*Read:
Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Epilogue
* Read Another Stories :
One-Shot Stories
A/N : Hi minna XDD''
Chapter 8 Tidak Mungkin Di Dunia Ini,
Aku Bisa Melakukan Hal Seperti Itu
“Apa yang--!!!?”
Di hadapan
mereka saat ini, tepatnya di sebuah pohon di dekat gerbang sekolah,
Ada 2 mayat
tergantung dengan perut mereka yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan
keluar.
Tubuh mereka
hampir hangus, seolah habis dibakar dengan api.
“I--Itu...Itu
tidak mungkin...Kan...?”
Karena, yang ada
di pergelangan tangannya itu adalah--Dan tak salah lagi, memang hanya dia
yang terlihat mengenakannya pada waktu itu--
--Sebuah wristband dengan tulisan ‘KING’,
...................
........................................
....................................................................
“.............Sasagawa
dan...Karisawa...?”
Dan tepat saat
itu,
Itsuki,
Datang menuju ke arahnya,
Kemudian--
“Ini pasti
perbuatanmu!!!!”
“Aku sudah
bilang’kan!? Aku sama sekali tidak melakukan apapun!! Kejadian ini sama sekali
tidak ada hubungannya denganku!!”
Riya berteriak
dengan keras, sambil menggebrak meja.
Sementara itu,
pria yang kini duduk di hadapannya, menatap Riya dengan datar sambil terus
menghisap rokoknya.
“Oh, ya?
Bukannya Karisawa-san dan Sasagawa-san itu sering sekali berkata buruk di
belakangmu? Kau benci mereka’kan?”
Ia berkata
dengan nada tenang, menanggapi penjelasan Riya yang terdengar sangat kesal.
Riya sedikit
memundurkan dirinya. Ia bisa merasakan punggungnya menyentuh sandaran kursi. Entah
apa yang harus ia katakan pada pria itu untuk membuatnya percaya. Sepertinya,
apapun yang ia katakan hanya akan terdengar seperti sebuah kebohongan belaka.
Ia kemudian
melihat ke sekelilingnya. Mereka sekarang sedang berada di kantor polisi yang
terletak di pusat kota.
Setelah kejadian
mengerikan itu, semua murid dilarang memasuki sekolah.
Tidak ada yang
diijinkan untuk masuk ke dalam gedung sekolah sampai penyelidikan selesai. Karena
itu, semua murid diwajibkan untuk segera kembali ke rumah masing-masing. Namun,
ada juga beberapa murid yang dibawa ke kantor polisi guna dimintai keterangan.
Dan Riya tidak
percaya, kalau ia masuk ke dalam daftar orang yang dicurigai terlibat dengan
kasus ini.
Beberapa murid
yang mengenakan seragam yang sama dengannya ada di dalam ruangan ini, baik dari
kelasnya maupun dari kelas lain.
Wajah mereka
terlihat ketakutan ketika satu per satu pertanyaan diajukan untuk mereka.
“Kapan kau
datang ke tempat kejadian?”
Seorang polisi
bertanya pada seorang siswi dengan tatapan serius.
langsung saja,
siswi tersebut tertegun dan menjawab dengan sedikit ragu.
“Eh, aku datang
pagi-pagi sekalu untuk belajar, tapi--Saat aku datang, mayat Sasagawa-san dan
Karisawa-san sudah--Sudah--“
“Apa hubunganmu
dengan korban?”
Riya bisa mendengar
seorang polisi melontarkan sebuah pertanyaan pada seorang murid laki-laki yang sepertinya
tidak ia kenal.
Mungkin berbeda
kelas.
“T--Tidak ada.
Aku dan mereka tidak terlalu dekat!”
Murid laki-laki
itu terlihat kaget ketika polisi itu bertanya padanya.
Tapi,
kelihatannya, ia sedikit ragu dengan jawaban yang diberikan oleh siswa
tersebut.
“Oh, begitukah?
Tapi menurut teman-temanmu yang lain, kau tertarik pada Karisawa-san dan sudah
menyatakan cinta padanya, sayangnya kau ditolak. Apa itu benar?”
“E--Eh...Ya, itu
benar...”
Ia berkata
sambil memalingkan wajahnya.
“T--Tapi--!!”
Ia melanjutkan,
“Bukan berarti
aku yang membunuh Karisawa dan Sasagawa!”
Murid laki-laki
berambut hitam itu berusaha membela diri dan bangkit dari kursinya.
Wajahnya
terlihat sangat panik.
“Tapi, bisa saja
kau merasa dendam pada Karisawa yang sudah menolakmu kemudian merencakan
pembunuhan terhadapnya.”
Meskipun
membicarakan hal yang sangat gawat, polisi itu tetap memasang ekspresi tenang
di wajahnya yang sudah terlihat cukup tua.
“Me--Meskipun
begitu--!! Kalau seandainya saja aku memang dendam pada Karisawa, seharusnya
aku hanya membunuhnya saja’kan?! Tapi, bukannya Sasagawa juga ikut terbunuh!!? Dan
aku sama sekali tidak punya alasan untuk membunuh Sasagawa’kan!!? Serius, aku
sama sekali tidak ada hubungannya dengan kasus ini!!”
Ia terus
berusaha menjelaskan dan menyakinkan pihak polisi bahwa bukan dirinya yang
sudah merencakan pembunuhan terhadap Sasagawa dan juga Karisawa.
“Tapi, bagaimana
kalau saja ketika kau membunuh Karisawa, Sasagawa tidak sengaja melihatmu?
Bukannya itu akan menjadi alasan untukmu membunuhnya juga?”
Polisi tersebut
benar-benar serius dalam hal ini, dan memperhitungkan segala kemungkinan yang
bisa saja terjadi.
“I--Itu...”
Dan murid
laki-laki itu, akhirnya hanya bisa menerima semuanya dengan pasrah dan kembali
duduk dengan tatapan kecewa.
“L--Lagipula...”
Setelah beberapa
saat terdiam, murid itu kembali berbicara tanpa menatap ke arah polisi di
hadapannya.
“Mana mungkin
aku membunuhnya hanya karena alasan bodoh seperti itu? Aku--Aku memang sempat
suka pada Karisawa, tapi, setelah dia menolakku waktu itu, aku sudah jatuh
cinta pada gadis lain! Jadi, aku sudah tidak punya alasan apapun untuk
membunuhnya, karena aku juga sudah melupakannya!!”
Teriaknya dengan
suara sedikit keras.
Polisi itu
menatap ke arahnya dengan wajah serius, yang bisa membuat anak kecil langsung
melarikan diri begitu melihatnya.
Mendengar
penjelasan yang mungkin cukup masuk akal dari murid tersebut, polisi itu
akhirnya menghela nafas.
“Baiklah. Tapi,
bukan berarti aku akan melepaskanmu begitu saja. Sewaktu-waktu, kami mungkin
akan memanggilmu kemari penyelidikan lebih lanjut. Tolong sebutkan namamu.”
“W--Watase.
Watase Inari.”
Jawabnya dengan
gugup.
Setelah selesai
mencatat, polisi itu mempersilahkan Watase meninggalkan kantor polisi dan bisa
kembali pulang ke rumahnya.
Watase lalu
bangkit berdiri kemudian berjalan sambil memasukkan tangan ke dalam kantongnya.
“.....................”
Riya bisa
melihat ekspresi kesal yang ada di wajah murid bernama Watase itu.
Dan ketika ia
sudah sedikit jauh dari polisi yang menyelidikinya, Riya mendengar Watase
menghina polisi itu dengan suara pelan, kemudian berhenti berjalan.
Ia seperti
melihat ke arah lain dan memperhatikan sesuatu.
Riya juga ikut
melihat ke arah yang dituju oleh Watase.
“Aku tadi
berangkat dengan teman-temanku. Sampai-sampai, sekolah langsung ramai dan sudah
banyak orang yang berkumpul--“
Yang dituju oleh
Watase adalah sosok Emi yang juga sedang diinterogasi.
Beberapa detik
kemudian setelah melihat ke arah Emi, Watase melanjutkan langkahnya keluar dari
kantor polisi.
Suasana sekarang
ini terasa sangat tegang.
“.........................”
“Jadi,”
“?”
Mendengar ada
seseorang yang berbicara di dekatnya, Riya kembali mengalihkan pandangannya ke
arah polisi di depannya.
“Benarkah kau
membenci Sasagawa-san dan Karisawa-san?”
Tanyanya kepada
Riya.
“........A--Aku
tidak terlalu mengenal mereka. Dan aku belum pernah satu kalipun bicara dengan
mereka.”
Jawab Riya
dengan ekspresi wajah khawatir kalau-kalau ia dituduh berbohong.
“Maksudnya, kau
belum pernah sekalipun bicara dengan teman satu kelasmu? Kebohongan macam apa
ini?”
Baguslah, ia
benar-benar tidak percaya dengan ucapan Riya.
“M--Memangnya
itu salah? Aku memang tidak pandai bersosialisasi. Bukan hal aneh kalau aku
bahkan tidak mengenal satu atau 2 orang di kelasku!”
“Tapi,”
Polisi itu
menghentikan ucapannya.
“Kau membenci
mereka’kan?”
Ia kembali
menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali.
Riya menatap
polisi itu dengan tatapan tidak suka.
“Y--Ya, mau
bagaimana lagi! Aku memang tidak begitu mengenal sosok mereka berdua, tapi
bukan berarti aku tidak tahu kalau mereka tidak suka aku!!”
Jawab Riya
dengan nada kesal.
Mereka berdua
sudah mengatakan hal seperti itu, mana mungkin Riya bisa tahan dan tidak membenci mereka?
Ia bukanlah
manusia dengan hati malaikat, melainkan hanya manusia biasa yang juga bisa
membenci orang lain.
Tapi, membenci
bukan berarti membunuh’kan?
“Karena kau
tidak suka mereka itulah, kau membunuh mereka’kan?”
Polisi itu
berkata dengan wajah yang sedikit menakutkan meskipun nada bicaranya terdengar
tenang, dan itu langsung membuat Riya tersentak.
“M--Mana mungkin
hanya karena alasan seperti itu, aku tega-teganya berbuat sekejam itu pada
teman sekelasku!?”
“Mereka berdua
berkata buruk tentang dirimu pada sahabat baikmu. Dan menyuruh gadis--Yang
bernama Kawada Emi itu untuk meninggalkanmu. Kau bilang kau tidak pandai
bersosialisasi? Orang sepertimu ini biasanya jarang bisa mendapatkan seorang
sahabat. Karena itu aku yakin, kalau Kawada itu adalah sahabatmu yang sangat
berharga’kan?”
Ia berbicara
dengan satu kalimat panjang.
Riya hanya bisa
mengangguk pelan, yang berarti ‘Iya’.
“Kalau begitu,
memang kau pelakunya.”
“Apa!!?
Bagaimana mungkin Anda bisa memutuskan seenaknya begitu!!?”
Teriak Riya
sambil bangkit berdiri dan kembali menggebrak meja dengan keras begitu
mendengar perkataan tidak masuk akal dari polisi tersebut.
Namun
sepertinya, polisi itu bahkan tidak merasakan sedikitpun rasa takut ketika Riya
menatapnya dengan tajam.
“Sudah
jelas’kan? Karena kau takut kehilangan temanmu itu, makanya kau berani
menyakiti Sasagawa dan Karisawa, bahkan sampai tega membunuh mereka.
Orang-orang sepertimu itu selalu memiliki masalah yang sama.”
Ia berkata
sambil menatap ke arah Riya.
“Jangan berkata
seenaknya! Aku sama sekali tidak melakukan pembunuhan keji ini!! Bukan aku
pelakunya--“
“Tapi, putriku
yang mengatakan kalau kau adalah orang yang bertanggung jawab atas semua
ini...”
“.......................”
Ketika polisi
itu mengatakan itu, Riya hanya bisa terdiam di tempatnya.
Ia lalu
mengalihkan pandangannya ke arah nama yang tertera di bagian dada seragam
polisi itu.
Itsuki Kouji.
Kemudian ia
menoleh ke arah samping, di mana tatapan matanya kembali bertemu dengan Itsuki,
yang menatapnya seperti menatap sampah yang tidak ada gunanya.
“Ukh...”
Sejak awal, ia
sudah tahu, kalau ia pasti tidak akan bisa lolos dari masalah ini dengan mudah.
“Apa yang--!!!?”
Riya menghentikan
ucapannya.
Matanya tidak
bisa lepas dari mayat Sasagawa dan Karisawa yang masih tergantung di atas pohon
dengan kondisi mengenaskan.
Isi perutnya
juga berjatuhan ke atas tanah. Tubuh mereka hancur berantakan dan tak mungkin
bisa dikenali. Hanya saja,
Wristband
itu--Milik Karisawa!
Riya memang
tidak tahu, dan dia juga tidak ingin menduga-duga. Tapi kemungkinan besar jika
satu dari kedua mayat it adalah Karisawa, maka yang satunya lagi--Mungkinkah
Sasagawa yang selalu bersama dengannya?!
“Apa yang
terjadi di sini--!!? Kenapa Sasagawa dan Karisawa--“
Haruko berkata
dengan ekspresi terkejut.
Sepertinya ia
masih shock dengan kejadian yang baru saja terjadi tepat di hadapannya.
“Ukh--A--Aku
tidak tahan melihatnya!!”
“Hasegawa-san!!”
Sambil menutup mulutnya,
Runa berlari meninggalkan kerumunan, tanpa mempedulikan Emi yang berteriak
memanggilnya.
Riya melihat ke
sekelilingnya, semua orang yang berada di dekat situ, memandang dengan ekspresi
takut.
“Siapa yang tega
melakukan hal seperti ini!?”
“Mengerikan
sekali!!”
“Hey, apa tidak
masalah kalau kita biarkan terus seperti ini?”
“Polisi yang
akan mengurusnya!”
Mendengar itu,
entah kenapa Riya jutsru merasa kesal.
“Polisi yang
akan mengurusnya--!!? Jangan bercanda!”
Bersamaan dengan
itu, Riya langsung berlari ke depan, menghadap ke semua orang yang ada di sana.
“Riya--!?”
Kata Haruko yang
tidak mengerti dengan sikap Riya itu.
“T--Tolong
turunkan!! Siapapun, tolong turunkan mereka berdua!!”
Riya
memberanikan dirinya berdiri di depan orang banyak.
Bagaimanapun
juga, ini bukan sesuatu yang harus dipertontonkan seperti ini.
2 orang siswi
terbunuh di sini!!
“Jangan hanya
melihat saja! T--Tolong lakukan sesuatu!! Ambil tangga atau apapun--! TURUNKAN MEREKA BERDUA!!”
Teriak Riya lagi
lebih keras.
Tiba-tiba,
ketika pandangannya tidak sengaja mengarah ke bawah, ia melihat sesuatu.
“Apa ini?”
Seperti sebuah
bekas sesuatu yang ditarik...
Dan bekas itu
memanjang sampai ke arah bangunan sekolah.
Mungkinkah
ini...
“Darah? Mayat
mereka berdua di tarik dari dalam sekolah?”
Berarti...
“Yang
melakukannya salah satu dari siswa?"
Mungkin jika
bisa masuk ke dalam sekolah, bisa menemukan siapa yang melakukan semua
perbuatan gila ini.
Maka, Riya
langsung bergera menuju ke arah bangunan sekolah,
Tapi--
“Kau!!!”
“!?”
Riya langsung
tertegun begitu mendengar suara itu.
Ia tidak tahu
apa orang itu sedang bicara ke arahnya atau tidak, tapi ia menoleh saja.
Saat itu, sosok
yang tidak asing, langsung datang menerjang ke arahnya dengan kencang, kemudian
menabrak tubuh Riya sampai jatuh ke atas tanah.
“Kyaaah!!”
Teriak Riya
ketika tubuhnya menghantam tanah dengan keras.
Belum sempat
melihat apa yang terjadi, ia bisa merasakan seseorang menarik kerah seragamnya
dengan kasar kemudian berteriak ke arahnya,
“Kau!! Kau yang
sudah melakukan semua ini’kan!!!?”
“Ah! Apa yang
kau lakukan!? Cepat lepaskan aku!”
“Lepaskan
katamu!!? Kenapa aku harus melepaskan pembunuh sepertimu!!?”
“Ukh!! Pembunuh apa!!? Aku sama sekali tidak
paham dengan apa yang kau bicara--Akh!!”
Orang itu
menarik kerah baju Riya lebih kencang lagi dan itu membuatnya merasa sulit
bernafas.
“Kau--Kau yang
sudah--!!”
“Itsuki,
hentikan!! Lepaskan Riya!”
Itu Haruko,
berusaha menenangkan Itsuki yang tengah mengamuk.
Tapi, Itsuki
langsung menepis tangan Haruko dengan kasar.
“Diam kau, Takashi!!
Aku tidak ingin dengar apapun darimu!!”
Ia menatap tajam
ke arah Haruko yang kini tertegun.
“Lalu, kau!!”
Gadis berambut
panjang yang sedikit bergelombang itu, kembali mengalihkan tatapannya yang
mengerikan itu ke arah Riya.
“Kau yang sudah
membunuh Sasagawa dan Karisawa!!!”
Itsuki berteriak
dengan seluruh tenaga yang ia miliki. Dibanding dengan orang-orang itu, ia
pasti sudah terlebih dahulu mengenali siapa kedua mayat itu. Karena dia pasti
juga, melihat wristband milik
Karisawa di pergelangan tangan salah satu mayat tersebut, yang entah kenapa,
masih tersisa dan tidak terlalu terbakar. Ia pasti sudah menyadari, siapa 2
siswi yang tewas tersebut.
“Aku tidak
membunuh mereka, Itsuki! Aku sama sekali tidak melakukan apapun!!”
“Riya-chan
benar, Itsuki-san. Dia tadi berangkat sekolah bersamaku, Hasegawa-san dan juga
Takashi-san! Tidak mungkin kalau Riya-chan yang sudah membunuh Sasagawa dan
Karisawa-san!!”
Teriak Emi,
berusaha membela Riya.
Tapi, seolah
telinganya sudah tidak bisa mendengar suara yang ada di sekelilingnya lagi,
Itsuki sama sekali tidak memperdulikan perkataan Emi, maupun orang-orang di
sekekeliling yang memandangnya dengan takut.
“Aku tidak mau
tahu soal itu!! Kalau kau memang tidak membunuh mereka berdua hari ini, berarti
kau membunuh mereka kemarin’kan!!? Mengaku saja kau!!”
Teriak Itsuki
lebih keras lagi.
“A--Aku sama
sekali tidak melakukan apapun, Itsuki!! Bukan aku yang membunuh mereka
berdua!!”
Riya berusaha
membela dirinya sendiri, tapi Itsuki justru mengangkat sebelah tangannya ke
atas--
“Kau bohong!!!”
Dan ketika ia
bermaksud untuk menampar Riya, tiba-tiba saja--
GREP
“Hentikan, Kana!”
Di belakang
Itsuki, kini sosok seorang pemuda muncul sambil memegang tangan Itsuki,
berusaha menghalanginya untuk menyakiti Riya.
Dengan wajah terkejut,
Itsuki menyebut nama orang itu.
“T--Toru!?”
Kata Itsuki
sambil menatap ke arah Mochida dengan tatapan tidak percaya.
Sementara itu,
Mochida terus memandang Itsuki dengan tatapan tajam.
“Hentikan, Kana!
Jangan menyakiti Miyashita! Cepat lepaskan dia!!”
Mochida berkata
dan mempererat genggamannya.
“Ukh...”
Tidak bisa
berbuat apa-apa lagi, Itsuki akhirnya melepaskan Riya dengan kasarnya dan di
saat yang sama, Mochida juga melepaskan tangan Itsuki.
Itsuki lalu
menjauh beberapa langkah darinya.
Sejujurnya, ia
masih tidak percaya kalau Mochida justru lebih membela Riya daripada dirinya.
“....................”
Tentu saja, itu
jutsru membuat suasana semakin panas.
“Miyashita?! Kau
baik-baik saja?”
Dengan cepat,
Mochida langsung mendekati Riya yang masih berusaha mengatur nafasnya.
“Hah...Aku kira
dia tidak akan pernah melepaskanku...”
Kata Riya dengan
suara pelan.
“Kau baik-baik
saja? Tidak ada yang terluka?”
“...............”
Ketika Mochida
menatapnya, berusaha memastikan kalau Riya baik-baik saja dengan penuh rasa
khawatir, entah kenapa, Riya tidak bisa beteriak dan menyuruh laki-laki
berambut coklat itu untuk menjauh darinya, seperti yang biasa ia lakukan.
Ia hanya terus
memandang ke arah Mochida tanpa mengatakan sepatah kata sedikitpun, tak peduli
Mochida terus bertanya ‘Apa kau baik-baik saja’.
“Hey, Miyashita!
Kau dengar aku?”
Akhirnya Mochida
berbicara sedikit keras dan membuat Riya bangun dari lamunannya.
“..............A--Aku
baik-baik saja.”
Kata Riya
langsung memalingkan wajahnya yang memerah dari Mochida.
Ia lalu bangkit
berdiri, dibantu oleh Mochida, Haruko dan juga Emi.
“Kau...”
“..........”
Mereka bertiga
langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah Itsuki yang terus saja memasang
ekspresi kesal di wajahnya.
“Bagaimana bisa
kau membela gadis itu? Dia yang sudah membunuh kedua sahabat baikku...”
Sepertinya
pertanyaan itu ditujukan kepada Mochida.
Mochida lalu
menghela nafas sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Ah, aku sama
sekali tidak paham dengan jalan pikiranmu, Kana. Kenapa kau bisa berpikiran
bahwa Miyashita yang membunuh Sasagawa dan juga Karisawa?! Lagipula, tidak baik
saling menuduh di sini. Bukannya lebih baik kalau kita turunkan mayat mereka
berdua?”
Kata Mochida ke
arah Itsuki.
“Sudah jelas
gadis itu yang sudah membunuhnya!!!”
Itsuki berteriak
sambil sedikit melangkah maju.
Haruko langsung
maju ke depan, membelakangi Riya.
“Aku tahu kalau
kau tidak menyukai Riya! Tapi bukan berarti kau bisa menuduhnya seenaknya
begitu! Riya tidak mungkin membunuh!! Itu mustahil!”
“B--Benar! Riya-chan
tidak mungkin membunuh!! Kau kejam sekali, Itsuki-san!!”
Emi langsung
berdiri di samping Haruko dan berteriak keras ke arah Itsuki, berusaha
menyakinkan gadis itu kalau bukan Riya pelakunya.
Itsuki kemudian
menundukkan kepalanya.
Kedua tangannya
mengepal di samping tubuhnya dan terlihat bergetar.
“....................”
Di sisi lain,
Riya merasa kasihan pada Itsuki.
Kedua sahabatnya
baru saja meninggal dengan cara yang benar-benar sadis seperti ini.
Bahkan ia yakin,
seorang Itsukipun masih bisa merasa kehilangan ketika seseorang yang berharga
untuknya meninggal.
“Kemarin, kau--“
Setelah terdiam
beberapa saat, Itsuki kembali membuka mulutnya.
Suaranya
terdengar sangat lemah, seolah akan menangis.
Ia lalu
melanjutkan ucapannya yang terhenti,
“Kemarin, kau
mendengarnya bukan...?”
Itsuki
menyelesaikan kalimatnya.
“Apa...? Mendengar
apa?”
Tanya Haruko
tidak mengerti.
“Kemarin kau
mendengarnya’kan!!? Kau dengar ketika Sasagawa dan Karisawa menyuruh Kawada
untuk meninggalkanmu!!?”
Itsuki kembali
berteriak dengan kencang ke arah Riya, yang langsung membuat Riya meloncat
kaget.
“Menyuruh
Kawada-san untuk apa?”
Haruko, seolah
tidak percaya dengan kata-kata Itsuki barusan, berkata dengan spontan, kemudian
berhenti.
Ia lalu menoleh
ke arah Emi.
Wajah Emi
terlihat sangat tegang.
Itsuki kemudian
mengacungkan telunjuknya ke arah Riya.
“Kau dendam pada
mereka berdua’kan!!? Karena mereka berdua berusaha memisahkan Kawada-san
darimu!! Kau’kan tidak punya teman! Makanya kau menganggap Kawada-san sebagai
teman terbaikmu! Iya’kan!!? Karena kau tidak ingin kehilangan Kawada-san,
makanya kau membunuh Sasagawa dan Karisawa dengan cara gila seperti ini!!!”
Perkataan itu,
membuat Riya merasa semakin terpojok.
“[Apa ini!? kenapa jadi seperti ini!!? Aku
sama sekali tidak pernah melakukan apapun!!].”
Ia langsung
menarik mundur, Haruko yang berdiri tepat di depannya dan langsung bertatapan
dengan mata tajam Itsuki.
“Aku sama sekali
tidak membunuh mereka!! Mana mungkin aku melakukan hal sekejam ini!!! Dan
lagi--Bukannya kau yang menyuruh Sasagawa dan Karisawa untuk membuat Emi benci
padaku!! Kau yang menyuruh mereka’kan!!?”
Riya berteriak
dengan seluruh kekuatan yang ada pada dirinya.
Ia tahu pasti
kalau Itsuki akan berkata bohong pada semuanya, tapi--
“Iya, memang aku
yang melakukannya.”
Itsuki berkata,
dengan wajah dingin yang terlihat sangat kejam.
Suaranya itu
langsung menusuk telinga tiap orang yang mendengarnya seperti es.
Itsuki mengakui
perbuatannya?!
“Kau--“
“Memang aku yang
menyuruh mereka berdua menjauhkan Kawada-san darimu. Tapi, aku melakukannya
bukan tanpa alasan.”
Itsuki langsung
memotong ucapan Riya yang baru saja mengatakan kata ‘Kau’.
“Maksudmu apa,
Kana?”
Mochida tidak
mengerti.
“Kau dan
Kawada-san itu sama sekali tidak cocok! Aku sama sekali tidak percaya, kalau orang
seperti Kawada-san bisa berteman dengan orang tidak berguna sepertimu! Aku
yakin, kau pasti hanya memanfaatkan Kawada-san saja supaya bisa jadi
populer’kan!!?”
“Apa kau
bilang!!? Aku tidak--“
“Dan lagi, aku
sama sekali tidak bisa membiarkan Kawada-san terpengaruh oleh orang sepertimu
yang membawa pengaruh buruk untuknya. Makanya, aku berniat untuk menjauhkan
Kawada-san darimu.”
“...........................”
Riya hanya bisa
terdiam mendengar perkataan Itsuki.
Membawa pengaruh
buruk?
Apa ia membawa
pengaruh buruk untuk Emi?
“B--Bohong...Aku
sama sekali tidak pernah ingin memanfaatkan Emi seperti itu!!”
Kata Riya,
berusaha mengatakan yang sebenarnya.
Tapi--
“Iya, ya.
Mungkin memang seperti yang Itsuki katakan.”
“Eh...?”
Riya langsung
tertegun, ketika ia mendengar komentar salah seorang murid yang berbisik kepada
temannya.
“Miyashita’kan
seperti itu? Ia memang membawa pengaruh yang buruk buat Kawada-san.”
“T--Tunggu--Aku
tidak--!!”
“Jangan-jangan,
memang dia yang membunuh Karisawa dan Sasagawa?!”
“Aku tidak--”
“Sadis sekali!
Ia benar-benar melakukan itu!!?”
“A--Aku--Aku--“
Semua murid,
langsung berbisik-bisik dengan teman di dekatnya.
Riya tidak tahu
benar apa yang mereka bicarakan, tapi semuanya memandang ke arahnya dengan
wajah ketakutan.
“Tunggu, semua--!
Bukan aku pelakunya!! Bukan aku! Aku--AKU BUKAN PEMBUNUH!!!”
GYUT
“Eh?”
Riya bisa
merasakan seseorang menarik tangannya dengan tiba-tiba.
Dengan cepat,
orang itu segera mendekap tubuh Riya dengan erat. Sangat erat, seolah tidak
membiarkan gadis itu lepas dari pelukannya. Ia tidak bisa melihat ke atas untuk
melihat siapa orang yang memeluknya tersebut.
Yang pasti,
tubuhnya terasa hangat.
“Sudahlah.”
Orang itu bicara
dengan nada yang lembut.
Perlahan, ia
membelai kepala Riya dengan lembut.
“Kau tidak perlu
mendengarkan apa yang mereka semua katakan padamu. Cukup dengarkan suara
teman-temanmu saja.”
Katanya sambil
terus mempererat pelukannya.
“...........[Suara teman-temanku...?].”
“Bukan Riya yang
melakukannya!!”
“!?”
Riya tertegun
ketika ia mendengar suara Haruko berusaha membela dirinya.
“[Haruko...].”
“Takashi-san
benar! Tolong jangan berkata buruk lagi soal Riya-chan!!”
“[Emi...].”
“Kau dengar’kan?
Tak peduli apakah semua berbalik menyerangmu, kau masih memiliki sahabat yang
akan selalu berdiri di sampingmu. Selain itu...”
.....................
..........................................
..................................................................
“Kau juga punya
aku...”
“.............Mochida...”
Setelah itu,
polisi datang.
Mereka memeriksa
tempat kejadian, kemudian menurunkan tubuh Sasagawa dan juga Karisawa yang
sudah sangat sulit untuk dikenali lagi. Di sana, kedua orang tua korban
pembunuhan tidak manusiawi itu menangis dengan keras. Bahkan, Itsuki terlihat
juga menitikkan air mata.
Polisi segera
melakukan penyelidikan.
Awalnya semua
merasa ragu.
Apa benar
pembunuhan keji ini benar-benar dilakukan di dalam sekolah?
Kapan?
Siapa yang
melakukannya?
Siswa?
Hanya
membayangkan bahwa yang melakukan pembunuhan terdapat 2 orang dengan cara kejam
seperti ini adalah murid SMA biasa...
Ini benar-benar
sangat sulit untuk dibayangkan...
Tapi ternyata,
Bukti yang
terdapat di sini...
Semua
membenarkan perkiraan tidak masuk akal yang sulit untuk dibayangkan itu.
Seperti yang
Riya lihat sebelumnya, ada jejak yang terlihat seperti bekas darah yang
tertinggal dari arah sekolah.
Maka dengan
cepat, polisipun segera menyelidiki dan mengikuti ke mana jejak darah yang
memanjang itu berakhir. Mereka juga tidak lupa untuk memeriksa bekas darah di
lantai tersebut.
“Darahnya sudah
mengering. Sepertinya pembunuhan ini tidak terjadi tadi pagi, melainkan
kemarin.”
Kata salah
seorang polisi yang sedang berjongkok, tengah memeriksa darah itu.
Penyelidikan di
lanjutkan, lantai 1, kemudian lantai 2. Sampai akhirnya, jejak darah itu
berhenti di depan sebuah pintu ruangan yang tertutup.
Ruangan
laboratorium di lantai 2.
Dengan perlahan,
para polisi membuka pintu ruangan tersebut.
Dan ternyata,
Di temukan
banyak sekali bercak-bercak darah di atas lantai.
Gelas-gelas kaca yang ada di dalam ruangan
lab. juga banyak yang pecah.
Bukan hanya itu.
Di sana, juga
ada bagian lantai dan dinding, tepatnya di pojok sudut ruangan, yang berwarna
kehitaman, seolah sesuatu telah di bakar di sana.
Jadi, begitulah.
Bahkan setelah
itu, penyelidikan terus berlanjut.
Beberapa murid
yang terus menunggu hasil di depan gerbang sekolah, dimintai keterangan satu
per satu oleh polisi.
Jam berapa
mereka pulang, apa yang mereka lakukan kemarin, apa mereka masih di sekolah
sampai larut malam, semua hal-hal seperti itu yang ditanyakan kepada
murid-murid.
Selain itu,
meskipun tidak diminta, ada juga beberapa murid yang berkata sesuatu seperti,
‘Ah, kemarin
anak itu ada kegiatan klub. Sepertinya dia akan tinggal di sekolah sampai
malam. Bukannya Sasagawa dan Karisawa kemarin juga ada kegiatan klub, ya? Apa
jangan-jangan dia yang melakukannya?’.
‘Kemarin malam
saat aku sedang pergi bersama keluargaku, aku sempat lihat anak itu, berjalan
keluar dari gerbang sekolah. Iya, pasti dia pelakunya!’.
‘Coba tanya
Watase. Kalau tidak salah, dia pernah mengungkapkan perasaannya pada Karisawa,
tapi di tolak dengan kasar oleh Karisawa. Mungkin saja dia jadi dendam!’.
Seolah tidak
ingin menjadi tersangka, mereka langsung dengan cepat melimpahkan kesalahan itu
kepada orang lain, yang bahkan belum tentu mereka adalah pelakunya.
‘Anak itu.
Namanya Miyashita. Menurut yang lain, dia dendam pada Karisawa dan Sasagawa
yang berusaha merebut sahabat baiknya. Pasti dia yang sudah membunuh mereka
berdua!’
‘Takashi dan
Hasegawa adalah sahabat baiknya. Sepertinya mereka berdua juga patut
dicurigai’.
‘Iya, mana bisa
anak SMA menggeret 2 mayat seorang diri?! Pasti ini perbuatan mereka bertiga!’.
‘Aku yakin kalau
dia yang sudah membunuh sahabat baikku, Ayah!!’.
Maka,
murid-murid yang telah ‘dicurigai dan dituduh dengan alasan tidak jelas itu’,
dipanggil ke kantor polisi, sementara siswa yang lain diwajibkan untuk segera
pulang, karena bisa saja pembunuh misterius yang tidak jelas itu muncul kapan
saja dan di mana saja.
“Jadi, akhirnya,
kau sama sekali tidak mau mengakui perbuatanmu, Miyashita-san?”
“Aku merasa
tidak ada yang perlu aku akui, karena aku memang tidak melakukan apapun.”
Riya menanggapi
dengan dingin pertanyaan yang diajukan oleh kepala polisi.
Matanya menatap
ke arah ayah Itsuki tanpa rasa takut sedikitpun.
“[Untuk apa aku merasa takut atau mengatakan
sesuatu lebih dari ini? Aku memang tidak berbuat salah. Aku tidak membunuh
mereka!] Aku juga tidak peduli apa yang putrimu katakan padamu, tapi aku
berani jamin, kalau aku tidak melakukan pembunuhan ini. Aku tidak melakukannya.”
Riya berkata
dengan wajah yakin yang langsung membuat kepala polisi itu menghela nafas
dengan wajah sedikit kesal.
“Baiklah, karena
belum ada bukti, sepertinya tidak ada pilihan lain untuk melepaskanmu.”
Katanya sambil
memundurkan tubuhnya sedikit ke
belakang.
Mendengar itu,
otomatis Riya tidak menahan dirinya untuk merasa lega.
“Benarkah?! Anda
melepaskanku?”
“Hanya untuk
kali ini saja. Kami akan memanggilmu sewaktu-waktu. Sekarang kau boleh pulang.”
Kepala polisi
itu kembali menghirup rokoknya kemudian bangkit berdiri meninggalkan Riya.
“Huff...Syukurlah...”
Kata Riya pelan.
“Riya-chan!”
“Emi-cha--Waa!!”
Riya langsung
terkejut, ketika Emi tiba-tiba, tanpa peringatan terlebih dahulu, meloncat dan
memeluknya dengan erat.
“Riya-chan, kau
baik-baik saja?? Tidak di tangkap’kan? Kau tidak akan dipenjara’kan? Kan? Kan?
Kan?”
“Auh iak ahan i
penhara, apih heperhia ahu ahan mahi hehahisan n--nahaaaassss--Uhk... “ -->
Aku tidak akan dipenjara, tapi sepertinya aku akan mati kehabisan nafas.
“Miyashita bisa
kehabisan nafas kalau kau memeluknya seerat itu, Kawada. Lepaskan dia.”
Seolah bisa
membaca pikiran Riya, Mochida langsung menyuruh Emi untuk melepaskan Riya.
Di belakangnya,
Haruko dan Runa mengikuti.
“E--Eh, maaf...”
Dengan wajah
merasa bersalah, Emi menoleh ke arah Mochida sambil melepaskan Riya.
“Uh...Udara...”
Kata Riya sambil
meletakkan tangan di dada dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
“Jadi,”
“?”
“Kau tidak akan dipenjara’kan?”
Riya langsung
menoleh ke arah Mochida, yang kini tersenyum ke arahnya.
Sebenarnya,
Mochida dan Emi sudah diijinkan pulang karena murid teladan seperti mereka
tidak mungkin dicurigai melakukan pembunuhan sekejam ini. Namun, karena
beberapa sahabat mereka ada yang ikut diinterogasi, mereka memutuskan untuk
ikut ke kantor polisi dan menunggu.
Entah kenapa, ia
merasa aneh, dan dengan cepat, langsung memalingkan wajahnya.
“Tentu saja
tidak. Aku tidak melakukan apapun, kok!”
Jawabnya sinis
sambil berkata ‘Huh’ yang hanya ditanggapi dengan tawa kecil oleh Mochida.
Ia lalu melirik
ke arah Mochida dan kembali berkata dengan nada kesal.
“Kau kenapa ada
di sini? Bukannya kau tidak mendapat panggilan kehormatan ini? Kalau kau ke
sini karena aku, lebih baik kau pulang saja! Aku tidak membutuhkanmu di sini! [Lihat mukamu itu aku jadi makin kesal].”
“Eh, aku ke sini
karena menemani seorang temanku. Makanya aku tidak pulang.”
Jawab Mochida
yang langsung membuat Riya tertegun, kemudian langsung memalingkan wajahnya
lagi.
“Hmph! Terserah
kau saja.”
Riya berkata
dengan wajah memerah yang berusaha ia sembunyikan.
Ketika ia tak
mendengar Mochida mengatakan sesuatu sekali lagi, ia sedikit mengintip ke
arahnya dan ternyata pemuda itu sedang menulis di atas sebuah kertas.
Begitu ia
selesai, ia segera menyerahkan kertas itu pada Riya.
“Oh ya,
Miyashita, kau tidak punya nomor ponselku’kan? Karena aku sangat
mengkhawatirkanmu...Akan kuberikan nomorku untukmu. Ingat, kalau ada apa-apa
atau kau sedang butuh bantuan, hubungi aku, ya.”
Ia berkata
sambil tersenyum, yang dibalas Riya dengan tatapan sinisnya.
Dengan berat
hati, ia mengambil kertas yang telah disobek menjadi cukup kecil itu dan
melihat angka yang tertulis di dalamnya--
‘087361962904-Mochida
Toru’
SRET SRET SRET
--Dan merobeknya
menjadi serpihan-serpihan kertas yang jauh lebih kecil lagi.
“Eh!? Kenapa kau
merobeknya!?”
Mochida
berteriak histeris dan berusaha mengumpulkan kertas-kertas itu yang telah
beterbangan di sekelilingnya dan berserakan di mana-mana itu.
“Tapi, jujur
saja. Kejadian ini membuatku khawatir.”
Haruko tiba-tiba
berkata sambil menopang dagu.
Ekspresi
wajahnya jelas terlihat seperti mengkhawatirkan sesuatu.
Emi menambahkan,
“Benar sekali.
Dari tadi aku terus penasaran, siapa yang melakukan pembunuhan kejam ini. aku
perhatikan, tak seorangpun yang mau mengakui perbuatannya...”
“Yah...Mana ada
pembunuh yang mau mengakui perbuatannya.”
Di belakang
Haruko, Runa berkata sambil melipat kedua tangan di dada.
Dari tadi, ia
sama sekali tidak menoleh ke arah Riya. Dan wajahnya itu, seperti orang yang sedang
merasa sebal akan sesuatu.
Riya yang
menyadari ada yang tidak beres dengan Runa, langsung mengalihkan pandangan ke
arah gadis itu.
“Kau kenapa,
Runa? Kok kau memasang wajah seperti itu?”
“Kenapa, ya? Aku
hanya merasa kesal saja. Gara-gara ‘seseorang’, aku dan Haruko jadi dituduh
pembunuh!”
Runa berkata
dengan nada super sinis, tanpa menoleh ke arah Riya.
Mendengar ucapan
Runa yang seperti itu, Riya langsung tertegun.
Apa Runa baru
saja menyalahkan dirinya atas semua kejadian ini?
“Runa! Jaga
ucapanmu! Kenapa kau mengatakan hal seperti itu!? Tidakkah kau pikir itu
terlalu kejam?!!”
Haruko langsung
menatap tajam ke arah Runa dan berusaha memperingatinya.
Tapi, Runa hanya
menanggapinya dengan santai.
“Tapi, memang
begitu’kan kenyataannya? Kalau bukan karena kita adalah ‘teman’ dari orang di
sana itu, maka kita berdua tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam di sini!!
Orang-orang juga tidak akan menuduh kita yang bukan-bukan!”
“Aku paham
bagaimana perasaanmu, Runa! Siapapun juga tidak akan mau dituduh seperti itu!
Tapi, bukan berarti kau bisa menyalahkan Riya seperti itu!! Apa yang Riya,
sahabat kita alami, jauh lebih berat daripada yang kita alami!”
Haruko berkata
dengan suara agak keras, yang membuat beberapa polisi menoleh ke arah mereka.
Runa langsung
menundukkan wajah dan melangkah mundur beberapa senti.
“Hasegawa-san...”
Kata Emi sambil
menatap Runa dengan ekspresi sedih.
“...........Aku
mau pulang.”
“Tunggu, Runa!”
Haruko berteriak
memanggil nama Runa, menyuruhnya untuk berhenti.
Namun, Runa
terus berjalan sehingga Haruko langsung menoleh ke arah Riya.
“Riya, ayo
pulang.”
“Aku bilang mau
pulang, bukan berarti aku ingin pulang dengan dia!”
Runa berkata
sambil melemparkan tatapan tajam ke arah Haruko dan yang lainnya.
“.......................”
Sementara itu,
Riya hanya bisa menatap ke arah Runa, gadis yang selama ini selalu ia sebuat
dengan ‘sahabat’ itu, dengan tatapan tidak percaya.
Sahabat seperti
apa yang tega mengatakan hal mengerikan itu kepada sahabatnya sendiri. Seharusnya
ia tahu, seharusnya sejak awal ia tidak perlu mengenal gadis bernama Runa itu.
Ternyata, ini
diri Runa yang sebenarnya.
“...............Aku--“
Riya yang dari
tadi terus terdiam, akhirnya membuka mulut.
Semua pandangan
langsung tertuju ke arah gadis berambut pirang panjang itu.
Riya mengepalkan
kedua tangannya, kemudian menggebrak meja dengan keras!
“Aku juga tidak
mau di tuduh seperti ini!! Kalau kau mau pulang, pulang saja sana!!!”
Ia sudah
mengatakannya, dan tidak ada cara untuk menarik ucapannya kembali.
Semua terlihat
sangat terkejut mendengar teriakan Riya yang tiba-tiba meledak itu. Runa pun,
langsung memasang ekspresi kesal di wajahnya itu.
“Tidak usah kau
suruh aku juga akan pulang!! Dengar ya, Miyashita!!”
“!!?”
Ucapan Runa yang
meledak-ledak itu, membuat Riya tertegun.
Apa dia baru
saja memanggilnya ‘Miyashita’?
Di Jepang, semua
selalu memanggil sahabat terbaik dengan nama depan mereka, yang akan memberi
kesan dekat dan akrab. Sebaliknya jika mereka memanggil dengan nama keluarga
atau dengan imbuhan ‘san’, itu justru akan mengesankan kalau mereka baru saja
bertemu atau sama sekali belum saling mengenal sebelumnya.
Dan...Apa Runa
baru saja, mengatakan secara tidak langsung, bahwa ia ingin memutuskan ikatan
sahabatnya dengan Riya?
Karena itu ia
tidak akan memanggilnya ‘Riya’ lagi?
Runa melanjutkan
ucapannya, yang membuat semuanya hanya berdiri terdiam, menanti kelanjutan dari
ucapan gadis itu,
“Mulai detik
ini, anggap kita tidak pernah saling bertemu! Anggap kita tidak pernah berteman
atau apapun!! Karena, aku sama sekali tidak ingin terlibat dengan masalah ini,
atau dituding sebagai seorang pembunuh! Kalau memang harus ada seseorang yang
dikorbankan untuk disebut pembunuh, kurasa kau seorang saja cukup! Tidak perlu
membawa kami yang lainnya!!”
“........................”
“Runa!!!”
Haruko
berteriak, memegang pundak Runa yang terlihat menegang.
“Apa!!? Aku
hanya ingin mengatakan yang seharusnya aku bilang!!!”
Menoleh ke arah
Haruko di belakangnya dengan cepat, Runa langsung melemparkan tatapan seperti
pedang yang menusuk ke arah sahabat masa kecilnya itu.
“Tapi apa itu
yang seharusnya dikatakan oleh seorang sahabat!!?”
Tidak mau kalah,
Haruko berusaha mengatakan pada Runa bahwa apa yang dia ucapkan barusan itu
sudah terlalu jauh.
“Ha--Hasegawa-san,
Takashi-san, tolong hentikan membuat wajah yang seram seperti itu...Jangan
bertengkar di sini...Bagaimana kalau kita cepat pulang saja? Kasihan
Riya-chan...”
Ucap Emi pelan,
dengan eskspresi panik dan ketakutan. Ia sepertinya berusaha untuk menghentikan
konflik yang terjadi diantara 3 sahabat itu.
Mochida pun
sedikit melangkah maju ke arah Runa dan Haruko dan ikut dalam pembicaraan.
“Kawada-san
benar. Tidak seharusnya kalian berkelahi di sini. Ini kantor polisi. Lagipula,
kalian para gadis tidak ingin orang-orang di sini melihat ke arah kalian’kan?!”
Kata Mochida
sedikit keras. Nadanya terdengar sangat tegas.
Ini bahkan sudah
pada level di mana Emi dan Mochida yang sebelumnya hanya bisa menonton, tidak
bisa berdiam diri lagi dan harus ada yang menengahi mereka. Jika tidak ingin
ada pertumpahan darah atau perang dunia ketiga tentunya.
Tapi ternyata,
semua yang Emi dan Mochida ucapkan, sama sekali tidak ditanggapi baik oleh
Runa, Haruko dan juga Riya yang masih disibukkan oleh pikiran alam bawah
sadarnya sendiri.
“KAU INGIN AKU BERKATA APA!!!? APA YANG HARUS AKU
KATAKAN!!!?”
“Apapun, asalkan
bukan sesuatu yang memojokkan Riya seperti itu!! Runa, sebenarnya kau ini
sahabat macam apa!? Kau anggap apa Riya!!?”
“BUKAN SIAPA-SIAPA!!! AKU TIDAK PERNAH MENGANGGAP GADIS ITU SEBAGAI SAHABATKU
ATAU SESEORANG YANG BERHARGA UNTUKKU!!! BAGIKU, DIA ITU CUMA PENGGANGGU!!
PENGGANGGU ANTARA HUBUNGAN PERSAHABATANKU DENGAN HARUKO!!!!!!”
DEG
“.................”
Tiba-tiba, Riya
bisa merasakan sensasi aneh mulai menjalar masuk ke tubuhnya. Tangannya mulai
mendekap tubuhnya sendiri dengan erat seakan-akan sedang menahan udara dingin
yang merasuki tubuhnya.
Sementara itu,
tubuh Haruko serasa gemetar ketika kata-kata Runa, yang mungkin tidak ditujukan
untuk dirinya itu, namun itu saja sudah bisa membuat dirinya ketakutan.
“.................Apa...yang...Kau
ucapkan barusan...Runa...? Apa yang telah merasukimu...?”
Pertanyaan itu,
pertanyaan dengan nada takut itu seperti sedang berkomunikasi dengan seorang
pembunuh berdarah dingin, tak mendapat jawaban dari Runa.
“......................”
“BUKAN SIAPA-SIAPA!!! AKU TIDAK
PERNAH MENGANGGAP GADIS ITU SEBAGAI SAHABATKU ATAU SESEORANG YANG BERHARGA
UNTUKKU!!! BAGIKU, DIA ITU CUMA PENGGANGGU!! PENGGANGGU ANTARA HUBUNGAN
PERSAHABATANKU DENGAN HARUKO!!!!!!”
Kata-kata dingin
Runa, yang terasa kejam itu bergema di dalam diri Riya. Pelan-pelan ia mulai
mencerna kalimat yang dikatakan dengan rasa kebencian yang amat sangat itu.
Bukan
siapa-siapa?
Jadi begitu?
Jadi selama ini
dia berteman dengan seseorang yang bahkan tidak mengganggap dirinya jauh lebih
baik dari sampah?
‘Aku hanya penggangu? Hasegawa Runa, tidakkah
kau paham!? Kau yang penganggu!!!!!!!’
“...............”
Tangan Riya
mengepal seolah siap memukul apa saja yang ada di hadapannya.
‘Kau yang mengganggu
hubunganku dengan Haruko!! Gara-gara ada kau--‘
“[Gara-gara mahluk bernama Hasegawa Runa itu--]
GARA-GARA KAU-- HARUKO--SELALU
MENINGGALKANKU!!!”
“!!!!!!!!!”
Semua mata di
ruangan itu, langsung menatap ke arah Riya dengan wajah terkejut.
“Riya--“
Mulut Haruko
bergerak, menyebut nama gadis berambut pirang itu, kemudian berhenti seolah ia
melupakan lanjutan dari kata yang ingin diucapkannya.
Di wajah Runa
yang semakin geram itu, terpancar ‘Jadi selama ini, itu yang selalu kau
pikirkan’ di wajahnya.
Meski mungkin ia
sudah mengatakan semua yang selama ini ada di dalam hatinya yang terdalam, ia
masih saja memiliki berbagai cara untuk menjatuhkan Riya, gadis yang selama ini
dianggapnya sangat menyebalkan.
Jadi, ia
meletakkan sebalah tangannya di pinggang, memasang wajah angkuh lalu--
“SUDAH SEWAJARNYA DIA MENINGGALKAN GADIS ANEH YANG TIDAK JELAS
SEPERTIMU!!!”
“HASEGAWA-SAN!!”
Dengan cepat,
Emi yang dari tadi berusaha melerai dengan kata-kata yang terdengar tenang,
langsung berlari ke depan Riya dan merentangkan sebelah tangannya seolah
berusaha melindungi gadis itu.
“.................”
Tatapan tajam
mata Runa kini bertemu dengan tatapan tajam yang datang dari Emi dan untuk
waktu yang cukup lama, tak satupun dari mereka berdua melontarkan kata-kata
selain saling menatap satu sama lain.
Suasana semakin
terasa berat.
“Bahkan sampai
Kawada-san juga...”
Gumam Haruko
pelan.
“.......Aku
memang tidak tahu apa masalahmu dengan Riya-chan, tapi menurutku pribadi, jika
memang ada yang ingin kau katakan tentang Riya-chan, sepertinya sekarang bukan
saat yang tepat.”
Ujar Emi ke arah
Runa, yang hanya ditanggapi dengan ‘Hah’, oleh gadis tersebut.
Kalau
dipikir-pikir, ucapan Emi memang ada benarnya. Sebuah pembunuhan baru saja
terjadi! Bukan saatnya untuk acara membongkar rahasia tidak penting seperti
ini!!
“Kalau tidak
sekarang, kapan lagi aku bisa mengatakannya? Bukannya sesuatu yang dipendam itu
akan lebih baik jika dikeluarkan daripada terus dipendam dan membusuk? Karena
itu, biar aku mengatakannya sekarang. Aku, sejak pertama kali bertemu denganmu
aku sudah membencimu! Kau itu aneh! Aku juga tidak paham apa yang Haruko lihat
darimu sehingga dia mau menjadi sahabatmu! Kalau memang ada alasan di balik
itu, kurasa itu karena sifat Haruko yang terlalu baik!”
Ia
mengatakannya...
Ia benar-benar
telah mengatakannya!!
“Jangan berkata
buruk soal Riya-chan lagi! Aku, mengenal Riya-chan jauh lebih lama darimu! Aku
mengenal seperti apa Riya-chan dan dia bukanlah orang yang aneh!! Kalau ada
yang aneh, itu kau! Hasegawa-san, kaulah yang aneh!!!”
“...............Emi-chan...”
Dan Riya, cuma
bisa membeku di tempatnya sambil memperhatikan Emi yang seolah sedang berusaha
mati-matian melindungi dirinya dari Runa.
Perlahan, kedua
tangannya menggenggam bagian bawah roknya dengan sangat erat.
“.........................[Runa, sahabatku yang ‘asli’ ternyata
‘palsu’...Sedangkan Emi-chan...Yang bahkan mungkin sejak awal dia tidak berada
di sini, di sisiku, sahabat ‘palsu’ itu ternyata justru ‘sahabat asli’ku! Dia
melindungi aku...Mati-matian membelaku di hadapan Runa...Sedangkan Runa...Di
saat seperti ini dia malah...Bersikap seperti itu...Siapa...Siapa sebenarnya
yang bisa aku sebut sebagai ‘sahabat’?!].”
“Aku yang aneh!?
Kau bilang aku--Hey, Kawada-san, apa kau tidak sadar, justru kaulah yang paling
aneh di sini!!”
“Apa--!?”
“Kawada-san, aku
minta kau hentikan mereka! Bukannya malah ikut berteriak seperti ini!!”
Seru Mochida, yang
sebelumnya mengharapkan Emi mampu meredakan api diantara Runa dan Riya, namun
sama seperti sebelumnya tak satupun diantara Emi maupun Runa yang mau mengalah.
Runa melanjutkan
ucapannya,
“Kau mau
berteman dengan gadis yang tidak ada gunanya seperti dia itu saja, menurutku
sudah sangat aneh! Kalau tidak salah, bukannya baik Itsuki, Sasagawa maupun
Karisawa mengatakan hal yang sama? Tidak ada untungnya kau berteman dengan
orang seperti Miyashita! Kau itu populer! Semua orang menyukaimu! Apa kau tidak
pernah berpikir untuk berteman dengan orang yang berada di satu level yang sama
denganmu!?”
Gadis dengan
rambut yang dikuncir twintail di bagian bawahnya itu kembali berteriak, membuat
Emi sedikit tersentak ke belakang.
Itu, justru
membuat ekspresi di wajah Emi semakin bertambah kesal, wajah yang sebelumnya
belum pernah Riya lihat. Meski saat ini Emi sedang membelakangi Riya, namun Riya
seakan-akan bisa merasakan kemarahan Emi saat ini.
“.................”
“Aku...”
Dengan suara
pelan dan kepala tertunduk, Emi mengucapkan sepatah kata yang pendek, kemudian,
“SATU-SATUNYA ORANG TERBAIK YANG BISA AKU ANGGAP SEBAGAI SAHABAT HANYALAH
RIYA-CHAN!!! KALIAN SEMUA TIDAK ADA APA-APANYA KALAU DIBANDINGKAN DENGANNYA!!!!
KARENA ITU TIDAK AKAN KUMAAFKAN KAU KARENA BERBICARA BURUK SOAL RIYA-CHAN
SEPERTI ITU!!!!!!!”
“!!!!!!!!!”
Mengangkat
wajahnya, Emi, berbicara dengan suara terkeras yang belum pernah didengar oleh
semuanya, menggema ke seluruh ruangan. Semua mata langsung melihat ke arah
mereka dan mulai membicarakan apa yang sebenarnya terjadi diantara anak-anak
sekolah itu.
Haruko, Mochida,
Runa dan Riya, semuanya menatap dengan tatapan tidak percaya ke arah Emi. Tidak
percaya kalau gadis itu bisa mengatakan sesuatu yang sangat jauh dari kesan
murid idola semuanya. Kata-kata yang baru ia ucapkan itu, sebuah kata-kata
untuk membela Riya, seolah telah menghancurkan image ‘sempurna’ pada diri Emi.
Hanya saja,
sepertinya gadis berambut panjang sepunggung itu sama sekali tidak
mempermasalahkan hal itu. Justru itulah,
“[Sesuatu yang bisa membuat seseorang di sebut
sebagai sahabat sejati, tak peduli apakah dia harus membuat dirinya nampak
buruk di hadapan orang lain...Emi--Dia melakukan semua ini untukku...?].”
Riya berkata
dalam hati, tak melepaskan pandangan matanya sedetikpun dari punggung gadis
itu. Rambutnnya yang coklat panjang, terlihat sangat indah. Sama seperti hati
yang dimilikinya.
“...................”
Saat ini, Riya
bisa merasa suatu perasaan aneh menumpuk jadi satu di dalam dirinya, ingin
meledak dan membuatnya serasa ingin menangis. Karena Emi, yang mungkin bahkan
bukan ‘manusia’, tapi memiliki sesuatu yang membuatnya menjadi ‘manusia’
seutuhnya.
Itu membuat Riya
merasa aneh, merasa aman dan terlindungi...
“[Dia melindungiku...].”
“Kalau begitu,
pergi dan bermainlah dengan teman yang kau anggap lebih baik dari kita semua
itu!! Aku juga tidak peduli, baik padamu atau pada Miyashita! Kau menyebalkan,
Kawada-san! Ternyata semua orang salah menilaimu! Kau tidaklah sehebat itu!!”
“[Emi melindungiku...Dan aku hanya mampu
berdiri diam di sini saat Hasegawa Runa itu menghinanya...].”
Saat itu tak
satupun kata yang dapat Riya tangkap dari Runa, meski seperti itu, ia tahu
kalau Runa sedang mengatakan sesuatu yang mungkin bisa dibilang oleh
orang-orang sekitar sebagai sesuatu yang menyebalkan.
Tubuh Riya
bergetar, mengutuk sendiri ketidakmampuannya yang tidak bisa bergerak untuk membela
dirinya maupun Emi. Rasanya semua ucapan
Runa yang terasa kejam itu telah membekukan diri Riya sepenuhnya sehingga
bahkan berkatapun rasanya sangat berat.
Runa dan Emi
masih beradu mulut, sementara Haruko dan Mochida berusaha menghentikan mereka
sebisanya. Beberapa polisipun mulai terlihat khawatir dan bermaksud untuk
mendatangi mereka berlima.
“Jika kau ingin berteman dengan pembunuh
itu--“
“!!”
“Aku tidak akan
melarangmu! Meski demi kebaikan Kawada-san sendiri, aku usulkan untuk menjauhi
anak itu!! Bagaimanapun juga, dia itu pembunuh!! Dia yang sudah membunuh
Sasagawa dan Karisawa!!”
Runa berkata,
mengarahkan jari telunjuknya ke arah Riya, yang membuat Riya terkejut.
“Hasegawa!!
Jangan berkata yang bukan-bukan!!!”
Kali ini,
Mochida yang telah kehilangan kesabaran dan berteriak.
Kelihatan sangat
jelas dari eskpresinya bahwa dia benar-benar marah apalagi setelah Runa
menyebut Riya yang benar-benar telah membunuh 2 orang teman satu kelas mereka
yang merupakan anak buah Itsuki itu.
“.................Apa-apaan
ini? Kau bahkan membelanya?”
Runa berkata,
sambil mengalihkan pandangan dari Emi ke arah Mochida di samping kirinya.
Sementara
tanggapan Runa terhadap perkataan pemuda berambut coklat itu, sangat dingin.
“Miyashita tidak
mungkin melakukan semua hal ini. Lagipula, kita tidak bisa menuduh siapapun
dalam kasus ini karena belum ada bukti yang pasti. Tak peduli apakah semuanya
menuduh Miyashita melakukan pembunuhan ini, aku akan tetap berada di sisinya
dan percaya padanya!”
Kata-kata
Mochida penuh dengan rasa kepercayaan.
Itu membuat Runa
merasa sangat kesal, mengingat gadis itu juga merupakan salah satu dari
sekumpulan gadis yang menginginkan perhatian dari Mochida.
“Ha ha ha.”
“!?”
Mendengar suara
tawa kecil yang berasal dari Emi, Runa langsung menoleh ke arah gadis berambut
coklat itu sekali lagi dengan tatapan yang seolah berkata ‘Apa yang kau
tertawakan’ di matanya.
Tanpa menatap ke
arah kedua mata Runa, Emi masih tertawa kecil saat ia menjawab pertanyaan yang
tersirat di mata gadis itu.
“Hasegawa
Runa...Kau jangan membuatku tertawa...”
Ia berkata,
dengan nada yang terdengar dingin. Mungkin sedikit terkesan menyeramkan.
TAP TAP TAP
Suara kaki Runa
yang terdengar ketika ia sedikit mundur itu memenuhi ruangan yang terdengar
sepi meskipun sebenarnya masih banyak beberapa siswa lain yang diinterogasi,
namun sepertinya, saat ini tidak ada suara lain yang bergema selain suara yang
berasal dari mereka berlima.
Maka, dengan
wajah yang entah kenapa menjadi terlihat agak gugup, Runa berkata kepada Emi,
“Apa--Apa maksud
dari ucapanmu itu, Kawada-san? Aku sama sekali tidak mengerti.”
Kata Runa dengan
keringat yang terlihat membanjiri wajahnya.
Apa ada sesuatu
yang terjadi?
Menunjukkan
sekilas senyuman tipis di wajahnya, Emi melangkah maju perlahan mendekati Runa
yang semakin mundur.
“Runa...?”
Haruko
mengangkat sebelah alisnya, sedikit bingung dengan tingkah Runa yang mendadak
aneh.
Akhirnya, ketika
Emi sampai tepat di hadapan Runa, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Runa
lalu--
BRAAAAAKH
“Kyaaaaa!!!!!!”
“Emi!!!”
“APA--APA YANG KAU KATAKAN!!!!? JANGAN BERCANDA DENGANKU!!! MANA MUNGKIN
AKU--“
“Runa!!!”
Melihat kejadian
yang terjadi di hadapan matanya sendiri, Mochida langsung berlari ke arah Riya
yang kini sudah memegang tubuh Emi yang terjatuh. Sedikit darah segar berwarna
merah terlihat mengalir dari kepalanya.
“Ugh...”
“Emi! Emi, kau
baik-baik saja!? Kau bisa dengar aku!!?”
Kata Riya panik,
sedikit menggoyang-goyangkan tubuh Emi yang tergeletak tak berdaya.
“Kawada-san,
bertahanlah!”
Merogoh sakunya,
Mochida berkata dengan nada khawatir sebelum akhirnya mengeluarkan selembar
sapu tangan putih dan menggunakannya untuk membersihkan darah yang menetes dari
kepala Emi.
Beberapa polisi,
yang awalnya berusaha sebisa mungkin untuk tidak ikut campur dengan urusan
mereka, akhirnya merasa bahwa kelakukan mereka sudah tidak bisa didiamkan lagi
dan turun tangan.
“Minggir, biar
kami yang mengurusnya. Kami punya obat-obatan di sini. Bisa ikut kami
sebentar?”
Salah seorang
polisi muda bertanya pada Emi, yang ditanggapi olehnya dengan anggukan singkat
sambil berusaha menahan rasa sakit.
“Emi...”
“Miyashita, biar
aku yang membantu Kawada-san. Kau bisa berdiri? Biar aku menggendongmu.”
“.....................”
Riya mengangguk
pelan, lalu Mochida segera membawa Emi ke ruangan yang dimaksudkan oleh polisi
tadi.
“...........................”
Keheningan yang
aneh menyelimuti ruangan kecil itu. Sementara Riya masih duduk tak bergerak,
memandangi sisa dari darah Emi yang menetes di lantai, Runa terlihat sangat
ketakutan. Tubuhnya gemetar dan dia tak henti-hentinya memandangi kedua
tangannya sejak tadi.
“Hahh...Hahh...A--Aku...Aku...”
“.......Runa...”
Entah apa yang
Emi katakan pada Runa, tapi itu sepertinya sesuatu yang membuatnya sangat
kesal, sampai-sampai ia mendorong Emi dengan keras dan kepalanya terbentur meja
dengan cukup keras.
Akhirnya, Haruko
pun menarik pundak Runa, mundur beberapa langkah dan menariknya untuk
berhadapan muka dengannya,
“Runa, Runa
dengar aku!”
Teriaknya ke
arah sahabat masa kecilnya itu, yang justru membuang muka dan tak melihat ke arah
Haruko.
Haruko langsung
meletakkan kedua tangannya di pundak Runa dan kembali memanggil Runa yang
menjadi diam.
“Runa, kau
dengar aku!? Tatap aku!!”
“.................”
Runa, tanpa
mengatakan sepatah kata pun, menoleh ke arah Haruko dengan eskpresi wajah yang
terlihat sedih. Mungkin saja ia merasa bersalah di hadapan Haruko karena telah
melakukan hal mengerikan seperti itu.
Apa yang akan
Haruko pikirkan tentang aku?
Itulah yang
sekarang ada di pikiran Runa. Dan sepertinya Haruko mengetahui hal itu, karena
daripada berteriak marah seperti yang gadis berambut hitam itu lakukan
sebelumnya, ia menghela nafas, lalu menatap ke arah Runa dalam-dalam, seolah
mengatakan ‘Tidak apa-apa’.
“.........Runa,
aku paham kalau kau sedang kesal karena peristiwa ini. Aku tahu, gara-gara kita
adalah sahabat Riya, kita bisa saja terkena tuduhan. Aku mengerti kau tidak
ingin dituduh sebagai pembunuh. Aku pun begitu. Riya pun juga. Tapi, tidak
seharusnya kau mendorong Kawada-san seperti itu. Apa--Apa yang sebenarnya
Kawada-san katakan kepadamu tadi?”
“Ukh!!”
“?”
Haruko tertegun
ketika ekspresi wajah Runa langsung berubah menjadi aneh. Bukan hanya itu saja,
tapi ia juga langsung menepis tangan Haruko menjauh darinya, dengan wajah yang
terlihat sangat ketakutan itu, Runa menutup telinga dengan kedua tangannya,
seakan-akan tidak ingin mendengar apapun.
“.................”
Tak mendapat
jawaban apapun dari Runa, Haruko lalu menoleh ke arah Riya yang masih terduduk.
Tubuhnya tak bergerak sedikitpun dan hanya memandang ke bawah seperti seseorang
yang telah kehilangan hasrat untuk hidup.
Gadis berambut
hitam pendek itu tahu apa yang sedang dialami oleh Riya bukanlah hal yang
ringan. Karena itu sebagai sahabat, ia tahu betul apa yang harus ia lakukan dan
katakan di saat seperti ini.
Maka dengan itu,
Haruko berjalan ke arah Riya, lalu berlutut di sampingnya dan menepuk
pundaknya.
“Tenang, Riya.
Aku yakin, Kawada-san pasti baik-baik saja.”
Ucapnya dengan
senyuman di wajahnya.
“.......................”
“Runa
pasti...Aku tidak tahu kenapa, tapi pasti dia tidak sengaja melakukan itu. Kau
tahu Runa seperti apa’kan? Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu.”
“.................................”
“Dan, hey, kau
tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Aku tahu, bukan kamu yang melakukannya.
Tidak mungkin kamu membunuh Sasagawa-san dan Karisawa-san dengan cara yang
sadis seperti itu. Aku yang paling tahu kalau kamu tidak suka membaca novel
horor dan lebih suka membaca cerita komedi. Jadi--“
“Iblis...”
“Eh?”
“......................Aku...Aku
sama sekali tidak percaya kau benar-benar melakukan hal semacam itu!!!!!! Kau
iblis!!! Hasegawa Runa!! KAU IBLIS!!!!”
“!!!!!!?”
“.........................”
Riya berusaha
mengatur nafasnya. Air mata terlihat di sudut matanya yang dipenuhi dengan
amarah. Ia yang dari tadi hanya terdiam
tanpa mengucapkan apapun, tiba-tiba saja berteriak dengan sangat keras yang
membuat Haruko di sampingnya tersentak kaget.
Tapi jauh
dibanding itu, Runa yang paling terlihat terkejut.
“Bukan--AKU BUKAN IBLIS!!!!”
“Kalau bukan,
lalu apa!!!? Coba kau jelaskan padaku, apa kau itu sebenarnya, Hasegawa Runa!!!?”
“Aku--!!
Aku--!!!”
“Kau menuduhku,
berkata bahwa aku pembunuh, menjelek-jelekkan aku sesuka hatimu! Aku--Aku tidak
masalah dengan itu...Jujur, sangat munafik kalau aku berkata ‘Tidak apa-apa,
aku bisa menerima perkataanmu itu’. Meski begitu, walau aku tak mengatakannya,
aku ingin sekali membiarkan hal itu terlewat sebisaku! Tapi--“
Ucapan Riya
terhenti.
Tubuhnya gemetar
bersamaan dengan kepalan tangannya yang semakin erat. Tubuhnya sedikit mundur
ke belakang, tapi segera maju kembali dan--
“Berkata buruk
tentang Emi! Bukan cuma itu! Kau bahkan melukai Emi, sahabatku!! Kau sadar
dengan yang kau lakukan!!!!? Aku tak bisa memaafkanmu!! Aku sungguh tak bisa
memaafkanmu!!!!!!!”
“Riya!!”
“DIAM!!!”
“!!?”
Ketika Riya
berteriak ke arahnya, Haruko tidak tahu harus melakukan apa kecuali terdiam.
Ucapan Riya terdengar seperti petir yang menyambar dirinya dengan sangat cepat,
tiada ampun. Dan rasanya sangat menyakitkan ketika sahabatmu sendiri yang
berteriak seperti itu ke arahmu.
“Aku--Aku belum
selesai bicara...”
Sambil mengusap
air matanya, Riya berusaha bangkit berdiri. Tubuhnya terasa berat dan lemas,
tapi dia tidak peduli. Karena ada sesuatu yang ingin ia katakan tepat di
hadapan Runa.
“.....................”
Melihat ke arah
Riya yang melangkah dengan pelan ke arah Runa berdiri, Haruko juga bangkit
berdiri. Tapi ia tidak mengikuti ke arah Riya berjalan melainkan hanya berdiri
di tempat.
GREP
Runa tak
mengatakan apapun ketika tangan Riya yang dingin menarik kerah seragamnya.
“....................”
Riya terdiam
sesaat, sebelum akhirnya ia mengatakan sesuatu, sesuatu yang mungkin terdengar
tidak masuk akal,
“..........Ya...Kurasa
kau benar, Hasegawa Runa...”
“Apa...?”
Memasang
ekspresi bingung di wajahnya, Runa melontarkan sebuah kata tanya.
“..........Kurasa...Memang
akulah yang telah membunuh Sasagawa dan Karisawa...”
DEG
“..........Mungkin
saja...Dengan kedua tangan ini, aku yang telah mencabik-cabik, lalu membakar
mereka hidup-hidup...”
Ujar Riya,
dengan nada datar dan dingin, yang mampu membuat siapa saja yang mendengarnya
merasa takut.
“...........Kau
sakit, Miyashita Riya...Kau sakit!”
“Ya, aku memang
sakit. Karena bukan hanya Sasagawa dan Karisawa yang akan kubunuh. Karena aku
memang seorang pembunuh dan telah membunuh...Seperti yang kau katakan
sebelumnya, seperti yang kau tuduhkan kepadaku, kenapa--“
“.............”
“--Aku tidak
membunuhmu juga?”
“!!!!?”
“Riya...Apa yang kau katakan...?”
Dengan mata
terbuka lebar, Haruko berkata dengan suara pelan. Terlihat jelas bahwa ia
benar-benar tidak percaya kalau kata-kata itu akan keluar dari mulut sahabatnya
itu.
Riya tidak
peduli akan tanggapan orang lain. Saat ini, yang ia inginkan hanyalah membalas
semua perkataan buruk yang dilontarkan oleh gadis dihadapannya. Dan ingin
sekali rasanya bisa membalasnya ratusan bahkan ribuan kali lebih menyakitkan.
“Ha ha ha!
Benar, bukannya aku ‘pembunuh’!!? Kalau begitu, kau yang akan jadi korban berikutnya!
aku akan membunuhmu, Hasegawa Runa, kemudian aku akan mengeluarkan isi perutmu
itu dan menarik putus kepalamu!!”
“Kau--!!!!”
“Bersiap-siaplah,
karena jarang sekali ada seorang pembunuh yang memberi peringatan terlebih
dahulu sepertiku ini. Apa itu membuatku terlihat seperti pembunuh berhati
baik?”
Ucap gadis
berambut pirang itu, dengan seringai yang cukup menakutkan, sambil melemparkan
sebuah tatapan pembunuh ke arah Runa, yang kini hanya bisa menahan rasa takut
yang mulai menyelimuti tubuhnya.
Dengan cepat,
Runa langsung menepis tangan Riya dari seragamnya, kemudian berlalri dengan
cepat ke arah Haruko dan memeluknya sahabatnya itu dengan sangat erat.
“Ha--Haruko!!”
“.................”
Haruko hanya
terdiam begitu melihat ekspresi ketakutan yang tergambar di wajah Runa.
Jujur saja, ia
sama sekali masih belum bisa mempercayai bahwa Riya benar-benar berkata bahwa
ia akan membunuh Runa!
Meski Haruko
tahu kalau kata-kata itu Riya itu tidak serius dan hanya terpancing oleh
perkataan Runa sebelumnya, meski ia juga tahu kalau semua kejadian yang
melelahkan ini berawal dari ucapan Runa, tapi ia tetap tidak bisa membiarkan
dan memaaf’kan, kata-kata Riya yang sudah di luar akal itu.
Walau ia tahu
Runa tak seharusnya mengatakan semua itu, ia tahu kalau semua itu salah dan
tidak benar, ia tahu kalau Riya sangat kesal dengan semua itu apalagi dengan
adanya kejadian yang tidak diinginkan seperti ini.
Tapi--
“Tapi tak
seharusnya kau mengatakan hal seperti itu...”
Haruko, berkata
dengan suara yang lemah dan terdengar penuh dengan kekecewaan.
“.......................”
Tak ada yang
dikatakan oleh Riya untuk menanggapi ucapan Haruko.
Namun, Haruko
tidak peduli dan tidak berhenti sampai di situ,
“Apa kau sadar
dengan yang kau ucapkan!!? Riya, apa kau benar-benar akan membunuh Runa!!!? Apa
kau--Juga akan membunuhku!!?”
Saat itu
terjadi, Riya masih berdiri di tempatnya.
Baru beberapa
saat kemudian, ia berbalik dan melemparkan pandangan kosong ke arah Haruko dan
Runa, pandangan yang berbicara ‘Aku sudah tidak peduli dengan semuanya itu’,
lalu tersenyum,
“Boleh juga.
Takashi Haruko, kau boleh ikut menemani sahabat baikmu itu ke neraka.”
“!!”
Haruko terkejut,
kali ini benar-benar terkejut dengan perkataan Riya yang tiba-tiba itu.
Dalam hatinya
yang terdalam, sesuatu seolah berkata ‘Tidak, tidak mungkin Riya yang
mengatakan semua itu’.
Walau banyak
teman sekelasnya yang tidak menyukai Riya, namun Haruko bisa melihat kalau Riya
sebenarnya adalah anak yang baik.
Itu yang ingin
Haruko percaya.
Hanya saja,
Baik wajah,
maupun suara itu...
Jelas
menggambarkan sebuah kenyataan, memang Riya yang mengatakannya, dengan mulutnya
sendiri. Yang paling menyedihkan dari kata-katanya barusan...
Terdengar
kesungguhan yang amat sangat saat ia mengucapkannya.
Akhirnya, dengan
suara yang terdengar dingin seperti es, Haruko berbicara,
“Runa, kita
pulang.”
“.....................”
Dan beberapa
detik kemudian, gadis yang rambutnya biasa dikuncir twintail pendek di bagian bawahnya itu langsung berbalik dan
mengikuti Haruko di belakang setelah mengangguk lemah.
“.....................”
‘Apa itu?’
Ketika itu,
sekilas Riya bisa melihat ekspresi kecewa di wajah Haruko.
“.................................”
‘Apa yang telah aku katakan...?’
Apa ia baru saja
membuat retakan yang cukup besar di dalam persahabatan mereka yang baru saja
‘benar-benar’ terbentuk?
Apakah semuanya
akan berakhir seperti ini saja?
Riya menatap ke
arah punggung Haruko, kemudian perasaan ingin meminta maaf karena telah
berteriak tadi muncul ke permukaan. Ia menggerakkan tangannya maju, seolah
berusaha menggapai sesuatu, dan ingin melontarkan sesuatu seperti ‘Tunggu,
Haruko!’.
Namun, bahkan
setelah sosok Haruko dan Runa menghilang dari ruangan yang kini diselimuti oleh
hawa dingin itu, kata-kata itu tak kunjung keluar dari mulut Riya, hingga akhirnya
dia hanya bisa jatuh terduduk sambil memegangi kepalanya.
“Apa yang sudah
aku katakan...? Tidak seharusnya aku mengatakan hal mengerikan seperti itu...”
Ia menghentikan
kata-katanya. Kemudian, ketika air mata yang turun itu terlihat dan jatuh ke atas
lantai,
“.......Mana
mungkin aku--Bisa membunuh sahabatku sendiri...Bodoh...Kau bodoh, Miyashita
Riya! Ugh...”
“..........................”
Dan Mochida,
hanya bisa memandang kasihan ke arah gadis itu, setelah kejadian yang ia lihat
itu, dari kejauhan.
***-***
“.........................”
“....................”
“Bibi, kami
permisi dulu, ya.”
“Tolong jaga
Riya-chan.”
Sore hari telah
menjelang, warna langit telah berubah dari biru ke oranye. Tapi baik perasaan
dalam hati Riya, Mochida dan Emi, seusai melihat dan menyaksikan sendiri
kejadian yang telah terjadi dan membuat kegemparan di sekolah mereka--
--Yaitu terbunuhnya
Sasagawa dan Karisawa,
Sama sekali
tidak berubah sampai saat ini.
“..................”
Tak mengatakan
apapun, ibu Riya berdiri di tempatnya sambil memperhatikan wajah putrinya yang
kini sudah berdiri di depannya. Ekspresi wajah Riya yang tertunduk tertangkap
oleh ibunya dengan sangat jelas. Meski ia bisa merasakan dan melihat kesedihan
serta kekecewaan di dalam bola mata putrinya itu, ibu Riya tak mengatakan
apapun.
Ia lalu hanya
tersenyum kecil dan mengangguk, sepertinya menjawab perkataan Emi.
“.......Ya,
sudah pasti. Kalian juga sebaiknya pulang. Hari ini, pasti sangat berat untuk
semuanya. Hati-hati di jalan.”
Katanya dengan
suara pelan ke arah Mochida dan Emi yang kini membungkukkan tubuhnya dan
mengucapkan selamat tinggal.
“.....................”
Sementara Riya
masih belum mengatakan sesuatu, bahkan ketika Mochida dan Emi sudah benar-benar
meninggalkan mereka berdua.
Dari kejauhan,
Riya bisa mendengar samar-samar, suara Mochida yang juga mengantarkan Emi ke
rumahnya. Suara pintu terbuka, kemudian suara wanita dan pria yang terdengar
khawatir dapat terdengar dari sebelah.
Melihat Emi yang
terluka, apalagi setelah mendengar adanya kabar pembunuhan yang mungkin saja,
sudah tersebar ke mana-mana dengan kecepatan luar biasa itu, tentu, tak ada
satu orang tua pun yang tidak merasa khawatir. Walaupun saat ini Riya tidak
melihat ke arah mereka, tapi ia seolah bisa melihat figur Emi yang tengah dipeluk
dengan penuh rasa kasih sayang oleh kedua orang tuanya.
Pasti itu yang
sedang terjadi.
“Ayo masuk.”
Kebalikan dari
itu, ibu Riya, yang awalnya hanya diam seribu bahasa, akhirnya mengucapkan
sepatah kata kepada putrinya, yang terdengar cukup dingin dan membuat tubuh
Riya bergetar.
Berbalik,
membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam, lalu berdiri di samping pintu untuk
menunggu Riya masuk, tak ada yang bisa dilakukan olehnya selain mengikuti
ibunya masuk dan menerima semua yang akan dikatakan ibunya padanya.
“.............Riya-chan...”
Tanpa disadari
oleh Riya, kedua bola mata yang melihat ke arahnya itu, memandangnya dengan
penuh simpati.
Setelah mendapat
perawatan singkat dari pihak kepolisian, Emi diperbolehkan pulang dan segera
menyusul Mochida yang sudah terlebih dahulu keluar dari ruang pengobatan.
Ketika melihat pemuda itu berdiri di sudut, Emi langsung bergegas menyentuh
pundaknya. Itu sedikit membuat Mochida yang tengah memperhatikan sesuatu,
meloncat kaget namun dengan cepat kembali menenangkan dirinya.
“Ah, Kawada-san.
Kau membuatku terkejut. Bagaimana, lukamu masih terasa sakit?”
Mochida bertanya
dengan lembut, menunjukkan sebuah senyuman di wajahnya.
Emi menatap
Mochida sekilas, kemudian memiringkan kepala dan tersenyum,
“Ya, sudah tidak
apa-apa. Lagipula sejak awal ini hanya luka kecil, ha ha ha.”
Ia berkata
sambil menyentuh perban yang kini menempel pada dahinya.
“Baguslah kalau
begitu. Tapi harus tetap diperiksa supaya tidak infeksi.”
Ucap Mochida
yang justru membuat Emi tertawa kecil.
“Ha ha ha.”
“Eh, eh? Kau
kenapa, Kawada-san? Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang lucu?”
“Tidak...Tapi,
Mochida-kun ini ternyata orangnya cukup perhatian, ya? Aku jadi tidak mengerti
kenapa Riya-chan tidak menyukaimu seperti itu...”
Ucapan Emi yang
spontan itu, membuat Mochida merasa malu, senang dan juga down di saat bersamaan, ketika kata ‘Riya-chan tidak menyukaimu’,
terlontar dari mulut Emi.
“Miyashita sepertinya
takut dengan Itsuki, karena ternyata tanpa aku tahu, tiap kali aku berdekatan
dengannya, Itsuki selalu bersikap buruk padanya...Ah, kenapa jadi membahas hal
tidak penting seperti ini? Ha ha ha. Kurasa, akan menjadi ide yang bagus kalau
kita benar-benar pulang saat ini. Takashi-san dan Hasegawa-san sudah pulang
terlebih dahulu.”
Ujar Mochida yang
membuat Emi sedikit tersentak kaget.
Ia lalu
memiringkan pandangannya dan melihat ke belakang Mochida, dan menemukan sosok
Riya yang tak berdaya, terduduk di atas lantai.
“.....................”
Memperhatikan
dengan seksama, meski tak bisa melihat wajahnya tapi Emi bisa membayangkan air
mata yang turun mengalir dari wajah sahabatnya itu. Sepertinya sesuatu yang
menyakitkan baru saja terjadi.
“Mochida-kun,
apa terjadi sesuatu...?”
Tanyanya.
“Hmm...”
Mochida tidak
menjawab pertanyaan Emi, melainkan berkata ‘Hm’ yang cukup panjang.
Ia lalu menghela
nafas dan menggaruk rambutnya,
“Yah...Sesuatu
yang buruk telah terjadi. Miyashita mungkin tidak bermaksud mengatakan semua
itu. Namun provokasi dari Hasegawa-san yang telah menyulut apinya...Membuatnya
menjadi naik darah? Aku tidak begitu tahu detailnya. Tapi kurasa itulah yang
terjadi.”
Jelas Mochida
sambil melihat ke arah Riya, yang kini dibantu berdiri oleh seorang polisi yang
juga membawakannya segelas air.
“.........................”
“Yah...Biasa,
pertengkaran antar sahabat selalu terjadi. Aku juga selalu ribut dengan
teman-temanku. Terkadang juga sampai saling hina sih...”
........................
“.....................”
Hening.
...........................
“Hasegawa Runa--"
“Hm?”
Mochida langsung
menoleh ke arah Emi lagi ketika ia mendengar gadis itu mengucapkan sesuatu yang
samar-samar.
“Kau mengatakan
sesuatu? Kawada-san?”
Mochida bertanya
untuk memastikan dan Emi hanya menggeleng, yang secara tidak langsung
mengatakan kalau dia tidak mengucapkan apapun. Mochida lalu mengangguk-anggukan
kepalanya seolah bicara ‘Ya, aku mengerti’.
Ia lalu mengajak
Emi dan pergi mendekati Riya, lalu memutuskan untuk pulang bersama.
Kejadian di
kantor polisi berakhir di sana.
“Toru, apa kau sudah ada di rumah
sekarang?”
“Hm...Aku dalam
perjalanan pulang...Terima kasih sudah bertanya, Kana.”
“Tidak masalah. Aku khawatir sekali
denganmu. Kalau bisa, cepatlah pulang, aku tidak ingin sampai kejadian...................”
“.........................”
“Ke--kejadian mengerikan itu menimpamu juga!
Kau tahu’kan? Pembunuh masih belum ditemukan. Dan...Kalau memang...Bukan si
Miyashita itu pelakunya...Bisa saja dia bersembunyi di mana saja...”
“Kau tidak perlu
terlalu berlebihan. Aku akan baik-baik saja.”
Berada di
sebrang jalan dan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi merah untuk
menyebrang, Mochida yang baru saja mengantar Riya dan Emi, mendapat telepon
dari Itsuki Kanako, gadis berambut perak yang merupakan sahabat masa kecilnya.
Itsuki yang
masih menemani ayahnya di kantor polisi untuk ikut membantu penyelidikan kasus
terbunuhnya Sasagawa dan Karisawa yang tiba-tiba itu, tidak bisa ikut pulang
bersama Mochida seperti yang hari-hari biasa mereka lakukan.
Karena kasus
pembunuhan kali ini menyangkut sahabat terbaiknya, mungkin Itsuki penasaran dan
ingin mengetahui siapa pelaku yang sebenarnya. Dan lagi, jika melihat ayahnya
yang seorang polisi, sepertinya ia akan baik-baik saja meski hari sudah
sepetang ini. Juga, akan menimbulkan masalah baru yang tidak diinginkan jika
sampai Itsuki ikut pulang bersama dengannya.
Mochida sudah
mendengar tentang sikap Itsuki terhadap Riya, dan tidak bisa membayangkan
bagaimana kesalnya gadis itu ketika mengetahui bahwa ia akan mengantar Riya
pulang ke rumahnya.
‘Kurasa diam
adalah pilihan yang paling tepat’.
“Janji? Kalau seperti itu, aku jauh lebih
tenang sekarang.”
Terdengar dari
suaranya, Itsuki pasti merasa benar-benar lega.
Hanya saja, saat
ini bahkan mungkin masih terlalu cepat untuk merasa lega, pikir Mochida. Apapun
yang terjadi, ia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Ia berusaha untuk
terus bersikap setenang mungkin. Ketika dirinya berada di dekat Riya, ia sama
sekali tidak mengatakan apapun, walau ia punya kesempatan untuk mengatakan yang
ia tahu, tapi ia tetap memilih diam dan mengunci mulutnya rapat-rapat.
Itu seperti
sebuah informasi mengerikan, yang ia sendiri tidak tahu kebenarannya.
“Halo? Toru? Kau masih di sana?”
“Ah, eh, ya.”
“...................”
“Tapi, Kana,
sejujurnya aku lebih mengkhawatirkan dirimu. Maksudku, kedua sahabat baikmu
meninggal secara misterius...Dan di saat yang bersamaan juga sangat tragis. Aku
memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Etto...Bukannya mau menakutimu atau apapun..Tapi...Apa mungkin, si
pelaku pembunuhan itu...Mengincar mereka karena sesuatu? [Aku mengatakannya juga pada akhirnya...].”
“...................”
Tak ada suara di
sebrang.
Kata-kata itu
saja pasti sudah cukup untuk membuat tubuh Itsuki gemetar saat ini.
Mochida
menggunakan sebelah tangan untuk menggaruk pipinya, sementara tangan yang lain
memegang ponsel, menunggu jawaban dari Itsuki.
“..................”
“Toru...”
Kata Itsuki,
pelan dan terdengar agak ketakutan.
“?”
“Maksudmu itu...Pembunuh tersebut sudah
merencakan pembunuhan ini? Korbannya tidak ditentukan secara acak, tapi sudah
direncanakan...? Dan karena kedua sahabatku yang jadi korban, kau ingin bilang
kalau korban berikutnya bisa saja aku...?”
“I--Itu cuma asal tebak saja..............Ah,
tapi aku juga tidak bisa bohong padamu. Mau bagaimanapun juga, aku yang sudah
mengatakan semua ini padamu dan akan sangat tidak baik kalau aku memutusnya di
tengah jalan seperti ini, jadi, ya. Sebaiknya kau hati-hati. Dengar Kana, aku
sama sekali tidak punya maksud untuk menakutimu. Tapi Sasagawa dan Karisawa
terbunuh di sini dan kita tidak tahu siapa pembunuhnya seperti yang kau katakan
barusan. Dan menurutku, kenapa justru mereka yang terbunuh...Mungkin memang ada
hubungannya denganmu. Selama ini, orang-orang disekitarmu menyukaimu, bukan,
tapi mereka menghormatimu.”
“.............Kau mau
bilang’kan...Sebenarnya mereka semua takut padaku...?”
“Yah...Aku
berusaha menggunakan kata selain kata itu, tapi sepertinya kau
menyadarinya...Kana, banyak sekali teman
sekelas yang tidak kau sukai, kau sakiti, kau hina dan kau injak-injak, itu
pasti membuat mereka membencimu. Jadi, sebaiknya kau hentikan kebiasaan burukmu
itu. Kita tidak tahu motifnya apa. Tapi lebih baik untuk berjaga-jaga. Besok,
aku ingin kau--“
“..............................Ya...Akan
kucoba...”
“Bagus kalau kau
mengerti. Aku khawatir padamu tahu...”
“Aku senang kau mengatakannya...”
“Ah, sebentar
lagi lampu merah, sudah dulu, ya, Ka--“
“Toru!!”
“?”
“...................Aku tidak takut. Karena
seandainya kalau ada sesuatu, aku tahu kau akan datang dan melindungiku.”
“Ah! Kana,
jangan berharap terlalu banyak pada--“
PIIIIIIIIIIP
“..........Dimatikan...”
“Hey, hey, kau
dengar tidak? Katanya di sekolah -XXX- ada pembunuhan!”
“?”
“Pembunuhan?!
Tunggu, maksudmu ada sutradara yang membuat film horor di situ atau apa?”
“Bukan, bukan
seperti itu! Tapi pembunuhan sungguhan!”
“Haa!!?
Serius!?”
“.................”
Ekspresi Mochida
berubah menjadi serius, ketika tak sengaja mendengar percakapan 2 pria dewasa
yang berdiri tak terlalu jauh dari tempatnya. Ia segera memasukkan ponsel ke
dalam saku kemeja sekolahnya.
Kasus itu ternyata
memang sudah menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Orang-orang yang
menyaksikan kasus itu kemungkinan akan menyebarkannya kepada tiap orang yang
mereka temui. Tak heran kalau dalam waktu tak sampai sehari, berita tentang
terbunuhnya 2 siswi SMA -XXX- secara mengenaskan sudah tersebar, bahkan mungkin
sampai ke kota sebrang.
Entah mereka
benar-benar ingin bersimpati atau hanya sekedar menjadi bahan gosip dan
tertawaan.
“Korbannya 2
siswi sekolah itu! Katanya sih, mereka disiksa di laboratorium sekolah kemarin
malam, lalu di bakar dengan campuran zat kimia yang aneh dan terakhir di
gantung di pohon dekat gerbang sekolah!! Mengerikan sekali bukan!!”
Pria pertama
dengan rambut agak kecoklatan yang mengenakan kemeja hitam bicara. Mungkin
orang-orang yang baru saja pulang dari kantor.
“Hiiiii!!
Apa-apaan itu!? Di gantung di pohon itu...Entah kenapa aku merasa kalau itu
seperti sebuah pesan--“
“[Pesan?].”
“--Dipertunjukkan
di depan orang banyak seperti itu, pasti ada yang ingin disampaikan oleh
pelaku!!”
Giliran pria di
sampingnya yang mengenakan jaket tebal panjang coklat muda, dengan rambut
kuning dan tubuh kurus dan tinggi, mengomentari ucapan pria sebelumnya.
“Entahlah, tapi
berita yang lebih buruk lagi, sampai saat ini pembunuh itu sama sekali belum
ditemukan keberadaannya!!”
“Ugh...Aku harap
polisi segera bertindak cepat. Aku tidak ingin berkeliaran di kota ini dengan
adanya pembunuh itu!! Aku jadi teringat sama kisah ‘Winter of the Dead’ deh...”
“Si pembunuh di
musim dingin yang menancapkan kepala korbannya di sebilah kayu dan menuliskan
nomor ke berapa orang tersebut mati dengan darah korbannya sendiri...Mengerikan
sekali...”
“...........Atau
jangan-jangan--“
“Jangan-jangan
apa!? Kau sudah tahu kira-kira siapa pelakunya!?”
“--Atau
jangan-jangan, kau sendiri pelakunya!?”
PLAAK
“Aih! Sakit!! Kenapa memukul kepalaku sekeras itu!?”
“Habisnya kau
malah bercanda! Dan masih untung aku memukulmu dengan gulungan koran! Kutembak
dengan senapan yang biasanya aku gunakan untuk berburu beruang baru tahu rasa
kau!!”
“Hiii!! Kau
seram sekali!!!!”
“Sudah ah,
pulang nanti, jangan lupa katakan pada istri dan anak-anakmu untuk
berhati-hati! Jangan keluar sendirian atau berbicara dengan orang asing yang
tidak dikenal!”
“Beres, beres.
Kau juga sebaiknya lakukan hal yang sama!”
“Tidak perlu
sih, karena putriku sekolah di sana...Jadi dia pasti sudah tahu...”
“Ha!!? Serius!?
Kenapa baru bilang soal itu?! Aku sama sekali tidak tahu kalau putrimu sekolah
di SMA -XXX-, kupikir kau bilang akan menyekolahkannya di sekolah khusus
putri?”
“Ampun deh, itu
sudah berita lama! Karena dia ingin satu sekolah dengan teman masa kecilnya
yang bersekolah di sekolah itu, aku membatalkan niatk--Oi, sudah lampu merah!
Ayo, cepat jalan!”
“Akh! Hasegawa-san!!
Tunggu!”
“.....................”
Lampu merah.
Kendaraan
berhenti, dan orang-orang di sebrang jalan baik di sisi Mochida maupun sisi
sebrangnya mulai melangkah ke jalanan.
Namun tidak
dengan Mochida yang justru terdiam di tempatnya seperti patung. Bahkan ketika
lampu merah yang ia tunggu sejak tadi menyala, ia bahkan tak menyebrang, sampai
lampu berubah kembali menjadi hijau.
“....................”
Bayangan mayat
Sasagawa dan juga Karisawa, kembali muncul di benak pemuda berambut coklat itu.
“[Sebenarnya siapa yang melakukannya--?! Siapa
yang membunuh mereka berdua!? Di bunuh, disiksa dan dibakar seperti
itu--Sepertinya itu sangat menyakitkan--].”
Bersamaan dengan
kata-kata itu terlontar di benaknya, pikiran-pikiran Mochida mulai bekerja,
berpikir keras untuk berusaha mengungkap kasus ini lebih cepat dari yang lain.
Setidaknya,
harus ada satu orang yang menghentikannya.
“[Jika seandainya ia ingin membunuh Sasagwa
dan juga Karisawa, aku rasa penyiksaan dan pembakaran itu sudah cukup. Saat itu
mereka pasti sudah tak bernyawa lagi’kan? Tapi--Menggantung mereka di pohon dan
mempertontonkan tubuh tak berbentuk mereka di depan umum seperti itu--].”
Sungguh di luar
batas kemanusiaan.
“!!?”
Pohon?
Pesan?
Apa itu mungkin?
Pembunuh itu
ingin memberikan sebuah pesan?
Tapi--
“[Kepada siapa!? Kalau memang itu sebuah
pesan--Untuk siapa pesan itu ditujukan!? Pasti, pasti ada sebuah penjelasan di
balik semua ini!].”
“..............Sebuah...Penjelasan...Ya?”
“Hasegawa Runa--"
“.....................[Kalau tidak salah, aku pernah dengar sesuatu
yang seperti ini...].”
“Mereka berdua berkata buruk tentang dirimu
pada sahabat baikmu. Dan menyuruh gadis--Yang bernama Kawada Emi itu untuk
meninggalkanmu. Kau bilang kau tidak pandai bersosialisasi? Orang sepertimu ini
biasanya jarang bisa mendapatkan seorang sahabat. Karena itu aku yakin, kalau
Kawada itu adalah sahabatmu yang sangat berharga’kan?”
“.............[Miyashita menganggap Kawada-san sebagai
sahabat terbaiknya...Itu pasti, karena Kawada-san juga selalu bersikap baik pada
Miyashita. Itsuki tidak suka pada Miyashita. Dan itu pasti termasuk Sasagwa dan
Karisawa. Tidak ingin sahabatnya terluka karena orang lain...Apakah mungkin...Tapi
kalau memang begitu...].”
Mochida
mengangkat kepalanya, menatap ke arah langit yang luas, kemudian menyipitkan
matanya saat hal yang tidak ingin ia pikirkan kembali terlintas.
“.......Aku
tidak ingin berpikiran negatif. Aku juga tidak ingin menuduh seperti para
polisi itu, yang menuduh seenaknya...Hanya saja...Jujur, hal ini sedikit
mengangguku...[Ini mungkin tidak ada
hubungannya dengan ‘pesan’ yang mungkin tersembunyi itu...Tapi, di kantor polisi, saat aku
berbincang berdua dengan Kawada-san tadi...Aku...Entah benar atau tidak, mendengar
sesuatu yang terdengar seperti...].”
Mochida menghentikan
ucapannya, ia lalu menundukkan kepala dengan perlahan, terdiam selama beberapa
saat.
Ia berusaha
mengingat sekali lagi, wajah apa yang dibuatnya dan nada bicara apa yang
dibuatnya.
Kemudian ia,
membuka mulutnya, dan akhirnya mengeluarkan sebuah kalimat,
“Hasegawa
Runa--Kau harus mati...”
***-***
“.................”
“.........................”
Sekarang, Riya
tengah berdiri membelakangi ibunya, yang masih sibuk untuk mengunci pintu.
Agaknya, pembunuhan yang terjadi itu membuatnya menjadi sedikit was-was
kalau-kalau ada orang yang tidak diinginkan menyelinap masuk ke dalam rumahnya.
Jadi, setelah ia
memastikan bahwa pintu telah terkunci dengan rapat, barulah ia melangkah
beberapa langkah, menaiki undakan kecil dan berdiri tepat di belakang putrinya.
Ia tak menyentuhnya, atau sekedar menghiburnya dengan kalimat ‘Semua akan
baik-baik saja’, melainkan terus membiarkan suasana menjadi hening.
Entah apa yang
dia pikirkan saat ini. Raut mukanya sungguh sulit untuk ditebak.
“Tadi--“
“.....................”
Tubuh Riya
sedikit bergetar ketika mendengar suara yang menjadi milik ibunya, yang menjadi
pemecah kesunyian ini.
“........Polisi
menelepon kemari...”
“................”
“Mereka
menceritakan semua yang terjadi....”
“.....................”
“..............................”
Ibu Riya menatap
diam ke arah punggung putrinya, yang tak mengatakan apapun.
Walau seperti itu, figur yang hampir melebihi
tingginya itu, menjawab dengan tubuhnya yang dari tadi gemetar. Ia berusaha
menahannya dan getaran itu berhenti. Tapi tiap kali sebuah kalimat keluar dari
mulutnya, sosok di depannya, kembali bergetar.
“....................”
Ia lalu kembali
bicara,
“......Tentang
terbunuhnya kedua siswi yang merupakan teman sekelasmu, Sasagawa Eiko dan
Karisawa Kyouko...”
“.......................”
“..........Juga...Tentang
mereka yang mencurigaimu--“
“Bukan aku...”
“.....................”
Ia sedikit
tersentak.
Semenjak
menginjakkan kaki di rumah, ini adalah pertama kalinya lawan bicara yang tak
bisa ia lihat wajahnya itu berbicara.
“Bukan aku...”
Terdengar sangat
menyedihkan, dan di saat bersamaan juga menyakitkan.
Apa yang coba ia
katakan?
“...............”
Ia menunggu,
menunggu agar putrinya itu memberikan jawaban, balasan, penjelasan atau
mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.
Dan untuk waktu
yang cukup lama, kata-kata itu tak kunjung berlanjut, melainkan, ketika ia
mengalihkan pandangannya ke bawah, butiran-butiran air mata itu justru
terlihat, jatuh ke atas.
“..................”
“.........Polisi
menelepon. Mereka bilang kemungkinan kau terlibat dengan kasus ini...Mereka
memintaku datang...Tapi aku mengatakan kalau aku tidak bisa dan--“
“..............”
“......Apa yang
sebenarnya terjadi...?”
“AKU SENDIRI JUGA TIDAK TAHU!!!”
“!!?”
“Aku
sendiri...Juga tidak tahu...Ukh...Ukh...”
“................”
Memandang tanpa
kata.
Itulah yang
sedang dilakukannya saat ini. Ketika kata-kata yang keluar adalah sebuah
teriakan, tubuhnya sedikit tersentak dan ia sedikit kaget. Namun sebiasa
mungkin ia tidak ingin mengucapkan kata -kata lain...Terus memasang wajah yang
tenang seperti air.
Nada bicara
putrinya yang semulai terdengar keras, berubah menjadi lemah bersamaan dengan
kedua tangannya yang berusaha menghapus air matanya.
“...................”
Jika biasanya,
ketika putri satu-satunya itu berteriak ke arahnya atau mengatakan sesuatu yang
tidak sopan, ia akan marah dan menceramahinya semalam penuh. Hanya saja saat
ini, tak satupun keinginan untuk marah itu keluar.
“.................”
Ia masih
menunggu.
Dan akan terus
menunggu.
“.............”
Riya menginggit
bagian bawah bibirnya sangat keras, dengan air mata yang semakin mengalir deras
dari matanya, dan ia hanya bisa berdiri di sana dengan tidak menunjukkan
wajahnya yang terlihat menyedihkan.
Lalu,
“Semua kejadian
itu--“
Ada 2 mayat tergantung dengan perut mereka
yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan keluar.
Tubuh mereka hampir hangus, seolah habis
dibakar dengan api.
“Terjadi begitu saja...Terjadi secara instan di hadapanku!!”
“.................”
“Aku sendiri
tidak tahu mengapa bisa sampai seperti ini...Tapi kebalikan dari diriku yang
masih terus-terus bertanya ‘Siapa pelakunya!!?’, ‘Siapa yang tega melakukan hal
sekejam dan tidak manusiawi ini!!!?’, semua orang langsung seolah tahu, kalau--
Aku--Aku yang membunuh Sasagawa dan juga Karisawa...”
“...........................”
“Iya, iya,
memang benar. Aku akui kalau aku memendam setitik rasa kebencian pada
mereka--Bukan, tapi sangat banyak seakan akan segera meledak!! Karena mereka
berdua dan Itsuki selalu saja mengawasiku seperti aku adalah seorang penjahat
kejam, karena mereka berkata buruk tentang diriku dan karena mereka diam-diam
meminta Emi untuk menjauhiku...YA! YA!! AKU BENCI MEREKA!!!!”
Iya, itu benar.
Riya memang
pantas untuk membenci baik Sasagawa maupun Karisawa. Mereka berdua sudah
berusaha memisahkannya dari sahabatnya! Membicarakannya diam-diam seperti itu--Siapa
yang tidak akan sakit hati!!?
“Apa tidak lebih baik kau tinggalkan
Miyashita saja?”
“Ha ha, tentu saja alasannya cuma ada satu.
Karena si Miyashita itu sama sekali tidak berguna!”
“Jangan marah seperti, Kawada-san. Kami
mengatakan hal ini bukan tanpa sebab, kok. Jujur saja, Miyashita itu bukanlah
sahabat terbaik untukmu. Coba kau lihat dia? Dia kelihatannya tidak ramah dan
juga sombong. Selain itu, nilainya selalu rendah dan malas. Kami berdua yakin,
kalau dia itu sebenarnya hanya memanfaatkan semua kehebatanmu supaya bisa jadi
populer!”
“Kau masih tidak paham juga, Kawada-san?
Dengar, kau tahu seberapa populernya kau di sekolah ini? Kau cantik, populer,
pintar dan juga sempurna. Semuanya ingin menjadi sahabatmu! Tapi, dari
banyaknya orang di sini, kenapa justru kau memilih berteman dengan orang
seperti Miyashita? Yah, aku paham karena dia teman masa kecilmu. Teman masa
kecil yang payah tentunya.”
“Hey, Kawada-san, kenapa tidak kau
tinggalkan saja sahabat masa kecilmu itu? Menurutku pribadi sih, ah, bukan
hanya menurutku, tapi pasti semuanya juga akan berpikiran sama denganku. Kau
itu terlalu baik untuk Miyashita. Kalian itu terlihat bagai langit dan bumi.
Berbeda jauh. Dan hanya dengan sekali melihat saja, orang-orang pasti langsung
tahu kalau kau dan Miyashita itu tidak cocok. Sangat tidak cocok.”
“Iya, kau pasti kenal’kan dengan Itsuki-san?
Dia itu gadis paling populer di sekolah kita. Dan Itsuki-san ingin kau menjadi
sahabatnya! Bukannya itu hal baik Kawada-san? Semua orang ingin menjadi sahabat
Itsuki. Tapi, hanya orang-orang terpilih dan berkelas seperti kita-kita saja
yang bisa menjadi temannya. Bagaimana? Apa kau mau bergabung dengan kami dan
Itsuki-san? Atau, kau masih mau bersama dengan Miyashita yang aneh itu?”
“.....Jika aku
bisa--“
“..............”
“--Aku pasti
akan membunuh mereka berdua...”
“!?”
Pernyataan Riya
yang tiba-tiba dan mengejutkan itu, membuat dirinya ikut terkejut seperti
tersetrum dengan aliran listrik tingkat tinggi.
Sensai aneh
mulai menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Rasanya benar-benar dingin.
Rasanya ia ingin
segera mengangkat sebelah tangannya dan menampr pipi putrinya itu dengan sekuat
tenaga karena hal mengerikan itu benar-benar keluar dari mulutnya. Sebagai
seorang ibu, tak ada perasaan lain yang berkecamuk di hatinya selain kesal,
marah, kecewa, namun sekaligus juga--Sedih.
Meski begitu, ia
tetap tak mengatakan apapun, dan terus menunggu.
“................Hey,
Bu,”
“.................”
“A--Apa... Apa
aneh...Kalau aku merasakan--Satu titik di dalam diriku, di mana aku merasa
senang dengan kejadian ini...?”
“.................”
“Jika saja aku
menuruti sisi gelap yang ada di dalam diriku, kemudian membiarkannya tumbuh
membesar di dalam hatiku--Akankah aku menjadi orang yang berdiri tepat di
samping mayat Sasagawa dan Karisawa, dengan tubuh berdarah-darah dan tawa jahat
itu? Iya, ya, kalau aku menuruti bisikan jahat itu, sudah pasti aku, dengan
kedua tanganku sendiri, sudah pasti aku yang akan membunuh mereka berdua...”
Mengangkat kedua
tangannya, bayangan bercak darah berwarna merah yang menyelimuti tangan dan
wajahnya yang tersenyum, eskpresi yang tidak bisa di lihat oleh ibunya,
terbayang di pikiran Riya seolah benar-benar nyata.
“......................”
“Tapi, hey!
Bukannya itu berita bagus! Bukannya semua memang sudah menuduhku seperti itu?!
Kalau begitu, kenapa tidak sekalian saja aku membunuh semuanya lalu hidup di
dunia yang hanya untukku!!? Tidak akan ada orang menyebalkan, yang selalu
menatapku dengan sinis! Tidak akan ada lagi orang yang berkata buruk tentang
aku dan berusaha menjauhkan sahabatku dariku!! Tidak akan ada lagi gadis
munafik yang berpura-pura menerimaku sebagai sahabatnya! Aku sudah capek! CAPEK!! Dengan semua itu--Dengan hidup seperti ini--AKU SUDAH MUAK!!!!!!!!!”
“........................”
“Lalu--“
“..................”
“--JIKA SEMUA ITU BENAR-BENAR BISA DIMUSNAHKAN DENGAN TANGANKU
SENDIRI--MAKA TANPA ADA KERAGUAN SEDIKITPUN DI MATAKU, AKU AKAN MEMBUNUH SEMUANYAAAA!!!!”
“..................”
“............Ha
ha ha...Aku...Aku senang sekali...Seandainya semua bisa menghilang saja--Kurasa
hidupku akan lebih sempurna...”
“...................”
“Ya...Ya....Seandainya
bisa...”
“................”
“.......................”
“...................”
“............Tapi--“
Sebuah kata yang
terdengar bergetar, terlontar dari mulut Riya, lalu gadis itu, berbalik
menghadap wanita yang tak ia lihat sosoknya sejak tadi, sebuah senyuman yang
terlihat tipis dan lemah, terlihat di wajah gadis itu ketika ia mengatakan--
“--Tidak mungkin
di dunia ini, aku bisa melakukan hal seperti itu...”
Wajahnya basah
karena air mata.
“...............--“
GREP
“!?”
Tubuh wanita
paruh baya itu, sedikit terdorong ke belakang ketika sosok gadis remaja yang
bisa ia lihat sehari-hari, sudah berada di dekatnya dan mendekapnya dengan
sangat erat, seolah tidak ingin melepaskannya.
Sejak kapan ini
terjadi?
Apa karena ia
terlalu fokus memperhatikan wajah menyedihkan anak itu, sehingga ia tidak adar
kalau ia sudah menerjang ke arah dirinya, dan menangis seperti anak kecil.
Sampai seperti
ini--Ia masih terdiam.
“AKU SUDAH TIDAK TAHAN LAGI!!!”
“.................”
“Ugh...Cukup...Cukup!! Hentikan!!! Aku tidak ingin dituduh seperti ini!!!”
“......................”
“Kenapa kalian semua menuduhku seperti itu!!!? Kenapa kalian tega!!!?”
“..................”
“Hal buruk apa yang sudah aku lakukan pada kalian!!!?”
“.......................”
“Jangan memasang wajah seolah aku yang bersalah!!”
GYUT
Dekapan itu
semakin erat bersamaan dengan suara penuh tangis gadis itu.
“Apa--Apa kalian
pikir aku tidak takut!!? Apa kalian pikir aku tidak merasakan hal yang sama
dengan yang kalian semua rasakan!!!?”
“......................”
“...Ugh...Aku
takut...Aku sangat takut...Sasagawa dan Karisawa terbunuh tiba-tiba secara
misterius seperti itu...Bagaimana mungkin aku tidak merasa ketakutan...? Bahkan
tubuhku sendiri tidak bisa bergetar ketakutan sejak tadi...”
“...............”
“Aku
takut...Pembunuh misterius itu bahkan belum ditemukan seolah dia benar-benar
menghilang tanpa jejak...Apa yang harus aku lakukan!? Kalau saja seandainya aku
tak sengaja bertemu dengannya--Dan membunuhku juga!!? Apa--Apa baru dengan itu,
kalian semua akan percaya bukan aku yang melakukan semua hal gila ini!!? Apa
aku harus terbelah menjadi setengah bagian baru kalian sadar!!!?”
Apa itu?
Apa itu yang
harus ia lakukan untuk membersihkan namanya?
Apa dia harus
mati, kemudian orang-orang baru akan bereaksi seperti ‘Ah, hey, gadis itu
terbunuh! Itu berarti bukan dia pelakunya’,?
Atau mungkin
orang-orang akan berpikir lebih sempit lagi ‘Dia bunuh diri karena tidak tahan
di tuduh sebagai pembunuh’, ‘Dia merasa menyesal telah mengotori kedua
tangannya sendiri, makanya dia memutuskan untuk bunuh diri’, ‘Dia sengaja bunuh
diri karena berusaha membuktikan dirinya bukan pelaku. Tapi aku tidak akan
tertipu’,?
Bersamaan dengan
hal itu terbayang di benaknya, Riya menyadari bahwa air matanya mengalir
semakin deras lagi, ketika ia memeluk erat tubuh wanita di hadapannya.
“..................................”
“Hiks...Hiks...Aku--Aku--Bukan
aku yang membunuh mereka...Bukan tanganku yang ternoda oleh darah mereka--“
“........................”
“Tapi--Ukh...Kenapa tak ada seorangpun yang percaya padaku....?”
“...................”
“Teman-teman yang lain--“
“Iya, ya. Mungkin memang seperti yang Itsuki
katakan.”
“Miyashita’kan seperti itu? Ia memang
membawa pengaruh yang buruk buat Kawada-san.”
“Sadis sekali! Ia benar-benar melakukan
itu!!?”
“Polisi--“
“Karena kau tidak suka mereka itulah,
kau membunuh mereka’kan?”
“Itsuki--“
“Kau!! Kau yang sudah melakukan semua
ini’kan!!!?”
“BAHKAN HASEGAWA RUNA!!!!”
“Mulai detik ini, anggap kita tidak pernah
saling bertemu! Anggap kita tidak pernah berteman atau apapun!! Karena, aku
sama sekali tidak ingin terlibat dengan masalah ini, atau dituding sebagai
seorang pembunuh! Kalau memang harus ada seseorang yang dikorbankan untuk
disebut pembunuh, kurasa kau seorang saja cukup! Tidak perlu membawa kami yang
lainnya!!”
“....................”
“Aku tidak
percaya itu--Aku sama sekali tidak ingin percaya!! Bahkan orang yang kupikir
akan melindungiku dan mau berdiri untukku--Justru menjatuhkan aku!! Justru
melukaiku!!! Justru menghakimiku!!!!”
“................”
“Aku--Gara-gara itu--Aku juga sudah bicara buruk pada
Haruko...Hiks...Hiks...Ugh...”
“Boleh juga. Takashi Haruko, kau boleh
ikut menemani sahabat baikmu itu ke neraka.”
“........................”
“Aku juga--Sudah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan pada
Runa...”
“Ya, aku memang sakit. Karena bukan hanya
Sasagawa dan Karisawa yang akan kubunuh. Karena aku memang seorang pembunuh dan
telah membunuh...Seperti yang kau katakan sebelumnya, seperti yang kau tuduhkan
kepadaku, kenapa--“
“--Aku tidak membunuhmu juga?”
“AKU TIDAK PERCAYA KALAU AKU BENAR-BENAR YANG MENGATAKAN HAL ITU!! AKU
TIDAK PERCAYA JIKA SUARAKU YANG KUDENGAR DITELINGAKU SENDIRI SAAT KATA-KATA ITU
SAMPAI DI TELINGAKU!!! AKU TIDAK INGIN PERCAYA!!!”
“...................”
“....Ugh--Tapi--Tapi--Aku...Aku
benar-benar telah mengatakannya...Aku mengatakannya--! Aku mengatakannya--!!”
“....................”
“Aku selalu
ingin berteman dengan mereka berdua...Meski mungkin belum sempurna, tapi aku
selalu ingin agar suatu saat mereka bisa benar-benar menerimaku di lingkaran 2
orang itu...Tapi--Justru aku yang telah menghancurkan persahabatan yang dengan
susah payah terjalin--[Awalnya aku pikir
semua sudah berjalan dengan baik, dengan adanya Emi, aku pikir persahabatan
kita bsia menjadi semakin dekat tiap harinya--Tapi--Gara-gara diriku sendiri--]
Sudah--Sudah tidak ada lagi yang tersisa sekarang...Semuanya sudah selesai,
persahabatan kami berakhir di sini...Tidak akan ada lagi orang yang percaya
padaku...Semuanya sudah menghilang...”
“...................”
“...............................”
“...Kau--“
“!?”
“--Tahu, alasan
kenapa aku tidak datang ketika polisi meneleponku dan memintaku ke sana untuk
mendampingimu...?”
Akhirnya,
setelah beberapa saat menunggu, tak mengatakan apapun, hanya mendengar dan
terus mendengar apa yang ingin disampaikan oleh putrinya dengan penuh
ketenangan dan pengertian, suara yang lembut itu, terdengar juga.
“..................”
“........Karena
aku percaya, kalau kau tidak mungkin melakukan hal seperti itu...”
“!!”
Pernyataan
ibunya itu, mengejutkan Riya lebih dari apapun di dunia ini.
Perlahan, ibu
Riya melepaskan pelukan putrinya, kemudian meletakkan kedua tangan di pundak
Riya sambil menatap ke arah matanya dalam-dalam.
Ia lalu
melanjutkan perkataannya,
“Kau putriku.
Dan aku sangat mengenalmu dibanding seluruh orang yang kau kenal di dunia ini. Dan
aku tahu, tak peduli seberapa rendahnya nilaimu, Tak peduli apakah kau orang
yang malas berusaha dalam hal apapun, tak peduli seberapa seringnya kau
membantah nasihatku dan membuatku merasa sangat kesal, tak peduli akan
pandanganmu yang membosankan tentang dunia--Aku tahu, kau baik, dan tidak
mungkin melukai orang lain sampai seperti itu!
“.........Ibu...”
“Jika semua
orang berkata jelek tentang dirimu, ibu akan berdiri di sana untuk melindungimu!
Jika Runa maupun Haruko meninggalkanmu, ibu akan tetap ada di sini dan
bersamamu!!!”
“Ibu--!”
“Dan jika semua
orang di seluruh dunia ini berbalik memusuhimu, maka ibu akan menjadikan mereka
semua sebagai musuhku juga!”
“Ibu--!!”
Sambil menahan
air matanya, Riya kembali memeluk tubuhnya.
Tak pernah
terpikirkan bahwa ibunya justru akan mengatakan hal semacam ini. Mengingat
bagaimana perlakuan ibunya padanya dalam hari-hari biasa, bagaimana ia selalu
marah padanya, bagaimana nasihat panjang itu selalu keluar dari mulutnya,
“Bukan hanya itu saja yang aku khawatirkan.
Nilaimu juga selalu jelek. Gurumu kemarin meneleponku mengenai masalah itu. Kau
tahu betapa malunya aku?”
“Bukan masalah pelajarannya yang terlalu
susah. Tapi, kurasa masalahnya ada pada dirimu sendiri.”
“Kau itu, tidak pernah serius dalam segala
hal. Tidak bisa diandalkan. Tidak ingin
berusaha. Masalah belajarpun kau tidak bisa serius. Hanya mengeluh dan mengeluh
saja. Kau itu, terlalu banyak menyalahkan dunia dan orang lain. Salah gurumu,
salah temanmu, salah siapapun, tapi, apa kau pernah, sekalipun menyalahkan
dirimu sendiri atas semua yang terjadi? Kau selalu saja menuntut! Pantas saja
temanmu hanya sedikit. Aku masih bersyukur karena Haruko-chan dan runa-chan mau
menjadi teman anak sepertimu, Riya.”
Riya pikir ibunya itu akan berteriak ke
arahnya dan berbalik memusuhinya seperti yang lain.
Tapi sekarang,
wanita yang ada di hadapannya, seolah menjadi sosok yang benar-benar berbeda
yang lembut, sabar, yang sebelumnya sama sekali tidak ia kenal.
Bukan.
Ia selalu kenal
dengan sosok ini.
Bahkan sejak
dulu maupun detik ini, tak ada yang berubah dari wanita itu.
Hanya dia yang
berubah, dan menganggap kasih sayangnya sebagai sesuatu yang harusnya hanya
diberikan pada anak kecil.
Ia berubah,
berbalik memusuhinya seiring dengan bertambahnya waktu dan usia, seiring dengan
pengetahuannya tentang dunia yang semakin bertambah, seiring dengan semakin
banyak orang yang ia temui, sosok wanita di hadapannya perlahan mulai terlihat
memudar.
Entah sudah
berapa lama terjadi sejak saat itu,
Sekarang, ia
benar-benar merindukan sosok ibunya yang seperti ini...
Dan kini, ibunya
pun membalas pelukannya sambil mengelus kepalanya dengan lembut.
“Karena itu,
jangan pernah berkata kalau tidak ada seorang pun yang percaya padamu...Tidak
semuanya membencimu. Dan, hey, bukannya masih ada Emi, sahabat masa kecilmu?”
“.......Emi...”
“Riya-chan, aku senang bisa bertemu denganmu
lagi...”
“SATU-SATUNYA ORANG TERBAIK YANG BISA
AKU ANGGAP SEBAGAI SAHABAT HANYALAH RIYA-CHAN!!! KALIAN SEMUA TIDAK ADA
APA-APANYA KALAU DIBANDINGKAN DENGANNYA!!!! KARENA ITU TIDAK AKAN KUMAAFKAN KAU
KARENA BERBICARA BURUK SOAL RIYA-CHAN SEPERTI ITU!!!!!!!”
Kata-katanya
yang terdengar lembut, di saat bersamaan juga tegas dan keras itu, punya arti
yang begitu mendalam dan membekas di ingatan Riya.
Benar, masih ada
Emi yang tidak akan pernah meninggalkan dirinya...
“Lalu, pemuda
yang tadi mengantarmu pulang itu...Kelihatan sangat peduli padamu...Ibu rasa,
dia juga sangat percaya padamu...”
“.........[Mochida...].”
“Kau tidak perlu mendengarkan apa yang
mereka semua katakan padamu. Cukup dengarkan suara teman-temanmu saja.”
“Kau juga punya aku...”
“.........[Akhir-akhir ini dia memang sering mengatakan
hal di luar dugaanku. Dan kurasa...Itu hal yang bagus...]...........”
“Araa...Apa baru saja ibu melihat wajahmu
berubah menjadi merah??”
“I--Ibu!! Mana
mungkin! Tidak ada hal seperti itu!! Dan bukannya kita sedang berpelukan
sekarang jadi tidak mungkin ibu bisa melihat wajahku!!!!”
Apapun yang
terjadi, Riya akan terus berusaha menyangkalnya habis-habisan saat ibunya mulai
mencairkan suasana dengan menggodanya tentang Mochida.
“Fu fu fu,
memang tidak bisa. Tapi bukan berarti ibu tidak bisa merasakannya~ Cinta anak
muda memang manis, ya? Apa jangan-jangan pemuda tampan itu kekasihmu? ©”
Ibunya berkata
bahagia dengan senyuman yang cerah di wajahnya yang langsung membuat Riya
seolah ingin berteriak ‘WHAAAAAAAT!!!???’, dalam hati tentunya.
“Ibu--Ternyata
aku memang tidak bisa mengerti apa yang ada di dalam kepalamu itu...”
Ucapnya dengan
suara pelan, dan jika bisa, ia ingin sekali bisa menutupi wajahnya atau sekedar
menghilangkan diri.
Akhir-akhir ini,
Mochida memang terlihat berbeda di mata Riya.
Selama ini, ia selalu menganggap kalau Mochida
hanyalah pemuda berisik, yang bahkan jika berkata ‘Suka’, tidak akan serius dan
hobinya hanya bermain-main saja. Tak pernah serius dalam memikirkan apapun.
Makanya Riya sangat heran kenapa orang macam itu bisa sangat populer.
Ia tidak tahu
mengapa dan kapan pikiran itu mulai muncul di kepalanya, hanya saja sejak
pertama kali bertatapan muka, ia sudah merasa aneh dengan sikap Mochida yang
seolah selalu mengejarnya ke mana-mana.
Dan baru-baru
ini, dia menyadari sesuatu,
“............[Tubuh Mochida...Ternyata sangat hangat...].”
Sekarang, entah
mengapa justru ketika ibunya yang sedang memeluknya, matanya seolah mengalihkan
semua itu kepada sebuah delusi, bahwa yang saat ini sedang memeluknya adalah seorang
pemuda bernama Mochida Toru.
Mochida yang
selama ini ia kira seperti itu, sejak kapan terlihat begitu tenang dan
menghanyutkan perasaan? Sejak kapan terasa begitu baik dan juga lembut?
Kata-katanya begitu dalam sehingga sulit dilupakan. Suaranya begitu menenangkan
sehingga sulit dihapus dari pikiran.
Mochida
ternyata--Jauh lebih serius memikirkan apapun dibanding dengan semuanya.
Saat
membayangkannya seperti ini, ingatan tentang pertama kali ia benar-benar bicara
dengan Mochida kembali terbayang.
Waktu itu sedang
ada piket kelas, namun entah kenapa, semua justru menyerahkan tugasnya kepada Riya
dan ia sama sekali tidak punya kemampuan untuk menolak hingga akhirnya harus
membersihkan kelas seorang diri.
Dengan wajah
kesal karena marah, ia membersihkan penghapus papan tulis itu dengan kasar,
membuat asap yang tebal sekali. Dan saat itulah, pemuda itu datang, sambil
membawa alat pemadam kebakaran karena mengira kelas itu sedang terbakar.
Karena merasa
bersalah telah membuat kelas menjadi semakin kotor, Mochida yang sudah piket
kelas kemarin, akhirnya memutuskan untuk membantu Riya karena tidak enak dan
kasihan melihat Riya harus membereskan semuanya sendiri.
Mungkin sejak
itulah benih kebenciannya terhadap orang itu jadi semakin bertambah. Bukannya
menyesal atau apa, dia justru tertawa sambil berkata ‘Maaf, maaf’, hal yang
selalu dikatakan oleh orang lain, tapi sama sekali tidak terasa keseriusan
dalam perkataannya itu.
Sejak itu ia
selalu menganggap Mochida sangat menyebalkan dan tak pernah menganggap serius
ucapan orang lain, setidaknya begitulah sifat dasar laki-laki menurutnya.
Tapi--
Yang dia belum
sadari sampai ketika ia benar-benar memikirkannya sampai detik ini adalah--
--Bahwa Mochida,
dia selalu muncul ketika Riya sedang sendirian.
Dia hanya ingin
menghibur, bukan menganggu. Dia hanya ingin menemani, bukan menjadi perusak.
Sepertinya dia hanya merasa kasihan melihatnya selalu seorang diri, atau
terkadang diacuhkan oleh Runa dan Haruko.
“[Dan bodohnya, aku baru saja mengerti hal itu
sekarang...].”
“Jadi--“
“?”
Riya tersentak
ketika mendengar ucapan singkat ibunya yang mendadak itu.
Ibu Riya lalu
segera menyambung ucapannya,
“--Kau tidak
perlu merasa khawatir lagi. Setidaknya, sudah ada 3 orang yang akan berdiri
untukmu, dan untuk selamanya bagi mereka, kau tetaplah orang yang sama,
Miyashita Riya yang sama dan tidak berubah. Kau, bukan seperti yang orang-orang
itu katakan padamu!”
Ibu Riya
mengatakannya, dengan penuh rasa percaya yang terlihat jelas dari pancaran
sinar matanya dan senyumannya yang cerah, membuat perasaan menjadi hangat.
“Jadi setelah
ini--Apapun yang terjadi, atau luka seperti apa yang akan kau dapatkan dalam
hidup ini, kau tidak akan menangis dan meneteskan air mata seperti hari ini
lagi.”
Riya sedikit
tertegun, tapi ia merasa tak harus mengatakan apapun lagi untuk membalasnya,
dan ia menanggapinya dengan sebuah
anggukan singkat, yang pasti sudah menjawab semuanya.
“Ah, mungkin
akan lebih baik jika aku menyiapkan makan malam sekarang? Kau pasti sudah
lapar’kan?”
Melepas pelukan
putrinya, ia memandang tepat ke arah wajah anak itu, yang sudah berubah menjadi
sedikit tenang, sambil menghapus sisa air mata di sudut matanya.
“Hm. Ya, aku
sangat lapar!”
Untuk pertama
kalinya dalam hari yang terasa sangat berat ini, Riya menunjukkan senyumannya.
“Baiklah. Ibu ke
dapur dulu. Lebih baik ganti seragam dan segera mandi. Kau terlihat sangat
buruk hari ini.”
“Ide yang sangat
bagus. Harus aku coba!”
Balas Riya
dengan cukup semangat.
Mereka berdua
saling berpandangan sesaat.
Setelah sekian
lama, hubungan mereka kembali terbentuk. Kapan terakhir kali mereka bisa saling
tersenyum dan bercanda seperti ini? Sudah tidak ada yang mengingatnya. Tapi itu
sudah tidak penting, karena bagi mereka berdua, yang terpenting adalah ikatan
dan hubungan itu, sekarang masih ada.
“Akan kubuatkan
masakan favoritmu hari ini, supaya kau lebih bersemangat.”
Mengatakan itu,
ibu Riya menepuk kepala putrinya dengan pelan dan bermaksud untuk melangkah
masuk menuju dapur.
“..................”
Sementara Riya
masih berdiri di tempat memperhatikan ibunya yang akan segera menghilang dari
pandangannya.
Sewaktu ia tidak
sengaja melihat ke bawah dan melihat kedua tangannya, Riya lalu tertegun karena
ia baru menyadari sesuatu, kalau ia belum mengucapkan sebuah kata yang paling
penting.
Jadi,
GREP
“?”
Sebelum ibunya
sempat melangkah, Riya, dengan cepat segera memegang tangan ibunya tersebut,
tanpa mengatakan apapun dengan kepala tertunduk.
Suasana menjadi
sunyi sebentar, sampai Riya mengangkat kepalanya dan sekali lagi, menunjukkan
sekilas senyum tipis yang terasa tulus di wajahnya sambil berbisik pelan,
mengucapkan sebuah kata-kata yang belum sempat ia katakan sampai hari ini,
berharap bahwa semoga hari-hari keesokannya bersama dengan ibunya yang sangat
menyanyanginya ini, akan terasa lebih menyenangkan,
Ia berkata,
“...................”
“..........................”
“.................Terima
kasih atas semuanya selama ini...”
DOR
‘Eh...’
Tubuh Riya
tiba-tiba tersentak. Rasanya baru saja tubuhnya seperti merasakan suatu
hantaman yang sangat dahsyat.
Sesuatu...
Sesuatu
terdengar...
Sesuatu
terjadi...?
BLUUGH
Tanpa peringatan
terlebih dahulu, tubuh ibu Riya, jatuh dengan keras ke atas lantai.
‘Ah’...
Berusaha
mengatakan sesuatu, namun kata-kata itu tak kunjung keluar.
Di sebuah pintu,
yang sebelumnya terhalang tubuh ibunya yang berdiri, kini, sebuah lubang
berukuran cukup kecil terlihat.
Ketika ia
perlahan-lahan mulai sadar akan apa yang terjadi, ia menurunkan pandangan,
tanpa mengubah sedikitpun gerakan tubuhnya.
Di sekitar tubuh
ibunya yang kini tergelatak tak berdaya--Sebuah cairan berwarna merah mulai
terlihat.
Air mata yang
telah lenyap itu kembali menetes.
Riya tidak tahu
kenapa, tapi ia bisa merasakan suatu hawa dingin yang amat sangat merasuk di
tubuhnya.
Bagaikan ada
sesuatu yang kejam menembus tubuhnya berkali-kali, sebuah perasaan yang sangat
tidak nyaman timbul.
Sangat sulit
untuk menjaga keseimbangan postur dan di saat yang sama menjaga kesadarannya.
Entah mengapa, keadaan di sekitarnya seolah mendadak kabur dan berubah menjadi
objek yang tidak ia kenal.
Ia tidak bisa
bernafas dengan baik seperti sebelumnya.
Bagaimanapun
juga, sesuatu terasa sangat tidak baik--
Ketika ia
melihat ke bagian tubuhnya sendiri, sebuah cairan dengan warna yang sama juga
terlihat di perut sebelah kanannya.
‘Ah..Ini...’
BRUUUGH
Dengan tekanan
seperti sedang dipukul jatuh dan terbanting, tubuh Riya jatuh ke atas lantai,
berdekatan dengan ibunya.
“A--A--“
Mulut Riya
terbuka, berusaha berteriak, memanggil-manggil ibunya yang tak bergerak
sedikitpun.
‘Tidak, tidak,
tidak, jangan biarkan berakhir seperti
ini! Kumohon!!’
Tapi percuma, karena seberapa kerasnya ia
mencoba, suara itu tak kunjung keluar dari mulutnya, dan rasa sakit itu justru
semakin mengambil alih kesadarannya, ketika ia berusaha menjulurkan tangannya
dan menggerakkan tubuhnya dengan paksa.
Ketakutan dan
panik mulai mengambil alih dirinya.
“T--To--[Aku tidak bisa bergerak! Aku tidak bisa
berteriak!! Ibu!! Seseorang--Tolong!!!]“
Tepat pada saat
itu,
Tangannya tidak
sengaja menyentuh ponsel yang sepertinya terlempar dari saku seragamnya sewaktu
tubuhnya ambruk tadi.
“..................”
Maka, dengan
sedikit kesadaran yang masih tersisa, ia berusaha memencet tombol-tombol pada
ponselnya.
Berbekal dengan ingatan yang samar-samar, ia
berusaha menghubungi nomor seseorang yang sangat ia harapkan untuk datang,
seseorang yang tak disangka, ia akan benar-benar memerlukan pertolongan darinya,
‘087--
Berusaha
menggerakkan jari-jarinya dengan paksa, ia bergerak ke nomor selanjutnya,
361--
Dan di saat yang
sama pandangannya menjadi semakin kabur, sulit untuk membedakan angka-angka
yang terdapat pada ponselnya,
962--
Tinggal 3 angka
lagi--
904--‘,
BEEP BEEP
Tersambung?
“Halo?”
Suara yang
sangat familiar itu, terdengar. Biasanya ia selalu benci ketika mendengar suara
itu, biasanya ia selalu kesal dan muak.
Tapi--
“A--“
“Halo? Siapa ini?”
--Sekarang
justru ia begitu sangat ingin mendengarnya seolah ini adalah yang terakhir
kali.
“Mo--“
“ya? Maaf aku tidak bisa mendengarmu. Kau
bicara apa?”
“M--“
--Ponsel itu
terlepas dari genggamannya.
“Halo? Halo? Maaf, ini siapa? Apa ada sesuatu?”
Suara dari
ponsel itu terus terdengar, meski tak ada suara yang membalas.
Bahkan sampai di
saat yang terakhirpun, Suaranya tak bisa menggapainya. Tak tersampaikan
kepadanya di jarak yang begitu jauh.
“....................”
Sampai pada
saatnya--
--Kesadaran yang
tersisa itu--Akhirnya berakhir juga...
“...............................................................................--“
“--[Mochida...].”
***-***
A/N : Hi minna XDD''
HTMF kali ini--PUANJAAAANG!!!!!!!!!//asdadasadasd
Terus--Ibunya Riya matiii!!! Terus--Haruko ama Runa--EVIIIIL!!! Terutama si Runa yang sekarang nyebeliiin!!!
Di ch ini banyak yang terjadi, kasihan Riya. Siapa yang udah ngebunuh Sasagawa, Kariswa dan menembak ibunya Riya?? Apa Riya akan selamat?
Habis ini, adalah penutup dari part pertama HTMF!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar