Rabu, 28 Januari 2015

Story : Hide and Seek Chapter 6


Story : Hide and Seek Chapter 6

*Read :    Prologue 

                 Chapter 1

                Chapter 2
            
               Chapter 3


               Chapter 4

             Chapter 5

*Read Another Story :



One Shot-Stories
How To Make A Friend


Hide and Seek
[Don’t let Her Find You...]

Chapter 6 Akhir Dari Permainan ‘Hide and Seek’
“Baiklah, setelah hitungan ketiga, kita berpencar, kemudian dengan perlahan-lahan menuju ke arah gudang. Paham?”
ketika Ryo berkata seperti itu, semua langsung menganggukkan kepala dengan jantung berdebar-debar.
“Ingat hal yang terpenting? Jangan sampai ada yang mati.”
Maka dengan satu kalimat terakhir, yang disertai dengan senyuman tipis itu, Ryo mulai menghitung.
1...
2...
3...
LARI!!! CARI TEMPAT BERSEMBUNYI!!! CEPAAAAT!!

‘10...Waktumu sudah habis. Siap atau tidak, aku akan datang untuk mencarimu...’

Kira-kira, bagaimanakah akhir dari permainan mistis ini?
***-***
“Hah...Haah! [Aku harus sembunyi! Aku harus sembunyi, aku tidak ingin mati!! Tapi, aku harus ke mana!?].”
Berlari sekuat tenaga yang ia miliki untuk menemukan sebuah tempat untuk bersembunyi, Akihara Yukari berlari menyusuri koridor di dalam rumah yang terlihat gelap dan sempit seorang diri.
Sekarang ini, semuanya padti sudah berpencar, mencari tempat untuk bersembunyi dari kejaran hantu itu. Dan apapun yang terjadi, mereka harus berusaha agar hantu itu tidak menemukan mereka, kemudian--
Membunuh mereka.
“Haa...Haah...”
Rasanya, tiap kali mengingat kalau ia tidaklah ‘sendirian’ di dalam koridor sempit ini, Yukari bisa merasakan bahwa tubuhnya dapat jatuh kapan saja. Di tambah dengan berbagai macam perasaan yang sekarang ini bercampur jadi satu dengan dirinya.
Ketakutan,
Putus asa,
Tanpa harapan,
Membuatnya merasa ingin berlari ke pintu keluar dan mendobraknya dengan sekuat tenaga kemudian berharap agar pintu tua itu benar-benar roboh.
Meskipun begitu, sambil terus berusaha melangkahkan kakinya yang terasa berat, Yukari terus berlari dan berlari tanpa henti sedikitpun.
“[Apapun yang terjadi, harus ada yang mengakhiri permainan ini! Aku harus menuju ke gudang tua itu!! Harus!!].”
Tekad Yukari dalam hatinya.
Tapi--

TAP TAP TAP

“!!!!?”
Dengan mata terbuka lebar, Yukari menoleh ke belakang.
Meskipun hanya samar-samar seperti suara angin yang berlalu, tapi suara itu jelas tertangkap oleh kedua telinganya.
“[Suara langkah kaki...Tidak...].”
Sambil menutup kedua mulutnya dengan erat, memastkan bahwa tak ada suara yang keluar, gadis berambut coklat pendek itu menempelkan punggungnya pada dinding.
“[Kenapa--?! Di dalam koridor yang seharusnya tidaka da siapapun selain diriku sendiri--Dia benar-benar mengejar kita! Dia benar-benar mencari kita!! Permainan gila ini benar-benar sudah dimulai!!].”
Yukari menahan nafasnya, semakin menekan dirinya ke dinding di belakangnya.
Langkah kaki itu sepertinya semakin mendekat ke arahnya.
Suaranya memang tidak terlalu jelas, tapi membuat berdebar siapapun yang mendengarnya.

TAP TAP TAP TAP TAP

“[TIDAK!!!].”
Yukari menjerit dalam hati ketika suara langkah kaki misterius itu kembali terdengar.
Ia belum sempat menemukan tempat untuk bersembunyi, apa hantu itu sudah menyadari keberadaannya?
“.............[Jangan, kumohon jangan!!].”
Dengan merapatkan kedua tangannya seperti orang sedang berdoa, Yukari memejamkan mata dan  terus berdoa serta memohon dalam hatinya.
Meski ia tidak melihat sosoknya, tapi ia bisa mendengar bahwa suara langkah kaki itu semakin keras dan semakin keras tiap detiknya, dengan perlahan, mungkin saja roh si anak kedua itu berjalan ke arahnya sambil tersenyum iblis dan membawa pisau untuk membunuhnya.

TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP

“[Ah!!! Jangan--JANGAN!!!].”
Yukari semakin ketakutan ketika suara langkah kaki yang terdengar, berubah menjadi suara seperti orang yang sedang berlari dengan kecepat luar biasa! Dan itu, sedang  menuju ke arahnya!!
“[Tolong aku, tolong aku, tolong aku, tolong aku, TOLONG!!!!!!!].”
Dalam sedetik kemudian--
Suara itu lenyap dan tidak terdengar lagi.
“Haah...Haaaah...Apa--Apa yang--?”
Sambil mengatur nafasnya yang terdengar sangat berantakan, Yukari membuka matanya perlahan begitu menyadari kalau suara langkah kaki itu tidak terdengar lagi.
Ia terdiam sejenak, kemudian memastikan bahwa tak ada suara-suara aneh lagi yang mengikuti langkahnya dari belakang.
Setelah yakin bahwa suara langkah kaki atau suara yang seharusnya tidak ada itu benar-benar sudah menghilang, Yukari mencondongkan tubuhnya ke depan, kemudian melihat ke ujung koridor yang baru saja ia lewati.
Tempat itu sekarang benar-benar terlihat gelap dan menakutkan. Di tambah dengan tidak adanya satupun pencahayaan di dalam rumah tua ini, membuat suasana menjadi semakin mengerikan. Dan Yukari sampai saat ini masih tidak percaya, kalau ia baru saja berlari melewati koridor menyeramkan dengan hawa dingin yang menyebar di sekelilingnya.
“.............[Bukan saatnya aku diam di sini. Roh si anak kedua itu bisa datang kapan saja. Aku harus bergegas!].”
Tanpa mengatakan apapun, Yukari kemudian meraba-raba dinding di belakangnya, lalu mulai berjalan pelan sambil mendekatkan tubuhnya sedekat mungkin pada dinding.
“[Apapun yang terjadi, aku tidak boleh membuat suara! Aku harus tenang!!].”
Tidak berlari seperti sebelumnya, Yukari berjalan menyusuri tempat itu dengan perlahan.
Ia tahu, hantu itu bisa muncul kapan saja dan segera menemukan dirinya, karena itu ia harus segera mencari tempat persembunyian. Namun, karena suasana yang gelap, Yukari bahkan tidak tahu di bagian mana dalam rumah ini ia berada.
Apakah di dalam koridor menuju dapur, atau koridor menuju ke ruang tamu, atau mungkin menuju ke kamar salah satu anggota keluarga.
Tapi dia tahu, untuk memenangkan permainan ini, ia harus pergi ke gudang di mana terdapat lemari tua tersebut. Kalau begitu, untuk menemukan di mana gudang itu berada, ia harus memastikan bahwa dirinya berada di tempat yang terdekat dengan gudang itu.
Dan itu adalah--
“[Dapurnya. Itu adalah tempat terdekat dengan gudang. Jika saja seandainya aku bisa ke dapur, maka aku pasti bisa ke gudang juga! Aku harus ke tempat yang menyebabkan ‘tragedi’ dan permainan in terjadi].”
Ketika ia berpikiran seperti itu, sebuah pertanyaan muncul di dalam kepalanya.
Ia tahu, bukan saat yang tepat untuk membahas itu. Namun ia sama sekali tidak bisa menghilangkan pertanyaan itu dari kepalanya.
“.................[Entah kenapa, sekarang ini aku justru penasaran dengan si anak pertama. Apa yang terjadi padanya setelah kebakaran itu? Kenapa ia pergi dan seolah menghilang begitu saja? Apa dia masih hidup? Atau--].”
Yukari menghentikannya sampai di situ bersamaan dengan langkahnya yang juga ikut terhenti.
Ia terdiam di tempatnya seolah sedang mencari jawaban untuk pertanyaannya tersebut.
Namun dengan segera, ia menggelengkan kepalanya. Sepertinya memang bukan saat yang tepat untuk membahas masalah itu di sini. Ia juga tidak peduli dengan apa yang terjadi pada si anak pertama itu karena yang harus ia pedulikan di sini adalah nasibnya dan teman-temannya.
“[Jangan ada yang mati--!!].”
Tiba-tiba saja, Yukari teringat akan perkataan Ryo.

“Ingat hal yang terpenting? Jangan sampai ada yang mati.”

Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan oleh pemuda super dingin itu sebelum mereka berpisah.
Sebuah kata-kata yang singkat, namun tersirat makna yang sangat dalam.
“[Apa yang kau pikirkan ketika kau mengatakan kalimat itu? Apa kau memikirkan kami semua?].”
Yukari berkata dalam hati sambil kembali melangkahkan kakinya di atas lantai kayu yang sudah sangat tua.
Kata-kata itu dipenuhi oleh perasaan Ryo. Perlahan-lahan, senyuman pemuda itu ketika mengucapkan kalimat pendek itu terbayang di benak Yukari. Dan entah karena itu hal yang tidak biasa atau hal yang sangat aneh, Yukari tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa dengan volume suara yang pelan.
“Aha ha ha, bodoh. Kenapa aku malah tertawa di saat seperti ini? Dan yang lebih bodohnya lagi, kenapa di saat-saat paling menegangkan dalam hidupku, justru wajah orang itu yang terbayang?”
Wajah Ryo yang biasanya terlihat dingin dan tidak peduli akan apapun, ternyata bisa juga menunjukkan sebuah senyuman seperti itu.
Dan Yukari tidak tahu kenapa, tapi ia merasa kalau senyuman itu sangat spesial.
Perlahan, ia meletakkan sebelah tangannya di atas dada. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar dengan keras, tiap kali wajah Ryo terbayang di dalam pikirannya.
Jauh di dalam hatinya, ia ingin agar Ryo bisa selamat.
“[Tidak, bukan cuma Ryo. Tapi Aoi, dan juga Kazuya...].”
Ketika ia memikirkan sahabat-sahabatnya itu, wajah mereka satu per satu muncul dalam pikirannya.
Ia tidak pernah merasa kalau hari seperti ini akan datang. Ia selalu berpikir kalau sampai seterusnya ia akan selalu bisa melihat senyuman Aoi, beradu mulut dengan Kazuya, dan--
Dan bisa terus berada di sisi Ryo.
Karena itu,
Apapun yang terjadi, mereka harus keluar berempat. Tidak akan mereka biarkan hantu itu menemukan mereka, kemudian membunuh mereka dan memenangkan permainan ini.
 Sudah saatnya, permainan ‘Hide and Seek’ mencapai titik akhirnya.
Agar hari-hari yang selalu mereka jalani berempat itu bisa terus berlangsung.
“[Aoi, Kazuya, Ryo--Kalian harus selamat! Apapun yang terjadi, kita pasti akan keluar dari sini bersama-sama!!].”
Dan ditiap langkah Yukari, terucap doa- doa bagi keselamatan teman-temannya, sampai akhirnya ia menemukan sebuah pintu, masuk ke dalamnya, beberapa langkah kemudian, pintu itu terbanting dan tertutup dengan suara keras.
***-***
Tempat itu sangat gelap, sampai-sampai pemuda berambut putih berantakan itu, Fujiwara Ryo, tidak bisa melihat tempatnya berpijak.
Setelah ia berlari menyusuri koridor, Ryo akhirnya menemukan sebuah pintu. Pintu itu terlihat sudah sangat rapuh. Namun, ia tidak bisa menendang pintu tersebut hanya untuk membuatnya hancur. Bagaimanapun juga, suara yang terlalu berisik akan membuat roh si anak kedua itu menyadari keberadaannya.
Karena itu, ia mendekatkan dirinya pada dinding, kemudian sambil berusaha memastikan bahwa ia tidak membuat suara yang gaduh, Ryo memutar gagang pintu perlahan dan dengan segera, ia masuk ke dalamnya untuk bersembunyi.
Di sinilah ia sekarang.
Bersembunyi di sebuah ruangan gelap, yang ia sendiri bahkan tidak tahu ruangan apa itu.
Dengan tubuh sedikit bergetar dan keringat yang turun membasahi wajahnya, Ryo berdiri dan menekan punggungnya pada pintu itu seolah berusaha menghalangi siapapun masuk ke dalam.
Ia berusaha mengatur nafasnya yang berantakan sambil melihat ke sana kemari.
“.............[Tempat apa ini? Aku sama sekali tidak bisa melihat apapun!].”
Ryo berusaha menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas lagi, apa yang berada di ujung ruangan ini.
Kelihatannya tidak terlalu luas.
Pemuda itu kemudian sedikit melirik ke belakang, ke arah pintu.
Dan kemudian,
Ia jatuh terduduk.
Tangannya lalu terangkat ke depan, menunjukkan sebuah salib yang kini terlihat memiliki noda merah. Pasti darah luka gores akibat pisau itu menempel pada salibnya.
“.....................................”
Tanpa mengatakan apapun, ia duduk membelakangi pintu, lalu memeluk kedua lututnya dengan erat.
“................[Sebenarnya...].”
Sebenarnya--
“[Apa guna kita melakukan semua ini? Permainan ini? Sejak awal, Kazuya begitu ingin memainkan permainan gila ini. Tapi, kenapa?! Demi mendapatkan perasaan berdebar-debar ketika tahu kalau ada sesuatu yang tak terlihat mengikuti kita dari belakang? Atau mungkin, merasakan sensasi aneh ketika kita tahu, kalau bisa saja ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di samping kita, padahal tidak ada siapapun di sana?! Perasaan yang sedang kurasakan saat ini--Apa ini yang dia maksud!? Tapi--Tapi, kenapa!? Hanya untuk itu--].”
Hanya untuk merasakan hal konyol seperti itu, dia sampai rela mengorbankan nyawanya sendiri demi melakukan permainan bodoh ini!?
Ia kembali teringat dengan senyuman licik dan aneh yang selalu dibuat oleh Kazuya tiap kali dia memainkan permainan berbau mistis. Dan dari situ, memang jelas sekali, bahwa Kazuya memang benar-benar menikmati tiap detik dari perasaan aneh ini. Sepertinya, dia hidup dari perasaan ini.
“Dan sekarang--Dia membawa-bawa kita ke dalam rumah ini...Membawa kita ke dalam permainan ini...! Bagaimana bisa dia berbuat sampai sejauh itu!? permainan ini, ‘Hide and Seek’, jelas-jelas sangat berbeda dari permainan mistis lainnya seperti ‘Hitori Kakurenbo’, ‘Kokkuri-san’, maupun Oujia Board!! Permainan ini--Sudah berada di level berbahaya! Kalau salah satu langkah saja, kita akan benar-benar terbunuh!! Kita semua bisa mati--Dan aku tidak mau itu!!”
Ryo berteriak dengan suara yang berusaha ia tekan agar tidak terlalu keras sambil meremas rambutnya yang sedikit panjang di bagian ujung.
Dari nada bicaranya itu, bisa terdengar rasa takut yang amat sangat. Rasanya air mata bisa saja turun membasahi wajah putih pucatnya itu.
“Aku tidak mau mati...Aku tidak mau--Tidak mau! Sejak awal kita tidak harus melakukan semua ini! Permainan ini--Kenapa?! Kenapa dari semua permainan harus yang ini!!? Kenapa!?”
Sekali lagi, ia berteriak, bukan kepada siapapun, melainkan kepada dirinya sendiri.
Seandainya saja ia bisa memutar semuanya, seandainya saja ia tahu kalau akhirnya akan seperti ini, maka ia, tanpa ada setitik rasa ragupun pasti akan melakukannya.
Masalahnya, ia sama sekali tidak memiliki kemampuan seperti itu. Yang bisa ia lakukan sekarang ini hanya menjalani apa yang sudah terjadi dan menerima semua kenyataan pahit yang menyakitkan ini. Kenyataan bahwa mereka telah terjebak di dalam rumah ini, kenyataan bahwa mereka telah terlibat dalam permainan kematian ini, kenyataan bahwa mungkin saja nyawa mereka tinggal beberapa detik lagi, hanya bisa berharap pada sebuah salib di tangan yang akan mengakhiri semuanya.
Perlahan, ia menoleh ke bawah, melihat ke arah salib yang kini berada di genggaman tangannya.
“Ukh..!!”
Dengan pandangan tersiksa, Ryo menggenggam salib itu lebih keras lagi.
Inilah perasaannya yang sebenarnya.
Perasaan yang berusaha ia tahan dan pendam. Perasaan yang tidak ingin ia perlihatkan pada semuanya.

“Aku sudah bilang, bukan cuma Akihara saja. Tapi, kau, dan bahkan Kazuya,”

Pada saat ia mengatakan hal yang terdengar kuat itu, yang sebenarnya ada dipikirannya adalah, ‘Kenapa aku bisa mengatakan hal seperti itu? Bahkan untuk melindungi diriku sendiri saja aku sudah merasa tak mampu’.

“Tidak akan kubiarkan ada yang mati. Kita semua pasti akan keluar dari rumah ini! Tidak boleh sampai ada korban lagi!”

Ketika ia mengatakan kalimat itu, bahkan ia sendiri tidak merasa yakin kalau mereka bisa keluar dari sini dengan selamat.
“[Aku tidak tahu--Aku tidak tahu apa kita benar-benar bisa keluar dari rumah ini! Aku hanya tidak ingin mati!!].”


“Semuanya tenang!! J--Jangan panik! Kalau kita menimbulkan suara, maka dia akan menemukan kita!!”

“[Aku takut, aku takut, aku takut, takut, takut!!].”
Bahkan mungkin diantara mereka berempat, dialah yang paling merasa ketakutan.

“K--Kita harus selesaikan permainan ini!!!”

“[Selesaikan permainan apanya!!? Apa yang sudah aku katakan!?].”

“Memang ada pilihan lain!!?”
“Tidak ada!! Tidak ada pilihan selain kita harus pergi ke sana, kemudian mengakhiri permainan ini dengan cara yang seharusnya! Kau lihat’kan!? Kita tidak bisa kabur! Kita terjebak!! Dan satu-satunya cara untuk keluar dari rumah ini adalah--SELESAIKAN PERMAINAN BODOH INI!!!!!!

Bahkan ketika ia mengatakan kalau mereka harus kembali ke dalam dan menyelesaikan permainan ini, ia berulang kali mengutuk dirinya sendiri atas usul tersebut. Orang bodoh seperti apa, yang mau kembali masuk ke dalam rumah horor mengerikan seperti ini?! Tidak ada orang waras yang mau melakukan hal seperti itu!
Tapi ia sudah terlanjur mengatakan semua hal itu di depan teman-temannya. Bahkan ternyata pemuda dingin seperti Ryo pun bisa merasa peduli akan keselamatan orang lain. Seandainya kalian bisa melihat wajah seperti apa yang dibuat oleh pemuda berambut putih itu saat ini, pasti kalian tidak akan mengira bahwa ia adalah seorang pemuda yang selalu menampilkan ekspresi datar di wajahnya setiap hari.
Karena wajahnya sekarang, benar-benar terlihat sangat ketakutan.
“...............Apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku bahkan tidak tahu di mana aku berada. Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan permainan ini?! Apa yang harus aku perbuat!?”
Ia berkata sambil meremas rambut dengan kedua tangan.
Sesuatu harus dilakukan.
Kalau tidak, maka mereka akan benar-benar mati.
Dengan perasaan takut yang telah menyebar ke seluruh tubuhnya, Ryo menghela nafas beberapa kali, apapun yang bisa ia lakukan untuk membuatnya sedikit merasa lebih tenang. Tekanan permainan ini sepertinya memang sangat berat.
“[Aku harus tenang. Aku harus berpikir jernih...Kemudian harus berusaha mencari jalan keluar dari sini...Apapun yang terjadi...Aku harus segera menyelesaikan permainan terkutuk ini!!].”
Sambil berpikiran seperti itu, Ryo berusaha sebisa mungkin untuk menyingkirkan dan membuang semua perasaan takut yang ada di dalam dirinya.
Ia kemudian berdiri, lalu berbalik. Memandang ke arah pintu di hadapannya.
“[Sudah berapa lama aku bersembunyi di sini?].”
Dalam permainan ini, bukan hanya tentang bersembunyi.
Tidak akan ada yang selesai kalau kau hanya bersembunyi dan berjongkok di sudut ruangan sambil terus mengucapkan kalimat ‘Semuanya akan baik-baik saja’, dan ketika kau sadar, roh si anak kedua itu--
Pasti sudah ada di sampingmu dan menancapkan pisau itu tepat ke kepalamu.
Untuk menyelesaikan permainan ini sampai benar-benar tamat, kalian haru mengumpulkan seluruh keberanian yang ada di dalam tubuh kalian, kemudian keluar dari tempat persembunyian dan apapun yang terjadi, kalian harus bisa sampai ke gudang tanpa ditemukan oleh sang ‘Demon’.
Ingat, sekali kau mendengar suara seseorang berkata ‘Aku menemukanmu’, maka itu artinya Game Over, dan kau pasti akan terbunuh.
Ryo yang menyadari hal ini, memutuskan bahwa sudah saatnya ia keluar dari tempat persembunyiannya kemudian bergegas menuju ke gudang.
“[Mungkin sudah waktunya aku pergi].”
Ryo lalu mendekatkan tangannya ke arah gagang pintu.

GREP

“?”
Suara orang seperti sedang memegang sesuatu terdengar.
Hanya saja,
Bahkan tangan Ryo belum memegang pegangan pintu tersebut.
“..........................”
Dengan mata terbelalak, sebuah pikiran melintas di benak Ryo,
‘Siapa yang memegang gagang pintu ini di ujung sana?’
‘Akihara, apa itu kau?’
Ia ingin sekali berkata seperti itu.
Hanya saja, apa benar yang ada di balik pintu saat ini adalah Yukari,
Atau--
“!!!”
Mengetahui resiko terburuk, Ryo tidak bisa menghentikan tubuhnya untuk gemetar. Bukan hanya itu, tubuhnyapun terasa kaku.
Ia ingin segera meloncat ke belakang, menuju ke pojok ruangan dan berlindung. Tapi bahkan di saat seperti ini, tubuhnya sama sekali tidak mendengarkannya.

GREK GREK GREK

“Ah--!!”
Gagang pintu itu mulai bergerak.
“[Apa yang harus aku lakukan!!? Siapa di sana!!?].”
Ryo mulai merasa panik.
Namun ia tidak bisa berteriak maupun mengucapkan sesuatu, karena bisa saja, roh si anak kedua itu akan segera menyadari keberadaannya.
Ia lalu mendekatkan tubuhnya ke arah pintu, dengan jantung berdebar dengan kencang, ia menundukkan tubuhnya sedikit agar sejajar dengan lubang kunci pada pintu tersebut.
Ryo kemudian mendekatkan matanya untuk melihat siapa yang berada di luar sambil berharap bahwa sosok itu adalah Yukari atau mungkin Aoi atau Kazuya.
Dan,
Yang nampak di mata Ryo adalah--
Sebuah senyuman.
Senyuman yang sangat mengerikan,
Bersamaan dengan suara tawa,
Seorang gadis kecil...
‘Hi hi hi, kaukah itu di sana?’
***-***
“Semoga dia tidak menemukanku di sini, semoga dia tidak menemukanku di sini...”
Sambil terus mengulang kalimatnya seperti sebuah doa, Asahina Aoi, berdiri bersandar pada pintu dengan tangan di dekat dada seperti orang sedang berdoa.
Aoi yang terus bersandar pada pintu, dapat merasakan bahwa pakaiannya sedikit basah karena air yang menempel pada punggungnya.
Ia sekarang sedang bersembunyi di salah satu ruangan yang sepertinya adalah kamar mandi.
Bukan hanya itu, tapi tubuhnya terlihat basah, bukan karena air, melainkan sebuah cairan berwarna merah terlihat menempel pada pakaian dan juga wajahnya.
“.....................”
Dengan tatapan ketakutan, mata Aoi melihat ke sana kemari, mengamati keseluruhan ruangan yang sangat gelap ini.
Meskipun sangat gelap, tapi ia bisa mendengar suara tetesan air, yang entah kenapa, membuatnya merinding. Di sudut ruangan, samar-samar, Aoi bisa melihat ada sebuah bak mandi berukuran cukup besar. Ketika mengetahui hal itu, tak ada sedikitpun keinginan dalam diri Aoi untuk mendekat ke sana. Hal itu disebabkan karena ia sudah sangat sering menonton adegan-adegan dalam film horor bersama ketiga sahabatnya.
Hanya membayangkan adegan-adegan itu saja, tubuhnya menjadi semakin gemetar.
Aoi sama sekali tidak ingin beranjak dari tempatnya berdiri saat ini. Kalau bisa, ia ingin terus bersembunyi di dalam sana. Tidak ada orang yang mau mengambil resiko bertemu dengan hantu itu di luar sana. Dan tidak ada yang mau mengambil resiko untuk pergi ke lemari itu dan menyelesaikan permainan ini.
Begitu juga dengan gadis berambut hitam panjang itu. Matanya yang berwarna biru seperti laut terlihat berkaca-kaca. Setetes air mata masih terlihat di dekat kedua matanya dan bisa terjatuh ke atas lantai yang basah kapan saja.
Perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke arah salib yang berada di dekapannya. Ekspresi wajahnya langsung berubah semakin ketakutan.
Dengan suara bergetar, Aoi berkata dengan pelan,
“..............Dari semua tempat yang ada--Kenapa aku harus bersembunyi di sini...? Apa--Apa aku yang harus--[Menyelesaikan permainan ini?].”

Ketika ia sedang berlari untuk menemukan tempat bersembunyi, Aoi berusaha untuk mencari tempat bersembunyi yang setidaknya, berada paling jauh dari gudang. Alasannya sangat mudah,
“[Aku tidak ingin harus terlibat langsung! Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan ketika aku sampai di sana! Aku hanya tidak ingin mati!! Maaf! Maaf’kan aku!!].”
Dalam hati, Aoi tidak berhenti mengucapkan permintaan maaf-nya pada teman-temannya.
Ia minta maaf karena ketika mereka harus menuju ke dapur dan mengakhiri permainan ini, Aoi jutsru memilih untuk menghindari tempat itu agar dirinya aman.
Jika dibandingkan dengan ketiga sahabatnya, Aoi memang tergolong yang paling penakut. Ia sudah bisa menduga bahwa dirinya pasti tidak akan bisa bergerak begitu sampai di depan lemari dan harus menyelesaikan permainan ini.
Menancapkan salib kemudian menghabiskan nasi, Aoi tidak tahu apakah dirinya bisa melakukan itu tanpa berteriak keras atau menangis.
Karena itu, ditengah kegelapan yang menyelimuti setiap langkahnya, Aoi yang tidak bisa melihat dengan jelas ke mana kakinya pergi membawa dirinya, terus berharap supaya dia tidak berakhir di gudang, atau di dapur, tempat yang paling dekat dengan gudang.
Meski semua temannya mungkin sedang berusaha menahan rasa takut mereka untuk pergi ke tempat terkutuk itu, Aoi sama sekali tidak mampu melakukannya. Ia memilih lari, dan terus bersembunyi sampai setidaknya salah satu diantara Kazuya, Yukari atau mungkin Ryo menyelesaikan permainan ini.
“..........................”
Sambil melihat ke bawah, muncul setitik rasa bersalah di dalam hati Aoi.
“[Tak peduli seberapa ketakutannya mereka, Yukari-chan, Fujiwara-kun dan juga Azamaki-kun pasti akan mencari segala cara agar mereka bisa menemukan gudang itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi mereka saling percaya satu sama lain. Mungkin mereka juga percaya padaku. Tapi...Sekarang justru aku merasa seperti mengkhianati mereka semua].”
Kata-kata Ryo yang berteriak ‘Selesaikan permainan ini!!’, terdengar sangat jelas di telinga Aoi.
Namun, ia berusaha keras agar suara itu menghilang dari kepalanya.
Sejak awal, ia sudah tidak ingin terlibat langsung dengan permainan ‘Hide and Seek’. Meskipun begitu, rasa penasarannya dan keinginan Aoi untuk membantu Yukari, telah membawanya menuju ke dalam rumah ini.
Ia selalu berpikir, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Selain ada Yukari di sisinya, juga ada Ryo yang berjanji akan melindungi semuanya.
Tapi--
Siapa yang tahu kalau kejadiannya justru akan seperti ini.
Bukan hanya sudah terkurung di dalam rumah ini, sekarang mereka seolah dipaksa untuk menyelesaikan permainan ini sampai benar-benar selesai.
“[Kenapa bisa jadi seperti ini--?! Kenapa akhirnya malah seperti ini!? Tolong--Siapa saja, tolong aku!! Aku tidak ingin bermain!! Aku tidak ingin bermain!!! Maaf!! Maaf aku tidak bisa diandalkan! Maaf aku tidak bisa melakukannya!! Maaf kalau aku malah melarikan diri! Aku minta maaf...Yukari-chan..].”
Aoi berteriak di dalam hati, berlari dengan wajah yang dipenuhi oleh air mata.
Tak peduli apakah Yukari yang mengatakan pada dirinya,

“Apapun yang terjadi, jangan bersuara, jangan berteriak! Langkahkan kakimu dengan perlahan menuju ke arah gudang. Kalau kau ketakutan, kau diam dan bersembunyi saja. Biar aku, Ryo atau Kazuya yang akan mengakhiri permainan ini!”

Tetap saja,
Perasaan bersalah itu tidak akan bisa hilang.

“Ah--!!”
Aoi berteriak, ketika dirinya tidak sengaja tersandung sesuatu yang membuat keseimbangannya goyah.
Akibatnya, Aoi jatuh dan menimbulkan bunyi ‘Braaakh’, yang sangat keras di lantai kayu itu.
“Uh...Sakit...”
Kata Aoi pelan sambil berusaha menopang tubuh dengan sebelah tangan.
Namun, ia langsung tertegun, ketika ia baru menyadari kalau ia sudah menimbulkan suara yang sangat berisik.
Dengan cepat, ia langsung menutup mulut, menahan keinginannya untuk berteriak kencang.
“[Dia datang--!!?].”
Perlahan, Aoi menengok ke belakang, memberanikan dirinya untuk melihat apakah roh si anak kedua berada di belakangnya atau tidak.
“........................”
Beberapa detik dalam kesunyian, Aoi akhirnya bisa sedikit menghela nafas lega.
Meskipun ia sudah menimbulkan suara yang cukup berisik, tidak ada siapapun di sekitarnya.
“Untunglah...Sepertinya aku selamat...”
Kata gadis berambut hitam panjang itu sambil meletakkan sebelah tangan di dadanya, lalu bangkit berdiri dan memastikan bahwa ia tidak menimbulkan suara yang keras lagi.
Ia kembali menginjakkan kaki di atas lantai kayu yang menimbulkan bunyi decit, yang entah kenapa terdengar menakutkan di ruangan gelap yang sepi. Namun, ketika ia melihat ke arah telapak tangannya,
“Eh, apa ini?”
Mengamati sesuatu berwarna hitam yang sepertinya menemple pada telapak tangannya, Aoi berkata pada dirinya sendiri dengan pelan.
Cepat-cepat, gadis itu menepuk-nepuk kedua tangannya, berusaha menyingkirkan sesuatu berwarna hitam tersebut, yang ternyata adalah abu.
“[Abu? Kenapa bisa ada abu di lantai...?].”
Pikirnya dalam hati.
Perlahan, Aoi terdiam di tempatnya dan mengamati kedua telapak tangannya. Masih tersisa sedikit abu berwarna kehitaman.
Ia kemudian ingat bahwa dulu pernah terjadi sebuah kebakaran di rumah ini, yang menewaskan si anak kedua.
Kebarakan yang memunculkan sebuah permainan kematian, ‘Hide and Seek’.
“[Ah, iya, dulu pernah ada sebuah kebakaran di rumah ini. Tidak aneh kalau ada abu di bekas kebakaran...”
Sambil mengusap-usap abu ditangannya dengan jari, pikiran Aoi melayang ke kejadian 4 tahun yang lalu...
“[Kebakaran tragis...Yang menyebabkan kematian si anak kedua, yang kini masih menunggu sang kakak untuk melanjutkan permainan ‘Hide and Seek’ itu...].”
Entah kenapa, ekspresi ketakutan yang sebelumnya selalu terlihat di wajahnya, berubah menjadi sedih.
“[Aku tidak tahu kenapa...Tapi sekarang aku seperti merasa sedikit kasihan pada anak kedua keluarga Yamasaki. Kalau saja sang kakak tidak meninggalkan adiknya di dalam dan keluar sendirian...Pasti kita berempat, juga semua orang yang menghilang di rumah ini...Tidak akan pernah terjebak di dalam rumah ini...].”
Ya, seandainya saja kebakaran itu tidak pernah terjadi...
Seandainya saja--
“[Tunggu...Kebakaran...? Kebakaran...!?].”
Tiba-tiba, Aoi langsung tertegun kaget. Kedua matanya terbuka lebar dan kulit putihnya terlihat semakin pucat.
Ia kemudian menunduk dan menyentuhkan tangannya pada lantai kayu itu sekali lagi. Langsung saja, tangannya kembali menjadi hitam tertutup abu. Bukan hanya itu, sebelumnya ia tidak sadar karena suasana yang gelap, tapi ketika ia melihat ke pakaian berwarna putih yang biasa ia kenakan, beberapa bagiannya hampir berwarna hitam.
Mungkin karena terjatuh tadi, pakaiannya jadi terkena abu. Tapi, bukan itu masalahnya. Abu yang sangat banyak hampir memenuhi seluruh lantai kayu, menandakan bahwa tempat itu, tempat di mana ia berdiri sekarang, pasti pernah terbakar dengan hebatnya.
“[Tidak...Itu tidak mungkin! Tidak mungkin aku berada di--Tidak!].”
Tentu saja, siapa yang tidak akan merasa ketakutan ketika ia mengetahui, kalau ia justru berakhir di tempat yang paling ditakuti.
Aoi kemudian berusaha meneruskan langkahnya di dalam kegelapan. Entah kenapa di saat ia melangkah, ia seolah bisa mendengar suara anak kecil yang sedang tertawa, mengiringi tiap langkahnya yang terasa berat.
Namun ia tidak menggubris hal itu dan meneruskan langkahnya, menyusuri dan berusaha memastikan, di mana dia berada saat ini.
“[Bukan hanya ‘tempat’ itu saja yang hangus karena kebakaran itu! Iya, mungkin aku ada di bagian rumah lain, yang juga terkena api pada waktu itu...].”
Ia berusaha menyingkirkan semua kemungkinan negatif dan terus mencoba untuk berpikir positif sebisa mungkin. Meski sejak awal Aoi bukanlah gadis yang banyak dipenuhi oleh pikiran-pikiran positif seperti itu, sekarang ia mencoba untuk berubah jadi salah satunya.
Tapi...
“..............[Tidak...].”
Semua usahanya itu langsung sirna, ketika ia melihat sesuatu.
Sebuah panci yang setengah hangus terlihat dibalik kegelapan yang menyelimuti. Anehnya, meskipun itu adalah sumber kebakarannya, tapi panci itu tidak terlalap api sampai benar-benar menjadi abu.
“.....................”
Sekarang, Aoi sudah tahu di mana dia berada.
Tempat yang paling ingin ia hindari, dapur.

BRUUUKH

Ia bisa merasakan tubuhnya melemah ketika jatuh terduduk di atas lantai kayu yang terlihat gelap.
“.............[Kenapa....? Aku...Bisa berada di sini...?].”
Kata Aoi dalam hati, dan air mata perlahan mulai menetes ke atas lantai.
Ia berlari jauh di dalam kegelapan. Berlari, berlari dan terus berlari tanpa henti. Jauh di dalam kegelapan, ia terus berharap agar ia tidak berakhir baik di dapur maupun di gudang. Ia tidak ingin tanggung jawab itu menjadi miliknya. Ia tidak ingin mati.
Apa karena gelap, ia jadi tidak tahu ke mana ia berlari dan justru berlari ke arah dapur?
Ataukah...Rumah ini memiliki semacam ilusi, yang membuatmu bisa berakhir di suatu tempat, meski kau tidak menuju ke arahnya?
Apa karena--
“.............[Jangan-jangan...Ini hukuman atas kelakukan egoisku...? Karena aku ingin menyelamatkan diriku sendiri...Sementara teman-temanku yang lain...Yukari-chan, Fujiwara-kun dan juga Azamaki-kun berusaha sekeras mungkin untuk menyelamatkan semuanya juga diri mereka sendiri...Apa karena aku ingin bermain aman...Dan Tuhan melihat hal itu di dalam diriku...Lalu membiarkanku berakhir seperti ini...?].”
Ha ha, entah kenapa rasanya justru ingin tertawa. Membayangkan semuanya hanyalah sebuah lelucon saja...Pasti akan terasa sangat lucu!
Kalau saja ia bisa melakukannya...
“...................Ha ha...Jadi, aku yang pada akhirnya harus--[Melakukan semuanya? Nyawa semuanya sekarang ada di tanganku?].”
Aoi berkata dalam hati, anehnya meskipun ketakutan terlihat sangat jelas di wajahnya, sebuah senyuman tipis justru terlihat bersamaan dengan turunnya air mata tersebut.
“[Aku pikir, yang mungkin akan menyelesaikan permainan ini adalah Yukari-chan...Atau mungkin Fujiwara-kun...Mereka yang memiliki keinginan sangat kuat untuk melindungi semuanya...Mereka berdua yang berusaha paling keras...Tapi...].”
Semua itu salah.
Bukan hanya mereka berdua yang harus menyeleasikan permainan ini, melainkan mereka berempat, termasuk juga dirinya.
Melarikan diri dari permainan ini, harusnya ia sudah tahu kalau akan menjadi hal yang mustahil.
Dan pada saat itu,

TES TES TES

“!!?”
Tubuh Aoi membeku di tempatnya. Rasanya seluruh sarafnya dipenuhi dengan perasaan takut yang telah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya.
Apa itu tadi?
“[Suara tetesan air? Tapi dari mana...?].”
Dengan perlahan, Aoi kembali bangkit berdiri.
“......................”
Ia kemudian mulai kembali melangkah, meskipun rasa cemas yang amat sangat masih menguasai sebagian tubuhnya, jadi sulit bergerak sesuai yang dia inginkan.
Namun, entah karena rasa penasaran atau hanya ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, dan itu bukanlah sesuatu yang akan membuatnya berteriak sekencang mungkin dan terbunuh.
“..................”
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, bahkan mengusahakan supaya langkah kakinya tidak sampai terdengar, Aoi, gadis berambut hitam yang terlihat menyatu dengan kegelapan itu, melangkahkan kedua kakinya ke arah sumber suara.
Mungkin terdengar sangat kecil, tapi sangat menganggu pikiran Aoi. Ia tidak bisa menahan sesuatu yang terus berteriak di dalam dirinya ‘Hentikan! Cepat mundur!!’. Ia harus memastikan, kalau ia benar-benar aman.
“...................Kran?”
Aoi menatap ke arah kran yang terlihat sudah berkarat dan setengah terbakar itu.
Tempat ini memang sangat gelap, sangat sulit untuk melihat sesuatu dan hanya bisa menebak-nebak sesuatu yang mungkin ada di depan kita. Namun tentu saja, di dapur, terdapat sebuah bak pencucian piring, dan Aoi tahu, suara tetesan air yang terdengar misterius itu berasal dari sana.
Aoi lalu meraba-raba kran air itu dengan perlahan. Mungkin memang aneh. Suara tetesan air itu sama sekali tidak terdengar lagi di telinga Aoi, seolah menghilang ditelan bumi. Bukan hanya itu, bahkan sepertinya kran itu sudah sangat tua dan rusak. Tidak seharusnya kran itu bisa mengeluarkan air, barang setetespun...
“.............[Sudah tidak terdengar...].”
Ia meletakkan sebelah tangan di atas dadanya. Aoi bisa merasakan jantungnya terus berdebar dengan kencang.
Setelah memastikan tidak ada apapun, gadis bermata biru itu kembali berbalik--

SRAAAAAASH

“Uh!!”
Ia meloncat kaget sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.
Keringat dingin kembali mengalir dari dahinya.
Menoleh kembali ke arah kran air itu, tubuh Aoi sama sekali tidak berhenti untuk bergetar, ketika ia, melihat hal yang tidak masuk akal telah terjadi tepat di kedua matanya.
Air, dalam jumlah yang sangat banyak, keluar dari kran air tersebut.
“[Ah! Ini tidak mungkin!!].”
Aoi tersentak kaget, kemudian otomatis langsung berjalan mundur, tubuhnya tidak sengaja menabrak sesuatu di belakangnya, yang sepertinya sebuah meja.
Tidak ada yang memutar kran itu, tidak ada yang menyentuhnya, tapi kenapa airnya bisa menyala sendiri? Siapa yang melakukannya?!
Pikiran-pikiran itulah yang menyelimuti diri Aoi, ketika air di dalam kran itu mengalir, dan bahkan terus mengalir semakin deras, menimbulkan suara yang sangat berisik!
“[Ah, hentikan”].”
Aoi menjerit dalam hati sambil menutup kedua telinga dan matanya.
 “............”
Meski tidak melihat, tapi Aoi bisa merasakan kalau sesuatu telah mengalir ke arahnya.
Sesuatu yang basah.
Dengan pelan, Aoi sedikit mengangkat sebelah kakinya dan menghentakkannya ke lantai, untuk merasakan suara air yang kini sepertinya berada tepat di bawah kedua kakinya.
Kemudian, yang dilakukan oleh Aoi selanjutnya adalah, membuka kedua matanya dan sedikit mengintip ke bawah--
“............[Huh...Ini hanya aku atau...].”
Cairan itu terlihat berwarna merah?
“Tidak!! Tidak!!!”
Begitu sadar kalau ternyata air itu sudah berubah menjadi darah, Aoi langsung histeris dan tidak bisa menghentikan dirinya untuk berteriak keras!
“[Tidak! Aku ingin pergi!! Bawa aku pergi dari sini!!!!!].”
Cepat-cepat, ia segera memutar badannya dan berbalik, kemudian--
‘Hi hi hi...’

DEG!!!

Suara tawa, terdengar dari lorong gelap di depan Aoi.
Satu-satunya lorong yang bisa membawanya menjauh dari dapur--
Tapi, kenapa!?
 “A--KYAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!
Terkejut, tubuh Aoi tersentak ke belakang, karena lantai yang dilumuri oleh darah kental berwarna merah, Aoi tidak bisa menjaga keseimbangannya dan jatuh.
“Hah!! Ah!!!”
Berusaha bangkit, namun sangat sulit karena darah telah melumuri hampir seluruh bagian tubuhnya!
“[Aku tidak ingin mati!!! Tidak ingin!!!! Tolong aku!!!!!].”
Aoi terus bangkit, namun sesekali terjatuh. Apapun yang terjadi, ia berusaha menjauh sejauh mungkin dari tempat itu!!
‘Hi hi hi, onee-san...Apa kau yang berlari di koridor dengan tubuh berlumuran darah itu...?’
Suaranya yang terdengar seperti anak gadis pada normalnya, namun terdengar seperti sebuah pesan kematian bagi yang mendengarnya!
“[Roh si anak kedua itu ada di sini!! Aku harus segera mencari tempat persembunyian!!! Tidak akan--Kubiarkan dia menemukanku!!].”
Lalu, dengan menggunakan seluruh kekuatannya, Aoi bangkit berdirim dan sambil meraba-raba dinding di dekatnya, gadis itu, berjalan menyusuri lorong yang gelap secepat mungkin dengan nafas tersengal-sengal.
Kemudian, ketika ia melihat sebuah pintu, segera, ia langsung masuk ke dalamnya tanpa mengecek ruangan apa itu terlebih dahulu.

Dan akhirnya, tubuh Aoi yang berlumuran dengan darah merah, berakhir di kamar mandi, ruangan yang terletak tepat di samping gudang, dengan salib digenggaman kedua tangannya.
“..................Apa yang harus aku lakukan...? Yukari-chan...”
Aoi yang terduduk, memeluk kedua lututnya dan menyembunyikan wajahnya. Luka gores di pipinya terlihat samar dengan darah yang memenuhi tubuhnya.
Suaranya yang terdengar bergetar, menghilang terbawa angin...
***-***
“Aku tidak ingin mati, aku tidak ingin mati, aku tidak ingin mati, aku tidak ingin mati--“
Mengulangi kalimatnya tersebut, Azamaki Kazuya berjalan cepat di koridor yang sepi dan juga dingin. Hanya dipenuhi dengan suara langkah kaki yang cukup keras. Meski itu, ia terlihat sedang menahan rasa sakit akibat luka yang ia buat sendiri di kakinya. Darah sudah tidak terlihat lagi, dan jujur, ia sampai tidak ingat mengenai luka itu. Terlalu terbawa suasana, penjelasan yang paling tepat.
Tidak sampai saat ini, ketika rasa sakitnya kembali terasa.
Itu sedikit memperlambat langkahnya.
Meski tubuhnya sedikit gemetar karena takut, namun ekspresi wajahnya dan juga mata yang menyorotkan kemarahan iblis itu, masih terlihat dengan jelas di wajahnya.
Entah apa yang ada dpikiran pemuda bertopi merah itu, sehingga ia tidak memelankan suara langkahnya, melainkan terus berjalan seperti orang yang hendak memukul sesuatu dengan kedua tangannya yang mengepal.
Kazuya terus bergerak, sepertinya kegelapan di sekitarnya tidak membuat langkahnya terasa sulit. Atau mungkin, itu karena ia tidak mempedulikannya. Karena yang ada dipikirannya saat ini adalah--
“Aku tidak ingin mati!!”
Hanya dengan itu, maka Kazuya menggenggam erat salib di tangannya. Sangat erat seolah-olah kulit tangannya bisa tergores salib yang tajam itu. Ia melangkahkan tubuhnya tanpa gentar, langsung menuju ke arah gudang.
“................”
Bahkan, Kazuya tidak mengucapkan sepatah kata apapun, ketika akhirnya dia berakhir di sudut sebuah koridor, dan entah apa yang tersembunyi di balik sebuah pintu berwarna merah dengan banyak goresan di sana.
“Pintu apa ini...?”
***-***
GREK GREK GREK

“Tidak bisa...Tidak bisa terbuka--!”
Sambil terus berusaha memutar gagang pintu yang tiba-tiba menutup dengan sendirinya itu, Yukari terlihat benar-benar panik. Ia pun berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang terlalu berisik agar roh si anak kedua itu tidak bisa menemukannya.
Gadis berambut coklat pendek itu, sebenarnya sangat ingin berteriak dengan keras, meminta seseorang atau jika harus memohon untuk membukakan pintu itu. Mau bagaimanapun juga, terkurung di dalam sebuah rumah tua dengan permainan kematian itu, adalah hal yang sangat mengerikan.
Sedikit shock dengan kejadian tiba-tiba barusan itu, tubuh Yukari tiba-tiba serasa kaku dan sulit untuk digerakkan. Rasanya, ia seperti kehilangan kontrol atas seluruh bagian tubuhnya dan jatuh dengan perlahan ke atas lantai kayu yang menimbulkan bunyi berdecit khas sebuah rumah tua.
“Mungkin seperti ini rasanya menjadi boneka...”
Ujarnya dengan suara pelan, menaikkan pandangan ke arah langit-langit yang terlihat suram.
Sampai detik ini, jantungnya masih berdebar-debar tidak karuan. Bahkan ketika ia sibuk dengan pikirannya sendiri, suara-suara langkah kaki misterius yang seolah berlarian di koridor disertai tawa seorang anak perempuan, terus menganggu dirinya.
Tanpa ia sadari, matanya sudah bergerak menyusuri ruangan sempit ini. Tak jelas apa yang berada di ujung ruangan. Tapi sepertinya bukan sesuatu yang berbahaya.
“.......[Aku sedikit penasaran...Ruangan apa ini sebenarnya...?]”
Mungkin rasa penasaranlah yang menggerakkan tubuh Yukari, untuk bangkit berdiri lalu berjalan melihat-lihat apa yang terdapat di dalam ruangan ini. Sesekali, ia membersihkan debu-debu yang menempel pada tubuhnya sambil terus mengamati ruangan itu.
Akan lebih baik jika seandainya mereka membawa senter.
Hanya saja, itu termasuk di dalam salah satu peraturan permainan ‘Hide and Seek’ yang tidak boleh dilanggar. Ingat? Semua lampu harus dimatikan. Bukan berarti kita bisa membawa sumber penerangan dari luar.
“Seperti kamar biasa...”
Yukari berkata dengan volume suara pelan, saat jari-jarinya menyentuh sesuatu yang lembut. Sepertinya sebuah selimut. Walau ia tidak bisa menerka dengan jelas benda apa saja yang ada di dalam ruangan tersebut, adanya sebuah tempat tidur membuatnya tidak perlu harus menebak-nebak lagi, sudah jelas menjadi bukti kalau ini adalah sebuah kamar...
Kamar siapa?
Itu yang harus ia temukan.
Yukari  kemudian meraba-raba tempat tidur itu, berusaha untuk menemukan sesuatu di atasnya. Suasana sangat gelap, bahkan ia tidak bisa melihat tangannya yang sedang bergerak di balik bayang-bayang kegelapan.
“.............Tidak ada apa-apa...”
Masih terus berusaha meraba-raba tempat tidur tersebut, Yukari berbicara kepada dirinya sendiri. Di saat seperti ini, rasanya ia ingin sekali bicara dengan seseorang. Tak masalah jika ia harus berbicara tak kepada siapapun, asalkan ada suara, suara-suara asing yang terdengar misterius itu tidak lagi terdengar.
..................................
“Tunggu, apa...Ini...?”
Tanpa sengaja, tangannya ternyata menyentuh sesuatu yang cukup tebal. Gadis dengan bola mata berwarna kecoklatan itu pun menarik benda itu mendekat ke arahnya, dan mendapati bahwa itu adalah sebuah buku.
Buku harian yang bahkan sampulnya sudah dipenuhi oleh debu.
“............Buku ini...”
Siswa SMA yang biasanya terlihat ceria itu, menatap buku itu sejenak sebelum akhirnya membesihkan debu yang menempel dengan tangan kanannya.

‘Yamasaki Akio’

Itu, adalah tulisan yang tertera di sampul buku berwarna hijau kebiruan itu.
“Yamasaki...Akio...?”
Ucap Yukari dengan pelan.  Meski tak ada ekspresi khusus yang tergambar di wajahnya saat ini, ia sebenarnya sangat terkejut menemukan buku itu.
“Siapa...Yamasaki Akio...?”
Meski ia tidak mengetahui buku harian itu milik siapa, yang pasti itu adalah milik salah satu anggota keluarga Yamasaki. Mungkin ayah...Atau mungkin...
“Anak pertama!?”
Terkejut dengan ucapannya sendiri, Yukari mulai membuka halaman buku, yang sepertinya catatan harian itu.

Senin, 20 September -XXX-
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ini aku baru saja pulang sekolah ketika adik perempuanku, Kanade, menarik tanganku menuju ke kamarnya. Pintu berwarna merah itu terbanting cukup keras, ketika ia membukanya dengan wajah yang terlihat penuh dengan antusias itu.
Ah, aku sudah tahu ke mana ujungnya.
Benar, sesuai dugaanku, Kanade mengajakku untuk menemaninya menonton film horor yang baru saja dibelinya kemarin.
Adikku memang sangat menyukai kisah-kisah horor berbau mistis. Dan sebenarnya, aku sama sekali tidak pernah punya ketertarikan ke arah sana. Tapi, karena sering menemani adikku nonton...Mungkin perlahan-lahan...Aku jadi sedikit terbiasa.
Mungkin...?

Kamis, 7 Oktober -XXX-
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 Pernah suatu ketika saat malam, aku ingin pergi ke toilet dan tidak sengaja mendengar suara rintihan wanita entah dari mana. Itu memang sesuatu yang menakutkan.
Aku bergegas kembali ke kamar dan bersembunyi di balik selimutku.
Kurasa, aku sama sekali tidak akan pernah terbiasa dengan hal seperti ini.

“.............Ternyata...Ini buku harian kakaknya...Jadi, nama hantu itu, Kanade...?”

Minggu, 11 Januari -XXX-
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Minggu ini, keluarga kami akan pergi mengisi waktu liburan ke mall. Aku sangat antusias dan sudah tidak sabar lagi. Mengingat aku sudah menabung sangat lama untuk membeli video game yang aku inginkan sejak dulu. Begitu juga dengan Kanade. Dia tidak henti-hentinya berteriak girang sejakn mendengar rencana kami itu.
Maka, seusai bersiap-siap, kami pun masuk ke mobil dan berangkat menuju ke mall. Yang akan kami tuju, adalah mall terbesar yang ada di kawasan perkotaan kami. Sedikit jauh dari rumahku sih, tapi sekali-kali’kan tidak masalah?
Begitu sampai, kami langsung masuk ke dalam bangunan mall setinggi 5 lantai itu. Pertama, kami pergi ke game center untuk membeli video game yang aku inginkan. Setelah itu, pergi ke stan DVD untuk mencari film, sesuai keinginan Kanade.
Lagi-lagi Kanade mencari film horor. Aku bahkan tidak kuat kalau harus melihat satu per satu cover-cover film yang terlihat sangat menakutkan itu dan selalu memalingkan pandanganku. Akan lebih baik kalau aku bisa menunggu di luar. Namun Kanade selalu bertanya kepadaku, apakah film ini bagus? Apakah yang itu bagus? Sehingga pada akhirnya aku juga terpaksa untuk melihat covernya yang biasanya berlumuran darah atau potongan tubuh manusia dan bisa saja sesosok hantu dengan baju pengantin yang tersobek-sobek.
Jujur, aku sama sekali tidak tahu, apa yang bagus tentang film seperti itu?
Apa jalan cerita? Misterinya? Rahasia yang terpendam?
Itu adalah beberapa hal yang selalu aku ingin rasakan dan sangat aku sukai ketika menonton sebuah film. Tapi terlebih dari itu, aku merasa kalau Kanade sama sekali tidak mempedulikannya...

Rabu, 27 Januari-XXX-
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku kembali mendengar suara-suara aneh di dalam kamarku, suara seseorang yang sepertinya mengetuk-ngetuk jendela. Aku tahu, kalau mungkin itu hanya batang pohon yang tidak sengaja menyentuh jendela kamarku. Walau aku tahu, tapi melihat bayangan dari balik tirai yang terlihat seperti sebuah tangan hendak mencengkramku itu, membuatku tidak bisa melihat ke arahnya.
Bukan hanya itu. Bahkan ketika tak ada seorangpun di dalam kamarku, aku bisa merasakan seseorang sedang mengawasiku.
‘Lagi?’
Hanya itu yang bisa kukatakan ketika seolah ada sepasang mata yang memperhatikan diriku.

DOK DOK DOK

“!!?”
Suara ketukan yang cukup keras terdengar saat Yukari sedang fokus membaca catatan tersebut. Sontak, ia langsung menoleh ke arah pintu kayu yang tiba-tiba terkunci itu, juga berusaha untuk menahan dirinya dari berteriak keras.
Seandainya ia membawa senter, Yukari pasti akan langsung mengarahkan senternya ke arah pintu, setidaknya untuk menimbulkan cahaya.
Ya, seandainya saja.
Dengan jantung yang berdebar dan ketakutan yang mulai mengambil alih tubuhnya, Yukari menutup buku itu dan bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu tua itu di tengah kegelapan.
Aneh.
Rumah ini tertutup dengan rapat. Tak satu pun jendela atau pintu terlihat terbuka. Mengapa,
“Rasanya dingin sekali...”
Katanya, mata Yukari menatap lekat ke arah pintu itu dengan ekspresi ketakutan. Refleks, ia lalu berjalan sedikit mundur. Noda darah di jaket berwarna merah muda yang biasanya ia kenakan itu, semakin membesar. Namun bukan rasa sakit yang harus ia pentingkan saat ini.

DOK DOK DOK

“!?”
Sekali lagi, suara seseorang mengetuk pintu terdengar.
“Ukh...Ini bukan waktunya untuk berkata ‘Siapa di sana’...Ya...?”
Kali ini Yukari berkata dengan tubuh sedikit ke belakang, seolah bersiap menghindari sesuatu yang mungkin datang menyerang.
.......................
Tak ada apapun yang terjadi.
Begitu beberapa detik berlalu dengan sunyi, tak ada keanehan yang terjadi lagi.
“................Sudah saatnya...”
Entah ini dengan kesungguhan hatinya, atau hanya akting supaya dia bisa berani melangkah, gadis dengan pita berwarna ungu di rambutnya itu, mengatakan sesuatu dengan nada yang kedengaran yakin. Tatapan matanya tak bergeming sedikitpun ketika ia berkata seperti itu. ALisnya bergerak turun, membuat ekspresi penuh kesiapan di wajahnya.
Siap untuk apa?
Mati?
Bukan.
Tapi siap untuk hidup.
Siap untuk menyelesaikan permainan ini dan tetap hidup.
Walau begitu, tetap terdengar getaran dari suaranya itu. Seperti berada diantara ‘yakin’ atau ‘tidak yakin’.
Sudah waktunya ia memutuskan.
‘Fyuuh’.
Suara nafasnya bisa ia dengar dengan jelas, mengingat tak ada suara berisik lain yang terjadi di sekitarnya. Mereka seperti berada di satu dimensi yang terisolasi dengan dunia luar.
Ia kemudian memejamkan mata.
Perlahan, ingatannya bersama dengan ketiga sahabatnya itu mulai terbayang.
Kazuya yang maniak film horor,
Aoi yang penakut tapi sangat lembut,
Dan,

“Fuh...Apa pantas kau berkata seperti itu dengan wajah merah seperti itu? Aku tahu, kau tidak bermaksud mengusirku tapi justru menginginkanku untuk tinggal di sini lebih lama denganmu’kan?”

“Fu fu, kenapa di saat seperti ini, justru hal itu yang terbayang tentangnya, ya...?”
Ketika kata-kata dan wajah Ryo yang tersenyum ke arahnya sewaktu mereka pertama kali membicarakan mengenai rencana memainkan permainan ‘Hide and Seek’ ini, terbayang tanpa adanya peringatan terlebih dahulu, Yukari tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa kecil.
“Siapa yang ingin tinggal lebih lama denganmu? Hah! Dasar laki-laki bermata panda...”
...................
Yukari terdiam dengan kepala tertunduk seusai mengucapkan kata tersebut, seolah sedang menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pemuda yang memang selalu terlihat dengan lingkaran hitam di bawah matanya.
“.....................”
“.........Meski begitu, aku ingin tinggal lebih lama lagi dengan mereka semua...”
Kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya.
Ia lalu menghela nafas lagi agak panjang, sebelum akhirnya kembali mengangkat kepalanya.
“........Untuk mewujudkan semua itu, ada permainan yang harus segera aku selesaikan di sini...”
Apapun yang terjadi, ia tidak bisa santai-santai saja di sini. Hantu itu bisa saja datang kapan saja dan menemukannya. Karena rumah ini adalah tempat bermainnya, maka roh anak kedua itu pasti mengawasi di tiap sudut rumah ini.
Berharap saja semoga keberadaannya tidak ditemukan.
Maka dengan itu, mengumpulkan segenap keberanian yang masih sedikit tersisa di dalam dirinya, gadis itu melangkah perlahan mendekati pintu. Tak lupa, ia membawa buku itu di tangan kanannya.
Ia berdiri di depan pintu tua itu sesaat, menyusurinya dari atas sampai bawah.
“[Apa masih terkunci...?]”
Katanya dalam hati sambil berharap-harap tak ada sosok yang muncul dengan pisau di tangannya.
Walau begitu, rasanya energi aneh dan berat yang menghalangi pintu tersebut untuk terbuka, terasa lenyap.
“.....Baik. Aku hanya perlu melakukan ini, mencari jalan menuju ke dapur, lalu ke gudang...”
Dan dengan ucapan pelannya barusan, Yukari mengarahkan tangan kirinya ke arah gagang pintu. Sesaat, muncul keraguan pada dirinya. Tapi, ia tidak merasa ingin mundur lagi. Akan lebih baik kalau permainan ini selesai saat ini juga, daripada harus menunggu lebih lama lagi.

GREK

Gagang pintu sudah digerakkan.
Suara ‘Kriiiet’ mengiringi pintu yang mulai terbuka itu.
“[Terbuka!].”
Teriak Yukari lega dalam hati karena pada akhirnya ia tidak lagi harus terkurung sendirian di dalam rumah tua mengerikan dengan aura mistis yang benar-benar terasa itu.
Dengan hati-hati, gadis dengan bola mata berwarna ungu itu, melangkah keluar dari kamar, yang merupakan kamar Yamasaki Akio, lalu menutup kembali pintu itu dengan sangat pelan, takut menimbulkan suara berisik yang tidak berarti.
Ia lalu kembali melangkah ke dalam kegelapan, yang terasa jauh lebih gelap dari sebelumnya. Mungkin hari sudah semakin larut.
Suasana makin terlihat suram. Beberapa kali, Yukari dikejutkan oleh suara-suara yang ditimbulkan oleh ranting-ranting pohon yang menggesek jendela. Ia berjalan selangkah demi selangkah, menyusuri koridor yang gelap tanpa arah. Ia tahu ke mana ia ingin menuju. Namun situasi sama sekali tidak bersahabat dengannya.
Hanya suara desahan nafas dan langkah kakinya yang berat yang mampu ia dengar, bercampur dengan sayup-sayup suara angin dari luar.

TAP TAP TAP

“Ah!!”
Yukari segera menoleh ke belakang, ketika ia kembali mendengar suara. Kali ini suara langkah kaki sedang berlarian.
Seperti yang sebelum-sebelumnya, hanya suara yang tersisa, bergema sampai ke ujung koridor yang tak terlihat ujungnya. Tak nampak satu sosok pun di hadapannya. Itu membuatnya menarik nafas lega dengan sebelah tangan di dada.
Tiba-tiba saja, ia seolah membayangkan sewaktu keadaan rumah ini masih bagus, dan kecelakaan tragis itu belum terjadi. Bayangan anak kecil berlarian di koridor yang bercahaya itu, terasa nampak nyata.
“..............Seandainya ini semua tidak terjadi...Pasti mereka pasti akan masih menjadi satu keluarga yang bahagia...”
Ketika ia berkata demikian, tangannya menggenggam buku itu semakin erat.
Ia lalu menggeleng pelan, dan melanjutkan berjalan di koridor sambil berpegangan pada dinding, untuk membantu langkahnya.
***-***
Keadaan disekelilingnya memang sangat gelap. Tapi warna merah yang terkesan menyala itu, cukup terlihat dengan jelas di kedua bola matanya.
Untuk beberapa saat ia terus berdiri di depan pintu itu, dengan tatapan yang terkesan dingin. Tidak tahu apa yang ada dipikirannya, kali ini sama sekali tidak bisa terbaca dengan jelas.
 Kemudian setelah puas memandang pintu yang seperti berlumuran darah itu, Kazuya, menendang pintu itu dengan keras!
Dengan sekali tendang, pintu yang sudah tua dan terlihat rapuh itu, jatuh ke atas lantai kayu dan menimbulkan suara berisik yang menggema sampai ke seluruh koridor yang sempit.
Meski mengatakan tidak ingin terbunuh, namun sepertinya Kazuya sama sekali tidak mempedulikan salah saturan dalam permainan ‘Hide and Seek’ ini.
‘Jangan menimbulkan suara yang berisik, atau keberadaanmu akan ditemukan!’
“Peraturan bodoh...Sejak awal sudah tahu’kan? Mau kita tenang ataupun menimbulkan banyak suara...Hantu itu, akan tetap menemukan dan mengejar kita.”
Kazuya berkata pelan kepada dirinya sendiri dengan memandang sinis ke arah pintu yang telah rubuh itu dan berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut.
Ia mengamati ruangan yang tidak terlalu luas itu. Tempatnya sangat gelap, dan Kazuya sama sekali tidak bisa melihat ruangan apa itu sebenarnya. Namun, hanya butuh beberapa detik baginya untuk sadar, bahwa dia telah masuk ke ruangan yang salah.
“Cih! Bukan gudang rupanya...”
Katanya terlihat kesal dan semakin menggenggam erat salib di tangannya.
Ia tidak mengamati ruangan tersebut lagi, dan langsung membalikkan badan. Tapi, tidak sampai satu detik, Kazuya menghentikan langkahnya, ketika ia merasa telah menginjak sesuatu dengan kakinya.
“Apa ini?”
Penasaran, Kazuyapun menengok ke bawah lalu berjongkok dengan perlahan kemudian memasukkan salibnya pada saku dan menyentuhkan tangannya pada benda, yang ternyata sebuah teddy bear itu.
“..........Teddy bear? Di tempat seperti ini...? Yang benar saja...”
Ujarnya dengan nada dingin. Namun, kedua matanya tak henti-hentinya memandangi teddy bear yang terlihat lusuh itu.
Boneka yang biasanya dimiliki oleh gadis kecil itu memiliki warna dominan coklat muda dengan mata merah, yang seolah hidup dan mengamati tiap gerakmu. Mata sebelah kirinya sudah copot, dan sepertinya tidak ada di sekitar sini.
Bukan hanya itu, dari kepala sampai badan bagian bawah, tubuh teddy bear tersebut di jahit asal-asalan menggunakan benang berwarna merah, yang entah kenapa, terlihat seperti pembuluh darah. Kapas berwarna putih juga terlihat berhamburan keluar, yang terkesan seperti organ-organ tubuh yang ditarik paksa dan dikeluarkan.
Intinya, keadaan boneka itu, benar-benar mengenaskan.
Dan Kazuya, terus memandangnya dengan ekspresi datar, seolah menikmati pemandangan di depannya itu.
“.............Jadi teringat saat aku memainkan permainan ‘Hitori Kakurenbo’...Fu fu, boneka yang menarik. Aku yakin, siapapun yang memiliki boneka ini, pasti orang tidak waras yang gila akan sesuatu yang berbau horor...Yah, mungkin kita bisa bersahabat? Khu khu khu...”
Kazuya mengangkat boneka mengerikan itu ke dekat wajahnya, memperhatikan tatapannya yang seperti berkata ‘Aku tahu kau ada di sana’, dengan senyuman di wajahnya.
Entah bagaimana dia masih bisa tertawa di saat seperti ini. Mungkin, permainan horor seperti ini benar-benar telah meracuni pikirannya, sehingga, meski merasa ketakutan ia masih menanggap ini sebuah permainan yang sangat mengasyikkan dilihat dari sudut pandangnya.
Dengan kasarnya, ia lalu membuang boneka itu keluar dari ruangan , dan berbalik ke arah ruangan itu lagi. Menemukan benda mengerikan seperti itu, pasti telah membangkitkan rasa ingin tahunya yang besar akan benda-benda berbau mistis.
“Fu fu, mungkin saja tempat ini memang sangat menarik. Coba saja? Kapan kau bisa mendapat kesempatan lain untuk menjelajahi rumah berhantu seperti ini? Mungkin saja, terjebak di sini bukanlah ide yang buruk.”
Kazuya mengatakan sesuatu yang tidak akan pernah orang normal katakan seumur hidupnya, dan bisa-bisanya, ia mengatakan itu dengan senyuman licik yang jelas menunjukkan rasa puas.
Pelan, pemuda berambut hitam gelap itu, melangkah semakin masuk ke dalam ruangan itu. Baru beberapa langkah, ia kembali terhenti, bukan karena menginjak sesuatu, melainkan tidak sengaja menabrak sesuatu di depannya.
Sesuatu yang setinggi pahanya. Di tengah kegelapan, Kazuya meraba-raba ke atas benda, yang sepertinya sebuah tempat tidur itu dengan selimut berwarna putih. Yang tidak tahu kenapa, tercabik-cabik dengan kasarnya. Mungkin dirobek dengan gunting?
Tiba-tiba, tangannya kembali menyentuh sesuatu, yang kini sangat tipis, seperti sebuah kertas. Kazuya menarik tangannya dan membawa benda itu kehadapannya. Ternyata memang sebuah kertas.
Namun, sesuatu yang tergambar di dalam kertas itu tidak terlihat dengans jelas karena suasana yang tanpa penerangan. Kazuyapun menedekatkan kertas itu ke wajahnya sambil menyipitkan sebelah mata, berusaha melihat sesuatu yang tergambar di kertas itu lebih jelas lagi.
Samar-samar, Kazuya melihat gambar 2 orang anak kecil yang digambar agak sedikit berantakan menggunakan pensil warna. Mungkin buatan seorang anak kecil?
 Yang satunya berambut panjang, sepertinya anak perempuan. Sedangkan yang satu lagi, berambut pendek, yang menandakan kalau itu adalah anak laki-laki.
“.........Onii-chan...?”
Kazuya membaca sebuah tulisan dengan penseil warna merah yang tertera di atas gambar kedua anak yang sedang bergandengan tangan dan tersenyum dengan bahagia.
“Apa-apaan ini? Gambar apa ini?”
Ia menatap bingung ke arah kertas itu sambil mengangkat sebelah alis.
Tulisan yang tertulis di atas itu...
“Saudara? Apa kedua orang digambar ini bersaudara?”
Tanyanya tidak kepada siapapun. Suaranya tertelan oleh kegelapan di sekitarnya. Tapi, hanya dengan petunjuk yang kecil itu, Kazuya sudah bisa menebak siapa kedua orang di dalam gambar itu.
“Ah...Ini pasti si anak pertama dan anak kedua...”
2 saudara anak keluarga Yamasaki.
Bahkan ia mengatakan hal itu dengan langsung dan santainya tanpa gemetar sedikitpun, padahal dari semua ruangan yang ada di dalam rumah ini, ia sudah masuk ke salah satu yang paling mengerikan.
Setelah puas dengan kertas itu, Kazuya kembali meraba-raba tempat tidur itu.
Dari boneka beruang dan gambar itu, ia mengetahui dengan pasti kalau ini adalah kamar si anak kedua.
Dan ketika ia kembali mencari sesuatu di atas tempat tidur, ia mendapat 3, bukan, tapi sekitar 10 lembar atau mungkin lebih kertas.
Kesamaan semua gambar itu adalah, menggambarkan dia dengan sang kakak yang menghilang entah ke mana.
Pada awalnya, Kazuya sama sekali tidak melihat ada sesuatu yang aneh dari gambar-gambar tersebut. Hanya gambar coret-coret yang biasanya dibuat oleh anak kecil kebanyakan. Wajahnya, memperhatikan satu demi satu kertas yang sekarang sudah tertunpuk di tangannya itu.
“Apa ini? Semuanya hanya gambar...”
Gumamnya pelan.
 Sekilas, wajahnya terlihat menunjukkan kekesalan. Mungkin apa yang dia harapkan lebih dari cuma gambar tidak jelas buatan anak kecil. Mungkin akan lebih menarik kalau ada gambar manusia terpotong-potong dan darah mengalir di mana-mana...?
Itulah yang kira-kira ada dipikiran pemuda penyuka horor itu.
Namun, kira-kira setelah 6 halaman, keanehan mulai terasa di lembar ke tujuh.
“..............Hah...?”

‘Onii-chan dan aku hari ini bermain’
***-***
“Di mana ini...?”
Yukari telah sampai di ujung koridor itu.
Ia berakhir di sebuah tempat, yang terlihat cukup memiliki ruang yang luas. Mengamati ke sekelilingnya, Yukari berjalan dengan penuh rasa hati-hati. Berkali-kali ia menoleh ke samping kanan, kiri, menengok ke atas dan juga sesekali mengintip ke bawah.

DEG

Segera saja, Yukari menoleh ke belakang.
“[Seperti ada mata yang memperhatikanku...].”
Berkali-kali, ia selalu merasakan kalau ada seseorang yang memperhatikannya di dalam rumah ini. Tapi begitu ia berbalik, tak seorangpun ia dapati di belakangnya. Yang ia lihat hanya koridor lorong gelap yang baru saja ia lalui.
Dan rasa takut itu semakin bertambah saja.
Gadis berambut coklat itu lalu berjalan sedikit mundur sambil meraba-raba sesuatu yang mungkin ada di belakangnya.

DUK

Dugaannya benar.
Yukari tak sengaja menabrak sesuatu di belakangnya. Ia tak menoleh, melainkan hanya berusaha meraba dan menyentuh sesuatu yang ada di balik tubuhnya itu.
“......................”
Sesuatu itu, sepertinya cukup besar. Sesuatu seperti meja?
“Meja...?”
Yukari berkata dengan volume suara pelan sambil menyipitkan sebelah mata. Sebelah tangannya kembali meraba sesuatu yang mungkin sebuah meja itu, sampai ia menyentuh sesuatu.
“Apa ini...?..............Pisau...?”
Maka akhirnya, ia berbalik dan menarik benda itu ke arahnya. Benar saja. Ternyata itu sebuah pisau dapur.
Pisau dapur?
Apa itu berarti...
Ia berada di dapur?

DEG DEG DEG

“..................”
Kembali meletakkan pisau itu ke atas meja, Yukari mendekap buku itu dengan erat ke dadanya. Terdapat bekas berwarna kehitaman ketika Yukari tak sengaja melihat ke arah kedua tangannya. Pasti abu yang menempel.
Telinganya bisa menangkap suara debaran jantungnya dengan sempurna. Tubuhnya tiba-tiba kembali terasa berat seperti patung.
Rasanya, ia ingin jatuh terduduk ke atas lantai kayu. Tapi dengan cepat ia segera menahan tubuhnya dengan bertumpu pada sudut meja yang terbuat dari kayu tersebut.
“[Aku tak percaya aku ada di sini sekarang...].”
Batinnya.
“.......................”
Sama seperti yang ia lakukan sebelumnya, Yukari memejamkan mata, lalu menghela nafas beberapa kali.
“[Baik, aku sudah ada di sini sekarang...Kalau aku tidak salah, gudang seharusnya ke arah sana’kan...? Semoga saja aku benar...].”
Mengumpulkan seluruh keberaniannya, Yukari melanjutkan langkah kakinya. Semakin ia menyusuri dapur tersebut, tidak tahu kenapa rasanya semakin berat dan juga semakin panas.
Mengingat kalau di dapur inilah pusat kebakaran itu terjadi.
Saat ia berjalan, pikirannya kembali melayang ke masa lalu, membayangkan sewaktu kebakaran itu benar-benar terjadi 4 tahun lalu.
“.................Aku tidak bisa membayangkan...Kalau kejadian itu menimpaku...Kalau saja si anak pertama tidak lupa untuk mematikan kompor...Kurasa kebakaran itu pasti bisa dihindarkan...”
Bersembunyi di dalam lemari di gudang, terkena imbas dari api yang menyambar dari dapur, lalu menghilang seolah menjadi abu.
Ia lalu berusaha melihat keadaan dapur yang terlihat gelap itu. Bau bekas kebakaran masih bisa tercium. Sepertinya, hampir seluruh bagian dari dapur ini telah hangus dan dipenuhi dengan abu berwarna hitam.
Berpikiran seperti itu, Yukari sama sekali tidak menghentikan langkahnya yang gemetar.
Pandangannya kemudian jatuh ke arah sebuah kran air tua dengan bekas kebakaran hitam, yang tidak mungkin mengeluarkan air lagi. Yukari berjalan ke arah kran tersebut, lalu mencoba untuk memutarnya dengan perlahan. Bunyi kran yang diputar itu menimbulkan bunyi aneh yang bergema ke seluruh bagian dapur.
.....................
Benar saja. Tak ada setetes air yang keluar dari kran tersebut.
“Sepertinya memang sudah rusak...”
Ujarnya pelan, lalu berbalik--

WHOOOOSH

--Tanpa peringatan sebelumnya, sebuah pisau, melayang tepat ke arah Yukari berdiri.
***-***
“[Aku harus bisa...Aku harus berani melakukan ini...].”
Gadis yang tengah berdiri di depan sebuah ruangan itu, memiliki rambut hitam yang sangat panjang. Baju putihnya terlihat merah karena cairan darah. Wajahnya terlihat pucat karena diselimuti oleh rasa takut. Tubuhnya juga terlihat tak berhenti gemetar sejak tadi. Di dalam dekapannya, terdapat sebuah salib yang akan menentukan hidup atau mati dirinya sendiri dan juga sahabatnya.
“[Ayo, Asahina Aoi...Aku yakin kau pasti bisa melakukannya...Demi Yukari-chan...Demi semuanya!!].”
Ia berteriak dalam hati, berusaha untuk memberanikan dan menyakinkan dirinya yang biasanya selalu berdiri di belakang.
Dan kini, ia yang harus berdiri di barisan paling depan.
Butuh waktu lama bagi Aoi, untuk melakukan semua ini. Berkali-kali ia mengatakan ‘Tidak akan pernah keluar dari tempatnya bersembunyi’, tapi selama itu pula, perasaan gadis 17 tahun itu sama sekali tidak bisa merasa tenang dan justru semakin bertambah takut.
Cuma ada satu cara yang bisa ia lakukan untuk mengakhiri dan memutus rasa takut itu.
Yaitu dengan menyelesaikan permainan ini.
Sekarang ia tidak tahu di mana letak sahabat-sahabatnya yang lain. Mungkin mereka berada cukup jauh dari gudang atau bisa saja mereka berada di dekat sini.
Dengan ketidakpastian itu, mungkin akan sedikit bodoh untuk bergantung kepada mereka, sementara posisi dirinya sendiri sangat jelas dan sangat dekat dengan tujuan semuanya.
Ya, saat ini, ia sedang berdiri di depan sebuah ruangan, yang tidak memiliki pintu karena terbakar. Tempat semua ini di mulai, dan tempat semuanya akan berakhir.
Gudang.
“.........................”
Aoi tak mengatakan apapun ketika matanya menatap ruangan itu. Rasanya itu berada begitu jauh dari jangkauannya, tak peduli bahwa ia sekarang berada tepat di hadapannya.
“.........[Seandainya saja aku melakukan ini...].”
Seandainya ia melakukan ini?
“[Bisakah aku menyelamatkan semuanya...?].”
Apakah semuanya akan selamat dengan ini?
Hal yang harus ia lakukan, sebenarnya sangat mudah. Masuk ke gudang, habiskan semangkuk nasi itu, lalu menancapkan salib itu sambil berkata ‘Aku menang’ sebanyak 3 kali.
Tapi,
“[Kenapa rasanya aku sangat tidak sanggup melakukannya...].”
Bahkan disituasi seperti inipun, orang paling berani akan lebih memilih untuk bermain aman daripada harus memikul semua tanggung jawab ini. Siapa yang ingin mati begitu saja hanya karena sebuah permainan?
Tapi,
“[Jika aku tidak melakukannya, maka mungkin yang lainnya akan terbunuh...].”
Benar.
Jika ia tidak cepat menyelesaikan permainan ini, bukan nol kemungkinan Ryo, Kazuya maupun Yukari untuk terbunuh dengan tragisnya. Dan semua itu, hanya gara-gara ia merasa takut dan juga ragu padahal ia bisa mengakhiri permainan itu detik ini juga.
Apa itu lebih penting sekarang? Apa itu lebih penting mementingkan rasa takutmu sendiri dibanding dengan nyawa teman-temanmu?
Jika seandainya kau menyelesaikannya di sini dan saat ini juga, permainan berakhir. Dan semuanya akan selamat.
Menunggu yang lain datang dan bergantung kepada mereka, akan semakin membuang waktu. Mengingat kita bukan bermain petak umpet dengan manusia biasa, melainkan petak umpet hantu. Siapa yang akan tahu di mana dan kapan dia akan muncul dan tiba-tiba mengejutkan lalu membunuh kita?
Itu bisa terjadi kapan saja.
“...............[Hatiku dipenuhi oleh kegelapan...].”

“Pagi, Aoi.”

“[Tapi saat aku teringat akan senyuman orang itu, rasanya kegelapan hatiku perlahan-lahan terangkat dan berganti dengan sesuatu yang bersinar...].”

“[Sejak saat itu, aku selalu melihat ke arahmu. Kau yang berada jauh di depan. Dan aku yang hanya bisa melihat punggungmu dari belakang. Kau benar-benar berani, kau sangat berkilauan dan luar biasa. Bagiku, kau adalah inspirasi terbesar karena orang lemah dan penakut sepertiku ini tidak akan pernah bisa berbuat sesuatu yang besar].”

“Aku ingin menolong Chizuko.”

“Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa seperti ini terus. Aku tidak bisa hanya duduk dan membuang waktuku di sini. Rasanya sangat berat...Sangat berat begitu mendengar bahwa adik Chizuko menghilang di rumah itu. Tapi...Aku ingin menolongnya!”

“Meskipun taruhannya nyawa? Ya, aku akan melakukannya.”

“[Kau selalu memikirkan orang lain jauh sebelum dirimu sendiri. Bahkan kau sampai berpikir ‘Tak apa jika aku kehilangan nyawaku, asal aku bisa menyelamatkan smeuanya’. Ya, kau adalah tipe orang yang seperti itu. Dan itu membuatku semakin sadar, kalau aku tidak akan bisa mengikuti langkahmu, tidak akan bisa menjadi seperti dirimu yang selalu berbuat banyak demi yang lainnya. Aku hanya sadar, kalau kita ternyata benar-benar berbeda...].”

Tapi...


“Kalian...Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di tempat itu nanti. Tapi aku janji tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Karena itu...”

“[Itu pertama kalinya aku melihat kau menangis. Aku pelan-pelan tersadarkan akan sesuatu. Figurmu yang sangat sempurna itu ternyata hanyalah khayalanku semata. Kau mungkin memang kuat. Tapi di dalam, kau juga ketakutan dan lemah seperti diriku. Saat itulah aku menyadari, bahwa kau dan aku tidak berbeda. Tapi sama].

Jarak yang tak terbentang diantara mereka, pelan-pelan menjadi kabur...

“Haah, terima kasih, Aoi. Berkatmu aku jadi sedikit lebih tenang.”

“[Tidak, seharusnya aku yang berkata seperti itu. Terima kasih, berkatmu, berkat kalian semua, aku menjadi sedikit lebih tenang sekarang...].”
Itu, adalah senyuman kecil pertama yang Aoi sejak tadi.
Selama ini semuanya selalu berdiri di depan untuk melindunginya. Kini,
“Giliranku untuk menyelamatkan kalian semua.”
Bersama dengan itu, maka Aoi pun menggerakkan kakinya maju, memasuki ruangan tersebut.
“[Aku pasti bisa. Aku harus bisa!].”
Pelan, tapi penuh dengan kepastian.
Tangan kanannya semakin erat menggenggam salib.

TAP TAP TAP

Suara langkah kakinya terdengar cukup keras, memenuhi ruangan.
“[Sebentar lagi...Sebentar lagi semuanya akan segera berakhir..].”
.......................
Aoi, di depan sebuah lemari.
Lemari misterius, yang tak terhancurkan.
Energi yang sangat berat menyambutnya begitu ia berdiri tepat di depan lemari dengan sedikit bekas terbakar itu. Kembali, ketakutan mengambil alih dirinya. Nafasnya tidak beraturan karena jantungnya yang berdebar semakin kencang. Rasanya ingin berteriak dan menangis dengan kencang.
 Namun, keinginan untuk menyelamatkan teman-temannya, jauh lebih besar dan dengan cepat segera mengambil alih tubuhnya.
“[Begitu semua ini berakhir...Aku akan berlari ke arah Fujiwara-kun, Yukari-chan dan juga Azamaki-kun, lalu aku akan memeluk mereka dengan erat dan mengatakan, terima kasih karena sudah mau menjadi sahabatku, terima kasih karena sudah ada bersamaku sampai saat ini, terima kasih karena mau menopang tiap langkahku yang selalu goyah].
Aoi sedikit mengangkat salibnya, sementara sebelah tangannya, bersiap membuka lemari itu. Sekilas, sebuah senyuman tipis nampak di wajahnya bersamaan dengan setetes air mata yang mengalir,
“[Dan betapa bahagianya aku bisa bertemu dan kembali dengan mereka lagi...].”
Perlahan, pintu lemari terbuka--
“Terima kasih...”

“Aku menemukanmu.”
***-***
Tidak ada gambar seperti yang terlihat di lembar-lembar kertas sebelumnya.
Hanya sebuah tulisan, dengan pensil warna merah darah.
Perlahan, Kazuya mulai melihat lembaran kertas berikutnya. Entah kenapa, perasaan tidak nyaman mulai menyelimutinya.

‘Onii-chan sedang bersembunyi...Tapi aku bisa melihatnya...’

“Sedang bersembunyi? Tapi bisa melihatnya? [Apa maksud tulisan ini...? Apa mereka sedang memainkan sesuatu...? ‘Hide and Seek...].”
Pikir Kazuya dalam hati, dan mulai melihat kertas selanjutnya.

‘Onii-chan sedang menyusuri koridor gelap’

‘Onii-chan berdiri di depan kamarku’

‘Onii-chan menendang pintu kamarku...Pintu berwarna merah itu sampai rubuh...Itu tidak baik...Akan kuadukan pada papa dan mama nanti jika mereka sudah pulang...’

“..........................[Hah? Apa maksudnya...?].”
Kazuya terdiam.
Meskipun tidak jelas, tapi kedua tangannya yang sedang memegang lembaran kertas berwarna putih itu, terlihat gemetar.

‘Onii-chan memungut boneka beruang kesayanganku. Bagaimana? Bagus’kan?’

‘Onii-chan mengambil kertas gambarku’

“...................”
Tidak tahu kenapa, tapi Kazuya mulai menyadari ada yang tidak beres dengan tulisan di kertas itu. Ia kemudian menengok dengan pelan ke arah lembaran kertas selanjutnya, dan--

‘Onii-chan melihat tulisanku saat ini’

“!!!!?“
Kazuya tertegun. Ketakutan semakin menyelimutinya, terlihat dari wajahnya yang memucat dan tubuhnya yang semakin gemetar hebat.
Dan itu, tergambar jelas di tulisan berikutnya,

‘Onii-chan terlihat terkejut dan ketakutan’

“!! [Apa ini!!? Kertas apa ini!!? Apa maksud semua tulisan ini!!? Aku sama sekali tidak mengerti! Apa ini!!!?].”
Batin Kazuya dalam hati sangat ketakutan.
“[Sudah cukup!!!].”
Teriaknya, tangannya bergerak ke atas, seolah ingin melempar kertas itu ke bawah dengan keras. Tepat saat itu, kertas yang baru saja ia baca, terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai dengan perlahan, menyisakan satu lembar kertas terakhir yang belum Kazuya lihat.
“.............................”
Ia tidak mengatakan apapun ketika melihat apa yang tertera pada lembaran terakhir itu. Ia tidak ingin melihatnya!
Namun, matanya terpaku, ke lembaran terakhir dari kertas yang berada pada genggamannya.

‘Tapi itu tidak baik, melihat tulisan orang lain seperti itu. Kalau begitu, mungkin akan lebih...Kalau kau tidak memiliki mata...?’

Di kertas tersebut, terlihat sosok seorang gadis kecil di gambar-gambar sebelumnya, dan disampingnya,
Seorang yang kelihatannya seperti laki-laki berambut hitam,
Dengan sebelah mata yang terconkel keluar juga tubuhnya yang hampir terbelah dari atas sampai ke bawah...
Sangat mirip,
Boneka beruang yang tadi...
Tapi, yang membuat tubuh Kazuya tidak bisa berhenti gemetar adalah,
Karena ia sangat mengenali sosok pemuda yang berakhir tragis di gambar itu,
Topi yang dikenakan laki-laki di gambar itu...
Berwarna merah dan bertuliskan ‘inisial nama’,
AK,
Azamaki Kazuya...
TIDAK!!!!!!!
Segera, Kazuya langsung membanting kertas-kertas itu ke tanah dengan keras sampai berhamburan di mana-mana!
“Hah...Hah...[Apa itu!!? Kenapa--Kenapa!!!?].”
Sambil melihat ke arah kertas-kertas yang sudah berserakan di lantai, Kazuya berjalan mundur perlahan dengan nafas tidak beraturan dan keringat dingin yang bercucuran deras!
“Aku--AKU TIDAK AKAN MATI, DASAR HANTU BODOH!!!!!!!!!! KAU--KAU--!!!!
..............................
................................................
............................................................................
“TIDAK AKAN BISA MEMBUNUHKU!!!!!!!!!”
Kazuya, berteriak keras tidak kepada siapapun di ruangan yang sepi itu.
Lalu, dengan cepat, ia melangkahkah kaki dan memutar tubuhnya untuk berbalik dan keluar dari ruangan ini--
!!!!!!!
Tiba-tiba saja Kazuya terkejut!
Tubuhnya terjatuh ke belakang dengan keras, ketika mendapati bahwa boneka beruang yang sebelumnya sudah ia lempar keluar, sudah duduk tepat di depan pintu dengan kepalanya yang sedikit tertunduk.
“..................”
Ia memang tidak paham, namun ia bisa merasakan, mata boneka yang hanya tersisa satu buah itu...
Terus memperhatikan ke arahnya.
Pada saat itu, Kazuya mulai merasakan sensasi aneh menyelimuti seluruh tubuhnya yang terasa sulit untuk digerakkan.
Inikah yang dia cari?

“Tentu saja merasakan semua perasaan itu! Rasa ketakutan yang luar biasa!! Apa kau tidak ingin merasakannya!? Jantung yang terus berdebar-debar!! Dan perasaan yang muncul ketika mengetahui kalau ada sesuatu yang mengejar kita dari belakang!!!”.

Entah kenapa, sebuah senyuman yang aneh terlihat di wajahnya yang memucat.
“..........Tidak...”
“Kau tidak akan bisa menakuti aku seperti itu!! Ha ha ha! Iya, tidak bisa! Dasar kau boneka sialan!!!”
Bangkit berdiri dengan cepat, Kazuya langsung menuju ke arah boneka itu dan memegangnya dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain, mengarah ke kepala boneka mengerikan itu, dan menariknya dengan keras.
Suara kepala boneka yang terjatuh ke lantai itu memenuhi kepala Kazuya. Bahkan tatapannya tidak berubah sama sekali. Dengan tangan gemetaran, tubuh boneka yang kini telah terpisah dengan kepalanya itu, perlahan terlepas dari tangannya.
Meskipun begitu, senyuman itu masih belum hilang dari wajahnya.
Kembali merogoh saku celananya, sebuah salib terlihat menonjol keluar ketika Kazuya mengeluarkannya dengan pelan. Ia lalu mendekatkan salib itu ke dekat wajahnya dan tersenyum dingin.
“Iya, aku tidak akan mati. Aku akan mengirimkanmu ke neraka begitu aku selesai dengan permainan ini!!”
Itu adalah kata-kata terakhir yang ia ucapkan, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan ini.
***-***
“--Un!!? Apa yang--“
“Diam! Jangan berteriak!”
Yukari, yang kini dengan posisi terjatuh di atas lantai, bertatap mata dengan pemuda yang tidak asing lagi untuknya. Untuk suatu alasan, pemuda itu menutup mulut Yukari dengan sebelah tangannya.
“...Yo--”,
“-- Ryo!! Lepaskan aku!”
Suara ‘Plaak’ terdengar begitu Yukari menepis tangan Ryo dengan cukup keras, membuat pemuda itu terjatuh dan mundur ke belakang.
“Lihat-lihat, tanganku sedang terluka.”
Ryo berkata dengan nada datar dan memegangi tangannya. Benar saja, goresan berwarna merah terlihat di punggung tangannya.
Sementara Yukari, masih berusaha mengatur nafasnya karena kejadian yang tiba-tiba itu. Ia meletakkan sebelah tangan di dadanya, lalu berkata,
“Ya, ya, aku tahu. Maaf. Tapi, apa maksudmu dengan tiba-tiba ,melempar pisau itu ke arahku!? Aku bisa mati! Atau kau jangan-jangan dendam sama aku.”
Meskipun nada bicaranya terdengar berteriak, Yukari tetap berusaha melemahkan suaranya sambil melotot ke arah Ryo yang masih sibuk dengan tangannya.
Benar saja, seandainya Yukari tidak menghindar, pisau itu pasti sudah menancap tepat ke tubuhnya.
Berpikiran tentang kejadian yang hampir saja merenggut nyawanya itu, gadis itu menoleh ke arah dinding di belakangnya, di mana kini sebuah pisau tertancap.
“Aku--“
“--?”
Ia kembali menoleh ke arah Ryo yang sepertinya punya penjelasan bagus untuk aksinya itu.
“ ‘Aku’, apa?”
“Aku Tidak tahu kalau itu kau, Akihara. Aku sedang ada di bagian ujung dapur, lalu tiba-tiba aku mendengar suara langkah dan suara orang seperti menabrak sesuatu. Aku panik dan bersembunyi. Lalu, saat aku melihat sebilah pisau, aku mengambilnya, menunggu momen yang tepat lalu--“
“Melemparnya ke arahku.”
Yukari langsung menyela Ryo yang belum menyelesaikan bagian terakhir dari kata-katanya itu ke point utama. Pemuda itu langsung membuat wajah terkejut, sepertinya karena Yukari tiba-tiba menyelanya, yang seolah berkata ‘Ya, seperti itu’.
Begitu Yukari melihat pisau itu melayang ke arahnya, dengan refleks, ia langsung menghindar dan akibatnya pisau itu menancap di dinding. Tak berhenti sampai di situ saja, tiba-tiba ia seperti diterjang oleh sesuatu dan terjatuh ke lantai dengan keras. Orang itu ternyata Ryo.
“Serius. Aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu.”
“Ha ha.”
“...A--Apa!? Kenapa kau terta--“
“Diam!”
“Ubh--!!?”
Dengan cepat, Yukari langsung menutup mulut Ryo yang mulai berteriak cukup keras sambil melemparkan sebuah tatapan tajam. Hanya sebentar saja, tangannya kembali terlepas dan ia kembali tertunduk dan tertawa kecil.
“......Apa yang terjadi denganmu, Akihara...? Untuk bisa tertawa di saat seperti ini...”
Tentu saja, ekspresi bingung yang saat ini tergambar di wajah Ryo. Mereka sekarang sedang menghadapi sebuah permainan antara hidup dan mati, dan ia sungguh benar-benar tidak bisa percaya kalau gadis itu justru tertawa.
Yukari tak menjawab pertanyaan Ryo. Ia kemudian mengangkat wajahnya, sambil menahan tawanya.
“Ha ha, hanya saja, jarang melihatmu minta maaf seperti ini.”
“Jangan heboh karena hal seperti itu.”
Ucapnya menghela nafas.
“Saat kau minta maaf padaku pertama kali, saat kau mengembalikan ‘surat itu kepadaku’.”
“Tidak usah diingat lagi.”
Seperti biasa, jawaban pemuda itu selalu terkesan datar.
“Mana mungkin aku tidak ingat. Itu adalah kejadian paling memalukan dalam hidupku.”
Ketika mengatakan ini, Yukari sedikit tersenyum, meski sebenarnya ia berusaha menyembunyikan rasa malu dalam dirinya. Wajahnya sekilas terlihat merah.
“........Jadi, bagaimana sekarang?”
“Bagaimana apanya?”
“Kau tahu apa yang kumaksudkan.”
“Bukannya kau yang mengatakan tidak perlu membahas masalah ini lagi?”
“Kau yang sudah menyalakan apinya. Jangan melarikan diri.”
“Hmph. Pandai sekali kau.”
Mengalihkan pandangannya ke arah samping bawah, Yukari terlihat berpikir sejenak. Beberapa detik kemudian, ia kembali menoleh ke arah Ryo, namun tak menatap matanya. Sambil memainkan rambut coklat pendeknya, ia mengatakan,
“Sudah tidak ada lagi.”
“Kau yakin?”
“Mana mungkin aku bisa--Dengan orang itu? Kau jangan bercanda...”
“Kurasa kau yang berusaha menyangkalnya.”
“Hey, ada apa denganmu hari ini? Berisik sekali tidak seperti biasanya.”
Yukari langsung melemparkan tatapan ‘Ada apa denganmu’, sambil mengangkat sebelah alis yang tidak ditanggapi oleh Ryo.
Melihat tidak adanya reaksi khusus dari pemuda itu, Yukari hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sedikit lalu kembali berkata.
“Hmm...Tetap saja, aku masih tidak percaya kalau kau melempar pisau itu ke arahku. Seseorang bisa terluka atau lebih buruknya terbunuh di sini.”
“Lagi? Kenapa kau membahas masalah ini lagi...?”
Terlihat sedikit kekesalan di wajah pemuda dengan rambut itu putih, yang kembali membuat Yukari ingin tertawa. Kali ini, ia berhasil menahannnya.
“Itu bukan hal kecil yang bisa dihilangkan begitu saja, kau tahu? Selepas kita keluar dari rumah ini, kau harus memikirkan kompensasi yang tepat untuk membayarnya.”
Ia berkata, kemudian bangkit berdiri. Sementara Ryo hanya menghela nafas yang merupakan tanda pasrah dan mengikuti Yukari berdiri.
“....Itu artinya, kita harus keluar dari sini.”
Pemuda itu berkata dengan suara pelan dan monotonnya yang biasa. Walau seperti itu, terasa setitik kebaikan dari ucapannya yang singkat itu.
Yukari pun menanggapinya dengan senyuman,
“Tentu kita harus keluar. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Aoi lagi dan melihat bagaimana ekspresi wajah Kazuya. Lagipula, aku tidak ingin berada lebih lama di rumah ini lagi. Kau tahu hal mengerikan apa saja yang sudah aku alami?”
“Semua pasti mengalami hal yang sama.”
Ryo berkata singkat dengan sedikit senyuman tipis di wajahnya.
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Karena sekarang sudah ada kita berdua...Ehm...Bagaimana kalau kita bersama-sama melakukannya? Kita sama-sama mengakhiri semua ini bersama...?”
...................
......................................
..........................................................
“.........Sepertinya bukan ide yang buruk.”
Maka dengan itu, Yukari dan Ryo saling berpandangan, bertukar keberanian dan saling memberikan kekuatan satu sama lain. Menopang langkah yang goyah dengan dua tangan agar tak ada yang terjatuh.
Mereka  berdua kemudian mengangguk dengan yakin dan mulai melangkah berdampingan.
“.........Akihara.”
“..............Ya?”
“...Senang bisa bertemu denganmu di sini.”
“.......Oh...Ya, aku ju--Apa!?“
 “................”
Tak menjawab reaksi Yukari bahkan hanya dengan sepatah kata atau apapun, Ryo hanya mengalihkan pandangannya sejauh mungkin, menjauhkan wajahnya agar gadis itu tidak bisa melihatnya.
Yukari cuma bisa diam melihatnya sambil pelan-pelan berkata ‘Ternyata bisa seperti ini juga, ya?’.
Wajah seperti apa yang dibuat Ryo saat ini? Yukari memendamnya dalam-dalam hati karena sekarang ada hal yang jauh lebih besar yang harus mereka lakukan.

 “......................”
Keberanian saja sepertinya tidak akan cukup untuk melakukan semua ini, jika tidak didampingi dengan mental yang benar-benar kuat.
Itulah yang sekarang dirasakan baik oleh Yukari maupun Ryo. ketika mata mereka berdua terbuka lebar-lebar, menatap ruangan di depan mereka yang terlihat sangat gelap seperti tidak ada ujungnya. Jelas saja, tekanan energi yang kuat seolah membuat kekkai atau pelindung yang mencegah mereka untuk masuk.
Rasanya, hanya menatap dari luar pun, lemari itu sama sekali tak terlihat padahal letaknya tidak terlalu dalam.
“......Jadi ini akhirnya...”
Bergumam dengan suara pelan kepada dirinya, Yukari mempererat genggaman salib di tangannya. Tunggu? Bukannya seharusnya ia membawa sebuah buku? Pasti terjatuh dan tertinggal di dapur. Ya sudahlah, lagipula isinya juga tidak terlalu penting untuk dia tahu.
“Ada apa? Kau takut?”
Ryo yang memperhatikan wajah kebingungan Yukari langsung melontarkan pertanyaan tiba-tiba, yang membuat pikiran Yukari kembali ke sekarang.
“Eh--“
“Tidak usah khawatir. Bukan hanya kau yang merasakannya. Aku sendiri juga ketakutan.”
Menatap lekat-lekat ke arah mata Yukari, Ryo berkata dengan pelan.
Tidak ada yang tidak merasa takut ketika mereka benar-benar sampai di sini. Bahkan seorang ksatria yang berjanji dengan gagah beraninya akan mengalahkan monster seperti naga yang melindungi sebuah istana, demi menyelematakan sanga putri, pasti juga akan merasa ketakutan begitu benar-benar berhadapan.
Meski sudah mengumpulkan keberanian, itu saja belum cukup untuk membuat kita berdiri dengan tegak tanpa gemetar ketika kita sudah sampai di depan rintangan.
Fyuuh...
Suara nafas bisa tertangkap dengan jelas begitu kedua siswa SMA itu menghembuskan nafas panjang beberapa kali.
“Kau siap?”
Ryo melontarkan pertanyaan ke arah Yukari yang masih memejamkan matanya.
Ia lalu membuka kedua matanya. Pada saat itu beragam pertanyaan muncul di benaknya. Benarkah ia siap? Atau itu hanya cara untuk membuat dirinya merasa berani sebentar saja.
Ya, itu memang benar.
Jujur dalam hati, ia belum siap. Pada kenyataannya masih banyak pertimbangan yang ingin ia buat sebelum benar-benar melangkah masuk ke dalam gudang.
Apakah ini aman?
Apa tidak akan ada hal lain yang terjadi saat mereka di dalam?
Apa mereka benar-benar sanggup melakukan semua ini?
Apa...
Semuanya benar-benar akan berakhir hanya dengan seperti ini...?
Di mana ada sebuah keyakinan selalu ada keraguan. 2 hal itu selalu berkaitan seperti sebuah rantai panjang yang sangat kuat dan tidak mudah untuk diputus. Ujung sebuah keyakinan dalah keraguan, dan ujung sebuah keraguan adalah keyakinan.
Di mana kau memegang ujung rantai itu, semuanya akan mengarah pada hal yang sama.
Tapi,
“[Dari sebuah keraguan, akan muncul sebuah keyakinan kecil, di balik sebuah keyakinan kecil itu, ada sebuah keraguan yang lebih besar lagi. Itu tidak masalah, karena di balik itu semua, di balik sebuah keraguan yang besar itu, sebuah keyakinan yang jauh lebih besar lagi sudah ada di depan jalanmu].”
Kenapa?
Karena ingatan dan juga kenangan.
“[Aku memang masih memiliki keraguan di hatiku untuk benar-benar melakukan semua ini. Tapi, ingatan, kenanganku akan semuanya, yang aku sangat ingin tidak kehilangan, membuatku jauh lebih dari sebelumnya. Aku tak ingin kehilangan hari-hariku dengan semua. Aku masih ingin melihat semuanya sewaktu kita berhasil keluar nanti].”
“[Senyuman Aoi yang tulus, lebut dan juga melegakan, membuat siapapun yang melihatnya merasa tenang,
.......Meski begitu, Kazuya tetap bagian dari lingkaran, jadi aku akan menambahkannya, tapi aku tidak akan menulis ‘Senyuman Kazuya yang terlihat licik dan terkadang terkesan menyeramkan’ atau sesuatu seperti itu. Tunggu? Apa aku baru saja menulisnya?
Lalu yang terakhir,
Senyuman Ryo yang paling jarang terlihat dan selalu terlihat dingin. Tapi, setiap kali ia tersenyum, selalu terasa kebaikan di dalamnya.
Aku rasa, dia memang orang yang seperti itu].
Semua pasti berpikir seperti itu. Semua pasti berpikir ingin saling melihat satu sama lain lagi seakan-akan mereka tidak bertemu sudah sangat lama sekali.]
Untuk mewujudkan semua itu, cuma satu resolusi yang ia butuhkan. Dengan sesuatu yang kini seolah menyinari hati dan juga jalan di depan langkahnya, Yukari kembali menghela nafas singkat sebelum akhirnya menoleh ke arah pemuda pucat di sampingnya itu.
“......Setelah kita keluar dari sini, aku berjanji tidak akan pernah menginjakkan kakiku di rumah ini lagi. [Aku menyayangi kalian semua!].”
Ia berkata, dengan senyuman tipis di wajahnya.
Mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang ditanyakannya itu, Ryo terdiam sejenak, kemudian sedikit mengangguk.
Ini adalah yang pertama dan terakhir kalinya, mereka menginjakkan kaki di tempat ini.

TAP TAP TAP

Mereka berdua bergerak, berjalan masuk ke dalam gudang dengan perlahan, mengakhiri permainan kematian i--
“Tunggu...”
Baru beberapa langkah ia berjalan, Yukari tiba-tiba menghentikan langkahnya tanpa alasan yang jelas.
Ryo mengikuti Yukari berhenti dengan tatapan yang terlihat bingung.
Ada apa?
“Ada apa, Akihara?”
“...Barusan aku merasa seperti menginjak sesuatu.”
Yukari berkata, dengan nada bicara yang terdengar sedikit ketakutan. Rasanya ada yang aneh?
Suara aneh mengikuti langkah Yukari yang bergerak mundur beberapa senti dari tempatnya berdiri sebelumnya, menimbulkan suara seperti ketika seseorang menginjak sesuatu yang seperti cairan.
Air? Di tempat seperti ini?
Untuk sesaat, tubuhnya kembali terasa berat. Keringat dingin mulai kembali mengalir bersamaan dengan Yukari, yang menurunkan pandangannya.
“.................”
Suasana yang benar-benar gelap, membuatnya kesulitan untuk menerka dan melihat, sesuatu apa yang telah ia injak.
Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Ryo pun menundukkan tubuhnya, kemudian menyentuhkan sebelah tangannya ke lantai kayu itu.
Basah.
Itu yang diterima oleh otak Ryo begitu ia menyentuhkan tangannya. Dengan segera, ia bangkit berdiri kemudian mendekatkan tangan ke wajahnya dan--
“!!!!!!!??”
“A--“
Yukari langsung terbelalak sambil menutup mulut dengan tangan kirinya. Perlahan, setetes air mata terlihat di sudut matanya.
“Tidak...Ini...”
Ujar gadis itu, berjalan semakin mundur.
“.............”
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut pemuda bermata merah itu, selain tubuhnya yang gemetar hebat dan mulutnya yang sedikit bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa.
Sebuah cairan berwarna merah kini terlihat jelas di tangan Ryo.
“Darah!! Itu darah!!”
“Tenang, Akihara! Tenang!!”
Ryo memegangi tangan Yukari yang berusaha melarikan diri. Salibpun terjatuh dari tangan mereka berdua, menimbulkan suara ketika terjatuh ke atas lantai.
Siapa!!?
Darah siapa!!?
Apa--
Apa ada yang--
“Tidak--Tidak!!”
Yukari terus berteriak keras, tubuhnya berjalan semakin mundur.
“Akihara!!”
Meski ia berusaha keras menenangkan Yukari, Ryo sendiri pun sebenarnya sedang diliputi oleh rasa takut.
Sampai akhirnya,--
“Ah!!!”
“Akihara!!”
Ryo langsung tertegun dan berlari ke arah Yukari, yang tiba-tiba berteriak dan terjatuh ke atas lantai dengan keras.
Dengan cekatan, Ryo langsung memegang pundak Yukari yang sepertinya terlihat masih sangat shock.
“Hah...Hah!”
Nafas Yukari masih terdengar sangat berantakan saat itu, sambil bersandar pada dinding, tangannya berusaha meraba-raba dinding di belakangnya untuk membantunya berdiri.
“A--Aku tersandung! Ada sesuatu di sana!!”
Ia berkata dengan terbata-taba, menunjuk ke arah sesuatu yang membuatnya terjatuh.
Ryo mengalihkan pandangannya dan--
“Sesua--“
KYAAAAAAAAA!!!!!!!!!!
“!!!!!!!”
Yang tergeletak di depan mereka,
Sebuah tangan manusia.
“R--“

DEG DEG DEG

“Ukh--“
Ryo menutup mulutnya, berusaha menahan teriakan yang ingin keluar dengan keras, sementara Yukari terkejut, menggenggam bagian bawah bajunya dengan sangat erat, seolah bisa robek kapanpun.
“.........Mustahil...”
Ketika mengatakan ini, Yukari tidak bisa menahan air matanya lagi. Matanya menatap jauh ke dalam gudang, penuh dengan ketakutan.
Saat itu, entah apa yang terjadi, seperti ada sebuah kilat yang lewat dan menyambar di balik jendela, menimbulkan secercah kecil cahaya, yang menerangi ruang gudang dengan sekilas seperti sebuah film yang diperlambat.
Mereka berdua hanya memiliki kesempatan beberapa detik saja untuk melihat sesuatu yang berada di dalam gudang. Dan, hanya butuh tak kurang dari satu detik, yang mereka butuhkan menemukan dan melihat sosok, yang berada di sana, bersandar pada lemari kayu,
Dengan tubuh bersimbah darah,
Nyaris terbelah menjadi 2 dari bahu ke bawah,
Dan mulutnya yang terlihat robek, penuh dengan bekas goresan.
.......................
..........................................
..........................................................................
 “.............Aoi...”
Dia mengatakannya.
“Aoi--“
Ia menyebut namanya sekali lagi.
“A--“

“Selamat pagi, Yukari-chan!”
“Sudah, jangan ribut-ribut seperti itu, Yukari-chan, Azamaki-kun. Nanti orang tua Yukari-chan akan mengusir kita. Dan lagi, alasan kenapa kita selalu berkumpul di rumah Yukari-chan, Itu karena rumah Yukari-chan yang paling besar. Jadi, enak buat kumpul-kumpul seperti ini. Lagipula Yukari-chan, aku tidak tahu kamu takut sama cerita horror?” 
 “He he he...Maaf.”
“Yukari-chan, jangan marah-marah terus.”
 “Be--Benar sekali!! Mana mungkin aku dan Yukari-chan itu--Ah! Lagipula, aku dan Yukari-chan itu cuma teman! Ya, cuma teman!! Bu--Bukan berarti aku tidak suka dengan Yukari-chan--Ya--A --aku suka dia sih~ Ta--Tapi hanya sebatas teman!!”

“AOIIIIIIIII!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Yukari berteriak, berteriak dan menangis sekeras yang ia bisa!
Aoi mati!
Aoi--
“Asahina--!!”
“AOI!!!!”
Tanpa berpikir panjang, Yukari langsung bangkit berdiri, bermaksud berlari mendekati tubuh sahabatnya itu yang sudah tidak bergerak.
“Aoi! Aoi tidak!!!”
“Jangan, Akihara!! Jangan ke sana!”
“Kenapa tidak boleh!!!? Aoi ada di sana! Aoi terluka, aku harus menolongnya!!! Minggi, Ryo! Lepaskan aku!! Lepaskan aku!!!”
“Akihara! Akihara!! Dengar’kan aku!! Asahina sudah mati!! Asahin--"


“TIDAK!!!!!!!!”
“Akihara!!!!”
“Jangan bercanda! Aoi belum mati!! Dia tidak mungkin mati!!!!”
Baru tadi pagi, gadis bermata biru seperti laut itu menyapanya, baru tadi mereka makan siang bersama, baru tadi ia melihat senyumannya itu,
“DIA TIDAK MUNGKIN MATI!!!!!”
“AKIHARA!!!!”
“.............................................”
“.........Akihara...Asahina sudah...”
“.............................”
“.............................................”
“.......................Tidak.........”
“......................”
“Tidak tidak tidak, Aoi!!!!!!!”

GREP

Tubuh Ryo sedikit terdorong ke belakang, ketika Yukari menerjang dan memeluknya dengan sangat erat.
“.........................”
“Aoi...Tidak!!”
Aoi adalah gadis yang baik. Sangat-sangat baik dan dia tidak pantas mati seperti ini!!
Ini sama sekali tidak mungkin terjadi!!!!
“Aku--Aku sudah berjanji!!!! Aku sudah berjanji akan membawa semuanya keluar dari sini, tapi--!!! “
Apa ini semua salahnya?
Apa ini karena ia menyetujui rencana Kazuya?
Seandainya...
Apa jika seandainya ia berusaha memikirkan jalan lain, keluar dari cengkraman Kazuya,
Mereka bisa selamat dan keluar dari rumah ini...?
...................
“KENAPA JADI SEPERTI INI, TUHAAAAN!!!!!!!?”
 “Akihara...”
“Seharusnya aku yang mati!!!!! Seharusnya aku yang berada di sana bukan Aoi!!!!! Ini semua salahku!!! SALAHKU!!!!!!!! Ukh!!!”
“...............”
“Kalau ingin bunuh, bunuh saja aku!! Aku terima!!! Aku tidak masalah!!! Tancapkan saja pisau itu padaku, asalkan--“
Asalkan Aoi bisa kembali bersama mereka lagi.
Tapi itu tidak mungkin,
Aoi sudah mati.
“Kumohon...Kembalikan Aoi...”

“HI HI HI”

................
Dalam sekejap, suara seorang gadis kecil tertawa terdengar.
“..............Tidak...”
Bersamaan itu, di samping tubuh Aoi yang telah tak bernyawa, samar-samar, terlihat bayangan seseorang, tersenyum dengan mengerikan ke arah mereka,


“Permainan yang menyenangkan, bukan...?”

 “Akihara!! Kita harus pergi!! Cepat!!!”
Memegang lengan Yukari, Ryo segera membalik tubuhnya untuk segera pergi keluar dari rumah ini.
Inikah akhirnya?
Inikah akhir yang menanti mereka berempat?
Untuk mati di tempat ini?
“Tidak tidak tidak tidak!! TIDAK!!! Hentikan ini hentikan ini!! Tolong aku tolong aku!!”
..................
“SESEORANG!!!!!!!!!”
“CEPAT LARI!!!!!!”
Dengan sekali teriak, Ryo langsung menarik lengan Yukari dan membawanya berlari dalam kegelapan. Di tengah-tengah itu, Yukari menoleh kembali ke belakang, menuju ke tempat sebelumnya di mana ia berteriak dan menangis, lalu menjulurkan tangannya.
“Aoi...”
Ucapnya dengan suara pelan.
Penuh dengan keputusasaan.
Berusaha menggapai sahabatnya tersebut

“Yukari-chan, kau harus keluar dari sini.”

“Ah...”
Yukari berkata dengan suara pelan, saat ia samar-samar mendengar suara yang sangat lembut itu. Rasanya sesuatu itu seperti menyentuh hati dan juga perasaannya. Bayangan Aoi yang sedang tersenyum sambil berkata ‘Yukari-chan’, terbayang langsung.
Itu harapan Aoi.
Kita semua harus bisa keluar dari sini dengan selamat.
Maka dari itu, berusaha menahan perasannya, Yukari, berkata dengan suara pelan,
....................
.....................................
.......................................................
“Aku pasti akan keluar. Terima kasih...”
Lalu membalikkan pandangannya, melihat ke depan,
“Aoi...[Kau adalah sahabat terbaikku. Aku tidak  akan pernah melupakanmu].”

TES

Butiran air mata yang tertumpah untuk sahabat baiknya itu, mengiringi langkahnya, menuju ke pintu keluar.

“Kita di sini!! Kita di sini!”
Ryo berteriak, mengacung-ngacungkan jarinya, ke arah pintu tua yang tepat di depan mata mereka.
“Ah!”
Yukari berteriak sedikit kencang ketika Ryo belum sempat mengerem langkahnya dan berhenti, sehingga ia menabrak pintu itu dengan sedikit keras, membuat Yukari yang lengannya di pegang oleh Ryo merasa terkejut.
Tanpa mempedulikan apapun lagi, tanpa mempedulikan rasa takutnya, tanpa mempedulikan kehadian hantu itu yang bisa tiba-tiba saja itu, Ryo mengetuk-ngetuk pintu itu dengan sangat keras, menimbulkan suara ‘Dok’, ‘Dok’.
“Buka!! Seseorang!!!!!”
Pemuda yang biasanya bersikap dingin dan tak banyak berdialog dengan orang lain itu, kini berteriak, penuh pengharapan, penuh keputusasaan.
Gadis yang berdiri di sampingnya itu, awalnya hanya terdiam memperhatikan Ryo, namun ketika dirinya juga semakin panik, ia menoleh ke kanan dan kekiri seolah berusaha mencari seseorang yang bisa dimintai tolong.
Lalu--

DOK DOK DOK

--Ikut menggedor pintu tua tersebut.
“Buka pintunya!!! Kumohon seseorang!!! Siapa saja dengar kami!!”
“Pintu tua sialan!!”

BRAAKH BRAAAKH

Teriak Ryo, terus berusaha mendobrak keras pintu itu.
Apapun yang terjadi, mereka harus bisa keluar dari sini! Persetan dengan menyelesaikan permainan ini!!!
“Tidak!! Jangan seperti ini kumohon!!!! Jangan biarkan semuanya berakhir seperti iniii!!!!!!!! [Tolong aku tolong aku tolong aku tolong aku tolong aku tolong aku tolong aku!!!!!!!!!!].”
“Akh!!! Kenapa pintu ini tidak mau terbuka!!? Hah, hah!! Bukaaa!!!!!!!!”
“Tolong!!! Seseorang--[Aku tidak ingin mendengar apapun lagi, aku tidak ingin mendengar apapapun lagi--!].”,
........................
“TOLONG KAMIIIII!!!!!!!!!!!”

DRAP DRAP DRAP!!

“R--Ryo!! Ryo!!”
Langkah kaki terdengar, begitu cepat, begitu keras, menuju ke arah mereka berdua. Yukari tak bisa menahan lagi perasaan takut yang berusaha ia tekan dan singkirkan sejak tadi! Rasa takut yang telah terbuang jauh itu, kembali dengan sangat cepat seperti penyakit yang menggerogoti tubuhnya!
Dengan erat, ia menggenggam lengan baju yang dikenakan Ryo, sambil menangis ketakutan, melihat ke belakang.
“Ryo, ada sesuatu di sana!!”

BRAAAAKH BRAAAAAAAAAAKH

“Ayo, terbukalah!!! TERBUKALAH!!!!!!!

DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP--

“RYOOOOO!!!!!”
“Ayo!!! Ter...Terbuk--“

BRAAAAAAAAAAAAAAAKH

“.......................”
Kepingan pecahan kayu, terbang melintasi Ryo dan Yukari. Mata mereka terbuka lebar, tidak percaya dengan kejadian yang hanya terjadi dalam waktu beberapa saat itu. Karena dengan cepat, sebuah kapak berwarna merah, menghantam pintu, dan menghancurkan pintu itu dengan seketika.
“...............................”
Tak hanya berhenti di sana, kapak itu terus bergerak, bergerak, ke atas ke bawah ke samping, menghancurkan, membantai pintu yang telah memerangkap mereka itu dengan tiada ampun.
Ketika mereka berdua menoleh ke samping, sosok yang tidak asing lagi, telah berdiri di samping mereka,
--Tanpa ragu lagi, orang itu adalah......
“Kazuya!!!?”
Teriak Yukari begitu menyadari bahwa sosok itu ternyata Kazuya, yang datang dengan kapak di tangannya.
Kazuya tak punya waktu untuk menjawab teriakan Yukari yang terdengar sangat kaget itu. Ia terus saja menghantamkan kapaknya ke arah pintu itu!
“Hah! Haah!!! Tidak akan kubiarkan--!!!!! Tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan --“
“-- KAU MEMBUNUHKU DI TEMPAT INIIIIII!!!!!!!!!!

BRAAAAAAAKH!!!!!!!

Itu adalah sebuah suara.
Suara yang timbul dari pintu yang hancur, kemudian terjatuh ke tanah berumput tinggi dengan keras.
Untuk sekian yang cukup lama,
Entah mengapa mereka begitu merasa rindu dengan langit malam gelap yang bahkan tak berbintang itu...
***-***
Jumat, 22 Februari -XXX-
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kanade selalu berada di kamarnya tiap kali aku pulang dari sekolah.
Dan di saat itu pula, ketika aku lewat di depan pintu merah yang setengah terbuka itu dan mengintip ke dalam, aku selalu mendapati adik perempuanku itu menonton film horor.
Tidak baik untuk anak kecil menonton film-film yang cocok ditonton oleh orang dewasa seperti itu. Beberapa kali aku coba membelikannya DVD yang cocok untuk anak-anak seusianya. Dia menerimanya, tapi besoknya, DVD baru itu kulihat sudah berada di tempat sampah.
Adikku memang seperti itu.
Tiap kali aku membuka internet untuk mencari kaset video game seperti apa yang bisa aku beli secara online, dia selalu memintaku untuk memdownload-kannya film-film horor yang belum ada dalam bentuk kaset.
Aku tidak tahu, hanya saja, aku sama sekali tidak bisa menolak permintaannya itu.
***-***


A/N : Hai, minna XDD

Hide and Seek update!
Yosh! Setelah tahun kemarin banyak bikin artwork daripada nulis, mulai sekarang aku bakal fokus ke dua-duanya//biar imbang gitu maksudnya//aku ga lupa cara nggambar dan ga lupa caraku nulis sama lupa alurnya ^^

Mulai sekarang, 2 kali artwork, satu chapter cerita dan seterusnya.
Kenapa 2 kali artwork dulu baru nglanjutin cerita? Karena nulis itu lebih lama daripada bikin artwork XDDD

Akhirnya!!! Mereka berhasil keluar dari rumah itu!!! AAAAAAA!!!!! Ya, ya, aku tau ini ngga serem, ya ya aku paham itu...

Tapi jujur, waktu aku nulis bagian Aoi mati...sebenarnya ngga tega...TT-TT//padahal Aoi baik loh...mungkin udah pada nyadar kalo Aoi yang bakal mati//hiks hiks...

Sankyuu...

Visit : Ngomik

            DA

Next Chapter : Chapter 7


Author,
Fujiwara Hatsune