Story : Hide and Seek Chapter 6
*Read : Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
*Read Another Story :
One Shot-Stories
How To Make A Friend
Hide and Seek
[Don’t let Her Find You...]
Chapter 6 Akhir Dari Permainan ‘Hide and Seek’
“Baiklah, setelah hitungan
ketiga, kita berpencar, kemudian dengan perlahan-lahan menuju ke arah gudang.
Paham?”
ketika Ryo berkata seperti itu,
semua langsung menganggukkan kepala dengan jantung berdebar-debar.
“Ingat hal yang terpenting?
Jangan sampai ada yang mati.”
Maka dengan satu kalimat
terakhir, yang disertai dengan senyuman tipis itu, Ryo mulai menghitung.
1...
2...
3...
“LARI!!! CARI TEMPAT
BERSEMBUNYI!!! CEPAAAAT!!”
‘10...Waktumu sudah habis. Siap
atau tidak, aku akan datang untuk mencarimu...’
Kira-kira, bagaimanakah akhir
dari permainan mistis ini?
***-***
“Hah...Haah! [Aku harus sembunyi! Aku harus sembunyi, aku
tidak ingin mati!! Tapi, aku harus ke mana!?].”
Berlari sekuat tenaga yang ia
miliki untuk menemukan sebuah tempat untuk bersembunyi, Akihara Yukari berlari
menyusuri koridor di dalam rumah yang terlihat gelap dan sempit seorang diri.
Sekarang ini, semuanya padti
sudah berpencar, mencari tempat untuk bersembunyi dari kejaran hantu itu. Dan
apapun yang terjadi, mereka harus berusaha agar hantu itu tidak menemukan
mereka, kemudian--
Membunuh mereka.
“Haa...Haah...”
Rasanya, tiap kali mengingat
kalau ia tidaklah ‘sendirian’ di dalam koridor sempit ini, Yukari bisa
merasakan bahwa tubuhnya dapat jatuh kapan saja. Di tambah dengan berbagai
macam perasaan yang sekarang ini bercampur jadi satu dengan dirinya.
Ketakutan,
Putus asa,
Tanpa harapan,
Membuatnya merasa ingin berlari
ke pintu keluar dan mendobraknya dengan sekuat tenaga kemudian berharap agar
pintu tua itu benar-benar roboh.
Meskipun begitu, sambil terus
berusaha melangkahkan kakinya yang terasa berat, Yukari terus berlari dan
berlari tanpa henti sedikitpun.
“[Apapun yang terjadi, harus ada yang mengakhiri permainan ini! Aku harus
menuju ke gudang tua itu!! Harus!!].”
Tekad Yukari dalam hatinya.
Tapi--
TAP TAP TAP
“!!!!?”
Dengan mata terbuka lebar, Yukari
menoleh ke belakang.
Meskipun hanya samar-samar
seperti suara angin yang berlalu, tapi suara itu jelas tertangkap oleh kedua
telinganya.
“[Suara langkah kaki...Tidak...].”
Sambil menutup kedua mulutnya
dengan erat, memastkan bahwa tak ada suara yang keluar, gadis berambut coklat
pendek itu menempelkan punggungnya pada dinding.
“[Kenapa--?! Di dalam koridor
yang seharusnya tidaka da siapapun selain diriku sendiri--Dia benar-benar mengejar kita! Dia benar-benar mencari kita!! Permainan
gila ini benar-benar sudah dimulai!!].”
Yukari menahan nafasnya, semakin menekan dirinya ke dinding
di belakangnya.
Langkah kaki itu sepertinya semakin mendekat ke arahnya.
Suaranya memang tidak terlalu jelas, tapi membuat berdebar
siapapun yang mendengarnya.
TAP TAP TAP TAP TAP
“[TIDAK!!!].”
Yukari menjerit dalam hati ketika suara langkah kaki
misterius itu kembali terdengar.
Ia belum sempat menemukan tempat untuk bersembunyi, apa
hantu itu sudah menyadari keberadaannya?
“.............[Jangan,
kumohon jangan!!].”
Dengan merapatkan kedua tangannya seperti orang sedang
berdoa, Yukari memejamkan mata dan terus
berdoa serta memohon dalam hatinya.
Meski ia tidak melihat sosoknya, tapi ia bisa mendengar
bahwa suara langkah kaki itu semakin keras dan semakin keras tiap detiknya,
dengan perlahan, mungkin saja roh si anak kedua itu berjalan ke arahnya sambil
tersenyum iblis dan membawa pisau untuk membunuhnya.
TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP
TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP TAP
TAP TAP TAP TAP TAP TAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP
DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP
DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP
DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP
“[Ah!!! Jangan--JANGAN!!!].”
Yukari semakin ketakutan ketika suara langkah kaki yang
terdengar, berubah menjadi suara seperti orang yang sedang berlari dengan
kecepat luar biasa! Dan itu, sedang menuju ke arahnya!!
“[Tolong aku, tolong
aku, tolong aku, tolong aku, TOLONG!!!!!!!].”
Dalam sedetik kemudian--
Suara itu lenyap dan tidak terdengar lagi.
“Haah...Haaaah...Apa--Apa yang--?”
Sambil mengatur nafasnya yang terdengar sangat berantakan,
Yukari membuka matanya perlahan begitu menyadari kalau suara langkah kaki itu
tidak terdengar lagi.
Ia terdiam sejenak, kemudian
memastikan bahwa tak ada suara-suara aneh lagi yang mengikuti langkahnya dari
belakang.
Setelah yakin bahwa suara langkah
kaki atau suara yang seharusnya tidak ada itu benar-benar sudah menghilang,
Yukari mencondongkan tubuhnya ke depan, kemudian melihat ke ujung koridor yang
baru saja ia lewati.
Tempat itu sekarang benar-benar
terlihat gelap dan menakutkan. Di tambah dengan tidak adanya satupun
pencahayaan di dalam rumah tua ini, membuat suasana menjadi semakin mengerikan.
Dan Yukari sampai saat ini masih tidak percaya, kalau ia baru saja berlari
melewati koridor menyeramkan dengan hawa dingin yang menyebar di sekelilingnya.
“.............[Bukan saatnya aku diam di sini. Roh si anak
kedua itu bisa datang kapan saja. Aku harus bergegas!].”
Tanpa mengatakan apapun, Yukari
kemudian meraba-raba dinding di belakangnya, lalu mulai berjalan pelan sambil
mendekatkan tubuhnya sedekat mungkin pada dinding.
“[Apapun yang terjadi, aku tidak boleh membuat suara! Aku harus tenang!!].”
Tidak berlari seperti sebelumnya,
Yukari berjalan menyusuri tempat itu dengan perlahan.
Ia tahu, hantu itu bisa muncul
kapan saja dan segera menemukan dirinya, karena itu ia harus segera mencari
tempat persembunyian. Namun, karena suasana yang gelap, Yukari bahkan tidak
tahu di bagian mana dalam rumah ini ia berada.
Apakah di dalam koridor menuju
dapur, atau koridor menuju ke ruang tamu, atau mungkin menuju ke kamar salah
satu anggota keluarga.
Tapi dia tahu, untuk memenangkan
permainan ini, ia harus pergi ke gudang di mana terdapat lemari tua tersebut.
Kalau begitu, untuk menemukan di mana gudang itu berada, ia harus memastikan
bahwa dirinya berada di tempat yang terdekat dengan gudang itu.
Dan itu adalah--
“[Dapurnya. Itu adalah tempat terdekat dengan gudang. Jika saja
seandainya aku bisa ke dapur, maka aku pasti bisa ke gudang juga! Aku harus ke
tempat yang menyebabkan ‘tragedi’ dan permainan in terjadi].”
Ketika ia berpikiran seperti itu,
sebuah pertanyaan muncul di dalam kepalanya.
Ia tahu, bukan saat yang tepat untuk
membahas itu. Namun ia sama sekali tidak bisa menghilangkan pertanyaan itu dari
kepalanya.
“.................[Entah kenapa, sekarang ini aku justru
penasaran dengan si anak pertama. Apa yang terjadi padanya setelah kebakaran
itu? Kenapa ia pergi dan seolah menghilang begitu saja? Apa dia masih hidup?
Atau--].”
Yukari menghentikannya sampai di
situ bersamaan dengan langkahnya yang juga ikut terhenti.
Ia terdiam di tempatnya seolah
sedang mencari jawaban untuk pertanyaannya tersebut.
Namun dengan segera, ia
menggelengkan kepalanya. Sepertinya memang bukan saat yang tepat untuk membahas
masalah itu di sini. Ia juga tidak peduli dengan apa yang terjadi pada si anak
pertama itu karena yang harus ia pedulikan di sini adalah nasibnya dan
teman-temannya.
“[Jangan ada yang mati--!!].”
Tiba-tiba saja, Yukari teringat
akan perkataan Ryo.
“Ingat hal yang terpenting? Jangan sampai ada yang mati.”
Itu adalah kalimat terakhir yang
diucapkan oleh pemuda super dingin itu sebelum mereka berpisah.
Sebuah kata-kata yang singkat,
namun tersirat makna yang sangat dalam.
“[Apa yang kau pikirkan ketika kau mengatakan kalimat itu? Apa kau
memikirkan kami semua?].”
Yukari berkata dalam hati sambil
kembali melangkahkan kakinya di atas lantai kayu yang sudah sangat tua.
Kata-kata itu dipenuhi oleh
perasaan Ryo. Perlahan-lahan, senyuman pemuda itu ketika mengucapkan kalimat
pendek itu terbayang di benak Yukari. Dan entah karena itu hal yang tidak biasa
atau hal yang sangat aneh, Yukari tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa
dengan volume suara yang pelan.
“Aha ha ha, bodoh. Kenapa aku
malah tertawa di saat seperti ini? Dan yang lebih bodohnya lagi, kenapa di
saat-saat paling menegangkan dalam hidupku, justru wajah orang itu yang
terbayang?”
Wajah Ryo yang biasanya terlihat
dingin dan tidak peduli akan apapun, ternyata bisa juga menunjukkan sebuah
senyuman seperti itu.
Dan Yukari tidak tahu kenapa,
tapi ia merasa kalau senyuman itu sangat spesial.
Perlahan, ia meletakkan sebelah
tangannya di atas dada. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar dengan keras,
tiap kali wajah Ryo terbayang di dalam pikirannya.
Jauh di dalam hatinya, ia ingin
agar Ryo bisa selamat.
“[Tidak, bukan cuma Ryo. Tapi Aoi, dan juga Kazuya...].”
Ketika ia memikirkan
sahabat-sahabatnya itu, wajah mereka satu per satu muncul dalam pikirannya.
Ia tidak pernah merasa kalau hari
seperti ini akan datang. Ia selalu berpikir kalau sampai seterusnya ia akan
selalu bisa melihat senyuman Aoi, beradu mulut dengan Kazuya, dan--
Dan bisa terus berada di sisi
Ryo.
Karena itu,
Apapun yang terjadi, mereka harus
keluar berempat. Tidak akan mereka biarkan hantu itu menemukan mereka, kemudian
membunuh mereka dan memenangkan permainan ini.
Sudah saatnya, permainan ‘Hide and Seek’
mencapai titik akhirnya.
Agar hari-hari yang selalu mereka
jalani berempat itu bisa terus berlangsung.
“[Aoi, Kazuya, Ryo--Kalian harus selamat! Apapun yang terjadi, kita pasti
akan keluar dari sini bersama-sama!!].”
Dan ditiap langkah Yukari,
terucap doa- doa bagi keselamatan teman-temannya, sampai akhirnya ia menemukan
sebuah pintu, masuk ke dalamnya, beberapa langkah kemudian, pintu itu
terbanting dan tertutup dengan suara keras.
***-***
Tempat itu sangat gelap,
sampai-sampai pemuda berambut putih berantakan itu, Fujiwara Ryo, tidak bisa
melihat tempatnya berpijak.
Setelah ia berlari menyusuri koridor,
Ryo akhirnya menemukan sebuah pintu. Pintu itu terlihat sudah sangat rapuh.
Namun, ia tidak bisa menendang pintu tersebut hanya untuk membuatnya hancur.
Bagaimanapun juga, suara yang terlalu berisik akan membuat roh si anak kedua
itu menyadari keberadaannya.
Karena itu, ia mendekatkan
dirinya pada dinding, kemudian sambil berusaha memastikan bahwa ia tidak
membuat suara yang gaduh, Ryo memutar gagang pintu perlahan dan dengan segera,
ia masuk ke dalamnya untuk bersembunyi.
Di sinilah ia sekarang.
Bersembunyi di sebuah ruangan
gelap, yang ia sendiri bahkan tidak tahu ruangan apa itu.
Dengan tubuh sedikit bergetar dan
keringat yang turun membasahi wajahnya, Ryo berdiri dan menekan punggungnya
pada pintu itu seolah berusaha menghalangi siapapun masuk ke dalam.
Ia berusaha mengatur nafasnya
yang berantakan sambil melihat ke sana kemari.
“.............[Tempat apa ini? Aku sama sekali tidak bisa
melihat apapun!].”
Ryo berusaha menyipitkan matanya
agar bisa melihat lebih jelas lagi, apa yang berada di ujung ruangan ini.
Kelihatannya tidak terlalu luas.
Pemuda itu kemudian sedikit
melirik ke belakang, ke arah pintu.
Dan kemudian,
Ia jatuh terduduk.
Tangannya lalu terangkat ke
depan, menunjukkan sebuah salib yang kini terlihat memiliki noda merah. Pasti
darah luka gores akibat pisau itu menempel pada salibnya.
“.....................................”
Tanpa mengatakan apapun, ia duduk
membelakangi pintu, lalu memeluk kedua lututnya dengan erat.
“................[Sebenarnya...].”
Sebenarnya--
“[Apa guna kita melakukan semua ini? Permainan ini? Sejak awal, Kazuya
begitu ingin memainkan permainan gila ini. Tapi, kenapa?! Demi mendapatkan
perasaan berdebar-debar ketika tahu kalau ada sesuatu yang tak terlihat
mengikuti kita dari belakang? Atau mungkin, merasakan sensasi aneh ketika kita
tahu, kalau bisa saja ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di samping kita,
padahal tidak ada siapapun di sana?! Perasaan yang sedang kurasakan saat
ini--Apa ini yang dia maksud!? Tapi--Tapi, kenapa!? Hanya untuk itu--].”
Hanya untuk merasakan hal konyol
seperti itu, dia sampai rela mengorbankan nyawanya sendiri demi melakukan
permainan bodoh ini!?
Ia kembali teringat dengan
senyuman licik dan aneh yang selalu dibuat oleh Kazuya tiap kali dia memainkan
permainan berbau mistis. Dan dari situ, memang jelas sekali, bahwa Kazuya
memang benar-benar menikmati tiap detik dari perasaan aneh ini. Sepertinya, dia
hidup dari perasaan ini.
“Dan sekarang--Dia membawa-bawa
kita ke dalam rumah ini...Membawa kita ke dalam permainan ini...! Bagaimana
bisa dia berbuat sampai sejauh itu!? permainan ini, ‘Hide and Seek’,
jelas-jelas sangat berbeda dari permainan mistis lainnya seperti ‘Hitori
Kakurenbo’, ‘Kokkuri-san’, maupun Oujia Board!! Permainan ini--Sudah berada di
level berbahaya! Kalau salah satu langkah saja, kita akan benar-benar
terbunuh!! Kita semua bisa mati--Dan aku tidak mau itu!!”
Ryo berteriak dengan suara yang
berusaha ia tekan agar tidak terlalu keras sambil meremas rambutnya yang
sedikit panjang di bagian ujung.
Dari nada bicaranya itu, bisa
terdengar rasa takut yang amat sangat. Rasanya air mata bisa saja turun
membasahi wajah putih pucatnya itu.
“Aku tidak mau mati...Aku tidak
mau--Tidak mau! Sejak awal kita tidak harus melakukan semua ini! Permainan
ini--Kenapa?! Kenapa dari semua permainan harus yang ini!!? Kenapa!?”
Sekali lagi, ia berteriak, bukan
kepada siapapun, melainkan kepada dirinya sendiri.
Seandainya saja ia bisa memutar
semuanya, seandainya saja ia tahu kalau akhirnya akan seperti ini, maka ia,
tanpa ada setitik rasa ragupun pasti akan melakukannya.
Masalahnya, ia sama sekali tidak
memiliki kemampuan seperti itu. Yang bisa ia lakukan sekarang ini hanya
menjalani apa yang sudah terjadi dan menerima semua kenyataan pahit yang
menyakitkan ini. Kenyataan bahwa mereka telah terjebak di dalam rumah ini,
kenyataan bahwa mereka telah terlibat dalam permainan kematian ini, kenyataan
bahwa mungkin saja nyawa mereka tinggal beberapa detik lagi, hanya bisa
berharap pada sebuah salib di tangan yang akan mengakhiri semuanya.
Perlahan, ia menoleh ke bawah,
melihat ke arah salib yang kini berada di genggaman tangannya.
“Ukh..!!”
Dengan pandangan tersiksa, Ryo
menggenggam salib itu lebih keras lagi.
Inilah perasaannya yang
sebenarnya.
Perasaan yang berusaha ia tahan
dan pendam. Perasaan yang tidak ingin ia perlihatkan pada semuanya.
“Aku sudah bilang, bukan cuma Akihara saja. Tapi, kau, dan bahkan
Kazuya,”
Pada saat ia mengatakan hal yang
terdengar kuat itu, yang sebenarnya ada dipikirannya adalah, ‘Kenapa aku bisa
mengatakan hal seperti itu? Bahkan untuk melindungi diriku sendiri saja aku
sudah merasa tak mampu’.
“Tidak akan kubiarkan ada yang mati. Kita semua pasti akan keluar dari
rumah ini! Tidak boleh sampai ada korban lagi!”
Ketika ia mengatakan kalimat itu,
bahkan ia sendiri tidak merasa yakin kalau mereka bisa keluar dari sini dengan
selamat.
“[Aku tidak tahu--Aku tidak tahu apa kita benar-benar bisa keluar dari
rumah ini! Aku hanya tidak ingin mati!!].”
“Semuanya tenang!! J--Jangan panik! Kalau kita menimbulkan suara, maka
dia akan menemukan kita!!”
“[Aku takut, aku takut, aku takut, takut, takut!!].”
Bahkan mungkin diantara mereka
berempat, dialah yang paling merasa ketakutan.
“K--Kita harus selesaikan permainan ini!!!”
“[Selesaikan permainan apanya!!? Apa yang sudah aku katakan!?].”
“Memang ada pilihan lain!!?”
“Tidak ada!! Tidak ada pilihan selain kita harus pergi ke sana,
kemudian mengakhiri permainan ini dengan cara yang seharusnya! Kau lihat’kan!?
Kita tidak bisa kabur! Kita terjebak!! Dan satu-satunya cara untuk keluar dari
rumah ini adalah--SELESAIKAN PERMAINAN BODOH INI!!!!!!”
Bahkan ketika ia mengatakan kalau
mereka harus kembali ke dalam dan menyelesaikan permainan ini, ia berulang kali
mengutuk dirinya sendiri atas usul tersebut. Orang bodoh seperti apa, yang mau
kembali masuk ke dalam rumah horor mengerikan seperti ini?! Tidak ada orang
waras yang mau melakukan hal seperti itu!
Tapi ia sudah terlanjur
mengatakan semua hal itu di depan teman-temannya. Bahkan ternyata pemuda dingin
seperti Ryo pun bisa merasa peduli akan keselamatan orang lain. Seandainya
kalian bisa melihat wajah seperti apa yang dibuat oleh pemuda berambut putih
itu saat ini, pasti kalian tidak akan mengira bahwa ia adalah seorang pemuda
yang selalu menampilkan ekspresi datar di wajahnya setiap hari.
Karena wajahnya sekarang,
benar-benar terlihat sangat ketakutan.
“...............Apa yang harus
aku lakukan saat ini? Aku bahkan tidak tahu di mana aku berada. Bagaimana
mungkin aku bisa menyelesaikan permainan ini?! Apa yang harus aku perbuat!?”
Ia berkata sambil meremas rambut
dengan kedua tangan.
Sesuatu harus dilakukan.
Kalau tidak, maka mereka akan
benar-benar mati.
Dengan perasaan takut yang telah
menyebar ke seluruh tubuhnya, Ryo menghela nafas beberapa kali, apapun yang
bisa ia lakukan untuk membuatnya sedikit merasa lebih tenang. Tekanan permainan
ini sepertinya memang sangat berat.
“[Aku harus tenang. Aku harus berpikir jernih...Kemudian harus berusaha
mencari jalan keluar dari sini...Apapun yang terjadi...Aku harus segera
menyelesaikan permainan terkutuk ini!!].”
Sambil berpikiran seperti itu,
Ryo berusaha sebisa mungkin untuk menyingkirkan dan membuang semua perasaan
takut yang ada di dalam dirinya.
Ia kemudian berdiri, lalu berbalik.
Memandang ke arah pintu di hadapannya.
“[Sudah berapa lama aku bersembunyi di sini?].”
Dalam permainan ini, bukan hanya
tentang bersembunyi.
Tidak akan ada yang selesai kalau
kau hanya bersembunyi dan berjongkok di sudut ruangan sambil terus mengucapkan
kalimat ‘Semuanya akan baik-baik saja’, dan ketika kau sadar, roh si anak kedua
itu--
Pasti sudah ada di sampingmu dan
menancapkan pisau itu tepat ke kepalamu.
Untuk menyelesaikan permainan ini
sampai benar-benar tamat, kalian haru mengumpulkan seluruh keberanian yang ada
di dalam tubuh kalian, kemudian keluar dari tempat persembunyian dan apapun
yang terjadi, kalian harus bisa sampai ke gudang tanpa ditemukan oleh sang
‘Demon’.
Ingat, sekali kau mendengar suara
seseorang berkata ‘Aku menemukanmu’,
maka itu artinya Game Over, dan kau pasti akan terbunuh.
Ryo yang menyadari hal ini,
memutuskan bahwa sudah saatnya ia keluar dari tempat persembunyiannya kemudian
bergegas menuju ke gudang.
“[Mungkin sudah waktunya aku pergi].”
Ryo lalu mendekatkan tangannya ke
arah gagang pintu.
GREP
“?”
Suara orang seperti sedang
memegang sesuatu terdengar.
Hanya saja,
Bahkan tangan Ryo belum memegang
pegangan pintu tersebut.
“..........................”
Dengan mata terbelalak, sebuah
pikiran melintas di benak Ryo,
‘Siapa yang memegang gagang pintu
ini di ujung sana?’
‘Akihara, apa itu kau?’
Ia ingin sekali berkata seperti
itu.
Hanya saja, apa benar yang ada di
balik pintu saat ini adalah Yukari,
Atau--
“!!!”
Mengetahui resiko terburuk, Ryo
tidak bisa menghentikan tubuhnya untuk gemetar. Bukan hanya itu, tubuhnyapun
terasa kaku.
Ia ingin segera meloncat ke
belakang, menuju ke pojok ruangan dan berlindung. Tapi bahkan di saat seperti
ini, tubuhnya sama sekali tidak mendengarkannya.
GREK GREK GREK
“Ah--!!”
Gagang pintu itu mulai bergerak.
“[Apa yang harus aku lakukan!!? Siapa di sana!!?].”
Ryo mulai merasa panik.
Namun ia tidak bisa berteriak
maupun mengucapkan sesuatu, karena bisa saja, roh si anak kedua itu akan segera
menyadari keberadaannya.
Ia lalu mendekatkan tubuhnya ke
arah pintu, dengan jantung berdebar dengan kencang, ia menundukkan tubuhnya
sedikit agar sejajar dengan lubang kunci pada pintu tersebut.
Ryo kemudian mendekatkan matanya
untuk melihat siapa yang berada di luar sambil berharap bahwa sosok itu adalah Yukari
atau mungkin Aoi atau Kazuya.
Dan,
Yang nampak di mata Ryo adalah--
Sebuah senyuman.
Senyuman yang sangat mengerikan,
Bersamaan dengan suara tawa,
Seorang gadis kecil...
‘Hi hi hi, kaukah itu di sana?’
***-***
“Semoga dia tidak menemukanku di sini,
semoga dia tidak menemukanku di sini...”
Sambil terus mengulang kalimatnya
seperti sebuah doa, Asahina Aoi, berdiri bersandar pada pintu dengan tangan di
dekat dada seperti orang sedang berdoa.
Aoi yang terus bersandar pada
pintu, dapat merasakan bahwa pakaiannya sedikit basah karena air yang menempel
pada punggungnya.
Ia sekarang sedang bersembunyi di
salah satu ruangan yang sepertinya adalah kamar mandi.
Bukan hanya itu, tapi tubuhnya
terlihat basah, bukan karena air, melainkan sebuah cairan berwarna merah
terlihat menempel pada pakaian dan juga wajahnya.
“.....................”
Dengan tatapan ketakutan, mata
Aoi melihat ke sana kemari, mengamati keseluruhan ruangan yang sangat gelap
ini.
Meskipun sangat gelap, tapi ia
bisa mendengar suara tetesan air, yang entah kenapa, membuatnya merinding. Di
sudut ruangan, samar-samar, Aoi bisa melihat ada sebuah bak mandi berukuran
cukup besar. Ketika mengetahui hal itu, tak ada sedikitpun keinginan dalam diri
Aoi untuk mendekat ke sana. Hal itu disebabkan karena ia sudah sangat sering
menonton adegan-adegan dalam film horor bersama ketiga sahabatnya.
Hanya membayangkan adegan-adegan
itu saja, tubuhnya menjadi semakin gemetar.
Aoi sama sekali tidak ingin
beranjak dari tempatnya berdiri saat ini. Kalau bisa, ia ingin terus
bersembunyi di dalam sana. Tidak ada orang yang mau mengambil resiko bertemu
dengan hantu itu di luar sana. Dan tidak ada yang mau mengambil resiko untuk
pergi ke lemari itu dan menyelesaikan permainan ini.
Begitu juga dengan gadis berambut
hitam panjang itu. Matanya yang berwarna biru seperti laut terlihat
berkaca-kaca. Setetes air mata masih terlihat di dekat kedua matanya dan bisa
terjatuh ke atas lantai yang basah kapan saja.
Perlahan, ia mengalihkan
pandangannya ke arah salib yang berada di dekapannya. Ekspresi wajahnya
langsung berubah semakin ketakutan.
Dengan suara bergetar, Aoi
berkata dengan pelan,
“..............Dari semua tempat
yang ada--Kenapa aku harus bersembunyi di sini...? Apa--Apa aku yang harus--[Menyelesaikan permainan ini?].”
Ketika ia sedang berlari untuk
menemukan tempat bersembunyi, Aoi berusaha untuk mencari tempat bersembunyi
yang setidaknya, berada paling jauh dari gudang. Alasannya sangat mudah,
“[Aku tidak ingin harus terlibat langsung! Aku tidak tahu apa yang harus
aku lakukan ketika aku sampai di sana! Aku hanya tidak ingin mati!! Maaf!
Maaf’kan aku!!].”
Dalam hati, Aoi tidak berhenti
mengucapkan permintaan maaf-nya pada teman-temannya.
Ia minta maaf karena ketika
mereka harus menuju ke dapur dan mengakhiri permainan ini, Aoi jutsru memilih
untuk menghindari tempat itu agar dirinya aman.
Jika dibandingkan dengan ketiga
sahabatnya, Aoi memang tergolong yang paling penakut. Ia sudah bisa menduga
bahwa dirinya pasti tidak akan bisa bergerak begitu sampai di depan lemari dan
harus menyelesaikan permainan ini.
Menancapkan salib kemudian
menghabiskan nasi, Aoi tidak tahu apakah dirinya bisa melakukan itu tanpa
berteriak keras atau menangis.
Karena itu, ditengah kegelapan
yang menyelimuti setiap langkahnya, Aoi yang tidak bisa melihat dengan jelas ke
mana kakinya pergi membawa dirinya, terus berharap supaya dia tidak berakhir di
gudang, atau di dapur, tempat yang paling dekat dengan gudang.
Meski semua temannya mungkin
sedang berusaha menahan rasa takut mereka untuk pergi ke tempat terkutuk itu,
Aoi sama sekali tidak mampu melakukannya. Ia memilih lari, dan terus
bersembunyi sampai setidaknya salah satu diantara Kazuya, Yukari atau mungkin
Ryo menyelesaikan permainan ini.
“..........................”
Sambil melihat ke bawah, muncul
setitik rasa bersalah di dalam hati Aoi.
“[Tak peduli seberapa ketakutannya mereka, Yukari-chan, Fujiwara-kun dan
juga Azamaki-kun pasti akan mencari segala cara agar mereka bisa menemukan
gudang itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi mereka saling percaya satu sama lain.
Mungkin mereka juga percaya padaku. Tapi...Sekarang justru aku merasa seperti
mengkhianati mereka semua].”
Kata-kata Ryo yang berteriak
‘Selesaikan permainan ini!!’, terdengar sangat jelas di telinga Aoi.
Namun, ia berusaha keras agar
suara itu menghilang dari kepalanya.
Sejak awal, ia sudah tidak ingin
terlibat langsung dengan permainan ‘Hide and Seek’. Meskipun begitu, rasa
penasarannya dan keinginan Aoi untuk membantu Yukari, telah membawanya menuju
ke dalam rumah ini.
Ia selalu berpikir, bahwa
semuanya akan baik-baik saja. Selain ada Yukari di sisinya, juga ada Ryo yang
berjanji akan melindungi semuanya.
Tapi--
Siapa yang tahu kalau kejadiannya
justru akan seperti ini.
Bukan hanya sudah terkurung di
dalam rumah ini, sekarang mereka seolah dipaksa untuk menyelesaikan permainan
ini sampai benar-benar selesai.
“[Kenapa bisa jadi seperti ini--?! Kenapa akhirnya malah seperti ini!?
Tolong--Siapa saja, tolong aku!! Aku tidak ingin bermain!! Aku tidak ingin bermain!!!
Maaf!! Maaf aku tidak bisa diandalkan! Maaf aku tidak bisa melakukannya!! Maaf
kalau aku malah melarikan diri! Aku minta maaf...Yukari-chan..].”
Aoi berteriak di dalam hati,
berlari dengan wajah yang dipenuhi oleh air mata.
Tak peduli apakah Yukari yang
mengatakan pada dirinya,
“Apapun yang terjadi, jangan bersuara, jangan berteriak! Langkahkan
kakimu dengan perlahan menuju ke arah gudang. Kalau kau ketakutan, kau diam dan
bersembunyi saja. Biar aku, Ryo atau Kazuya yang akan mengakhiri permainan ini!”
Tetap saja,
Perasaan bersalah itu tidak akan
bisa hilang.
“Ah--!!”
Aoi berteriak, ketika dirinya
tidak sengaja tersandung sesuatu yang membuat keseimbangannya goyah.
Akibatnya, Aoi jatuh dan
menimbulkan bunyi ‘Braaakh’, yang sangat keras di lantai kayu itu.
“Uh...Sakit...”
Kata Aoi pelan sambil berusaha
menopang tubuh dengan sebelah tangan.
Namun, ia langsung tertegun,
ketika ia baru menyadari kalau ia sudah menimbulkan suara yang sangat berisik.
Dengan cepat, ia langsung menutup
mulut, menahan keinginannya untuk berteriak kencang.
“[Dia datang--!!?].”
Perlahan, Aoi menengok ke
belakang, memberanikan dirinya untuk melihat apakah roh si anak kedua berada di
belakangnya atau tidak.
“........................”
Beberapa detik dalam kesunyian,
Aoi akhirnya bisa sedikit menghela nafas lega.
Meskipun ia sudah menimbulkan
suara yang cukup berisik, tidak ada siapapun di sekitarnya.
“Untunglah...Sepertinya aku
selamat...”
Kata gadis berambut hitam panjang
itu sambil meletakkan sebelah tangan di dadanya, lalu bangkit berdiri dan
memastikan bahwa ia tidak menimbulkan suara yang keras lagi.
Ia kembali menginjakkan kaki di
atas lantai kayu yang menimbulkan bunyi decit, yang entah kenapa terdengar
menakutkan di ruangan gelap yang sepi. Namun, ketika ia melihat ke arah telapak
tangannya,
“Eh, apa ini?”
Mengamati sesuatu berwarna hitam
yang sepertinya menemple pada telapak tangannya, Aoi berkata pada dirinya
sendiri dengan pelan.
Cepat-cepat, gadis itu
menepuk-nepuk kedua tangannya, berusaha menyingkirkan sesuatu berwarna hitam
tersebut, yang ternyata adalah abu.
“[Abu? Kenapa bisa ada abu di lantai...?].”
Pikirnya dalam hati.
Perlahan, Aoi terdiam di
tempatnya dan mengamati kedua telapak tangannya. Masih tersisa sedikit abu berwarna
kehitaman.
Ia kemudian ingat bahwa dulu
pernah terjadi sebuah kebakaran di rumah ini, yang menewaskan si anak kedua.
Kebarakan yang memunculkan sebuah
permainan kematian, ‘Hide and Seek’.
“[Ah, iya, dulu pernah ada sebuah kebakaran di rumah ini. Tidak aneh
kalau ada abu di bekas kebakaran...”
Sambil mengusap-usap abu
ditangannya dengan jari, pikiran Aoi melayang ke kejadian 4 tahun yang lalu...
“[Kebakaran tragis...Yang menyebabkan kematian si anak kedua, yang kini
masih menunggu sang kakak untuk melanjutkan permainan ‘Hide and Seek’ itu...].”
Entah kenapa, ekspresi ketakutan
yang sebelumnya selalu terlihat di wajahnya, berubah menjadi sedih.
“[Aku tidak tahu kenapa...Tapi sekarang aku seperti merasa sedikit
kasihan pada anak kedua keluarga Yamasaki. Kalau saja sang kakak tidak
meninggalkan adiknya di dalam dan keluar sendirian...Pasti kita berempat, juga
semua orang yang menghilang di rumah ini...Tidak akan pernah terjebak di dalam
rumah ini...].”
Ya, seandainya saja kebakaran itu
tidak pernah terjadi...
Seandainya saja--
“[Tunggu...Kebakaran...? Kebakaran...!?].”
Tiba-tiba, Aoi langsung tertegun
kaget. Kedua matanya terbuka lebar dan kulit putihnya terlihat semakin pucat.
Ia kemudian menunduk dan
menyentuhkan tangannya pada lantai kayu itu sekali lagi. Langsung saja,
tangannya kembali menjadi hitam tertutup abu. Bukan hanya itu, sebelumnya ia
tidak sadar karena suasana yang gelap, tapi ketika ia melihat ke pakaian
berwarna putih yang biasa ia kenakan, beberapa bagiannya hampir berwarna hitam.
Mungkin karena terjatuh tadi,
pakaiannya jadi terkena abu. Tapi, bukan itu masalahnya. Abu yang sangat banyak
hampir memenuhi seluruh lantai kayu, menandakan bahwa tempat itu, tempat di
mana ia berdiri sekarang, pasti pernah terbakar dengan hebatnya.
“[Tidak...Itu tidak mungkin! Tidak mungkin aku berada di--Tidak!].”
Tentu saja, siapa yang tidak akan
merasa ketakutan ketika ia mengetahui, kalau ia justru berakhir di tempat yang
paling ditakuti.
Aoi kemudian berusaha meneruskan
langkahnya di dalam kegelapan. Entah kenapa di saat ia melangkah, ia seolah
bisa mendengar suara anak kecil yang sedang tertawa, mengiringi tiap langkahnya
yang terasa berat.
Namun ia tidak menggubris hal itu
dan meneruskan langkahnya, menyusuri dan berusaha memastikan, di mana dia
berada saat ini.
“[Bukan hanya ‘tempat’ itu saja yang hangus karena kebakaran itu! Iya,
mungkin aku ada di bagian rumah lain, yang juga terkena api pada waktu itu...].”
Ia berusaha menyingkirkan semua
kemungkinan negatif dan terus mencoba untuk berpikir positif sebisa mungkin.
Meski sejak awal Aoi bukanlah gadis yang banyak dipenuhi oleh pikiran-pikiran
positif seperti itu, sekarang ia mencoba untuk berubah jadi salah satunya.
Tapi...
“..............[Tidak...].”
Semua usahanya itu langsung
sirna, ketika ia melihat sesuatu.
Sebuah panci yang setengah hangus
terlihat dibalik kegelapan yang menyelimuti. Anehnya, meskipun itu adalah
sumber kebakarannya, tapi panci itu tidak terlalap api sampai benar-benar
menjadi abu.
“.....................”
Sekarang, Aoi sudah tahu di mana
dia berada.
Tempat yang paling ingin ia
hindari, dapur.
BRUUUKH
Ia bisa merasakan tubuhnya
melemah ketika jatuh terduduk di atas lantai kayu yang terlihat gelap.
“.............[Kenapa....? Aku...Bisa berada di sini...?].”
Kata Aoi dalam hati, dan air mata
perlahan mulai menetes ke atas lantai.
Ia berlari jauh di dalam
kegelapan. Berlari, berlari dan terus berlari tanpa henti. Jauh di dalam
kegelapan, ia terus berharap agar ia tidak berakhir baik di dapur maupun di
gudang. Ia tidak ingin tanggung jawab itu menjadi miliknya. Ia tidak ingin
mati.
Apa karena gelap, ia jadi tidak
tahu ke mana ia berlari dan justru berlari ke arah dapur?
Ataukah...Rumah ini memiliki
semacam ilusi, yang membuatmu bisa berakhir di suatu tempat, meski kau tidak
menuju ke arahnya?
Apa karena--
“.............[Jangan-jangan...Ini hukuman atas kelakukan
egoisku...? Karena aku ingin menyelamatkan diriku sendiri...Sementara
teman-temanku yang lain...Yukari-chan, Fujiwara-kun dan juga Azamaki-kun
berusaha sekeras mungkin untuk menyelamatkan semuanya juga diri mereka
sendiri...Apa karena aku ingin bermain aman...Dan Tuhan melihat hal itu di
dalam diriku...Lalu membiarkanku berakhir seperti ini...?].”
Ha ha, entah kenapa rasanya
justru ingin tertawa. Membayangkan semuanya hanyalah sebuah lelucon
saja...Pasti akan terasa sangat lucu!
Kalau saja ia bisa
melakukannya...
“...................Ha ha...Jadi,
aku yang pada akhirnya harus--[Melakukan
semuanya? Nyawa semuanya sekarang ada di tanganku?].”
Aoi berkata dalam hati, anehnya
meskipun ketakutan terlihat sangat jelas di wajahnya, sebuah senyuman tipis
justru terlihat bersamaan dengan turunnya air mata tersebut.
“[Aku pikir, yang mungkin akan menyelesaikan permainan ini adalah
Yukari-chan...Atau mungkin Fujiwara-kun...Mereka yang memiliki keinginan sangat
kuat untuk melindungi semuanya...Mereka berdua yang berusaha paling
keras...Tapi...].”
Semua itu salah.
Bukan hanya mereka berdua yang
harus menyeleasikan permainan ini, melainkan mereka berempat, termasuk juga
dirinya.
Melarikan diri dari permainan
ini, harusnya ia sudah tahu kalau akan menjadi hal yang mustahil.
Dan pada saat itu,
TES TES TES
“!!?”
Tubuh Aoi membeku di tempatnya.
Rasanya seluruh sarafnya dipenuhi dengan perasaan takut yang telah menjalar ke
seluruh bagian tubuhnya.
Apa itu tadi?
“[Suara tetesan air? Tapi dari mana...?].”
Dengan perlahan, Aoi kembali
bangkit berdiri.
“......................”
Ia kemudian mulai kembali
melangkah, meskipun rasa cemas yang amat sangat masih menguasai sebagian
tubuhnya, jadi sulit bergerak sesuai yang dia inginkan.
Namun, entah karena rasa
penasaran atau hanya ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, dan itu
bukanlah sesuatu yang akan membuatnya berteriak sekencang mungkin dan terbunuh.
“..................”
Tanpa mengucapkan sepatah katapun,
bahkan mengusahakan supaya langkah kakinya tidak sampai terdengar, Aoi, gadis
berambut hitam yang terlihat menyatu dengan kegelapan itu, melangkahkan kedua
kakinya ke arah sumber suara.
Mungkin terdengar sangat kecil,
tapi sangat menganggu pikiran Aoi. Ia tidak bisa menahan sesuatu yang terus
berteriak di dalam dirinya ‘Hentikan! Cepat mundur!!’. Ia harus memastikan,
kalau ia benar-benar aman.
“...................Kran?”
Aoi menatap ke arah kran yang
terlihat sudah berkarat dan setengah terbakar itu.
Tempat ini memang sangat gelap,
sangat sulit untuk melihat sesuatu dan hanya bisa menebak-nebak sesuatu yang
mungkin ada di depan kita. Namun tentu saja, di dapur, terdapat sebuah bak
pencucian piring, dan Aoi tahu, suara tetesan air yang terdengar misterius itu
berasal dari sana.
Aoi lalu meraba-raba kran air itu
dengan perlahan. Mungkin memang aneh. Suara tetesan air itu sama sekali tidak
terdengar lagi di telinga Aoi, seolah menghilang ditelan bumi. Bukan hanya itu,
bahkan sepertinya kran itu sudah sangat tua dan rusak. Tidak seharusnya kran
itu bisa mengeluarkan air, barang setetespun...
“.............[Sudah tidak terdengar...].”
Ia meletakkan sebelah tangan di
atas dadanya. Aoi bisa merasakan jantungnya terus berdebar dengan kencang.
Setelah memastikan tidak ada
apapun, gadis bermata biru itu kembali berbalik--
SRAAAAAASH
“Uh!!”
Ia meloncat kaget sambil menutup
mulut dengan kedua tangannya.
Keringat dingin kembali mengalir
dari dahinya.
Menoleh kembali ke arah kran air
itu, tubuh Aoi sama sekali tidak berhenti untuk bergetar, ketika ia, melihat
hal yang tidak masuk akal telah terjadi tepat di kedua matanya.
Air, dalam jumlah yang sangat
banyak, keluar dari kran air tersebut.
“[Ah! Ini tidak mungkin!!].”
Aoi tersentak kaget, kemudian
otomatis langsung berjalan mundur, tubuhnya tidak sengaja menabrak sesuatu di
belakangnya, yang sepertinya sebuah meja.
Tidak ada yang memutar kran itu,
tidak ada yang menyentuhnya, tapi kenapa airnya bisa menyala sendiri? Siapa
yang melakukannya?!
Pikiran-pikiran itulah yang
menyelimuti diri Aoi, ketika air di dalam kran itu mengalir, dan bahkan terus
mengalir semakin deras, menimbulkan suara yang sangat berisik!
“[Ah, hentikan”].”
Aoi menjerit dalam hati sambil
menutup kedua telinga dan matanya.
“............”
Meski tidak melihat, tapi Aoi
bisa merasakan kalau sesuatu telah mengalir ke arahnya.
Sesuatu yang basah.
Dengan pelan, Aoi sedikit
mengangkat sebelah kakinya dan menghentakkannya ke lantai, untuk merasakan
suara air yang kini sepertinya berada tepat di bawah kedua kakinya.
Kemudian, yang dilakukan oleh Aoi
selanjutnya adalah, membuka kedua matanya dan sedikit mengintip ke bawah--
“............[Huh...Ini hanya aku atau...].”
Cairan itu terlihat berwarna
merah?
“Tidak!! Tidak!!!”
Begitu sadar kalau ternyata air
itu sudah berubah menjadi darah, Aoi langsung histeris dan tidak bisa
menghentikan dirinya untuk berteriak keras!
“[Tidak! Aku ingin pergi!! Bawa aku pergi dari sini!!!!!].”
Cepat-cepat, ia segera memutar
badannya dan berbalik, kemudian--
‘Hi hi hi...’
DEG!!!
Suara tawa, terdengar dari lorong
gelap di depan Aoi.
Satu-satunya lorong yang bisa
membawanya menjauh dari dapur--
Tapi, kenapa!?
“A--KYAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!”
Terkejut, tubuh Aoi tersentak ke
belakang, karena lantai yang dilumuri oleh darah kental berwarna merah, Aoi
tidak bisa menjaga keseimbangannya dan jatuh.
“Hah!! Ah!!!”
Berusaha bangkit, namun sangat
sulit karena darah telah melumuri hampir seluruh bagian tubuhnya!
“[Aku tidak ingin mati!!! Tidak ingin!!!! Tolong aku!!!!!].”
Aoi terus bangkit, namun sesekali
terjatuh. Apapun yang terjadi, ia berusaha menjauh sejauh mungkin dari tempat
itu!!
‘Hi hi hi, onee-san...Apa kau
yang berlari di koridor dengan tubuh berlumuran darah itu...?’
Suaranya yang terdengar seperti
anak gadis pada normalnya, namun terdengar seperti sebuah pesan kematian bagi
yang mendengarnya!
“[Roh si anak kedua itu ada di sini!! Aku harus segera mencari tempat
persembunyian!!! Tidak akan--Kubiarkan dia menemukanku!!].”
Lalu, dengan menggunakan seluruh
kekuatannya, Aoi bangkit berdirim dan sambil meraba-raba dinding di dekatnya,
gadis itu, berjalan menyusuri lorong yang gelap secepat mungkin dengan nafas
tersengal-sengal.
Kemudian, ketika ia melihat
sebuah pintu, segera, ia langsung masuk ke dalamnya tanpa mengecek ruangan apa
itu terlebih dahulu.
Dan akhirnya, tubuh Aoi yang
berlumuran dengan darah merah, berakhir di kamar mandi, ruangan yang terletak
tepat di samping gudang, dengan salib digenggaman kedua tangannya.
“..................Apa yang harus
aku lakukan...? Yukari-chan...”
Aoi yang terduduk, memeluk kedua
lututnya dan menyembunyikan wajahnya. Luka gores di pipinya terlihat samar
dengan darah yang memenuhi tubuhnya.
Suaranya yang terdengar bergetar,
menghilang terbawa angin...
***-***
“Aku tidak ingin mati, aku tidak
ingin mati, aku tidak ingin mati, aku tidak ingin mati--“
Mengulangi kalimatnya tersebut,
Azamaki Kazuya berjalan cepat di koridor yang sepi dan juga dingin. Hanya
dipenuhi dengan suara langkah kaki yang cukup keras. Meski itu, ia terlihat
sedang menahan rasa sakit akibat luka yang ia buat sendiri di kakinya. Darah
sudah tidak terlihat lagi, dan jujur, ia sampai tidak ingat mengenai luka itu.
Terlalu terbawa suasana, penjelasan yang paling tepat.
Tidak sampai saat ini, ketika
rasa sakitnya kembali terasa.
Itu sedikit memperlambat
langkahnya.
Meski tubuhnya sedikit gemetar
karena takut, namun ekspresi wajahnya dan juga mata yang menyorotkan kemarahan
iblis itu, masih terlihat dengan jelas di wajahnya.
Entah apa yang ada dpikiran
pemuda bertopi merah itu, sehingga ia tidak memelankan suara langkahnya,
melainkan terus berjalan seperti orang yang hendak memukul sesuatu dengan kedua
tangannya yang mengepal.
Kazuya terus bergerak, sepertinya
kegelapan di sekitarnya tidak membuat langkahnya terasa sulit. Atau mungkin,
itu karena ia tidak mempedulikannya. Karena yang ada dipikirannya saat ini
adalah--
“Aku tidak ingin mati!!”
Hanya dengan itu, maka Kazuya
menggenggam erat salib di tangannya. Sangat erat seolah-olah kulit tangannya
bisa tergores salib yang tajam itu. Ia melangkahkan tubuhnya tanpa gentar,
langsung menuju ke arah gudang.
“................”
Bahkan, Kazuya tidak mengucapkan
sepatah kata apapun, ketika akhirnya dia berakhir di sudut sebuah koridor, dan
entah apa yang tersembunyi di balik sebuah pintu berwarna merah dengan banyak
goresan di sana.
“Pintu apa ini...?”
***-***
GREK GREK GREK
“Tidak bisa...Tidak bisa
terbuka--!”
Sambil terus berusaha memutar
gagang pintu yang tiba-tiba menutup dengan sendirinya itu, Yukari terlihat
benar-benar panik. Ia pun berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang terlalu
berisik agar roh si anak kedua itu tidak bisa menemukannya.
Gadis berambut coklat pendek itu,
sebenarnya sangat ingin berteriak dengan keras, meminta seseorang atau jika
harus memohon untuk membukakan pintu itu. Mau bagaimanapun juga, terkurung di
dalam sebuah rumah tua dengan permainan kematian itu, adalah hal yang sangat
mengerikan.
Sedikit shock dengan kejadian
tiba-tiba barusan itu, tubuh Yukari tiba-tiba serasa kaku dan sulit untuk
digerakkan. Rasanya, ia seperti kehilangan kontrol atas seluruh bagian tubuhnya
dan jatuh dengan perlahan ke atas lantai kayu yang menimbulkan bunyi berdecit
khas sebuah rumah tua.
“Mungkin seperti ini rasanya
menjadi boneka...”
Ujarnya dengan suara pelan,
menaikkan pandangan ke arah langit-langit yang terlihat suram.
Sampai detik ini, jantungnya
masih berdebar-debar tidak karuan. Bahkan ketika ia sibuk dengan pikirannya sendiri,
suara-suara langkah kaki misterius yang seolah berlarian di koridor disertai
tawa seorang anak perempuan, terus menganggu dirinya.
Tanpa ia sadari, matanya sudah
bergerak menyusuri ruangan sempit ini. Tak jelas apa yang berada di ujung
ruangan. Tapi sepertinya bukan sesuatu yang berbahaya.
“.......[Aku sedikit penasaran...Ruangan apa ini sebenarnya...?]”
Mungkin rasa penasaranlah yang
menggerakkan tubuh Yukari, untuk bangkit berdiri lalu berjalan melihat-lihat
apa yang terdapat di dalam ruangan ini. Sesekali, ia membersihkan debu-debu
yang menempel pada tubuhnya sambil terus mengamati ruangan itu.
Akan lebih baik jika seandainya
mereka membawa senter.
Hanya saja, itu termasuk di dalam
salah satu peraturan permainan ‘Hide and Seek’ yang tidak boleh dilanggar.
Ingat? Semua lampu harus dimatikan. Bukan berarti kita bisa membawa sumber
penerangan dari luar.
“Seperti kamar biasa...”
Yukari berkata dengan volume
suara pelan, saat jari-jarinya menyentuh sesuatu yang lembut. Sepertinya sebuah
selimut. Walau ia tidak bisa menerka dengan jelas benda apa saja yang ada di
dalam ruangan tersebut, adanya sebuah tempat tidur membuatnya tidak perlu harus
menebak-nebak lagi, sudah jelas menjadi bukti kalau ini adalah sebuah kamar...
Kamar siapa?
Itu yang harus ia temukan.
Yukari kemudian meraba-raba tempat tidur itu,
berusaha untuk menemukan sesuatu di atasnya. Suasana sangat gelap, bahkan ia
tidak bisa melihat tangannya yang sedang bergerak di balik bayang-bayang
kegelapan.
“.............Tidak ada
apa-apa...”
Masih terus berusaha meraba-raba
tempat tidur tersebut, Yukari berbicara kepada dirinya sendiri. Di saat seperti
ini, rasanya ia ingin sekali bicara dengan seseorang. Tak masalah jika ia harus
berbicara tak kepada siapapun, asalkan ada suara, suara-suara asing yang
terdengar misterius itu tidak lagi terdengar.
..................................
“Tunggu, apa...Ini...?”
Tanpa sengaja, tangannya ternyata
menyentuh sesuatu yang cukup tebal. Gadis dengan bola mata berwarna kecoklatan
itu pun menarik benda itu mendekat ke arahnya, dan mendapati bahwa itu adalah
sebuah buku.
Buku harian yang bahkan sampulnya
sudah dipenuhi oleh debu.
“............Buku ini...”
Siswa SMA yang biasanya terlihat
ceria itu, menatap buku itu sejenak sebelum akhirnya membesihkan debu yang
menempel dengan tangan kanannya.
‘Yamasaki Akio’
Itu, adalah tulisan yang tertera
di sampul buku berwarna hijau kebiruan itu.
“Yamasaki...Akio...?”
Ucap Yukari dengan pelan. Meski tak ada ekspresi khusus yang tergambar
di wajahnya saat ini, ia sebenarnya sangat terkejut menemukan buku itu.
“Siapa...Yamasaki Akio...?”
Meski ia tidak mengetahui buku
harian itu milik siapa, yang pasti itu adalah milik salah satu anggota keluarga
Yamasaki. Mungkin ayah...Atau mungkin...
“Anak pertama!?”
Terkejut dengan ucapannya
sendiri, Yukari mulai membuka halaman buku, yang sepertinya catatan harian itu.
Senin, 20 September -XXX-
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ini aku baru saja pulang sekolah ketika adik perempuanku, Kanade,
menarik tanganku menuju ke kamarnya. Pintu berwarna merah itu terbanting cukup
keras, ketika ia membukanya dengan wajah yang terlihat penuh dengan antusias
itu.
Ah, aku sudah tahu ke mana ujungnya.
Benar, sesuai dugaanku, Kanade mengajakku untuk menemaninya menonton
film horor yang baru saja dibelinya kemarin.
Adikku memang sangat menyukai kisah-kisah horor berbau mistis. Dan
sebenarnya, aku sama sekali tidak pernah punya ketertarikan ke arah sana. Tapi,
karena sering menemani adikku nonton...Mungkin perlahan-lahan...Aku jadi
sedikit terbiasa.
Mungkin...?
Kamis, 7 Oktober -XXX-
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pernah suatu ketika saat malam,
aku ingin pergi ke toilet dan tidak sengaja mendengar suara rintihan wanita entah
dari mana. Itu memang sesuatu yang menakutkan.
Aku bergegas kembali ke kamar dan bersembunyi di balik selimutku.
Kurasa, aku sama sekali tidak akan pernah terbiasa dengan hal seperti
ini.
“.............Ternyata...Ini buku
harian kakaknya...Jadi, nama hantu itu, Kanade...?”
Minggu, 11 Januari -XXX-
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Minggu ini, keluarga kami akan pergi mengisi waktu liburan ke mall. Aku
sangat antusias dan sudah tidak sabar lagi. Mengingat aku sudah menabung sangat
lama untuk membeli video game yang aku inginkan sejak dulu. Begitu juga dengan
Kanade. Dia tidak henti-hentinya berteriak girang sejakn mendengar rencana kami
itu.
Maka, seusai bersiap-siap, kami pun masuk ke mobil dan berangkat menuju
ke mall. Yang akan kami tuju, adalah mall terbesar yang ada di kawasan
perkotaan kami. Sedikit jauh dari rumahku sih, tapi sekali-kali’kan tidak
masalah?
Begitu sampai, kami langsung masuk ke dalam bangunan mall setinggi 5
lantai itu. Pertama, kami pergi ke game center untuk membeli video game yang
aku inginkan. Setelah itu, pergi ke stan DVD untuk mencari film, sesuai
keinginan Kanade.
Lagi-lagi Kanade mencari film horor. Aku bahkan tidak kuat kalau harus
melihat satu per satu cover-cover film yang terlihat sangat menakutkan itu dan
selalu memalingkan pandanganku. Akan lebih baik kalau aku bisa menunggu di
luar. Namun Kanade selalu bertanya kepadaku, apakah film ini bagus? Apakah yang
itu bagus? Sehingga pada akhirnya aku juga terpaksa untuk melihat covernya yang
biasanya berlumuran darah atau potongan tubuh manusia dan bisa saja sesosok
hantu dengan baju pengantin yang tersobek-sobek.
Jujur, aku sama sekali tidak tahu, apa yang bagus tentang film seperti
itu?
Apa jalan cerita? Misterinya? Rahasia yang terpendam?
Itu adalah beberapa hal yang selalu aku ingin rasakan dan sangat aku
sukai ketika menonton sebuah film. Tapi terlebih dari itu, aku merasa kalau
Kanade sama sekali tidak mempedulikannya...
Rabu, 27 Januari-XXX-
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku kembali mendengar suara-suara aneh di dalam kamarku, suara
seseorang yang sepertinya mengetuk-ngetuk jendela. Aku tahu, kalau mungkin itu
hanya batang pohon yang tidak sengaja menyentuh jendela kamarku. Walau aku
tahu, tapi melihat bayangan dari balik tirai yang terlihat seperti sebuah
tangan hendak mencengkramku itu, membuatku tidak bisa melihat ke arahnya.
Bukan hanya itu. Bahkan ketika tak ada seorangpun di dalam kamarku, aku
bisa merasakan seseorang sedang mengawasiku.
‘Lagi?’
Hanya itu yang bisa kukatakan ketika seolah ada sepasang mata yang
memperhatikan diriku.
DOK DOK DOK
“!!?”
Suara ketukan yang cukup keras
terdengar saat Yukari sedang fokus membaca catatan tersebut. Sontak, ia
langsung menoleh ke arah pintu kayu yang tiba-tiba terkunci itu, juga berusaha
untuk menahan dirinya dari berteriak keras.
Seandainya ia membawa senter, Yukari
pasti akan langsung mengarahkan senternya ke arah pintu, setidaknya untuk
menimbulkan cahaya.
Ya, seandainya saja.
Dengan jantung yang berdebar dan
ketakutan yang mulai mengambil alih tubuhnya, Yukari menutup buku itu dan
bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu tua itu di tengah kegelapan.
Aneh.
Rumah ini tertutup dengan rapat.
Tak satu pun jendela atau pintu terlihat terbuka. Mengapa,
“Rasanya dingin sekali...”
Katanya, mata Yukari menatap
lekat ke arah pintu itu dengan ekspresi ketakutan. Refleks, ia lalu berjalan
sedikit mundur. Noda darah di jaket berwarna merah muda yang biasanya ia
kenakan itu, semakin membesar. Namun bukan rasa sakit yang harus ia pentingkan
saat ini.
DOK DOK DOK
“!?”
Sekali lagi, suara seseorang
mengetuk pintu terdengar.
“Ukh...Ini bukan waktunya untuk
berkata ‘Siapa di sana’...Ya...?”
Kali ini Yukari berkata dengan
tubuh sedikit ke belakang, seolah bersiap menghindari sesuatu yang mungkin
datang menyerang.
.......................
Tak ada apapun yang terjadi.
Begitu beberapa detik berlalu
dengan sunyi, tak ada keanehan yang terjadi lagi.
“................Sudah
saatnya...”
Entah ini dengan kesungguhan
hatinya, atau hanya akting supaya dia bisa berani melangkah, gadis dengan pita
berwarna ungu di rambutnya itu, mengatakan sesuatu dengan nada yang kedengaran
yakin. Tatapan matanya tak bergeming sedikitpun ketika ia berkata seperti itu.
ALisnya bergerak turun, membuat ekspresi penuh kesiapan di wajahnya.
Siap untuk apa?
Mati?
Bukan.
Tapi siap untuk hidup.
Siap untuk menyelesaikan permainan
ini dan tetap hidup.
Walau begitu, tetap terdengar
getaran dari suaranya itu. Seperti berada diantara ‘yakin’ atau ‘tidak yakin’.
Sudah waktunya ia memutuskan.
‘Fyuuh’.
Suara nafasnya bisa ia dengar
dengan jelas, mengingat tak ada suara berisik lain yang terjadi di sekitarnya.
Mereka seperti berada di satu dimensi yang terisolasi dengan dunia luar.
Ia kemudian memejamkan mata.
Perlahan, ingatannya bersama dengan
ketiga sahabatnya itu mulai terbayang.
Kazuya yang maniak film horor,
Aoi yang penakut tapi sangat
lembut,
Dan,
“Fuh...Apa pantas kau berkata seperti itu dengan wajah merah seperti
itu? Aku tahu, kau tidak bermaksud mengusirku tapi justru menginginkanku untuk
tinggal di sini lebih lama denganmu’kan?”
“Fu fu, kenapa di saat seperti
ini, justru hal itu yang terbayang tentangnya, ya...?”
Ketika kata-kata dan wajah Ryo
yang tersenyum ke arahnya sewaktu mereka pertama kali membicarakan mengenai
rencana memainkan permainan ‘Hide and Seek’ ini, terbayang tanpa adanya
peringatan terlebih dahulu, Yukari tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa
kecil.
“Siapa yang ingin tinggal lebih
lama denganmu? Hah! Dasar laki-laki bermata panda...”
...................
Yukari terdiam dengan kepala
tertunduk seusai mengucapkan kata tersebut, seolah sedang menjawab pertanyaan
yang dilontarkan oleh pemuda yang memang selalu terlihat dengan lingkaran hitam
di bawah matanya.
“.....................”
“.........Meski begitu, aku ingin
tinggal lebih lama lagi dengan mereka semua...”
Kedua tangannya mengepal di
samping tubuhnya.
Ia lalu menghela nafas lagi agak
panjang, sebelum akhirnya kembali mengangkat kepalanya.
“........Untuk mewujudkan semua
itu, ada permainan yang harus segera aku selesaikan di sini...”
Apapun yang terjadi, ia tidak
bisa santai-santai saja di sini. Hantu itu bisa saja datang kapan saja dan
menemukannya. Karena rumah ini adalah tempat bermainnya, maka roh anak kedua
itu pasti mengawasi di tiap sudut rumah ini.
Berharap saja semoga
keberadaannya tidak ditemukan.
Maka dengan itu, mengumpulkan
segenap keberanian yang masih sedikit tersisa di dalam dirinya, gadis itu
melangkah perlahan mendekati pintu. Tak lupa, ia membawa buku itu di tangan
kanannya.
Ia berdiri di depan pintu tua itu
sesaat, menyusurinya dari atas sampai bawah.
“[Apa masih terkunci...?]”
Katanya dalam hati sambil
berharap-harap tak ada sosok yang muncul dengan pisau di tangannya.
Walau begitu, rasanya energi aneh
dan berat yang menghalangi pintu tersebut untuk terbuka, terasa lenyap.
“.....Baik. Aku hanya perlu
melakukan ini, mencari jalan menuju ke dapur, lalu ke gudang...”
Dan dengan ucapan pelannya
barusan, Yukari mengarahkan tangan kirinya ke arah gagang pintu. Sesaat, muncul
keraguan pada dirinya. Tapi, ia tidak merasa ingin mundur lagi. Akan lebih baik
kalau permainan ini selesai saat ini juga, daripada harus menunggu lebih lama
lagi.
GREK
Gagang pintu sudah digerakkan.
Suara ‘Kriiiet’ mengiringi pintu
yang mulai terbuka itu.
“[Terbuka!].”
Teriak Yukari lega dalam hati
karena pada akhirnya ia tidak lagi harus terkurung sendirian di dalam rumah tua
mengerikan dengan aura mistis yang benar-benar terasa itu.
Dengan hati-hati, gadis dengan
bola mata berwarna ungu itu, melangkah keluar dari kamar, yang merupakan kamar
Yamasaki Akio, lalu menutup kembali pintu itu dengan sangat pelan, takut
menimbulkan suara berisik yang tidak berarti.
Ia lalu kembali melangkah ke
dalam kegelapan, yang terasa jauh lebih gelap dari sebelumnya. Mungkin hari
sudah semakin larut.
Suasana makin terlihat suram.
Beberapa kali, Yukari dikejutkan oleh suara-suara yang ditimbulkan oleh
ranting-ranting pohon yang menggesek jendela. Ia berjalan selangkah demi
selangkah, menyusuri koridor yang gelap tanpa arah. Ia tahu ke mana ia ingin
menuju. Namun situasi sama sekali tidak bersahabat dengannya.
Hanya suara desahan nafas dan
langkah kakinya yang berat yang mampu ia dengar, bercampur dengan sayup-sayup
suara angin dari luar.
TAP TAP TAP
“Ah!!”
Yukari segera menoleh ke
belakang, ketika ia kembali mendengar suara. Kali ini suara langkah kaki sedang
berlarian.
Seperti yang sebelum-sebelumnya, hanya
suara yang tersisa, bergema sampai ke ujung koridor yang tak terlihat ujungnya.
Tak nampak satu sosok pun di hadapannya. Itu membuatnya menarik nafas lega
dengan sebelah tangan di dada.
Tiba-tiba saja, ia seolah
membayangkan sewaktu keadaan rumah ini masih bagus, dan kecelakaan tragis itu
belum terjadi. Bayangan anak kecil berlarian di koridor yang bercahaya itu,
terasa nampak nyata.
“..............Seandainya ini
semua tidak terjadi...Pasti mereka pasti akan masih menjadi satu keluarga yang
bahagia...”
Ketika ia berkata demikian,
tangannya menggenggam buku itu semakin erat.
Ia lalu menggeleng pelan, dan
melanjutkan berjalan di koridor sambil berpegangan pada dinding, untuk membantu
langkahnya.
***-***
Keadaan disekelilingnya memang
sangat gelap. Tapi warna merah yang terkesan menyala itu, cukup terlihat dengan
jelas di kedua bola matanya.
Untuk beberapa saat ia terus
berdiri di depan pintu itu, dengan tatapan yang terkesan dingin. Tidak tahu apa
yang ada dipikirannya, kali ini sama sekali tidak bisa terbaca dengan jelas.
Kemudian setelah puas memandang pintu yang
seperti berlumuran darah itu, Kazuya, menendang pintu itu dengan keras!
Dengan sekali tendang, pintu yang
sudah tua dan terlihat rapuh itu, jatuh ke atas lantai kayu dan menimbulkan
suara berisik yang menggema sampai ke seluruh koridor yang sempit.
Meski mengatakan tidak ingin
terbunuh, namun sepertinya Kazuya sama sekali tidak mempedulikan salah saturan
dalam permainan ‘Hide and Seek’ ini.
‘Jangan menimbulkan suara yang
berisik, atau keberadaanmu akan ditemukan!’
“Peraturan bodoh...Sejak awal
sudah tahu’kan? Mau kita tenang ataupun menimbulkan banyak suara...Hantu itu,
akan tetap menemukan dan mengejar kita.”
Kazuya berkata pelan kepada
dirinya sendiri dengan memandang sinis ke arah pintu yang telah rubuh itu dan
berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut.
Ia mengamati ruangan yang tidak
terlalu luas itu. Tempatnya sangat gelap, dan Kazuya sama sekali tidak bisa
melihat ruangan apa itu sebenarnya. Namun, hanya butuh beberapa detik baginya
untuk sadar, bahwa dia telah masuk ke ruangan yang salah.
“Cih! Bukan gudang rupanya...”
Katanya terlihat kesal dan
semakin menggenggam erat salib di tangannya.
Ia tidak mengamati ruangan
tersebut lagi, dan langsung membalikkan badan. Tapi, tidak sampai satu detik,
Kazuya menghentikan langkahnya, ketika ia merasa telah menginjak sesuatu dengan
kakinya.
“Apa ini?”
Penasaran, Kazuyapun menengok ke
bawah lalu berjongkok dengan perlahan kemudian memasukkan salibnya pada saku
dan menyentuhkan tangannya pada benda, yang ternyata sebuah teddy bear itu.
“..........Teddy bear? Di tempat
seperti ini...? Yang benar saja...”
Ujarnya dengan nada dingin.
Namun, kedua matanya tak henti-hentinya memandangi teddy bear yang terlihat
lusuh itu.
Boneka yang biasanya dimiliki
oleh gadis kecil itu memiliki warna dominan coklat muda dengan mata merah, yang
seolah hidup dan mengamati tiap gerakmu. Mata sebelah kirinya sudah copot, dan
sepertinya tidak ada di sekitar sini.
Bukan hanya itu, dari kepala
sampai badan bagian bawah, tubuh teddy bear tersebut di jahit asal-asalan
menggunakan benang berwarna merah, yang entah kenapa, terlihat seperti pembuluh
darah. Kapas berwarna putih juga terlihat berhamburan keluar, yang terkesan
seperti organ-organ tubuh yang ditarik paksa dan dikeluarkan.
Intinya, keadaan boneka itu,
benar-benar mengenaskan.
Dan Kazuya, terus memandangnya
dengan ekspresi datar, seolah menikmati pemandangan di depannya itu.
“.............Jadi teringat saat
aku memainkan permainan ‘Hitori Kakurenbo’...Fu fu, boneka yang menarik. Aku
yakin, siapapun yang memiliki boneka ini, pasti orang tidak waras yang gila
akan sesuatu yang berbau horor...Yah, mungkin kita bisa bersahabat? Khu khu
khu...”
Kazuya mengangkat boneka
mengerikan itu ke dekat wajahnya, memperhatikan tatapannya yang seperti berkata
‘Aku tahu kau ada di sana’, dengan senyuman di wajahnya.
Entah bagaimana dia masih bisa
tertawa di saat seperti ini. Mungkin, permainan horor seperti ini benar-benar
telah meracuni pikirannya, sehingga, meski merasa ketakutan ia masih menanggap
ini sebuah permainan yang sangat mengasyikkan dilihat dari sudut pandangnya.
Dengan kasarnya, ia lalu membuang
boneka itu keluar dari ruangan , dan berbalik ke arah ruangan itu lagi.
Menemukan benda mengerikan seperti itu, pasti telah membangkitkan rasa ingin
tahunya yang besar akan benda-benda berbau mistis.
“Fu fu, mungkin saja tempat ini
memang sangat menarik. Coba saja? Kapan kau bisa mendapat kesempatan lain untuk
menjelajahi rumah berhantu seperti ini? Mungkin saja, terjebak di sini bukanlah
ide yang buruk.”
Kazuya mengatakan sesuatu yang
tidak akan pernah orang normal katakan seumur hidupnya, dan bisa-bisanya, ia
mengatakan itu dengan senyuman licik yang jelas menunjukkan rasa puas.
Pelan, pemuda berambut hitam
gelap itu, melangkah semakin masuk ke dalam ruangan itu. Baru beberapa langkah,
ia kembali terhenti, bukan karena menginjak sesuatu, melainkan tidak sengaja
menabrak sesuatu di depannya.
Sesuatu yang setinggi pahanya. Di
tengah kegelapan, Kazuya meraba-raba ke atas benda, yang sepertinya sebuah
tempat tidur itu dengan selimut berwarna putih. Yang tidak tahu kenapa,
tercabik-cabik dengan kasarnya. Mungkin dirobek dengan gunting?
Tiba-tiba, tangannya kembali
menyentuh sesuatu, yang kini sangat tipis, seperti sebuah kertas. Kazuya
menarik tangannya dan membawa benda itu kehadapannya. Ternyata memang sebuah
kertas.
Namun, sesuatu yang tergambar di
dalam kertas itu tidak terlihat dengans jelas karena suasana yang tanpa
penerangan. Kazuyapun menedekatkan kertas itu ke wajahnya sambil menyipitkan
sebelah mata, berusaha melihat sesuatu yang tergambar di kertas itu lebih jelas
lagi.
Samar-samar, Kazuya melihat
gambar 2 orang anak kecil yang digambar agak sedikit berantakan menggunakan
pensil warna. Mungkin buatan seorang anak kecil?
Yang satunya berambut panjang, sepertinya anak
perempuan. Sedangkan yang satu lagi, berambut pendek, yang menandakan kalau itu
adalah anak laki-laki.
“.........Onii-chan...?”
Kazuya membaca sebuah tulisan
dengan penseil warna merah yang tertera di atas gambar kedua anak yang sedang
bergandengan tangan dan tersenyum dengan bahagia.
“Apa-apaan ini? Gambar apa ini?”
Ia menatap bingung ke arah kertas
itu sambil mengangkat sebelah alis.
Tulisan yang tertulis di atas
itu...
“Saudara? Apa kedua orang
digambar ini bersaudara?”
Tanyanya tidak kepada siapapun.
Suaranya tertelan oleh kegelapan di sekitarnya. Tapi, hanya dengan petunjuk
yang kecil itu, Kazuya sudah bisa menebak siapa kedua orang di dalam gambar
itu.
“Ah...Ini pasti si anak pertama
dan anak kedua...”
2 saudara anak keluarga Yamasaki.
Bahkan ia mengatakan hal itu
dengan langsung dan santainya tanpa gemetar sedikitpun, padahal dari semua
ruangan yang ada di dalam rumah ini, ia sudah masuk ke salah satu yang paling
mengerikan.
Setelah puas dengan kertas itu,
Kazuya kembali meraba-raba tempat tidur itu.
Dari boneka beruang dan gambar
itu, ia mengetahui dengan pasti kalau ini adalah kamar si anak kedua.
Dan ketika ia kembali mencari
sesuatu di atas tempat tidur, ia mendapat 3, bukan, tapi sekitar 10 lembar atau
mungkin lebih kertas.
Kesamaan semua gambar itu adalah,
menggambarkan dia dengan sang kakak yang menghilang entah ke mana.
Pada awalnya, Kazuya sama sekali
tidak melihat ada sesuatu yang aneh dari gambar-gambar tersebut. Hanya gambar
coret-coret yang biasanya dibuat oleh anak kecil kebanyakan. Wajahnya,
memperhatikan satu demi satu kertas yang sekarang sudah tertunpuk di tangannya
itu.
“Apa ini? Semuanya hanya
gambar...”
Gumamnya pelan.
Sekilas, wajahnya terlihat menunjukkan
kekesalan. Mungkin apa yang dia harapkan lebih dari cuma gambar tidak jelas
buatan anak kecil. Mungkin akan lebih menarik kalau ada gambar manusia
terpotong-potong dan darah mengalir di mana-mana...?
Itulah yang kira-kira ada
dipikiran pemuda penyuka horor itu.
Namun, kira-kira setelah 6
halaman, keanehan mulai terasa di lembar ke tujuh.
“..............Hah...?”
‘Onii-chan dan aku hari ini
bermain’
***-***
“Di mana ini...?”
Yukari telah sampai di ujung
koridor itu.
Ia berakhir di sebuah tempat, yang
terlihat cukup memiliki ruang yang luas. Mengamati ke sekelilingnya, Yukari
berjalan dengan penuh rasa hati-hati. Berkali-kali ia menoleh ke samping kanan,
kiri, menengok ke atas dan juga sesekali mengintip ke bawah.
DEG
Segera saja, Yukari menoleh ke
belakang.
“[Seperti ada mata yang memperhatikanku...].”
Berkali-kali, ia selalu merasakan kalau
ada seseorang yang memperhatikannya di dalam rumah ini. Tapi begitu ia
berbalik, tak seorangpun ia dapati di belakangnya. Yang ia lihat hanya koridor
lorong gelap yang baru saja ia lalui.
Dan rasa takut itu semakin bertambah
saja.
Gadis berambut coklat itu lalu
berjalan sedikit mundur sambil meraba-raba sesuatu yang mungkin ada di
belakangnya.
DUK
Dugaannya benar.
Yukari tak sengaja menabrak
sesuatu di belakangnya. Ia tak menoleh, melainkan hanya berusaha meraba dan
menyentuh sesuatu yang ada di balik tubuhnya itu.
“......................”
Sesuatu itu, sepertinya cukup besar.
Sesuatu seperti meja?
“Meja...?”
Yukari berkata dengan volume suara
pelan sambil menyipitkan sebelah mata. Sebelah tangannya kembali meraba sesuatu
yang mungkin sebuah meja itu, sampai ia menyentuh sesuatu.
“Apa ini...?..............Pisau...?”
Maka akhirnya, ia berbalik dan menarik
benda itu ke arahnya. Benar saja. Ternyata itu sebuah pisau dapur.
Pisau dapur?
Apa itu berarti...
Ia berada di dapur?
DEG
DEG DEG
“..................”
Kembali meletakkan pisau itu ke
atas meja, Yukari mendekap buku itu dengan erat ke dadanya. Terdapat bekas
berwarna kehitaman ketika Yukari tak sengaja melihat ke arah kedua tangannya.
Pasti abu yang menempel.
Telinganya bisa menangkap suara
debaran jantungnya dengan sempurna. Tubuhnya tiba-tiba kembali terasa berat
seperti patung.
Rasanya, ia ingin jatuh terduduk
ke atas lantai kayu. Tapi dengan cepat ia segera menahan tubuhnya dengan
bertumpu pada sudut meja yang terbuat dari kayu tersebut.
“[Aku tak percaya aku ada di sini sekarang...].”
Batinnya.
“.......................”
Sama seperti yang ia lakukan
sebelumnya, Yukari memejamkan mata, lalu menghela nafas beberapa kali.
“[Baik, aku sudah ada di sini sekarang...Kalau aku tidak salah, gudang
seharusnya ke arah sana’kan...? Semoga saja aku benar...].”
Mengumpulkan seluruh
keberaniannya, Yukari melanjutkan langkah kakinya. Semakin ia menyusuri dapur
tersebut, tidak tahu kenapa rasanya semakin berat dan juga semakin panas.
Mengingat kalau di dapur inilah
pusat kebakaran itu terjadi.
Saat ia berjalan, pikirannya
kembali melayang ke masa lalu, membayangkan sewaktu kebakaran itu benar-benar
terjadi 4 tahun lalu.
“.................Aku tidak bisa
membayangkan...Kalau kejadian itu menimpaku...Kalau saja si anak pertama tidak
lupa untuk mematikan kompor...Kurasa kebakaran itu pasti bisa dihindarkan...”
Bersembunyi di dalam lemari di
gudang, terkena imbas dari api yang menyambar dari dapur, lalu menghilang
seolah menjadi abu.
Ia lalu berusaha melihat keadaan
dapur yang terlihat gelap itu. Bau bekas kebakaran masih bisa tercium.
Sepertinya, hampir seluruh bagian dari dapur ini telah hangus dan dipenuhi
dengan abu berwarna hitam.
Berpikiran seperti itu, Yukari
sama sekali tidak menghentikan langkahnya yang gemetar.
Pandangannya kemudian jatuh ke
arah sebuah kran air tua dengan bekas kebakaran hitam, yang tidak mungkin
mengeluarkan air lagi. Yukari berjalan ke arah kran tersebut, lalu mencoba
untuk memutarnya dengan perlahan. Bunyi kran yang diputar itu menimbulkan bunyi
aneh yang bergema ke seluruh bagian dapur.
.....................
Benar saja. Tak ada setetes air
yang keluar dari kran tersebut.
“Sepertinya memang sudah
rusak...”
Ujarnya pelan, lalu berbalik--
WHOOOOSH
--Tanpa peringatan sebelumnya,
sebuah pisau, melayang tepat ke arah Yukari berdiri.
***-***
“[Aku harus bisa...Aku harus berani melakukan ini...].”
Gadis yang tengah berdiri di
depan sebuah ruangan itu, memiliki rambut hitam yang sangat panjang. Baju
putihnya terlihat merah karena cairan darah. Wajahnya terlihat pucat karena
diselimuti oleh rasa takut. Tubuhnya juga terlihat tak berhenti gemetar sejak
tadi. Di dalam dekapannya, terdapat sebuah salib yang akan menentukan hidup
atau mati dirinya sendiri dan juga sahabatnya.
“[Ayo, Asahina Aoi...Aku yakin kau pasti bisa melakukannya...Demi
Yukari-chan...Demi semuanya!!].”
Ia berteriak dalam hati, berusaha
untuk memberanikan dan menyakinkan dirinya yang biasanya selalu berdiri di
belakang.
Dan kini, ia yang harus berdiri
di barisan paling depan.
Butuh waktu lama bagi Aoi, untuk
melakukan semua ini. Berkali-kali ia mengatakan ‘Tidak akan pernah keluar dari
tempatnya bersembunyi’, tapi selama itu pula, perasaan gadis 17 tahun itu sama
sekali tidak bisa merasa tenang dan justru semakin bertambah takut.
Cuma ada satu cara yang bisa ia
lakukan untuk mengakhiri dan memutus rasa takut itu.
Yaitu dengan menyelesaikan
permainan ini.
Sekarang ia tidak tahu di mana
letak sahabat-sahabatnya yang lain. Mungkin mereka berada cukup jauh dari
gudang atau bisa saja mereka berada di dekat sini.
Dengan ketidakpastian itu,
mungkin akan sedikit bodoh untuk bergantung kepada mereka, sementara posisi
dirinya sendiri sangat jelas dan sangat dekat dengan tujuan semuanya.
Ya, saat ini, ia sedang berdiri
di depan sebuah ruangan, yang tidak memiliki pintu karena terbakar. Tempat
semua ini di mulai, dan tempat semuanya akan berakhir.
Gudang.
“.........................”
Aoi tak mengatakan apapun ketika
matanya menatap ruangan itu. Rasanya itu berada begitu jauh dari jangkauannya,
tak peduli bahwa ia sekarang berada tepat di hadapannya.
“.........[Seandainya saja aku melakukan ini...].”
Seandainya ia melakukan ini?
“[Bisakah aku menyelamatkan semuanya...?].”
Apakah semuanya akan selamat
dengan ini?
Hal yang harus ia lakukan,
sebenarnya sangat mudah. Masuk ke gudang, habiskan semangkuk nasi itu, lalu
menancapkan salib itu sambil berkata ‘Aku menang’ sebanyak 3 kali.
Tapi,
“[Kenapa rasanya aku sangat tidak sanggup melakukannya...].”
Bahkan disituasi seperti inipun,
orang paling berani akan lebih memilih untuk bermain aman daripada harus
memikul semua tanggung jawab ini. Siapa yang ingin mati begitu saja hanya
karena sebuah permainan?
Tapi,
“[Jika aku tidak melakukannya, maka mungkin yang lainnya akan terbunuh...].”
Benar.
Jika ia tidak cepat menyelesaikan
permainan ini, bukan nol kemungkinan Ryo, Kazuya maupun Yukari untuk terbunuh
dengan tragisnya. Dan semua itu, hanya gara-gara ia merasa takut dan juga ragu
padahal ia bisa mengakhiri permainan itu detik ini juga.
Apa itu lebih penting sekarang?
Apa itu lebih penting mementingkan rasa takutmu sendiri dibanding dengan nyawa
teman-temanmu?
Jika seandainya kau
menyelesaikannya di sini dan saat ini juga, permainan berakhir. Dan semuanya
akan selamat.
Menunggu yang lain datang dan
bergantung kepada mereka, akan semakin membuang waktu. Mengingat kita bukan
bermain petak umpet dengan manusia biasa, melainkan petak umpet hantu. Siapa
yang akan tahu di mana dan kapan dia akan muncul dan tiba-tiba mengejutkan lalu
membunuh kita?
Itu bisa terjadi kapan saja.
“...............[Hatiku dipenuhi oleh kegelapan...].”
“Pagi, Aoi.”
“[Tapi saat aku teringat akan senyuman orang itu, rasanya kegelapan
hatiku perlahan-lahan terangkat dan berganti dengan sesuatu yang bersinar...].”
“[Sejak saat itu, aku selalu melihat ke arahmu. Kau yang berada jauh di
depan. Dan aku yang hanya bisa melihat punggungmu dari belakang. Kau benar-benar
berani, kau sangat berkilauan dan luar biasa. Bagiku, kau adalah inspirasi
terbesar karena orang lemah dan penakut sepertiku ini tidak akan pernah bisa
berbuat sesuatu yang besar].”
“Aku ingin menolong
Chizuko.”
“Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa seperti ini terus. Aku tidak bisa
hanya duduk dan membuang waktuku di sini. Rasanya sangat berat...Sangat berat
begitu mendengar bahwa adik Chizuko menghilang di rumah itu. Tapi...Aku ingin
menolongnya!”
“Meskipun taruhannya nyawa? Ya, aku akan melakukannya.”
“[Kau selalu memikirkan orang lain jauh sebelum dirimu sendiri. Bahkan
kau sampai berpikir ‘Tak apa jika aku kehilangan nyawaku, asal aku bisa
menyelamatkan smeuanya’. Ya, kau adalah tipe orang yang seperti itu. Dan itu
membuatku semakin sadar, kalau aku tidak akan bisa mengikuti langkahmu, tidak
akan bisa menjadi seperti dirimu yang selalu berbuat banyak demi yang lainnya.
Aku hanya sadar, kalau kita ternyata benar-benar berbeda...].”
Tapi...
“Kalian...Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di tempat itu nanti.
Tapi aku janji tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Karena itu...”
“[Itu pertama kalinya aku melihat kau menangis. Aku pelan-pelan
tersadarkan akan sesuatu. Figurmu yang sangat sempurna itu ternyata hanyalah
khayalanku semata. Kau mungkin memang kuat. Tapi di dalam, kau juga ketakutan
dan lemah seperti diriku. Saat itulah aku menyadari, bahwa kau dan aku tidak
berbeda. Tapi sama].
Jarak yang tak terbentang
diantara mereka, pelan-pelan menjadi kabur...
“Haah, terima kasih, Aoi. Berkatmu aku jadi sedikit lebih tenang.”
“[Tidak, seharusnya aku yang berkata seperti itu. Terima kasih, berkatmu,
berkat kalian semua, aku menjadi sedikit lebih tenang sekarang...].”
Itu, adalah senyuman kecil
pertama yang Aoi sejak tadi.
Selama ini semuanya selalu
berdiri di depan untuk melindunginya. Kini,
“Giliranku untuk menyelamatkan
kalian semua.”
Bersama dengan itu, maka Aoi pun
menggerakkan kakinya maju, memasuki ruangan tersebut.
“[Aku pasti bisa. Aku harus bisa!].”
Pelan, tapi penuh dengan kepastian.
Tangan kanannya semakin erat
menggenggam salib.
TAP TAP TAP
Suara langkah kakinya terdengar
cukup keras, memenuhi ruangan.
“[Sebentar lagi...Sebentar lagi semuanya akan segera berakhir..].”
.......................
Aoi, di depan sebuah lemari.
Lemari misterius, yang tak
terhancurkan.
Energi yang sangat berat
menyambutnya begitu ia berdiri tepat di depan lemari dengan sedikit bekas
terbakar itu. Kembali, ketakutan mengambil alih dirinya. Nafasnya tidak
beraturan karena jantungnya yang berdebar semakin kencang. Rasanya ingin
berteriak dan menangis dengan kencang.
Namun, keinginan untuk menyelamatkan
teman-temannya, jauh lebih besar dan dengan cepat segera mengambil alih
tubuhnya.
“[Begitu semua ini berakhir...Aku akan berlari ke arah Fujiwara-kun,
Yukari-chan dan juga Azamaki-kun, lalu aku akan memeluk mereka dengan erat dan
mengatakan, terima kasih karena sudah mau menjadi sahabatku, terima kasih
karena sudah ada bersamaku sampai saat ini, terima kasih karena mau menopang
tiap langkahku yang selalu goyah].
Aoi sedikit mengangkat salibnya,
sementara sebelah tangannya, bersiap membuka lemari itu. Sekilas, sebuah
senyuman tipis nampak di wajahnya bersamaan dengan setetes air mata yang
mengalir,
“[Dan betapa bahagianya aku bisa bertemu dan kembali dengan mereka
lagi...].”
Perlahan, pintu lemari terbuka--
“Terima kasih...”
“Aku menemukanmu.”
***-***
Tidak ada gambar seperti yang
terlihat di lembar-lembar kertas sebelumnya.
Hanya sebuah tulisan, dengan
pensil warna merah darah.
Perlahan, Kazuya mulai melihat
lembaran kertas berikutnya. Entah kenapa, perasaan tidak nyaman mulai
menyelimutinya.
‘Onii-chan sedang
bersembunyi...Tapi aku bisa melihatnya...’
“Sedang bersembunyi? Tapi bisa
melihatnya? [Apa maksud tulisan ini...?
Apa mereka sedang memainkan sesuatu...? ‘Hide and Seek...].”
Pikir Kazuya dalam hati, dan
mulai melihat kertas selanjutnya.
‘Onii-chan sedang menyusuri
koridor gelap’
‘Onii-chan berdiri di depan
kamarku’
‘Onii-chan menendang pintu
kamarku...Pintu berwarna merah itu sampai rubuh...Itu tidak baik...Akan
kuadukan pada papa dan mama nanti jika mereka sudah pulang...’
“..........................[Hah? Apa maksudnya...?].”
Kazuya terdiam.
Meskipun tidak jelas, tapi kedua
tangannya yang sedang memegang lembaran kertas berwarna putih itu, terlihat
gemetar.
‘Onii-chan memungut boneka
beruang kesayanganku. Bagaimana? Bagus’kan?’
‘Onii-chan mengambil kertas
gambarku’
“...................”
Tidak tahu kenapa, tapi Kazuya
mulai menyadari ada yang tidak beres dengan tulisan di kertas itu. Ia kemudian
menengok dengan pelan ke arah lembaran kertas selanjutnya, dan--
‘Onii-chan melihat tulisanku saat
ini’
“!!!!?“
Kazuya tertegun. Ketakutan
semakin menyelimutinya, terlihat dari wajahnya yang memucat dan tubuhnya yang
semakin gemetar hebat.
Dan itu, tergambar jelas di
tulisan berikutnya,
‘Onii-chan terlihat terkejut dan
ketakutan’
“!! [Apa ini!!? Kertas apa ini!!? Apa maksud semua tulisan ini!!? Aku sama
sekali tidak mengerti! Apa ini!!!?].”
Batin Kazuya dalam hati sangat
ketakutan.
“[Sudah cukup!!!].”
Teriaknya, tangannya bergerak ke
atas, seolah ingin melempar kertas itu ke bawah dengan keras. Tepat saat itu,
kertas yang baru saja ia baca, terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai
dengan perlahan, menyisakan satu lembar kertas terakhir yang belum Kazuya
lihat.
“.............................”
Ia tidak mengatakan apapun ketika
melihat apa yang tertera pada lembaran terakhir itu. Ia tidak ingin melihatnya!
Namun, matanya terpaku, ke
lembaran terakhir dari kertas yang berada pada genggamannya.
‘Tapi itu tidak baik, melihat
tulisan orang lain seperti itu. Kalau begitu, mungkin akan lebih...Kalau kau
tidak memiliki mata...?’
Di kertas tersebut, terlihat
sosok seorang gadis kecil di gambar-gambar sebelumnya, dan disampingnya,
Seorang yang kelihatannya seperti
laki-laki berambut hitam,
Dengan sebelah mata yang
terconkel keluar juga tubuhnya yang hampir terbelah dari atas sampai ke
bawah...
Sangat mirip,
Boneka beruang yang tadi...
Tapi, yang membuat tubuh Kazuya
tidak bisa berhenti gemetar adalah,
Karena ia sangat mengenali sosok
pemuda yang berakhir tragis di gambar itu,
Topi yang dikenakan laki-laki di
gambar itu...
Berwarna merah dan bertuliskan
‘inisial nama’,
AK,
Azamaki Kazuya...
“TIDAK!!!!!!!”
Segera, Kazuya langsung
membanting kertas-kertas itu ke tanah dengan keras sampai berhamburan di
mana-mana!
“Hah...Hah...[Apa itu!!? Kenapa--Kenapa!!!?].”
Sambil melihat ke arah
kertas-kertas yang sudah berserakan di lantai, Kazuya berjalan mundur perlahan
dengan nafas tidak beraturan dan keringat dingin yang bercucuran deras!
“Aku--AKU TIDAK AKAN MATI,
DASAR HANTU BODOH!!!!!!!!!! KAU--KAU--!!!!”
..............................
................................................
............................................................................
“TIDAK AKAN BISA MEMBUNUHKU!!!!!!!!!”
Kazuya, berteriak keras tidak
kepada siapapun di ruangan yang sepi itu.
Lalu, dengan cepat, ia
melangkahkah kaki dan memutar tubuhnya untuk berbalik dan keluar dari ruangan
ini--
“!!!!!!!”
Tiba-tiba saja Kazuya terkejut!
Tubuhnya terjatuh ke belakang
dengan keras, ketika mendapati bahwa boneka beruang yang sebelumnya sudah ia
lempar keluar, sudah duduk tepat di depan pintu dengan kepalanya yang sedikit
tertunduk.
“..................”
Ia memang tidak paham, namun ia
bisa merasakan, mata boneka yang hanya tersisa satu buah itu...
Terus memperhatikan ke arahnya.
Pada saat itu, Kazuya mulai
merasakan sensasi aneh menyelimuti seluruh tubuhnya yang terasa sulit untuk
digerakkan.
Inikah yang dia cari?
“Tentu saja merasakan semua perasaan itu! Rasa ketakutan yang luar
biasa!! Apa kau tidak ingin merasakannya!? Jantung yang terus berdebar-debar!!
Dan perasaan yang muncul ketika mengetahui kalau ada sesuatu yang mengejar kita
dari belakang!!!”.
Entah kenapa, sebuah senyuman
yang aneh terlihat di wajahnya yang memucat.
“..........Tidak...”
“Kau tidak akan bisa menakuti aku
seperti itu!! Ha ha ha! Iya, tidak bisa! Dasar kau boneka sialan!!!”
Bangkit berdiri dengan cepat,
Kazuya langsung menuju ke arah boneka itu dan memegangnya dengan sebelah
tangan, sementara tangannya yang lain, mengarah ke kepala boneka mengerikan
itu, dan menariknya dengan keras.
Suara kepala boneka yang terjatuh
ke lantai itu memenuhi kepala Kazuya. Bahkan tatapannya tidak berubah sama
sekali. Dengan tangan gemetaran, tubuh boneka yang kini telah terpisah dengan
kepalanya itu, perlahan terlepas dari tangannya.
Meskipun begitu, senyuman itu
masih belum hilang dari wajahnya.
Kembali merogoh saku celananya,
sebuah salib terlihat menonjol keluar ketika Kazuya mengeluarkannya dengan
pelan. Ia lalu mendekatkan salib itu ke dekat wajahnya dan tersenyum dingin.
“Iya, aku tidak akan mati. Aku
akan mengirimkanmu ke neraka begitu aku selesai dengan permainan ini!!”
Itu adalah kata-kata terakhir
yang ia ucapkan, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan ini.
***-***
“--Un!!? Apa yang--“
“Diam! Jangan berteriak!”
Yukari, yang kini dengan posisi
terjatuh di atas lantai, bertatap mata dengan pemuda yang tidak asing lagi
untuknya. Untuk suatu alasan, pemuda itu menutup mulut Yukari dengan sebelah
tangannya.
“...Yo--”,
“-- Ryo!! Lepaskan aku!”
Suara ‘Plaak’ terdengar begitu
Yukari menepis tangan Ryo dengan cukup keras, membuat pemuda itu terjatuh dan mundur
ke belakang.
“Lihat-lihat, tanganku sedang
terluka.”
Ryo berkata dengan nada datar dan
memegangi tangannya. Benar saja, goresan berwarna merah terlihat di punggung
tangannya.
Sementara Yukari, masih berusaha
mengatur nafasnya karena kejadian yang tiba-tiba itu. Ia meletakkan sebelah
tangan di dadanya, lalu berkata,
“Ya, ya, aku tahu. Maaf. Tapi,
apa maksudmu dengan tiba-tiba ,melempar pisau itu ke arahku!? Aku bisa mati!
Atau kau jangan-jangan dendam sama aku.”
Meskipun nada bicaranya terdengar
berteriak, Yukari tetap berusaha melemahkan suaranya sambil melotot ke arah Ryo
yang masih sibuk dengan tangannya.
Benar saja, seandainya Yukari
tidak menghindar, pisau itu pasti sudah menancap tepat ke tubuhnya.
Berpikiran tentang kejadian yang
hampir saja merenggut nyawanya itu, gadis itu menoleh ke arah dinding di
belakangnya, di mana kini sebuah pisau tertancap.
“Aku--“
“--?”
Ia kembali menoleh ke arah Ryo
yang sepertinya punya penjelasan bagus untuk aksinya itu.
“ ‘Aku’, apa?”
“Aku Tidak tahu kalau itu kau, Akihara.
Aku sedang ada di bagian ujung dapur, lalu tiba-tiba aku mendengar suara
langkah dan suara orang seperti menabrak sesuatu. Aku panik dan bersembunyi.
Lalu, saat aku melihat sebilah pisau, aku mengambilnya, menunggu momen yang
tepat lalu--“
“Melemparnya ke arahku.”
Yukari langsung menyela Ryo yang
belum menyelesaikan bagian terakhir dari kata-katanya itu ke point utama.
Pemuda itu langsung membuat wajah terkejut, sepertinya karena Yukari tiba-tiba
menyelanya, yang seolah berkata ‘Ya, seperti itu’.
Begitu Yukari melihat pisau itu
melayang ke arahnya, dengan refleks, ia langsung menghindar dan akibatnya pisau
itu menancap di dinding. Tak berhenti sampai di situ saja, tiba-tiba ia seperti
diterjang oleh sesuatu dan terjatuh ke lantai dengan keras. Orang itu ternyata
Ryo.
“Serius. Aku minta maaf. Aku
benar-benar tidak tahu.”
“Ha ha.”
“...A--Apa!? Kenapa kau terta--“
“Diam!”
“Ubh--!!?”
Dengan cepat, Yukari langsung
menutup mulut Ryo yang mulai berteriak cukup keras sambil melemparkan sebuah
tatapan tajam. Hanya sebentar saja, tangannya kembali terlepas dan ia kembali tertunduk
dan tertawa kecil.
“......Apa yang terjadi denganmu,
Akihara...? Untuk bisa tertawa di saat seperti ini...”
Tentu saja, ekspresi bingung yang
saat ini tergambar di wajah Ryo. Mereka sekarang sedang menghadapi sebuah
permainan antara hidup dan mati, dan ia sungguh benar-benar tidak bisa percaya
kalau gadis itu justru tertawa.
Yukari tak menjawab pertanyaan
Ryo. Ia kemudian mengangkat wajahnya, sambil menahan tawanya.
“Ha ha, hanya saja, jarang
melihatmu minta maaf seperti ini.”
“Jangan heboh karena hal seperti
itu.”
Ucapnya menghela nafas.
“Saat kau minta maaf padaku
pertama kali, saat kau mengembalikan ‘surat itu kepadaku’.”
“Tidak usah diingat lagi.”
Seperti biasa, jawaban pemuda itu
selalu terkesan datar.
“Mana mungkin aku tidak ingat.
Itu adalah kejadian paling memalukan dalam hidupku.”
Ketika mengatakan ini, Yukari
sedikit tersenyum, meski sebenarnya ia berusaha menyembunyikan rasa malu dalam
dirinya. Wajahnya sekilas terlihat merah.
“........Jadi, bagaimana
sekarang?”
“Bagaimana apanya?”
“Kau tahu apa yang kumaksudkan.”
“Bukannya kau yang mengatakan
tidak perlu membahas masalah ini lagi?”
“Kau yang sudah menyalakan
apinya. Jangan melarikan diri.”
“Hmph. Pandai sekali kau.”
Mengalihkan pandangannya ke arah
samping bawah, Yukari terlihat berpikir sejenak. Beberapa detik kemudian, ia
kembali menoleh ke arah Ryo, namun tak menatap matanya. Sambil memainkan rambut
coklat pendeknya, ia mengatakan,
“Sudah tidak ada lagi.”
“Kau yakin?”
“Mana mungkin aku bisa--Dengan
orang itu? Kau jangan bercanda...”
“Kurasa kau yang berusaha
menyangkalnya.”
“Hey, ada apa denganmu hari ini?
Berisik sekali tidak seperti biasanya.”
Yukari langsung melemparkan
tatapan ‘Ada apa denganmu’, sambil mengangkat sebelah alis yang tidak
ditanggapi oleh Ryo.
Melihat tidak adanya reaksi
khusus dari pemuda itu, Yukari hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sedikit
lalu kembali berkata.
“Hmm...Tetap saja, aku masih
tidak percaya kalau kau melempar pisau itu ke arahku. Seseorang bisa terluka
atau lebih buruknya terbunuh di sini.”
“Lagi? Kenapa kau membahas
masalah ini lagi...?”
Terlihat sedikit kekesalan di
wajah pemuda dengan rambut itu putih, yang kembali membuat Yukari ingin tertawa.
Kali ini, ia berhasil menahannnya.
“Itu bukan hal kecil yang bisa
dihilangkan begitu saja, kau tahu? Selepas kita keluar dari rumah ini, kau
harus memikirkan kompensasi yang tepat untuk membayarnya.”
Ia berkata, kemudian bangkit
berdiri. Sementara Ryo hanya menghela nafas yang merupakan tanda pasrah dan
mengikuti Yukari berdiri.
“....Itu artinya, kita harus
keluar dari sini.”
Pemuda itu berkata dengan suara
pelan dan monotonnya yang biasa. Walau seperti itu, terasa setitik kebaikan
dari ucapannya yang singkat itu.
Yukari pun menanggapinya dengan
senyuman,
“Tentu kita harus keluar. Aku
sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Aoi lagi dan melihat bagaimana ekspresi
wajah Kazuya. Lagipula, aku tidak ingin berada lebih lama di rumah ini lagi.
Kau tahu hal mengerikan apa saja yang sudah aku alami?”
“Semua pasti mengalami hal yang
sama.”
Ryo berkata singkat dengan
sedikit senyuman tipis di wajahnya.
“Kalau begitu tunggu apa lagi?
Karena sekarang sudah ada kita berdua...Ehm...Bagaimana kalau kita bersama-sama
melakukannya? Kita sama-sama mengakhiri semua ini bersama...?”
...................
......................................
..........................................................
“.........Sepertinya bukan ide
yang buruk.”
Maka dengan itu, Yukari dan Ryo
saling berpandangan, bertukar keberanian dan saling memberikan kekuatan satu
sama lain. Menopang langkah yang goyah dengan dua tangan agar tak ada yang
terjatuh.
Mereka berdua kemudian mengangguk dengan yakin dan
mulai melangkah berdampingan.
“.........Akihara.”
“..............Ya?”
“...Senang bisa bertemu denganmu
di sini.”
“.......Oh...Ya, aku ju--Apa!?“
“................”
Tak menjawab reaksi Yukari bahkan
hanya dengan sepatah kata atau apapun, Ryo hanya mengalihkan pandangannya
sejauh mungkin, menjauhkan wajahnya agar gadis itu tidak bisa melihatnya.
Yukari cuma bisa diam melihatnya
sambil pelan-pelan berkata ‘Ternyata bisa seperti ini juga, ya?’.
Wajah seperti apa yang dibuat Ryo
saat ini? Yukari memendamnya dalam-dalam hati karena sekarang ada hal yang jauh
lebih besar yang harus mereka lakukan.
“......................”
Keberanian saja sepertinya tidak
akan cukup untuk melakukan semua ini, jika tidak didampingi dengan mental yang
benar-benar kuat.
Itulah yang sekarang dirasakan
baik oleh Yukari maupun Ryo. ketika mata mereka berdua terbuka lebar-lebar,
menatap ruangan di depan mereka yang terlihat sangat gelap seperti tidak ada
ujungnya. Jelas saja, tekanan energi yang kuat seolah membuat kekkai atau pelindung yang mencegah
mereka untuk masuk.
Rasanya, hanya menatap dari luar
pun, lemari itu sama sekali tak terlihat padahal letaknya tidak terlalu dalam.
“......Jadi ini akhirnya...”
Bergumam dengan suara pelan
kepada dirinya, Yukari mempererat genggaman salib di tangannya. Tunggu?
Bukannya seharusnya ia membawa sebuah buku? Pasti terjatuh dan tertinggal di
dapur. Ya sudahlah, lagipula isinya juga tidak terlalu penting untuk dia tahu.
“Ada apa? Kau takut?”
Ryo yang memperhatikan wajah
kebingungan Yukari langsung melontarkan pertanyaan tiba-tiba, yang membuat
pikiran Yukari kembali ke sekarang.
“Eh--“
“Tidak usah khawatir. Bukan hanya
kau yang merasakannya. Aku sendiri juga ketakutan.”
Menatap lekat-lekat ke arah mata
Yukari, Ryo berkata dengan pelan.
Tidak ada yang tidak merasa takut
ketika mereka benar-benar sampai di sini. Bahkan seorang ksatria yang berjanji
dengan gagah beraninya akan mengalahkan monster seperti naga yang melindungi
sebuah istana, demi menyelematakan sanga putri, pasti juga akan merasa
ketakutan begitu benar-benar berhadapan.
Meski sudah mengumpulkan
keberanian, itu saja belum cukup untuk membuat kita berdiri dengan tegak tanpa
gemetar ketika kita sudah sampai di depan rintangan.
Fyuuh...
Suara nafas bisa tertangkap
dengan jelas begitu kedua siswa SMA itu menghembuskan nafas panjang beberapa
kali.
“Kau siap?”
Ryo melontarkan pertanyaan ke
arah Yukari yang masih memejamkan matanya.
Ia lalu membuka kedua matanya.
Pada saat itu beragam pertanyaan muncul di benaknya. Benarkah ia siap? Atau itu
hanya cara untuk membuat dirinya merasa berani sebentar saja.
Ya, itu memang benar.
Jujur dalam hati, ia belum siap.
Pada kenyataannya masih banyak pertimbangan yang ingin ia buat sebelum
benar-benar melangkah masuk ke dalam gudang.
Apakah ini aman?
Apa tidak akan ada hal lain yang
terjadi saat mereka di dalam?
Apa mereka benar-benar sanggup
melakukan semua ini?
Apa...
Semuanya benar-benar akan
berakhir hanya dengan seperti ini...?
Di mana ada sebuah keyakinan
selalu ada keraguan. 2 hal itu selalu berkaitan seperti sebuah rantai panjang
yang sangat kuat dan tidak mudah untuk diputus. Ujung sebuah keyakinan dalah
keraguan, dan ujung sebuah keraguan adalah keyakinan.
Di mana kau memegang ujung rantai
itu, semuanya akan mengarah pada hal yang sama.
Tapi,
“[Dari sebuah keraguan, akan muncul sebuah keyakinan kecil, di balik
sebuah keyakinan kecil itu, ada sebuah keraguan yang lebih besar lagi. Itu
tidak masalah, karena di balik itu semua, di balik sebuah keraguan yang besar
itu, sebuah keyakinan yang jauh lebih besar lagi sudah ada di depan jalanmu].”
Kenapa?
Karena ingatan dan juga kenangan.
“[Aku memang masih memiliki keraguan di hatiku untuk benar-benar
melakukan semua ini. Tapi, ingatan, kenanganku akan semuanya, yang aku sangat
ingin tidak kehilangan, membuatku jauh lebih dari sebelumnya. Aku tak ingin
kehilangan hari-hariku dengan semua. Aku masih ingin melihat semuanya sewaktu
kita berhasil keluar nanti].”
“[Senyuman Aoi yang tulus, lebut dan juga melegakan, membuat siapapun
yang melihatnya merasa tenang,
.......Meski begitu, Kazuya tetap bagian dari lingkaran, jadi aku akan
menambahkannya, tapi aku tidak akan menulis ‘Senyuman Kazuya yang terlihat
licik dan terkadang terkesan menyeramkan’ atau sesuatu seperti itu. Tunggu? Apa
aku baru saja menulisnya?
Lalu yang terakhir,
Senyuman Ryo yang paling jarang terlihat dan selalu terlihat dingin. Tapi,
setiap kali ia tersenyum, selalu terasa kebaikan di dalamnya.
Aku rasa, dia memang orang yang seperti itu].
Semua pasti berpikir seperti itu.
Semua pasti berpikir ingin saling melihat satu sama lain lagi seakan-akan
mereka tidak bertemu sudah sangat lama sekali.]
Untuk mewujudkan semua itu, cuma
satu resolusi yang ia butuhkan. Dengan sesuatu yang kini seolah menyinari hati
dan juga jalan di depan langkahnya, Yukari kembali menghela nafas singkat
sebelum akhirnya menoleh ke arah pemuda pucat di sampingnya itu.
“......Setelah kita keluar dari
sini, aku berjanji tidak akan pernah menginjakkan kakiku di rumah ini lagi. [Aku menyayangi kalian semua!].”
Ia berkata, dengan senyuman tipis
di wajahnya.
Mendengar jawaban yang tidak
sesuai dengan apa yang ditanyakannya itu, Ryo terdiam sejenak, kemudian sedikit
mengangguk.
Ini adalah yang pertama dan
terakhir kalinya, mereka menginjakkan kaki di tempat ini.
TAP TAP TAP
Mereka berdua bergerak, berjalan
masuk ke dalam gudang dengan perlahan, mengakhiri permainan kematian i--
“Tunggu...”
Baru beberapa langkah ia
berjalan, Yukari tiba-tiba menghentikan langkahnya tanpa alasan yang jelas.
Ryo mengikuti Yukari berhenti
dengan tatapan yang terlihat bingung.
Ada apa?
“Ada apa, Akihara?”
“...Barusan aku merasa seperti
menginjak sesuatu.”
Yukari berkata, dengan nada
bicara yang terdengar sedikit ketakutan. Rasanya ada yang aneh?
Suara aneh mengikuti langkah
Yukari yang bergerak mundur beberapa senti dari tempatnya berdiri sebelumnya,
menimbulkan suara seperti ketika seseorang menginjak sesuatu yang seperti
cairan.
Air? Di tempat seperti ini?
Untuk sesaat, tubuhnya kembali
terasa berat. Keringat dingin mulai kembali mengalir bersamaan dengan Yukari,
yang menurunkan pandangannya.
“.................”
Suasana yang benar-benar gelap,
membuatnya kesulitan untuk menerka dan melihat, sesuatu apa yang telah ia
injak.
Menyadari ada sesuatu yang tidak
beres, Ryo pun menundukkan tubuhnya, kemudian menyentuhkan sebelah tangannya ke
lantai kayu itu.
Basah.
Itu yang diterima oleh otak Ryo begitu
ia menyentuhkan tangannya. Dengan segera, ia bangkit berdiri kemudian
mendekatkan tangan ke wajahnya dan--
“!!!!!!!??”
“A--“
Yukari langsung terbelalak sambil
menutup mulut dengan tangan kirinya. Perlahan, setetes air mata terlihat di
sudut matanya.
“Tidak...Ini...”
Ujar gadis itu, berjalan semakin
mundur.
“.............”
Tak ada kata-kata yang keluar
dari mulut pemuda bermata merah itu, selain tubuhnya yang gemetar hebat dan
mulutnya yang sedikit bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa.
Sebuah cairan berwarna merah kini
terlihat jelas di tangan Ryo.
“Darah!! Itu darah!!”
“Tenang, Akihara! Tenang!!”
Ryo memegangi tangan Yukari yang
berusaha melarikan diri. Salibpun terjatuh dari tangan mereka berdua,
menimbulkan suara ketika terjatuh ke atas lantai.
Siapa!!?
Darah siapa!!?
Apa--
Apa ada yang--
“Tidak--Tidak!!”
Yukari terus berteriak keras,
tubuhnya berjalan semakin mundur.
“Akihara!!”
Meski ia berusaha keras
menenangkan Yukari, Ryo sendiri pun sebenarnya sedang diliputi oleh rasa takut.
Sampai akhirnya,--
“Ah!!!”
“Akihara!!”
Ryo langsung tertegun dan berlari
ke arah Yukari, yang tiba-tiba berteriak dan terjatuh ke atas lantai dengan
keras.
Dengan cekatan, Ryo langsung
memegang pundak Yukari yang sepertinya terlihat masih sangat shock.
“Hah...Hah!”
Nafas Yukari masih terdengar
sangat berantakan saat itu, sambil bersandar pada dinding, tangannya berusaha
meraba-raba dinding di belakangnya untuk membantunya berdiri.
“A--Aku tersandung! Ada sesuatu
di sana!!”
Ia berkata dengan terbata-taba,
menunjuk ke arah sesuatu yang membuatnya terjatuh.
Ryo mengalihkan pandangannya
dan--
“Sesua--“
“KYAAAAAAAAA!!!!!!!!!!”
“!!!!!!!”
Yang tergeletak di depan mereka,
Sebuah tangan manusia.
“R--“
DEG DEG DEG
“Ukh--“
Ryo menutup mulutnya, berusaha
menahan teriakan yang ingin keluar dengan keras, sementara Yukari terkejut,
menggenggam bagian bawah bajunya dengan sangat erat, seolah bisa robek
kapanpun.
“.........Mustahil...”
Ketika mengatakan ini, Yukari
tidak bisa menahan air matanya lagi. Matanya menatap jauh ke dalam gudang,
penuh dengan ketakutan.
Saat itu, entah apa yang terjadi,
seperti ada sebuah kilat yang lewat dan menyambar di balik jendela, menimbulkan
secercah kecil cahaya, yang menerangi ruang gudang dengan sekilas seperti
sebuah film yang diperlambat.
Mereka berdua hanya memiliki
kesempatan beberapa detik saja untuk melihat sesuatu yang berada di dalam
gudang. Dan, hanya butuh tak kurang dari satu detik, yang mereka butuhkan
menemukan dan melihat sosok, yang berada di sana, bersandar pada lemari kayu,
Dengan tubuh bersimbah darah,
Nyaris terbelah menjadi 2 dari
bahu ke bawah,
Dan mulutnya yang terlihat robek,
penuh dengan bekas goresan.
.......................
..........................................
..........................................................................
“.............Aoi...”
Dia mengatakannya.
“Aoi--“
Ia menyebut namanya sekali lagi.
“A--“
“Selamat pagi, Yukari-chan!”
“Sudah, jangan ribut-ribut seperti itu, Yukari-chan, Azamaki-kun. Nanti
orang tua Yukari-chan akan mengusir kita. Dan lagi, alasan kenapa kita selalu
berkumpul di rumah Yukari-chan, Itu karena rumah Yukari-chan yang paling besar.
Jadi, enak buat kumpul-kumpul seperti ini. Lagipula Yukari-chan, aku tidak tahu
kamu takut sama cerita horror?”
“He he he...Maaf.”
“Yukari-chan, jangan marah-marah terus.”
“Be--Benar sekali!! Mana mungkin
aku dan Yukari-chan itu--Ah! Lagipula, aku dan Yukari-chan itu cuma teman! Ya,
cuma teman!! Bu--Bukan berarti aku tidak suka dengan Yukari-chan--Ya--A --aku
suka dia sih~ Ta--Tapi hanya sebatas teman!!”
“AOIIIIIIIII!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Yukari berteriak, berteriak dan
menangis sekeras yang ia bisa!
Aoi mati!
Aoi--
“Asahina--!!”
“AOI!!!!”
Tanpa berpikir panjang, Yukari
langsung bangkit berdiri, bermaksud berlari mendekati tubuh sahabatnya itu yang
sudah tidak bergerak.
“Aoi! Aoi tidak!!!”
“Jangan, Akihara!! Jangan ke
sana!”
“Kenapa tidak boleh!!!? Aoi ada
di sana! Aoi terluka, aku harus menolongnya!!! Minggi, Ryo! Lepaskan aku!!
Lepaskan aku!!!”
“Akihara! Akihara!! Dengar’kan aku!! Asahina
sudah mati!! Asahin--"
“TIDAK!!!!!!!!”
“Akihara!!!!”
“Jangan bercanda! Aoi belum mati!! Dia tidak mungkin
mati!!!!”
Baru tadi pagi, gadis bermata biru seperti laut itu
menyapanya, baru tadi mereka makan siang bersama, baru tadi ia melihat
senyumannya itu,
“DIA TIDAK MUNGKIN MATI!!!!!”
“AKIHARA!!!!”
“.............................................”
“.........Akihara...Asahina sudah...”
“.............................”
“.............................................”
“.......................Tidak.........”
“......................”
“Tidak tidak tidak, Aoi!!!!!!!”
GREP
Tubuh Ryo sedikit terdorong ke belakang, ketika Yukari
menerjang dan memeluknya dengan sangat erat.
“.........................”
“Aoi...Tidak!!”
Aoi adalah gadis yang baik. Sangat-sangat baik dan dia tidak
pantas mati seperti ini!!
Ini sama sekali tidak mungkin terjadi!!!!
“Aku--Aku sudah berjanji!!!! Aku sudah berjanji akan membawa
semuanya keluar dari sini, tapi--!!! “
Apa ini semua salahnya?
Apa ini karena ia menyetujui rencana Kazuya?
Seandainya...
Apa jika seandainya ia berusaha memikirkan jalan lain,
keluar dari cengkraman Kazuya,
Mereka bisa selamat dan keluar dari rumah ini...?
...................
“KENAPA JADI SEPERTI INI, TUHAAAAN!!!!!!!?”
“Akihara...”
“Seharusnya aku yang mati!!!!! Seharusnya aku yang berada di
sana bukan Aoi!!!!! Ini semua salahku!!! SALAHKU!!!!!!!! Ukh!!!”
“...............”
“Kalau ingin bunuh, bunuh saja aku!! Aku terima!!! Aku tidak
masalah!!! Tancapkan saja pisau itu padaku, asalkan--“
Asalkan Aoi bisa kembali bersama mereka lagi.
Tapi itu tidak mungkin,
Aoi sudah mati.
“Kumohon...Kembalikan Aoi...”
“HI HI HI”
................
Dalam sekejap, suara seorang
gadis kecil tertawa terdengar.
“..............Tidak...”
Bersamaan itu, di samping tubuh
Aoi yang telah tak bernyawa, samar-samar, terlihat bayangan seseorang,
tersenyum dengan mengerikan ke arah mereka,
“Permainan yang menyenangkan, bukan...?”
“Akihara!! Kita harus pergi!! Cepat!!!”
Memegang lengan Yukari, Ryo
segera membalik tubuhnya untuk segera pergi keluar dari rumah ini.
Inikah akhirnya?
Inikah akhir yang menanti mereka
berempat?
Untuk mati di tempat ini?
“Tidak tidak tidak tidak!! TIDAK!!!
Hentikan ini hentikan ini!! Tolong aku tolong aku!!”
..................
“SESEORANG!!!!!!!!!”
“CEPAT LARI!!!!!!”
Dengan sekali teriak, Ryo
langsung menarik lengan Yukari dan membawanya berlari dalam kegelapan. Di
tengah-tengah itu, Yukari menoleh kembali ke belakang, menuju ke tempat
sebelumnya di mana ia berteriak dan menangis, lalu menjulurkan tangannya.
“Aoi...”
Ucapnya dengan suara pelan.
Penuh dengan keputusasaan.
Berusaha menggapai sahabatnya
tersebut
“Yukari-chan, kau harus keluar dari sini.”
“Ah...”
Yukari berkata dengan suara
pelan, saat ia samar-samar mendengar suara yang sangat lembut itu. Rasanya
sesuatu itu seperti menyentuh hati dan juga perasaannya. Bayangan Aoi yang
sedang tersenyum sambil berkata ‘Yukari-chan’, terbayang langsung.
Itu harapan Aoi.
Kita semua harus bisa keluar dari
sini dengan selamat.
Maka dari itu, berusaha menahan
perasannya, Yukari, berkata dengan suara pelan,
....................
.....................................
.......................................................
“Aku pasti akan keluar. Terima
kasih...”
Lalu membalikkan pandangannya,
melihat ke depan,
“Aoi...[Kau adalah sahabat terbaikku. Aku tidak
akan pernah melupakanmu].”
TES
Butiran air mata yang tertumpah
untuk sahabat baiknya itu, mengiringi langkahnya, menuju ke pintu keluar.
“Kita di sini!! Kita di sini!”
Ryo berteriak,
mengacung-ngacungkan jarinya, ke arah pintu tua yang tepat di depan mata
mereka.
“Ah!”
Yukari berteriak sedikit kencang
ketika Ryo belum sempat mengerem langkahnya dan berhenti, sehingga ia menabrak
pintu itu dengan sedikit keras, membuat Yukari yang lengannya di pegang oleh
Ryo merasa terkejut.
Tanpa mempedulikan apapun lagi,
tanpa mempedulikan rasa takutnya, tanpa mempedulikan kehadian hantu itu yang
bisa tiba-tiba saja itu, Ryo mengetuk-ngetuk pintu itu dengan sangat keras,
menimbulkan suara ‘Dok’, ‘Dok’.
“Buka!! Seseorang!!!!!”
Pemuda yang biasanya bersikap
dingin dan tak banyak berdialog dengan orang lain itu, kini berteriak, penuh
pengharapan, penuh keputusasaan.
Gadis yang berdiri di sampingnya
itu, awalnya hanya terdiam memperhatikan Ryo, namun ketika dirinya juga semakin
panik, ia menoleh ke kanan dan kekiri seolah berusaha mencari seseorang yang
bisa dimintai tolong.
Lalu--
DOK DOK DOK
--Ikut menggedor pintu tua tersebut.
“Buka pintunya!!! Kumohon
seseorang!!! Siapa saja dengar kami!!”
“Pintu tua sialan!!”
BRAAKH BRAAAKH
Teriak Ryo, terus berusaha
mendobrak keras pintu itu.
Apapun yang terjadi, mereka harus
bisa keluar dari sini! Persetan dengan menyelesaikan permainan ini!!!
“Tidak!! Jangan seperti ini
kumohon!!!! Jangan biarkan semuanya berakhir seperti iniii!!!!!!!! [Tolong aku tolong aku tolong aku tolong aku
tolong aku tolong aku tolong aku!!!!!!!!!!].”
“Akh!!! Kenapa pintu ini tidak mau terbuka!!? Hah, hah!!
Bukaaa!!!!!!!!”
“Tolong!!! Seseorang--[Aku
tidak ingin mendengar apapun lagi, aku tidak ingin mendengar apapapun lagi--!].”,
........................
“TOLONG
KAMIIIII!!!!!!!!!!!”
DRAP DRAP DRAP!!
“R--Ryo!! Ryo!!”
Langkah kaki terdengar, begitu
cepat, begitu keras, menuju ke arah mereka berdua. Yukari tak bisa menahan lagi
perasaan takut yang berusaha ia tekan dan singkirkan sejak tadi! Rasa takut
yang telah terbuang jauh itu, kembali dengan sangat cepat seperti penyakit yang
menggerogoti tubuhnya!
Dengan erat, ia menggenggam
lengan baju yang dikenakan Ryo, sambil menangis ketakutan, melihat ke belakang.
“Ryo, ada sesuatu di sana!!”
BRAAAAKH BRAAAAAAAAAAKH
“Ayo, terbukalah!!! TERBUKALAH!!!!!!!”
DRAP DRAP DRAP DRAP
DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP
DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP
DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP DRAP
DRAP DRAP--
“RYOOOOO!!!!!”
“Ayo!!! Ter...Terbuk--“
BRAAAAAAAAAAAAAAAKH
“.......................”
Kepingan pecahan kayu, terbang
melintasi Ryo dan Yukari. Mata mereka terbuka lebar, tidak percaya dengan
kejadian yang hanya terjadi dalam waktu beberapa saat itu. Karena dengan cepat,
sebuah kapak berwarna merah, menghantam pintu, dan menghancurkan pintu itu
dengan seketika.
“...............................”
Tak hanya berhenti di sana, kapak
itu terus bergerak, bergerak, ke atas ke bawah ke samping, menghancurkan,
membantai pintu yang telah memerangkap mereka itu dengan tiada ampun.
Ketika mereka berdua menoleh ke
samping, sosok yang tidak asing lagi, telah berdiri di samping mereka,
--Tanpa ragu lagi, orang itu adalah......
“Kazuya!!!?”
Teriak Yukari begitu menyadari
bahwa sosok itu ternyata Kazuya, yang datang dengan kapak di tangannya.
Kazuya tak punya waktu untuk
menjawab teriakan Yukari yang terdengar sangat kaget itu. Ia terus saja
menghantamkan kapaknya ke arah pintu itu!
“Hah! Haah!!! Tidak akan
kubiarkan--!!!!! Tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan
tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan tidak akan kubiarkan tidak akan
kubiarkan --“
“-- KAU MEMBUNUHKU DI
TEMPAT INIIIIII!!!!!!!!!!”
BRAAAAAAAKH!!!!!!!
Itu adalah sebuah suara.
Suara yang timbul dari pintu yang
hancur, kemudian terjatuh ke tanah berumput tinggi dengan keras.
Untuk sekian yang cukup lama,
Entah mengapa mereka begitu
merasa rindu dengan langit malam gelap yang bahkan tak berbintang itu...
***-***
Jumat, 22 Februari -XXX-
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kanade selalu berada di kamarnya tiap kali aku pulang dari sekolah.
Dan di saat itu pula, ketika aku lewat di depan pintu merah yang
setengah terbuka itu dan mengintip ke dalam, aku selalu mendapati adik
perempuanku itu menonton film horor.
Tidak baik untuk anak kecil menonton film-film yang cocok ditonton oleh
orang dewasa seperti itu. Beberapa kali aku coba membelikannya DVD yang cocok
untuk anak-anak seusianya. Dia menerimanya, tapi besoknya, DVD baru itu kulihat
sudah berada di tempat sampah.
Adikku memang seperti itu.
Tiap kali aku membuka internet untuk mencari kaset video game seperti
apa yang bisa aku beli secara online, dia selalu memintaku untuk
memdownload-kannya film-film horor yang belum ada dalam bentuk kaset.
Aku tidak tahu, hanya saja, aku sama sekali tidak bisa menolak
permintaannya itu.
***-***
A/N : Hai, minna XDD
Hide and Seek update!
Yosh! Setelah tahun kemarin banyak bikin artwork daripada nulis, mulai sekarang aku bakal fokus ke dua-duanya//biar imbang gitu maksudnya//aku ga lupa cara nggambar dan ga lupa caraku nulis sama lupa alurnya ^^
Mulai sekarang, 2 kali artwork, satu chapter cerita dan seterusnya.
Kenapa 2 kali artwork dulu baru nglanjutin cerita? Karena nulis itu lebih lama daripada bikin artwork XDDD
Akhirnya!!! Mereka berhasil keluar dari rumah itu!!! AAAAAAA!!!!! Ya, ya, aku tau ini ngga serem, ya ya aku paham itu...
Tapi jujur, waktu aku nulis bagian Aoi mati...sebenarnya ngga tega...TT-TT//padahal Aoi baik loh...mungkin udah pada nyadar kalo Aoi yang bakal mati//hiks hiks...
Sankyuu...
Visit : Ngomik
DA
Next Chapter : Chapter 7
Author,
Fujiwara Hatsune