*Read :
Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Epilogue
*Read Another Stories
MIHASHI
- Chapter 10 -
Kau Hanya Ingin Membuatnya Bahagia’kan?
Keesokan harinya...
“Bibi! Bibi, bangun!!”
“Hhmmm....Ada apa ini...?”
Chiharu berusaha membuka matanya
yang masih terasa sangat berat.
Begitu ia melihat ke sampingnya,
sudah ada Mihashi yang menarik-narik selimutnya.
“Bibi, ayo bangun!”
Mihashi berkata sambil
menggoyang-goyangkan tubuh Chiharu yang masih berbaring di tempat tidurnya.
Kesal dengan tingkahnya di pagi
hari itu, Chiharu langsung mengibaskan selimutnya dan duduk di atas tempat
tidurnya.
“Ah, ada apa sih!?”
Teriaknya kesal sambil
melemparkan tatapan tajam.
“Bibi, selamat pagi!”
Katanya dengan wajah yang
mengatakan ‘Aku bahagia sekali hari ini!!’ itu.
Chiharu hanya bisa menatapnya
bingung.
“A--Ada apa denganmu?! Kau
membangunkanku hanya untuk itu!? Kau bisa mengatakannya nanti’kan!? Coba lihat
jam berapa sekarang?”
Chiharu berkata sambil menoleh ke
arah jam dinding di kamarnya.
Di jam dinding berbentuk
lingkaran itu, jam 06.15 A.M.
“Nah! Coba kau lihat itu!! Baru
jam segini! Ini masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah!! Sudah sana, lebih
baik kau tidur lagi!”
Teriak Chiharu sambil menunjuk ke
arah jam dinding itu, kemudian menarik selimutnya lagi dan masuk kembali ke
dalamnya.
“Bibi, ayo bangun! Ada yang ingin
aku tunjukkan pada bibi!”
Ia kembali menggoyang-goyangkan
tubuh Chiharu.
“.........................”
“Bibi!!”
Mihashi yang kesal, memukul-mukul
pelan tubuh Chiharu dengan tangannya yang mungil.
“......................”
Tapi apapun yang terjadi, Chiharu
tidak ingjn bangun lagi dari tempat tidurnya, meskipun ada gempa sekalipun.
Tidur adalah istirahat yang
terbaik, karena itu, nikmatilah.
“Bibi Chiharu seperti
sapi--Ubh!!”
Mihashi langsung terdorong ke
belakang ketika Chiharu melemparkan selimutnya tepat ke arah tubuhnya yang
kecil, sehingga selimut itu langsung menutupi seluruh tubuhnya dengan sempurna.
“Siapa yang seperti sapi, hah!??”
“Huu!! Aku tidak bisa
melihaaaaaat!!! Siapa yang mematikan lampunya!!?”
Mihashi berkata sambil
menjulurkan tangannya, seperti berusaha meraba-raba sesuatu.
Penampilannya terlihat seperti
hantu saja.
Sementara itu, Chiharu langsung
berdiri sambil berteriak ‘Jangan bercanda di rumahku!!!!!’.
Pagi itu adalah salah satu pagi
yang paling berisik dalam hidup Chiharu.
Biasanya Mihashi akan bangun
dengan tenang dan tidak pernah berusaha membangunkannya seperti ini.
Ketika melihat Chiharu sudah
bangkit berdiri dan berteriak dengan semangatnya [itu artinya dia sudah
bangun], Mihashi langsung berlari dan membuka jendela kamarnya yang sempit.
Langsung saja, sinar matahari
yang menyilaukan mata, menusuk mata Chiharu yang masih belum menyesuaikan
dengan cahaya, sehingga ia harus melindungi matanya dengan sebelah tangan.
“Bibi! Ayo, sini.”
Panggil Mihashi dengan semangatnya,
sambil melambai-lambaikan tangannya.
Dengan malasnya, Chiharu berjalan
sambil menghela nafas pelan, ke arah jendela.
“!?”
Ia sedikit tertegun ketika
sehelai kelopak bunga berwarna merah muda terbang melewatinya.
begitu ia melihat lebih jelas
keluar, ternyata bunga-bunag sudah beberapa yang mulai bermekaran.
Salju masih sedikit turun, namun
sudah tidak menutupi jalanan seperti kemarin, mungkin sudah sedikit meleleh.
Udara juga sudah semakin hangat.
“Ah, benar...Sekarang sudah akhir
musim dingin, ya? Berarti sebentar lagi musim semi...?”
Kata Chiharu pelan sambil melihat
pemandangan di luar jendela.
“Indahnya...Benar-benar tidak
terasa musim semi sudah akan datang sebentar lagi.”
Tambah Mihashi sambil tersenyum.
“Tapi, aku sedikit penasaran...”
Tiba-tiba ia berkata.
Chiharu menoleh ke arahnya.
“Penasaran tentang apa?”
Tanyanya.
Mihashi terdiam sesaat, seperti
sedang memikirkan sesuatu, kemudian langsung menoleh ke arah Chiharu.
“Aku penasaran, kira-kira musim
semi bersama Bibi Chiharu seperti apa, ya? He he he.”
“Tidak seperti apa-apa! Musim
semi, musim panas, musim gugur, semuanya akan sama saja! Maaf menghancurkan
imajinasimu!!”
Chiharu berkata sambil meletakan
tangannya di pinggiran jendela dan tersenyum kesal.
Mihashi menjawab dengan ‘Meskipun
begitu aku sangat menantikannya!’, kemudian berlari keluar dari kamar Chiharu
dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
Chiharu menyandarkan tubuhnya di
dekat jendela, kemudian tersenyum kecil.
Setelah itu, Mihashi sarapan dan
bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
Seragamnya sudah tertata dengan
rapi.
Rambutnya diikat dengan model
twintail yang biasa.
Ketika sudah siap, mereka berdua
berjalan keluar rumah.
Sementara Chiharu sedang mengunci
pintu, tiba-tiba--
“Pagi, semuanya.”
Orang yang berkata dengan nada
riang itu, tidak lain adalah Matsuyuki Chiaki, kakak laki-laki Chiharu dan juga
ayah Mihashi.
Seolah sudah beratus-ratus tahun
terpisah oleh ruang dan waktu, Mihashi langsung berteriak girang kemudian
berlari ke arah Chiaki dan langsung meloncat ke pelukan Chiaki.
Mereka berdua saling memeluk satu
sama lain, seperti sebuah keluarga yang akhirnya kembali bersatu setelah
terpisah dalam waktu yang cukup lama.
Namun, tidak ada air mata yang
menetes turun dalam reuni yang sangat mengharukan ini.
Hanya tawa, dan kebahagiaan yang
terpancar dari wajah mereka berdua.
Chiharu berdiri sedikit agak jauh
dari mereka.
Namun ia bisa merasakan perasaan
dari anak dan ayah tersebut yang sangat hangat.
Sebenarnya, ia masih agak kaget
dengan kedatangan Chiaki yang tiba-tiba, apalagi di tambah dengan keputusannya
yang mengatakan kalau ia tidak akan melihat Mihashi lagi, sampai akhirnya
Mihashi bisa hidup seperti anak-anak lainnya.
Tapi, melihat kedatangannya
kemari, apakah itu berarti Mihashi perlahan-lahan mulai berubah?
Tentu saja, semua orang bisa
berubah.
Cepat atau lambat, tergantung
dari kemauan orang itu sendiri untuk bisa merubah dirinya sendiri.
Mihashi sudah membuktikannya.
Dengan semua air mata yang ia
tumpahkan kemarin, janji kepada dirinya sendiri untuk menjadi lebih dewasa,
agar semua orang yang berada di dekatnya tidak lagi merasa terbebani.
‘Aku akan berubah’.
Setiap orang bisa mengatakan kata
itu dengan sangat mudah.
Namun, hanya beberapa orang saja
yang mampu bersungguh-sungguh untuk melakukannya.
Keinginan yang besar dapat
mengubah segalanya.
Saat ini, hanya hal itu yang
dipercayai oleh Chiharu.
Yah, kedatangan Chiaki bukanlah
suatu masalah yang harus dipertanyakan sekarang ini.
Dan ia tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum
ketika memandang keluarga kecil itu.
Chiaki mengatakan, bahwa mulai
saat ini, dirinya akan selalu mengunjungi Mihashi setiap kali ada waktu luang.
Tidak ada yang membuat Mihashi
merasa bahagia lagi, selain bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama ayah
yang sangat ia cintai.
Dalam perjalanan menuju ke sekolah,
Mihashi menggandeng tangan Chaiki dan juga Chiharu yang berada di sampingnya.
Ia dengan senangnya, berjalan
sambil berjingkat-jingkat, menyenandungkan sebuah lagu yang terdengar sangat
indah.
Chiharu tidak setuju dengan hal itu.
‘Ini sangat memalukan!’
Begitulah yang selalu ia katakan
sejak tadi.
Dan ia tidak bisa menghentikan
wajahnya untuk berubah menjadi merah sambil melihat ke sana kemari, melihat ke
arah orang-orang yang terus saja memperhatikan mereka dengan senyuman aneh!
Sementara itu, Chiaki hanya
tersenyum sambil menggaruk pipi dengan sebelah tangan,
‘Tidak masalah sekali-kali
seperti ini’
Dia selalu jadi orang santai
seperti biasanya, yang langsung ditanggapi dengan tatapan dingin oleh Chiharu.
“Coba lihat!”
Mihashi tiba-tiba berkata dengan
suara sedikit keras.
Chiaki dan Chiharu sama-sama
menoleh ke arah anak itu.
Mihashi terdiam sesaat, kemudian
menoleh ke atas dan tersenyum,
“Bukannya kita yang sekarang ini
terlihat seperti keluarga?”
Ia berkata dengan nada riang
seperti biasanya.
Apa ia tidak sadar kalau ia baru
saja mengatakan hal yang sangat memalukan?
Sepertinya sikap santainya itu ia
dapat dari ayahnya.
Mendengar itu, Chiharu tidak bisa
menahan dirinya untuk berteriak kaget ‘Ke-Ke-Ke-Keluarga!!!!?’, dengan
histerisnya.
Memang kalau dilihat lagi, mereka
bertiga terlihat sebuah keluarga kecil.
Ayah, ibu dan juga seorang putri.
“Ah, benar juga. Kalau seperti
ini, kita nampak seperti sebuah keluarga, ya?”
Chiaki berkata, menyetujui ucapan
putrinya.
Hal itu langsung membuat Chiharu
sedikit mencondongkan tubuhnya lalu melemparkan tatapan tajam ke arah Chiaki,
“Jangan setuju dengan semua
ucapannya!! Apa kau tidak merasa malu!!?”
Teriak Chiharu kesal.
Namun, Chiaki menjawab pertanyaan
dengan nada kesal itu dengan senyuman,
“Untuk apa merasa malu?
Bukannya--Kita ini memang keluarga?”
“....................”
Jawaban Chiaki membuat Chiharu
langsung terdiam dengan ekspresi wajah sedikit kaget, meskipun itu adalah
kata-kata yang tidak asing lagi keluar dari mulut Chiaki.
Namun sekarang, ia bisa merasakan
sesuatu seperti cahaya-cahaya keemasan aneh yang meluap-luap di dalam dirinya.
Perlahan, ia mengangkat tangannya
kemudian meletakannya di depan dada.
Rasanya hangat.
“Papa, Bibi...”
Mihashi kembali berkata, kali ini
dengan suara lebih pelan, tanpa menoleh ke arah mereka berdua.
Chiaki tersenyum.
“Ya?”
“.......................Aku harap
kita bisa terus seperti ini selamanya.”
...........................................
Perkataan Mihashi, entah kenapa
membuat Chiaki dan Chiharu sama-sama tertegun.
Senyuman di wajah Chiaki langsung
lenyap begitu saja.
Apa yang harus ia katakan?
Bukan berarti ia tidak sependapat
dengan apa yang dibilang oleh Mihashi.
Namun--
“..........................”
Ia menoleh ke arah Chiharu, yang
kelihatannya sedang memikirkan sesuatu.
‘Apa yang dia pikirkan?’
Itulah yang ada dipikirann Chiaki
saat ini.
Ia tidak bisa seenaknya menjawab
‘Ya, kita pasti bisa terus seperti ini’.
Ini bukan hanya menyangkut
dirinya dan Mihashi.
Ada orang ketiga di sini.
Lalu, sedikitnya tahu, kalau
Chiharu pasti akan menjawab ‘Tidak’.
Dan ternyata--
“Apa kau bodoh? Itu tidak
mungkin!”
Itu 100 % persen benar.
Chiharu berkata sambil
memalingkan wajahnya dan berkata ‘Hmph!’
Sementara itu Chiaki hanya
menghela nafas pasrah.
“He he.”
“?”
“Sudah kuduga kalau bibi akan
mengatakan hal seperti itu.”
Kata Mihashi sambil tersenyum
kecil.
“.......................”
Mihashi melanjutkan,
“Kalau tidak bisa
selamanya...Bisa’kan kalau cuma ‘sekali ini saja’...?”
“..........................”
Chiharu terdiam sambil mengangkat
sebelah alisnya.
Chiaki terus memperhatikannya,
menunggu jawaban seperti apa yang akan dibuatnya.
Beberada detik kemudian, Chiharu
mengangguk pelan lalu,
“Hmm...Kurasa kalau hanya kali
ini--Tidak ada masalah...”
Chiharu menjawab tanpa menoleh ke
arah Mihashi dan justru melihat ke arah Chiaki berada, meskipun ia tidak
melihat ke arah pria itu.
Mendengar itu, Chiaki sedikit
terkejut.
Ia pikir Chiharu akan mengatakan
sesuatu seperti ‘Tidak’.
Tapi--
“Kurasa...Kau sedikit berubah...”
Chiaki berkata pelan sambil tersenyum
kecil.
“Hm? Apa kau mengatakan sesuatu?”
Chiharu bertanya sambil memasang
wajah ingin tahu ke arah Chiaki.
Ia hanya tertawa kecil , kemudian
berkata ‘Tidak ada apa-apa’.
GREP
“?!”
Tubuh Chiaki dan Chiharu serasa
seperti tertarik.
Mihashi menggenggam mereka lebih
erat lagi dan mempercepat langkahnya.
“[Aku sangat bersyukur atas hari ini].”
Mereka berdua hanya bisa terdiam,
kemudian saling melihat satu sama lain.
“[Seandainya bisa sebenarnya aku ingin selalu bisa seperti ini].”
Dan saling tersenyum.
“[Namun, begini saja...Aku sudah sangat berterima kasih...].”
Chiaki dan Mihashi tidak
henti-hentinya menceritakan berbagai macam kejadian di saat mereka tidak
bertemu satu sama lain.
Mereka berdua benar-benar
terlihat sangat bahagia.
Kemudian, ketika melewati sebuah
mesin permen di pingir jalan, Mihashi langsung berkata kepada Chiaki, ‘Ini
adalah coklat yang biasanya Bibi Chiharu berikan padaku!’, dengan riangnya.
Chiharu langsung tertegun
kemudian berkata pada Chiaki,
“Maaf aku tidak memberikannya
coklat yang lebih mahal yang dijual di toko-toko dan justru memberikannya
coklat murah dari mesin permen tua di pinggir jalan! [Mesin permen ini katanya sudah jauh ada sebelum aku lahir].”
Chiaki tidak meresponnya, baik
dengan ucapan maupun gerak tubuh.
Ia hanya merogoh sakunya kemudian
mengambil sesuatu berbentuk lingkaran.
Sepertinya uang receh.
Ia lalu memasukkan koin itu ke
dalam mesin permen dan dalam waktu sekejap, keluarlah coklat yang biasanya
Chiharu berikan pada Mihashi.
“Asyik! Aku dapat coklat lagi hari
ini! Tapi--Yang ini dari papa!!”
Begitu Chiaki memberikan sebatang
coklat itu padanya, Mihashi langsung mendekapnya dengan erat seolah coklat
murah itu adalah barang paling berharga yang ia miliki.
Chiharu hanya bisa terdiam sambil
menatap bingung ke arah Chiaki.
“K--Kenapa kau memberikan coklat
itu padanya? Bukannya itu cuma coklat murah?”
Tanyanya.
Mendengar pertanyaan adiknya itu,
Chiaki langsung menoleh ke arahnya.
“Kenapa, ya?”
Katanya sambil tersenyum dan
menggaruk belakang kepalanya.
“Mungkin karena--“
Ia terdiam sambil menundukkan
kepalanya lalu,
“Alasan yang sama dengan ‘Kenapa
kau memberikan coklat ini padanya’?”
“?!”
Chiaki langsung tertawa begitu
melihat reaksi Chiharu yang kaget.
Chiharu langsung melemparkan
tatapan kesal ke arahnya sambil mengangkat sebelah tangannya, sementara Chiaki
hanya bisa berkata ‘Oke, oke, maaf’kan aku, Nona’.
“Simple saja...”
Ia berkata sambil memejamkan
matanya.
“Kau hanya ingin membuatnya
bahagia’kan?”
“....................................”
“Kebahagiaan itu...Bukanlah
ketika mendapat barang-barang bagus atau mahal. Tapi--Ketika kita memperoleh,
bahkan sesuatu yang sangat kecil ataupun tidak berharga dari orang yang kita
sayangi. Sesuatu yang tidak berharga itu, akan berubah menjadi berharga, bahkan
lebih berharga daripada emas ataupun berlian. Karena itu adalah bukti bahwa--“
.................
........................................
..................................................................
“Orang tersebut ternyata masih
mencintai kita.”
“....................”
Setelah berkata seperti itu,
Chiaki mengelus kepala Mihashi dengan lembut dan berkata ‘Nah, nah, ayo, kita
ke sekolah sekarang’.
“............................”
“Bibi, bibi sedang apa? Ayo, kita
pergi!”
“Ah, iya!”
Sesampainya di sekolah, Mihashi
mengucapkan selamat tinggal pada Chiharu dan juga Chiaki.
Kemudian dari dalam gerbang
sekolah, muncul sosok Aragaki-sensei yang memberi salam pada mereka berdua.
Ia dan Chiaki berbincang-bincang
sebentar kemudian membawa Mihashi masuk ke dalam sekolah.
Pada saat itu--
“Mihashi!”
“?”
Ketika mendengar suara ayahnya
memanggil namanya, Mihashi menoleh.
“Ingat, apapun yang terjadi,
meskipun kau tidak bisa melihat papa, papa akan selalu melihatmu dan berada di
sisimu...”
“...............”
“Karena itu, kau tidak usah khawatir
lagi. Papa tidak akan pernah meninggalkan--Ataupun membuangmu. Papa akan selalu
mencintaimu apapun yang terjadi.”
“..........................”
Mihashi terdiam agak lama begitu
mendengar ucapan ayahnya.
Benar.
Sekarang ia sudah tidak perlu
khawatir lagi.
Tidak akan ada yang
meninggalkannya.
Maka dengan yakinnya, ia berkata,
“Ya!!”
Sambil tersenyum.
Aragaki-sensei yang melihatnya
hanya bisa tersenyum.
Chiaki melambaikan tangan
kemudian berbalik pergi.
Mihashi membalas lambaian tangan
ayahnya dan berjalan pergi bersama Aragaki-sensei.
Chiharu hanya bisa menghela nafas
lega.
Sepertinya, ini akan jadi awal
yang baru untuk Mihashi.
Hanya ada satu hal yang membuat
Chiharu khawatir.
Maka diam-diam, dia mengikuti
Aragaki-sensei dan Mihashi masuk ke dalam ruangan aula.
“.....................................”
Di dalam ruangan aula, seluruh
murid yang berada di satu kelas yang sama dengan Mihashi sudha berkumpul.
Mihashi memandang ke arah mereka
dengan wajah sedikit takut.
Namun ia sudah bertekad untuk
minta maaf pada semuanya.
Maka ia tidak bisa mundur lagi.
Ia melepas genggaman tangan
Aragaki-sensei, kemudian maju perlahan.
“...................”
Teman-temannya satu per satu
memandang ke arahnya.
Ada yang melihat dengan wajah
tidak suka, benci maupun takut.
Tak ada yang mengatakan satu kata
pun.
Semuanya diam dan itu membuat
Mihashi semakin canggung.
Tapi, ia sudah menggagalkan
festival sekolah yang penting bagi semuanya.
Tidak ada waktu untuk merasa
takut.
Maka, setelah menyiapkan dirinya,
Mihashi berkata pelan,
“A--Ano--Semuanya--Aku--“
..................
...............................
.................................................
“Ma--Maaf’kan aku!!”
Ia berkata dengan suara lantang
sambil membungkukkan tubuhnya.
........................
Tidak ada reaksi apapun.
Tap Tap Tap
Hanya suara langkah kaki yang
terdengar.
Perlahan, ia mengangkat wajahnya,
melihat siapa orang yang sedang berjalan ke arahnya itu.
“..........................”
Dengan wajah angkuh dan sombong
itu, ekspresi yang tidak lain hanya dimiliki oleh Kinomiya Ringo, yang kini
sudah berdiri tepat di hadapannya.
“..........Ringo-chan--“
“Aku minta maaf.”
Ringo berkata dengan pelan
kemudian membungkukkan tubuhnya.
“.....................Eh...?”
Setelah itu, semua murid satu per
satu mendekati Mihashi dan membungkukkan tubuhnya.
“Kami minta maaf!”
“Maaf’kan aku, ya!”
“Maaf!!”
“Kumohon maaf’kan kami!”
“.......................”
Mihashi menatap semuanya dengan
ekspresi bingung.
Matanya mulai berkaca-kaca.
“A--Apa yang kalian semua
katakan...? Kalian tidak berbuat salah...Aku yang sudah menghancurkan
pertunjukkan kelas kita--Jadi--Aku yang seharusnya minta maaf pada kalian
semua...Maaf...Maaf’kan aku...Aku--Aku--“
GREP
“....................”
“Sudahlah.”
“.............................”
Mihashi hanya bisa berdiri
terdiam tanpa mengucapkan apapun, ketika ia merasakan tubuh Ringo memeluknya.
“Kau tidak perlu minta maaf.
Aku--Waktu itu tidak seharusnya aku mengatakan semua hal itu padamu...”
“ ‘Papa’ apanya!!? Dia tidak ada di sini tahu! Bukannya, AYAHMU SENDIRI YANG SUDAH MEMBUANGMU,
YA!!?”
“Hah! Ternyata kau memang tidak berguna!! Kalau aku jadi, ayahmu--Tanpa
harus berpikir untuk yang kedua kalinya, aku akan membuangmu!!! Dan seandainya
aku diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya, Maka aku--Tanpa ragu--PASTI AKAN MEMBUANGMU LAGI!!!”
“........................”
“Aku benar-benar jahat...Tanpa
memikirkan perasaanmu, aku mengatakan hal sekejam dan semengerikan
itu...Padahal aku tidak tahu apa-apa, tapi aku selalu bersikap seolah aku tahu
segalanya...”
“.............Ringo-chan...”
“Ayahmu tidak membuangmu...”
“Eh...?”
“Ayahmu, adalah orang paling
menakjubkan di dunia ini. Ia rela membesarkanmu seorang diri, dengan penuh
kasih sayang dan juga cinta. Ia rela berpisah darimu, supaya kau bisa hidup
bahagia. Harusnya aku tidak bersikap buruk padamu. Harusnya aku tidak bersikap
seolah benar-benar mengenal siapa dirimu...Lalu...”
“........................”
“Aku percaya, ayahmu tidak akan
pernah membuang ataupun meninggalkanmu. Karena--“
“Kau adalah purti satu-satunya
yang paling berharga...”
Ia mengatakannya, dengan senyuman
di wajahnya.
“.......................A--Aku--Aku--“
“...........Hey,”
“?”
“Maukah kau--Memulai semuanya
dari awal dengan kami semua...?”
“......................T--TENTU SAJA!!!”
Dan, mereka semua akhirnya
berbaikkan, menerima diri Mihashi apa adanya.
Sebuah kebahagiaan yang tidak
ternilai terlihat dari air mata mereka semua.
Chiharu yang menatap dari luar
ruangan, hanya bisa melihat dengan tatapan haru.
Dari sana, ia bisa melihat Aragaki-sensei
tersenyum sambil melihat ke arahnya.
Sepertinya, ia sudah memberitahu
pada semuanya tentang kebenarannya.
Tentang apa yang terjadi selama
ini dan menjernihkan semua permasalahan yang ada.
Pada akhirnya, semuanya berakhir
dengan baik.
Chiaki datang hampir setiap
minggunya untuk menengok Mihashi.
Mihashi dan teman-temannya yang
lain juga sudah berbaikkan.
Sebagai pengganti pertunjukkan
mereka yang gagal waktu itu, mereka membuat sebuah pertunjukkan kecil di aula
sekolah, yang ditonton oleh para guru.
Hampir tiap harinya, mereka
lewati dengan senyuman.
Tidak ada ending cerita yang
lebih baik daripada ini...
“Bibi...”
“Hm?”
“Bunga sakura-nya cantik, ya?”
“Terserah pada katamu.”
“.....................”
“................................”
“Bibi...”
“Ada apa lagi?”
“................Terima kasih.”
“......untuk apa?”
“Untuk semua yang sudah kau
lakukan untukku.”
“Aku tidak melakukan apapun.”
“Itu tidak benar. Kau sudah
berbuat banyak untukku. Aku sangat berterima kasih dan juga sangat menghargai
semuanya.”
“Kalau begitu berterima kasihlah
dengan tidak membuat keributan tiap harinya.”
“Ha ha, oke.....Hmm...Boleh aku
bertanya sesuatu...?”
“Apa? Kalau menyusahkan, aku
tidak akan menjawabnya.”
“...............Kalau seandainya
kau diberi kesempatan kedua, apakah kau akan memilih pilihan yang sama...?
Ataukah, kau akan meninggalkan aku dan tidak merawatku...?”
“Pertanyaan macam itu?! Aku tidak
mau menjawabnya! Itu menyusahkan!!”
“Begitu, ya...? Kalau begitu,
yang ini saja...”
“................”
“.............................Apa
boleh aku memanggilmu ‘Mama’...?”
“Tidak, tidak, tidak!!! Apa-apan
dengan pertanyaan itu!!? Itu buruk sekali!! Benar-benar buruk!! Mau sekarang
kau kutinggalkan di jalanan!!?”
“Eh!? J--Jangan!”
“Kalau begitu, tutup mulutmu dan
jangan bicara lagi!”
“B--Baik--“
Chiharu dan Mihashi berjalan
bersama, bergandengan tangan, di bawah pohon-pohon sakura yang menjulang tinggi
di sekeliling mereka.
Bunga-bunga sakura berwarna merah
muda yang cantik, terbang jatuh di sekitar mereka
Chiharu melihat ke atas untuk sesaat,
memperhatikan langit.
Langit biru yang sangat indah.
Apakah hari seperti ini dapat
berlangsung selamanya?
Chiharu terdiam, kemudian
tersenyum dan menggeleng pelan...
***-***
“............Apa kau sudah
menyiapkan semua barang-barang yang harus kita bawa?”
Kata seorang pria tua berambut
putih hampir botak sambil duduk di sebuah kursi goyang.
Di tangannya ada sebuah koran
yang sedang ia baca.
Dari dalam rumah, seorang wanita
tua menjawab ‘Sebentar lagi’, sambil memasukan beberapa pakaian ke dalam sebuah
tas yang ukurannya cukup besar.
Mereka adalah sepasang suami
istri yang tinggal di sebuah kota kecil.
Rumah mereka juga terlihat sudah
sangat tua, sepertinya mereka sudah tinggal di sana bertahun-tahun lamanya.
Sambil mengelap keringat di dahi
dengan tangannya, wanita tua tersebut, berjalan mendekati suaminya.
“Aku sudah selesai mengemasi
seluruh barang-barangnya.”
Tanpa melihat ke arah istrinya,
pria tua itu berkata ‘Hm’, yang singkat.
Beberapa saat kemudian, wanita
tua itu berjalan mendekati salah satu meja di dalam ruang tamu, di mana
terdapat sebuah bingkai foto di atasnya.
“Apa kita harus benar-benar
melakukan hal ini? Tak bisakah kita biarkan dia yang melakukannya?”
Ia bertanya, dengan nada sedikit
khawatir sambil menyentuh bingkai foto itu dengan perlahan.
Di dalam foto itu, terdapat
gambar pria dan wanita tua itu.
Tapi, di tengah-tengah mereka,
ada seorang gadis berambut coklat muda, yang sedang mengangkat kedua tangan dan
tersenyum.
Sang kakek menghela nafas
kemudian menoleh ke arah istrinya.
“Tidak mungkin aku bisa
mempercayakannya pada orang itu. Sejak dulu, kau sudah tahu seperti apa
dia’kan?!”
Ia bicara dengan nada sedikit
marah.
“Tapi--“
“Sudahlah.”
Pria tua itu akhirnya bangkit
berdiri dari kursinya.
“Bersiap-siaplah. Sebentar lagi,
kita akan pergi untuk menjemput cucu kita...”
***-***
A/N : Hai, minna
Sankyuu!!
Visit : Ngomik
Next Chapter : Epilogue
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar