*Read : Chapter 1
Chapter -XXX-
Chapter 2
Chapter 3
* Read Another Stories :
Dan aku sangat menantikan...
Hari di mana akhirnya ‘harapan’ itu akan
muncul
Dan dunia abu-abu di mana aku tinggal ini
akan segera berakhir
HANA NO UTA
[Song of Flower]
Chapter -XXX-
“Ah...Hari ini
tidak ada pelanggan yang datang, ya? Benar-benar melelahkan hidup di kota kecil
seperti ini.”
Ketika aku sedang berjalan-jalan di tengah kota
kecil ini, kota Hanasaki
Aku tidak sengaja mendengar seorang penjaga
toko yang tidak berwarna, bicara dengan suara sedikit keras
Entah kenapa, aku merasa tertarik dengan
pembicaraan apa yang mungkin akan ia bicarakan
Jadi aku mengistirahatkan tubuhku dan duduk
di depan toko miliknya
Aku melihat ke atas, berusaha memperhatikan
wajah pemilik toko tak berwarna itu yang sudah cukup tua dengan jelas
Perlahan, ia menyeka keringat di dahinya
dengan tangan kemudian menghela nafas pelan
Aku bisa merasakan dengan jelas
Rasa putus asa dan penderitaan yang selama
ini ia alami di kota kecil Hanasaki
Terlihat jelas dari warna abu-abu yang
menyelimuti dirinya
Aku hanya terdiam sambil memikirkan sesuatu
seperti ‘Ah, kasihan sekali pemilik toko ini’
Kalau di lihat, sepertinya ia sudah sangat
lama tinggal di kota ini
Namun sama sekali belum ada kebahagiaan
yang ia dapatkan
Belum ada harapan yang muncul di hadapannya
Bunga kebahagiaan dan harapan itu belum
juga mekar
Hanya kesedihan yang selalu ia rasakan
ketika ia hidup di kota ini
Bagaimana aku bisa tahu?
Entah
Aku hanya bisa merasakan perasaan tiap
orang yang tinggal di kota ini
“Hai,
Sakamoto-san. Masih berjualan seperi biasa’ya?”
Saat aku sedang memperhatikan penjaga toko
tak berwarna itu yang sedang memasang wajah kesal atas nasibnya yang begitu
buruk
Datang seorang laki-laki yang mungkin
berumur sekitar 30 tahun-an
Di punggungnya, ada keranjang yang berisi
ikan-ikan segar dari laut
Mungkin seorang nelayan
Dan sama seperti penjaga toko tak berwarna
itu
Nelayan itupun juga tak berwarna
“Ah,
Sugisaka-san. Yah...Seperti hari-hari biasanya, ha ha.”
Pemilik toko tidak berwarna itu menjawab
pertanyaan pemuda nelayan tak berwarna itu dengan tawa kecil sambil menggaruk
rambut pendeknya
Dan aku bisa melihat dengan jelas, rasa
putus asa yang tersembunyi di balik senyuman itu
Sambil duduk dan mengamati orang-orang yang
berjalan di depan toko tersebut, aku duduk dan mendengarkan percakapan kedua
orang tidak berwarna itu
“Hari ini dapat
banyak ikan, ya?”
Penjual toko tak berwarna itu bertanya
kepada nelayan tak berwarna itu sambil memperhatikan keranjang berisi ikan yang
berada di punggungnya
Sepertinya memang mendapat banyak ikan
“Begitulah.
Satu-satunya yang baik dari kota kecil ini adalah kondisi alamnya yang sangat
bagus. Hanya saja...”
‘Hanya saja’
Nelayan tak berwarna itu menghentikan
ucapannya sambil melihat ke atas langit
Akupun mengikutinya dan mataku bertemu
dengan warna langit yang begitu biru dengan awan seperti kapas yang menghiasinya
Sambil terus menatap ke arah langit,
Aku merasa penasaran dengan apa yang akan
nelayan tanpa warna itu katakan
Kira-kira, apa kelanjutan dari kalimatnya
itu, ya?
“Hanya saja
apa?”
Penjaga toko tak berwarna itu bertanya
dengan nada penasaran
Sementara nelayan tak berwarna itu hanya
menjawab pelan
“Hanya
saja...Kalau penduduknya tidak ada yang mampu membelinya...Ya percuma saja aku
seharian menangkap ikan di laut seperti ini, ha ha ha.”
‘Percuma saja’
Itu yang dikatakan oleh nelayan tak
berwarna itu
Seharusnya aku tidak perlu terlalu merasa
penasaran dengan apa kelanjutan dari kalimat ‘hanya saja’ yang terlontar dari
mulutnya
Sejak awal, aku sudah tahu kalau ia akan
mengatakan hal itu
Tapi kenapa aku tetap saja merasa
penasaran?
Sebenarnya mungkin aku bukan ‘penasaran’
Aku hanya ‘berharap’
Ya
Aku berharap kalau nelayan tak berwarna itu
tidak akan mengatakan hal seperti ‘percuma saja’, ‘tidak ada gunanya’ atau
apapun yang melambangkan keputusasaan
Yang akan membuat kelopak bunga itu akan
jatuh berguguran sedikit demi sedikit
Dan harapan itu akan menghilang sepenuhnya
Sudah lama aku berada di kota kecil ini
Dan di saat yang sama, sudah lama aku
mengamati kehidupan di dalamnya
Kata-kata seperti ‘percuma saja’
Sudah sering sekali aku dengar dari mulut
mereka
Menganggap kalau apa yang mereka lakukan,
selama mereka masih berada di kota kecil ini, sama sekali tidak akan ada
gunanya dan akan sia-sia saja
Aku menurunkan pandanganku ke bawah
Sambil berharap kalau seseorang akan
berkata sesuatu seperti, ‘Kita memang tinggal di kota kecil ini. Namun jangan
menyerah hanya karena itu. Kita harus bisa hidup dengan bahagia di sini karena
semua yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang percuma’
Sambil berpikiran seperti itu,
Aku kembali mendengarkan percakapan kedua
orang itu
“Semua penduduk
yang tinggal di sini miskin dan tidak mungkin bisa membeli ikan-ikan milikku
ini. Mungkin aku bisa saja menurunkan harganya dan membuatnya menjadi lebih
murah. Tapi tetap saja, aku punya keluarga yang harus aku beri makan. Jadi,
jangan salahkan aku kalau harga ikan-ikan ini sedikit mahal.”
“Ya, aku
mengerti bagaimana perasaanmu, Sugisaka-san. Aku juga merasa seperti itu. Aku
sudah berdagang dan berjualan di kota ini kurang lebih selama 37 tahun. Namun
bahkan sampai sudah setua ini, hidupku masih belum bisa dibilang layak, ha ha.
Benar-benar ironis.”
‘Ironis...’?
“Ironis sampai
ingin mati saja rasanya. Haah...hidup di kota kecil dan terpencil seperti ini
memang merepotkan. Seandainya aku punya uang banyak, hal yang pertama kali akan
aku lakukan adalah pergi meninggalkan kota yang sudah hampir membusuk ini!
Dengan begitu, aku bisa menjual ikan di kota-kota besar dan mendapatkan banyak
uang.”
‘Kota yang sudah hampir membusuk...’?
Apa sampai seperti itu pikiran semua orang
tentang kota ini?
Meskipun mereka dilahirkan, besar dan hidup
di kota kecil ini selama bertahun-tahun...
Tapi mereka bisa dengan mudahnya mengatakan
hal seperti itu pada kota kecil yang sudah melindungi mereka ini
Dan tiap kali mendengar hal itu
Hatiku terasa sangat sakit
“Kau mungkin
bisa. Tapi kalau aku sudah terlalu tua untuk pergi. Kurasa aku juga akan
menghabiskan sisa hidupku dengan meratapi nasibku di sini. Yah...mau bagimana
lagi? Ha ha, rasanya seperti kutukan saja. Sekarang anak dan cucu-cucuku pun
hidup susah di sini. Kira-kira, kapan, ya, rantai kutukan ini akan terputus?”
Penjaga toko tak berwarna itu berkata
dengan nada sedikit sedih
Hidup di kota kecil ini seperti sebuah
kutukan yang tidak akan pernah terputus
“Hah! Jangan
terlalu berharap, Sakamoto-san. Sampai kapanpun...rantai kutukan itu tidak akan
pernah terputus.”
Tidak
Itu tidak benar
Pasti suatu saat nanti akan terputus
...
Ya
Suatu saat nanti
Hanya saja...
Kapan ‘suatu saat nanti’ itu akan datang?
“Sakamoto-san,
aku mau beli telur 1 kilo. Ayaa~ Hari ini tokomu terlihat sepi seperti biasa,
ya?”
Melihat ada seorang pembeli yang datang,
aku sedikit menyingkir dan kembali duduk.
Nelayan tak berwarna itu segera membereskan
barang-barangnya dan beranjak pergi dari toko kecil itu.
“Ah, ya sudah
kalau begitu. Sakamoto-san, aku duluan ya. Aku akan menjual ikan-ikan ini di
pasar.”
“Hm. Semoga
laku, ya.”
“Ya. Aku sudah
menjanjikan akan membawa putriku ke taman hiburan. Kalau tidak laku, aku tidak
tahu bagaimana aku harus menghadapinya nanti. Sampai jumpa.”
Ketika nelayan tak berwarna itu pergi
meninggalkannya, pemilik toko tak berwarna itu tersenyum dan melambaikan
tangannya dengan pelan.
“Taman hiburan?
Bukannya tiket masuknya mahal sekali?”
Pembeli yang juga tidak berwarna itu,
mengomentari soal tiket taman hiburan yang begitu mahal
Taman hiburan?
Apa itu tempat yang menyenangkan?
“Yah, memang
agak mahal. Tapi, semoga saja ikan Sugisaka-san laku dan bisa membawa putrinya
ke sana. Aku dengar, putrinya tahun ini masuk SMA, ya?”
“Iya. Kasihan
sekali, ya, Sugisaka, harus bekerja untuk membiayai putrinya sekolah sekaligus
perawatan putrinya di rumah sakit. Padahal rumah sakit di sini tidak bagus tapi
harganya sangat mahal.”
Pembeli tak berwarna itu berkata dengan
nada dan eskpresi yang sedih
“Mau bagaimana
lagi? Hidup susah sudah jadi bagian dari penduduk kota kecil ini. Kita yang
hidup dan terjebak di lingkaran ini hanya bisa berharap semoga ada suatu
keajaiban yang terjadi. Meskipun aku tidak tahu kapan akan terjadi, ha ha. Ah,
ini telurnya.”
“Terima kasih, Sakamoto-san.”
Begitu pembeli tak berwarna itu pergi,
pemilik toko tak berwarna itu melihat ke sana kemari
Begitu melihat tak ada seorangpun yang
mungkin akan berbelanja di toko kecilnya,
Ia pun masuk ke dalam tokonya sambil
menghela nafas
Bersamaan dengan itu, aku kembali bangkit
berdiri dan melanjutkan perjalananku, mengamati kota kecil ini
Mengamati orang-orang di sekitarku,
mendengarkan percakapan mereka tentang kota ini sudah menjadi bagian dari
hidupku
Seperti yang sudah kalian dengar, semua
orang yang tinggal di sini menganggapnya sebagai kutukan tiada akhir
Aku sama sekali tidak bisa menyalahkan
mereka
Menyalahkan kehidupan mereka yang memang
sangat menderita di sini
Karena aku tidak bisa melakukan apapun
untuk membantu mereka
Aku hanya bisa mengawasi, melihat, dan juga
mendengar
Itulah tugasku
Itulah alasan kenapa kau berada di sini
Sekarang ini
Meskipun aku sama sekali tidak bisa
melakukan apapun untuk merubah nasib orang-orang yang tinggal di kota ini,
Aku selalu berharap yang terbaik untuk
mereka
Meskipun mereka tidak yakin
Tapi tidak masalah walau hanya aku yang
yakin bahwa bunga ‘harapan’ dan ‘kebahagiaan’ itu juga pasti akan mekar di kota
kecil ini
Tidak peduli seberapa banyaknya aku harus
terus meyakinkan diriku
Aku akan terus berharap
***-***
A/N : Hai, minna XDD
pembaca : Awawa...apa-apaan ch kali ini???!! Ga nyambung sama yang sebelumnya!! Mau bikin bingung ya??!!
Author : Awa...Ga ada niat kok...Maaf kalau cerita ini semakin ga jelas...TT_TT
Sankyuu buat yang udah mau mampir :)
Next Chapter : 2 Keluarga
Author,
Fujiwara Hatsune
pembaca : Awawa...apa-apaan ch kali ini???!! Ga nyambung sama yang sebelumnya!! Mau bikin bingung ya??!!
Author : Awa...Ga ada niat kok...Maaf kalau cerita ini semakin ga jelas...TT_TT
Sankyuu buat yang udah mau mampir :)
Next Chapter : 2 Keluarga
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar