*Read : Chapter 9 HTMF Vol.1
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Epilogue
Prologue ‘Hari-Hari Biasa’ Yang Selama
Ini Telah Kulewati
Hari itu terlihat sangat cerah.
Langit berwarna biru, disertai dengan awan berwarna putih. Sungguh
pemandangan biasa yang terjadi seperti hari-hari sebelumnya. Aku tak terlalu
terkejut dengan apa yang akan terjadi hari ini. Aku tak terlalu berharap akan
banyak hal yang terjadi.
Bersamaan dengan aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah, bebarapa teman
yang tinggal di dekat rumah datang, melambaikan tangan ke arahku.
“Hey-XXX-!”
Salah satu dari kedua gadis itu, F, berlari ke arahku, sementara yang
satunya, R, berjalan di belakang sambil mengunyah roti untuk sarapannya.
Hal yang biasa kembali terjadi, dan aku merespon sebagaimana biasanya aku
memberikan sebuah jawaban.
“Halo. Hari yang cerah.”
Ujarku pada mereka berdua sambil memberikan sebuah senyuman.
Menurutku, itu adalah kata-kata yang cukup membosankan. Aku tidak tahu,
kenapa aku harus membicarakan dan mengomentari masalah cuaca di tiap pagi aku
bertemu dengan teman-temanku. Seperti robot yang selalu di-setting dengan
pemikiran yang sama tiap harinya, mungkin seperti itu aku menganggap diriku.
“Yap, seperti yang kau katakan! Hari ini cuacanya bagus, dan aku bisa
merasakan sesuatu yang hebat akan terjadi!”
F berkata dengan semangat, seperti yang biasa ia lakukan, dengan
mengacungkan ibu jarinya.
“......Mmr...”
R, hanya mengangguk sambil terus berusaha mengunyah roti di mulutnya.
Aku sedikitnya paham kenapa ia tak mengatakan apapun.
“Oke,”
Yang bicara adalah F, sambil menggulung-gulung rambut hitamnya yang panjang
dengan jarinya.
Mau di hari seperti apapun, suaranya selalu terdengar riang.
“Jadi, kita ke sekolah sama-sama seperti biasa?”
Ia berkata, dan tak satu pun diantara kami yang tidak menyetujuinya.
HOW TO MAKE A FRIEND
“-XXX-, kamu sudah mengerjakan PR matematika belum?”
“Yah, aku sudah mengerjakannya."
“Hu hu hu, seperti biasa, -XXX- memang rajin. Dia tidak malas sepertimu, F.”
“Aku tidak malas, kok! Ah, dan tunggu dulu! Memangnya aku bilang kalau aku
belum mengerjakannya? Aku’kan hanya bertanya!”
“Memang sudah kau kerjakan?”
“Unn...Belum sih, tapi--“
F berkata sambil melirik ke atas yang langsung ditanggapi R dengan ‘Huuu!!
Kau memang belum mengerjakannya’kan?’.
“Tidak masalah, aku juga baru saja mengerjakan sepuluh nomor pertama. Habis
nomor yang lainnya sulit sekali.”
Kataku, yang jujur, sedikit membuatku terkejut.
Aku sama sekali tidak ada niat untuk mengatakan hal itu. Sesuatu yang
terdengar seperti aku sedang melindungi F atau sesuatu seperti itu, seolah aku
mengatakannya tanpa berpikir dan kata-kata itu keluar secara otomatis.
Kurasa, itulah yang akan tiap orang katakan ketika berbincang bersama dengan
teman. Sebisa mungkin, mereka berusaha membuatnya merasa senyaman mungkin
berada di dekat kita, membuatnya merasa tak sedang dihakimi.
Sekali lagi, selain langit dan juga teman-teman yang berangkat sekolah
bersama, serta pembicaraan yang cukup normal, membuat hari ini berlangsung
layaknya hari biasa lainnya.
“Hee, kalau -XXX- saja belum menyelesaikan setengah dari soal itu, berarti
memang sangat susah...”
Ujar F yang menolehkan pandangannya ke arahku.
Aku hanya tersenyum kecil mendengarnya.
“Orang yang belum menyentuh buku sedikit pun, tidak berhak berkomentar susah
atau tidaknya PR itu.”
Kali ini, R yang cukup pendiam dan terdengar kalem, berbicara. Rambut pirang
pendeknya berkibar terkena angin saat sedang berjalan melewati kerumunan orang.
“R--Apa kau sedang mengibarkan bendera perangmu terhadapku?”
F berkata yang diiringi dengan timbulnya pembuluh darah di dahinya.
“Bukan seperti itu. Aku terlalu muda untuk mati dalam peperangan. Ah, coba
lihat itu! Bukannya itu Mochida?”
Ucap R, menunjuk ke arah sebuah cafe, yang memang cukup banyak dikunjungi
oleh murid SMA kebanyakan, di ujung jalan. Sontak, kami pun langsung berhenti
dan melihat ke arah yang ia tunjukkan.
Benar saja, Mochida memang ada di sana. Sepertinya ia sedang sarapan pagi
atau hanya sekedar membeli kopi untuk diminum.
“Mochida!? Mochida Toru yang satu sekolah sama kita? Wah, mana, mana?
Pagi-pagi begini bisa bertemu dengan cowok keren, auh, mimpi apa aku semalam!!”
“Hentikan, F, kau terdengar seperti gadis-gadis SMA murahan.”
Melihat reaksi F yang berlebihan dan melihat ke sana kemari seolah sedang
berusaha menemukan sesuatu, R mengatakan sesuatu yang sepertinya langsung
menusuk ke akar hati F.
Tentu saja, F langsung memasang wajah kesal sambil menggembungkan kedua
pipinya, mirip seperti anak kecil yang sedang ngambek.
“Gadis-gadis SMA murahan apanya?! Semua gadis di sekolah pasti akan bereaksi
sama kalau melihat Mochida! Dia’kan bintang sekolah! Dan mungkin sekarang tiap
pagi kita harus mampir ke cafe itu! Hey, -XXX-, bagaimana?”
F bertanya ke arahku, membuatku terbangun dari lamunanku ketika aku masih
memperhatikan Mochida.
Kami kembali berjalan.
“Bagaimana--Bagaimana apanya maksudmu? Kalau maksudmu dengan bagaimana itu
adalah ‘Setiap pagi kita harus pergi ke cafe itu hanya untuk menemui Mohcida’,
aku tidak bisa karena aku sedang menabung.”
Aku balik bertanya ke arah F karena aku tidak mengerti apa yang dia maksud
dengan ‘Bagaimana’. Mendengar reaksiku yang mungkin ‘Tidak terlihat seperti
yang dia inginkan’[Yah, aku minta maaf soal itu], dia menatapku sambil
menyipitkan sebelah matanya,
“Bagaimana itu ya sudah pasti, bagaimana menurutmu tentang Mochida? Dia
tampan’kan?”
“Mnn...Dia manis...Tapi, bukannya dia sudah punya kekasih...?”
Aku berkata dengan telunjuk di dekat bibirku dan nada yang terdengar tidak
yakin, yang langsung membuat F memasang wajah terkejutnya.
“Heee??! Benarkah!? Siapa? Siapa??”
Dengan mata yang terlihat bersinar, F melihat ke arahku dengan perasaan
penuh keingintahuan yang besar.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah orang-orang disekelilingku. Ada beberapa
siswa dan siswi yang sepertinya berasal dari SMA yang sama denganku. Aku setidaknya
mengenal satu atau dua diantara mereka, terutama yang berada di satu kelas
denganku.
Dan meski aku tak mendengar percakapan mereka, atau apa , tapi aku
sedikitnya merasa yakin kalau mereka sedang membicarakan sesuatu yang tidak
berbeda jauh dari kita.
Masalah cinta atau pelajaran--Kira-kira sesuatu seperti itu.
“Hmm...Tapi tidak biasanya kau tahu dengan hal-hal seperti ini -XXX-?”
Ujar R tiba-tiba yang membuatku kembali menoleh ke arah mereka lagi.
Aku menggaruk rambutku yang sudah agak panjang.
“Karena anak di kelas banyak sekali yang membicarakannya. Tidak aneh’kan
kalau aku juga tahu satu atau 2 hal? Ah, dan bukannya dia itu adalah gadis
berambut pirang yang satu kelas dengan kita? Miyashita...Mmhm, akhir-akhir
banyak yang menggosipkan kalau mereka pacaran.”
Jelasku, mengatakan semua hal yang aku tahu.
Seolah anak kecil yang tidak puas, F kembali melemparkan tatapan
penasarannya ke arahku.
“Kalau soal itu, aku juga tahu. Yang aku ingin tahu apakah mereka
benar-benar pacaran atau sesuatu seperti itu? Tapi--Dengan Miyashita?
Maksudku--Dengan Miyashita yang itu?”
Ia berkata seakan-akan Miyashita benar-benar tidak pantas menjadi kekasih
Mochida.
Ya, tentu saja ia akan mengatakannya.
Maksudku, semua orang pasti akan mengatakannya. Sesuatu seperti ‘Orang itu
tidak pantas menjadi kekasihnya’, atau sesuatu seperti itu, yang membuatnya
merasa superior.
Kemudian yang akan keluar selanjutnya dari mulutnya adalah ‘Menurutku, dia
lebih pantas berpasangan denganku’. Aku mulai merasa kalau sudah ada terlalu
banyak drama yang memenuhi dunia ini dan mengubah cara pandang setiap orang.
Hmm...
Melirik ke arah F, R yang jarang sekali terlihat memikirkan hal seperti itu,
langsung mengerutkan dahi,
“Mn, dengan Miyashita yang itu? Memangnya kenapa kalau Mochida benar-benar
suka sama Miyashita? Bukankah terserah dia mau suka dengan gadis manapun?”
“Muu, itu benar sih...Tapi, tapi, tapi--!! Tetap saja sulit dipercaya kalau
Mochida dengan Miyashita yang itu! Maksudku--Ia bahkan tak berbicara satu kata
denganku saat aku menjadi teman duduk di bis saat study wisata! Aku terus
berpikir ‘Orang seperti apa dia ini sih’? Karena aku bisa melihat di pantulan
matanya itu, yang seolah melihat kita seperti sesuatu yang tidak ada
harganya!!”
“Jangan berkata buruk tentang orang lain. Ada banyak sekali orang yang tidak
memiliki tingkat kepekaan atau kepedulian terhadap orang lain yang cukup
tinggi. Atau mungkin itu karena kau yang tidak mengajaknya bicara duluan?”
Kataku, mengomentari perkataan F.
F selalu sangat cepat dalam mengambil kesimpulan. Aku bisa melihat dari 100
kesimpulan yang selalu ia ambil tiap saatnya, hanya 3 atau 4 yang benar.
Memang ada berbagai macam tipe manusia di dunia ini. Tipe yang sangat mudah
dimengerti dan tipe yang sangat sulit untuk dimengerti, tipe yang sangat mudah
didekati dan tipe yang butuh pendekatan ekstra, tipe yang selalu ingin
membangun hubungan baik dengan orang lain dan tipe yang selalu mempermainkan
hubungan baik dengan orang lain.
Kita selalu hidup ditengah-tengah orang seperti itu.
“Mnn...Habisnya dia terlihat aneh dan nampak tak bersahabat...”
F berkata, menghela nafas.
“Itu karena kau tidak mengenal seperti apa Miyashita. Buktinya, dia sangat
ramah dengan Hasegawa dan Takashi?”
Ujar R, yang entah mengapa membuatku tertegun.
Mengingat semuanya lagi, sikap Miyashita memang berbeda bersama Hasegawa dan
juga Takashi. Yah, tapi aku yakin itu karena mereka menunjukkan wajah
bersahabat mereka saat mengajaknya bicara, bukannya menggerutu tidak jelas
‘Kenapa dia tidak mau bicara denganku’.
Dan--Berbicara soal Miyashita, bukannya Kawada Emi yang kedatangannya
menggemparkan satu isi sekolah itu, adalah sahabat masa kecilnya? Yang pindahan
dari New York itu? Memiliki sahabat yang luar biasa seperti itu, yang bisa
diandalkan untuk hal apapun--Kurasa aku juga akan malas menghabiskan waktuku
dengan orang lain.
“Hnngh...Tapi tetap saja...Akan lebih baik kalau Mochida dengan seseorang
yang lebih ramah. Setidaknya, dia tidak menatap orang-orang dengan wajah ‘Apa
yang kau lakukan? Jangan menghalangi jalanku’, seperti yang biasa dikatakan
oleh para yankee itu lewat tatapan
mata mereka. Ehem! Mnn...Yah, setidaknya sih...Mmm...Dengan gadis
sepertiku...?”
Itu sudah tertebak sekali sejak awal pembicaraan ini di mulai.
Akhirnya muncul juga kata-kata ajaib
yang takkan pernah terwujud itu. Jangan harap bisa mendapatkan hati orang lain
ke tanganmu hanya dengan kalimat’Kurasa dia lebih cocok untukku’!
“Wajah itu--Makanya aku bilang padamu, jangan jadi seperti gadis-gadis SMA
murahan!! Cintailah seseorang yang benar-benar melihat ke arahmu dan bukan
orang lain!”
“Uuh! Kau itu kenapa sih, R!? Dari tadi ‘Gadis SMA
murahan!’, ‘Gadis SMA murahan!’, yang keluar dari mulutmu?!”
F terlihat sangat kesal dengan ucapan R yang menyebutnya
‘Gadis SMA murahan’ dan mulai membuat gerakan tangan seolah akan mencekik leher
R sampai berbusa. Aku mengerti kenapa F bisa sampai marah. Aku juga, tidak akan
merasa senang dan berkata ‘Terima kasih’, ketika seseorang menyebutku ‘Gadis
SMA murahan’.
“Ah, itu benar’kan? -XXX-?”
Entah mengapa, R justru menoleh kearahku, dengan wajah yang menyuruhku untuk
menjawab pertanyaan F. Sepertinya ia telah kehilangan opsi atau pilihan-pilihan
yang biasanya terdapat di game galge, dan mulai menjadikanku sebagai pilihan
terakhirnya.
Ukh...Jangan menatapku dengan mata memelas yang berteriak ‘Bantu aku!’,itu!
Bagaimanapun, ini salahmu dan sebisa mungkin aku ingin lepas tangan dari semua
ini!
“-XXX-!”
“...............”
“-XXX-!!”
“.................”
“Heeeeey, -XXX-!! Itu benar’kaaaaaaaaaaan!?”
“Iya, iya, aku paham [Aku akan
menolongmu!!]!! Tapi bisa tolong jelaskan padaku apa yang kau maksud dengan
‘Ah, itu benar’kan’!? Karena aku sama sekali tak bisa menangkapnya!!”
R--Dengan ekspresi datar meneriakkan beberapa kata yang diperpanjang di
depan telingaku sambil meletakkan tangannya di pundakku, yang membuatku tidak
tahan lagi.
Singkirkan tanganmu dariku sekarang jugaaaaa!!
“Ugh...”
Menggigit kuku ibu jariku, aku berusaha menggali dalam-dalam ingatakanku
kemarin. Kalau tidak salah, saat aku pulang malam kemarin, aku mendengar sesuatu
seperti ini. Kata-kata yang dikatakan oleh para pria yang sedang mabuk di
pinggir jalan kemarin, kupikir sangat sesuai dengan pertanyaan itu.
Jadi,
“Iya, itu benar. Bukannya orang-orang banyak yang mengatakan kalau anak-anak
SMA jaman sekarang semuanya murahan?”
Aku berkata dengan ekspresi seperti seorang guru yang sedang memberi jawaban
pada muridnya. Aku tidak tahu alasannya, tapi sepertinya jawabanku tidak
membuat suasana menjadi lebih baik.
“Aku tidak tahu darimana kau mendapat berita menarik itu, -XXX-, tapi biar
aku beritahu satu hal kalau kita bertiga ini adalah salah satu dari
‘Gadis-gadis SMA jaman sekarang’ itu!! Jangan berkata sesuatu yang menyudutkan
kaummu secara serentak begitu!”
Teriak F kesal.
............
Dia benar. Kita juga ‘Gadis-gadis SMA jaman sekarang’ itu...
Di saat itu,
“Hmm...”
Aku mendengar R bergumam pelan, melihat ke bawah sambil menopang dagunya.
Kelihatan sedang memikirkan sesuatu.
Beberapa saat kemudian, barulah ia menoleh ke arah kami berdua seusai
menyaring apa yang ada di kepalanya.
“Mnn, tapi menurutku, ada benarnya juga yang dikatakan oleh -XXX-. Bukannya
aku merendahkan perempuan atau apapun itu. Tapi akhir-akhir ini, aku juga
mendengar banyak yang mengatakan hal seperti itu. Mengejar laki-laki yang sama
sekali tidak menyukai mereka, rela melakukan apapun demi laki-laki yang tidak
menyukai mereka--Aku benar-benar merasa kesal! Aku sama sekali tidak habis
pikir, apa yang berusaha mereka capai dengan melakukan hal seperti itu--Ah,
lampunya masih hijau...”
Setelah mengatakan itu, R berhenti di belakang barisan orang-orang yang
bermaksud untuk menyebrang seperti kami. Aku dan F berdiri di sampingnya saat
melihatnya berhenti.
Mataku memperhatikan beberapa kendaraan yang melintas di jalanan.
Pikiranku tiba-tiba saja melayang, bukan memikirkan perkataan R, tapi
mungkin sesuatu yang terdengar tidak penting untuk dipikirkan. Namun, entah
kenapa aku tak bisa berhenti memikirkannya dan terus melanjutkannya.
“...............”
Ketika mataku menangkap beberapa kendaraan yang lalu lalang, aku sudah tidak
merasa asing lagi dengan itu. Memang terasa mustahil bagiku untuk bisa
mengingat semua kendaraan yang melintas baik itu mobil, sepeda motor, bus, atau sepeda biasa, atau mungkin juga para
pejalan kaki di sebrang jalan. Tapi setidaknya aku tahu, kalau satu atau 2
orang melewati rute jalan yang sama tiap harinya.
Sama seperti kita bertiga. Seakan-akan tidak memiliki pilihan jalan lain,
seakan-akan ending cerita sudah ditentukan dari awal, dan sejarah yang telah
tertulis sudah ditetapkan dan tidak akan berubah.
Saat itulah aku menyadari, kalau hari ini memang akan menjadi hari yang
biasanya selalu terjadi.
“............Hari-hari biasa yang lainnya, huh...?”
Aku berkata dengan pelan kepada diriku sendiri, melihat ke arah lampu lalu
lintas yang masih hijau. Sambil terus seperti itu, pikiran yang memenuhi
kepalaku berikutnya hanyalah ‘Kapan lampu hijau itu akan berubah menjadi
merah?’.
Tapi tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Seperti yang aku katakan sebelumnya,
aku tak terlalu peduli dengan dunia ini, maupun yang terjadi di dalamnya. ‘Aku
ingin dunia yang membosankan ini menghilang’, aku takkan mengatakan sesuatu
seperti itu.
Aku tak terlalu terkejut dengan apa yang akan menanti di depan. Aku juga tak
berharap akan ada banyak hal menarik yang terjadi.
Hidup ini hanyalah seperti sebuah kotak kejutan kecil. Kau harus berani
membukanya untuk mengetahui yang tersembunyi di dalamnya. Menurutku, hanya
orang-orang yang beranilah yang mampu membuka kotak itu dan melihat suatu
bagian tersembunyi dari dunia ini.
Orang-orang yang terlalu takut untuk
melihat bagian lain dari dunia, bagian lain dari dunia yang biasa mereka lihat,
dan lalui bersama dengan orang-orang di dalamnya, orang yang sudah terbiasa
melihat dunia ini sebagaimana yang nampak di mata mereka, lebih baik mengambil
langkah mundur dari kotak itu.
Aku? Kalau aku boleh bilang, aku tak termasuk di kedua tipe tersebut. Aku
tak takut untuk membuka kotak tersebut tapi aku juga tak ingin membukanya.
Kenapa? Karena--
“-XXX--! Hey!!”
“!!? Ah, eh? Ada apa?”
“Bukannya ‘Ah, eh? Ada apa’! Lampunya sudah merah tuh!”
Menunjuk ke arah lampu lalu lintas yang berubah merah, F berkata ke arahku
dan langsung menarik tanganku ke tengah jalan diikuti oleh R di belakang kami.
“...................”
Kapan lampu itu berubah menjadi merah? Aku sama sekali tidak menyadarinya,
padahal mataku terus memperhatikannya dari tadi. Ah, kurasa aku kembali hidup
di dalam pikiranku sendiri tanpa kusadari.
Kemudian, ketika aku sedikit berbalik dan melihat ke arah lampu lalu lintas
yang kini telah berubah menjadi merah itu--Kenapa, ya...?
Perasaan senang ini tak mau hilang juga dari dalam diriku...?
Entah mengapa, aku sedikit merasa--Kalau hari ini akan menjadi hari yang
baik...
Setidaknya untukku...
Akhirnya setelah menghabiskan waktu tak sampai 2
menit, orang-orang itu sampai ke sebrang dengan selamat. Kami bertiga termasuk
diantara ‘Orang-orang yang berhasil sampai ke sebrang dengan selamat’. Tak ada
kecelakaan yang terjadi, atau orang yang tiba-tiba terkena serangan jantung
mendadak dan pingsan di tempat. Bukannya aku mengharapkan sesuatu yang kejam
seperti itu, aku hanya mengantisipasi yang mungkin akan terjadi.
Hanya mungkin
terlalu berlebihan untuk seseorang yang hidup di kehidupan biasa mengharapkan
sesuatu yang luar biasa terjadi. Karena itulah, aku tak ingin terlalu banyak
berharap pada dunia ini.
Tepat pada
waktu itu, F berbicara,
“Sudah
pasti’kan, untuk membuktikan kalau kita benar-benar menyukai mereka!”
Aku
benar-benar sama sekali tidak tahu apa yang dia katakan...
“Apa...?
Kenapa kalian berdua menatapku dengan wajah ‘Aku tidak tahu apa yang kau
bicarakan itu’!?”
F berteriak
ketika melihat ekspresi datar di wajahku dan R.
Sambil
berjalan di depan kami, ia lalu melipat kedua tangannya di depan dada,
“ ‘Kenapa ya,
para gadis suka mengejar laki-laki yang sama sekali tidak menyukai mereka??’.
R, kau yang memulainya, jadi, jangan bilang kalau kau lupa!”
“Ah! Jadi kita
masih melanjutkan pembicaraan yang tadi!?”
“Tentu saja!!
Kau pikir kenapa aku mengatakan kalimat itu!? Otak kalian itu sebenarnya
nyambung tidak sih?!”
Itu sudah
terlewat beberapa menit yang lalu dan pembicaraan tadi terhenti begitu saja.
Aku kira kami akan membicarakan topik lain. Tapi sepertinya F masih suka dengan
topik satu ini.
Mnn, jujur aku
juga agak sedikit penasaran. Kenapa banyak gadis yang suka sekali mengejar
cinta laki-laki yang bahkan tak pernah melihat ke arahnya? Kurasa, itu tidak
bisa disebut cinta melainkan obsesi.
Setidaknya itu
pendapat pribadiku dan aku juga ingin dengar dari yang lain.
Sedikit
melirik ke arahku, R berbicara sambil mengangkat telunjuknya.
“Untuk
membuktikan kalau kita memang menyukai mereka? Kalau masalah itu, sepertinya
tidak perlu dibuktikan lagi, karena dengan sikap kita selama ini terhadapnya,
yang selalu mendekatinya tiap saat, memperhatikannya tiap detik, bahkan saat ia
ke toilet, aku yakin dia sudah tahu kalau kita begitu tergila-gila padanya,
seperti seorang stalker.”
