Kamis, 30 April 2015

Story : How To Make A Friend Chapter 8

Story : How To Make A Friend Chapter 8

*Read: 
           Prologue

           Chapter 1

           Chapter 2

           Chapter 3

           Chapter 4

           Chapter 5

            Chapter 6


           Chapter 7 

            
           Epilogue

* Read Another Stories :
 One-Shot Stories



Chapter 8 Tidak Mungkin Di Dunia Ini, Aku Bisa Melakukan Hal Seperti Itu

“Apa yang--!!!?”
Di hadapan mereka saat ini, tepatnya di sebuah pohon di dekat gerbang sekolah,
Ada 2 mayat tergantung dengan perut mereka yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan keluar.
Tubuh mereka hampir hangus, seolah habis dibakar dengan api.
“I--Itu...Itu tidak mungkin...Kan...?”
Karena, yang ada di pergelangan tangannya itu adalah--Dan tak salah lagi, memang  hanya dia yang terlihat mengenakannya pada waktu itu--
--Sebuah wristband dengan tulisan ‘KING’,
...................
........................................
....................................................................
“.............Sasagawa dan...Karisawa...?”
Dan tepat saat itu,
Itsuki,
 Datang menuju ke arahnya,
Kemudian--
“Ini pasti perbuatanmu!!!!”

“Aku sudah bilang’kan!? Aku sama sekali tidak melakukan apapun!! Kejadian ini sama sekali tidak ada hubungannya denganku!!”
Riya berteriak dengan keras, sambil menggebrak meja.
Sementara itu, pria yang kini duduk di hadapannya, menatap Riya dengan datar sambil terus menghisap rokoknya.
“Oh, ya? Bukannya Karisawa-san dan Sasagawa-san itu sering sekali berkata buruk di belakangmu? Kau benci mereka’kan?”
Ia berkata dengan nada tenang, menanggapi penjelasan Riya yang terdengar sangat kesal.
Riya sedikit memundurkan dirinya. Ia bisa merasakan punggungnya menyentuh sandaran kursi. Entah apa yang harus ia katakan pada pria itu untuk membuatnya percaya. Sepertinya, apapun yang ia katakan hanya akan terdengar seperti sebuah kebohongan belaka.
Ia kemudian melihat ke sekelilingnya. Mereka sekarang sedang berada di kantor polisi yang terletak di pusat kota.
Setelah kejadian mengerikan itu, semua murid dilarang memasuki sekolah.
Tidak ada yang diijinkan untuk masuk ke dalam gedung sekolah sampai penyelidikan selesai. Karena itu, semua murid diwajibkan untuk segera kembali ke rumah masing-masing. Namun, ada juga beberapa murid yang dibawa ke kantor polisi guna dimintai keterangan.
Dan Riya tidak percaya, kalau ia masuk ke dalam daftar orang yang dicurigai terlibat dengan kasus ini.
Beberapa murid yang mengenakan seragam yang sama dengannya ada di dalam ruangan ini, baik dari kelasnya maupun dari kelas lain.
Wajah mereka terlihat ketakutan ketika satu per satu pertanyaan diajukan untuk mereka.
“Kapan kau datang ke tempat kejadian?”
Seorang polisi bertanya pada seorang siswi dengan tatapan serius.
langsung saja, siswi tersebut tertegun dan menjawab dengan sedikit ragu.
“Eh, aku datang pagi-pagi sekalu untuk belajar, tapi--Saat aku datang, mayat Sasagawa-san dan Karisawa-san sudah--Sudah--“
“Apa hubunganmu dengan korban?”
Riya bisa mendengar seorang polisi melontarkan sebuah pertanyaan pada seorang murid laki-laki yang sepertinya tidak ia kenal.
Mungkin berbeda kelas.
“T--Tidak ada. Aku dan mereka tidak terlalu dekat!”
Murid laki-laki itu terlihat kaget ketika polisi itu bertanya padanya.
Tapi, kelihatannya, ia sedikit ragu dengan jawaban yang diberikan oleh siswa tersebut.
“Oh, begitukah? Tapi menurut teman-temanmu yang lain, kau tertarik pada Karisawa-san dan sudah menyatakan cinta padanya, sayangnya kau ditolak. Apa itu benar?”
“E--Eh...Ya, itu benar...”
Ia berkata sambil memalingkan wajahnya.
“T--Tapi--!!”
Ia melanjutkan,
“Bukan berarti aku yang membunuh Karisawa dan Sasagawa!”
Murid laki-laki berambut hitam itu berusaha membela diri dan bangkit dari kursinya.
Wajahnya terlihat sangat panik.
“Tapi, bisa saja kau merasa dendam pada Karisawa yang sudah menolakmu kemudian merencakan pembunuhan terhadapnya.”
Meskipun membicarakan hal yang sangat gawat, polisi itu tetap memasang ekspresi tenang di wajahnya yang sudah terlihat cukup tua.
“Me--Meskipun begitu--!! Kalau seandainya saja aku memang dendam pada Karisawa, seharusnya aku hanya membunuhnya saja’kan?! Tapi, bukannya Sasagawa juga ikut terbunuh!!? Dan aku sama sekali tidak punya alasan untuk membunuh Sasagawa’kan!!? Serius, aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan kasus ini!!”
Ia terus berusaha menjelaskan dan menyakinkan pihak polisi bahwa bukan dirinya yang sudah merencakan pembunuhan terhadap Sasagawa dan juga Karisawa.
“Tapi, bagaimana kalau saja ketika kau membunuh Karisawa, Sasagawa tidak sengaja melihatmu? Bukannya itu akan menjadi alasan untukmu membunuhnya juga?”
Polisi tersebut benar-benar serius dalam hal ini, dan memperhitungkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.
“I--Itu...”
Dan murid laki-laki itu, akhirnya hanya bisa menerima semuanya dengan pasrah dan kembali duduk dengan tatapan kecewa.
“L--Lagipula...”
Setelah beberapa saat terdiam, murid itu kembali berbicara tanpa menatap ke arah polisi di hadapannya.
“Mana mungkin aku membunuhnya hanya karena alasan bodoh seperti itu? Aku--Aku memang sempat suka pada Karisawa, tapi, setelah dia menolakku waktu itu, aku sudah jatuh cinta pada gadis lain! Jadi, aku sudah tidak punya alasan apapun untuk membunuhnya, karena aku juga sudah melupakannya!!”
Teriaknya dengan suara sedikit keras.
Polisi itu menatap ke arahnya dengan wajah serius, yang bisa membuat anak kecil langsung melarikan diri begitu melihatnya.
Mendengar penjelasan yang mungkin cukup masuk akal dari murid tersebut, polisi itu akhirnya menghela nafas.
“Baiklah. Tapi, bukan berarti aku akan melepaskanmu begitu saja. Sewaktu-waktu, kami mungkin akan memanggilmu kemari penyelidikan lebih lanjut. Tolong sebutkan namamu.”
“W--Watase. Watase Inari.”
Jawabnya dengan gugup.
Setelah selesai mencatat, polisi itu mempersilahkan Watase meninggalkan kantor polisi dan bisa kembali pulang ke rumahnya.
Watase lalu bangkit berdiri kemudian berjalan sambil memasukkan tangan ke dalam kantongnya.
“.....................”
Riya bisa melihat ekspresi kesal yang ada di wajah murid bernama Watase itu.
Dan ketika ia sudah sedikit jauh dari polisi yang menyelidikinya, Riya mendengar Watase menghina polisi itu dengan suara pelan, kemudian berhenti berjalan.
Ia seperti melihat ke arah lain dan memperhatikan sesuatu.
Riya juga ikut melihat ke arah yang dituju oleh Watase.
“Aku tadi berangkat dengan teman-temanku. Sampai-sampai, sekolah langsung ramai dan sudah banyak orang yang berkumpul--“
Yang dituju oleh Watase adalah sosok Emi yang juga sedang diinterogasi.
Beberapa detik kemudian setelah melihat ke arah Emi, Watase melanjutkan langkahnya keluar dari kantor polisi.
Suasana sekarang ini terasa sangat tegang.
“.........................”
“Jadi,”
“?”
Mendengar ada seseorang yang berbicara di dekatnya, Riya kembali mengalihkan pandangannya ke arah polisi di depannya.
“Benarkah kau membenci Sasagawa-san dan Karisawa-san?”
Tanyanya kepada Riya.
“........A--Aku tidak terlalu mengenal mereka. Dan aku belum pernah satu kalipun bicara dengan mereka.”
Jawab Riya dengan ekspresi wajah khawatir kalau-kalau ia dituduh berbohong.
“Maksudnya, kau belum pernah sekalipun bicara dengan teman satu kelasmu? Kebohongan macam apa ini?”
Baguslah, ia benar-benar tidak percaya dengan ucapan Riya.
“M--Memangnya itu salah? Aku memang tidak pandai bersosialisasi. Bukan hal aneh kalau aku bahkan tidak mengenal satu atau 2 orang di kelasku!”
“Tapi,”
Polisi itu menghentikan ucapannya.
“Kau membenci mereka’kan?”
Ia kembali menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali.
Riya menatap polisi itu dengan tatapan tidak suka.
“Y--Ya, mau bagaimana lagi! Aku memang tidak begitu mengenal sosok mereka berdua, tapi bukan berarti aku tidak tahu kalau mereka tidak suka aku!!”
Jawab Riya dengan nada kesal.
Mereka berdua sudah mengatakan hal seperti itu, mana mungkin Riya  bisa tahan dan tidak membenci mereka?
Ia bukanlah manusia dengan hati malaikat, melainkan hanya manusia biasa yang juga bisa membenci orang lain.
Tapi, membenci bukan berarti membunuh’kan?
“Karena kau tidak suka mereka itulah, kau membunuh mereka’kan?”
Polisi itu berkata dengan wajah yang sedikit menakutkan meskipun nada bicaranya terdengar tenang, dan itu langsung membuat Riya tersentak.
“M--Mana mungkin hanya karena alasan seperti itu, aku tega-teganya berbuat sekejam itu pada teman sekelasku!?”
“Mereka berdua berkata buruk tentang dirimu pada sahabat baikmu. Dan menyuruh gadis--Yang bernama Kawada Emi itu untuk meninggalkanmu. Kau bilang kau tidak pandai bersosialisasi? Orang sepertimu ini biasanya jarang bisa mendapatkan seorang sahabat. Karena itu aku yakin, kalau Kawada itu adalah sahabatmu yang sangat berharga’kan?”
Ia berbicara dengan satu kalimat panjang.
Riya hanya bisa mengangguk pelan, yang berarti ‘Iya’.
“Kalau begitu, memang kau pelakunya.”
“Apa!!? Bagaimana mungkin Anda bisa memutuskan seenaknya begitu!!?”
Teriak Riya sambil bangkit berdiri dan kembali menggebrak meja dengan keras begitu mendengar perkataan tidak masuk akal dari polisi tersebut.
Namun sepertinya, polisi itu bahkan tidak merasakan sedikitpun rasa takut ketika Riya menatapnya dengan tajam.
“Sudah jelas’kan? Karena kau takut kehilangan temanmu itu, makanya kau berani menyakiti Sasagawa dan Karisawa, bahkan sampai tega membunuh mereka. Orang-orang sepertimu itu selalu memiliki masalah yang sama.”
Ia berkata sambil menatap ke arah Riya.
“Jangan berkata seenaknya! Aku sama sekali tidak melakukan pembunuhan keji ini!! Bukan aku pelakunya--“
“Tapi, putriku yang mengatakan kalau kau adalah orang yang bertanggung jawab atas semua ini...”
“.......................”
Ketika polisi itu mengatakan itu, Riya hanya bisa terdiam di tempatnya.
Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah nama yang tertera di bagian dada seragam polisi itu.
Itsuki Kouji.
Kemudian ia menoleh ke arah samping, di mana tatapan matanya kembali bertemu dengan Itsuki, yang menatapnya seperti menatap sampah yang tidak ada gunanya.
“Ukh...”
Sejak awal, ia sudah tahu, kalau ia pasti tidak akan bisa lolos dari masalah ini dengan mudah.

 “Apa yang--!!!?”
Riya menghentikan ucapannya.
Matanya tidak bisa lepas dari mayat Sasagawa dan Karisawa yang masih tergantung di atas pohon dengan kondisi mengenaskan.
Isi perutnya juga berjatuhan ke atas tanah. Tubuh mereka hancur berantakan dan tak mungkin bisa dikenali. Hanya saja,
Wristband itu--Milik Karisawa!
Riya memang tidak tahu, dan dia juga tidak ingin menduga-duga. Tapi kemungkinan besar jika satu dari kedua mayat it adalah Karisawa, maka yang satunya lagi--Mungkinkah Sasagawa yang selalu bersama dengannya?!
“Apa yang terjadi di sini--!!? Kenapa Sasagawa dan Karisawa--“
Haruko berkata dengan ekspresi terkejut.
Sepertinya ia masih shock dengan kejadian yang baru saja terjadi tepat di hadapannya.
“Ukh--A--Aku tidak tahan melihatnya!!”
“Hasegawa-san!!”
Sambil menutup mulutnya, Runa berlari meninggalkan kerumunan, tanpa mempedulikan Emi yang berteriak memanggilnya.
Riya melihat ke sekelilingnya, semua orang yang berada di dekat situ, memandang dengan ekspresi takut.
“Siapa yang tega melakukan hal seperti ini!?”
“Mengerikan sekali!!”
“Hey, apa tidak masalah kalau kita biarkan terus seperti ini?”
“Polisi yang akan mengurusnya!”
Mendengar itu, entah kenapa Riya jutsru merasa kesal.
“Polisi yang akan mengurusnya--!!? Jangan bercanda!”
Bersamaan dengan itu, Riya langsung berlari ke depan, menghadap ke semua orang yang ada di sana.
“Riya--!?”
Kata Haruko yang tidak mengerti dengan sikap Riya itu.
“T--Tolong turunkan!! Siapapun, tolong turunkan mereka berdua!!”
Riya memberanikan dirinya berdiri di depan orang banyak.
Bagaimanapun juga, ini bukan sesuatu yang harus dipertontonkan seperti ini.
2 orang siswi terbunuh di sini!!
“Jangan hanya melihat saja! T--Tolong lakukan sesuatu!! Ambil tangga atau apapun--! TURUNKAN MEREKA BERDUA!!
Teriak Riya lagi lebih keras.
Tiba-tiba, ketika pandangannya tidak sengaja mengarah ke bawah, ia melihat sesuatu.
“Apa ini?”
Seperti sebuah bekas sesuatu yang ditarik...
Dan bekas itu memanjang sampai ke arah bangunan sekolah.
Mungkinkah ini...
“Darah? Mayat mereka berdua di tarik dari dalam sekolah?”
Berarti...
“Yang melakukannya salah satu dari siswa?"
Mungkin jika bisa masuk ke dalam sekolah, bisa menemukan siapa yang melakukan semua perbuatan gila ini.
Maka, Riya langsung bergera menuju ke arah bangunan sekolah,
Tapi--
“Kau!!!”
“!?”
Riya langsung tertegun begitu mendengar suara itu.
Ia tidak tahu apa orang itu sedang bicara ke arahnya atau tidak, tapi ia menoleh saja.
Saat itu, sosok yang tidak asing, langsung datang menerjang ke arahnya dengan kencang, kemudian menabrak tubuh Riya sampai jatuh ke atas tanah.
“Kyaaah!!”
Teriak Riya ketika tubuhnya menghantam tanah dengan keras.
Belum sempat melihat apa yang terjadi, ia bisa merasakan seseorang menarik kerah seragamnya dengan kasar kemudian berteriak ke arahnya,
“Kau!! Kau yang sudah melakukan semua ini’kan!!!?”
“Ah! Apa yang kau lakukan!? Cepat lepaskan aku!”
“Lepaskan katamu!!? Kenapa aku harus melepaskan pembunuh sepertimu!!?”
 “Ukh!! Pembunuh apa!!? Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang kau bicara--Akh!!”
Orang itu menarik kerah baju Riya lebih kencang lagi dan itu membuatnya merasa sulit bernafas.
“Kau--Kau yang sudah--!!”
“Itsuki, hentikan!! Lepaskan Riya!”
Itu Haruko, berusaha menenangkan Itsuki yang tengah mengamuk.
Tapi, Itsuki langsung menepis tangan Haruko dengan kasar.
“Diam kau, Takashi!! Aku tidak ingin dengar apapun darimu!!”
Ia menatap tajam ke arah Haruko yang kini tertegun.
“Lalu, kau!!”
Gadis berambut panjang yang sedikit bergelombang itu, kembali mengalihkan tatapannya yang mengerikan itu ke arah Riya.
“Kau yang sudah membunuh Sasagawa dan Karisawa!!!”
Itsuki berteriak dengan seluruh tenaga yang ia miliki. Dibanding dengan orang-orang itu, ia pasti sudah terlebih dahulu mengenali siapa kedua mayat itu. Karena dia pasti juga, melihat wristband milik Karisawa di pergelangan tangan salah satu mayat tersebut, yang entah kenapa, masih tersisa dan tidak terlalu terbakar. Ia pasti sudah menyadari, siapa 2 siswi yang tewas tersebut.
“Aku tidak membunuh mereka, Itsuki! Aku sama sekali tidak melakukan apapun!!”
“Riya-chan benar, Itsuki-san. Dia tadi berangkat sekolah bersamaku, Hasegawa-san dan juga Takashi-san! Tidak mungkin kalau Riya-chan yang sudah membunuh Sasagawa dan Karisawa-san!!”
Teriak Emi, berusaha membela Riya.
Tapi, seolah telinganya sudah tidak bisa mendengar suara yang ada di sekelilingnya lagi, Itsuki sama sekali tidak memperdulikan perkataan Emi, maupun orang-orang di sekekeliling yang memandangnya dengan takut.
“Aku tidak mau tahu soal itu!! Kalau kau memang tidak membunuh mereka berdua hari ini, berarti kau membunuh mereka kemarin’kan!!? Mengaku saja kau!!”
Teriak Itsuki lebih keras lagi.
“A--Aku sama sekali tidak melakukan apapun, Itsuki!! Bukan aku yang membunuh mereka berdua!!”
Riya berusaha membela dirinya sendiri, tapi Itsuki justru mengangkat sebelah tangannya ke atas--
“Kau bohong!!!”
Dan ketika ia bermaksud untuk menampar Riya, tiba-tiba saja--

GREP

“Hentikan, Kana!”
Di belakang Itsuki, kini sosok seorang pemuda muncul sambil memegang tangan Itsuki, berusaha menghalanginya untuk menyakiti Riya.
Dengan wajah terkejut, Itsuki menyebut nama orang itu.
“T--Toru!?”
Kata Itsuki sambil menatap ke arah Mochida dengan tatapan tidak percaya.
Sementara itu, Mochida terus memandang Itsuki dengan tatapan tajam.
“Hentikan, Kana! Jangan menyakiti Miyashita! Cepat lepaskan dia!!”
Mochida berkata dan mempererat genggamannya.
“Ukh...”
Tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Itsuki akhirnya melepaskan Riya dengan kasarnya dan di saat yang sama, Mochida juga melepaskan tangan Itsuki.
Itsuki lalu menjauh beberapa langkah darinya.
Sejujurnya, ia masih tidak percaya kalau Mochida justru lebih membela Riya daripada dirinya.
“....................”
Tentu saja, itu jutsru membuat suasana semakin panas.
“Miyashita?! Kau baik-baik saja?”
Dengan cepat, Mochida langsung mendekati Riya yang masih berusaha mengatur nafasnya.
“Hah...Aku kira dia tidak akan pernah melepaskanku...”
Kata Riya dengan suara pelan.
“Kau baik-baik saja? Tidak ada yang terluka?”
“...............”
Ketika Mochida menatapnya, berusaha memastikan kalau Riya baik-baik saja dengan penuh rasa khawatir, entah kenapa, Riya tidak bisa beteriak dan menyuruh laki-laki berambut coklat itu untuk menjauh darinya, seperti yang biasa ia lakukan.
Ia hanya terus memandang ke arah Mochida tanpa mengatakan sepatah kata sedikitpun, tak peduli Mochida terus bertanya ‘Apa kau baik-baik saja’.
“Hey, Miyashita! Kau dengar aku?”
Akhirnya Mochida berbicara sedikit keras dan membuat Riya bangun dari lamunannya.
“..............A--Aku baik-baik saja.”
Kata Riya langsung memalingkan wajahnya yang memerah dari Mochida.
Ia lalu bangkit berdiri, dibantu oleh Mochida, Haruko dan juga Emi.
“Kau...”
“..........”
Mereka bertiga langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah Itsuki yang terus saja memasang ekspresi kesal di wajahnya.
“Bagaimana bisa kau membela gadis itu? Dia yang sudah membunuh kedua sahabat baikku...”
Sepertinya pertanyaan itu ditujukan kepada Mochida.
Mochida lalu menghela nafas sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Ah, aku sama sekali tidak paham dengan jalan pikiranmu, Kana. Kenapa kau bisa berpikiran bahwa Miyashita yang membunuh Sasagawa dan juga Karisawa?! Lagipula, tidak baik saling menuduh di sini. Bukannya lebih baik kalau kita turunkan mayat mereka berdua?”
Kata Mochida ke arah Itsuki.
“Sudah jelas gadis itu yang sudah membunuhnya!!!”
Itsuki berteriak sambil sedikit melangkah maju.
Haruko langsung maju ke depan, membelakangi Riya.
“Aku tahu kalau kau tidak menyukai Riya! Tapi bukan berarti kau bisa menuduhnya seenaknya begitu! Riya tidak mungkin membunuh!! Itu mustahil!”
“B--Benar! Riya-chan tidak mungkin membunuh!! Kau kejam sekali, Itsuki-san!!”
Emi langsung berdiri di samping Haruko dan berteriak keras ke arah Itsuki, berusaha menyakinkan gadis itu kalau bukan Riya pelakunya.
Itsuki kemudian menundukkan kepalanya.
Kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya dan terlihat bergetar.
“....................”
Di sisi lain, Riya merasa kasihan pada Itsuki.
Kedua sahabatnya baru saja meninggal dengan cara yang benar-benar sadis seperti ini.
Bahkan ia yakin, seorang Itsukipun masih bisa merasa kehilangan ketika seseorang yang berharga untuknya meninggal.
“Kemarin, kau--“
Setelah terdiam beberapa saat, Itsuki kembali membuka mulutnya.
Suaranya terdengar sangat lemah, seolah akan menangis.
Ia lalu melanjutkan ucapannya yang terhenti,
“Kemarin, kau mendengarnya bukan...?”
Itsuki menyelesaikan kalimatnya.
“Apa...? Mendengar apa?”
Tanya Haruko tidak mengerti.
“Kemarin kau mendengarnya’kan!!? Kau dengar ketika Sasagawa dan Karisawa menyuruh Kawada untuk meninggalkanmu!!?”
Itsuki kembali berteriak dengan kencang ke arah Riya, yang langsung membuat Riya meloncat kaget.
“Menyuruh Kawada-san untuk apa?”
Haruko, seolah tidak percaya dengan kata-kata Itsuki barusan, berkata dengan spontan, kemudian berhenti.
Ia lalu menoleh ke arah Emi.
Wajah Emi terlihat sangat tegang.
Itsuki kemudian mengacungkan telunjuknya ke arah Riya.
“Kau dendam pada mereka berdua’kan!!? Karena mereka berdua berusaha memisahkan Kawada-san darimu!! Kau’kan tidak punya teman! Makanya kau menganggap Kawada-san sebagai teman terbaikmu! Iya’kan!!? Karena kau tidak ingin kehilangan Kawada-san, makanya kau membunuh Sasagawa dan Karisawa dengan cara gila seperti ini!!!”
Perkataan itu, membuat Riya merasa semakin terpojok.
“[Apa ini!? kenapa jadi seperti ini!!? Aku sama sekali tidak pernah melakukan apapun!!].”
Ia langsung menarik mundur, Haruko yang berdiri tepat di depannya dan langsung bertatapan dengan mata tajam Itsuki.
“Aku sama sekali tidak membunuh mereka!! Mana mungkin aku melakukan hal sekejam ini!!! Dan lagi--Bukannya kau yang menyuruh Sasagawa dan Karisawa untuk membuat Emi benci padaku!! Kau yang menyuruh mereka’kan!!?”
Riya berteriak dengan seluruh kekuatan yang ada pada dirinya.
Ia tahu pasti kalau Itsuki akan berkata bohong pada semuanya, tapi--
“Iya, memang aku yang melakukannya.”
Itsuki berkata, dengan wajah dingin yang terlihat sangat kejam.
Suaranya itu langsung menusuk telinga tiap orang yang mendengarnya seperti es.
Itsuki mengakui perbuatannya?!
“Kau--“
“Memang aku yang menyuruh mereka berdua menjauhkan Kawada-san darimu. Tapi, aku melakukannya bukan tanpa alasan.”
Itsuki langsung memotong ucapan Riya yang baru saja mengatakan kata ‘Kau’.
“Maksudmu apa, Kana?”
Mochida tidak mengerti.
“Kau dan Kawada-san itu sama sekali tidak cocok! Aku sama sekali tidak percaya, kalau orang seperti Kawada-san bisa berteman dengan orang tidak berguna sepertimu! Aku yakin, kau pasti hanya memanfaatkan Kawada-san saja supaya bisa jadi populer’kan!!?”
“Apa kau bilang!!? Aku tidak--“
“Dan lagi, aku sama sekali tidak bisa membiarkan Kawada-san terpengaruh oleh orang sepertimu yang membawa pengaruh buruk untuknya. Makanya, aku berniat untuk menjauhkan Kawada-san darimu.”
“...........................”
Riya hanya bisa terdiam mendengar perkataan Itsuki.
Membawa pengaruh buruk?
Apa ia membawa pengaruh buruk untuk Emi?
“B--Bohong...Aku sama sekali tidak pernah ingin memanfaatkan Emi seperti itu!!”
Kata Riya, berusaha mengatakan yang sebenarnya.
Tapi--
“Iya, ya. Mungkin memang seperti yang Itsuki katakan.”
“Eh...?”
Riya langsung tertegun, ketika ia mendengar komentar salah seorang murid yang berbisik kepada temannya.
“Miyashita’kan seperti itu? Ia memang membawa pengaruh yang buruk buat Kawada-san.”
“T--Tunggu--Aku tidak--!!”
“Jangan-jangan, memang dia yang membunuh Karisawa dan Sasagawa?!”
“Aku tidak--”
“Sadis sekali! Ia benar-benar melakukan itu!!?”
“A--Aku--Aku--“
Semua murid, langsung berbisik-bisik dengan teman di dekatnya.
Riya tidak tahu benar apa yang mereka bicarakan, tapi semuanya memandang ke arahnya dengan wajah ketakutan.
“Tunggu, semua--! Bukan aku pelakunya!! Bukan aku! Aku--AKU BUKAN PEMBUNUH!!!

GYUT

“Eh?”
Riya bisa merasakan seseorang menarik tangannya dengan tiba-tiba.
Dengan cepat, orang itu segera mendekap tubuh Riya dengan erat. Sangat erat, seolah tidak membiarkan gadis itu lepas dari pelukannya. Ia tidak bisa melihat ke atas untuk melihat siapa orang yang memeluknya tersebut.
Yang pasti, tubuhnya terasa hangat.
“Sudahlah.”
Orang itu bicara dengan nada yang lembut.
Perlahan, ia membelai kepala Riya dengan lembut.
“Kau tidak perlu mendengarkan apa yang mereka semua katakan padamu. Cukup dengarkan suara teman-temanmu saja.”
Katanya sambil terus mempererat pelukannya.
“...........[Suara teman-temanku...?].”
“Bukan Riya yang melakukannya!!”
“!?”
Riya tertegun ketika ia mendengar suara Haruko berusaha membela dirinya.
“[Haruko...].”
“Takashi-san benar! Tolong jangan berkata buruk lagi soal Riya-chan!!”
“[Emi...].”
“Kau dengar’kan? Tak peduli apakah semua berbalik menyerangmu, kau masih memiliki sahabat yang akan selalu berdiri di sampingmu. Selain itu...”
.....................
..........................................
..................................................................
“Kau juga punya aku...”
 “.............Mochida...”

Setelah itu, polisi datang.
Mereka memeriksa tempat kejadian, kemudian menurunkan tubuh Sasagawa dan juga Karisawa yang sudah sangat sulit untuk dikenali lagi. Di sana, kedua orang tua korban pembunuhan tidak manusiawi itu menangis dengan keras. Bahkan, Itsuki terlihat juga menitikkan air mata.
Polisi segera melakukan penyelidikan.
Awalnya semua merasa ragu.
Apa benar pembunuhan keji ini benar-benar dilakukan di dalam sekolah?
Kapan?
Siapa yang melakukannya?
Siswa?
Hanya membayangkan bahwa yang melakukan pembunuhan terdapat 2 orang dengan cara kejam seperti ini adalah murid SMA biasa...
Ini benar-benar sangat sulit untuk dibayangkan...
Tapi ternyata,
Bukti yang terdapat di sini...
Semua membenarkan perkiraan tidak masuk akal yang sulit untuk dibayangkan itu.
Seperti yang Riya lihat sebelumnya, ada jejak yang terlihat seperti bekas darah yang tertinggal dari arah sekolah.
Maka dengan cepat, polisipun segera menyelidiki dan mengikuti ke mana jejak darah yang memanjang itu berakhir. Mereka juga tidak lupa untuk memeriksa bekas darah di lantai tersebut.
“Darahnya sudah mengering. Sepertinya pembunuhan ini tidak terjadi tadi pagi, melainkan kemarin.”
Kata salah seorang polisi yang sedang berjongkok, tengah memeriksa darah itu.
Penyelidikan di lanjutkan, lantai 1, kemudian lantai 2. Sampai akhirnya, jejak darah itu berhenti di depan sebuah pintu ruangan yang tertutup.
Ruangan laboratorium di lantai 2.
Dengan perlahan, para polisi membuka pintu ruangan tersebut.
Dan ternyata,
Di temukan banyak sekali bercak-bercak darah di atas lantai.
 Gelas-gelas kaca yang ada di dalam ruangan lab. juga banyak yang pecah.
Bukan hanya itu.
Di sana, juga ada bagian lantai dan dinding, tepatnya di pojok sudut ruangan, yang berwarna kehitaman, seolah sesuatu telah di bakar di sana.
Jadi, begitulah.
Bahkan setelah itu, penyelidikan terus berlanjut.
Beberapa murid yang terus menunggu hasil di depan gerbang sekolah, dimintai keterangan satu per satu oleh polisi.
Jam berapa mereka pulang, apa yang mereka lakukan kemarin, apa mereka masih di sekolah sampai larut malam, semua hal-hal seperti itu yang ditanyakan kepada murid-murid.
Selain itu, meskipun tidak diminta, ada juga beberapa murid yang berkata sesuatu seperti,
‘Ah, kemarin anak itu ada kegiatan klub. Sepertinya dia akan tinggal di sekolah sampai malam. Bukannya Sasagawa dan Karisawa kemarin juga ada kegiatan klub, ya? Apa jangan-jangan dia yang melakukannya?’.
‘Kemarin malam saat aku sedang pergi bersama keluargaku, aku sempat lihat anak itu, berjalan keluar dari gerbang sekolah. Iya, pasti dia pelakunya!’.
‘Coba tanya Watase. Kalau tidak salah, dia pernah mengungkapkan perasaannya pada Karisawa, tapi di tolak dengan kasar oleh Karisawa. Mungkin saja dia jadi dendam!’.
Seolah tidak ingin menjadi tersangka, mereka langsung dengan cepat melimpahkan kesalahan itu kepada orang lain, yang bahkan belum tentu mereka adalah pelakunya.
‘Anak itu. Namanya Miyashita. Menurut yang lain, dia dendam pada Karisawa dan Sasagawa yang berusaha merebut sahabat baiknya. Pasti dia yang sudah membunuh mereka berdua!’
‘Takashi dan Hasegawa adalah sahabat baiknya. Sepertinya mereka berdua juga patut dicurigai’.
‘Iya, mana bisa anak SMA menggeret 2 mayat seorang diri?! Pasti ini  perbuatan mereka bertiga!’.
‘Aku yakin kalau dia yang sudah membunuh sahabat baikku, Ayah!!’.
Maka, murid-murid yang telah ‘dicurigai dan dituduh dengan alasan tidak jelas itu’, dipanggil ke kantor polisi, sementara siswa yang lain diwajibkan untuk segera pulang, karena bisa saja pembunuh misterius yang tidak jelas itu muncul kapan saja dan di mana saja.

“Jadi, akhirnya, kau sama sekali tidak mau mengakui perbuatanmu, Miyashita-san?”
“Aku merasa tidak ada yang perlu aku akui, karena aku memang tidak melakukan apapun.”
Riya menanggapi dengan dingin pertanyaan yang diajukan oleh kepala polisi.
Matanya menatap ke arah ayah Itsuki tanpa rasa takut sedikitpun.
“[Untuk apa aku merasa takut atau mengatakan sesuatu lebih dari ini? Aku memang tidak berbuat salah. Aku tidak membunuh mereka!] Aku juga tidak peduli apa yang putrimu katakan padamu, tapi aku berani jamin, kalau aku tidak melakukan pembunuhan ini. Aku tidak melakukannya.”
Riya berkata dengan wajah yakin yang langsung membuat kepala polisi itu menghela nafas dengan wajah sedikit kesal.
“Baiklah, karena belum ada bukti, sepertinya tidak ada pilihan lain untuk melepaskanmu.”
Katanya sambil memundurkan tubuhnya sedikit  ke belakang.
Mendengar itu, otomatis Riya tidak menahan dirinya untuk merasa lega.
“Benarkah?! Anda melepaskanku?”
“Hanya untuk kali ini saja. Kami akan memanggilmu sewaktu-waktu. Sekarang kau boleh pulang.”
Kepala polisi itu kembali menghirup rokoknya kemudian bangkit berdiri meninggalkan Riya.
“Huff...Syukurlah...”
Kata Riya pelan.
“Riya-chan!”
“Emi-cha--Waa!!”
Riya langsung terkejut, ketika Emi tiba-tiba, tanpa peringatan terlebih dahulu, meloncat dan memeluknya dengan erat.
“Riya-chan, kau baik-baik saja?? Tidak di tangkap’kan? Kau tidak akan dipenjara’kan? Kan? Kan? Kan?”
“Auh iak ahan i penhara, apih heperhia ahu ahan mahi hehahisan n--nahaaaassss--Uhk... “ --> Aku tidak akan dipenjara, tapi sepertinya aku akan mati kehabisan nafas.
“Miyashita bisa kehabisan nafas kalau kau memeluknya seerat itu, Kawada. Lepaskan dia.”
Seolah bisa membaca pikiran Riya, Mochida langsung menyuruh Emi untuk melepaskan Riya.
Di belakangnya, Haruko dan Runa mengikuti.
“E--Eh, maaf...”
Dengan wajah merasa bersalah, Emi menoleh ke arah Mochida sambil melepaskan Riya.
“Uh...Udara...”
Kata Riya sambil meletakkan tangan di dada dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
“Jadi,”
“?”
“Kau tidak akan dipenjara’kan?”
Riya langsung menoleh ke arah Mochida, yang kini tersenyum ke arahnya.
Sebenarnya, Mochida dan Emi sudah diijinkan pulang karena murid teladan seperti mereka tidak mungkin dicurigai melakukan pembunuhan sekejam ini. Namun, karena beberapa sahabat mereka ada yang ikut diinterogasi, mereka memutuskan untuk ikut ke kantor polisi dan menunggu.
Entah kenapa, ia merasa aneh, dan dengan cepat, langsung memalingkan wajahnya.
“Tentu saja tidak. Aku tidak melakukan apapun, kok!”
Jawabnya sinis sambil berkata ‘Huh’ yang hanya ditanggapi dengan tawa kecil oleh Mochida.
Ia lalu melirik ke arah Mochida dan kembali berkata dengan nada kesal.
“Kau kenapa ada di sini? Bukannya kau tidak mendapat panggilan kehormatan ini? Kalau kau ke sini karena aku, lebih baik kau pulang saja! Aku tidak membutuhkanmu di sini! [Lihat mukamu itu aku jadi makin kesal].”
“Eh, aku ke sini karena menemani seorang temanku. Makanya aku tidak pulang.”
Jawab Mochida yang langsung membuat Riya tertegun, kemudian langsung memalingkan wajahnya lagi.
“Hmph! Terserah kau saja.”
Riya berkata dengan wajah memerah yang berusaha ia sembunyikan.
Ketika ia tak mendengar Mochida mengatakan sesuatu sekali lagi, ia sedikit mengintip ke arahnya dan ternyata pemuda itu sedang menulis di atas sebuah kertas.
Begitu ia selesai, ia segera menyerahkan kertas itu pada Riya.
“Oh ya, Miyashita, kau tidak punya nomor ponselku’kan? Karena aku sangat mengkhawatirkanmu...Akan kuberikan nomorku untukmu. Ingat, kalau ada apa-apa atau kau sedang butuh bantuan, hubungi aku, ya.”
Ia berkata sambil tersenyum, yang dibalas Riya dengan tatapan sinisnya.
Dengan berat hati, ia mengambil kertas yang telah disobek menjadi cukup kecil itu dan melihat angka yang tertulis di dalamnya--
‘087361962904-Mochida Toru’

SRET SRET SRET

--Dan merobeknya menjadi serpihan-serpihan kertas yang jauh lebih kecil lagi.
“Eh!? Kenapa kau merobeknya!?”
Mochida berteriak histeris dan berusaha mengumpulkan kertas-kertas itu yang telah beterbangan di sekelilingnya dan berserakan di mana-mana itu.
“Tapi, jujur saja. Kejadian ini membuatku khawatir.”
Haruko tiba-tiba berkata sambil menopang dagu.
Ekspresi wajahnya jelas terlihat seperti mengkhawatirkan sesuatu.
Emi menambahkan,
“Benar sekali. Dari tadi aku terus penasaran, siapa yang melakukan pembunuhan kejam ini. aku perhatikan, tak seorangpun yang mau mengakui perbuatannya...”
“Yah...Mana ada pembunuh yang mau mengakui perbuatannya.”
Di belakang Haruko, Runa berkata sambil melipat kedua tangan di dada.
Dari tadi, ia sama sekali tidak menoleh ke arah Riya. Dan wajahnya itu, seperti orang yang sedang merasa sebal akan sesuatu.
Riya yang menyadari ada yang tidak beres dengan Runa, langsung mengalihkan pandangan ke arah gadis itu.
“Kau kenapa, Runa? Kok kau memasang wajah seperti itu?”
“Kenapa, ya? Aku hanya merasa kesal saja. Gara-gara ‘seseorang’, aku dan Haruko jadi dituduh pembunuh!”
Runa berkata dengan nada super sinis, tanpa menoleh ke arah Riya.
Mendengar ucapan Runa yang seperti itu, Riya langsung tertegun.
Apa Runa baru saja menyalahkan dirinya atas semua kejadian ini?
“Runa! Jaga ucapanmu! Kenapa kau mengatakan hal seperti itu!? Tidakkah kau pikir itu terlalu kejam?!!”
Haruko langsung menatap tajam ke arah Runa dan berusaha memperingatinya.
Tapi, Runa hanya menanggapinya dengan santai.
“Tapi, memang begitu’kan kenyataannya? Kalau bukan karena kita adalah ‘teman’ dari orang di sana itu, maka kita berdua tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam di sini!! Orang-orang juga tidak akan menuduh kita yang bukan-bukan!”
“Aku paham bagaimana perasaanmu, Runa! Siapapun juga tidak akan mau dituduh seperti itu! Tapi, bukan berarti kau bisa menyalahkan Riya seperti itu!! Apa yang Riya, sahabat kita alami, jauh lebih berat daripada yang kita alami!”
Haruko berkata dengan suara agak keras, yang membuat beberapa polisi menoleh ke arah mereka.
Runa langsung menundukkan wajah dan melangkah mundur beberapa senti.
“Hasegawa-san...”
Kata Emi sambil menatap Runa dengan ekspresi sedih.
“...........Aku mau pulang.”
“Tunggu, Runa!”
Haruko berteriak memanggil nama Runa, menyuruhnya untuk berhenti.
Namun, Runa terus berjalan sehingga Haruko langsung menoleh ke arah Riya.
“Riya, ayo pulang.”
“Aku bilang mau pulang, bukan berarti aku ingin pulang dengan dia!”
Runa berkata sambil melemparkan tatapan tajam ke arah Haruko dan yang lainnya.
“.......................”
Sementara itu, Riya hanya bisa menatap ke arah Runa, gadis yang selama ini selalu ia sebuat dengan ‘sahabat’ itu, dengan tatapan tidak percaya.
Sahabat seperti apa yang tega mengatakan hal mengerikan itu kepada sahabatnya sendiri. Seharusnya ia tahu, seharusnya sejak awal ia tidak perlu mengenal gadis bernama Runa itu.
Ternyata, ini diri Runa yang sebenarnya.
“...............Aku--“
Riya yang dari tadi terus terdiam, akhirnya membuka mulut.
Semua pandangan langsung tertuju ke arah gadis berambut pirang panjang itu.
Riya mengepalkan kedua tangannya, kemudian menggebrak meja dengan keras!
“Aku juga tidak mau di tuduh seperti ini!! Kalau kau mau pulang, pulang saja sana!!!”
Ia sudah mengatakannya, dan tidak ada cara untuk menarik ucapannya kembali.
Semua terlihat sangat terkejut mendengar teriakan Riya yang tiba-tiba meledak itu. Runa pun, langsung memasang ekspresi kesal di wajahnya itu.
“Tidak usah kau suruh aku juga akan pulang!! Dengar ya, Miyashita!!”
“!!?”
Ucapan Runa yang meledak-ledak itu, membuat Riya tertegun.
Apa dia baru saja memanggilnya ‘Miyashita’?
Di Jepang, semua selalu memanggil sahabat terbaik dengan nama depan mereka, yang akan memberi kesan dekat dan akrab. Sebaliknya jika mereka memanggil dengan nama keluarga atau dengan imbuhan ‘san’, itu justru akan mengesankan kalau mereka baru saja bertemu atau sama sekali belum saling mengenal sebelumnya.
Dan...Apa Runa baru saja, mengatakan secara tidak langsung, bahwa ia ingin memutuskan ikatan sahabatnya dengan Riya?
Karena itu ia tidak akan memanggilnya ‘Riya’ lagi?
Runa melanjutkan ucapannya, yang membuat semuanya hanya berdiri terdiam, menanti kelanjutan dari ucapan gadis itu,
“Mulai detik ini, anggap kita tidak pernah saling bertemu! Anggap kita tidak pernah berteman atau apapun!! Karena, aku sama sekali tidak ingin terlibat dengan masalah ini, atau dituding sebagai seorang pembunuh! Kalau memang harus ada seseorang yang dikorbankan untuk disebut pembunuh, kurasa kau seorang saja cukup! Tidak perlu membawa kami yang lainnya!!”
“........................”
“Runa!!!”
Haruko berteriak, memegang pundak Runa yang terlihat menegang.
“Apa!!? Aku hanya ingin mengatakan yang seharusnya aku bilang!!!”
Menoleh ke arah Haruko di belakangnya dengan cepat, Runa langsung melemparkan tatapan seperti pedang yang menusuk ke arah sahabat masa kecilnya itu.
“Tapi apa itu yang seharusnya dikatakan oleh seorang sahabat!!?”
Tidak mau kalah, Haruko berusaha mengatakan pada Runa bahwa apa yang dia ucapkan barusan itu sudah terlalu jauh.
“Ha--Hasegawa-san, Takashi-san, tolong hentikan membuat wajah yang seram seperti itu...Jangan bertengkar di sini...Bagaimana kalau kita cepat pulang saja? Kasihan Riya-chan...”
Ucap Emi pelan, dengan eskspresi panik dan ketakutan. Ia sepertinya berusaha untuk menghentikan konflik yang terjadi diantara 3 sahabat itu.
Mochida pun sedikit melangkah maju ke arah Runa dan Haruko dan ikut dalam pembicaraan.
“Kawada-san benar. Tidak seharusnya kalian berkelahi di sini. Ini kantor polisi. Lagipula, kalian para gadis tidak ingin orang-orang di sini melihat ke arah kalian’kan?!”
Kata Mochida sedikit keras. Nadanya terdengar sangat tegas.
Ini bahkan sudah pada level di mana Emi dan Mochida yang sebelumnya hanya bisa menonton, tidak bisa berdiam diri lagi dan harus ada yang menengahi mereka. Jika tidak ingin ada pertumpahan darah atau perang dunia ketiga tentunya.
Tapi ternyata, semua yang Emi dan Mochida ucapkan, sama sekali tidak ditanggapi baik oleh Runa, Haruko dan juga Riya yang masih disibukkan oleh pikiran alam bawah sadarnya sendiri.
“KAU INGIN AKU BERKATA APA!!!? APA YANG HARUS AKU KATAKAN!!!?”
“Apapun, asalkan bukan sesuatu yang memojokkan Riya seperti itu!! Runa, sebenarnya kau ini sahabat macam apa!? Kau anggap apa Riya!!?”
“BUKAN SIAPA-SIAPA!!! AKU TIDAK PERNAH MENGANGGAP GADIS ITU SEBAGAI SAHABATKU ATAU SESEORANG YANG BERHARGA UNTUKKU!!! BAGIKU, DIA ITU CUMA PENGGANGGU!! PENGGANGGU ANTARA HUBUNGAN PERSAHABATANKU DENGAN HARUKO!!!!!!”

DEG

“.................”
Tiba-tiba, Riya bisa merasakan sensasi aneh mulai menjalar masuk ke tubuhnya. Tangannya mulai mendekap tubuhnya sendiri dengan erat seakan-akan sedang menahan udara dingin yang merasuki tubuhnya.
Sementara itu, tubuh Haruko serasa gemetar ketika kata-kata Runa, yang mungkin tidak ditujukan untuk dirinya itu, namun itu saja sudah bisa membuat dirinya ketakutan.
“.................Apa...yang...Kau ucapkan barusan...Runa...? Apa yang telah merasukimu...?”
Pertanyaan itu, pertanyaan dengan nada takut itu seperti sedang berkomunikasi dengan seorang pembunuh berdarah dingin, tak mendapat jawaban dari Runa.
“......................”

“BUKAN SIAPA-SIAPA!!! AKU TIDAK PERNAH MENGANGGAP GADIS ITU SEBAGAI SAHABATKU ATAU SESEORANG YANG BERHARGA UNTUKKU!!! BAGIKU, DIA ITU CUMA PENGGANGGU!! PENGGANGGU ANTARA HUBUNGAN PERSAHABATANKU DENGAN HARUKO!!!!!!”

Kata-kata dingin Runa, yang terasa kejam itu bergema di dalam diri Riya. Pelan-pelan ia mulai mencerna kalimat yang dikatakan dengan rasa kebencian yang amat sangat itu.
Bukan siapa-siapa?
Jadi begitu?
Jadi selama ini dia berteman dengan seseorang yang bahkan tidak mengganggap dirinya jauh lebih baik dari sampah?
 ‘Aku hanya penggangu? Hasegawa Runa, tidakkah kau paham!? Kau yang penganggu!!!!!!!’
“...............”
Tangan Riya mengepal seolah siap memukul apa saja yang ada di hadapannya.
‘Kau yang mengganggu hubunganku dengan Haruko!! Gara-gara ada kau--‘
“[Gara-gara mahluk bernama Hasegawa Runa itu--] GARA-GARA KAU-- HARUKO--SELALU MENINGGALKANKU!!!
“!!!!!!!!!”
Semua mata di ruangan itu, langsung menatap ke arah Riya dengan wajah terkejut.
“Riya--“
Mulut Haruko bergerak, menyebut nama gadis berambut pirang itu, kemudian berhenti seolah ia melupakan lanjutan dari kata yang ingin diucapkannya.
Di wajah Runa yang semakin geram itu, terpancar ‘Jadi selama ini, itu yang selalu kau pikirkan’ di wajahnya.
Meski mungkin ia sudah mengatakan semua yang selama ini ada di dalam hatinya yang terdalam, ia masih saja memiliki berbagai cara untuk menjatuhkan Riya, gadis yang selama ini dianggapnya sangat menyebalkan.
Jadi, ia meletakkan sebalah tangannya di pinggang, memasang wajah angkuh lalu--
“SUDAH SEWAJARNYA DIA MENINGGALKAN GADIS ANEH YANG TIDAK JELAS SEPERTIMU!!!”
“HASEGAWA-SAN!!”
Dengan cepat, Emi yang dari tadi berusaha melerai dengan kata-kata yang terdengar tenang, langsung berlari ke depan Riya dan merentangkan sebelah tangannya seolah berusaha melindungi gadis itu.
“.................”
Tatapan tajam mata Runa kini bertemu dengan tatapan tajam yang datang dari Emi dan untuk waktu yang cukup lama, tak satupun dari mereka berdua melontarkan kata-kata selain saling menatap satu sama lain.
Suasana semakin terasa berat.
“Bahkan sampai Kawada-san juga...”
Gumam Haruko pelan.
“.......Aku memang tidak tahu apa masalahmu dengan Riya-chan, tapi menurutku pribadi, jika memang ada yang ingin kau katakan tentang Riya-chan, sepertinya sekarang bukan saat yang tepat.”
Ujar Emi ke arah Runa, yang hanya ditanggapi dengan ‘Hah’, oleh gadis tersebut.
Kalau dipikir-pikir, ucapan Emi memang ada benarnya. Sebuah pembunuhan baru saja terjadi! Bukan saatnya untuk acara membongkar rahasia tidak penting seperti ini!!
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi aku bisa mengatakannya? Bukannya sesuatu yang dipendam itu akan lebih baik jika dikeluarkan daripada terus dipendam dan membusuk? Karena itu, biar aku mengatakannya sekarang. Aku, sejak pertama kali bertemu denganmu aku sudah membencimu! Kau itu aneh! Aku juga tidak paham apa yang Haruko lihat darimu sehingga dia mau menjadi sahabatmu! Kalau memang ada alasan di balik itu, kurasa itu karena sifat Haruko yang terlalu baik!”
Ia mengatakannya...
Ia benar-benar telah mengatakannya!!
“Jangan berkata buruk soal Riya-chan lagi! Aku, mengenal Riya-chan jauh lebih lama darimu! Aku mengenal seperti apa Riya-chan dan dia bukanlah orang yang aneh!! Kalau ada yang aneh, itu kau! Hasegawa-san, kaulah yang aneh!!!”
“...............Emi-chan...”
Dan Riya, cuma bisa membeku di tempatnya sambil memperhatikan Emi yang seolah sedang berusaha mati-matian melindungi dirinya dari Runa.
Perlahan, kedua tangannya menggenggam bagian bawah roknya dengan sangat erat.
“.........................[Runa, sahabatku yang ‘asli’ ternyata ‘palsu’...Sedangkan Emi-chan...Yang bahkan mungkin sejak awal dia tidak berada di sini, di sisiku, sahabat ‘palsu’ itu ternyata justru ‘sahabat asli’ku! Dia melindungi aku...Mati-matian membelaku di hadapan Runa...Sedangkan Runa...Di saat seperti ini dia malah...Bersikap seperti itu...Siapa...Siapa sebenarnya yang bisa aku sebut sebagai ‘sahabat’?!].”
“Aku yang aneh!? Kau bilang aku--Hey, Kawada-san, apa kau tidak sadar, justru kaulah yang paling aneh di sini!!”
“Apa--!?”
“Kawada-san, aku minta kau hentikan mereka! Bukannya malah ikut berteriak seperti ini!!”
Seru Mochida, yang sebelumnya mengharapkan Emi mampu meredakan api diantara Runa dan Riya, namun sama seperti sebelumnya tak satupun diantara Emi maupun Runa yang mau mengalah.
Runa melanjutkan ucapannya,
“Kau mau berteman dengan gadis yang tidak ada gunanya seperti dia itu saja, menurutku sudah sangat aneh! Kalau tidak salah, bukannya baik Itsuki, Sasagawa maupun Karisawa mengatakan hal yang sama? Tidak ada untungnya kau berteman dengan orang seperti Miyashita! Kau itu populer! Semua orang menyukaimu! Apa kau tidak pernah berpikir untuk berteman dengan orang yang berada di satu level yang sama denganmu!?”
Gadis dengan rambut yang dikuncir twintail di bagian bawahnya itu kembali berteriak, membuat Emi sedikit tersentak ke belakang.
Itu, justru membuat ekspresi di wajah Emi semakin bertambah kesal, wajah yang sebelumnya belum pernah Riya lihat. Meski saat ini Emi sedang membelakangi Riya, namun Riya seakan-akan bisa merasakan kemarahan Emi saat ini.
“.................”
“Aku...”
Dengan suara pelan dan kepala tertunduk, Emi mengucapkan sepatah kata yang pendek, kemudian,
“SATU-SATUNYA ORANG TERBAIK YANG BISA AKU ANGGAP SEBAGAI SAHABAT HANYALAH RIYA-CHAN!!! KALIAN SEMUA TIDAK ADA APA-APANYA KALAU DIBANDINGKAN DENGANNYA!!!! KARENA ITU TIDAK AKAN KUMAAFKAN KAU KARENA BERBICARA BURUK SOAL RIYA-CHAN SEPERTI ITU!!!!!!!”
“!!!!!!!!!”
Mengangkat wajahnya, Emi, berbicara dengan suara terkeras yang belum pernah didengar oleh semuanya, menggema ke seluruh ruangan. Semua mata langsung melihat ke arah mereka dan mulai membicarakan apa yang sebenarnya terjadi diantara anak-anak sekolah itu.
Haruko, Mochida, Runa dan Riya, semuanya menatap dengan tatapan tidak percaya ke arah Emi. Tidak percaya kalau gadis itu bisa mengatakan sesuatu yang sangat jauh dari kesan murid idola semuanya. Kata-kata yang baru ia ucapkan itu, sebuah kata-kata untuk membela Riya, seolah telah menghancurkan image ‘sempurna’ pada diri Emi.
Hanya saja, sepertinya gadis berambut panjang sepunggung itu sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Justru itulah,
“[Sesuatu yang bisa membuat seseorang di sebut sebagai sahabat sejati, tak peduli apakah dia harus membuat dirinya nampak buruk di hadapan orang lain...Emi--Dia melakukan semua ini untukku...?].”
Riya berkata dalam hati, tak melepaskan pandangan matanya sedetikpun dari punggung gadis itu. Rambutnnya yang coklat panjang, terlihat sangat indah. Sama seperti hati yang dimilikinya.
“...................”
Saat ini, Riya bisa merasa suatu perasaan aneh menumpuk jadi satu di dalam dirinya, ingin meledak dan membuatnya serasa ingin menangis. Karena Emi, yang mungkin bahkan bukan ‘manusia’, tapi memiliki sesuatu yang membuatnya menjadi ‘manusia’ seutuhnya.
Itu membuat Riya merasa aneh, merasa aman dan terlindungi...
“[Dia melindungiku...].”
“Kalau begitu, pergi dan bermainlah dengan teman yang kau anggap lebih baik dari kita semua itu!! Aku juga tidak peduli, baik padamu atau pada Miyashita! Kau menyebalkan, Kawada-san! Ternyata semua orang salah menilaimu! Kau tidaklah sehebat itu!!”
“[Emi melindungiku...Dan aku hanya mampu berdiri diam di sini saat Hasegawa Runa itu menghinanya...].”
Saat itu tak satupun kata yang dapat Riya tangkap dari Runa, meski seperti itu, ia tahu kalau Runa sedang mengatakan sesuatu yang mungkin bisa dibilang oleh orang-orang sekitar sebagai sesuatu yang menyebalkan.
Tubuh Riya bergetar, mengutuk sendiri ketidakmampuannya yang tidak bisa bergerak untuk membela dirinya maupun Emi.  Rasanya semua ucapan Runa yang terasa kejam itu telah membekukan diri Riya sepenuhnya sehingga bahkan berkatapun rasanya sangat berat.
Runa dan Emi masih beradu mulut, sementara Haruko dan Mochida berusaha menghentikan mereka sebisanya. Beberapa polisipun mulai terlihat khawatir dan bermaksud untuk mendatangi mereka berlima.
 “Jika kau ingin berteman dengan pembunuh itu--“
“!!”
“Aku tidak akan melarangmu! Meski demi kebaikan Kawada-san sendiri, aku usulkan untuk menjauhi anak itu!! Bagaimanapun juga, dia itu pembunuh!! Dia yang sudah membunuh Sasagawa dan Karisawa!!”
Runa berkata, mengarahkan jari telunjuknya ke arah Riya, yang membuat Riya terkejut.
“Hasegawa!! Jangan berkata yang bukan-bukan!!!”
Kali ini, Mochida yang telah kehilangan kesabaran dan berteriak.
Kelihatan sangat jelas dari eskpresinya bahwa dia benar-benar marah apalagi setelah Runa menyebut Riya yang benar-benar telah membunuh 2 orang teman satu kelas mereka yang merupakan anak buah Itsuki itu.
“.................Apa-apaan ini? Kau bahkan membelanya?”
Runa berkata, sambil mengalihkan pandangan dari Emi ke arah Mochida di samping kirinya.
Sementara tanggapan Runa terhadap perkataan pemuda berambut coklat itu, sangat dingin.
“Miyashita tidak mungkin melakukan semua hal ini. Lagipula, kita tidak bisa menuduh siapapun dalam kasus ini karena belum ada bukti yang pasti. Tak peduli apakah semuanya menuduh Miyashita melakukan pembunuhan ini, aku akan tetap berada di sisinya dan percaya padanya!”
Kata-kata Mochida penuh dengan rasa kepercayaan.
Itu membuat Runa merasa sangat kesal, mengingat gadis itu juga merupakan salah satu dari sekumpulan gadis yang menginginkan perhatian dari Mochida.
“Ha ha ha.”
“!?”
Mendengar suara tawa kecil yang berasal dari Emi, Runa langsung menoleh ke arah gadis berambut coklat itu sekali lagi dengan tatapan yang seolah berkata ‘Apa yang kau tertawakan’ di matanya.
Tanpa menatap ke arah kedua mata Runa, Emi masih tertawa kecil saat ia menjawab pertanyaan yang tersirat di mata gadis itu.
“Hasegawa Runa...Kau jangan membuatku tertawa...”
Ia berkata, dengan nada yang terdengar dingin. Mungkin sedikit terkesan menyeramkan.

TAP TAP TAP

Suara kaki Runa yang terdengar ketika ia sedikit mundur itu memenuhi ruangan yang terdengar sepi meskipun sebenarnya masih banyak beberapa siswa lain yang diinterogasi, namun sepertinya, saat ini tidak ada suara lain yang bergema selain suara yang berasal dari mereka berlima.
Maka, dengan wajah yang entah kenapa menjadi terlihat agak gugup, Runa berkata kepada Emi,
“Apa--Apa maksud dari ucapanmu itu, Kawada-san? Aku sama sekali tidak mengerti.”
Kata Runa dengan keringat yang terlihat membanjiri wajahnya.
Apa ada sesuatu yang terjadi?
Menunjukkan sekilas senyuman tipis di wajahnya, Emi melangkah maju perlahan mendekati Runa yang semakin mundur.
“Runa...?”
Haruko mengangkat sebelah alisnya, sedikit bingung dengan tingkah Runa yang mendadak aneh.
Akhirnya, ketika Emi sampai tepat di hadapan Runa, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Runa lalu--

BRAAAAAKH

“Kyaaaaa!!!!!!”
“Emi!!!”
“APA--APA YANG KAU KATAKAN!!!!? JANGAN BERCANDA DENGANKU!!! MANA MUNGKIN AKU--“
“Runa!!!”
Melihat kejadian yang terjadi di hadapan matanya sendiri, Mochida langsung berlari ke arah Riya yang kini sudah memegang tubuh Emi yang terjatuh. Sedikit darah segar berwarna merah terlihat mengalir dari kepalanya.
“Ugh...”
“Emi! Emi, kau baik-baik saja!? Kau bisa dengar aku!!?”
Kata Riya panik, sedikit menggoyang-goyangkan tubuh Emi yang tergeletak tak berdaya.
“Kawada-san, bertahanlah!”
Merogoh sakunya, Mochida berkata dengan nada khawatir sebelum akhirnya mengeluarkan selembar sapu tangan putih dan menggunakannya untuk membersihkan darah yang menetes dari kepala Emi.
Beberapa polisi, yang awalnya berusaha sebisa mungkin untuk tidak ikut campur dengan urusan mereka, akhirnya merasa bahwa kelakukan mereka sudah tidak bisa didiamkan lagi dan turun tangan.
“Minggir, biar kami yang mengurusnya. Kami punya obat-obatan di sini. Bisa ikut kami sebentar?”
Salah seorang polisi muda bertanya pada Emi, yang ditanggapi olehnya dengan anggukan singkat sambil berusaha menahan rasa sakit.
“Emi...”
“Miyashita, biar aku yang membantu Kawada-san. Kau bisa berdiri? Biar aku menggendongmu.”
“.....................”
Riya mengangguk pelan, lalu Mochida segera membawa Emi ke ruangan yang dimaksudkan oleh polisi tadi.
“...........................”
Keheningan yang aneh menyelimuti ruangan kecil itu. Sementara Riya masih duduk tak bergerak, memandangi sisa dari darah Emi yang menetes di lantai, Runa terlihat sangat ketakutan. Tubuhnya gemetar dan dia tak henti-hentinya memandangi kedua tangannya sejak tadi.
“Hahh...Hahh...A--Aku...Aku...”
“.......Runa...”
Entah apa yang Emi katakan pada Runa, tapi itu sepertinya sesuatu yang membuatnya sangat kesal, sampai-sampai ia mendorong Emi dengan keras dan kepalanya terbentur meja dengan cukup keras.
Akhirnya, Haruko pun menarik pundak Runa, mundur beberapa langkah dan menariknya untuk berhadapan muka dengannya,
“Runa, Runa dengar aku!”
Teriaknya ke arah sahabat masa kecilnya itu, yang justru membuang muka dan tak melihat ke arah Haruko.
Haruko langsung meletakkan kedua tangannya di pundak Runa dan kembali memanggil Runa yang menjadi diam.
“Runa, kau dengar aku!? Tatap aku!!”
“.................”
Runa, tanpa mengatakan sepatah kata pun, menoleh ke arah Haruko dengan eskpresi wajah yang terlihat sedih. Mungkin saja ia merasa bersalah di hadapan Haruko karena telah melakukan hal mengerikan seperti itu.
Apa yang akan Haruko pikirkan tentang aku?
Itulah yang sekarang ada di pikiran Runa. Dan sepertinya Haruko mengetahui hal itu, karena daripada berteriak marah seperti yang gadis berambut hitam itu lakukan sebelumnya, ia menghela nafas, lalu menatap ke arah Runa dalam-dalam, seolah mengatakan ‘Tidak apa-apa’.
“.........Runa, aku paham kalau kau sedang kesal karena peristiwa ini. Aku tahu, gara-gara kita adalah sahabat Riya, kita bisa saja terkena tuduhan. Aku mengerti kau tidak ingin dituduh sebagai pembunuh. Aku pun begitu. Riya pun juga. Tapi, tidak seharusnya kau mendorong Kawada-san seperti itu. Apa--Apa yang sebenarnya Kawada-san katakan kepadamu tadi?”
“Ukh!!”
“?”
Haruko tertegun ketika ekspresi wajah Runa langsung berubah menjadi aneh. Bukan hanya itu saja, tapi ia juga langsung menepis tangan Haruko menjauh darinya, dengan wajah yang terlihat sangat ketakutan itu, Runa menutup telinga dengan kedua tangannya, seakan-akan tidak ingin mendengar apapun.
“.................”
Tak mendapat jawaban apapun dari Runa, Haruko lalu menoleh ke arah Riya yang masih terduduk. Tubuhnya tak bergerak sedikitpun dan hanya memandang ke bawah seperti seseorang yang telah kehilangan hasrat untuk hidup.
Gadis berambut hitam pendek itu tahu apa yang sedang dialami oleh Riya bukanlah hal yang ringan. Karena itu sebagai sahabat, ia tahu betul apa yang harus ia lakukan dan katakan di saat seperti ini.
Maka dengan itu, Haruko berjalan ke arah Riya, lalu berlutut di sampingnya dan menepuk pundaknya.
“Tenang, Riya. Aku yakin, Kawada-san pasti baik-baik saja.”
Ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“.......................”
“Runa pasti...Aku tidak tahu kenapa, tapi pasti dia tidak sengaja melakukan itu. Kau tahu Runa seperti apa’kan? Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu.”
“.................................”
“Dan, hey, kau tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Aku tahu, bukan kamu yang melakukannya. Tidak mungkin kamu membunuh Sasagawa-san dan Karisawa-san dengan cara yang sadis seperti itu. Aku yang paling tahu kalau kamu tidak suka membaca novel horor dan lebih suka membaca cerita komedi. Jadi--“
“Iblis...”
“Eh?”
“......................Aku...Aku sama sekali tidak percaya kau benar-benar melakukan hal semacam itu!!!!!! Kau iblis!!! Hasegawa Runa!! KAU IBLIS!!!!
“!!!!!!?”
“.........................”
Riya berusaha mengatur nafasnya. Air mata terlihat di sudut matanya yang dipenuhi dengan amarah. Ia  yang dari tadi hanya terdiam tanpa mengucapkan apapun, tiba-tiba saja berteriak dengan sangat keras yang membuat Haruko di sampingnya tersentak kaget.
Tapi jauh dibanding itu, Runa yang paling terlihat terkejut.
“Bukan--AKU BUKAN IBLIS!!!!
“Kalau bukan, lalu apa!!!? Coba kau jelaskan padaku, apa kau itu sebenarnya, Hasegawa Runa!!!?”
“Aku--!! Aku--!!!”
“Kau menuduhku, berkata bahwa aku pembunuh, menjelek-jelekkan aku sesuka hatimu! Aku--Aku tidak masalah dengan itu...Jujur, sangat munafik kalau aku berkata ‘Tidak apa-apa, aku bisa menerima perkataanmu itu’. Meski begitu, walau aku tak mengatakannya, aku ingin sekali membiarkan hal itu terlewat sebisaku! Tapi--“
Ucapan Riya terhenti.
Tubuhnya gemetar bersamaan dengan kepalan tangannya yang semakin erat. Tubuhnya sedikit mundur ke belakang, tapi segera maju kembali dan--
“Berkata buruk tentang Emi! Bukan cuma itu! Kau bahkan melukai Emi, sahabatku!! Kau sadar dengan yang kau lakukan!!!!? Aku tak bisa memaafkanmu!! Aku sungguh tak bisa memaafkanmu!!!!!!!”
“Riya!!”
“DIAM!!!”
“!!?”
Ketika Riya berteriak ke arahnya, Haruko tidak tahu harus melakukan apa kecuali terdiam. Ucapan Riya terdengar seperti petir yang menyambar dirinya dengan sangat cepat, tiada ampun. Dan rasanya sangat menyakitkan ketika sahabatmu sendiri yang berteriak seperti itu ke arahmu.
“Aku--Aku belum selesai bicara...”
Sambil mengusap air matanya, Riya berusaha bangkit berdiri. Tubuhnya terasa berat dan lemas, tapi dia tidak peduli. Karena ada sesuatu yang ingin ia katakan tepat di hadapan Runa.
“.....................”
Melihat ke arah Riya yang melangkah dengan pelan ke arah Runa berdiri, Haruko juga bangkit berdiri. Tapi ia tidak mengikuti ke arah Riya berjalan melainkan hanya berdiri di tempat.

GREP

Runa tak mengatakan apapun ketika tangan Riya yang dingin menarik kerah seragamnya.
“....................”
Riya terdiam sesaat, sebelum akhirnya ia mengatakan sesuatu, sesuatu yang mungkin terdengar tidak masuk akal,
“..........Ya...Kurasa kau benar, Hasegawa Runa...”
“Apa...?”
Memasang ekspresi bingung di wajahnya, Runa melontarkan sebuah kata tanya.
“..........Kurasa...Memang akulah yang telah membunuh Sasagawa dan Karisawa...”

DEG

“..........Mungkin saja...Dengan kedua tangan ini, aku yang telah mencabik-cabik, lalu membakar mereka hidup-hidup...”
Ujar Riya, dengan nada datar dan dingin, yang mampu membuat siapa saja yang mendengarnya merasa takut.
“...........Kau sakit, Miyashita Riya...Kau sakit!”
“Ya, aku memang sakit. Karena bukan hanya Sasagawa dan Karisawa yang akan kubunuh. Karena aku memang seorang pembunuh dan telah membunuh...Seperti yang kau katakan sebelumnya, seperti yang kau tuduhkan kepadaku, kenapa--“
“.............”
“--Aku tidak membunuhmu juga?”
“!!!!?”
“Riya...Apa yang kau katakan...?”
Dengan mata terbuka lebar, Haruko berkata dengan suara pelan. Terlihat jelas bahwa ia benar-benar tidak percaya kalau kata-kata itu akan keluar dari mulut sahabatnya itu.
Riya tidak peduli akan tanggapan orang lain. Saat ini, yang ia inginkan hanyalah membalas semua perkataan buruk yang dilontarkan oleh gadis dihadapannya. Dan ingin sekali rasanya bisa membalasnya ratusan bahkan ribuan kali lebih menyakitkan.
“Ha ha ha! Benar, bukannya aku ‘pembunuh’!!? Kalau begitu, kau yang akan jadi korban berikutnya! aku akan membunuhmu, Hasegawa Runa, kemudian aku akan mengeluarkan isi perutmu itu dan menarik putus kepalamu!!”
“Kau--!!!!”
“Bersiap-siaplah, karena jarang sekali ada seorang pembunuh yang memberi peringatan terlebih dahulu sepertiku ini. Apa itu membuatku terlihat seperti pembunuh berhati baik?”
Ucap gadis berambut pirang itu, dengan seringai yang cukup menakutkan, sambil melemparkan sebuah tatapan pembunuh ke arah Runa, yang kini hanya bisa menahan rasa takut yang mulai menyelimuti tubuhnya.
Dengan cepat, Runa langsung menepis tangan Riya dari seragamnya, kemudian berlalri dengan cepat ke arah Haruko dan memeluknya sahabatnya itu dengan sangat erat.
“Ha--Haruko!!”
“.................”
Haruko hanya terdiam begitu melihat ekspresi ketakutan yang tergambar di wajah Runa.
Jujur saja, ia sama sekali masih belum bisa mempercayai bahwa Riya benar-benar berkata bahwa ia akan membunuh Runa!
Meski Haruko tahu kalau kata-kata itu Riya itu tidak serius dan hanya terpancing oleh perkataan Runa sebelumnya, meski ia juga tahu kalau semua kejadian yang melelahkan ini berawal dari ucapan Runa, tapi ia tetap tidak bisa membiarkan dan memaaf’kan, kata-kata Riya yang sudah di luar akal itu.
Walau ia tahu Runa tak seharusnya mengatakan semua itu, ia tahu kalau semua itu salah dan tidak benar, ia tahu kalau Riya sangat kesal dengan semua itu apalagi dengan adanya kejadian yang tidak diinginkan seperti ini.
Tapi--
“Tapi tak seharusnya kau mengatakan hal seperti itu...”
Haruko, berkata dengan suara yang lemah dan terdengar penuh dengan kekecewaan.
“.......................”
Tak ada yang dikatakan oleh Riya untuk menanggapi ucapan Haruko.
Namun, Haruko tidak peduli dan tidak berhenti sampai di situ,
“Apa kau sadar dengan yang kau ucapkan!!? Riya, apa kau benar-benar akan membunuh Runa!!!? Apa kau--Juga akan membunuhku!!?”
Saat itu terjadi, Riya masih berdiri di tempatnya.
Baru beberapa saat kemudian, ia berbalik dan melemparkan pandangan kosong ke arah Haruko dan Runa, pandangan yang berbicara ‘Aku sudah tidak peduli dengan semuanya itu’, lalu tersenyum,
“Boleh juga. Takashi Haruko, kau boleh ikut menemani sahabat baikmu itu ke neraka.”
“!!”
Haruko terkejut, kali ini benar-benar terkejut dengan perkataan Riya yang tiba-tiba itu.
Dalam hatinya yang terdalam, sesuatu seolah berkata ‘Tidak, tidak mungkin Riya yang mengatakan semua itu’.
Walau banyak teman sekelasnya yang tidak menyukai Riya, namun Haruko bisa melihat kalau Riya sebenarnya adalah anak yang baik.
Itu yang ingin Haruko percaya.
Hanya saja,
Baik wajah, maupun suara itu...
Jelas menggambarkan sebuah kenyataan, memang Riya yang mengatakannya, dengan mulutnya sendiri. Yang paling menyedihkan dari kata-katanya barusan...
Terdengar kesungguhan yang amat sangat saat ia mengucapkannya.
Akhirnya, dengan suara yang terdengar dingin seperti es, Haruko berbicara,
“Runa, kita pulang.”
“.....................”
Dan beberapa detik kemudian, gadis yang rambutnya biasa dikuncir twintail pendek di bagian bawahnya itu langsung berbalik dan mengikuti Haruko di belakang setelah mengangguk lemah.
“.....................”
‘Apa itu?’
Ketika itu, sekilas Riya bisa melihat ekspresi kecewa di wajah Haruko.
“.................................”
‘Apa yang telah aku katakan...?’
Apa ia baru saja membuat retakan yang cukup besar di dalam persahabatan mereka yang baru saja ‘benar-benar’ terbentuk?
Apakah semuanya akan berakhir seperti ini saja?
Riya menatap ke arah punggung Haruko, kemudian perasaan ingin meminta maaf karena telah berteriak tadi muncul ke permukaan. Ia menggerakkan tangannya maju, seolah berusaha menggapai sesuatu, dan ingin melontarkan sesuatu seperti ‘Tunggu, Haruko!’.
Namun, bahkan setelah sosok Haruko dan Runa menghilang dari ruangan yang kini diselimuti oleh hawa dingin itu, kata-kata itu tak kunjung keluar dari mulut Riya, hingga akhirnya dia hanya bisa jatuh terduduk sambil memegangi kepalanya.
“Apa yang sudah aku katakan...? Tidak seharusnya aku mengatakan hal mengerikan seperti itu...”
Ia menghentikan kata-katanya. Kemudian, ketika air mata yang turun itu terlihat dan jatuh ke atas lantai,
“.......Mana mungkin aku--Bisa membunuh sahabatku sendiri...Bodoh...Kau bodoh, Miyashita Riya! Ugh...”
“..........................”
Dan Mochida, hanya bisa memandang kasihan ke arah gadis itu, setelah kejadian yang ia lihat itu, dari kejauhan.
***-***
“.........................”
“....................”
“Bibi, kami permisi dulu, ya.”
“Tolong jaga Riya-chan.”
Sore hari telah menjelang, warna langit telah berubah dari biru ke oranye. Tapi baik perasaan dalam hati Riya, Mochida dan Emi, seusai melihat dan menyaksikan sendiri kejadian yang telah terjadi dan membuat kegemparan di sekolah mereka--
--Yaitu terbunuhnya Sasagawa dan Karisawa,
Sama sekali tidak berubah sampai saat ini.
“..................”
Tak mengatakan apapun, ibu Riya berdiri di tempatnya sambil memperhatikan wajah putrinya yang kini sudah berdiri di depannya. Ekspresi wajah Riya yang tertunduk tertangkap oleh ibunya dengan sangat jelas. Meski ia bisa merasakan dan melihat kesedihan serta kekecewaan di dalam bola mata putrinya itu, ibu Riya tak mengatakan apapun.
Ia lalu hanya tersenyum kecil dan mengangguk, sepertinya menjawab perkataan Emi.
“.......Ya, sudah pasti. Kalian juga sebaiknya pulang. Hari ini, pasti sangat berat untuk semuanya. Hati-hati di jalan.”
Katanya dengan suara pelan ke arah Mochida dan Emi yang kini membungkukkan tubuhnya dan mengucapkan selamat tinggal.
“.....................”
Sementara Riya masih belum mengatakan sesuatu, bahkan ketika Mochida dan Emi sudah benar-benar meninggalkan mereka berdua.
Dari kejauhan, Riya bisa mendengar samar-samar, suara Mochida yang juga mengantarkan Emi ke rumahnya. Suara pintu terbuka, kemudian suara wanita dan pria yang terdengar khawatir dapat terdengar dari sebelah.
Melihat Emi yang terluka, apalagi setelah mendengar adanya kabar pembunuhan yang mungkin saja, sudah tersebar ke mana-mana dengan kecepatan luar biasa itu, tentu, tak ada satu orang tua pun yang tidak merasa khawatir. Walaupun saat ini Riya tidak melihat ke arah mereka, tapi ia seolah bisa melihat figur Emi yang tengah dipeluk dengan penuh rasa kasih sayang oleh kedua orang tuanya.
Pasti itu yang sedang terjadi.
“Ayo masuk.”
Kebalikan dari itu, ibu Riya, yang awalnya hanya diam seribu bahasa, akhirnya mengucapkan sepatah kata kepada putrinya, yang terdengar cukup dingin dan membuat tubuh Riya bergetar.
Berbalik, membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam, lalu berdiri di samping pintu untuk menunggu Riya masuk, tak ada yang bisa dilakukan olehnya selain mengikuti ibunya masuk dan menerima semua yang akan dikatakan ibunya padanya.
“.............Riya-chan...”
Tanpa disadari oleh Riya, kedua bola mata yang melihat ke arahnya itu, memandangnya dengan penuh simpati.

Setelah mendapat perawatan singkat dari pihak kepolisian, Emi diperbolehkan pulang dan segera menyusul Mochida yang sudah terlebih dahulu keluar dari ruang pengobatan. Ketika melihat pemuda itu berdiri di sudut, Emi langsung bergegas menyentuh pundaknya. Itu sedikit membuat Mochida yang tengah memperhatikan sesuatu, meloncat kaget namun dengan cepat kembali menenangkan dirinya.
“Ah, Kawada-san. Kau membuatku terkejut. Bagaimana, lukamu masih terasa sakit?”
Mochida bertanya dengan lembut, menunjukkan sebuah senyuman di wajahnya.
Emi menatap Mochida sekilas, kemudian memiringkan kepala dan tersenyum,
“Ya, sudah tidak apa-apa. Lagipula sejak awal ini hanya luka kecil, ha ha ha.”
Ia berkata sambil menyentuh perban yang kini menempel pada dahinya.
“Baguslah kalau begitu. Tapi harus tetap diperiksa supaya tidak infeksi.”
Ucap Mochida yang justru membuat Emi tertawa kecil.
“Ha ha ha.”
“Eh, eh? Kau kenapa, Kawada-san? Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang lucu?”
“Tidak...Tapi, Mochida-kun ini ternyata orangnya cukup perhatian, ya? Aku jadi tidak mengerti kenapa Riya-chan tidak menyukaimu seperti itu...”
Ucapan Emi yang spontan itu, membuat Mochida merasa malu, senang dan juga down di saat bersamaan, ketika kata ‘Riya-chan tidak menyukaimu’, terlontar dari mulut Emi.
“Miyashita sepertinya takut dengan Itsuki, karena ternyata tanpa aku tahu, tiap kali aku berdekatan dengannya, Itsuki selalu bersikap buruk padanya...Ah, kenapa jadi membahas hal tidak penting seperti ini? Ha ha ha. Kurasa, akan menjadi ide yang bagus kalau kita benar-benar pulang saat ini. Takashi-san dan Hasegawa-san sudah pulang terlebih dahulu.”
Ujar Mochida yang membuat Emi sedikit tersentak kaget.
Ia lalu memiringkan pandangannya dan melihat ke belakang Mochida, dan menemukan sosok Riya yang tak berdaya, terduduk di atas lantai.
“.....................”
Memperhatikan dengan seksama, meski tak bisa melihat wajahnya tapi Emi bisa membayangkan air mata yang turun mengalir dari wajah sahabatnya itu. Sepertinya sesuatu yang menyakitkan baru saja terjadi.
“Mochida-kun, apa terjadi sesuatu...?”
Tanyanya.
“Hmm...”
Mochida tidak menjawab pertanyaan Emi, melainkan berkata ‘Hm’ yang cukup panjang.
Ia lalu menghela nafas dan menggaruk rambutnya,
“Yah...Sesuatu yang buruk telah terjadi. Miyashita mungkin tidak bermaksud mengatakan semua itu. Namun provokasi dari Hasegawa-san yang telah menyulut apinya...Membuatnya menjadi naik darah? Aku tidak begitu tahu detailnya. Tapi kurasa itulah yang terjadi.”
Jelas Mochida sambil melihat ke arah Riya, yang kini dibantu berdiri oleh seorang polisi yang juga membawakannya segelas air.
“.........................”
“Yah...Biasa, pertengkaran antar sahabat selalu terjadi. Aku juga selalu ribut dengan teman-temanku. Terkadang juga sampai saling hina sih...”
........................
“.....................”
Hening.
...........................
 “Hasegawa Runa--"
“Hm?”
Mochida langsung menoleh ke arah Emi lagi ketika ia mendengar gadis itu mengucapkan sesuatu yang samar-samar.
“Kau mengatakan sesuatu? Kawada-san?”
Mochida bertanya untuk memastikan dan Emi hanya menggeleng, yang secara tidak langsung mengatakan kalau dia tidak mengucapkan apapun. Mochida lalu mengangguk-anggukan kepalanya seolah bicara ‘Ya, aku mengerti’.
Ia lalu mengajak Emi dan pergi mendekati Riya, lalu memutuskan untuk pulang bersama.
Kejadian di kantor polisi berakhir di sana.

“Toru, apa kau sudah ada di rumah sekarang?”
“Hm...Aku dalam perjalanan pulang...Terima kasih sudah bertanya, Kana.”
“Tidak masalah. Aku khawatir sekali denganmu. Kalau bisa, cepatlah pulang, aku tidak ingin sampai kejadian...................”
“.........................”
Ke--kejadian mengerikan itu menimpamu juga! Kau tahu’kan? Pembunuh masih belum ditemukan. Dan...Kalau memang...Bukan si Miyashita itu pelakunya...Bisa saja dia bersembunyi di mana saja...”
“Kau tidak perlu terlalu berlebihan. Aku akan baik-baik saja.”

Berada di sebrang jalan dan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi merah untuk menyebrang, Mochida yang baru saja mengantar Riya dan Emi, mendapat telepon dari Itsuki Kanako, gadis berambut perak yang merupakan sahabat masa kecilnya.
Itsuki yang masih menemani ayahnya di kantor polisi untuk ikut membantu penyelidikan kasus terbunuhnya Sasagawa dan Karisawa yang tiba-tiba itu, tidak bisa ikut pulang bersama Mochida seperti yang hari-hari biasa mereka lakukan.
Karena kasus pembunuhan kali ini menyangkut sahabat terbaiknya, mungkin Itsuki penasaran dan ingin mengetahui siapa pelaku yang sebenarnya. Dan lagi, jika melihat ayahnya yang seorang polisi, sepertinya ia akan baik-baik saja meski hari sudah sepetang ini. Juga, akan menimbulkan masalah baru yang tidak diinginkan jika sampai Itsuki ikut pulang bersama dengannya.
Mochida sudah mendengar tentang sikap Itsuki terhadap Riya, dan tidak bisa membayangkan bagaimana kesalnya gadis itu ketika mengetahui bahwa ia akan mengantar Riya pulang ke rumahnya.
‘Kurasa diam adalah pilihan yang paling tepat’.

“Janji? Kalau seperti itu, aku jauh lebih tenang sekarang.”
Terdengar dari suaranya, Itsuki pasti merasa benar-benar lega.
Hanya saja, saat ini bahkan mungkin masih terlalu cepat untuk merasa lega, pikir Mochida. Apapun yang terjadi, ia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Ia berusaha untuk terus bersikap setenang mungkin. Ketika dirinya berada di dekat Riya, ia sama sekali tidak mengatakan apapun, walau ia punya kesempatan untuk mengatakan yang ia tahu, tapi ia tetap memilih diam dan mengunci mulutnya rapat-rapat.
Itu seperti sebuah informasi mengerikan, yang ia sendiri tidak tahu kebenarannya.
“Halo? Toru? Kau masih di sana?”
“Ah, eh, ya.”
“...................”
“Tapi, Kana, sejujurnya aku lebih mengkhawatirkan dirimu. Maksudku, kedua sahabat baikmu meninggal secara misterius...Dan di saat yang bersamaan juga sangat tragis. Aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Etto...Bukannya mau menakutimu atau apapun..Tapi...Apa mungkin, si pelaku pembunuhan itu...Mengincar mereka karena sesuatu? [Aku mengatakannya juga pada akhirnya...].”

“...................”
Tak ada suara di sebrang.
Kata-kata itu saja pasti sudah cukup untuk membuat tubuh Itsuki gemetar saat ini.
Mochida menggunakan sebelah tangan untuk menggaruk pipinya, sementara tangan yang lain memegang ponsel, menunggu jawaban dari Itsuki.
“..................”
“Toru...”
Kata Itsuki, pelan dan terdengar agak ketakutan.
“?”
“Maksudmu itu...Pembunuh tersebut sudah merencakan pembunuhan ini? Korbannya tidak ditentukan secara acak, tapi sudah direncanakan...? Dan karena kedua sahabatku yang jadi korban, kau ingin bilang kalau korban berikutnya bisa saja aku...?”
 “I--Itu cuma asal tebak saja..............Ah, tapi aku juga tidak bisa bohong padamu. Mau bagaimanapun juga, aku yang sudah mengatakan semua ini padamu dan akan sangat tidak baik kalau aku memutusnya di tengah jalan seperti ini, jadi, ya. Sebaiknya kau hati-hati. Dengar Kana, aku sama sekali tidak punya maksud untuk menakutimu. Tapi Sasagawa dan Karisawa terbunuh di sini dan kita tidak tahu siapa pembunuhnya seperti yang kau katakan barusan. Dan menurutku, kenapa justru mereka yang terbunuh...Mungkin memang ada hubungannya denganmu. Selama ini, orang-orang disekitarmu menyukaimu, bukan, tapi mereka menghormatimu.”
“.............Kau mau bilang’kan...Sebenarnya mereka semua takut padaku...?”
“Yah...Aku berusaha menggunakan kata selain kata itu, tapi sepertinya kau menyadarinya...Kana, banyak  sekali teman sekelas yang tidak kau sukai, kau sakiti, kau hina dan kau injak-injak, itu pasti membuat mereka membencimu. Jadi, sebaiknya kau hentikan kebiasaan burukmu itu. Kita tidak tahu motifnya apa. Tapi lebih baik untuk berjaga-jaga. Besok, aku ingin kau--“
“..............................Ya...Akan kucoba...”
“Bagus kalau kau mengerti. Aku khawatir padamu tahu...”
“Aku senang kau mengatakannya...”
“Ah, sebentar lagi lampu merah, sudah dulu, ya, Ka--“
“Toru!!”
“?”
“...................Aku tidak takut. Karena seandainya kalau ada sesuatu, aku tahu kau akan datang dan melindungiku.”
“Ah! Kana, jangan berharap terlalu banyak pada--“

PIIIIIIIIIIP

“..........Dimatikan...”
“Hey, hey, kau dengar tidak? Katanya di sekolah -XXX- ada pembunuhan!”
“?”
“Pembunuhan?! Tunggu, maksudmu ada sutradara yang membuat film horor di situ atau apa?”
“Bukan, bukan seperti itu! Tapi pembunuhan sungguhan!”
“Haa!!? Serius!?”
“.................”
Ekspresi Mochida berubah menjadi serius, ketika tak sengaja mendengar percakapan 2 pria dewasa yang berdiri tak terlalu jauh dari tempatnya. Ia segera memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja sekolahnya.
Kasus itu ternyata memang sudah menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Orang-orang yang menyaksikan kasus itu kemungkinan akan menyebarkannya kepada tiap orang yang mereka temui. Tak heran kalau dalam waktu tak sampai sehari, berita tentang terbunuhnya 2 siswi SMA -XXX- secara mengenaskan sudah tersebar, bahkan mungkin sampai ke kota sebrang.
Entah mereka benar-benar ingin bersimpati atau hanya sekedar menjadi bahan gosip dan tertawaan.
“Korbannya 2 siswi sekolah itu! Katanya sih, mereka disiksa di laboratorium sekolah kemarin malam, lalu di bakar dengan campuran zat kimia yang aneh dan terakhir di gantung di pohon dekat gerbang sekolah!! Mengerikan sekali bukan!!”
Pria pertama dengan rambut agak kecoklatan yang mengenakan kemeja hitam bicara. Mungkin orang-orang yang baru saja pulang dari kantor.
“Hiiiii!! Apa-apaan itu!? Di gantung di pohon itu...Entah kenapa aku merasa kalau itu seperti sebuah pesan--“
“[Pesan?].”
“--Dipertunjukkan di depan orang banyak seperti itu, pasti ada yang ingin disampaikan oleh pelaku!!”
Giliran pria di sampingnya yang mengenakan jaket tebal panjang coklat muda, dengan rambut kuning dan tubuh kurus dan tinggi, mengomentari ucapan pria sebelumnya.
“Entahlah, tapi berita yang lebih buruk lagi, sampai saat ini pembunuh itu sama sekali belum ditemukan keberadaannya!!”
“Ugh...Aku harap polisi segera bertindak cepat. Aku tidak ingin berkeliaran di kota ini dengan adanya pembunuh itu!! Aku jadi teringat sama kisah ‘Winter of the Dead’ deh...”
“Si pembunuh di musim dingin yang menancapkan kepala korbannya di sebilah kayu dan menuliskan nomor ke berapa orang tersebut mati dengan darah korbannya sendiri...Mengerikan sekali...”
“...........Atau jangan-jangan--“
“Jangan-jangan apa!? Kau sudah tahu kira-kira siapa pelakunya!?”
“--Atau jangan-jangan, kau sendiri pelakunya!?”

PLAAK

“Aih! Sakit!! Kenapa memukul kepalaku sekeras itu!?”
“Habisnya kau malah bercanda! Dan masih untung aku memukulmu dengan gulungan koran! Kutembak dengan senapan yang biasanya aku gunakan untuk berburu beruang baru tahu rasa kau!!”
“Hiii!! Kau seram sekali!!!!”
“Sudah ah, pulang nanti, jangan lupa katakan pada istri dan anak-anakmu untuk berhati-hati! Jangan keluar sendirian atau berbicara dengan orang asing yang tidak dikenal!”
“Beres, beres. Kau juga sebaiknya lakukan hal yang sama!”
“Tidak perlu sih, karena putriku sekolah di sana...Jadi dia pasti sudah tahu...”
“Ha!!? Serius!? Kenapa baru bilang soal itu?! Aku sama sekali tidak tahu kalau putrimu sekolah di SMA -XXX-, kupikir kau bilang akan menyekolahkannya di sekolah khusus putri?”
“Ampun deh, itu sudah berita lama! Karena dia ingin satu sekolah dengan teman masa kecilnya yang bersekolah di sekolah itu, aku membatalkan niatk--Oi, sudah lampu merah! Ayo, cepat jalan!”
“Akh! Hasegawa-san!! Tunggu!”
“.....................”
Lampu merah.
Kendaraan berhenti, dan orang-orang di sebrang jalan baik di sisi Mochida maupun sisi sebrangnya mulai melangkah ke jalanan.
Namun tidak dengan Mochida yang justru terdiam di tempatnya seperti patung. Bahkan ketika lampu merah yang ia tunggu sejak tadi menyala, ia bahkan tak menyebrang, sampai lampu berubah kembali menjadi hijau.
“....................”
Bayangan mayat Sasagawa dan juga Karisawa, kembali muncul di benak pemuda berambut coklat itu.
“[Sebenarnya siapa yang melakukannya--?! Siapa yang membunuh mereka berdua!? Di bunuh, disiksa dan dibakar seperti itu--Sepertinya itu sangat menyakitkan--].”
Bersamaan dengan kata-kata itu terlontar di benaknya, pikiran-pikiran Mochida mulai bekerja, berpikir keras untuk berusaha mengungkap kasus ini lebih cepat dari yang lain.
Setidaknya, harus ada satu orang yang menghentikannya.
“[Jika seandainya ia ingin membunuh Sasagwa dan juga Karisawa, aku rasa penyiksaan dan pembakaran itu sudah cukup. Saat itu mereka pasti sudah tak bernyawa lagi’kan? Tapi--Menggantung mereka di pohon dan mempertontonkan tubuh tak berbentuk mereka di depan umum seperti itu--].”
Sungguh di luar batas kemanusiaan.
“!!?”
Pohon?
Pesan?
Apa itu mungkin?
Pembunuh itu ingin memberikan sebuah pesan?
Tapi--
“[Kepada siapa!? Kalau memang itu sebuah pesan--Untuk siapa pesan itu ditujukan!? Pasti, pasti ada sebuah penjelasan di balik semua ini!].”
“..............Sebuah...Penjelasan...Ya?”

“Hasegawa Runa--"

“.....................[Kalau tidak salah, aku pernah dengar sesuatu yang seperti ini...].”

“Mereka berdua berkata buruk tentang dirimu pada sahabat baikmu. Dan menyuruh gadis--Yang bernama Kawada Emi itu untuk meninggalkanmu. Kau bilang kau tidak pandai bersosialisasi? Orang sepertimu ini biasanya jarang bisa mendapatkan seorang sahabat. Karena itu aku yakin, kalau Kawada itu adalah sahabatmu yang sangat berharga’kan?”

“.............[Miyashita menganggap Kawada-san sebagai sahabat terbaiknya...Itu pasti, karena Kawada-san juga selalu bersikap baik pada Miyashita. Itsuki tidak suka pada Miyashita. Dan itu pasti termasuk Sasagwa dan Karisawa. Tidak ingin sahabatnya terluka karena orang lain...Apakah mungkin...Tapi kalau memang begitu...].”
Mochida mengangkat kepalanya, menatap ke arah langit yang luas, kemudian menyipitkan matanya saat hal yang tidak ingin ia pikirkan kembali terlintas.
“.......Aku tidak ingin berpikiran negatif. Aku juga tidak ingin menuduh seperti para polisi itu, yang menuduh seenaknya...Hanya saja...Jujur, hal ini sedikit mengangguku...[Ini mungkin tidak ada hubungannya dengan ‘pesan’ yang mungkin tersembunyi  itu...Tapi, di kantor polisi, saat aku berbincang berdua dengan Kawada-san tadi...Aku...Entah benar atau tidak, mendengar sesuatu yang terdengar seperti...].”
Mochida menghentikan ucapannya, ia lalu menundukkan kepala dengan perlahan, terdiam selama beberapa saat.
Ia berusaha mengingat sekali lagi, wajah apa yang dibuatnya dan nada bicara apa yang dibuatnya.
Kemudian ia, membuka mulutnya, dan akhirnya mengeluarkan sebuah kalimat,
“Hasegawa Runa--Kau harus mati...”
***-***
“.................”
“.........................”
Sekarang, Riya tengah berdiri membelakangi ibunya, yang masih sibuk untuk mengunci pintu. Agaknya, pembunuhan yang terjadi itu membuatnya menjadi sedikit was-was kalau-kalau ada orang yang tidak diinginkan menyelinap masuk ke dalam rumahnya.
Jadi, setelah ia memastikan bahwa pintu telah terkunci dengan rapat, barulah ia melangkah beberapa langkah, menaiki undakan kecil dan berdiri tepat di belakang putrinya. Ia tak menyentuhnya, atau sekedar menghiburnya dengan kalimat ‘Semua akan baik-baik saja’, melainkan terus membiarkan suasana menjadi hening.
Entah apa yang dia pikirkan saat ini. Raut mukanya sungguh sulit untuk ditebak.
“Tadi--“
“.....................”
Tubuh Riya sedikit bergetar ketika mendengar suara yang menjadi milik ibunya, yang menjadi pemecah kesunyian ini.
“........Polisi menelepon kemari...”
“................”
“Mereka menceritakan semua yang terjadi....”
“.....................”
“..............................”
Ibu Riya menatap diam ke arah punggung putrinya, yang tak mengatakan apapun.
 Walau seperti itu, figur yang hampir melebihi tingginya itu, menjawab dengan tubuhnya yang dari tadi gemetar. Ia berusaha menahannya dan getaran itu berhenti. Tapi tiap kali sebuah kalimat keluar dari mulutnya, sosok di depannya, kembali bergetar.
“....................”
Ia lalu kembali bicara,
“......Tentang terbunuhnya kedua siswi yang merupakan teman sekelasmu, Sasagawa Eiko dan Karisawa Kyouko...”
“.......................”
“..........Juga...Tentang mereka yang mencurigaimu--“
“Bukan aku...”
“.....................”
Ia sedikit tersentak.
Semenjak menginjakkan kaki di rumah, ini adalah pertama kalinya lawan bicara yang tak bisa ia lihat wajahnya itu berbicara.

“Bukan aku...”

Terdengar sangat menyedihkan, dan di saat bersamaan juga menyakitkan.
Apa yang coba ia katakan?
“...............”
Ia menunggu, menunggu agar putrinya itu memberikan jawaban, balasan, penjelasan atau mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.
Dan untuk waktu yang cukup lama, kata-kata itu tak kunjung berlanjut, melainkan, ketika ia mengalihkan pandangannya ke bawah, butiran-butiran air mata itu justru terlihat, jatuh ke atas.
“..................”
“.........Polisi menelepon. Mereka bilang kemungkinan kau terlibat dengan kasus ini...Mereka memintaku datang...Tapi aku mengatakan kalau aku tidak bisa dan--“
“..............”
“......Apa yang sebenarnya terjadi...?”
“AKU SENDIRI JUGA TIDAK TAHU!!!”
“!!?”
“Aku sendiri...Juga tidak tahu...Ukh...Ukh...”
“................”
Memandang tanpa kata.
Itulah yang sedang dilakukannya saat ini. Ketika kata-kata yang keluar adalah sebuah teriakan, tubuhnya sedikit tersentak dan ia sedikit kaget. Namun sebiasa mungkin ia tidak ingin mengucapkan kata -kata lain...Terus memasang wajah yang tenang seperti air.
Nada bicara putrinya yang semulai terdengar keras, berubah menjadi lemah bersamaan dengan kedua tangannya yang berusaha menghapus air matanya.
“...................”
Jika biasanya, ketika putri satu-satunya itu berteriak ke arahnya atau mengatakan sesuatu yang tidak sopan, ia akan marah dan menceramahinya semalam penuh. Hanya saja saat ini, tak satupun keinginan untuk marah itu keluar.
“.................”
Ia masih menunggu.
Dan akan terus menunggu.
“.............”
Riya menginggit bagian bawah bibirnya sangat keras, dengan air mata yang semakin mengalir deras dari matanya, dan ia hanya bisa berdiri di sana dengan tidak menunjukkan wajahnya yang terlihat menyedihkan.
Lalu,
“Semua kejadian itu--“

Ada 2 mayat tergantung dengan perut mereka yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan keluar.
Tubuh mereka hampir hangus, seolah habis dibakar dengan api.

“Terjadi begitu saja...Terjadi secara instan di hadapanku!!”
“.................”
“Aku sendiri tidak tahu mengapa bisa sampai seperti ini...Tapi kebalikan dari diriku yang masih terus-terus bertanya ‘Siapa pelakunya!!?’, ‘Siapa yang tega melakukan hal sekejam dan tidak manusiawi ini!!!?’, semua orang langsung seolah tahu, kalau-- Aku--Aku yang membunuh Sasagawa dan juga Karisawa...”
“...........................”
“Iya, iya, memang benar. Aku akui kalau aku memendam setitik rasa kebencian pada mereka--Bukan, tapi sangat banyak seakan akan segera meledak!! Karena mereka berdua dan Itsuki selalu saja mengawasiku seperti aku adalah seorang penjahat kejam, karena mereka berkata buruk tentang diriku dan karena mereka diam-diam meminta Emi untuk menjauhiku...YA! YA!! AKU BENCI MEREKA!!!!
Iya, itu benar.
Riya memang pantas untuk membenci baik Sasagawa maupun Karisawa. Mereka berdua sudah berusaha memisahkannya dari sahabatnya! Membicarakannya diam-diam seperti itu--Siapa yang tidak akan sakit hati!!?

“Apa tidak lebih baik kau tinggalkan Miyashita saja?”
“Ha ha, tentu saja alasannya cuma ada satu. Karena si Miyashita itu sama sekali tidak berguna!”
“Jangan marah seperti, Kawada-san. Kami mengatakan hal ini bukan tanpa sebab, kok. Jujur saja, Miyashita itu bukanlah sahabat terbaik untukmu. Coba kau lihat dia? Dia kelihatannya tidak ramah dan juga sombong. Selain itu, nilainya selalu rendah dan malas. Kami berdua yakin, kalau dia itu sebenarnya hanya memanfaatkan semua kehebatanmu supaya bisa jadi populer!”
“Kau masih tidak paham juga, Kawada-san? Dengar, kau tahu seberapa populernya kau di sekolah ini? Kau cantik, populer, pintar dan juga sempurna. Semuanya ingin menjadi sahabatmu! Tapi, dari banyaknya orang di sini, kenapa justru kau memilih berteman dengan orang seperti Miyashita? Yah, aku paham karena dia teman masa kecilmu. Teman masa kecil yang payah tentunya.”
“Hey, Kawada-san, kenapa tidak kau tinggalkan saja sahabat masa kecilmu itu? Menurutku pribadi sih, ah, bukan hanya menurutku, tapi pasti semuanya juga akan berpikiran sama denganku. Kau itu terlalu baik untuk Miyashita. Kalian itu terlihat bagai langit dan bumi. Berbeda jauh. Dan hanya dengan sekali melihat saja, orang-orang pasti langsung tahu kalau kau dan Miyashita itu tidak cocok. Sangat tidak cocok.”
“Iya, kau pasti kenal’kan dengan Itsuki-san? Dia itu gadis paling populer di sekolah kita. Dan Itsuki-san ingin kau menjadi sahabatnya! Bukannya itu hal baik Kawada-san? Semua orang ingin menjadi sahabat Itsuki. Tapi, hanya orang-orang terpilih dan berkelas seperti kita-kita saja yang bisa menjadi temannya. Bagaimana? Apa kau mau bergabung dengan kami dan Itsuki-san? Atau, kau masih mau bersama dengan Miyashita yang aneh itu?”

“.....Jika aku bisa--“
“..............”
“--Aku pasti akan membunuh mereka berdua...”
“!?”
Pernyataan Riya yang tiba-tiba dan mengejutkan itu, membuat dirinya ikut terkejut seperti tersetrum dengan aliran listrik tingkat tinggi.
Sensai aneh mulai menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Rasanya benar-benar dingin.
Rasanya ia ingin segera mengangkat sebelah tangannya dan menampr pipi putrinya itu dengan sekuat tenaga karena hal mengerikan itu benar-benar keluar dari mulutnya. Sebagai seorang ibu, tak ada perasaan lain yang berkecamuk di hatinya selain kesal, marah, kecewa, namun sekaligus juga--Sedih.
Meski begitu, ia tetap tak mengatakan apapun, dan terus menunggu.
“................Hey, Bu,”
“.................”
“A--Apa... Apa aneh...Kalau aku merasakan--Satu titik di dalam diriku, di mana aku merasa senang dengan kejadian ini...?”
“.................”
“Jika saja aku menuruti sisi gelap yang ada di dalam diriku, kemudian membiarkannya tumbuh membesar di dalam hatiku--Akankah aku menjadi orang yang berdiri tepat di samping mayat Sasagawa dan Karisawa, dengan tubuh berdarah-darah dan tawa jahat itu? Iya, ya, kalau aku menuruti bisikan jahat itu, sudah pasti aku, dengan kedua tanganku sendiri, sudah pasti aku yang akan membunuh mereka berdua...”
Mengangkat kedua tangannya, bayangan bercak darah berwarna merah yang menyelimuti tangan dan wajahnya yang tersenyum, eskpresi yang tidak bisa di lihat oleh ibunya, terbayang di pikiran Riya seolah benar-benar nyata.
“......................”
“Tapi, hey! Bukannya itu berita bagus! Bukannya semua memang sudah menuduhku seperti itu?! Kalau begitu, kenapa tidak sekalian saja aku membunuh semuanya lalu hidup di dunia yang hanya untukku!!? Tidak akan ada orang menyebalkan, yang selalu menatapku dengan sinis! Tidak akan ada lagi orang yang berkata buruk tentang aku dan berusaha menjauhkan sahabatku dariku!! Tidak akan ada lagi gadis munafik yang berpura-pura menerimaku sebagai sahabatnya! Aku sudah capek! CAPEK!! Dengan semua itu--Dengan hidup seperti ini--AKU SUDAH MUAK!!!!!!!!!
“........................”
“Lalu--“
“..................”
“--JIKA SEMUA ITU BENAR-BENAR BISA DIMUSNAHKAN DENGAN TANGANKU SENDIRI--MAKA TANPA ADA KERAGUAN SEDIKITPUN DI MATAKU, AKU AKAN MEMBUNUH SEMUANYAAAA!!!!”
“..................”
“............Ha ha ha...Aku...Aku senang sekali...Seandainya semua bisa menghilang saja--Kurasa hidupku akan lebih sempurna...”
“...................”
“Ya...Ya....Seandainya bisa...”
“................”
“.......................”
“...................”
“............Tapi--“
Sebuah kata yang terdengar bergetar, terlontar dari mulut Riya, lalu gadis itu, berbalik menghadap wanita yang tak ia lihat sosoknya sejak tadi, sebuah senyuman yang terlihat tipis dan lemah, terlihat di wajah gadis itu ketika ia mengatakan--
“--Tidak mungkin di dunia ini, aku bisa melakukan hal seperti itu...”
Wajahnya basah karena air mata.
“...............--“

GREP

“!?”
Tubuh wanita paruh baya itu, sedikit terdorong ke belakang ketika sosok gadis remaja yang bisa ia lihat sehari-hari, sudah berada di dekatnya dan mendekapnya dengan sangat erat, seolah tidak ingin melepaskannya.
Sejak kapan ini terjadi?
Apa karena ia terlalu fokus memperhatikan wajah menyedihkan anak itu, sehingga ia tidak adar kalau ia sudah menerjang ke arah dirinya, dan menangis seperti anak kecil.
Sampai seperti ini--Ia masih terdiam.
“AKU SUDAH TIDAK TAHAN LAGI!!!”
“.................”
“Ugh...Cukup...Cukup!! Hentikan!!! Aku tidak ingin dituduh seperti ini!!!”
“......................”
“Kenapa kalian semua menuduhku seperti itu!!!? Kenapa kalian tega!!!?”
“..................”
“Hal buruk apa yang sudah aku lakukan pada kalian!!!?”
“.......................”
“Jangan memasang wajah seolah aku yang bersalah!!”

GYUT

Dekapan itu semakin erat bersamaan dengan suara penuh tangis gadis itu.
“Apa--Apa kalian pikir aku tidak takut!!? Apa kalian pikir aku tidak merasakan hal yang sama dengan yang kalian semua rasakan!!!?”
“......................”
“...Ugh...Aku takut...Aku sangat takut...Sasagawa dan Karisawa terbunuh tiba-tiba secara misterius seperti itu...Bagaimana mungkin aku tidak merasa ketakutan...? Bahkan tubuhku sendiri tidak bisa bergetar ketakutan sejak tadi...”
“...............”
“Aku takut...Pembunuh misterius itu bahkan belum ditemukan seolah dia benar-benar menghilang tanpa jejak...Apa yang harus aku lakukan!? Kalau saja seandainya aku tak sengaja bertemu dengannya--Dan membunuhku juga!!? Apa--Apa baru dengan itu, kalian semua akan percaya bukan aku yang melakukan semua hal gila ini!!? Apa aku harus terbelah menjadi setengah bagian baru kalian sadar!!!?”
Apa itu?
Apa itu yang harus ia lakukan untuk membersihkan namanya?
Apa dia harus mati, kemudian orang-orang baru akan bereaksi seperti ‘Ah, hey, gadis itu terbunuh! Itu berarti bukan dia pelakunya’,?
Atau mungkin orang-orang akan berpikir lebih sempit lagi ‘Dia bunuh diri karena tidak tahan di tuduh sebagai pembunuh’, ‘Dia merasa menyesal telah mengotori kedua tangannya sendiri, makanya dia memutuskan untuk bunuh diri’, ‘Dia sengaja bunuh diri karena berusaha membuktikan dirinya bukan pelaku. Tapi aku tidak akan tertipu’,?
Bersamaan dengan hal itu terbayang di benaknya, Riya menyadari bahwa air matanya mengalir semakin deras lagi, ketika ia memeluk erat tubuh wanita di hadapannya.
“..................................”
“Hiks...Hiks...Aku--Aku--Bukan aku yang membunuh mereka...Bukan tanganku yang ternoda oleh darah mereka--“
“........................”
“Tapi--Ukh...Kenapa tak ada seorangpun yang percaya padaku....?”
“...................”
“Teman-teman yang lain--“

“Iya, ya. Mungkin memang seperti yang Itsuki katakan.”
“Miyashita’kan seperti itu? Ia memang membawa pengaruh yang buruk buat Kawada-san.”
“Sadis sekali! Ia benar-benar melakukan itu!!?”

“Polisi--“

“Karena kau tidak suka mereka itulah, kau membunuh mereka’kan?”

“Itsuki--“

“Kau!! Kau yang sudah melakukan semua ini’kan!!!?”

“BAHKAN HASEGAWA RUNA!!!!”

“Mulai detik ini, anggap kita tidak pernah saling bertemu! Anggap kita tidak pernah berteman atau apapun!! Karena, aku sama sekali tidak ingin terlibat dengan masalah ini, atau dituding sebagai seorang pembunuh! Kalau memang harus ada seseorang yang dikorbankan untuk disebut pembunuh, kurasa kau seorang saja cukup! Tidak perlu membawa kami yang lainnya!!”

“....................”
“Aku tidak percaya itu--Aku sama sekali tidak ingin percaya!! Bahkan orang yang kupikir akan melindungiku dan mau berdiri untukku--Justru menjatuhkan aku!! Justru melukaiku!!! Justru menghakimiku!!!!”
“................”
“Aku--Gara-gara itu--Aku juga sudah bicara buruk pada Haruko...Hiks...Hiks...Ugh...”

“Boleh juga. Takashi Haruko, kau boleh ikut menemani sahabat baikmu itu ke neraka.”

“........................”
“Aku juga--Sudah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan pada Runa...”

“Ya, aku memang sakit. Karena bukan hanya Sasagawa dan Karisawa yang akan kubunuh. Karena aku memang seorang pembunuh dan telah membunuh...Seperti yang kau katakan sebelumnya, seperti yang kau tuduhkan kepadaku, kenapa--“
“--Aku tidak membunuhmu juga?”

“AKU TIDAK PERCAYA KALAU AKU BENAR-BENAR YANG MENGATAKAN HAL ITU!! AKU TIDAK PERCAYA JIKA SUARAKU YANG KUDENGAR DITELINGAKU SENDIRI SAAT KATA-KATA ITU SAMPAI DI TELINGAKU!!! AKU TIDAK INGIN PERCAYA!!!”
“...................”
“....Ugh--Tapi--Tapi--Aku...Aku benar-benar telah mengatakannya...Aku mengatakannya--! Aku mengatakannya--!!”
“....................”
“Aku selalu ingin berteman dengan mereka berdua...Meski mungkin belum sempurna, tapi aku selalu ingin agar suatu saat mereka bisa benar-benar menerimaku di lingkaran 2 orang itu...Tapi--Justru aku yang telah menghancurkan persahabatan yang dengan susah payah terjalin--[Awalnya aku pikir semua sudah berjalan dengan baik, dengan adanya Emi, aku pikir persahabatan kita bsia menjadi semakin dekat tiap harinya--Tapi--Gara-gara diriku sendiri--] Sudah--Sudah tidak ada lagi yang tersisa sekarang...Semuanya sudah selesai, persahabatan kami berakhir di sini...Tidak akan ada lagi orang yang percaya padaku...Semuanya sudah menghilang...”
“...................”
“...............................”
“...Kau--“
“!?”
“--Tahu, alasan kenapa aku tidak datang ketika polisi meneleponku dan memintaku ke sana untuk mendampingimu...?”
Akhirnya, setelah beberapa saat menunggu, tak mengatakan apapun, hanya mendengar dan terus mendengar apa yang ingin disampaikan oleh putrinya dengan penuh ketenangan dan pengertian, suara yang lembut itu, terdengar juga.
“..................”
“........Karena aku percaya, kalau kau tidak mungkin melakukan hal seperti itu...”
“!!”
Pernyataan ibunya itu, mengejutkan Riya lebih dari apapun di dunia ini.
Perlahan, ibu Riya melepaskan pelukan putrinya, kemudian meletakkan kedua tangan di pundak Riya sambil menatap ke arah matanya dalam-dalam.
Ia lalu melanjutkan perkataannya,
“Kau putriku. Dan aku sangat mengenalmu dibanding seluruh orang yang kau kenal di dunia ini. Dan aku tahu, tak peduli seberapa rendahnya nilaimu, Tak peduli apakah kau orang yang malas berusaha dalam hal apapun, tak peduli seberapa seringnya kau membantah nasihatku dan membuatku merasa sangat kesal, tak peduli akan pandanganmu yang membosankan tentang dunia--Aku tahu, kau baik, dan tidak mungkin melukai orang lain sampai seperti itu!
“.........Ibu...”
“Jika semua orang berkata jelek tentang dirimu, ibu akan berdiri di sana untuk melindungimu! Jika Runa maupun Haruko meninggalkanmu, ibu akan tetap ada di sini dan bersamamu!!!”
“Ibu--!”
“Dan jika semua orang di seluruh dunia ini berbalik memusuhimu, maka ibu akan menjadikan mereka semua sebagai musuhku juga!”
“Ibu--!!”
Sambil menahan air matanya, Riya kembali memeluk tubuhnya.
Tak pernah terpikirkan bahwa ibunya justru akan mengatakan hal semacam ini. Mengingat bagaimana perlakuan ibunya padanya dalam hari-hari biasa, bagaimana ia selalu marah padanya, bagaimana nasihat panjang itu selalu keluar dari mulutnya,

“Bukan hanya itu saja yang aku khawatirkan. Nilaimu juga selalu jelek. Gurumu kemarin meneleponku mengenai masalah itu. Kau tahu betapa malunya aku?”
“Bukan masalah pelajarannya yang terlalu susah. Tapi, kurasa masalahnya ada pada dirimu sendiri.”
“Kau itu, tidak pernah serius dalam segala hal.  Tidak bisa diandalkan. Tidak ingin berusaha. Masalah belajarpun kau tidak bisa serius. Hanya mengeluh dan mengeluh saja. Kau itu, terlalu banyak menyalahkan dunia dan orang lain. Salah gurumu, salah temanmu, salah siapapun, tapi, apa kau pernah, sekalipun menyalahkan dirimu sendiri atas semua yang terjadi? Kau selalu saja menuntut! Pantas saja temanmu hanya sedikit. Aku masih bersyukur karena Haruko-chan dan runa-chan mau menjadi teman anak sepertimu, Riya.”

 Riya pikir ibunya itu akan berteriak ke arahnya dan berbalik memusuhinya seperti yang lain.
Tapi sekarang, wanita yang ada di hadapannya, seolah menjadi sosok yang benar-benar berbeda yang lembut, sabar, yang sebelumnya sama sekali tidak ia kenal.
Bukan.
Ia selalu kenal dengan sosok ini.
Bahkan sejak dulu maupun detik ini, tak ada yang berubah dari wanita itu.
Hanya dia yang berubah, dan menganggap kasih sayangnya sebagai sesuatu yang harusnya hanya diberikan pada anak kecil.
Ia berubah, berbalik memusuhinya seiring dengan bertambahnya waktu dan usia, seiring dengan pengetahuannya tentang dunia yang semakin bertambah, seiring dengan semakin banyak orang yang ia temui, sosok wanita di hadapannya perlahan mulai terlihat memudar.
Entah sudah berapa lama terjadi sejak saat itu,
Sekarang, ia benar-benar merindukan sosok ibunya yang seperti ini...
Dan kini, ibunya pun membalas pelukannya sambil mengelus kepalanya dengan lembut.
“Karena itu, jangan pernah berkata kalau tidak ada seorang pun yang percaya padamu...Tidak semuanya membencimu. Dan, hey, bukannya masih ada Emi, sahabat masa kecilmu?”
“.......Emi...”

“Riya-chan, aku senang bisa bertemu denganmu lagi...”

“SATU-SATUNYA ORANG TERBAIK YANG BISA AKU ANGGAP SEBAGAI SAHABAT HANYALAH RIYA-CHAN!!! KALIAN SEMUA TIDAK ADA APA-APANYA KALAU DIBANDINGKAN DENGANNYA!!!! KARENA ITU TIDAK AKAN KUMAAFKAN KAU KARENA BERBICARA BURUK SOAL RIYA-CHAN SEPERTI ITU!!!!!!!”

Kata-katanya yang terdengar lembut, di saat bersamaan juga tegas dan keras itu, punya arti yang begitu mendalam dan membekas di ingatan Riya.
Benar, masih ada Emi yang tidak akan pernah meninggalkan dirinya...
“Lalu, pemuda yang tadi mengantarmu pulang itu...Kelihatan sangat peduli padamu...Ibu rasa, dia juga sangat percaya padamu...”
“.........[Mochida...].”

“Kau tidak perlu mendengarkan apa yang mereka semua katakan padamu. Cukup dengarkan suara teman-temanmu saja.”
“Kau juga punya aku...”

“.........[Akhir-akhir ini dia memang sering mengatakan hal di luar dugaanku. Dan kurasa...Itu hal yang bagus...]...........”
Araa...Apa baru saja ibu melihat wajahmu berubah menjadi merah??”
“I--Ibu!! Mana mungkin! Tidak ada hal seperti itu!! Dan bukannya kita sedang berpelukan sekarang jadi tidak mungkin ibu bisa melihat wajahku!!!!”
Apapun yang terjadi, Riya akan terus berusaha menyangkalnya habis-habisan saat ibunya mulai mencairkan suasana dengan menggodanya tentang Mochida.
“Fu fu fu, memang tidak bisa. Tapi bukan berarti ibu tidak bisa merasakannya~ Cinta anak muda memang manis, ya? Apa jangan-jangan pemuda tampan itu kekasihmu? ©
Ibunya berkata bahagia dengan senyuman yang cerah di wajahnya yang langsung membuat Riya seolah ingin berteriak ‘WHAAAAAAAT!!!???’, dalam hati tentunya.
“Ibu--Ternyata aku memang tidak bisa mengerti apa yang ada di dalam kepalamu itu...”
Ucapnya dengan suara pelan, dan jika bisa, ia ingin sekali bisa menutupi wajahnya atau sekedar menghilangkan diri.
Akhir-akhir ini, Mochida memang terlihat berbeda di mata Riya.
 Selama ini, ia selalu menganggap kalau Mochida hanyalah pemuda berisik, yang bahkan jika berkata ‘Suka’, tidak akan serius dan hobinya hanya bermain-main saja. Tak pernah serius dalam memikirkan apapun. Makanya Riya sangat heran kenapa orang macam itu bisa sangat populer.
Ia tidak tahu mengapa dan kapan pikiran itu mulai muncul di kepalanya, hanya saja sejak pertama kali bertatapan muka, ia sudah merasa aneh dengan sikap Mochida yang seolah selalu mengejarnya ke mana-mana.
Dan baru-baru ini, dia menyadari sesuatu,
“............[Tubuh Mochida...Ternyata sangat hangat...].”
Sekarang, entah mengapa justru ketika ibunya yang sedang memeluknya, matanya seolah mengalihkan semua itu kepada sebuah delusi, bahwa yang saat ini sedang memeluknya adalah seorang pemuda bernama Mochida Toru.
Mochida yang selama ini ia kira seperti itu, sejak kapan terlihat begitu tenang dan menghanyutkan perasaan? Sejak kapan terasa begitu baik dan juga lembut? Kata-katanya begitu dalam sehingga sulit dilupakan. Suaranya begitu menenangkan sehingga sulit dihapus dari pikiran.
Mochida ternyata--Jauh lebih serius memikirkan apapun dibanding dengan semuanya.
Saat membayangkannya seperti ini, ingatan tentang pertama kali ia benar-benar bicara dengan Mochida kembali terbayang.
Waktu itu sedang ada piket kelas, namun entah kenapa, semua justru menyerahkan tugasnya kepada Riya dan ia sama sekali tidak punya kemampuan untuk menolak hingga akhirnya harus membersihkan kelas seorang diri.
Dengan wajah kesal karena marah, ia membersihkan penghapus papan tulis itu dengan kasar, membuat asap yang tebal sekali. Dan saat itulah, pemuda itu datang, sambil membawa alat pemadam kebakaran karena mengira kelas itu sedang terbakar.
Karena merasa bersalah telah membuat kelas menjadi semakin kotor, Mochida yang sudah piket kelas kemarin, akhirnya memutuskan untuk membantu Riya karena tidak enak dan kasihan melihat Riya harus membereskan semuanya sendiri.
Mungkin sejak itulah benih kebenciannya terhadap orang itu jadi semakin bertambah. Bukannya menyesal atau apa, dia justru tertawa sambil berkata ‘Maaf, maaf’, hal yang selalu dikatakan oleh orang lain, tapi sama sekali tidak terasa keseriusan dalam perkataannya itu.
Sejak itu ia selalu menganggap Mochida sangat menyebalkan dan tak pernah menganggap serius ucapan orang lain, setidaknya begitulah sifat dasar laki-laki menurutnya.
Tapi--
Yang dia belum sadari sampai ketika ia benar-benar memikirkannya sampai detik ini adalah--
--Bahwa Mochida, dia selalu muncul ketika Riya sedang sendirian.
Dia hanya ingin menghibur, bukan menganggu. Dia hanya ingin menemani, bukan menjadi perusak. Sepertinya dia hanya merasa kasihan melihatnya selalu seorang diri, atau terkadang diacuhkan oleh Runa dan Haruko.
“[Dan bodohnya, aku baru saja mengerti hal itu sekarang...].”
“Jadi--“
“?”
Riya tersentak ketika mendengar ucapan singkat ibunya yang mendadak itu.
Ibu Riya lalu segera menyambung ucapannya,
“--Kau tidak perlu merasa khawatir lagi. Setidaknya, sudah ada 3 orang yang akan berdiri untukmu, dan untuk selamanya bagi mereka, kau tetaplah orang yang sama, Miyashita Riya yang sama dan tidak berubah. Kau, bukan seperti yang orang-orang itu katakan padamu!”
Ibu Riya mengatakannya, dengan penuh rasa percaya yang terlihat jelas dari pancaran sinar matanya dan senyumannya yang cerah, membuat perasaan menjadi hangat.
“Jadi setelah ini--Apapun yang terjadi, atau luka seperti apa yang akan kau dapatkan dalam hidup ini, kau tidak akan menangis dan meneteskan air mata seperti hari ini lagi.”
Riya sedikit tertegun, tapi ia merasa tak harus mengatakan apapun lagi untuk membalasnya, dan ia  menanggapinya dengan sebuah anggukan singkat, yang pasti sudah menjawab semuanya.
“Ah, mungkin akan lebih baik jika aku menyiapkan makan malam sekarang? Kau pasti sudah lapar’kan?”
Melepas pelukan putrinya, ia memandang tepat ke arah wajah anak itu, yang sudah berubah menjadi sedikit tenang, sambil menghapus sisa air mata di sudut matanya.
“Hm. Ya, aku sangat lapar!”
Untuk pertama kalinya dalam hari yang terasa sangat berat ini, Riya menunjukkan senyumannya.
“Baiklah. Ibu ke dapur dulu. Lebih baik ganti seragam dan segera mandi. Kau terlihat sangat buruk hari ini.”
“Ide yang sangat bagus. Harus aku coba!”
Balas Riya dengan cukup semangat.
Mereka berdua saling berpandangan sesaat.
Setelah sekian lama, hubungan mereka kembali terbentuk. Kapan terakhir kali mereka bisa saling tersenyum dan bercanda seperti ini? Sudah tidak ada yang mengingatnya. Tapi itu sudah tidak penting, karena bagi mereka berdua, yang terpenting adalah ikatan dan hubungan itu, sekarang masih ada.
“Akan kubuatkan masakan favoritmu hari ini, supaya kau lebih bersemangat.”
Mengatakan itu, ibu Riya menepuk kepala putrinya dengan pelan dan bermaksud untuk melangkah masuk menuju dapur.
“..................”
Sementara Riya masih berdiri di tempat memperhatikan ibunya yang akan segera menghilang dari pandangannya.
Sewaktu ia tidak sengaja melihat ke bawah dan melihat kedua tangannya, Riya lalu tertegun karena ia baru menyadari sesuatu, kalau ia belum mengucapkan sebuah kata yang paling penting.
Jadi,

GREP

“?”
Sebelum ibunya sempat melangkah, Riya, dengan cepat segera memegang tangan ibunya tersebut, tanpa mengatakan apapun dengan kepala tertunduk.
Suasana menjadi sunyi sebentar, sampai Riya mengangkat kepalanya dan sekali lagi, menunjukkan sekilas senyum tipis yang terasa tulus di wajahnya sambil berbisik pelan, mengucapkan sebuah kata-kata yang belum sempat ia katakan sampai hari ini, berharap bahwa semoga hari-hari keesokannya bersama dengan ibunya yang sangat menyanyanginya ini, akan terasa lebih menyenangkan,
Ia berkata,
“...................”
“..........................”
“.................Terima kasih atas semuanya selama ini...”

DOR

‘Eh...’
Tubuh Riya tiba-tiba tersentak. Rasanya baru saja tubuhnya seperti merasakan suatu hantaman yang sangat dahsyat.
Sesuatu...
Sesuatu terdengar...
Sesuatu terjadi...?

BLUUGH

Tanpa peringatan terlebih dahulu, tubuh ibu Riya, jatuh dengan keras ke atas lantai.
‘Ah’...
Berusaha mengatakan sesuatu, namun kata-kata itu tak kunjung keluar.
Di sebuah pintu, yang sebelumnya terhalang tubuh ibunya yang berdiri, kini, sebuah lubang berukuran cukup kecil terlihat.
Ketika ia perlahan-lahan mulai sadar akan apa yang terjadi, ia menurunkan pandangan, tanpa mengubah sedikitpun gerakan tubuhnya.
Di sekitar tubuh ibunya yang kini tergelatak tak berdaya--Sebuah cairan berwarna merah mulai terlihat.
Air mata yang telah lenyap itu kembali menetes.
Riya tidak tahu kenapa, tapi ia bisa merasakan suatu hawa dingin yang amat sangat merasuk di tubuhnya.
Bagaikan ada sesuatu yang kejam menembus tubuhnya berkali-kali, sebuah perasaan yang sangat tidak nyaman timbul.
Sangat sulit untuk menjaga keseimbangan postur dan di saat yang sama menjaga kesadarannya. Entah mengapa, keadaan di sekitarnya seolah mendadak kabur dan berubah menjadi objek yang tidak ia kenal.
Ia tidak bisa bernafas dengan baik seperti sebelumnya.
Bagaimanapun juga, sesuatu terasa sangat tidak baik--
Ketika ia melihat ke bagian tubuhnya sendiri, sebuah cairan dengan warna yang sama juga terlihat di perut sebelah kanannya.
‘Ah..Ini...’

BRUUUGH

Dengan tekanan seperti sedang dipukul jatuh dan terbanting, tubuh Riya jatuh ke atas lantai, berdekatan dengan ibunya.
“A--A--“
Mulut Riya terbuka, berusaha berteriak, memanggil-manggil ibunya yang tak bergerak sedikitpun.
‘Tidak, tidak, tidak, jangan biarkan berakhir  seperti ini! Kumohon!!’
 Tapi percuma, karena seberapa kerasnya ia mencoba, suara itu tak kunjung keluar dari mulutnya, dan rasa sakit itu justru semakin mengambil alih kesadarannya, ketika ia berusaha menjulurkan tangannya dan menggerakkan tubuhnya dengan paksa.
Ketakutan dan panik mulai mengambil alih dirinya.
“T--To--[Aku tidak bisa bergerak! Aku tidak bisa berteriak!! Ibu!! Seseorang--Tolong!!!]“
Tepat pada saat itu,
Tangannya tidak sengaja menyentuh ponsel yang sepertinya terlempar dari saku seragamnya sewaktu tubuhnya ambruk tadi.
“..................”
Maka, dengan sedikit kesadaran yang masih tersisa, ia berusaha memencet tombol-tombol pada ponselnya.
 Berbekal dengan ingatan yang samar-samar, ia berusaha menghubungi nomor seseorang yang sangat ia harapkan untuk datang, seseorang yang tak disangka, ia akan benar-benar memerlukan pertolongan darinya,
‘087--
Berusaha menggerakkan jari-jarinya dengan paksa, ia bergerak ke nomor selanjutnya,
361--
Dan di saat yang sama pandangannya menjadi semakin kabur, sulit untuk membedakan angka-angka yang terdapat pada ponselnya,
962--
Tinggal 3 angka lagi--
904--‘,

BEEP BEEP

Tersambung?
“Halo?”
Suara yang sangat familiar itu, terdengar. Biasanya ia selalu benci ketika mendengar suara itu, biasanya ia selalu kesal dan muak.
Tapi--
“A--“
“Halo? Siapa ini?”
--Sekarang justru ia begitu sangat ingin mendengarnya seolah ini adalah yang terakhir kali.
“Mo--“
“ya? Maaf aku tidak bisa mendengarmu. Kau bicara apa?”
“M--“
--Ponsel itu terlepas dari genggamannya.
“Halo? Halo? Maaf, ini siapa? Apa ada sesuatu?”
Suara dari ponsel itu terus terdengar, meski tak ada suara yang membalas.
Bahkan sampai di saat yang terakhirpun, Suaranya tak bisa menggapainya. Tak tersampaikan kepadanya di jarak yang begitu jauh.
“....................”
Sampai pada saatnya--
--Kesadaran yang tersisa itu--Akhirnya berakhir juga...
“...............................................................................--“

“--[Mochida...].”
***-***


A/N : Hi minna XDD''
HTMF kali ini--PUANJAAAANG!!!!!!!!!//asdadasadasd

Terus--Ibunya Riya matiii!!! Terus--Haruko ama Runa--EVIIIIL!!! Terutama si Runa yang sekarang nyebeliiin!!!

Di ch ini banyak yang terjadi, kasihan Riya. Siapa yang udah ngebunuh Sasagawa, Kariswa dan menembak ibunya Riya?? Apa Riya akan selamat?

Habis ini, adalah penutup dari part pertama HTMF!!

Visit : DA
          Ngomik

 Next Chapter : Epilogue

Sankyuu!!

Author,
Fujiwara Hatsune