Sabtu, 11 Juli 2015

Story: How To Make A Friend Vol.2 Prologue

Story :How To Make A Friend Vol.2 Prologue

*Read : Chapter 9                                         HTMF Vol.1
   
             Chapter 10

             Chapter 11

             Chapter 12

            Chapter 13

            Chapter 14

             Epilogue





Prologue ‘Hari-Hari Biasa’ Yang Selama Ini Telah Kulewati
Hari itu terlihat sangat cerah.
Langit berwarna biru, disertai dengan awan berwarna putih. Sungguh pemandangan biasa yang terjadi seperti hari-hari sebelumnya. Aku tak terlalu terkejut dengan apa yang akan terjadi hari ini. Aku tak terlalu berharap akan banyak hal yang terjadi.
Bersamaan dengan aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah, bebarapa teman yang tinggal di dekat rumah datang, melambaikan tangan ke arahku.
“Hey-XXX-!”
Salah satu dari kedua gadis itu, F, berlari ke arahku, sementara yang satunya, R, berjalan di belakang sambil mengunyah roti untuk sarapannya.
Hal yang biasa kembali terjadi, dan aku merespon sebagaimana biasanya aku memberikan sebuah jawaban.
“Halo. Hari yang cerah.”
Ujarku pada mereka berdua sambil memberikan sebuah senyuman.
Menurutku, itu adalah kata-kata yang cukup membosankan. Aku tidak tahu, kenapa aku harus membicarakan dan mengomentari masalah cuaca di tiap pagi aku bertemu dengan teman-temanku. Seperti robot yang selalu di-setting dengan pemikiran yang sama tiap harinya, mungkin seperti itu aku menganggap diriku.
“Yap, seperti yang kau katakan! Hari ini cuacanya bagus, dan aku bisa merasakan sesuatu yang hebat akan terjadi!”
F berkata dengan semangat, seperti yang biasa ia lakukan, dengan mengacungkan ibu jarinya.
“......Mmr...”
R, hanya mengangguk sambil terus berusaha mengunyah roti di mulutnya.
Aku sedikitnya paham kenapa ia tak mengatakan apapun.
“Oke,”
Yang bicara adalah F, sambil menggulung-gulung rambut hitamnya yang panjang dengan jarinya.
Mau di hari seperti apapun, suaranya selalu terdengar riang.
“Jadi, kita ke sekolah sama-sama seperti biasa?”
Ia berkata, dan tak satu pun diantara kami yang tidak menyetujuinya.
HOW TO MAKE A FRIEND
“-XXX-, kamu sudah mengerjakan PR matematika belum?”
“Yah, aku sudah mengerjakannya."
“Hu hu hu, seperti biasa, -XXX- memang rajin. Dia tidak malas sepertimu, F.”
“Aku tidak malas, kok! Ah, dan tunggu dulu! Memangnya aku bilang kalau aku belum mengerjakannya? Aku’kan hanya bertanya!”
“Memang sudah kau kerjakan?”
“Unn...Belum sih, tapi--“
F berkata sambil melirik ke atas yang langsung ditanggapi R dengan ‘Huuu!! Kau memang belum mengerjakannya’kan?’.
“Tidak masalah, aku juga baru saja mengerjakan sepuluh nomor pertama. Habis nomor yang lainnya sulit sekali.”
Kataku, yang jujur, sedikit membuatku terkejut.
Aku sama sekali tidak ada niat untuk mengatakan hal itu. Sesuatu yang terdengar seperti aku sedang melindungi F atau sesuatu seperti itu, seolah aku mengatakannya tanpa berpikir dan kata-kata itu keluar secara otomatis.
Kurasa, itulah yang akan tiap orang katakan ketika berbincang bersama dengan teman. Sebisa mungkin, mereka berusaha membuatnya merasa senyaman mungkin berada di dekat kita, membuatnya merasa tak sedang dihakimi.
Sekali lagi, selain langit dan juga teman-teman yang berangkat sekolah bersama, serta pembicaraan yang cukup normal, membuat hari ini berlangsung layaknya hari biasa lainnya.
“Hee, kalau -XXX- saja belum menyelesaikan setengah dari soal itu, berarti memang sangat susah...”
Ujar F yang menolehkan pandangannya ke arahku.
Aku hanya tersenyum kecil mendengarnya.
“Orang yang belum menyentuh buku sedikit pun, tidak berhak berkomentar susah atau tidaknya PR itu.”
Kali ini, R yang cukup pendiam dan terdengar kalem, berbicara. Rambut pirang pendeknya berkibar terkena angin saat sedang berjalan melewati kerumunan orang.
“R--Apa kau sedang mengibarkan bendera perangmu terhadapku?”
F berkata yang diiringi dengan timbulnya pembuluh darah di dahinya.
“Bukan seperti itu. Aku terlalu muda untuk mati dalam peperangan. Ah, coba lihat itu! Bukannya itu Mochida?”
Ucap R, menunjuk ke arah sebuah cafe, yang memang cukup banyak dikunjungi oleh murid SMA kebanyakan, di ujung jalan. Sontak, kami pun langsung berhenti dan melihat ke arah yang ia tunjukkan.
Benar saja, Mochida memang ada di sana. Sepertinya ia sedang sarapan pagi atau hanya sekedar membeli kopi untuk diminum.
“Mochida!? Mochida Toru yang satu sekolah sama kita? Wah, mana, mana? Pagi-pagi begini bisa bertemu dengan cowok keren, auh, mimpi apa aku semalam!!”
“Hentikan, F, kau terdengar seperti gadis-gadis SMA murahan.”
Melihat reaksi F yang berlebihan dan melihat ke sana kemari seolah sedang berusaha menemukan sesuatu, R mengatakan sesuatu yang sepertinya langsung menusuk ke akar hati F.
Tentu saja, F langsung memasang wajah kesal sambil menggembungkan kedua pipinya, mirip seperti anak kecil yang sedang ngambek.
“Gadis-gadis SMA murahan apanya?! Semua gadis di sekolah pasti akan bereaksi sama kalau melihat Mochida! Dia’kan bintang sekolah! Dan mungkin sekarang tiap pagi kita harus mampir ke cafe itu! Hey, -XXX-, bagaimana?”
F bertanya ke arahku, membuatku terbangun dari lamunanku ketika aku masih memperhatikan Mochida.
Kami kembali berjalan.
“Bagaimana--Bagaimana apanya maksudmu? Kalau maksudmu dengan bagaimana itu adalah ‘Setiap pagi kita harus pergi ke cafe itu hanya untuk menemui Mohcida’, aku tidak bisa karena aku sedang menabung.”
Aku balik bertanya ke arah F karena aku tidak mengerti apa yang dia maksud dengan ‘Bagaimana’. Mendengar reaksiku yang mungkin ‘Tidak terlihat seperti yang dia inginkan’[Yah, aku minta maaf soal itu], dia menatapku sambil menyipitkan sebelah matanya,
“Bagaimana itu ya sudah pasti, bagaimana menurutmu tentang Mochida? Dia tampan’kan?”
“Mnn...Dia manis...Tapi, bukannya dia sudah punya kekasih...?”
Aku berkata dengan telunjuk di dekat bibirku dan nada yang terdengar tidak yakin, yang langsung membuat F memasang wajah terkejutnya.
“Heee??! Benarkah!? Siapa? Siapa??”
Dengan mata yang terlihat bersinar, F melihat ke arahku dengan perasaan penuh keingintahuan yang besar.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah orang-orang disekelilingku. Ada beberapa siswa dan siswi yang sepertinya berasal dari SMA yang sama denganku. Aku setidaknya mengenal satu atau dua diantara mereka, terutama yang berada di satu kelas denganku.
Dan meski aku tak mendengar percakapan mereka, atau apa , tapi aku sedikitnya merasa yakin kalau mereka sedang membicarakan sesuatu yang tidak berbeda jauh dari kita.
Masalah cinta atau pelajaran--Kira-kira sesuatu seperti itu.
“Hmm...Tapi tidak biasanya kau tahu dengan hal-hal seperti ini -XXX-?”
Ujar R tiba-tiba yang membuatku kembali menoleh ke arah mereka lagi.
Aku menggaruk rambutku yang sudah agak panjang.
“Karena anak di kelas banyak sekali yang membicarakannya. Tidak aneh’kan kalau aku juga tahu satu atau 2 hal? Ah, dan bukannya dia itu adalah gadis berambut pirang yang satu kelas dengan kita? Miyashita...Mmhm, akhir-akhir banyak yang menggosipkan kalau mereka pacaran.”
Jelasku, mengatakan semua hal yang aku tahu.
Seolah anak kecil yang tidak puas, F kembali melemparkan tatapan penasarannya ke arahku.
“Kalau soal itu, aku juga tahu. Yang aku ingin tahu apakah mereka benar-benar pacaran atau sesuatu seperti itu? Tapi--Dengan Miyashita? Maksudku--Dengan Miyashita yang itu?”
Ia berkata seakan-akan Miyashita benar-benar tidak pantas menjadi kekasih Mochida.
 Ya, tentu saja ia akan mengatakannya. Maksudku, semua orang pasti akan mengatakannya. Sesuatu seperti ‘Orang itu tidak pantas menjadi kekasihnya’, atau sesuatu seperti itu, yang membuatnya merasa superior.
Kemudian yang akan keluar selanjutnya dari mulutnya adalah ‘Menurutku, dia lebih pantas berpasangan denganku’. Aku mulai merasa kalau sudah ada terlalu banyak drama yang memenuhi dunia ini dan mengubah cara pandang setiap orang. Hmm...
Melirik ke arah F, R yang jarang sekali terlihat memikirkan hal seperti itu, langsung mengerutkan dahi,
“Mn, dengan Miyashita yang itu? Memangnya kenapa kalau Mochida benar-benar suka sama Miyashita? Bukankah terserah dia mau suka dengan gadis manapun?”
“Muu, itu benar sih...Tapi, tapi, tapi--!! Tetap saja sulit dipercaya kalau Mochida dengan Miyashita yang itu! Maksudku--Ia bahkan tak berbicara satu kata denganku saat aku menjadi teman duduk di bis saat study wisata! Aku terus berpikir ‘Orang seperti apa dia ini sih’? Karena aku bisa melihat di pantulan matanya itu, yang seolah melihat kita seperti sesuatu yang tidak ada harganya!!”
“Jangan berkata buruk tentang orang lain. Ada banyak sekali orang yang tidak memiliki tingkat kepekaan atau kepedulian terhadap orang lain yang cukup tinggi. Atau mungkin itu karena kau yang tidak mengajaknya bicara duluan?”
Kataku, mengomentari perkataan F.
F selalu sangat cepat dalam mengambil kesimpulan. Aku bisa melihat dari 100 kesimpulan yang selalu ia ambil tiap saatnya, hanya 3 atau 4 yang benar.
Memang ada berbagai macam tipe manusia di dunia ini. Tipe yang sangat mudah dimengerti dan tipe yang sangat sulit untuk dimengerti, tipe yang sangat mudah didekati dan tipe yang butuh pendekatan ekstra, tipe yang selalu ingin membangun hubungan baik dengan orang lain dan tipe yang selalu mempermainkan hubungan baik dengan orang lain.
Kita selalu hidup ditengah-tengah orang seperti itu.
“Mnn...Habisnya dia terlihat aneh dan nampak tak bersahabat...”
F berkata, menghela nafas.
“Itu karena kau tidak mengenal seperti apa Miyashita. Buktinya, dia sangat ramah dengan Hasegawa dan Takashi?”
Ujar R, yang entah mengapa membuatku tertegun.
Mengingat semuanya lagi, sikap Miyashita memang berbeda bersama Hasegawa dan juga Takashi. Yah, tapi aku yakin itu karena mereka menunjukkan wajah bersahabat mereka saat mengajaknya bicara, bukannya menggerutu tidak jelas ‘Kenapa dia tidak mau bicara denganku’.
Dan--Berbicara soal Miyashita, bukannya Kawada Emi yang kedatangannya menggemparkan satu isi sekolah itu, adalah sahabat masa kecilnya? Yang pindahan dari New York itu? Memiliki sahabat yang luar biasa seperti itu, yang bisa diandalkan untuk hal apapun--Kurasa aku juga akan malas menghabiskan waktuku dengan orang lain.
“Hnngh...Tapi tetap saja...Akan lebih baik kalau Mochida dengan seseorang yang lebih ramah. Setidaknya, dia tidak menatap orang-orang dengan wajah ‘Apa yang kau lakukan? Jangan menghalangi jalanku’, seperti yang biasa dikatakan oleh para yankee itu lewat tatapan mata mereka. Ehem! Mnn...Yah, setidaknya sih...Mmm...Dengan gadis sepertiku...?”
Itu sudah tertebak sekali sejak awal pembicaraan ini di mulai.
 Akhirnya muncul juga kata-kata ajaib yang takkan pernah terwujud itu. Jangan harap bisa mendapatkan hati orang lain ke tanganmu hanya dengan kalimat’Kurasa dia lebih cocok untukku’!
“Wajah itu--Makanya aku bilang padamu, jangan jadi seperti gadis-gadis SMA murahan!! Cintailah seseorang yang benar-benar melihat ke arahmu dan bukan orang lain!”
“Uuh! Kau itu kenapa sih, R!? Dari tadi ‘Gadis SMA murahan!’, ‘Gadis SMA murahan!’, yang keluar dari mulutmu?!”
F terlihat sangat kesal dengan ucapan R yang menyebutnya ‘Gadis SMA murahan’ dan mulai membuat gerakan tangan seolah akan mencekik leher R sampai berbusa. Aku mengerti kenapa F bisa sampai marah. Aku juga, tidak akan merasa senang dan berkata ‘Terima kasih’, ketika seseorang menyebutku ‘Gadis SMA murahan’.
“Ah, itu benar’kan? -XXX-?”
Entah mengapa, R justru menoleh kearahku, dengan wajah yang menyuruhku untuk menjawab pertanyaan F. Sepertinya ia telah kehilangan opsi atau pilihan-pilihan yang biasanya terdapat di game galge, dan mulai menjadikanku sebagai pilihan terakhirnya.
Ukh...Jangan menatapku dengan mata memelas yang berteriak ‘Bantu aku!’,itu! Bagaimanapun, ini salahmu dan sebisa mungkin aku ingin lepas tangan dari semua ini!
“-XXX-!”
“...............”
“-XXX-!!”
“.................”
“Heeeeey, -XXX-!! Itu benar’kaaaaaaaaaaan!?”
“Iya, iya, aku paham [Aku akan menolongmu!!]!! Tapi bisa tolong jelaskan padaku apa yang kau maksud dengan ‘Ah, itu benar’kan’!? Karena aku sama sekali tak bisa menangkapnya!!”
R--Dengan ekspresi datar meneriakkan beberapa kata yang diperpanjang di depan telingaku sambil meletakkan tangannya di pundakku, yang membuatku tidak tahan lagi.
Singkirkan tanganmu dariku sekarang jugaaaaa!!
“Ugh...”
Menggigit kuku ibu jariku, aku berusaha menggali dalam-dalam ingatakanku kemarin. Kalau tidak salah, saat aku pulang malam kemarin, aku mendengar sesuatu seperti ini. Kata-kata yang dikatakan oleh para pria yang sedang mabuk di pinggir jalan kemarin, kupikir sangat sesuai dengan pertanyaan itu.
Jadi,
“Iya, itu benar. Bukannya orang-orang banyak yang mengatakan kalau anak-anak SMA jaman sekarang semuanya murahan?”
Aku berkata dengan ekspresi seperti seorang guru yang sedang memberi jawaban pada muridnya. Aku tidak tahu alasannya, tapi sepertinya jawabanku tidak membuat suasana menjadi lebih baik.
“Aku tidak tahu darimana kau mendapat berita menarik itu, -XXX-, tapi biar aku beritahu satu hal kalau kita bertiga ini adalah salah satu dari ‘Gadis-gadis SMA jaman sekarang’ itu!! Jangan berkata sesuatu yang menyudutkan kaummu secara serentak begitu!”
Teriak F kesal.
............
Dia benar. Kita juga ‘Gadis-gadis SMA jaman sekarang’ itu...
Di saat itu,
“Hmm...”
Aku mendengar R bergumam pelan, melihat ke bawah sambil menopang dagunya. Kelihatan sedang memikirkan sesuatu.
Beberapa saat kemudian, barulah ia menoleh ke arah kami berdua seusai menyaring apa yang ada di kepalanya.
“Mnn, tapi menurutku, ada benarnya juga yang dikatakan oleh -XXX-. Bukannya aku merendahkan perempuan atau apapun itu. Tapi akhir-akhir ini, aku juga mendengar banyak yang mengatakan hal seperti itu. Mengejar laki-laki yang sama sekali tidak menyukai mereka, rela melakukan apapun demi laki-laki yang tidak menyukai mereka--Aku benar-benar merasa kesal! Aku sama sekali tidak habis pikir, apa yang berusaha mereka capai dengan melakukan hal seperti itu--Ah, lampunya masih hijau...”
Setelah mengatakan itu, R berhenti di belakang barisan orang-orang yang bermaksud untuk menyebrang seperti kami. Aku dan F berdiri di sampingnya saat melihatnya berhenti.
Mataku memperhatikan beberapa kendaraan yang melintas di jalanan.
Pikiranku tiba-tiba saja melayang, bukan memikirkan perkataan R, tapi mungkin sesuatu yang terdengar tidak penting untuk dipikirkan. Namun, entah kenapa aku tak bisa berhenti memikirkannya dan terus melanjutkannya.
“...............”
Ketika mataku menangkap beberapa kendaraan yang lalu lalang, aku sudah tidak merasa asing lagi dengan itu. Memang terasa mustahil bagiku untuk bisa mengingat semua kendaraan yang melintas baik itu mobil, sepeda motor, bus,  atau sepeda biasa, atau mungkin juga para pejalan kaki di sebrang jalan. Tapi setidaknya aku tahu, kalau satu atau 2 orang melewati rute jalan yang sama tiap harinya.
Sama seperti kita bertiga. Seakan-akan tidak memiliki pilihan jalan lain, seakan-akan ending cerita sudah ditentukan dari awal, dan sejarah yang telah tertulis sudah ditetapkan dan tidak akan berubah.
Saat itulah aku menyadari, kalau hari ini memang akan menjadi hari yang biasanya selalu terjadi.
“............Hari-hari biasa yang lainnya, huh...?”
Aku berkata dengan pelan kepada diriku sendiri, melihat ke arah lampu lalu lintas yang masih hijau. Sambil terus seperti itu, pikiran yang memenuhi kepalaku berikutnya hanyalah ‘Kapan lampu hijau itu akan berubah menjadi merah?’.
Tapi tak ada yang perlu dikhawatirkan.
 Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tak terlalu peduli dengan dunia ini, maupun yang terjadi di dalamnya. ‘Aku ingin dunia yang membosankan ini menghilang’, aku takkan mengatakan sesuatu seperti itu.
Aku tak terlalu terkejut dengan apa yang akan menanti di depan. Aku juga tak berharap akan ada banyak hal menarik yang terjadi.
Hidup ini hanyalah seperti sebuah kotak kejutan kecil. Kau harus berani membukanya untuk mengetahui yang tersembunyi di dalamnya. Menurutku, hanya orang-orang yang beranilah yang mampu membuka kotak itu dan melihat suatu bagian tersembunyi dari dunia ini.
 Orang-orang yang terlalu takut untuk melihat bagian lain dari dunia, bagian lain dari dunia yang biasa mereka lihat, dan lalui bersama dengan orang-orang di dalamnya, orang yang sudah terbiasa melihat dunia ini sebagaimana yang nampak di mata mereka, lebih baik mengambil langkah mundur dari kotak itu.
Aku? Kalau aku boleh bilang, aku tak termasuk di kedua tipe tersebut. Aku tak takut untuk membuka kotak tersebut tapi aku juga tak ingin membukanya. Kenapa? Karena--
“-XXX--! Hey!!”
“!!? Ah, eh? Ada apa?”
“Bukannya ‘Ah, eh? Ada apa’! Lampunya sudah merah tuh!”
Menunjuk ke arah lampu lalu lintas yang berubah merah, F berkata ke arahku dan langsung menarik tanganku ke tengah jalan diikuti oleh R di belakang kami.
“...................”
Kapan lampu itu berubah menjadi merah? Aku sama sekali tidak menyadarinya, padahal mataku terus memperhatikannya dari tadi. Ah, kurasa aku kembali hidup di dalam pikiranku sendiri tanpa kusadari.
Kemudian, ketika aku sedikit berbalik dan melihat ke arah lampu lalu lintas yang kini telah berubah menjadi merah itu--Kenapa, ya...?
Perasaan senang ini tak mau hilang juga dari dalam diriku...?
Entah mengapa, aku sedikit merasa--Kalau hari ini akan menjadi hari yang baik...
Setidaknya untukku...

Akhirnya  setelah menghabiskan waktu tak sampai 2 menit, orang-orang itu sampai ke sebrang dengan selamat. Kami bertiga termasuk diantara ‘Orang-orang yang berhasil sampai ke sebrang dengan selamat’. Tak ada kecelakaan yang terjadi, atau orang yang tiba-tiba terkena serangan jantung mendadak dan pingsan di tempat. Bukannya aku mengharapkan sesuatu yang kejam seperti itu, aku hanya mengantisipasi yang mungkin akan terjadi.
Hanya mungkin terlalu berlebihan untuk seseorang yang hidup di kehidupan biasa mengharapkan sesuatu yang luar biasa terjadi. Karena itulah, aku tak ingin terlalu banyak berharap pada dunia ini.
Tepat pada waktu itu, F berbicara,
“Sudah pasti’kan, untuk membuktikan kalau kita benar-benar menyukai mereka!”
Aku benar-benar sama sekali tidak tahu apa yang dia katakan...
“Apa...? Kenapa kalian berdua menatapku dengan wajah ‘Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan itu’!?”
F berteriak ketika melihat ekspresi datar di wajahku dan R.
Sambil berjalan di depan kami, ia lalu melipat kedua tangannya di depan dada,
“ ‘Kenapa ya, para gadis suka mengejar laki-laki yang sama sekali tidak menyukai mereka??’. R, kau yang memulainya, jadi, jangan bilang kalau kau lupa!”
“Ah! Jadi kita masih melanjutkan pembicaraan yang tadi!?”
“Tentu saja!! Kau pikir kenapa aku mengatakan kalimat itu!? Otak kalian itu sebenarnya nyambung tidak sih?!”
Itu sudah terlewat beberapa menit yang lalu dan pembicaraan tadi terhenti begitu saja. Aku kira kami akan membicarakan topik lain. Tapi sepertinya F masih suka dengan topik satu ini.
Mnn, jujur aku juga agak sedikit penasaran. Kenapa banyak gadis yang suka sekali mengejar cinta laki-laki yang bahkan tak pernah melihat ke arahnya? Kurasa, itu tidak bisa disebut cinta melainkan obsesi.
Setidaknya itu pendapat pribadiku dan aku juga ingin dengar dari yang lain.
Sedikit melirik ke arahku, R berbicara sambil mengangkat telunjuknya.
“Untuk membuktikan kalau kita memang menyukai mereka? Kalau masalah itu, sepertinya tidak perlu dibuktikan lagi, karena dengan sikap kita selama ini terhadapnya, yang selalu mendekatinya tiap saat, memperhatikannya tiap detik, bahkan saat ia ke toilet, aku yakin dia sudah tahu kalau kita begitu tergila-gila padanya, seperti seorang stalker.”
“Meski aku menjadi seorang stalker, tidak mungkin aku mengikuti orang yang aku suka sampai ke kamar mandi!! Itu akan sangat menjijikkan!!”
F berkata sambil sedikit berteriak dan menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah berkata ‘Tidak, tidak, tidak!’.
“Kau tidak tahu? Menjadi stalker, berarti harus mengetahui detail kehidupan dari orang yang kita sukai. Termasuk aktifitasnya di kamar mandi--“
“Stoooop!!! Hentikaaaaaan!!! Aku tidak ingin mendengar kelanjutan ucapanmu, R!!”
Menutup telinga dengan kedua tangan, F sepertinya sudah sangat kewalahan menghadapi R.
Aku merasa kalau ia tak menyela ucapannya, pembicaraan yang gawat dan tidak terlalu menyenangkan akan naik ke permukaan. Aku berhutang padamu F. Kaulah penyelamat jiwaku.
“Tapi kalau sudah seperti itu, kenapa tidak menyerah saja?”
Aku berkata tiba-tiba, membuat R dan F mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Menyerah?”
ucap R dengan nada bingung.
“Aku setuju dengan R. Itu sama sekali tidak ada gunanya. Menghabiskan waktu kita yang jauh lebih berharga untuk seseorang yang bahkan tak menganggap kita berkilau seperti permata melainkan hanya seperti bongkahan batu murah yang bisa ditemukan di sepanjang jalan...Hanya akan melelahkan kalau kita terus mengejar mereka tiada henti seperti itu. Saat kita menanam benih di tanah yang kualitasnya buruk, pasti tidak akan tumbuh. Selama kita tidak menanam benih cinta kita di hati yang tepat, pasti juga tidak akan tumbuh.”
Aku berkata dengan suara pelan. Aku tidak tahu apa R atau F menyadarinya, tapi aku bisa merasakan keanehan dari nada bicaraku sendiri.
Untuk sesaat, aku terdiam dalam keheningan sampai F membalas perkataanku,
“Memang melelahkan! Tapi apa yang kita lakukan dengan sepenuh hati, pasti akan berbuah’kan? Misal’kan saja, kita ingin jadi juara melukis. Sudah pasti kita akan terus berlatih tanpa henti. Benar’kan? Sama halnya dengan ketika kita ingin mendapatkan hati laki-laki yang kita sukai. Jika kita bekerja keras tanpa henti, terus mendekatinya dan menunjukkan rasa perhatian, aku yakin lama-lama dia juga akan luluh dan mengakui cinta kita. Dia juga akan menyukai kita!”
“Kenapa kau bisa dengan mudah menyamakan lomba lukis dengan cinta? Kau tidak akan mengecat mereka’kan?”
“Tentu saja tidak, dasar R bodoh!!!!!!”
F kembali berteriak yang dibalas dengan ‘Oke, oke, maaf’kan aku’, oleh R, sementara aku hanya bisa sweat drop memperhatikannya...
Berkata sesuatu seperti ‘Ahem!’, F lalu menyambung ucapannya,
“Kalian berdua tidak tahu, ya? Cinta bisa tumbuh dari kebersamaan. Selama kita mendedikasikan hidup kita untuknya, maka ia juga tidak akan bisa menolak cinta dari kita! Justru dengan tidak menyerah dan terus mengejar itulah, bukti kalau kita benar-benar serius suka padanya, dan bukan hanya berpura-pura saja!! Kalau misal kita menyerah di tengah jalan, dia pasti akan berpikir kalau kita tidak serius!”
“Mnn, ucapanmu juga ada benarnya sih...Tidak menyerah itu bagus, untuk menunjukkan niat kita yang sebenarnya, dan seberapa kerasnya kita memperjuangkan sesuatu.”
Ujarku, menggaruk rambut bagian belakangku.
Mendengar jawabanku yang seolah mendukung pendapatnya itu, F menoleh ke arahku dan tersenyum,
“Tuh! Apa juga aku bilang? Benar’kan? Benar’kan?? Memang di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan usaha keras!”
Mengangkat kedua tangannya ke atas, F berkata dengan nada bicara yang terdengar cukup riang.
“Ah, aku sendiri juga tahu kalau usaha keras itu bagus. Tapi jika terus dekat-dekat dan nempel seperti lem begitu, apa kau yakin dia tidak akan mengatakan sesuatu seperti ‘Kau lagi, kau lagi! Aku sudah bosan melihatmu!’, dan sesuatu yang lain seperti itu, karena aku sendiri juga merasakan hal yang sama...
“Apa yang kau ucapkan di bagian akhir kalimatmu itu--?!”
F mulai berkata--Tunggu!? Apa-apaan aura kegelapan yang sangat menakutkan itu!? F sekarang terlihat seperti seorang penyihir kejam yang akan segera memantrai R dengan kutukan-kutukan yang mengerikan!! Semoga kau berhasil selamat, R!!! Aku tidak akan melupakan semua kebaikanmu padaku selama hidup ini! Sampai kapanpun, ijinkan aku untuk terus mengenangmu!
“............Aku tidak mengatakan apapun. Hanya ‘Akhir-akhir ini aku merasa berat badanku sedikit naik’. Itu saja. Kenapa kau menatapku seolah ingin mencekik leherku sampai mati begitu? Dan -XXX-, apa-apaan wajahmu yang seolah berkata ‘Terima kasih atas kebaikanmu selama ini’, yang terlihat seperti adegan-adegan mainstream dalam drama di mana ada seseorang yang telah meninggal? Untuk penjelasan saja, aku masih hidup di sini.”
Walaupun tak terdengar setitik pun rasa kesal di nada bicaranya yang terdengar cukup monoton itu, raut mukanya jelas memberikan kesan yang berbeda.
“Ukh--Kau beruntung karena kata-kata itu lewat begitu saja di telingaku! Tapi lain kali--Akan kupastikan kau dibakar di tiang sampai menjadi abu!! Lihat saja!”
“Kau pikir aku penyihir?”
Menatap ke arah F yang berjalan selangkah di depannya, R mengangkat sebelah alisnya.
Kemudian, aku memutuskan untuk mengatakan hal yang dari tadi tersimpan di pikiranku sejak mendengar ucapan R tadi,
“Yah, yah, kalau aku jadi anak laki-laki yang ditaksir oleh gadis yang begitu terobsesi denganku, aku juga akan merasa risih dan tidak enak. Diperhatikan oleh orang-orang sekitar dengan wajah ‘Kenapa anak perempuan itu terus saja mengikutinya, ya?’. Selain itu, entah kenapa tapi itu juga membuatku sedikit merasa takut.”
Tidak ada yang lebih menakutkan dibandingkan dengan seseorang yang begitu terobsesi denganmu. Aku belum memiliki pengalaman tentang itu, tapi kurasa itu akan sangat terasa aneh ketika ada seseorang yang mengikutimu kemanapun kau pergi.
Bahkan sekarang aku sudah bisa mulai merasakan perasaan aneh yang mulai merasuki tubuhku.
“Hm, hm, hm, kau pernah nonton ‘Golden Time’?”
Ujar R, mengangguk-anggukan kepalanya kemudian melanjutakan,
“Tak peduli apakah Koukou dan Mitsuo adalah teman masa kecil, Mitsuo juga pasti akan merasa tidak suka ketika Koukou berubah layaknya penguntit yang terlihat begitu terobsesi dengannya. Setiap orang butuh privasi, tiap orang butuh kebebasan. Bahkan soal cinta sekalipun, setiap orang tanpa kecuali berhak bahagia bersama orang yang ia pilih dan benar-benar sukai. Termasuk--Jika orang itu adalah seseorang yang kau sebut ‘Aneh’, seperti Miyashita.”
Aku tidak tahu, tapi R terdengar lumayan bijak ketika ia mengucapkan semua itu.
“Muu...Tapi’kan...”
F terdengar seperti akan mengatakan sesuatu. Tapi ia tak melanjutkan kalimatnya dan hanya terus bergumam pelan dengan wajah kesal. Sepertinya, walau tak ingin mengakuinya, tapi ia sendiri juga merasa kalau mengejar cinta seseorang yang tidak menyukai kita, tidak akan pernah membuat hidup menjadi bahagia .
Ia sudah kehilangan kata-kata untuk diucapkan dan memilih untuk terdiam.
Kedekatan yang terlalu sering, memang bisa menumbuhkan cinta, tapi itu jika kedua belah pihak merasa nyaman satu sama lain. Ketika cinta itu hanya dimiliki oleh satu pihak saja, kedetakan itu tidak akan menjadi semakin dekat, namun menjadi sesuatu yang menjauhkan ikatan itu.
Setidaknya, itulah hal kecil yang bisa aku tangkap dari pembicaraan ini.
“Bahkan kurasa, perhatian yang kita beri dengan sungguh-sungguh dari lubuk hati terdalam itu tak’kan mengubah apapun karena akan membuat kita nampak seperti stalker. Kau tahu stalker’kan? Stalker yang seram itu, lho. Kalau tidak tahu, biar kuberitahu--”
“Tidak usah repot-repot karena aku sendiri tahu! Menurutmu di sini, siapa yang paling suka membaca cerita tentang obsesi cinta?! Aku sudah menyelesaikan membaca Mirai Nikki dalam waktu 3 hari! Dan-- Hey, kau dengar aku!??”
“--Jadi, stalker itu adalah seorang penguntit. Artinya, seseorang yang selalu mengikuti kemanapun kita pergi dan tanpa kita sadari, dia begitu terobsesi dan mencintai kita seakan-akan kita adalah dewa yang berada di posisi paling atas. Mereka akan melakukan apapun untuk kita, bahkan menyelinap ke rumah kita pada malam hari untuk mendapatkan foto kita ketika sedang tertidur. Mengetahui jam berapa kita biasa melakukan semua kegiatan sehari-hari kita. Apa merk sabun yang kita pakai? Mereka akan menulis nama kita di tiap lembar buku diary mereka dengan tinta merah. Dan dinding kamar mereka pasti akan dipenuhi dengan foto-foto kita disertai tulisan seperti ‘Hari ini F mampir ke toko ini, besok aku juga mampir ah’, ‘Wangi F sangat enak! Aku ingin memakai sabun yang F pakai!!’, ‘Tadi F membeli soft lens warna biru! Aku juga mau beli ah, biar bisa kembaran!’, ‘Pakaian dalam F merk *****!! Aku juga akan memakai merk itu dan akan kupamerkan pada F besok!!’.Salah satu karakteristik yang paling mencolok adalah obsesinya pada kita dan juga sikap posesifnya. Biasanya di anime atau manga, karakter stalker sangat identik dengan chara yandere. Dimana mereka terlihat sangat normal pada awalnya dan benar-benar manis, tapi begitu mereka jatuh cinta pada seseorang, akan terlihat sikap buruk yang tersembunyi, yang membuat mereka nampak seperti pasien rumah sakit jiwa. Bahkan mereka tega membunuh, baik orang lain atau kita jika kita selingkuh atau jatuh cinta pada gadis lain. Kata-kata mereka yang paling populer adalah ‘Jika aku tak bisa memilikimu, maka orang lain juga tidak akan bisa’. Ya, itu dia penjelasan singkat dariku tentang stalker.”
Singkat!? Aku bahkan tidak tahu harus melihat dari sisi mana untuk bisa melihat penjelasan R sebagai sesuatu yang singkat--!
“Jadi, kau sama sekali tidak mendengarkanku, ya!!!?Aku bilang aku sudah tahu!!!”
“Tapi aku sudah menyiapkan catatan kecil tentang ini...Kan sayang kalau aku tidak mengatakannya...”
R berkata dengan ekspresi sedih sambil membolak-balik catatannya notesnya.
“Catatan kecil!!!? Kau bilang kau mencatat semua penjelasan super panjang yang kau bilang singkat itu--Dengan sebuah notes kecil!!? Apa-apaan penjelasan yang seperti ensiklopedia itu!? Aku bahkan tak’kan mampu membacanya dalam satu malam!”
“Aku sudah 2 minggu melakukan penelitian tentang hal ini.”
KAU membuang waktu 2 MINGGUMU untuk melakukan hal yang SAMA SEKALI TIDAK ADA GUNANYA!!
“Berguna. Sekarang aku merasa satu senti lebih dekat dengan para stalker itu.”
“Kenapa dengan nada yang terdengar simpati itu!? Satu pertanyaan yang paling penting di sini adalah--Aku tahu apa yang kau jelaskan tentang stalker di atas itu sangat jelas dan aku tahu kalau memang itu kebenarannya! Masalahnya ada pada--‘Pakaian dalam F merk *****!! Aku juga akan memakai merk itu dan akan kupamerkan pada F besok!!’, bukannya stalker seharusnya berasal dari gender yang berbeda dengan kita!? Kenapa pria mau mengenakan celana dalam wanita hanya karena ia menyukaiku!!?”
“F, pikiranmu sempit sekali. Sudah beruntung aku menuliskan di catatanku ini kalau kau memiliki stalker...Mendapat penghargaan sebesar ini...Haruskah kau protes tentang masalah sekecil itu...?”
“Apa kau mau bilang kalau aku tidak memiliki penggemar rahasia yang rela melakukan semuanya untukku di dunia nyata!? Tidak! Itu tidak benar!! Aku punya! Dan, dan--Meski aku tidak punya--Aku juga tidak akan sedih!! Aku tidak sedih atau apapun ituuuu!!!”
.................Kau tidak punya, dan kau sedih. Aku tahu itu.
 “Kau seperti anak-anak yang meributkan susu vanilla dan coklat...”
Ujar R dengan suara yang terdengar kalem dan dewasa. Dan yang pasti, terdengar kepercayaan diri bahwa ia yakin kita akan bisa menangkap maksud perkataannya barusan.
“Aku sama sekali tidak menangkap maksudmu...”
Kali ini, aku yang berkata dengan ekspresi tidak mengerti. Susu vanilla... Dan susu coklat...? Apa hubungan keduanya dengan seorang stalker...?
“Meski berbeda warna, tapi keduanya tetap saja susu. Tak peduli mau pria atau wanita, yang penting stalker.”
“ ‘Rasanya’ berbeda.”
Ujarku mengomentari ucapan R dengan keringat menetes di dahiku.
R sebenarnya cukup pintar dan bukan tipe orang yang suka berbuat macam-macam. Tapi sekarang aku tahu, kalau dia ternyata hobi mengumpulkan informasi untuk sesuatu yang aku tidak tahu penting atau tidak.
 Tolong, jika kalian menemukannya tersesat di suatu tempat, kembalikan R yang aku kenal. Kumohon, tolonglah dia karena sekarang dia sudah tak memiliki harapan apapun lagi. Kasihanilah dia. Aku ingin sahabatku R kembali seperti dulu sebelum dia rusak seperti saat iniiiiiiiiii!!!!!!!
“Tidak, tidak, tidak!! Itu tidak baik! Memiliki stalker wanita sama sekali tidak membuatku bahagia!! Sama sekali tidak akan membuatku merasa bahagiaaaaaa!!!!!!!!!!”
.............Wajahmu merona. Kau sebenarnya sangat senang’kan...?
“Tapi--Itu tadi panjang sekali R. Berapa banyak notes yang kau habiskan untuk mencatat semua itu...?”
Ujarku dengan wajah terheran-heran, meski aku sendiri sebenarnya menyadari, untuk apa aku menanyakan masalah ini...
“Oh, sebenarnya aku sudah mencatat sampai 30 notes lebih. Mau kubacakan hasil penelitianku tentang stalker yang lainnya??”
Tidak, tidak usah!! Tapi terima kasih atas tawarannya!!”
Sambil berusaha tersenyum, aku menekan kata ‘Tidak’.
Oh sungguh...
Kalian tidak tahu seberapa menyesalnya aku mengatakan kata-kata barusan...
“Kau itu sebenarnya apa sih? Stalker pro?”
“Aku lebih senang kalau kau menyebutku ‘Pengumpul informasi profesional’.”
“Aku tidak ada masalah dengan sebutan itu. Tapi masalahnya, kurasa itu julukan yang terlalu berat untukmu karena informasi yang kau kumpulkan sama sekali tidak bermanfaat.”
F mengomentari ucapan R dengan lugas dan spontan. Benar-benar orang yang frontal.
Meski begitu, R tak kelihatan kesal dan kembali melanjutkan perkataannya,
“Bermanfaat, kok. Aku sudah mengumpulkan info mengenai ‘Jumlah kelopak bunga sakura yang berguguran di tanah tiap musim semi’, ‘Jumlah kelopak bunga sakura yang tersisa di pohon saat musim semi hampir berakhir’, ‘Berapa kali suara jangkrik terdengar di musim panas’, ‘Berapa kali awan membentuk permen kapas di sepanjang tahun’, Berapa penghasilan stan penjual manisan apel di tiap festivalnya’, ‘Jumlah butiran salju yang turun tiap musim dingin’, Jumlah daun pada pohon Natal yang baik untuk menggantung hiasan Natal’, dan lain seperti itu.”
“Apa fungsi semua itu untuk masyarakat umum?”
Ucapku, yang masih tidak tahu kenapa aku selalu terpancing untuk bertanya.
“Hmm...”
Mendengar pertanyaanku, R terlihat berpikir sejenak sambil menopang dagu dan menurunkan pandangannya. Beberapa detik kemudian, ia kembali mengangkat wajahnya dan berkata,
“Mn, tidak ada. Itu hanya untuk kepuasaan pribadiku.”
“Oke, sebelum kita ke sekolah, bagaimana kalau kita ke rumah sakit dulu? Bagaimana -XXX-?”
“Aku tidak ingin terlambat masuk, tapi aku setuju denganmu.”
Aku dan F berkata, saling menyetujui.
“Rumah sakit? Apa kalian tiba-tiba merasa tidak enak badan?”
Tanya R sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Oho ho ho, bukan kami yang membutuhkan bantuan medis di sini. Tapi kau, R.”
“Aku? Tapi aku tak merasakan apapun, F?”
“Kau memang tidak merasakan apapun. Pada awalnya, penyakit ini hanya akan membuatmu merasa pusing-pusing biasa. Kemudian perlahan mulai mengambil alih otakmu, kepalamu, kemudian fungi seluruh tubuhmu dan terakhir, jiwamu.”
Menggerakan tanganmu seperti seseorang sedang memberi penjelasan dan mempromosikan tentang brosur rumah mewah di tepi pantai, aku menjelaskan situasinya pada R.
“Ekh!? Aku menderita penyakit seperti itu?”
R nampak terkejut begitu mendengar perkataanku dan F ketika ia memberikan respon dengan wajah yang terkesan bodoh. Siapa yang tidak akan terkejut jika tiba-tiba mendapat kabar bahwa kau menderita sakit parah? Setidaknya, ini adalah respon normal yang aku harapkan dari R.
Namun...Mendengarnya berkata seperti itu..Entah kenapa aku justru merasa kasihan padanya...
Memundurkan langkahnya dan berjalan di samping R, F berkata dengan pose dan gaya tidak jauh berbeda dengan yang kulakukan sebelumnya.
“Iya, dan sekarang, kau sudah tahap di mana otak di kepalamu itu sudah membusuk. Kalau kita tidak ke rumah sakit dan meminta dokter untuk segera membetulkannya, jiwamu yang selanjutnya akan rusak.”
“O--Oke...Jadi, rumah sakit yang mana yang akan kita datangi...?”
“Rumah sakit di daerah B kelihatannya sangat bagus...”
“...........Itu rumah sakit jiwa.”
“Iya, itu memang rumah sakit jiwa, dan penyakit yang kau derita itu disebut ‘gila’.”
“...............Kalian yang gila.”
“Tidak, kalau kami memang gila seperti yang kau katakan, itu berarti kau satu tingkat lebih gila di atas kami.”
“Aku setuju dengan F.”
“Huh! Aku pikir kau ada dipihakku! -XXX-! Tak kusangka kau akan menghianatiku secepat ini, padahal hubungan kita baru saja berkembang ke arah yang lebih jauh!”
“Hubungan apa yang kau maksudkan itu!?”
Meski aku bertanya, tapi yang jelas, aku tak ingin tahu konsep hubungan seperti apa yang ia bangun di kepalanya itu denganku.
Untuk sesaat, R tak mengatakan apapun. Walau jarang sekali kelihatan, tapi ia pasti cukup kesal dengan penyerangan sepihak tadi. Karena itu, selama beberapa menit, tak ada satu pun diantara kita bertiga yang saling berbicara.
Aku juga, hanya mengamati toko-toko atau orang-orang yang melintas. Bukan sesuatu yang berarti.
Sampai akhirnya--
“Hmm...Bicara tentang seseorang yang selalu mengejar seseorang tak menyukai mereka--Bagaimana dengan Itsuki?”
“!!?”
“Itsuki? Itsuki Kanako yang satu kelas dengan kita itu?”
Setelah cukup lama tak mengeluarkan suaranya, R akhirnya mengatakan sesuatu, yang membuat F tertegun.
Sementara aku--
“..................”
--Justru sekarang yang tak mampu mengatakan apapun adalah aku, seolah suaraku telah diambil oleh penyihir bawah laut seperti dalam kisah putri duyung yang sangat populer itu.
“Eeeeh!? Kau tidak akan mengatakan sesuatu seperti Itsuki dan Mochida pacaran’kan?!”
Teriak F histeris.
“Itsuki itu--Bukannya dia teman masa kecil Mochida? Dan kelihatan sekali, Itsuki sangat menyukai pemuda itu. Tiap saat ia selalu memperhatikannya, seakan-akan mengawasinya. Seperti seekor binatang yang sedang mengawasi telur-telurnya, tak membiarkan satu mangsa pun datang mendekat. Sungguh nampak jelas, gadis itu sangat terobsesi dengannya dan tak akan membiarkan siapapun melangkah dan merebutnya dari genggamannya.”
 R berkata sambil menengok ke arah langit.
“Kalau dipikir-pikir lagi--Aku juga selalu melihat tatapan seperti itu tiap kali berpapasan dengannya, juga ketika aku sengaja menyapa Mochida di depan kelas. Bukan apa-apa, ya, tapi aku tidak terlalu menyukainya. Kalian tahu’kan? Bagaimana sikap Itsuki dan teman-temannya itu di sekolah? Sudah ada berapa banyak murid yang terluka dan meneteskan air mata gara-gara ulahnya? Bahkan kita bertiga pernah malu gara-gara dia!”
Teringat kembali akan masa lalu yang cukup pahit untuk diingat, F berkata dengan nada sedikit marah. Sepertinya ia sangat kesal.
“Dia memang gadis yang sangat berbahaya. Dan juga termasuk dalam daftar ‘Gadis-gadis SMA murahan’ itu. Aku tak bermaksud mencampuri urusannya atau apapun itu. Tapi, kalian sudah tahu’kan, gosip tentang Mochida dan Miyashita? Aku bukan anak laki-laki, jadi aku tidak tahu apa perasaan Mochida sesungguhnya. Tapi terlihat jelas, tiap kali ia bicara dengan Miyashita, aku selalu melihat sinar itu di matanya. Tidak salah lagi, ia pasti benar-benar suka padanya. Sedangkan ketika Mochida bersama Itsuki, aku tak merasakan ada perasaan apapun di pandangan matanya. Sudah pasti, ia hanya menganggapnya sebagai ‘teman biasa’. Dan tiap kalinya juga, aku melihat Itsuki mengamati mereka berdua, seperti hewan buas yang hendak menyerbu dan membunuh mangsanya! Dia pasti benar-benar cemburu!!“
“.........Tapi, bukannya Miyashita nampak tak peduli dengan Mochida? Kalau begitu, bukannya Mochida juga melakukan pengejaran cinta yang sia-sia?”
“Entah. Kurasa Miyashita hanya takut karena Itsuki terus-terusan mengawasinya semenjak gosip kedekatan mereka semakin meluas. Aku juga merasakan, kalau Miyashita juga punya perasaan sama Mochida. Jujur, aku mendukung mereka berdua, dan seandainya ini adalah sebuah pemilihan, aku akan memilih untuk mereka tiap minggunya. Aku ingin sekali melihat wajah Itsuki saat ia geram karena dikalahkan!! Gadis itu--Dia benar-benar berpikir kalau dia bisa memiliki Mochida sampai seterusnya?”
“Ha ha ha! Sekarang ketika kau telah mengatakannya, kurasa aku juga akan lebih memilih Mochida bersama dengan Miyashita daripada harus berakhir dengan gadis murahan macam Itsuki! Meski aku masih berpikiran kalau Mochida lebih baik untukku saja~~¯.”
“Memang benar, ketika kita ingin melakukan sesuatu dan berjuang keras untuk mendapatkannya, jangan biarkan sampai sesuatu itu terlepas dari genggaman tangan kita. Kita harus terus memegangnya dengan erat dan menjaganya sampai kapanpun. Tapi, ada juga saatnya ketika kita ingin mendapatkan sesuatu, kita harus rela melepaskan sesuatu yang telah kita genggam demi mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Kurasa, Itsuki harus melihat ke mata Mochida, bahwa yang ada di pantulan matanya bukan dirinya, bahwa yang Mochida lihat bukanlah dia tapi gadis lain. Maka dengan itu, Itsuki juga tidak akan membuang waktunya untuk terus memperhatikan Mochida seperti pembunuh dari balik bayang-bayang, dengan melepaskan dan merelakan, maka ia akan mendapatkan kisah cinta baru yang manis. Aku yakin, pasti di luar sana ada seseorang yang ditakdirkan untuk kita. Kita hanya perlu membuka mata kita lebih lebar lagi dan melihat semua yang ada di sekeliling kita dengan lebih jelas. Walau ia nampak jahat sekali, tapi tiap orang berhak dicintai dan mencintai. Iya’kan... -XXX-?”
“.........................”
“-XXX-?
“..............”

 “...............Kau--“

“-XXX...?”

 “--Tidak akan pernah mengerti...”

“Hoiii!!”
“Uwaaa!!
“Hwaaa--Akh!! Jangan tiba-tiba berteriak seperti itu! Aku jadi terkejut’kan!!”
F berteriak kesal ke arahku ketika aku tiba-tiba berteriak tanpa alasan saat R menyentuh pundakku. aku tak tahu mengapa aku berteriak, aku tak tahu apa yang aku lewatkan dari pembicaraan kita, aku juga tidak tahu kenapa keringat dingin membasahi wajahku, dan--
Aku tidak tahu kenapa air mata tiba-tiba mengalir turun dari kedua mataku--
“............Kau...Apa kau menangis...?”
“Huh...?”
Aku menoleh pelan ke arah R dan menatapnya dengan ekspresi--Aku tak tahu wajah seperti apa yang aku buat. Tapi kelihatannya cukup menyedihkan. Aku bisa merasakan kekhawatiran yang amat sangat dari sorot matanya.
F juga terlihat khawatir saat ia melihat ke arahku.
“Apa yang terjadi denganmu?”
“............Tidak...Sepertinya mataku kemasukan debu...”
Berkata seperti itu, dengan cepat, aku segera mengusap air mata ini yang keluar begitu saja.
“.................Yakin kau tidak apa-apa...?”
R berkata sekali padaku untuk memastikan apa benar kondisiku baik-baik saja.
Aku tak ingin membuat mereka khawatir, jadi aku hanya memberikan sekilas senyum di wajahku.
“Mhmm, aku tak pernah merasa sebaik ini...Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan kita ke sekolah? Sebentar lagi masuk.”
Aku berkata, berusaha untuk menenangkan mereka. Tapi kelihatannya mereka bisa menangkap senyumanku yang kupaksakan.
“Jangan tatap aku dengan wajah menyedihkan seperti itu. Aku baik-baik saja. Ayo, R, F.”
Ketika melihat bahwa mereka terlihat seperti akan melontarkan pertanyaan lain ke arahku, aku tak mau menjawabnya, jadi aku kembali menekankan kalau tak ada yang terjadi, dan semuanya baik-baik saja dan segera melangkahkan kaki.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya R dan F mengikutiku di belakang. Langkah kaki mereka terdengar cukup dekat di belakangku.
Aku memutuskan untuk tidak berbalik dan melihat ke arah mereka. Aku tak ingin melihat tatapan menyedihkan itu lagi. Apalagi lagi, ketika yang mereka tatap dengan wajah itu, adalah diriku.
Tak ingin menyusahkan siapapun dan membuat siapapun merasa sedih, adalah sesuatu yang selalu ingin kulakukan. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku membuat seseorang membenciku, aku tak tahu kapan terakhir kali membuat seseorang menangis.
Aku bukannya tidak tahu kapan. Aku hanya berusaha untuk melupakannya.
Aku bukannya tak mau menjawab pertanyaan mereka, aku hanya terlalu malas untuk mengingat masa lalu.
Kata-kata itu, suara yang terdengar sangat lemah dan penuh dengan penderitaan, menyalahkan seluruh dunia atas apa yang terjadi.
Sosok itu, yang terlihat sangat menyedihkan dan terlalu menyakitkan untuk dilihat--
--Sampai saat ini, aku tak bisa melupakannya, melupakan figur dirinya saat itu. Rambutnya yang panjang berkibar akibat tiupan angin. Melupakan kebenciannya akan dunia yang begitu besar di sorot matanya yang tak memancarkan setitik pun cahaya indah di dalamnya.
Lalu, senyuman itu, dan juga kata-kata terakhirnya...
Bahkan di saat aku sedang berjalan dan menghabiskan hari bersama-sama dengan orang-orang ini, aku masih selalu bertanya-tanya pada diriku, apa yang telah aku perbuat? Di mana aku melakukan kesalahan? Kenapa hal itu bisa terjadi? Kenapa masa lalu bisa begitu gelap menghantuiku di belakang tiap langkahku menuju? Apa yang terjadi? Tak bisakah aku mengubahnya? Masa lalu? Jika aku ingin melakukannya bukan untukku, maukah Tuhan mengabulkannya? Akankah ia mendengar permohonanku? Akankah ia mengijinkanku untuk memperbaiki semuanya? Bisakah aku melakukan semua itu?
Kalau waktu itu aku berhasil menjangkaumu dan tak membiarkanmu tenggelam lebih jauh lagi ke dasar jurang yang kelam itu--Apakah kau masih akan berada di sini? Di sisiku seperti saat-saat yang biasanya?
..............
Saat-saat yang biasanya...?
“.......................”
Ketika pikiran ini muncul di kepalaku, barulah aku menyadari sesuatu.

Langit berwarna biru, disertai dengan awan berwarna putih. Sungguh pemandangan biasa yang terjadi seperti hari-hari sebelumnya. Aku tak terlalu terkejut dengan apa yang akan terjadi hari ini. Aku tak terlalu berharap akan banyak hal yang terjadi.

Bahwa aku telah salah akan satu hal...

Sekali lagi, selain langit dan juga teman-teman yang berangkat sekolah bersama, serta pembicaraan yang cukup normal, membuat hari ini berlangsung layaknya hari biasa lainnya.

‘Hari-hari biasa’ yang selama ini telah kulewati--

Saat itulah aku menyadari, kalau hari ini memang akan menjadi hari yang biasanya selalu terjadi.

--Sudah jauh menghilang.

“A--A--Apa itu!!!?”
“Apa yang--!!!?”
“Mati--Terbunuh--Ah--“
“Kejam--Ini sungguh kejam!!!”
“...................Ah!”
“I--Itu...Itu tidak mungkin...Kan...?”
“.............Sasagawa dan...Karisawa...?”
“....................”
Ketika kami bertiga sampai di depan gerbang sekolah, kami langsung dikejutkan oleh sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal manusia--
-- Ada 2 mayat tergantung dengan perut mereka yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan keluar.
Tubuh mereka hampir hangus, seolah habis dibakar dengan api.
“........Apa ini...Pembunuhan...? Di sekolah kita...? Tidak mungkin...Kan...?”
F yang berbicara.
Meski aku tak melihat wajah apa yang ia buat, tapi aku sudah tahu, kalau wajahnya sama dengan yang orang-orang lain itu buat. Begitu juga dengan R yang cukup jarang memperlihatkan ekspresi jelas di wajahnya.
Jijik, takut, kengerian, mimpi buruk--Aku yakin semua hal itu menjadi satu di wajah mereka.
Tentu saja, melihat semua ini--Tak ada satu pun diantara mereka yang berpikir bahwa ini hanyalah sebuah lelucon yang kejam.
Dan kalian ingin tahu? Apa bagian terkejam dari lelucon ini? Akan kuberitahu, bagian paling mengerikannya adalah--Karena semua ini adalah kenyataan yang memang benar terjadi tepat di hadapan mata mereka sendiri.
“....................”
Aku juga sama.
 ‘Membuat eskpresi terkejut dan kaget’ di wajahku ini yang sama dengan yang lainnya. Sekalipun aku hanya berpura-pura merasa ketakutan, jauh di dalam hatiku, aku tak bisa berhenti tertawa dengan keras.
Kau benar. Mungkin aku memang tak terlalu terkejut dengan yang terjadi. Itu membuatku merasa sudah tahu akan semua ini pada akhirnya tanpa harus melihat kejadiannya terlebih dahulu. Seperti seorang peramal dengan kekuatan supranaturalnya.
Sama seperti sebelumnya, aku masih bisa merasakan kalau ini akan menjadi hari yang baik untukku.
--Hanya saja untuk yang lain, mungkin akan menjadi awal munculnya mimpi buruk yang beterbangan di sekeliling mereka. Berpikir, bahwa semuanya pasti telah berakhir.

Aku tak terlalu terkejut dengan apa yang akan menanti di depan. Aku juga tak berharap akan ada banyak hal menarik yang terjadi.
Hidup ini hanyalah seperti sebuah kotak kejutan kecil. Kau harus berani membukanya untuk mengetahui yang tersembunyi di dalamnya. Menurutku, hanya orang-orang yang beranilah yang mampu membuka kotak itu dan melihat suatu bagian tersembunyi dari dunia ini.
 Orang-orang yang terlalu takut untuk melihat bagian lain dari dunia, bagian lain dari dunia yang biasa mereka lihat, dan lalui bersama dengan orang-orang di dalamnya, orang yang sudah terbiasa melihat dunia ini sebagaimana yang nampak di mata mereka, lebih baik mengambil langkah mundur dari kotak itu.
Aku? Kalau aku boleh bilang, aku tak termasuk di kedua tipe tersebut. Aku tak takut untuk membuka kotak tersebut tapi aku juga tak ingin membukanya. Kenapa? Karena--

--Bukankah akan lebih menarik untuk membiarkan orang lain melihat kejutan yang telah kau siapkan di dalam kotak tersebut...?

“Apa yang terjadi di sini--!!? Kenapa Sasagawa dan Karisawa--“
“Ukh--A--Aku tidak tahan melihatnya!!”
“Hasegawa-san!!”
“Siapa yang tega melakukan hal seperti ini!?”
“Mengerikan sekali!!”
“Hey, apa tidak masalah kalau kita biarkan terus seperti ini?”
“Polisi yang akan mengurusnya!”
 “Polisi yang akan mengurusnya--!!? Jangan bercanda!”
“Riya--!?”
“T--Tolong turunkan!! Siapapun, tolong turunkan mereka berdua!!”
“Jangan hanya melihat saja! T--Tolong lakukan sesuatu!! Ambil tangga atau apapun--! TURUNKAN MEREKA BERDUA!!

--Dan di tengah teriakan ketakutan dari kerumunan orang-orang di sekitarku, sebuah senyuman mengembang di wajahku,
Tanpa diketahui oleh yang lainnya.

Baiklah, waktunya melangkah ke panggung selanjutnya...

Hari-hari yang biasa itu--Benar-benar telah berakhir.
***-***



A/N : Halo, minna XDD
Akhirnya awal untuk How To Make A Friend Vol.2 keluar jugaa XDD//bangga. Ini pertama kalinya sejak Memories in The Winter, aku menulis kata ‘END’ di HTMF Vol.1, dan sekarang Vol.2 udah selesai!

Hatsui : Ceritanya gimana nih? Seru ngga?
............Ngga seru sih. Malahan aneh...//Dan meski aku maunya bikin nih cerita lebih serius karena udah ada pembunuhannya, tapi ternyata unsur komedi [ngga lucunya] tetep keluar aja...//malah tambah gaje’kan?!

Hatsui :Terus nama chara-nya kali ini--XXX?! Terus apaan itu R sama F!? Itu nama?!
Anggap saja itu semacam sensor. Alias nama aslinya tidak diperlihatkan di sini.

Hatsui : Kenapa melakukan hal merepotkan begitu! Tulis aja nama orangnya, selesai’kan?! Memang jualan bakso boraks, ya!? Lalu, sebenarnya mereka itu siapa? Apa akan muncul di ceritanya?
Nanti ketahuan dong...Kan emang rencana ketahuannya nanti-nanti. Mereka itu sebenarnya...Ya begitu//plaaak. Mereka akan muncul. Tenang saja.

Hatsui : bagus deh, soalnya aku dah nggak sabar tahu siapa si pembunuh itu!! Tega banget dia membunuh Sasagawa, Karisawa dan ibunya Riya, padahal mereka baru berpelukan/hiks hiks...
Tapi, kalau diperhatikan di jalan ceritanya, sudah pasti pembunuhnya -XXX-‘kan? Tapi, dia di bagian awal, kayaknya anak baik-baik yang ngga mungkin melakukan pembunuhan. Cuma tiba-tiba langsung kelihatan evilnya di bagian akhir...Apa ngga yambung, ya?

Hatsui : Jreng jreng jreng, tiba-tiba keliatan niat jahatnya!! Oh ya, terus, aku paling suka bagian si R nulis tentang stalker! Ampun, panjang bangeet!! Bener kata si F, R membuang 2 minggunya untuk sesuatu yang tidak berguna lol XDD Sama bagian rumah sakit jiwa itu!

Ha ha ha :P Aku paling suka reaksinya si F waktu itu XDD
Baiklah, siapa -XXX- dan alasan kenapa dia melakukan pembunuhan itu, akan dijelaskan di cerita-cerita berikutnya!
Terima kasih buat yang sudah mau membaca cerita ini :)

Next Chapter : 
Aku Memang Benar-Benar Yang Terburuk


Visit : DA
          Ngomik
 

Author,
Fujiwara Hatsune
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar