Story : Mihashi Chapter 3
MIHASHI
- Chapter 3-
Sekarang Ada Hal yang Jauh Lebih Penting
yang Ingin Aku Bicarakan Denganmu
“........Hm...?
Ah, sudah pagi...”
Cahaya matahari
yang masuk melalui celah-celah jendela membuat mata Chiharu terasa silau.
Dengan mata yang
masih setengah terbuka, Chiharu perlahan berjalan ke arah jendela dan membuka
tirai.
Hari sudah
benar-benar pagi.
“.......................”
Ia kembali
menutup tirai.
Kemudian ia
berjalan perlahan ke arah kamar Mihashi.
Chiharu membuka
pintunya perlahan.
Mihashi masih
tertidur.
Tapi, air mata
masih terlihat di dekat matanya.
“..................”
Kemarin malam...
“Mihashi!? Apa
yang terjadi denganmu!!? HEY!!!”
Chiharu
berteriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Mihashi.
“S--SINGKIRKAN TANGANMU DARIKU!!!”
“Ah!”
Chiharu terdorong ke belakang dan terjatuh
ketika Mihashi mendorongnya dengan keras.
“Aku benci padamu!!! Aku ingin pergi dari
sini! Aku ingin bertemu papa!!! PAPA!!!!”
“DIAM!!!! Apa yang kau pikirkan tiba-tiba berteriak seperti ini
saat tengah malam begini!!! Tetangga bisa bangun!!!”
Chiharu kembali mendekati Mihashi dan memegang
kedua tangannya.
“Aku benci bibi
Chiharu!!! Aku benci!!!!!”
DEG!!
“..............................”
“A--“
“............Apa--“
“.......Apa--Apa
yang telah aku lakukan sampai kau membenciku seperti itu!!!? Aku tidak
berteriak ke arahmu! Ataupun mendorongmu seperti yang kau lakukan padaku, dasar
gadis kurang ajar!! Kalau seharusnya ada yang dipenuhi dengan perasaaan benci
di sini, harusnya itu AKU!!!!”
“Ukh...PAPA!!!!! Bibi Chiharu jahat!! Dia berteriak ke arahku!!
Tolong!!!”
Jerit Mihashi.
“........................”
Chiharu terdiam.
Tubuhnya sedikit
bergetar.
Ia mengepalkan
kedua tangannya seolah ingin sekali memukul sesuatu.
Emosinya sudah
tida terbendung lagi.
Rasanya seperti
ingin meledak.
Tapi, ia justru
berteriak dengan suara keras,
“AYAHMU SUDAH MEMBUANGMU!!!!!!!!!!”
“!!!!!!!!!!”
“Kau itu sadar
tidak sih!!!? HEY!!! Buka matamu dan lihat
kenyataannya!!!! AYAHMU sendiri yang sudah meninggalkanmu!!!
Dia tidak menginginkanmu, makanya dia memberikanmu padaku!!!!!! Kau paham? Yang
harusnya kau benci itu ayahmu bukan a--“
“DIAM, DIAM, DIAAAAAAAAAAAM!!!!!!!!!!!!!!”
“Ugh!!”
“Itu tidak
mungkin!!!! Papa...Tidak mungkin papa meninggalkan Mihashi sendiri kalau bukan
karena Bibi Chiharu!!!”
Mihashi
berteriak ke arah Chiharu dengan suara yang semakin keras.
Ia mulai berkata
hal-hal yang tidak masuk akal.
“M--Maksudmu apa
berkata seperti itu!!? Aku tidak melakukan apapun yang--“
“Kau sudah
merebutku dari papa!!! Kau membawaku lari!! Kau menculikku!!!! Kembalikan aku
kepada papa!!!!! KEMBALIKAN!!!!!!!”
“....................”
“Aku ingin pulang!! Aku ingin pulang!!! AKU INGIN PULAAAAAANG!!!!!”
“............Bisakah...............”
“?”
“Bisakah......”
“KAU HENTIKAN OMONG KOSONGMU ITU!!!!!?”
“!!!!”
“Aku tidak tahu
apa yang terjadi padamu!!!? Tapi, tolong berhentilah berteriak dan berkata
seolah aku adalah penjahatnya di sini!!!! Aku memang bukan wanita yang baik!!!
Aku akui itu!!! Tapi...TAPI!!! Seumur hidupku aku
tidak pernah melakukan kejahatan seperti menculik atau merebutmu dari orang
tuamu!!!! INGAT ITU!!!!!”
“.................”
Mihashi terdiam.
Ekspresi
wajahnya terlihat sangat ketakutan.
“Hah...Hah...”
Chiharu tahu, ia
tidak seharusnya berteriak kepada anak kecil seperti itu.
Tapi, semua
perkataan tidak masuk akal dan selalu menyudutkannya yang keluar dari mulut
Mihashi, membuatnya kehilangan kendali atas emosinya sendiri.
“..........P--Papa............”
“PAPAMU TIDAK ADA DI SINI!!!!!!”
“!!!!!!”
Sekali lagi,
teriakan Chiharu membuat gadis kecil itu terlihat sangat terkejut.
Mihashi
menundukkan kepala, kemudian menarik selimut itu mendekati dirinya.
Perlahan,
tangannya meremas selimut itu.
“Mihashi...Papa...Mihashi
ingin bertemu papa...”
Mihashi berkata
dengan suara pelan dan lemah.
Entah apa yang
terjadi, tapi sepertinya dia benar-benar sangat ingin kembali kepada ayahnya.
Ayah yang sudah
membuangnya.
Chiharu sama
sekali tidak paham dengan semua kejadian ini.
Kenapa Mihashi
tiba-tiba berteriak seperti orang gila?
Kenapa ia memanggil
ayahnya sampai seperti itu?
Kenapa Mihashi
mendadak membenci dan berkata buruk soal dirinya?
Apa yang sudah
ia lakukan sampai gadis kecil ini menganggapnya sebagi orang jahat?
Apa karena ia
meninggalkannya tengah malam dan jutsru pergi bersenang-senang sendirian?
Apa karena ia
hanya memberinya mie instan untuk makan malam dan bukan makanan yang mahal?
Apa karena ia
hanya ‘Bibi Chiharu’?
“Aku--Aku sama
sekali tidak peduli!!! Aku tidak tahu dan tidak paham maksud dari perkataan dan
sikapmu yang sangat buruk ini padaku! Tapi, ini rumahku!! Bukan kau bos-nya!!
Kenapa kau seenaknya berkata buruk tentang aku di rumahku sendiri!!? Kau ingin
kembali pada ayahmu!!? Kembali saja!! Silahkan! Aku tidak akan menghentikan
ataupun menghalangimu!! Sana!!! PERGI DAN KEMBALILAH PADA PAPA-MU
YANG MENYEBALKAN ITU!!!!”
“............................”
Tepat ketika
Chiharu mengatakan hal itu, hujan turun dengan cukup deras.
Ia mengalihkan
pandangannya keluar jendela dan bisa melihat rintik-rintik hujan yang turun.
Chiharu kembali
mengalihkan pandangannya ke arah Mihashi, kemudian menghela nafas panjang.
“Sudahlah, tidur
saja. Selamat malam.”
Dengan nada
dingin, Chiharu menutup pintu kamar tersebut dan tidak membukanya lagi sampai
pagi tiba.
“................................”
Chiharu duduk
termenung sambil menopang dagunya.
Pandangannya
tertuju ke arah jendela, di mana pemandangan di luar rumahnya terlihat.
Sepertinya hujan
sudah berhenti.
Chiharu menoleh
turun dan menatap secangkir kopi panas yang kini ada di atas meja.
Perlahan ia
menatap ke dalamnya.
Bayangan dirinya
terpantul.
“..............Aku
ini...........Benar-benar orang dewasa yang sangat buruk...”
Katanya pelan.
Ia mengaduk kopi
itu dengan pelan.
“Tak peduli
seberapa banyak aku tidak menyukainya dan tidak menginginkan kehadirannya di
hidupku...Tidak seharusnya aku berteriak seperti itu ke arahnya dan menunjukkan
wajahku yang sedang marah. Ahh...Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat
apa...Mungkin setelah ia bangun ia akan meloncat ke arahku kemudian mencakar
wajahku dan menarik rambutku, lalu berlari keluar dan kembali pada
papa-nya...Haaaaaah...........”
Chiharu mengaduk
kopi itu beberapa saat sambil memandang ke dalamnya.
Tapi, meskipun
ia sudah terlanjur membuat kopi itu, tak terlihat sedikitpun keinginan untuk meminumnya
di wajah Chiharu yang terlihat sedikit lesu itu.
Ia menjatuhkan
sendoknya ke meja kemudian meletakkan kepalanya di atas meja dengan sedikit
keras.
“Apa itu...? Kenapa tiba-tiba ia berubah
seperti itu...? Ada apa dengan anak itu sebenarnya...?”
Chiharu berkata pelan.
Perasaan bingung
menyelimuti dirinya.
“Ketika datang
kemari, dia terlihat agak pendiam dan juga anak yang baik. Ia juga penurut.
Tapi...”
“Aku benci bibi Chiharu!!! Aku benci!!!!!”
“Kau sudah merebutku dari papa!!! Kau
membawaku lari!! Kau menculikku!!!! Kembalikan aku kepada papa!!!!! KEMBALIKAN!!!!!!!”
“Aku
ingin pulang!! Aku ingin pulang!!! AKU INGIN PULAAAAAANG!!!!!”
“Apa yang
membuatnya berpikiran seperti itu...?”
Ya.
Kenapa tiba-tiba
Mihashi berubah dan mengatakan semua hal itu?
Kapan Chiharu
menculiknya dari ayahnya sendiri?
Bukannya ayahnya
sendiri yang sudah meninggalkannya?
Apa dia tidak
ingat bagian ketika ayahnya berkata bahwa ia harus pergi dan meninggalkannya
kepada Bibi Chiharu?
Apa dia tidak
menyadarinya?
“Ada apa dengan
anak itu sebenarnya--!?”
Chiharu tertegun
ketika ia melihat Mihashi berjalan perlahan ke arahnya.
Sambil terus
menatap gadis itu, Chiharu mengangkat kepalanya.
Mihashi mengusap
matanya perlahan dan duduk di samping Chiharu.
Dengan wajah
yang masih terlihat mengantuk, Mihashi menatap Chiharu.
“Hm...”
“[A--Apa yang akan dia katakan!!?].”
“Bibi Chiharu jahat!! Penculik!!! Bau!!!!!”
“[Ugh...Aku tidak tahan lagi...].” Batin
Chiharu sambil kembali meletakkan kepalanya ke atas meja dengan lemas.
“Selamat pagi, Bibi Chiharu.”
Eh...?
Tunggu...
Dia tidak salah dengar’kan...
Chiharu mengangkat kepalanya
sedikit kemudian menoleh ke arah Mihashi.
Gadis itu sedang tersenyum manis
sambil memperhatikannya.
Mungkin di mata Mihashi, Chiharu
seperti seorang wanita pengangguran yang suka bermalas-malasan...
Yah, meskipun kenyatannya memang
seperti itu...
Dan Chiharu tidak punya niat untuk
membantahnya.
“Kau...Bisa tolong ulangi lagi apa
yang kau katakan barusan?”
Mendengar itu, Mihashi sedikit
tertegun seolah akan berkata sesuatu seperti ‘Eh, kenapa begitu??’ tapi ia
hanya diam sambil terus melihat ke arah Chiharu.
Ia kemudian tersenyum.
“Selamat pagi, Bibi Chiharu.”
................
Normal...........
Ia terlihat normal pagi ini...
Apa yang kemarin itu hanya karena
ia masih belum terbiasa tanpa ayahnya di sini?
Tapi ia terlihat benar-benar
normal...
Rasanya ‘Mihashi’ yang kemarin
berteriak dan berkata buruk tentang dirinya itu sepeti mimpi, yang
perlahan-lahan menghilang dan memudar berganti dengan ‘Mihashi’ yang manis.
“................Kau baik-baik
saja?”
“Eh, aku baik-baik saja, kok. Aku
tidur nyenyak. He he he.”
“Benarkah?”
Chiharu memastikan.
Apa dia tidak ingat dengan kejadian
semalam...?
“Hanya saja, aku tidak tahu kenapa.
Tapi saat bangun tadi, aku bisa merasakan mataku yang basah. Apa aku habis
menangis, ya? Aku sama sekali tidak mengerti. Apa Bibi Chiharu tahu
sesuatu...?”
“.................”
Dia tidak ingat...?
Tunggu...
Apa yang sebenarnya terjadi dengan
Mihashi...?!
“Y--Yah, tidak ada apa-apa. Aku
hanya berkata bahwa aku menyayangimu dan kau terharu lalu menangis...Itu
saja...”
Jawabnya berbohong.
“Oh...Begitu, ya? Bibi sangat
menyanyangiku?” Kali ini, Mihashi bertanya dengan senyuman yang sangat manis
yang mampu membuat hati siapa saja luluh.
“............Y--Ya....Aku sayang
padamu, Mihashi-chan...[Tidak mungkin aku
sayang padamu!!!].”
“................Kau bibi yang
sangat baik! Aku juga sayang padamu.”
Balasnya.
Chiharu terdiam tapi kemudian
tersenyum kecil.
“Baiklah, aku akan menyiapkan
sarapan untukmu. Aku...Ada beberapa bahan makanan baru. Kemarilah dan coba
lihat, mungkin ada yang kau suka...”
Ajak Chiharu sambil berdiri.
“Aku boleh memilih mau sarapan
apa?”
Tanyanya girang.
“Hanya untuk kali ini.”
“Asyiik!!!”
Mihashi pun langsung berlari menuju ke kulkas.
Ia membuka kulkas itu dengan penuh
susah payah karena tubuhnya yang masih pendek dan harus berjinjit untuk
menggapai pintunya.
Gadis kecil berambut coklat pendek
itu melihat-lihat isi kulkas untuk beberapa saat.
Tapi sepertinya, tak ada satupun
yang menarik perhatiannya sehingga ia kembali menutup kulkas itu dengan wajah
cemberut.
Ketika ia tak sengaja melihat
sebungkus mie instan, wajahnya langsung berubah cerah.
“Bibi, aku mau ini!”
“Ini? Tapi bukannya kemarin malam
kau sudah makan ini? Kau tidak ingin makan yang lain?”
“Tidak. Soalnya, papa suka makanan
ini.”
“[Papa...?]........Baiklah, aku akan membuatkannya untukmu. Kau duduk
di sana dulu, ya.”
“Oke.”
Sementara Chiharu membuatkan
sarapan untuk mereka berdua, Mihashi sibuk mempersiapkan buku-buku pelajarannya
untuk sekolah nanti.
“Bibi.”
“Ya?”
“Papa ada di mana?”
DEG!!!
“......................”
Apa?
“Mihashi-chan...Apa kau sadar apa
yang sudah kau katakan...?”
Tanya Chiharu.
“Tentu saja. Dari tadi aku tidak
melihat papa di sini. Di mana papa? Apa dia tidak ikut sarapan dengan kita?
Bukannya dia harus mengantarku ke seko--lah--Bibi? Ada apa?”
Tiba-tiba saja, Chiharu langsung
berjalan ke arah Mihashi dan memegang tangan kanannya.
“Mihashi-chan, coba kau ingat
sekali lagi. Apa yang terjadi kemarin? Kau ingat kenapa kau bisa berada di
rumahku sekarang?”
Mihashi terdiam.
Matanya yang berwarna biru menatap
lekat ke arah mata Chiharu yang berwarna kecoklatan.
Ia mengagguk perlahan.
“Tentu saja aku ingat. Papa bilang,
mulai sekarang aku akan tinggal bersama Bibi Chiharu, kemudian papa bilang
bahwa ia harus pergi dan mengucapkan selamat tinggal padaku.”
Mendengar itu, Chiharu menghela
nafas singkat.
Mihashi sadar dengan apa yang
terjadi.
Tapi--
“Tapi, papa akan kembali kemari dan
tinggal bersama kita’kan?”
“Apa?”
Chiharu tertegun.
“Kemarin papa sibuk bekerja karena
itu ia harus pergi. Tapi, sekarang’kan sudah pagi. Papa juga harus mengantarku
ke sekolah, jadi aku yakin papa ada di sini sekarang!”
Apa yang dia katakan?
Papanya tidak ada di sini dan tidak
akan kembali lagi!
“Mihashi-chan...”
“Ya?”
“Papa-mu...Dia tidak ada di sini.”
“Eh...” Mendengar perkataan
Chiharu, Mihashi terdiam.
“Papa...”
“?”
“Papa...!”
“!?”
“PAPA!!!!!!”
Tanpa sebab dan alasan yang jelas,
Mihashi berteriak keras kemudian segera berdiri dan berlari meninggalkan
ruangan itu.
Chiharu dengan cepat segera
mengikutinya dan melihat Mihashi berusaha membuka pintu untuk keluar dari
rumahnya.
“Mihashi-chan!! Apa yang kau lakukan!?”
“Aku tidak mau di sini!! Aku mau
kembali pada papa!!!! PAPA!!!!!”
Mihashi berteriak dengan sekuat
tenaga dan menangis dengan kencang.
Chiharu berusaha menarik tangannya
dan mencegahnya untuk berlari keluar tanpa arah dan juga tujuan.
“Mihashi-chan!! Jangan! Nanti kau
bisa tersesat! Kau ingat apa yang dikatakan oleh ayahmu? Jangan pergi ke tengah
jalan sendirian tanpa pengawasan Bibi Chiharu!!”
Mau bagaimanapun, Mihashi tidak
mungkin kembali pada ayahnya karena jarak rumah Chiharu dan Chiaki yang sangat
jauh.
Apalagi rumah Chiaki terletak di
luar kota yang tidak mungkin bisa dicapai oleh anak berusia 7 tahun seperti
Mihashi.
Meskipun begitu, tak peduli
seberapa keras Chiharu mengingatkannya untuk tidak pergi, Mihashi tetap saja
meronta dan meronta agar Chiharu melepaskan tangannya dan membiarkannya pulang
pada Chiaki.
“Lepaskan aku!! Lepaskan aku!!! Aku
ingin pulang! Aku ingin bertemu dengan papa!! Aku tidak ingin berada di
sini!!!!!!”
“Diam!!! Papa-mu sudah menitipkanmu
padaku! Kau bilang ingin jadi anak yang baik!? Kau bilang akan selalu mendengar
apa yang dikatakan oleh ayahmu!! Kau tidak boleh pergi sendirian tanpa
pengawasan dariku!!”
Bentak Chiharu keras yang akhirnya membuat
Mihashi terdiam di tempatnya dan menundukkan kepalanya.
Chiharu yang merasa bahwa ia sudah
terlalu keras pada Mihashi, melepas tangan gadis itu.
Perlahan, Chiharu berkata dengan
suara pelan.
“Mihashi-chan, tolong dengarkan
aku. Ayahmu bilang kau tidak boleh pergi tanpa aku. Kuharap kau bisa mengerti
itu dan--“
“Kalau begitu!!”
“!?”
Chiharu tertegun ketika Mihashi
tiba-tiba berkata dengan suara keras.
“Antarkan aku kembali pada papa!!!”
“Apa katamu!? Itu tidak mungkin!!”
“Kenapa tidak mungkin!? Bibi
sengaja menjauhkan aku dari papa!!?”
Tuduh Mihashi.
Perlahan-lahan, kejadian yang
persis seperti tadi malam kembali terulang.
Chiharu terdiam.
Pikirannya kacau.
Ada apa dengan anak ini...?
“Papamu...Dia sendiri yang telah
meninggalkanmu!!!”
Seperti dugaan Chiharu, Mihashi
langsung terkejut.
Bola matanya melebar seolah tidak
percaya dengan apa yang dikatakan oleh Chiharu.
“J--Jangan bohong!! Mana mungkin
papa meninggalkan Mihashi sendiri di sini!!! Itu tidak mungkin!! Kau bohong!!
Kau bohong!!!!!
“Aku tidak bohong!!! Aku tidak
pernah berbohong padamu!! Itu benar!! Itu adalah kenyataannya!! Ayahmu sendiri
yang sudah membuangmu! Apa kau tidak ingat kemarin saat ia memberikanmu
padaku!!? “
“Aku...”
“.................”
“Aku ingin bertemu dengan papa...”
Mihashi berkata dengan suara pelan
dan lemah seolah akan menangis.
Dan benar saja, sedetik kemudian
air mata itu langsung menetes dan membasahi wajah manis gadis itu.
“Aku...Aku...Hiks...Aku ingin
bertemu dengan papa...Hiks...Hiks...Papa...Aku ingin bertemu...”
“.....................”
Sambil berdiri di dekat Mihashi,
Chiharu hanya mampu menatapnya yang terus mengatakan bahwa ia sangat ingin
bertemu dengan papanya sambil berusaha mengusap air matanya.
“Anak ini...”
***-***
Hari itu
berlangsung dengan panjang, baik untuk Chiharu maupun bagi Mihashi.
Setelah kejadian
itu, Mihashi masuk dan duduk di pojokan kamarnya sambil memeluk lututnya.
Di sana ia
berulang kali memanggil-manggil Chiaki dan berkata bahwa ia ingin kembali dan
pulang bersamanya.
Tiap kali
Chiharu berusaha mendekatinya, ia selalu berkata ‘Aku benci Bibi Chiharu!!’,
‘Bibi Chiharu jahat!!’, ‘Kau ingin memisahkan aku dari papa’kan!!?’.
Meski tak
satupun perkataan dari anak itu yang masuk akal dan benar kenyataannya, Chiharu
tidak bisa berhenti memikirkan semua itu.
Hari itu Mihashi
tidak berangkat ke sekolah dan terus mengurung dirinya di dalam kamar sambil
menangis sendirian.
Chiharu hanya
memperhatikannya dari luar, tanpa ada maksud untuk mendekatinya lagi.
Hal yang sama
beberapa kali terulang.
Seperti pada
saat makan siang, Chiharu yang tidak bisa membiarkan anak itu tidak makan
seharian, mengingat dia juga tidak menyantap sarapannya, masuk ke dalam
kamarnya.
“........[Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini.
Aku tidak mau anak aneh itu berteriak dengan keras lagi ke arahku dan
menyalahkanku atas kesalahan yang tidak pernah aku buat. Tapi...Mau
bagaimanapun juga, kalau ia sampai kelaparan dan mati, aku juga yang akan
repot...Apa boleh buat].”
Ia berdiri di
depan pintu.
Ketika tangannya
ingin membuka pintu tersebut, timbul keraguan di hatinya.
Apa anak itu
menginginkan kehadirannya?
“Hm!! Bukan
saatnya untuk berdiri diam di sini. Ada anak yang harus aku beri makan!”
Dengan yakin,
Chiharu membuka pintu itu kemudian berteriak,
“Aku tidak
peduli kau mau membenciku sebanyak apa! Tapi aku tidak bisa membiarkanmu mati
kelaparan dan--Eh...?”
“Hmm...? Ah,
Bibi Chiharu! Ada apa? Apa sudah waktunya makan siang?”
Di sana, Mihashi
terduduk di atas tempat tidur sambil memankan kartu-katu yang tergeletak di
lantai.
Senyuman
mengembang di wajahnya ketika ia melihat Chiharu.
“.......................”
“Ah, maaf
berantakan. Karena aku bosan dan tidak ada mainan yang bisa aku mainkan di
sini, aku mencari sesuatu. Lalu aku menemukan kartu-kartu ini di atas
meja...Ti--Tidak apa’kan kalau aku memainkannya...Bibi...Tidak marah kepadaku’kan...?”
Tanyanya dengan
ekspresi wajah polos.
“...........Y--Ya...Silahkan
saja...[Ada apa ini...?].”
Perlahan,
tubuhnya bergetar.
“Oh ya, apa
makan siangnya sudah siap, Bi??”
“Y--Ya, sudah
siap...[Apa yang terjadi di sini!!!?].”
Perasaan yang
aneh menyelimuti dirinya.
“Waah, bagus
kalau begitu. Aku sudah sangat lapar sekali!!” Mihashi berkata dengan nada
girang seperti anak kecil yang mendapat permen.
Ia bangkit
berdiri.
Tak lupa ia
merapikan kartu-kartu yang berserakan di lantai itu dan mengembalikannya
kembali ke atas meja.
Kemudian ia
menggandeng tangan Chiharu.
Chiharu tertegun
dan menurunkan pandangannya ke arah Mihashi.
Mihashi juga
balas menatapnya, kemudian tersenyum lebar.
“Ayo, kita makan
sama-sama, Bi!!”
Dan Chiharu
hanya menanggapinya dengan senyuman kecil.
Masalah kembali
muncul pada saat, Mihashi berkata ‘Ah, sekarang papa pasti sedang makan siang
di kantor. Aku sudah tidak sabar saat ia pulang ke rumah dan membawakan hadiah
untukku. He he he, Mihashi senang~~’.
Kejadian
berikutnya tak jauh berbeda lagi.
Dan berikutnya,
terus seperti ini.
Seperti sebuah
film yang terus berulang.
“.....................”
Ini sudah hampir
seminggu sejak kepindahan Mihashi kemari.
Namun, seolah
waktu seminggu itu adalah ‘satu hari ‘yang sama, hanya saja terus berulang dan
tidak pernah berakhir.
Hari sudah
menjelang siang dan Chiharu duduk di teras rumahnya sambil menatap ke langit.
Cahaya matahari
itu sama sekali tidak mengurangi udara yang dingin.
Chiharu menghela
nafas, kemudian mengalihkan pandangannya ke bawah.
Ia melihat ke
arah telepon genggamnya.
Wajahnya
terlihat tidak sabaran menunggu sesuatu.
Beberapa saat
kemudian ia memejamkan mata lalu melihat sedikit ke dalam rumahnya.
Pandangannya
tertuju ke arah kamar Mihashi.
Namun, gadis itu
sedang tidak ada di sana sekarang.
Mihashi sedang
sekolah hari ini, jadi ia bisa tenang menghadapi hari ini.
Selama seminggu
ini, tidak setiap hari Mihashi sekolah.
Peristiwa
seperti kemarin dan kemarinnya lagi, terus saja berulang sehingga tidak
memungkinkan bagi Mihashi untuk ke sekolah dengan kondisi seperti itu.
Tiap hari, ia
selalu saja membicarakan Chiaki, bahwa ia akan datang dan pulang ke rumah
Chiharu.
Dan Chiharu
selalu memberitahu Mihashi bahwa Chiaki tidak akan kembali.
Tiap kali
berkata seperti itu, kebencian gadis itu terhadapnya seolah meningkat
berkali-laki lipat.
Ia selalu
memaksa untuk pulang dan juga pergi dari rumah.
Meskipun tidak
sepenuhnya menginginkan kehadirannya di sini, ia tidak bisa membiarkannya pergi
begitu saja dan terjadi hal buruk padanya.
Hal yang sama
terjadi ketika Mihashi melihat barang-barang yang berhubungan dengan Chiaki.
Begitu ia
kembali mengingat ayahnya itu, Mihashi akan langsung histeris dan berteriak
memanggil-manggil Chiaki seperti orang tidak waras.
Setelah beberapa
saat mengurung dirinya dan menangis, tiba-tiba Mihashi akan bersikap biasa
seolah tidak ada apapun yang terjadi.
Ia akan menjadi
‘normal’ sesaat sampai akhirnya kembali membicarakan ayahnya dan kembali
histeris.
Kejadian itu
terus terjadi berulang-ulang seperti sebuah siklus yang tidak ada ujungnya.
Sudah seminggu ini
Chiharu tidak bisa tidur dengan nyenyak karena tangisan Mihashi atau harus
menjaganya dari tiba-tiba kabur atau pergi dari rumah.
Terlihat dari
lingkaran hitam di bawah matanya dan wajahnya yang tidak kelihatan bersemangat.
Bahkan tidak
terpikirkan untuk membelanjakan uangnya itu hari ini.
Chiharu juga sudah
beberapa kali ia ingin menelepon Chiaki, namun ia selalu saja sibuk dan tidak
bisa menanggapinya.
Ia ingin agar Chiaki
membawa Mihashi pulang, supaya kehidupannya yang damai kembali.
Ia benci anak
itu!
Ia benci!!
Kalau bisa, ia
ingin membiarkan Mihashi pulang ke rumah Chiaki sendirian.
Biar saja ia
tersesat, asalkan gadis itu tidak berteriak-teriak dan membuat kegaduhan di
rumah dengan sikapnya yang aneh dan tidak menentu.
.............
Ya.
Itu semua akan
ia lakukan seandainya ‘ia bisa’ melakukannya.
Ia tidak
menyayangi Mihashi.
Tapi ia juga
tidak tahu kenapa ia tidak bisa berhenti
peduli.
“kono te wo nigirishimete
kimi ni shika dasenai chikara ga
yume wo genjitsu ni kaete yuku kara
tsuyoi shisen no kanata
mayoi nai futari no sugata ga mieru
dakara susumu no sara naru toki e”
“Ah.”
Chiharu
tertegun ketika suara ringtone HP yang ia genggam dari tadi berbunyi.
Dengan
cepat ia segera mengangkat telepon tersebut.
“Halo...? Ini Chiharu...?”
Suara yang tidak
asing terdengar.
“Ya, ini aku
adikmu!! HEY!! Apa yang kau pikirkan membuatku menunggu selama berjam-jam hanya
untuk bisa menelepon dirimu!!! Sekretaris mu bilang kau akan meneleponku dalam
waktu 15 menit lagi. Tapi, apa!!! Buktinya aku harus menunggu selama 3 setengah
jam!! Kau dengar itu!!!! 3 SETENGAH JAM!!!!!!!”
Teriaknya kesal.
“Ya...Aku tahu itu. Maaf, ya? Aku membuatmu
menunggu. Tapi kau tahu’kan? Aku orang yang sangat sibuk jadi--“
“Aku meneleponmu
bukan untuk mendengar permintaan maafmu!!”
Ia berteriak
keras sekali lagi meskipun suara Chiaki terdengar lemah.
“.................Baik. Apa yang kau inginkan?
Apa uang yang kuberikan padamu sudah habis?”
“Ukh...Kau pikir
aku meneleponmu hanya demi uang?”
“Tapi kau suka uang’kan?”
“........................”
Kali ini,
Chiharu tidak bisa berkata apapun.
Ia memang sangat
menyukai uang.
Tapi masalah
kali ini, jauh lebih berat lagi dari pada itu.
“Iya,iya, aku
paham. Aku memang suka uang. ..........Baik, baik. Aku ingin kau memberiku uang
lagi.”
“Sudah kuduga. Akan segera kusiapkan--“
“Tapi itu nanti
saja. Sekarang ada hal yang jauh lebih penting yang ingin aku bicarakan
padamu.”
Nada bicaranya
berubah jadi lebih serius.
“Tentang apa? Kau terdengar serius sekali--“
“Ini tentang
‘gadis’ itu.”
“.....................”
Tidak ada
jawaban.
“Hey, Chiaki.
Kau dengar aku--“
“Ya. Ayo, kita bertemu.”
“......................”
Dengan jawaban
singkat dari Chiaki, Chiharu menutup telepon genggamnya.
Ia menatap ke
atas langit dan melihat bahwa matahari sudah mulai tertutup awan.
Awan berwarna
abu-abu sudah mulai menyelimuti langit.
Chiharu menghela
nafas kemudian bangkit berdiri.
“Huhhh...Kurasa
lebih baik aku membawa payung...”
***-***
A/N : Hai minna XDD
Mihashi chapter 3
Sankyuu buat yang udah baca XDD
Next Chapter :
Author,
Fujiwara Hatsune