, dia tiba-tiba berteriak dengan keras,
memanggil-manggil ayahnya.”
“Dia melakukan itu!?”
“Iya, setelah itu ia
menangis dan berteriak-teriak tidak jelas. Ia juga berkata padaku waktu itu
bahwa ia berusaha memisahkan Mihashi-chan dari ayahnya.”
“.................Lalu!?
Apa yang terjadi setelah itu!?”
“Mihashi-chan berlari
keluar dari kelas. Kemudian ia tidak kembali lagi sampai saat ini. Aku berusaha
mencarinya di sekitar sekolah, tapi tidak bisa menemukannya dimanapun! Tolong,
temukan Mihashi-chan!!”
“Apa yang dia pikirkan!? Kenapa
berbuat tidak penting seperti ini!!”
Chiharu terus berlari dan berlari.
Tak peduli apakah badannya yang
basah karena air hujan mulai menggigil kedinginan,
Dia harus bisa menemukan anak itu
apapun yang terjadi.
“Terima kasih. Aku percayakan Mihashi kepadamu...”
Ketika kata-kata itu kembali
terngiang di pikirannya, Chiharu mempercepat larinya dan mencari ke seluruh
tempat.
“[Aku memang tidak menginginkan anak itu. Tapi, kalau sampai terjadi
sesuatu padanya, Chiaki tidak akan pernah memaafkanku...Begitupun dengan diriku
sendiri...].”
“Awas, awas!”
“!?”
Di tengah jalan raya, sekumpulan
orang tengah berkumpul.
Awalnya hanya beberapa orang,
tapi makin lama semakin banyak yang mengerubungi tempat itu.
Sepertinya sedang melihat
sesuatu.
Chiharu melihat ke arah mereka
dan memperlambat langkahnya, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Ada apa? Ada apa?”
“Ada yang tertabrak!”
“Siapa?”
“Tidak tahu, tapi sepertinya
anak-anak. Perempuan. Mungkin sekitar 7 tahun atau--“
Kelanjutan dari kalimat orang itu
terdengar tidak jelas di telinga Chiharu.
Suaranya bercampur dengan suara
hujan yang turun.
Tubuhnya gemetar.
Bukan lagi karena udara dingin.
Melainkan perasaan takut yang
amat sangat yang menyelimuti dirinya.
Seorang gadis berusia 7 tahun...
Tertabrak?
Tidak...
Ini tidak mungkin...
Tidak mungkin!!
Sambil berpikiran seperti itu,
Chiharu langsung berlari kemudian menerobos kerumunan itu, berusaha melihat
wajah korban tersebut.
“Hah..Hah...”
Nafasnya mulai tidak teratur
karena kelelahan dan panik.
Bagaimana kalau ternyata itu
benar...
Bagaimana kalau ternyata Mihashi
yang--
“Ukh...MIHASHIIIII!!!!!!!”
....................
...................................
........................................................
“Bibi Chiharu...?”
DEG!
Suara itu...
Perlahan, Chiharu menoleh ke arah
asal suara itu.
Di sana, Mihashi sedang berdiri
di depan sebuah toko.
Sekujur tubuhnya basah karena air
hujan.
Ia terlihat sangat kedinginan.
Chiharu terdiam.
Ia tidak membalas perkataan
Mihashi dengan ‘Mihashi, aku sudah mencarimu
kemanapun!’ atau ‘Aku senang bisa menemukanmu’.
Melainkan dengan caranya sendiri.
Ia berjalan perlahan mendekati
Mihashi.
“Ah, Bibi Chiharu. Ternyata
memang bibi, ya?”
Mihashi berkata dengan nada riang
dan senyuman di wajahnya.
Chiharu tidak mempedulikan.
Ia hanya bertanya dengan nada
bicara yang sangat dingin.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Mihashi tertegun sesaat, tapi
kemudian kembali tersenyum.
“Aku ingin pergi ke tempat papa!”
“...........................”
Chiharu sama sekali tidak
merespon jawaban Mihashi untuknya.
Ia hanya melangkah dan melangkah
dengan pelan mendekati gadis itu.
“Aku ingin menemuinya. Aku tidak
ingin sekolah lagi karena mereka berusaha memisahkan aku dari--“
PLAAAAAAAK
Suasana menjadi hening.
Suara hujan yang rintik-rintik
itupun tidak terdengar seolah mereka berdua berada di dimensi yang berbeda.
Tanpa adanya rasa belas kasihan
atau apapun, Chiharu, ia menampar Mihashi dengan keras.
Gadis itu terjatuh di atas tanah
yang basah dan membuat seragamnya sedikit robek.
Mihashi tertunduk diam di
tempatnya jatuh.
Ekspresi dan tubuhnya yang
gemetar menunjukkan rasa takut yang sangat hebat yang sedang dirasakannya
sementara tangan kanannya memegang pipinya yang kini mulai memerah.
“A--A--“
“APA YANG SEBENARNYA KAU
PIKIRKAN!!!!!!!!!? DASAR ANAK BODOH!!!”
“!!!!!!!”
Mihashi yang masih shock dan
belum sempat berkata apapun, langsung terkejut ketika Chiharu tiba-tiba
berteriak dengan suara keras.
“A--Aku--Aku--Aku ingin bertemu
pa--“
“MASA BODOH DENGAN SEMUA
ITU!!!!”
“Ah!”
“Kau pikir apa yang sudah kau
lakukan!!!?”
“.................AKU INGIN BERTEMU DENGAN PAPA!!!!!”
Mihashi berteriak, air mata mulai
menetes dari membasahi wajahnya yang basah oleh air hujan.
“Kalau kau ingin bertemu dengan
ayahmu tidak seperti ini caranya!!! Kenapa kau kabur dari sekolah!!?”
“Aku tidak peduli!! Aku hanya
ingin bertemu papa!! Aku ingin pulang ke tempat papa!!!”
“Kau tidak sadar, kau sudah
membuat seisi sekolah khawatir!!!”
“Mereka tidak peduli dengan
keinginanku!! Seberapa banyaknya aku minta ingin bertemu papa, mereka tidak mau
membawaku kepada papa!!! AKU INGIN KE TEMPAT PAPA!!!”
“......................”
Chiharu melihat Mihashi yang
terus meminta untuk bertemu Chiaki.
Entah kenapa, tapi kali ini,
setelah ia tahu kisah yang sebenarnya dari Chiaki, perasaan yang aneh muncul di
dalam dirinya ketika melihat Mihashi menangis.
Dulu ia akan berteriak dan
menyuruhnya diam.
Dulu ia akan memberitahu Mihashi
bahwa ayahnya sudah meninggalkan dia dan tidak akan kembali lagi.
Tapi semua itu salah.
Chiaki tidak pernah meninggalkan
Mihashi.
Ia terus berada di sisinya dan
menjaganya dari jauh, melalui Chiharu.
Itulah yang sebenarnya.
Tapi Mihashi tidak akan paham.
Karena itu...
Apa yang harus ia katakan
padanya?
“Bibi...”
“?”
Chiharu terbangun dari lamunannya
ketika Mihashi memanggilnya.
Ia tidak sadar kalau Mihashi
sudah berdiri di dekatnya.
“Bibi Chiharu sayang padaku’kan?”
Chiharu tidak menjawab.
Ia hanya berlutut supaya
tingginya sejajar dengan anak itu.
Mata mereka berdua saling
bertemu.
“Bibi Chiharu sayang padaku’kan?”
Gadis berumur 7 tahun itu kembali
mengulangi pertanyaannya.
“.....................Ya.”
“Kalau begitu--“
“Bibi akan membawaku pada
papa’kan......?”
Ia berkata dengan mata yang penuh
dengan harapan bahwa Chiharu akan membawanya untuk bertemu kembali dengan
ayahnya.
Chiharu hanya diam di tempatnya.
Apa yang harus ia katakan...?
Apa yang bisa ia lakukan...?
Ia tidak tahu.
Ia tidak tahu harus menghadapi
anak ini seperti apa lagi.
‘Baik, akan kukembalikan kau pada
ayahmu’
Seandainya bisa, ia akan
mengatakan kalimat pendek itu.
Hanya saja...
“Aku tidak bisa membiarkannya terus hidup seperti itu. Karena itu aku
memutuskan kalau aku harus berpisah dengannya.”
Dia tidak mungkin melakukan semua
itu.
Apalagi...
Ia sudah berjanji pada Chiaki
akan merawatnya.
Karena itu,
Ia kemudian berhenti berpikir tentang ‘Apa
yang bisa ia lakukan’ tetapi ‘Apa yang seharusnya memang ia lakukan’, dan
berkata dengan suara pelan,
“.........................Kenapa...?”
“Eh...?”
Mihashi tertegun.
Chiharu melanjutkan ucapannya,
“Kenapa aku harus membawamu pada
ayahmu?”
Mendengar itu, ekspresi yang
tergambar di wajah Mihashi terlihat makin sedih.
“Karena aku ingin bertemu
dengan--“
“Bukannya--“
“.....................”
“Ayahmu...Ada di sini?”
“..................Apa...?”
“Ayahmu ada di sini. Kenapa aku
harus membawamu kepadanya...?”
“I--Itu--“
“Mihashi-chan...”
Chiharu meletakkan tangannya di
pundak Mihashi.
“Y--Ya..”
Jawab Mihashi sedikit gugup.
“Apa kau menyayangi ayahmu?”
Tanya Chiharu.
Nada bicaranya terdengar lebih
lembut.
Mihashi terlihat ragu tapi
kemudian mengangguk dengan pasti.
“Ya, aku sayang pada papa.”
“Kalau begitu, apa Mihashi-chan
yakin, kalau ayahmu juga sayang padamu?”
Chiharu berkata sambil sedikit
tersenyum.
“Ya, aku yakin papa juga sayang
padaku.”
“Kalau begitu, apa yang kau
khawatirkan lagi?”
“!?”
Mihashi tertegun mendengar
perkataan Chiharu.
Apa yang harus ia khawatirkan?
“Kau sayang pada ayahmu, dan di
saat yang sama, ayahmu juga sangat sayang padamu. Apa yang kau khawatirkan?
Cinta? Kau sudah memiliki semuanya. Kau tidak perlu berteriak memanggil ayahmu
lagi. Ayahmu ada di sini.”
“Papa...Ada di sini...?”
Chiharu mengangguk dengan
perlahan.
“Papamu ada di sini. Bahkan
mungkin sekarang ia sedang memperhatikanmu.”
Mendengar itu, Mihashi langsung
menoleh ke sana kemari, berusaha menemukan keberadaan Chiaki, tapi ia sama
sekali tidak menemukan sosok ayah yang sangat dicintainya itu.
Iapun menyerah dan kembali
menatap Chiharu dengan wajah kesal.
“Bibi bohong. Papa tidak ada di
sini.”
Tapi Chiharu tetap tersenyum
dengan lembut.
“Tidak. Kau saja yang tidak bisa
melihat keberadaannya. Bibi yakin, dia pasti sedang memperhatikanmu sekarang.
Meskipun kau tidak bisa melihatnya atau tidak menyadari keberadaannya di
sisimu, ayahmu akan selalu melihatmu dan selalu menjagamu dari kejauhan.
Dan...Meskipun ia berada di tempat yang sangat jauh sekalipun, di mana dia juga
tidak bisa melihatmu...Aku yakin...Dia pasti akan tetap--”
“Mencintaimu...”
Itu benar.
Itu bukanlah suatu kebohongan.
Karena Chiaki memang sangat
menyayangi Mihashi lebih dari apapun.
Mihashi adalah harta yang akan ia
lindungi bahkan dengan taruhan nyawanya sendiri.
Chiaki tidak akan pernah
meninggalkan Mihashi.
“Ayahmu tidak akan pernah
meninggalkanmu.”
Perlahan-lahan, air mata Mihashi
berhenti mengalir.
“Benarkah...? Papa...Tidak
meninggalkan aku...?”
“Hm. Ia tidak meninggalkanmu.
Kalau ia memang meninggalkanmu begitu saja, kenapa ia menyuruhku menjagamu?”
“Karena ia sayang padaku...”
“Benar. Karena ia sayang padamu.
Ia ingin kau bahagia. Ia ingin kau hidup normal.”
“Apa ini seperti mama?”
“?”
“Papa bilang, mama akan selalu
menjagaku meskipun aku tidak bisa melihatnya. Apa papa juga seperti itu? Apa
papa akan terus menjagaku? Apa ia melihatku?”
Chiharu tidak menjawab.
Ia hanya mengangguk sambil
tersenyum.
Perlahan, ada sedikit senyuman
yang tergambar di wajah Mihashi.
Ia lalu menggenggam tangan
Chiharu dengan erat.
“Kalau begitu, ayo kita pulang,
Bi. Aku tidak ingin papa melihatku hujan-hujan seperti ini dan khawatir.”
Chiharu menatapnya sebentar
kemudian tersenyum kecil.
Ia bangkit berdiri sambil
menggandeng tangan mungil Mihashi.
“Haah...Dasar kau anak nakal.
Gara-gara kau, tubuhku jadi basah karena hujan.”
“Eeh...Maaf, Bi. Lain kali,
Mihashi janji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Ini perbuatan tidak
baik.”
“Benar sekali...Eh?”
Chiharu tertegun ketika
pandangannya tertuju pada sebuah mesin permen di pinggir jalan.
Ia merogoh sakunya, kemudian
mendapati beberapa uang receh.
“..............Hey.”
“Ada apa?”
Tanya Mihashi bingung.
“Mau...Permen coklat?”
“Waaaah! Mau, mau!!”
“Ya sudah, ayo kita ke sana.”
“Hm!”
“[Aku sama sekali tidak pernah menginginkan
anak ini].”
Sambil berjalan,
Chiharu sedikit melirik ke arah Mihashi.
“[Bagiku, anak ini hanya akan membuat
hidupku yang tidak terarah semakin berantakan].”
Mihashi yang
menyadari kalau Chiharu menatapnya, mengangkat wajahnya.
“[Namun, sekarang ini...].”
Kemudian
tersenyum.
“[Justru aku tidak bisa menolak permintaan
kakak laki-lakiku sendiri yang ingin menitipkan anak ini kepadaku].”
Chiharu
tertegun.
“[Gadis kecil yang terlihat manis dan juga
penurut].”
Dan tersenyum
kecil.
“[Namanya Mihashi].”
Mereka berduapun
bergenggaman tangan lebih erat lagi.
“[Dan untuk selamanya, aku akan menjadi
‘Bibi Chiharu’ untuknya...].”
Hujan sudah tak terasa dingin
lagi di tubuh mereka.
Karena perasaan mereka berdua membuat suasana
menjadi lebih hangat.
***-***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar