Senin, 25 Agustus 2014

Story : Hana no Uta Chapter -XXX-

Story : Hana no Uta Chapter -XXX-

*Read :  Chapter 1

               Chapter -XXX-

               Chapter 2


               Chapter 3

* Read Another Stories :


Dan aku sangat menantikan...
Hari di mana akhirnya ‘harapan’ itu akan muncul
Dan dunia abu-abu di mana aku tinggal ini akan segera berakhir

HANA NO UTA
[Song of Flower]
Chapter -XXX-

“Ah...Hari ini tidak ada pelanggan yang datang, ya? Benar-benar melelahkan hidup di kota kecil seperti ini.”

Ketika aku sedang berjalan-jalan di tengah kota kecil ini, kota Hanasaki
Aku tidak sengaja mendengar seorang penjaga toko yang tidak berwarna, bicara dengan suara sedikit keras
Entah kenapa, aku merasa tertarik dengan pembicaraan apa yang mungkin akan ia bicarakan
Jadi aku mengistirahatkan tubuhku dan duduk di depan toko miliknya
Aku melihat ke atas, berusaha memperhatikan wajah pemilik toko tak berwarna itu yang sudah cukup tua dengan jelas
Perlahan, ia menyeka keringat di dahinya dengan tangan kemudian menghela nafas pelan
Aku bisa merasakan dengan jelas
Rasa putus asa dan penderitaan yang selama ini ia alami di kota kecil Hanasaki
Terlihat jelas dari warna abu-abu yang menyelimuti dirinya
Aku hanya terdiam sambil memikirkan sesuatu seperti ‘Ah, kasihan sekali pemilik toko ini’
Kalau di lihat, sepertinya ia sudah sangat lama tinggal di kota ini
Namun sama sekali belum ada kebahagiaan yang ia dapatkan
Belum ada harapan yang muncul di hadapannya
Bunga kebahagiaan dan harapan itu belum juga mekar
Hanya kesedihan yang selalu ia rasakan ketika ia hidup di kota ini
Bagaimana aku bisa tahu?
Entah
Aku hanya bisa merasakan perasaan tiap orang yang tinggal di kota ini

“Hai, Sakamoto-san. Masih berjualan seperi biasa’ya?”

Saat aku sedang memperhatikan penjaga toko tak berwarna itu yang sedang memasang wajah kesal atas nasibnya yang begitu buruk
Datang seorang laki-laki yang mungkin berumur sekitar 30 tahun-an
Di punggungnya, ada keranjang yang berisi ikan-ikan segar dari laut
Mungkin seorang nelayan
Dan sama seperti penjaga toko tak berwarna itu
Nelayan itupun juga tak berwarna

“Ah, Sugisaka-san. Yah...Seperti hari-hari biasanya, ha ha.”

Pemilik toko tidak berwarna itu menjawab pertanyaan pemuda nelayan tak berwarna itu dengan tawa kecil sambil menggaruk rambut pendeknya
Dan aku bisa melihat dengan jelas, rasa putus asa yang tersembunyi di balik senyuman itu
Sambil duduk dan mengamati orang-orang yang berjalan di depan toko tersebut, aku duduk dan mendengarkan percakapan kedua orang tidak berwarna itu

“Hari ini dapat banyak ikan, ya?”

Penjual toko tak berwarna itu bertanya kepada nelayan tak berwarna itu sambil memperhatikan keranjang berisi ikan yang berada di punggungnya
Sepertinya memang mendapat banyak ikan

“Begitulah. Satu-satunya yang baik dari kota kecil ini adalah kondisi alamnya yang sangat bagus. Hanya saja...”

‘Hanya saja’
Nelayan tak berwarna itu menghentikan ucapannya sambil melihat ke atas langit
Akupun mengikutinya dan mataku bertemu dengan warna langit yang begitu biru dengan awan seperti kapas yang menghiasinya
Sambil terus menatap ke arah langit,
Aku merasa penasaran dengan apa yang akan nelayan tanpa warna itu katakan
Kira-kira, apa kelanjutan dari kalimatnya itu, ya?

“Hanya saja apa?”

Penjaga toko tak berwarna itu bertanya dengan nada penasaran
Sementara nelayan tak berwarna itu hanya menjawab pelan

“Hanya saja...Kalau penduduknya tidak ada yang mampu membelinya...Ya percuma saja aku seharian menangkap ikan di laut seperti ini, ha ha ha.”

‘Percuma saja’
Itu yang dikatakan oleh nelayan tak berwarna itu
Seharusnya aku tidak perlu terlalu merasa penasaran dengan apa kelanjutan dari kalimat ‘hanya saja’ yang terlontar dari mulutnya
Sejak awal, aku sudah tahu kalau ia akan mengatakan hal itu
Tapi kenapa aku tetap saja merasa penasaran?
Sebenarnya mungkin aku bukan ‘penasaran’
Aku hanya ‘berharap’
Ya
Aku berharap kalau nelayan tak berwarna itu tidak akan mengatakan hal seperti ‘percuma saja’, ‘tidak ada gunanya’ atau apapun yang melambangkan keputusasaan
Yang akan membuat kelopak bunga itu akan jatuh berguguran sedikit demi sedikit
Dan harapan itu akan menghilang sepenuhnya
Sudah lama aku berada di kota kecil ini
Dan di saat yang sama, sudah lama aku mengamati kehidupan di dalamnya
Kata-kata seperti ‘percuma saja’
Sudah sering sekali aku dengar dari mulut mereka
Menganggap kalau apa yang mereka lakukan, selama mereka masih berada di kota kecil ini, sama sekali tidak akan ada gunanya dan akan sia-sia saja
Aku menurunkan pandanganku ke bawah
Sambil berharap kalau seseorang akan berkata sesuatu seperti, ‘Kita memang tinggal di kota kecil ini. Namun jangan menyerah hanya karena itu. Kita harus bisa hidup dengan bahagia di sini karena semua yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang percuma’
Sambil berpikiran seperti itu,
Aku kembali mendengarkan percakapan kedua orang itu

“Semua penduduk yang tinggal di sini miskin dan tidak mungkin bisa membeli ikan-ikan milikku ini. Mungkin aku bisa saja menurunkan harganya dan membuatnya menjadi lebih murah. Tapi tetap saja, aku punya keluarga yang harus aku beri makan. Jadi, jangan salahkan aku kalau harga ikan-ikan ini sedikit mahal.”
“Ya, aku mengerti bagaimana perasaanmu, Sugisaka-san. Aku juga merasa seperti itu. Aku sudah berdagang dan berjualan di kota ini kurang lebih selama 37 tahun. Namun bahkan sampai sudah setua ini, hidupku masih belum bisa dibilang layak, ha ha. Benar-benar ironis.”

‘Ironis...’?

“Ironis sampai ingin mati saja rasanya. Haah...hidup di kota kecil dan terpencil seperti ini memang merepotkan. Seandainya aku punya uang banyak, hal yang pertama kali akan aku lakukan adalah pergi meninggalkan kota yang sudah hampir membusuk ini! Dengan begitu, aku bisa menjual ikan di kota-kota besar dan mendapatkan banyak uang.”

‘Kota yang sudah hampir membusuk...’?

Apa sampai seperti itu pikiran semua orang tentang kota ini?
Meskipun mereka dilahirkan, besar dan hidup di kota kecil ini selama bertahun-tahun...
Tapi mereka bisa dengan mudahnya mengatakan hal seperti itu pada kota kecil yang sudah melindungi mereka ini
Dan tiap kali mendengar hal itu
Hatiku terasa sangat sakit

“Kau mungkin bisa. Tapi kalau aku sudah terlalu tua untuk pergi. Kurasa aku juga akan menghabiskan sisa hidupku dengan meratapi nasibku di sini. Yah...mau bagimana lagi? Ha ha, rasanya seperti kutukan saja. Sekarang anak dan cucu-cucuku pun hidup susah di sini. Kira-kira, kapan, ya, rantai kutukan ini akan terputus?”

Penjaga toko tak berwarna itu berkata dengan nada sedikit sedih
Hidup di kota kecil ini seperti sebuah kutukan yang tidak akan pernah terputus

“Hah! Jangan terlalu berharap, Sakamoto-san. Sampai kapanpun...rantai kutukan itu tidak akan pernah terputus.”

Tidak
Itu tidak benar
Pasti suatu saat nanti akan terputus
...
Ya
Suatu saat nanti
Hanya saja...
Kapan ‘suatu saat nanti’ itu akan datang?

“Sakamoto-san, aku mau beli telur 1 kilo. Ayaa~ Hari ini tokomu terlihat sepi seperti biasa, ya?”

Melihat ada seorang pembeli yang datang, aku sedikit menyingkir dan kembali duduk.
Nelayan tak berwarna itu segera membereskan barang-barangnya dan beranjak pergi dari toko kecil itu.

“Ah, ya sudah kalau begitu. Sakamoto-san, aku duluan ya. Aku akan menjual ikan-ikan ini di pasar.”
“Hm. Semoga laku, ya.”
“Ya. Aku sudah menjanjikan akan membawa putriku ke taman hiburan. Kalau tidak laku, aku tidak tahu bagaimana aku harus menghadapinya nanti. Sampai jumpa.”

Ketika nelayan tak berwarna itu pergi meninggalkannya, pemilik toko tak berwarna itu tersenyum dan melambaikan tangannya dengan pelan.

“Taman hiburan? Bukannya tiket masuknya mahal sekali?”

Pembeli yang juga tidak berwarna itu, mengomentari soal tiket taman hiburan yang begitu mahal
Taman hiburan?
Apa itu tempat yang menyenangkan?

“Yah, memang agak mahal. Tapi, semoga saja ikan Sugisaka-san laku dan bisa membawa putrinya ke sana. Aku dengar, putrinya tahun ini masuk SMA, ya?”
“Iya. Kasihan sekali, ya, Sugisaka, harus bekerja untuk membiayai putrinya sekolah sekaligus perawatan putrinya di rumah sakit. Padahal rumah sakit di sini tidak bagus tapi harganya sangat mahal.”

Pembeli tak berwarna itu berkata dengan nada dan eskpresi yang sedih

“Mau bagaimana lagi? Hidup susah sudah jadi bagian dari penduduk kota kecil ini. Kita yang hidup dan terjebak di lingkaran ini hanya bisa berharap semoga ada suatu keajaiban yang terjadi. Meskipun aku tidak tahu kapan akan terjadi, ha ha. Ah, ini telurnya.”
“Terima kasih, Sakamoto-san.”

Begitu pembeli tak berwarna itu pergi, pemilik toko tak berwarna itu melihat ke sana kemari
Begitu melihat tak ada seorangpun yang mungkin akan berbelanja di toko kecilnya,
Ia pun masuk ke dalam tokonya sambil menghela nafas
Bersamaan dengan itu, aku kembali bangkit berdiri dan melanjutkan perjalananku, mengamati kota kecil ini

Mengamati orang-orang di sekitarku, mendengarkan percakapan mereka tentang kota ini sudah menjadi bagian dari hidupku
Seperti yang sudah kalian dengar, semua orang yang tinggal di sini menganggapnya sebagai kutukan tiada akhir
Aku sama sekali tidak bisa menyalahkan mereka
Menyalahkan kehidupan mereka yang memang sangat menderita di sini
Karena aku tidak bisa melakukan apapun untuk membantu mereka
Aku hanya bisa mengawasi, melihat, dan juga mendengar
Itulah tugasku
Itulah alasan kenapa kau berada di sini
Sekarang ini
Meskipun aku sama sekali tidak bisa melakukan apapun untuk merubah nasib orang-orang yang tinggal di kota ini,
Aku selalu berharap yang terbaik untuk mereka
Meskipun mereka tidak yakin
Tapi tidak masalah walau hanya aku yang yakin bahwa bunga ‘harapan’ dan ‘kebahagiaan’ itu juga pasti akan mekar di kota kecil ini
Tidak peduli seberapa banyaknya aku harus terus meyakinkan diriku
Aku akan terus berharap
***-***

A/N : Hai, minna XDD

pembaca : Awawa...apa-apaan ch kali ini???!! Ga nyambung sama yang sebelumnya!! Mau bikin bingung ya??!!

Author : Awa...Ga ada niat kok...Maaf kalau cerita ini semakin ga jelas...TT_TT

Sankyuu buat yang udah mau mampir :)


Next Chapter : 2 Keluarga

Author,
Fujiwara Hatsune

Tidak ada komentar:

Posting Komentar