“Meski aku
menjadi seorang stalker, tidak mungkin aku mengikuti orang yang aku suka sampai
ke kamar mandi!! Itu akan sangat menjijikkan!!”
F berkata
sambil sedikit berteriak dan menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah berkata
‘Tidak, tidak, tidak!’.
“Kau tidak
tahu? Menjadi stalker, berarti harus mengetahui detail kehidupan dari orang
yang kita sukai. Termasuk aktifitasnya di kamar mandi--“
“Stoooop!!!
Hentikaaaaaan!!! Aku tidak ingin mendengar kelanjutan ucapanmu, R!!”
Menutup
telinga dengan kedua tangan, F sepertinya sudah sangat kewalahan menghadapi R.
Aku merasa
kalau ia tak menyela ucapannya, pembicaraan yang gawat dan tidak terlalu
menyenangkan akan naik ke permukaan. Aku berhutang padamu F. Kaulah penyelamat
jiwaku.
“Tapi kalau
sudah seperti itu, kenapa tidak menyerah saja?”
Aku berkata
tiba-tiba, membuat R dan F mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Menyerah?”
ucap R dengan
nada bingung.
“Aku setuju
dengan R. Itu sama sekali tidak ada gunanya. Menghabiskan waktu kita yang jauh
lebih berharga untuk seseorang yang bahkan tak menganggap kita berkilau seperti
permata melainkan hanya seperti bongkahan batu murah yang bisa ditemukan di
sepanjang jalan...Hanya akan melelahkan kalau kita terus mengejar mereka tiada
henti seperti itu. Saat kita menanam benih di tanah yang kualitasnya buruk,
pasti tidak akan tumbuh. Selama kita tidak menanam benih cinta kita di hati
yang tepat, pasti juga tidak akan tumbuh.”
Aku berkata
dengan suara pelan. Aku tidak tahu apa R atau F menyadarinya, tapi aku bisa
merasakan keanehan dari nada bicaraku sendiri.
Untuk sesaat,
aku terdiam dalam keheningan sampai F membalas perkataanku,
“Memang
melelahkan! Tapi apa yang kita lakukan dengan sepenuh hati, pasti akan
berbuah’kan? Misal’kan saja, kita ingin jadi juara melukis. Sudah pasti kita
akan terus berlatih tanpa henti. Benar’kan? Sama halnya dengan ketika kita
ingin mendapatkan hati laki-laki yang kita sukai. Jika kita bekerja keras tanpa
henti, terus mendekatinya dan menunjukkan rasa perhatian, aku yakin lama-lama
dia juga akan luluh dan mengakui cinta kita. Dia juga akan menyukai kita!”
“Kenapa kau
bisa dengan mudah menyamakan lomba lukis dengan cinta? Kau tidak akan mengecat
mereka’kan?”
“Tentu saja
tidak, dasar R bodoh!!!!!!”
F kembali
berteriak yang dibalas dengan ‘Oke, oke, maaf’kan aku’, oleh R, sementara aku
hanya bisa sweat drop
memperhatikannya...
Berkata sesuatu
seperti ‘Ahem!’, F lalu menyambung ucapannya,
“Kalian berdua
tidak tahu, ya? Cinta bisa tumbuh dari kebersamaan. Selama kita mendedikasikan
hidup kita untuknya, maka ia juga tidak akan bisa menolak cinta dari kita!
Justru dengan tidak menyerah dan terus mengejar itulah, bukti kalau kita
benar-benar serius suka padanya, dan bukan hanya berpura-pura saja!! Kalau
misal kita menyerah di tengah jalan, dia pasti akan berpikir kalau kita tidak
serius!”
“Mnn, ucapanmu
juga ada benarnya sih...Tidak menyerah itu bagus, untuk menunjukkan niat kita
yang sebenarnya, dan seberapa kerasnya kita memperjuangkan sesuatu.”
Ujarku,
menggaruk rambut bagian belakangku.
Mendengar
jawabanku yang seolah mendukung pendapatnya itu, F menoleh ke arahku dan
tersenyum,
“Tuh! Apa juga
aku bilang? Benar’kan? Benar’kan?? Memang di dunia ini tidak ada yang bisa
mengalahkan usaha keras!”
Mengangkat
kedua tangannya ke atas, F berkata dengan nada bicara yang terdengar cukup
riang.
“Ah, aku
sendiri juga tahu kalau usaha keras itu bagus. Tapi jika terus dekat-dekat dan
nempel seperti lem begitu, apa kau yakin dia tidak akan mengatakan sesuatu
seperti ‘Kau lagi, kau lagi! Aku sudah bosan melihatmu!’, dan sesuatu yang lain
seperti itu, karena aku
sendiri juga merasakan hal yang sama...”
“Apa yang kau
ucapkan di bagian akhir kalimatmu itu--?!”
F mulai
berkata--Tunggu!? Apa-apaan aura kegelapan yang sangat menakutkan itu!? F
sekarang terlihat seperti seorang penyihir kejam yang akan segera memantrai R
dengan kutukan-kutukan yang mengerikan!! Semoga kau berhasil selamat, R!!! Aku
tidak akan melupakan semua kebaikanmu padaku selama hidup ini! Sampai kapanpun,
ijinkan aku untuk terus mengenangmu!
“............Aku
tidak mengatakan apapun. Hanya ‘Akhir-akhir ini aku merasa berat badanku
sedikit naik’. Itu saja. Kenapa kau menatapku seolah ingin mencekik leherku
sampai mati begitu? Dan -XXX-, apa-apaan wajahmu yang seolah berkata ‘Terima
kasih atas kebaikanmu selama ini’, yang terlihat seperti adegan-adegan
mainstream dalam drama di mana ada seseorang yang telah meninggal? Untuk
penjelasan saja, aku masih hidup di sini.”
Walaupun tak
terdengar setitik pun rasa kesal di nada bicaranya yang terdengar cukup monoton
itu, raut mukanya jelas memberikan kesan yang berbeda.
“Ukh--Kau
beruntung karena kata-kata itu lewat begitu saja di telingaku! Tapi lain
kali--Akan kupastikan kau dibakar di tiang sampai menjadi abu!! Lihat saja!”
“Kau pikir aku
penyihir?”
Menatap ke
arah F yang berjalan selangkah di depannya, R mengangkat sebelah alisnya.
Kemudian, aku
memutuskan untuk mengatakan hal yang dari tadi tersimpan di pikiranku sejak
mendengar ucapan R tadi,
“Yah, yah,
kalau aku jadi anak laki-laki yang ditaksir oleh gadis yang begitu terobsesi
denganku, aku juga akan merasa risih dan tidak enak. Diperhatikan oleh orang-orang
sekitar dengan wajah ‘Kenapa anak perempuan itu terus saja mengikutinya, ya?’.
Selain itu, entah kenapa tapi itu juga membuatku sedikit merasa takut.”
Tidak ada yang
lebih menakutkan dibandingkan dengan seseorang yang begitu terobsesi denganmu.
Aku belum memiliki pengalaman tentang itu, tapi kurasa itu akan sangat terasa
aneh ketika ada seseorang yang mengikutimu kemanapun kau pergi.
Bahkan
sekarang aku sudah bisa mulai merasakan perasaan aneh yang mulai merasuki
tubuhku.
“Hm, hm, hm,
kau pernah nonton ‘Golden Time’?”
Ujar R,
mengangguk-anggukan kepalanya kemudian melanjutakan,
“Tak peduli
apakah Koukou dan Mitsuo adalah teman masa kecil, Mitsuo juga pasti akan merasa
tidak suka ketika Koukou berubah layaknya penguntit yang terlihat begitu terobsesi
dengannya. Setiap orang butuh privasi, tiap orang butuh kebebasan. Bahkan soal
cinta sekalipun, setiap orang tanpa kecuali berhak bahagia bersama orang yang
ia pilih dan benar-benar sukai. Termasuk--Jika orang itu adalah seseorang yang
kau sebut ‘Aneh’, seperti Miyashita.”
Aku tidak
tahu, tapi R terdengar lumayan bijak ketika ia mengucapkan semua itu.
“Muu...Tapi’kan...”
F terdengar
seperti akan mengatakan sesuatu. Tapi ia tak melanjutkan kalimatnya dan hanya
terus bergumam pelan dengan wajah kesal. Sepertinya, walau tak ingin
mengakuinya, tapi ia sendiri juga merasa kalau mengejar cinta seseorang yang
tidak menyukai kita, tidak akan pernah membuat hidup menjadi bahagia .
Ia sudah
kehilangan kata-kata untuk diucapkan dan memilih untuk terdiam.
Kedekatan yang
terlalu sering, memang bisa menumbuhkan cinta, tapi itu jika kedua belah pihak
merasa nyaman satu sama lain. Ketika cinta itu hanya dimiliki oleh satu pihak
saja, kedetakan itu tidak akan menjadi semakin dekat, namun menjadi sesuatu
yang menjauhkan ikatan itu.
Setidaknya,
itulah hal kecil yang bisa aku tangkap dari pembicaraan ini.
“Bahkan
kurasa, perhatian yang kita beri dengan sungguh-sungguh dari lubuk hati
terdalam itu tak’kan mengubah apapun karena akan membuat kita nampak seperti
stalker. Kau tahu stalker’kan? Stalker yang seram itu, lho. Kalau tidak tahu,
biar kuberitahu--”
“Tidak usah
repot-repot karena aku sendiri tahu! Menurutmu di sini, siapa yang paling suka
membaca cerita tentang obsesi cinta?! Aku sudah menyelesaikan membaca Mirai
Nikki dalam waktu 3 hari! Dan-- Hey, kau dengar aku!??”
“--Jadi,
stalker itu adalah seorang penguntit. Artinya, seseorang yang selalu mengikuti
kemanapun kita pergi dan tanpa kita sadari, dia begitu terobsesi dan mencintai
kita seakan-akan kita adalah dewa yang berada di posisi paling atas. Mereka
akan melakukan apapun untuk kita, bahkan menyelinap ke rumah kita pada malam
hari untuk mendapatkan foto kita ketika sedang tertidur. Mengetahui jam berapa
kita biasa melakukan semua kegiatan sehari-hari kita. Apa merk sabun yang kita
pakai? Mereka akan menulis nama kita di tiap lembar buku diary mereka dengan
tinta merah. Dan dinding kamar mereka pasti akan dipenuhi dengan foto-foto kita
disertai tulisan seperti ‘Hari ini F mampir ke toko ini, besok aku juga mampir
ah’, ‘Wangi F sangat enak! Aku ingin memakai sabun yang F pakai!!’, ‘Tadi F
membeli soft lens warna biru! Aku juga mau beli ah, biar bisa kembaran!’,
‘Pakaian dalam F merk *****!! Aku juga akan memakai merk itu dan akan
kupamerkan pada F besok!!’.Salah satu karakteristik yang paling mencolok adalah
obsesinya pada kita dan juga sikap posesifnya. Biasanya di anime atau manga,
karakter stalker sangat identik dengan chara
yandere. Dimana mereka terlihat sangat normal pada awalnya dan benar-benar
manis, tapi begitu mereka jatuh cinta pada seseorang, akan terlihat sikap buruk
yang tersembunyi, yang membuat mereka nampak seperti pasien rumah sakit jiwa.
Bahkan mereka tega membunuh, baik orang lain atau kita jika kita selingkuh atau
jatuh cinta pada gadis lain. Kata-kata mereka yang paling populer adalah ‘Jika
aku tak bisa memilikimu, maka orang lain juga tidak akan bisa’. Ya, itu dia
penjelasan singkat dariku tentang stalker.”
Singkat!? Aku
bahkan tidak tahu harus melihat dari sisi mana untuk bisa melihat penjelasan R
sebagai sesuatu yang singkat--!
“Jadi, kau
sama sekali tidak mendengarkanku, ya!!!?Aku bilang aku sudah tahu!!!”
“Tapi aku
sudah menyiapkan catatan kecil tentang ini...Kan sayang kalau aku tidak
mengatakannya...”
R berkata
dengan ekspresi sedih sambil membolak-balik catatannya notesnya.
“Catatan
kecil!!!? Kau bilang kau mencatat semua penjelasan super panjang yang kau
bilang singkat itu--Dengan sebuah notes kecil!!? Apa-apaan penjelasan yang
seperti ensiklopedia itu!? Aku bahkan tak’kan mampu membacanya dalam satu
malam!”
“Aku sudah 2
minggu melakukan penelitian tentang hal ini.”
“KAU
membuang waktu 2 MINGGUMU untuk melakukan hal yang SAMA SEKALI TIDAK ADA GUNANYA!!”
“Berguna.
Sekarang aku merasa satu senti lebih dekat dengan para stalker itu.”
“Kenapa dengan
nada yang terdengar simpati itu!? Satu pertanyaan yang paling penting di sini
adalah--Aku tahu apa yang kau jelaskan tentang stalker di atas itu sangat jelas
dan aku tahu kalau memang itu kebenarannya! Masalahnya ada pada--‘Pakaian dalam
F merk *****!! Aku juga akan memakai merk itu dan akan kupamerkan pada F
besok!!’, bukannya stalker seharusnya berasal dari gender yang berbeda dengan
kita!? Kenapa pria mau mengenakan celana dalam wanita hanya karena ia
menyukaiku!!?”
“F, pikiranmu
sempit sekali. Sudah beruntung aku menuliskan di catatanku ini kalau kau
memiliki stalker...Mendapat penghargaan sebesar ini...Haruskah kau protes
tentang masalah sekecil itu...?”
“Apa kau mau
bilang kalau aku tidak memiliki penggemar rahasia yang rela melakukan semuanya
untukku di dunia nyata!? Tidak! Itu tidak benar!! Aku punya! Dan, dan--Meski
aku tidak punya--Aku juga tidak akan sedih!! Aku tidak sedih atau apapun
ituuuu!!!”
.................Kau
tidak punya, dan kau sedih. Aku tahu itu.
“Kau seperti anak-anak yang meributkan susu
vanilla dan coklat...”
Ujar R dengan
suara yang terdengar kalem dan dewasa. Dan yang pasti, terdengar kepercayaan
diri bahwa ia yakin kita akan bisa menangkap maksud perkataannya barusan.
“Aku sama
sekali tidak menangkap maksudmu...”
Kali ini, aku
yang berkata dengan ekspresi tidak mengerti. Susu vanilla... Dan susu
coklat...? Apa hubungan keduanya dengan seorang stalker...?
“Meski berbeda
warna, tapi keduanya tetap saja susu. Tak peduli mau pria atau wanita, yang
penting stalker.”
“ ‘Rasanya’
berbeda.”
Ujarku
mengomentari ucapan R dengan keringat menetes di dahiku.
R sebenarnya
cukup pintar dan bukan tipe orang yang suka berbuat macam-macam. Tapi sekarang
aku tahu, kalau dia ternyata hobi mengumpulkan informasi untuk sesuatu yang aku
tidak tahu penting atau tidak.
Tolong, jika kalian menemukannya tersesat di
suatu tempat, kembalikan R yang aku kenal. Kumohon, tolonglah dia karena
sekarang dia sudah tak memiliki harapan apapun lagi. Kasihanilah dia. Aku ingin
sahabatku R kembali seperti dulu sebelum dia rusak seperti saat
iniiiiiiiiii!!!!!!!
“Tidak, tidak,
tidak!! Itu tidak baik! Memiliki stalker wanita sama sekali tidak membuatku
bahagia!! Sama sekali tidak akan membuatku merasa bahagiaaaaaa!!!!!!!!!!”
.............Wajahmu
merona. Kau sebenarnya sangat senang’kan...?
“Tapi--Itu
tadi panjang sekali R. Berapa banyak notes yang kau habiskan untuk mencatat
semua itu...?”
Ujarku dengan
wajah terheran-heran, meski aku sendiri sebenarnya menyadari, untuk apa aku
menanyakan masalah ini...
“Oh,
sebenarnya aku sudah mencatat sampai 30 notes lebih. Mau kubacakan hasil
penelitianku tentang stalker yang lainnya??”
“Tidak, tidak usah!! Tapi terima kasih
atas tawarannya!!”
Sambil
berusaha tersenyum, aku menekan kata ‘Tidak’.
Oh sungguh...
Kalian tidak
tahu seberapa menyesalnya aku mengatakan kata-kata barusan...
“Kau itu
sebenarnya apa sih? Stalker pro?”
“Aku lebih
senang kalau kau menyebutku ‘Pengumpul informasi profesional’.”
“Aku tidak ada
masalah dengan sebutan itu. Tapi masalahnya, kurasa itu julukan yang terlalu berat
untukmu karena informasi yang kau kumpulkan sama sekali tidak bermanfaat.”
F mengomentari
ucapan R dengan lugas dan spontan. Benar-benar orang yang frontal.
Meski begitu,
R tak kelihatan kesal dan kembali melanjutkan perkataannya,
“Bermanfaat,
kok. Aku sudah mengumpulkan info mengenai ‘Jumlah kelopak bunga sakura yang
berguguran di tanah tiap musim semi’, ‘Jumlah kelopak bunga sakura yang tersisa
di pohon saat musim semi hampir berakhir’, ‘Berapa kali suara jangkrik
terdengar di musim panas’, ‘Berapa kali awan membentuk permen kapas di
sepanjang tahun’, Berapa penghasilan stan penjual manisan apel di tiap
festivalnya’, ‘Jumlah butiran salju yang turun tiap musim dingin’, Jumlah daun
pada pohon Natal yang baik untuk menggantung hiasan Natal’, dan lain seperti
itu.”
“Apa fungsi
semua itu untuk masyarakat umum?”
Ucapku, yang
masih tidak tahu kenapa aku selalu terpancing untuk bertanya.
“Hmm...”
Mendengar
pertanyaanku, R terlihat berpikir sejenak sambil menopang dagu dan menurunkan
pandangannya. Beberapa detik kemudian, ia kembali mengangkat wajahnya dan
berkata,
“Mn, tidak
ada. Itu hanya untuk kepuasaan pribadiku.”
“Oke, sebelum
kita ke sekolah, bagaimana kalau kita ke rumah sakit dulu? Bagaimana -XXX-?”
“Aku tidak
ingin terlambat masuk, tapi aku setuju denganmu.”
Aku dan F
berkata, saling menyetujui.
“Rumah sakit?
Apa kalian tiba-tiba merasa tidak enak badan?”
Tanya R sambil
mengangkat sebelah alisnya.
“Oho ho ho,
bukan kami yang membutuhkan bantuan medis di sini. Tapi kau, R.”
“Aku? Tapi aku
tak merasakan apapun, F?”
“Kau memang
tidak merasakan apapun. Pada awalnya, penyakit ini hanya akan membuatmu merasa
pusing-pusing biasa. Kemudian perlahan mulai mengambil alih otakmu, kepalamu,
kemudian fungi seluruh tubuhmu dan terakhir, jiwamu.”
Menggerakan
tanganmu seperti seseorang sedang memberi penjelasan dan mempromosikan tentang
brosur rumah mewah di tepi pantai, aku menjelaskan situasinya pada R.
“Ekh!? Aku
menderita penyakit seperti itu?”
R nampak
terkejut begitu mendengar perkataanku dan F ketika ia memberikan respon dengan
wajah yang terkesan bodoh. Siapa yang tidak akan terkejut jika tiba-tiba
mendapat kabar bahwa kau menderita sakit parah? Setidaknya, ini adalah respon
normal yang aku harapkan dari R.
Namun...Mendengarnya
berkata seperti itu..Entah kenapa aku justru merasa kasihan padanya...
Memundurkan
langkahnya dan berjalan di samping R, F berkata dengan pose dan gaya tidak jauh
berbeda dengan yang kulakukan sebelumnya.
“Iya, dan
sekarang, kau sudah tahap di mana otak di kepalamu itu sudah membusuk. Kalau
kita tidak ke rumah sakit dan meminta dokter untuk segera membetulkannya,
jiwamu yang selanjutnya akan rusak.”
“O--Oke...Jadi,
rumah sakit yang mana yang akan kita datangi...?”
“Rumah sakit
di daerah B kelihatannya sangat bagus...”
“...........Itu
rumah sakit jiwa.”
“Iya, itu
memang rumah sakit jiwa, dan penyakit yang kau derita itu disebut ‘gila’.”
“...............Kalian
yang gila.”
“Tidak, kalau
kami memang gila seperti yang kau katakan, itu berarti kau satu tingkat lebih
gila di atas kami.”
“Aku setuju
dengan F.”
“Huh! Aku
pikir kau ada dipihakku! -XXX-! Tak kusangka kau akan menghianatiku secepat
ini, padahal hubungan kita baru saja berkembang ke arah yang lebih jauh!”
“Hubungan apa
yang kau maksudkan itu!?”
Meski aku
bertanya, tapi yang jelas, aku tak ingin tahu konsep hubungan seperti apa yang
ia bangun di kepalanya itu denganku.
Untuk sesaat,
R tak mengatakan apapun. Walau jarang sekali kelihatan, tapi ia pasti cukup
kesal dengan penyerangan sepihak tadi. Karena itu, selama beberapa menit, tak
ada satu pun diantara kita bertiga yang saling berbicara.
Aku juga,
hanya mengamati toko-toko atau orang-orang yang melintas. Bukan sesuatu yang
berarti.
Sampai
akhirnya--
“Hmm...Bicara
tentang seseorang yang selalu mengejar seseorang tak menyukai mereka--Bagaimana
dengan Itsuki?”
“!!?”
“Itsuki?
Itsuki Kanako yang satu kelas dengan kita itu?”
Setelah cukup
lama tak mengeluarkan suaranya, R akhirnya mengatakan sesuatu, yang membuat F
tertegun.
Sementara
aku--
“..................”
--Justru
sekarang yang tak mampu mengatakan apapun adalah aku, seolah suaraku telah
diambil oleh penyihir bawah laut seperti dalam kisah putri duyung yang sangat
populer itu.
“Eeeeh!? Kau
tidak akan mengatakan sesuatu seperti Itsuki dan Mochida pacaran’kan?!”
Teriak F
histeris.
“Itsuki
itu--Bukannya dia teman masa kecil Mochida? Dan kelihatan sekali, Itsuki sangat
menyukai pemuda itu. Tiap saat ia selalu memperhatikannya, seakan-akan
mengawasinya. Seperti seekor binatang yang sedang mengawasi telur-telurnya, tak
membiarkan satu mangsa pun datang mendekat. Sungguh nampak jelas, gadis itu
sangat terobsesi dengannya dan tak akan membiarkan siapapun melangkah dan
merebutnya dari genggamannya.”
R berkata sambil menengok ke arah langit.
“Kalau
dipikir-pikir lagi--Aku juga selalu melihat tatapan seperti itu tiap kali
berpapasan dengannya, juga ketika aku sengaja menyapa Mochida di depan kelas.
Bukan apa-apa, ya, tapi aku tidak terlalu menyukainya. Kalian tahu’kan?
Bagaimana sikap Itsuki dan teman-temannya itu di sekolah? Sudah ada berapa banyak
murid yang terluka dan meneteskan air mata gara-gara ulahnya? Bahkan kita
bertiga pernah malu gara-gara dia!”
Teringat
kembali akan masa lalu yang cukup pahit untuk diingat, F berkata dengan nada
sedikit marah. Sepertinya ia sangat kesal.
“Dia memang gadis
yang sangat berbahaya. Dan juga termasuk dalam daftar ‘Gadis-gadis SMA murahan’
itu. Aku tak bermaksud mencampuri urusannya atau apapun itu. Tapi, kalian sudah
tahu’kan, gosip tentang Mochida dan Miyashita? Aku bukan anak laki-laki, jadi
aku tidak tahu apa perasaan Mochida sesungguhnya. Tapi terlihat jelas, tiap
kali ia bicara dengan Miyashita, aku selalu melihat sinar itu di matanya. Tidak
salah lagi, ia pasti benar-benar suka padanya. Sedangkan ketika Mochida bersama
Itsuki, aku tak merasakan ada perasaan apapun di pandangan matanya. Sudah
pasti, ia hanya menganggapnya sebagai ‘teman biasa’. Dan tiap kalinya juga, aku
melihat Itsuki mengamati mereka berdua, seperti hewan buas yang hendak menyerbu
dan membunuh mangsanya! Dia pasti benar-benar cemburu!!“
“.........Tapi,
bukannya Miyashita nampak tak peduli dengan Mochida? Kalau begitu, bukannya
Mochida juga melakukan pengejaran cinta yang sia-sia?”
“Entah. Kurasa
Miyashita hanya takut karena Itsuki terus-terusan mengawasinya semenjak gosip
kedekatan mereka semakin meluas. Aku juga merasakan, kalau Miyashita juga punya
perasaan sama Mochida. Jujur, aku mendukung mereka berdua, dan seandainya ini
adalah sebuah pemilihan, aku akan memilih untuk mereka tiap minggunya. Aku
ingin sekali melihat wajah Itsuki saat ia geram karena dikalahkan!! Gadis
itu--Dia benar-benar berpikir kalau dia bisa memiliki Mochida sampai
seterusnya?”
“Ha ha ha!
Sekarang ketika kau telah mengatakannya, kurasa aku juga akan lebih memilih
Mochida bersama dengan Miyashita daripada harus berakhir dengan gadis murahan
macam Itsuki! Meski aku masih berpikiran kalau Mochida lebih baik untukku
saja~~¯.”
“Memang benar,
ketika kita ingin melakukan sesuatu dan berjuang keras untuk mendapatkannya,
jangan biarkan sampai sesuatu itu terlepas dari genggaman tangan kita. Kita
harus terus memegangnya dengan erat dan menjaganya sampai kapanpun. Tapi, ada
juga saatnya ketika kita ingin mendapatkan sesuatu, kita harus rela melepaskan
sesuatu yang telah kita genggam demi mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
Kurasa, Itsuki harus melihat ke mata Mochida, bahwa yang ada di pantulan
matanya bukan dirinya, bahwa yang Mochida lihat bukanlah dia tapi gadis lain.
Maka dengan itu, Itsuki juga tidak akan membuang waktunya untuk terus
memperhatikan Mochida seperti pembunuh dari balik bayang-bayang, dengan
melepaskan dan merelakan, maka ia akan mendapatkan kisah cinta baru yang manis.
Aku yakin, pasti di luar sana ada seseorang yang ditakdirkan untuk kita. Kita
hanya perlu membuka mata kita lebih lebar lagi dan melihat semua yang ada di
sekeliling kita dengan lebih jelas. Walau ia nampak jahat sekali, tapi tiap
orang berhak dicintai dan mencintai. Iya’kan... -XXX-?”
“.........................”
“-XXX-?
“..............”
“...............Kau--“
“-XXX...?”
“--Tidak akan pernah mengerti...”
“Hoiii!!”
“Uwaaa!!
“Hwaaa--Akh!!
Jangan tiba-tiba berteriak seperti itu! Aku jadi terkejut’kan!!”
F berteriak
kesal ke arahku ketika aku tiba-tiba berteriak tanpa alasan saat R menyentuh
pundakku. aku tak tahu mengapa aku berteriak, aku tak tahu apa yang aku
lewatkan dari pembicaraan kita, aku juga tidak tahu kenapa keringat dingin
membasahi wajahku, dan--
Aku tidak tahu
kenapa air mata tiba-tiba mengalir turun dari kedua mataku--
“............Kau...Apa
kau menangis...?”
“Huh...?”
Aku menoleh
pelan ke arah R dan menatapnya dengan ekspresi--Aku tak tahu wajah seperti apa
yang aku buat. Tapi kelihatannya cukup menyedihkan. Aku bisa merasakan
kekhawatiran yang amat sangat dari sorot matanya.
F juga
terlihat khawatir saat ia melihat ke arahku.
“Apa yang
terjadi denganmu?”
“............Tidak...Sepertinya
mataku kemasukan debu...”
Berkata
seperti itu, dengan cepat, aku segera mengusap air mata ini yang keluar begitu
saja.
“.................Yakin
kau tidak apa-apa...?”
R berkata
sekali padaku untuk memastikan apa benar kondisiku baik-baik saja.
Aku tak ingin
membuat mereka khawatir, jadi aku hanya memberikan sekilas senyum di wajahku.
“Mhmm, aku tak
pernah merasa sebaik ini...Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan kita ke
sekolah? Sebentar lagi masuk.”
Aku berkata,
berusaha untuk menenangkan mereka. Tapi kelihatannya mereka bisa menangkap
senyumanku yang kupaksakan.
“Jangan tatap
aku dengan wajah menyedihkan seperti itu. Aku baik-baik saja. Ayo, R, F.”
Ketika melihat
bahwa mereka terlihat seperti akan melontarkan pertanyaan lain ke arahku, aku
tak mau menjawabnya, jadi aku kembali menekankan kalau tak ada yang terjadi,
dan semuanya baik-baik saja dan segera melangkahkan kaki.
Aku tidak tahu
apa yang terjadi, tapi sepertinya R dan F mengikutiku di belakang. Langkah kaki
mereka terdengar cukup dekat di belakangku.
Aku memutuskan
untuk tidak berbalik dan melihat ke arah mereka. Aku tak ingin melihat tatapan
menyedihkan itu lagi. Apalagi lagi, ketika yang mereka tatap dengan wajah itu,
adalah diriku.
Tak ingin
menyusahkan siapapun dan membuat siapapun merasa sedih, adalah sesuatu yang
selalu ingin kulakukan. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku membuat
seseorang membenciku, aku tak tahu kapan terakhir kali membuat seseorang
menangis.
Aku bukannya
tidak tahu kapan. Aku hanya berusaha untuk melupakannya.
Aku bukannya
tak mau menjawab pertanyaan mereka, aku hanya terlalu malas untuk mengingat
masa lalu.
Kata-kata itu,
suara yang terdengar sangat lemah dan penuh dengan penderitaan, menyalahkan
seluruh dunia atas apa yang terjadi.
Sosok itu,
yang terlihat sangat menyedihkan dan terlalu menyakitkan untuk dilihat--
--Sampai saat
ini, aku tak bisa melupakannya, melupakan figur dirinya saat itu. Rambutnya
yang panjang berkibar akibat tiupan angin. Melupakan kebenciannya akan dunia
yang begitu besar di sorot matanya yang tak memancarkan setitik pun cahaya
indah di dalamnya.
Lalu, senyuman
itu, dan juga kata-kata terakhirnya...
Bahkan di saat
aku sedang berjalan dan menghabiskan hari bersama-sama dengan orang-orang ini,
aku masih selalu bertanya-tanya pada diriku, apa yang telah aku perbuat? Di
mana aku melakukan kesalahan? Kenapa hal itu bisa terjadi? Kenapa masa lalu
bisa begitu gelap menghantuiku di belakang tiap langkahku menuju? Apa yang
terjadi? Tak bisakah aku mengubahnya? Masa lalu? Jika aku ingin melakukannya
bukan untukku, maukah Tuhan mengabulkannya? Akankah ia mendengar permohonanku?
Akankah ia mengijinkanku untuk memperbaiki semuanya? Bisakah aku melakukan
semua itu?
Kalau waktu
itu aku berhasil menjangkaumu dan tak membiarkanmu tenggelam lebih jauh lagi ke
dasar jurang yang kelam itu--Apakah kau masih akan berada di sini? Di sisiku
seperti saat-saat yang biasanya?
..............
Saat-saat yang
biasanya...?
“.......................”
Ketika pikiran
ini muncul di kepalaku, barulah aku menyadari sesuatu.
Langit berwarna biru, disertai dengan
awan berwarna putih. Sungguh pemandangan biasa yang terjadi seperti hari-hari
sebelumnya. Aku tak terlalu terkejut dengan apa yang akan terjadi hari ini. Aku
tak terlalu berharap akan banyak hal yang terjadi.
Bahwa aku telah salah akan satu hal...
Sekali lagi, selain langit dan juga
teman-teman yang berangkat sekolah bersama, serta pembicaraan yang cukup
normal, membuat hari ini berlangsung layaknya hari biasa lainnya.
‘Hari-hari
biasa’ yang selama ini telah kulewati--
Saat itulah aku menyadari, kalau hari
ini memang akan menjadi hari yang biasanya selalu terjadi.
--Sudah jauh
menghilang.
“A--A--Apa itu!!!?”
“Apa
yang--!!!?”
“Mati--Terbunuh--Ah--“
“Kejam--Ini
sungguh kejam!!!”
“...................Ah!”
“I--Itu...Itu
tidak mungkin...Kan...?”
“.............Sasagawa
dan...Karisawa...?”
“....................”
Ketika kami
bertiga sampai di depan gerbang sekolah, kami langsung dikejutkan oleh sesuatu
yang tidak bisa diterima oleh akal manusia--
-- Ada 2 mayat
tergantung dengan perut mereka yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan
keluar.
Tubuh mereka
hampir hangus, seolah habis dibakar dengan api.
“........Apa
ini...Pembunuhan...? Di sekolah kita...? Tidak mungkin...Kan...?”
F yang
berbicara.
Meski aku tak
melihat wajah apa yang ia buat, tapi aku sudah tahu, kalau wajahnya sama dengan
yang orang-orang lain itu buat. Begitu juga dengan R yang cukup jarang
memperlihatkan ekspresi jelas di wajahnya.
Jijik, takut, kengerian,
mimpi buruk--Aku yakin semua hal itu menjadi satu di wajah mereka.
Tentu saja,
melihat semua ini--Tak ada satu pun diantara mereka yang berpikir bahwa ini
hanyalah sebuah lelucon yang kejam.
Dan kalian
ingin tahu? Apa bagian terkejam dari lelucon ini? Akan kuberitahu, bagian
paling mengerikannya adalah--Karena semua ini adalah kenyataan yang memang
benar terjadi tepat di hadapan mata mereka sendiri.
“....................”
Aku juga sama.
‘Membuat eskpresi terkejut dan kaget’ di
wajahku ini yang sama dengan yang lainnya. Sekalipun aku hanya berpura-pura
merasa ketakutan, jauh di dalam hatiku, aku tak bisa berhenti tertawa dengan
keras.
Kau benar.
Mungkin aku memang tak terlalu terkejut dengan yang terjadi. Itu membuatku
merasa sudah tahu akan semua ini pada akhirnya tanpa harus melihat kejadiannya
terlebih dahulu. Seperti seorang peramal dengan kekuatan supranaturalnya.
Sama seperti
sebelumnya, aku masih bisa merasakan kalau ini akan menjadi hari yang baik
untukku.
--Hanya saja
untuk yang lain, mungkin akan menjadi awal munculnya mimpi buruk yang
beterbangan di sekeliling mereka. Berpikir, bahwa semuanya pasti telah
berakhir.
Aku tak terlalu terkejut dengan apa
yang akan menanti di depan. Aku juga tak berharap akan ada banyak hal menarik
yang terjadi.
Hidup ini hanyalah seperti sebuah
kotak kejutan kecil. Kau harus berani membukanya untuk mengetahui yang
tersembunyi di dalamnya. Menurutku, hanya orang-orang yang beranilah yang mampu
membuka kotak itu dan melihat suatu bagian tersembunyi dari dunia ini.
Orang-orang yang terlalu takut untuk melihat
bagian lain dari dunia, bagian lain dari dunia yang biasa mereka lihat, dan
lalui bersama dengan orang-orang di dalamnya, orang yang sudah terbiasa melihat
dunia ini sebagaimana yang nampak di mata mereka, lebih baik mengambil langkah
mundur dari kotak itu.
Aku? Kalau aku boleh bilang, aku tak
termasuk di kedua tipe tersebut. Aku tak takut untuk membuka kotak tersebut
tapi aku juga tak ingin membukanya. Kenapa? Karena--
--Bukankah
akan lebih menarik untuk membiarkan orang lain melihat kejutan yang telah kau
siapkan di dalam kotak tersebut...?
“Apa yang
terjadi di sini--!!? Kenapa Sasagawa dan Karisawa--“
“Ukh--A--Aku
tidak tahan melihatnya!!”
“Hasegawa-san!!”
“Siapa yang
tega melakukan hal seperti ini!?”
“Mengerikan
sekali!!”
“Hey, apa
tidak masalah kalau kita biarkan terus seperti ini?”
“Polisi yang
akan mengurusnya!”
“Polisi yang akan mengurusnya--!!? Jangan
bercanda!”
“Riya--!?”
“T--Tolong
turunkan!! Siapapun, tolong turunkan mereka berdua!!”
“Jangan hanya
melihat saja! T--Tolong lakukan sesuatu!! Ambil tangga atau apapun--! TURUNKAN
MEREKA BERDUA!!”
--Dan di
tengah teriakan ketakutan dari kerumunan orang-orang di sekitarku, sebuah
senyuman mengembang di wajahku,
Tanpa
diketahui oleh yang lainnya.
Baiklah,
waktunya melangkah ke panggung selanjutnya...
Hari-hari yang biasa itu--Benar-benar telah
berakhir.
***-***
A/N : Halo, minna XDD
Akhirnya awal untuk How To Make A Friend Vol.2 keluar jugaa
XDD//bangga. Ini pertama kalinya sejak Memories in The Winter, aku menulis kata
‘END’ di HTMF Vol.1, dan sekarang Vol.2 udah selesai!
Hatsui : Ceritanya gimana nih?
Seru ngga?
............Ngga seru sih. Malahan aneh...//Dan meski aku maunya bikin
nih cerita lebih serius karena udah ada pembunuhannya, tapi ternyata unsur
komedi [ngga lucunya] tetep keluar aja...//malah tambah gaje’kan?!
Hatsui :Terus nama chara-nya kali
ini--XXX?! Terus apaan itu R sama F!? Itu nama?!
Anggap saja itu semacam sensor. Alias nama aslinya tidak diperlihatkan
di sini.
Hatsui : Kenapa melakukan hal
merepotkan begitu! Tulis aja nama orangnya, selesai’kan?! Memang jualan bakso
boraks, ya!? Lalu, sebenarnya mereka itu siapa? Apa akan muncul di ceritanya?
Nanti ketahuan dong...Kan emang rencana ketahuannya nanti-nanti. Mereka
itu sebenarnya...Ya begitu//plaaak. Mereka akan muncul. Tenang saja.
Hatsui : bagus deh, soalnya aku
dah nggak sabar tahu siapa si pembunuh itu!! Tega banget dia membunuh Sasagawa,
Karisawa dan ibunya Riya, padahal mereka baru berpelukan/hiks hiks...
Tapi, kalau diperhatikan di jalan ceritanya, sudah pasti pembunuhnya
-XXX-‘kan? Tapi, dia di bagian awal, kayaknya anak baik-baik yang ngga mungkin
melakukan pembunuhan. Cuma tiba-tiba langsung kelihatan evilnya di bagian
akhir...Apa ngga yambung, ya?
Hatsui : Jreng jreng jreng,
tiba-tiba keliatan niat jahatnya!! Oh ya, terus, aku paling suka bagian si R
nulis tentang stalker! Ampun, panjang bangeet!! Bener kata si F, R membuang 2
minggunya untuk sesuatu yang tidak berguna lol XDD Sama bagian rumah sakit jiwa
itu!
Ha ha ha :P Aku paling suka reaksinya si F waktu itu XDD
Baiklah, siapa -XXX- dan alasan kenapa dia melakukan pembunuhan itu,
akan dijelaskan di cerita-cerita berikutnya!
Terima kasih buat yang sudah mau membaca cerita ini :)
Next Chapter :
Aku Memang Benar-Benar Yang Terburuk
Visit : DA
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar