Sabtu, 11 Juli 2015

Story : How To Make A Friend Vol.2 Chapter 9

Story : How To Make A Friend Vol.2 Chapter 9


*Read : Chapter 9                                         HTMF Vol.1
   
             Chapter 10

             Chapter 11

             Chapter 12

            Chapter 13

            Chapter 14

             Epilogue





Chapter 9 Aku Memang Benar-Benar Yang Terburuk
BEEP BEEP

Tersambung?
“Halo?”
Suara yang sangat familiar itu, terdengar. Biasanya ia selalu benci ketika mendengar suara itu, biasanya ia selalu kesal dan muak.
Tapi--
“A--“
“Halo? Siapa ini?”
--Sekarang justru ia begitu sangat ingin mendengarnya seolah ini adalah yang terakhir kali.
“Mo--“
“ya? Maaf aku tidak bisa mendengarmu. Kau bicara apa?”
“M--“
--Ponsel itu terlepas dari genggamannya.
“Halo? Halo? Maaf, ini siapa? Apa ada sesuatu?”
Suara dari ponsel itu terus terdengar, meski tak ada suara yang membalas.
Bahkan sampai di saat yang terakhirpun, Suaranya tak bisa menggapainya. Tak tersampaikan kepadanya di jarak yang begitu jauh.
“....................”
Sampai pada saatnya--
--Kesadaran yang tersisa itu--Akhirnya berakhir juga...
“...............................................................................--“

“--[Mochida...].”
***-***
“Riya-chan, coba lihat! Hari ini aku bawakan buku ‘Boku wa Tomodachi ga sukunai’ yang kau inginkan beberapa minggu yang lalu!  Mungkin kau ingin membacanya sekarang...?”
“....................”
“.......Aku...Aku letakkan di sini saja kalau begitu. Sudah ku baca beberapa halaman, dan seperti yang kau ceritakan, novel ini memang sangat menarik! Riya-chan ternyata sangat tertarik dengan cerita bergenre komedi, ya?”
“....................”
“.........Kemarin aku juga mengecek ke toko DVD dan menemukan anime-nya. Kalau kau mau, setelah kau keluar dari rumah sakit, kita bisa menontonnya bersama-sama.”
“.......................”
“...........Ah, aku juga bawakan sarapan untukmu. Mau makan sekarang?”
“...............................”
“......................”
“.....................................”
“...........Riya-chan, berhentilah memasang wajah seperti itu dan katakan sesuatu agar aku benar tahu kalau kau baik-baik saja.”
“.....................”
“......... Sudah hampir 3 hari kau terus seperti ini. ..........Mungkin, kau kesal karena aku seolah tidak peduli akan kondisimu dan justru sambil tersenyum dan riangnya, aku malah membicarakan sebuah buku, yang mungkin saat ini tidak penting untukmu. Tapi aku melakukan semua ini untukmu! Aku tidak ingin kau terlihat sedih dan menderita seperti ini, jadi aku berusaha untuk menghiburmu! Aku tidak tega melihatnya...”
“....................”
“........Ya, aku memang tidak mengerti bagaimana perasaanmu saat ini, karena bagaimanapun juga, bukan aku yang kehilangan...”
“...................”
“.....Tapi--“
“.......................”
“--Aku, benar-benar takut. Aku benar-benar takut kalau...Kalau kau--Terbunuh oleh orang itu! Aku sama sekali tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi!! Aku--Aku tidak ingin kehilangan Riya-chan!! Dan, aku merasa bersalah karena tidak bisa melindungimu dari pembunuh itu! Harusnya aku tahu dia masih berkeliaran! Harusnya tak kubiarkan kau sendirian bersama ibumu saja! Harusnya aku ikut masuk ke rumahmu, dan menemanimu lebih lama lagi...Dan bisa mencegah hal mengerikan ini untuk terjadi...Melindungimu dan ibumu...”
“...................”
“.....Maaf...Aku tidak datang tepat waktu pada saat itu. Maaf, aku membiarkan semua ini terjadi. Maaf, padahal aku sudah bilang akan selalu ada di sisimu, akan selalu menjagamu, tapi pada akhirnya, baik ada diriku maupun tidak, itu sama sekali tidak ada bedanya. Tidak ada artinya.”
“......................”
“Meski begitu, ijinkan aku untuk berjanji satu hal. Pembunuhan ini...Semua kejadian baik yang telah menimpa Sasagawa maupun Karisawa--Itu semua sudah direncanakan!! Dan aku sungguh tidak percaya, kalau ternyata ‘dia’ juga menyerangmu! Sahabat baikku! Dan itu berarti, secara tidak langsung, ikut mengibarkan bendera perang kepadaku! Karena itu, aku janji, kalau aku bertemu dengannya--Bertatap mata dengannya sekali lagi--“
“.................”
“--Aku tidak akan melepaskannya untuk yang kedua kalinya. Tidak akan. Aku janji padamu.”
“Ah, Kawada-san, hari ini kau datang seperti biasanya, ya?”
Seorang dokter wanita berkacamata, tiba-tiba masuk ke dalam ruangan, dan membuat Emi yang sedang terduduk di kursi dekat tempat tidur Riya tertegun.
Dengan cepat, Emi segera memasang wajah tersenyumnya yang biasa.
“Iya, Kashiwagi-san. Hari ini aku membawakan buku untuk Riya-chan. Supaya dia tidak bosan.”
Jawab Emi, sedikit tersenyum malu.
Kashiwagi-san membuat senyuman tipis di wajahnya ketika mendengar jawaban dari gadis berambut panjang itu. Sambil mendekat ke arahnya, ia berkata,
“Kau sahabat yang sangat perhatian, Kawada-san. Aku yakin, Miyashita-san sangat senang bisa punya sahabat yang peduli padanya sepertimu. Apa dia sudah mau makan sesuatu?”
Tanyanya.
Emi menggeleng pelan.
“Belum. Kalaupun mau, pasti hanya sedikit sekali. Aku khawatir dengan kondisi Riya-chan.”
Ia berkata, meletakkan sebelah tangannya di pundak Riya, yang dari tadi, terus duduk sambil memeluk erat lututnya itu, menyembunyikan wajahnya.
“Tapi walau begitu--“
“?”
“Riya-chan sama sekali tidak menangis.”
“...............”

‘Maaf, Miyashita-san. Tapi kami tak dapat menyelamatkan nyawa ibumu’,
Kata-kata itu disampaikan oleh Kashiwagi-san, beberapa saat setelah Riya membuka matanya. Ia sebenarnya ingin menunggu beberapa waktu lagi sebelum menyampaikan hal itu. Bagaimana pun juga, ini adalah sesuatu yang sangat berat, dan akan menghambat pemulihan kondisi Riya, semakin memperburuk suasana hatinya.
Namun entah mengapa, ia langsung mengatakannya saat gadis itu menanyakan keberadaan ibunya.
Ketika itu, tergambar kekhawatiran yang tidak dibuat-buat di wajah gadis berambut pirang itu. Ia benar-benar ingin bertemu ibunya dan mengetahui kondisinya. Meskipun ia belum diperbolehkan untuk meninggalkan tempat tidur, tapi ia bersikeras untuk pergi ke kamar ibunya, apapun kondisinya.
Saat itulah kata-kata itu melayang sampai ke kedua telinganya. Kata-kata yang kejam dan sebisa mungkin berharap bahwa itu hanyalah sebuah lelucon buruk.
Tapi, tak ada satu pun orang di dunia ini, yang bahkan berani bercanda mengenai kematian. Tidak ada satu orang pun yang boleh bermain-bermain dengan kematian atau mempermainkan kematian.
Maka dari itu--Apa yang diucapkannya, itu adalah sesuatu yang benar.
Tak ada kata yang keluar, bahkan ungkapan terkejut seperti ‘Apa’, atau ‘Tidak mungkin’. Reaksi khawatir yang ia tunjukkan sebelumnya menghilang. Berganti dengan tatapan mata kosong yang terbuka lebar, yang telah kehilangan segalanya di dunia ini.
Tubuhnya tak bergerak sedikit pun, seolah ia telah terkena sihir kutukan dan menjadi patung.
Siapapun tak dapat membaca apa yang ia pikirkan saat ini. Dan walau mungkin memang sudah terlihat dengan sangat jelas, tetap saja mereka tak bisa melihat langsung ke dalam kepalanya.
Diam.
Hanya itu yang ia lakukan.
Kesedihan yang amat besar dan kehilangan yang tiba-tiba.
Itu yang ia rasakan.
Air mata.
Itu yang tak ia perlihatkan.

“Yah...Dia gadis yang kuat...Atau kira-kira seperti itu...”
Ujar Kashiwagi-san.
Walau hanya melihat sekilas, Kashiwagi-san bisa melihat eskpresi khawatir di wajah Emi. Beberapa saat kemudian, Emi tertegun dan mengatakan sesuatu seperti ‘Ah, hari ini aku harus membantu membereskan rumah’, dan segera beranjak dari kursi.
Mengatakan ‘Aku harus segera pulang’ dan ‘Semoga kau cepat sembuh’ kepada Riya, yang bahkan tak memberikan sebuah respon meski hanya sebuah anggukan kepala, wajahnya sedikit terlihat kecewa, namun ia berusaha menyembunyikannya di balik sebuah senyuman tipis.
Ia mengerti, semua ini butuh waktu dan tidak bisa terjadi secara instan dan begitu saja. Bagaimanapun juga, kehilangan yang dialami sahabat masa kecilnya itu, terlalu besar dan pasti akan menimbulkan luka yang akan sangat membekas di hatinya dibandingkan dengan luka yang dialaminya secara fisik.
Emi memandangi Riya sejenak, lalu ketika ia berdiri di hadapan Kashiwagi-san, Emi membungkukkan tubuhnya, lalu mengucapkan selamat tinggal sebelum akhirnya beranjak pergi.
Menutup pintu ruangan berwarna putih dengan pelan, Emi bersandar di pintu tersebut, lalu menghela nafas dengan pelan. Bersamaan dengan saat ia ingin kembali melangkahkan kakinya--
“Kawada-san.”
“.............”
Pandangan mata Emi, mengarah ke arah sumber suara yang kini sedang berjalan ke arahnya. Sosok yang tidak asing lagi, kini telah berdiri di hadapannya.
Ia tak mengatakan apapun ketika kedatangan pemuda itu sedikit membuatnya terkejut. Yang ada, hanyalah tatapan mata tanpa emosi. Meskipun begitu, tetap nampak seperti ekspresi dingin yang terlihat sangat kejam.
“.............”
“...................”
Menangkap raut muka gadis itu, yang seolah berkata ‘Apa yang kau lakukan di sini!?’, pemuda dengan rambut kecoklatan itu, Mochida Toru, ia bisa menangkap kekesalan di wajah Emi.
Tidak mengatakan apapun, Mochida hanya menundukkan kepala dengan ekspresi tertekan di wajahnya. Ia lalu terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan sedikit pandangannya ke arah Emi di hadapannya.
“.........Bagaimana...Keadaan Miyashita hari ini...?”
“...........Bukan urusanmu, Mochida-kun.”

DEG

Itu tadi benar-benar sangat dingin.
Mampu membuat hawa dingin itu masuk dan menjalar ke seluruh tubuh Mochida ketika ia tersentak ke belakang.
“...............Aku--Aku hanya ingin tahu...”
Ia kembali berbicara, namun Emi segera menyelanya,
“Tidak ada yang harus kau ketahui. Sejak awal, kau sama sekali tidak peduli pada Riya-chan’kan? Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Jangan buang-buang waktumu, dan pulanglah.”
Berkata seperti itu, sekali lagi Emi memberikan sentuhan hawa dingin yang amat sangat pada tubuh Mochida sambil meletakkan sebelah tangannya di pinggang, tak beranjak dari tempatnya berdiri.
Mochida sedikit merasa ketakutan, tapi ia tidak ingin menyerah di sini, dan terus mendesak Emi.
“I--Itu tidak benar, Kawada-san! Aku--Aku sangat peduli pada Miyashita!! Aku merasa, kau tahu akan hal itu--!! Kalau ada satu orang yang benar-benar khawatir akan keadaannya, sudah pasti itu adalah aku!”
“KALAU BEGITU KENAPA KAU TIDAK DATANG!!!?”
“!!!!?”
“KENAPA KAU TIDAK DATANG KETIKA RIYA-CHAN MEMBUTUHKANMU!!!!?”
“........A--Aku...”
Teriakan Emi, membuat sebuah hantaman keras yang terasa menyakitkan pada tubuh Mochida, seolah dia diserang menggunakan pipa besi, atau sesuatu yang lebih berat dari itu yang bisa langsung meremukkan seluruh tulang di tubuhnya.
Ia ingin mengatakan sesuatu seperti ‘Itu semua tidak benar’, hanya saja,
Memang dia benar-benar tidak datang pada waktu itu...
“Aku pikir kau orang baik! Aku pikir, kau bisa menjaga Riya-chan, dan aku bisa mempercayakannya di tanganmu, Mochida-kun!! Tapi--“
Emi menghentikan perkataannya, kedua tangannya yang mengepal mulai gemetar. Ia lalu melanjutkan,
“--Tapi ternyata aku salah! Selama ini, aku sudah salah menilaimu!! Bahkan Riya-chan yang selalu bersikap mengacuhkanmu itu--Mengharapkan kehadiranmu di sisinya pada waktu itu!!! Yang kau lakukan hanyalah menghianatinya!! Kau monster!!!”
“Tenang, Kawada-san! Aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu!! Aku--Aku tidak tahu jika yang menghubungiku adalah Miyashita! Seandainya aku tahu--Seandainya aku tahu itu dia--Aku pasti, akan segera datang tanpa harus memikirkan hal lain!!!”
Teriak Mochida, membalas semua ucapan Emi padanya.
“Bohong!!! Kau tidak mungkin datang!! Sekarang aku ragu, apa kau benar-benar--Benar menyukai Riya-chan, seperti yang selama ini selalu tergambar di gerak-gerikmu itu, karena sekarang kau terlihat seperti seorang pemuda yang selalu mempermainkan perasaan orang lain!”
“Aku bukanlah orang seperti itu!! Aku tidak pernah--“
“Ketika Riya-chan membutuhkanmu, saat dia mulai menaruh semua perasaannya padamu, ke mana kau pergi dan justru menghilang seperti bayangan!!!?”
“...............Aku--“

GREP

Tanpa peringatan terlebih dahulu, tangan Emi yang terasa dingin menarik kerah kemeja berwarna putih yang dikenakan oleh pemuda itu.
“..................”
“Meski aku bisa menyelamatkan Riya-chan--ORANG YANG IA INGIN ADA DI SISINYA ITU BUKAN AKU!!!
“!?”
“TAPI KAU!!!”
“....................”
“Saat di bawa kemari, saat dia masih sedikit sadar--Bukan namaku yang ia sebut berulang kali, bukan aku yang ia harapkan ada di sana!!--TAPI NAMAMU!!!
“!!?”
“Jika--Jika seandainya kau datang--Jika saja seandainya kau datang pada waktu itu--!!!”
“.......................”
“Jika kau--Ah! Sudahlah, tidak ada gunanya mengatakan semua ini!”
Tubuh Mochida terdorong ke belakang, ketika Emi, dengan kasarnya melepas tangannya dari kerah kemeja Mochida dengan sedikit memberikan dorongan.
“.............”
Merapikan bagian kerahnya, tak satupun kata yang keluar dari mulut Mochida.
 Atau, sebenarnya ia ingin mengucapkan sesuatu, namun rasa bersalah yang bersembunyi di bagian terdalam dari dirinya, membuatnya menerima saja apa perlakuan Emi padanya. Termasuk jika gadis itu ingin menampar wajahnya, ia tak akan mengatakan apapun selain diam.
Jika seandainya pun Emi tak melakukannya, ia sendiri akan memukul dirinya berkali-kali di depan cermin, sehingga ia bisa melihat wajah seperti apa yang ia buat. Wajah terluka seperti apa yang Riya buat.
“............”
“......................”
Tak ada yang kembali berbicara pada detik berikutnya.
Sampai pada saat Emi, berjalan mendekati Mochida, dan mengangkat jari telunjuknya tepat di hadapannya.
“Sudah tidak ada gunanya lagi kau berada di sini, Mochida-kun. Pergi, dan jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di hadapan Riya-chan. Mulai sekarang, aku yang akan melindunginya dengan kedua tanganku sendiri! KAU MEMANG TEMAN YANG TERBURUK!!
Setelah mengatakan semua itu, Emi berjalan cepat melewati Mochida, membuat rambut panjangnya berkibar diiringi oleh suara ‘Tap’ ‘Tap’ ‘Tap’.
“....................”
Menoleh ke arah Emi pergi dan sosoknya yang mulai menghilang di koridor itu, Mochida terdiam sejenak. Berbagai macam pikiran mulai melayang-melayang di kepalanya.
Ia tahu Emi merasa sangat kesal padanya. Sudah seharusnya bagi seorang sahabat untuk merasa kesal kepada orang yang menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan temannya.
“...Ah...Benar-benar...”
Menghela nafas, tubuh Mochida bersandar pada dinding, kemudian jatuh dengan lemasnya.
“Akan lebih baik kalau dia memukulku saja...”

Tepat pada sore hari itu, suara tembakan terdengar.
Semua orang yang waktu itu baru saja pulang dari kantor atau tempat kerja mereka dan sedang bersantai, tiba-tiba saja dikejutkan oleh suara keras yang bergema di telinga mereka.
Dengan cepat, bercampur dengan perasaan khawatir dan was-was juga takut, mereka segera berhamburan keluar dari rumah.
‘Apa seseorang baru saja terbunuh lagi!?’
Mungkin itulah yang ada di benak semuanya pada waktu itu.
Pembunuhan sadis yang terjadi pagi hari tadi--

Ada 2 mayat tergantung dengan perut mereka yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan keluar.
Tubuh mereka hampir hangus, seolah habis dibakar dengan api.

Dan suara tembakan yang tak direncanakan itu--
Seolah membuat sebuah kesimpulan yang mungkin terkesan terburu-buru, bahwa--
Sebuah pembunuhan telah kembali terjadi dalam satu hari yang sama!
Saat semua orang mencari sumber suara itu, beberapa dari mereka ada yang terlihat ketakutan, takut-takut jika pembunuh itu masih ada di sekitar wilayah mereka dan bisa saja menembakkan peluru secara membabi buta, dan memutuskan untuk hanya melihat dari balik pagar rumah mereka.
Untuk mereka yang memiliki setitik rasa keberanian berselimut rasa penasaran, mungkin juga geram terhadap si pelaku, memberanikan diri mengecek keadaan sekitar tanpa sedikitpun mengurangi penjagaan terhadap diri mereka sendiri.
Apa itu benar suara tembakan?
Apa seseorang benar-benar kembali terbunuh di sini?
Atau--hanya suara tembakan saja yang terdengar tanpa jatuh korban?
Dan diantara orang-orang yang berkeliaran tanpa arah itu--Emi ada diantara mereka.
Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan. Dengan nafasnya yang terengah-engah, ia berlari, menyusuri setiap sudut, berharap bisa menemukan ‘sosok’ misterius yang diduga oleh semua orang sama dengan pelaku pembunuhan pagi hari tadi di SMA -XXX-.
“Tidak ada di sini!”
Bersamaan dengan kedua matanya tak menangkap sosok apapun yang mencurigakan dengan pistol atau senapan, ia menyipitkan kedua matanya dengan raut muka kesal.
“Di mana dia bersembunyi!?”
Hanya manusia biasa, tak mungkin bisa berlari secepat itu!
Lalu, tepat pada saat ia berbalik--
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!”

Suara--Sebuah teriakan terdengar.
“Ada apa!!?”
Semua orang mulai berkumpul di satu titik, di mana mereka mendengar suara teriakan yang sepertinya milik seorang wanita itu. Emi yang terkejut mendengar teriakan tiba-tiba itu, juga mulai bergerak mengikuti ke mana arah semua orang menuju.
“Di rumah itu--!!”
“Rumah--Bukannya itu rumah keluarga Miyashita!?”
“!!!!!?”
Miyashita?
Ketika nama itu sampai ke kedua telinganya, Emi bisa merasakan, jantungnya berdetak lebih lambat dari yang biasanya. Bukan hanya itu, kedua kakinya terasa berat untuk dilangkahkan, waktu terasa berjalan lebih lambat untuk dirinya, seolah-olah sedang berada dalam sebuah adegan film, di mana semua gerakan pemainnya di perlambat.
Ia bisa merasakan di kulitnya,
Sesuatu yang buruk sedang terjadi!!
Maka dengan mempercepat langkahnya, ia mendahului beberapa orang di depannya, melesat menuju rumah itu,
Dan menemukan seorang wanita telah jatuh terduduk di depan pintu.
“....................”
Pintu terbuka dan kegelapan yang terlihat di dalamnya.
Ekspresinya terlihat seperti baru saja melihat sesuatu yang benar-benar menakutkan ketika orang-orang di sekitar membantunya untuk berdiri.
Dengan itu saja--
“Riya-chan!!!”
--Ia yakin, sesuatu yang mengerikan itu benar-benar terjadi di dalam rumah itu!!
Berlari beberapa langkah, akhirnya ia berada tepat di depan pintu rumah keluarga Miyashita yang terbuka. Beberapa orang pria terlihat sudah berada di dalam dan mulai meminta bagi orang yang membawa ponsel untuk menelepon ambulance.
Berlari menerobos kerumunan orang, begitu kakinya melangkah masuk, hanya untuk menemukan bahwa lantai di bawahnya telah menjadi kolam darah yang menakutkan, dan tubuh wanita serta Riya tergeletak di sana.
“U--Uwaaaaaaa!!!!!!!”
Dengan segera, Emi yang kini berurai air mata, berlutut dan memegang-megang tubuh Riya, berharap mendapatkan respon dari gadis itu. Namun seberapa kerasnya ia menyuruh gadis itu untuk membuka matanya, tak ada yang terjadi. Matanya masih terpejam.
Di saat itulah, matanya menangkap sebuah ponsel yang tergeletak di samping tangan Riya. Dengan perlahan, ia menyentuh ponsel itu dan mengangkatnya.
“!?”
Di layarnya, tertulis sebuah nomor yang kalau tidak salah ia kenal.
Nomor Mochida.
Walau belum lama ini ia baru saja bertukar nomor dengannya, tapi tak salah lagi kalau nomor yang berusaha dihubungi oleh Riya adalah nomor pemuda itu.Terbayang berbagai macam hal di benak Emi pada waktu itu.
“Riya menghubungi Mochida, tapi--“,
Bahkan ketika ia melihat ke sana dan kemari, figur Mochida, sama sekali tak nampak di sekitarnya.
Apa dia tidak datang?
Apa dia tidak tahu kalau Riya sedang dalam bahaya!!?
Mengerikan, Mengerikan, Mengerikan, Mengerikan!!!!
ORANG MACAM APA DIA ITU SEBENARNYA!!!?
“Mochida Toru--!!!”
“Apa--Apa-apaan ini!!!?”
“!?”
Emi terkejut, suara yang menggelegar bagaikan petir itu membuatnya berbalik.
Yang berdiri di sana, bukanlah Mochida, meski begitu, itu juga sosok yang sangat ia kenal. Seorang gadis, mengenakan seragam sekolah, dengan rambut hitamnya yang pendek--
--Takashi Haruko, berdiri di sana dengan tatapan tidak percaya.

Sore itu, kejadian yang tiba-tiba itu berakhir dengan suasana hening menyelimuti.
Tak seorangpun nampak keluar dari rumah mereka seolah sekumpulan manusia tadi hanyalah ilusi saja.
Para polisi memutuskan untuk menyelidiki kejadian ini lebih lanjut. Hanya saja, sungguh menakutkan jika mendengar fakta bahwa 4 orang, dalam satu hari yang sama di serang oleh seorang pembunuh misterius.
Apalagi, 3 dari korban itu adalah siwi dari SMA -XXX-, semakin menimbulkan kesan jelas bahwa pembunuh itu memang mengincar para siswa di sekolah itu. Karena saat itu sekolah sedang ditutup selama satu Minggu akibat kasus terbunuhnya Sasagawa dan Karisawa, polisi akan melakukan penyelidikan yang lebih intens lagi, dan kembali menanyai beberapa murid. Untuk melihat juga, apa dalam jangka waktu itu, murid sekolah itu kembali menjadi korban, atau suasana akan kembali tenang.
Di rumah sakit, Haruko dan Emi sama-sama menunggu.
Sepulang dari kantor polisi, Runa memutuskan untuk pulang seorang diri, karena ingin membeli sesuatu di minimarket dan menyuruh Haruko untuk pulang duluan daripada harus menunggunya. Haruko memang sudah sampai di depan rumahnya.
Namun, ketika tangannya membuka pintu, sentuhan dingin tiba-tiba terasa dengan jelas di tangannya. Sebuah firasat buruk langsung terlintas di benaknya. Entah mengapa, dengan cepat ia segera berlari. Tujuannya adalah rumah Riya.
‘Aku tidak tahu kenapa. Tiba-tiba tubuhku berbalik sendiri dan melangkah dengan tergesa-gesa. Dalam hatiku, aku bisa merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku merasa, itu karena sikapku pada Riya tadi. Semua tahu ia sedang emosi, semua tahu ia sedang kesal. Aku juga tahu itu, tapi aku juga malah ikut menyalakan api, dan pulang tanpa mengatakan apapun. Entah, mungkin aku sendiri sadar, kalau aku tidak akan suka seseorang tiba-tiba pergi meninggalkanku sendirian seperti itu. Mungkin, aku hanya ingin minta maaf...?’
Itulah yang Haruko katakan.
Akhirnya, kabar yang mereka berdua tunggu datang juga. Riya selamat, meski kondisinya masih sangat lemah.
2 hari kemudian, gadis itu membuka matanya, hanya untuk mendengar kabar dari Haruko, bahwa ibunya tidak bisa diselamatkan dan meninggal di tempat saat itu.

“..........[Sampai saat ini, sudah 5 hari semenjak pembunuhan itu. Tak ada korban baru, dan polisi masih melakukan penyelidikannya...].”
......................
“............[Tapi aku--Bahkan sampai saat ini masih tak dapat melihatnya secara langsung...Andai saja aku tahu...Kalau saat itu dia yang meneleponku--Ugh!! Sial!!!].”

Mochida mengetahui hal itu, satu hari setelah kejadian berlangsung.

Tepat satu hari setelah terbunuhnya Sasagawa dan Karisawa, Mochida pergi untuk mengunjungi rumah Riya dan mengetahui keadaannya. Melihat semua yang telah terjadi, gadis itu pasti membutuhkan orang-orang terdekatnya untuk terus men-support dirinya.
Ia tahu kalau Emi akan datang dan melakukan hal itu untuknya. Tapi tetap saja, apapun yang terjadi, ia ingin datang dan menunjukkan padanya, bahwa ia tulus dan peduli padanya. Bahwa ia benar-benar percaya, bukan Riya pelakunya.
“..................”
Ekspresi terkejut seakan-akan telah melihat sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Mungkin itu yang berusaha dikatakan oleh pemuda itu, ketika ia diam berdiri di depan rumah Riya, yang kini telah dipasangi garis-garis polisi berwarna kuning.
‘Apa yang terjadi...?’
Ia bertanya dalam pikirannya sendiri. Walau begitu, ia sendiri samar-sama sudah tahu jawabannya bersamaan dengan munculnya pertanyaan itu.
Terbunuh...
Seseorang terbunuh!?
Tubuhnya waktu itu bisa saja jatuh karena lemas, membayangkan berbagai macam kenyataan yang mungkin terjadi, kalau saja tak ada seorang pria yang menepuk pundaknya dan membangunkannya dari lamunannya.
Dari cerita pria itulah ia tahu, kalau seseorang misterius menembak Riya dan ibunya.
Tanpa berpikir 2 kali, Mochida segera pergi ke rumah sakit, dan tak sengaja bertemu dengan Haruko yang juga ingin ke sana. Bersama, mereka sampai di rumah sakit.
 Saat itulah, di depan kamar Riya, ketika Mochida ingin masuk dan menengok gadis itu, Emi, berdiri di sana dan menatap sinis ke arahnya,
“Apa yang kau lakukan di sini, Mochida-kun...?”
“A--Aku ingin menengok Miyashita! Bagaimana keadaannya!!? Apa dia baik-baik saja!?”
“............Kurasa kau tidak ingin tahu.”
“Eh...?”
Emi benar-benar marah pada saat itu.
Semua emosi bercampur menjadi satu dan meledak secara bersamaan. Mochida bahkan tidak bisa mengatakan sepatah katapun untuk membalas, ketika Emi sampai pada ‘Riya-chan menghubungimu! Tapi tega sekali kau tidak datang!!’, ia hanya bisa berdiri membatu dengan kedua mata terbelalak.
‘Miyashita menghubungiku...?’
Sedikit agak mengejutkan untuk Mochida begitu ia mendengar kalimat itu. Ia masih ingat dengan sangat jelas, ketika di kantor polisi, gadis itu dengan kasar dan santainya merobek kertas berisi nomor teleponnya.
‘Aku tidak memerlukan bantuanmu’,
Seolah itu yang gadis tersebut katakan kepadanya secara tidak langsung.
Tapi--
--Dia menghubunginya.
‘Dia menghubungiku...?’
Apa itu berarti--
‘Miyashita memerlukanku...?’

‘Riya-chan menghubungimu! Tapi tega sekali kau tidak datang!!’

‘Ah...’
Pada saat kata-kata itu kembali terlintas tanpa keinginannya, tubuhnya terasa seperti di hantam oleh sebuah batu yang sangat besar.
Ia memerlukannya. Ia menyebut namanya! Tapi--Kenapa ia bisa tidak menyadari itu dan tidak datang!!!
Sekarang, bahkan Mochida tak tahu harus bereaksi seperti apa. Haruskah ia merasa senang karena di saat-saat seperti itu, ternyata gadis itu mengharapkan kehadirannya untuk menyelamatkannya? Atau--Haruskah ia membenci dirinya sendiri, karena tak mampu, bahkan datang dan menjadi orang pertama yang menolong gadis itu--Gadis yang sangat ia sukai!?

“KAU MEMANG TEMAN YANG TERBURUK!!

“.......[Kawada-san benar...Aku memang yang terburuk...].”

“Ingat, kalau ada apa-apa atau kau sedang butuh bantuan, hubungi aku, ya.”

“[Kebohongan mengerikan seperti apa yang telah aku ucapkan...Sial...].”
..................
“[Aku...],”
“[Memang benar-benar yang terburuk...].”
***-***
“Takashi-san. Bagaimana menurutmu? Apa baju ini cocok untukku?”
“Eh...Ya...Hmm...”
“Baju itu cocok untukmu kok, Mari!”
“Oh ya, Runa? Kalau begitu, aku pilih yang ini saja.”
“Hmm...Hmmmm...”
Haruko hanya bergumam pelan sambil memperhatikan gadis yang tengah mencocokkan ukuran pakaian itu dengan tubuhnya dan berputar-putar seperti seorang putri.
Sudah kesepuluh kalinya ia mencoba baju yang berbeda dengan pertanyaan ‘Haruko, Bagaimana menurutmu? Apa baju ini cocok untukku?’, dan selama ini, ia hanya mengatakan sesuatu yang tidak jelas seperti ‘Hmm’ atau ‘Bagaimana, ya?’, bahkan bisa dibilang ia sama sekali tidak menyuarakan opini atau pendapatnya secara jelas.
Tapi sepertinya tidak ada yang mempermasalahkannya, karena Runa selalu mengatakan apa baju itu cocok atau tidak untuknya.
“Eh, setelah ini, kita makan dulu, yuk! Aku sudah lapar nih!”
“Boleh, tapi Yukino yang bayar, ya!”
“Hah!? Kenapa harus aku yang bayar, Shion!? Kita ke sini’kan berlima, kenapa harus aku yang bayar sendirian? Setidaknya, bantu aku dalam membayar bon-nya. Iya’kan, Takashi-san?”
“.....................”
“.......Takashi-san?”
“.....................”
 “Haruko!”
“Eh, ah?”
“Ada apa denganmu, Takashi-san? Kau terlihat tak bersemangat? Apa kau sedang sakit?”
Diberi pertanyaan seperti itu, Haruko sedikit tertegun. Entah kenapa tiba-tiba saja otaknya memasuki fase ‘Blank’, dan tidak tahu harus memberikan respon seperti apa bahkan untuk pertanyaan se-simple itu. Ia terlihat sedikit kebingunan, hingga memutuskan untuk menundukkan kepala dan menggeleng pelan.
“..............Baiklah. Kalau begitu, kita ke lantai 3 sekarang.”
“............”
Grup beranggotakan 4 gadis itu [tidak termasuk Haruko], berjalan sambil membawa maksimal 2 kantong belanjaan di tangan mereka. Terlihat mereka sedang asyik membicarakan sesuatu, meninggalkan Haruko yang masih terdiam di tempatnya. Baru beberapa saat kemudian, ia berjalan di belakang mereka dan sedikit membuat jarak.
“................[Sejak awal, aku memang tidak cocok dengan teman-teman Runa...Menyebalkan harus terjebak bersama mereka selama berjam-jam seperti ini, melakukan hal-hal tidak penting].”
Ini adalah hari ke-5 sekolah mereka diliburkan.
Karena sekolah libur dan tak ada hal menarik yang bisa mereka lakukan, Runa memutuskan untuk mengajak teman-temannya gerombolannya, Shion, Yukino dan Mari, pergi ke mall dan berbelanja kebutuhan para gadis.
Tentu saja yang ia maksud teman, tak lepas adalah Haruko, temannya sejak taman kanak-kanak. Berbeda dengan Runa yang pandai bergaul dan berpenampilan menarik serta memiliki banyak teman Haruko jauh lebih suka memiliki sedikit teman, tapi benar-benar sahabat sejati yang meluangkan waktu bersama-sama. Bukannya sekumpulan gadis yang hanya mengerti fashion atau bergosip saja.
Ia tak pernah mengatakan apapun tentang sahabat-sahabat Runa yang selalu terlihat memakai perhiasan dan make up berlebihan ketika sekolah. Wajah ‘Kau boleh berteman dengan siapapun sesukamu’, selalu tergambar di wajahnya.
Gadis dengan rambut hitam pendek itu memang sangat menyukai kebebasan. Ia sendiri pun tidak akan suka jika harus dibatasi dalam urusan pertemanan.
Yang terpenting adalah persahabatannya dengan Runa tetaplah yang nomor satu.
Tapi, bukan itu alasan terbesar kenapa pikirannya terasa kosong sejak tadi.
--3 orang telah mati.
“...........[Bagaimana bisa mereka menanggapi situasi seperti ini dengan mudah? Dengan belanja? Dan dengan tersenyum ini!?].”
Saat ia memikirkan hal itu, tanpa ia sadari tubuhnya merinding.
Rasa takut ketika melihat mayat Sasagawa dan Karisawa, isi perut mereka yang berhamburan ke tanah, membuat sensasi yang ia rasakan saat itu kembali.
Sekarang, seakan melihat gerbang sekolah itu di hadapannya, kedua pohon yang menjadi tempat tergantungnya mayat mereka yang terbakar dengan sangat jelas. Rasanya ingin muntah. Rasanya ia ingin berteriak dan menjerit sekeras yang ia bisa.
Tapi daripada semua itu--
Yang membuatnya merasa takut saat ini adalah karena orang-orang disekitarnya mulai menanggapi situasi ini dengan enteng, seolah tak ada hubungannya dengan mereka, dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Dalam selang hari yang hampir mencapai seminggu itu, tak ada kejadian pembunuhan yang kembali terjadi. Meski begitu, bukan berarti pembunuh itu telah tertangkap dan diberi hukuman atas perbuatannya yang setimpal.
Nyatanya, sampai saat ini, penyelidikan polisi yang sangat panjang itu, tak membuahkan hasil satupun.
Mereka belum bisa menyimpulkan apakah orang yang membunuh Sasagawa dan Karisawa, adalah orang yang sama dengan pelaku penembakan di rumah keluarga Miyashita. Sementara itu hal lain mengatakan bahwa, jika Riya dan ibunya menjadi korban dalam kasus ini, kemungkinan ia akan disingkirkan dari daftar tersangka utama. Walau belum bisa dipastikan, karena beberapa orang beranggapan, bukanlah sesuatu yang aneh jika dalam sebuah keluarga ada pertikaian atau perselisihan yang berujung kematian.
Tidak ada yang tahu, di mana letak kewarasan orang-orang tersebut.
Ketika beberapa polisi mulai menyatakan bahwa pembunuhan itu telah terencana, maka kasus penembakan itu masih sebuah tanda tanya.
Sasagawa, Karisawa, Riya dan ibunya?
Apa hubungannya?
Jika seandainya korban berikutnya adalah Itsuki, mungkin masih bisa dibilang kalau pelaku adalah seseorang yang tidak menyukai ketiga orang itu, karena mereka teman dekat dan yang jelas, ada hubungan kenapa pelaku membenci mereka.
Meskipun Riya tak disukai oleh teman-teman sekelasnya, kenapa ibunya? Kenapa tidak menunggu saat ia sendirian?
Ini sama seperti seandainya saja ada sebuah kasus, di mana 4 orang secara tak sengaja membunuh seorang teman mereka. Lalu ketika kakak anak yang terbunuh itu ingin membalas dendam, sudah pasti ia akan membunuh diantara 4 orang itu. Akan sangat aneh, kalau sampai orang yang sama sekali tak terlibat, ikut menjadi korban.
Itu masih menjadi sebuah tanda tanya yang besar.
Penyelidikan pun berlanjut. Dalam jangka waktu libur itu, mereka mendatangi rumah siswa satu per satu dan kembali menanyakan beberapa hal pada mereka, seperti,
‘Sejauh mana kalian mengenal Miyashita? Dan apa kalian ada hubungan dengannya? Atau mungkin, hubungan antara kedua siswi yang sebelumnya terbunuh dengannya?’
Dan beberapa orang akan menjawab,
‘Tidak ada hubungannya. Dia gadis yang selalu bersama dengan Takashi dan Hasegawa. Mungkin mereka berdua tahu sesuatu’,
‘Aku tidak terlalu mengenalnya karena dia tidak pernah berbicara denganku dan sebaliknya’,
‘Setahuku, dia orang yang selalu tersisihkan dari kelompok. Dia sepertinya cukup dekat dengan Hasegawa dan Takashi, walau kelihatan mereka berdua lebih sering menghabiskan waktu berdua daripada bertiga?’,
‘Dia tidak dekat dengan anak-anak lain yang satu kelas dengannya. Dia teman Hasegawa, Takashi dan juga teman masa kecil Kawada yang baru saja masuk beberapa bulan yang lalu’,
‘Seharusnya, yang membunuh Sasagawa dan Karisawa adalah Miyashita. Tapi...Karena sekarang sudah jadi seperti ini, aku juga tidak tahu siapa pelakunya’,
Seperti itulah.
Itsuki juga kali ini tak luput dari investigasi. Beberapa kali ayahnya yang seorang kepala polisi menanyakan masalah hubungannya yang buruk dengan Riya, tentang bagaimana ia membenci gadis itu karena merasa kalau ia merebut Mochida darinya. Serta bagaimana geramnya ia pada gadis itu sewaktu kedua sahabatnya terbunuh.
Akankah ada kemungkinan kalau Itsuki benar mengira pembunuh Sasagawa dan Karisawa adalah Riya, dan memutuskan untuk balas dendam?
Tak aneh memang, apalagi ayah Itsuki adalah seorang polisi, kemungkinan ia memiliki pistol di rumahnya bukanlah nol.
Tapi kemungkinan itu segera dihapus dari daftar berbagai ‘kemungkinan’ yang ada, karena pada saat kejadian, Itsuki sedang berada di kantor polisi bersama ayahnya. Ya, mereka melupakan detail penting yang satu ini sehingga hasil penyelidikan tetap nol.
Haruko, Emi, Mochida dan Runa--Meski mereka terlihat bertengkar di kantor polisi, mereka tidak mungkin melakukan pembunuhan hanya karena hal sekecil itu. Dan nama mereka pun segera dicoret.

Hingga kini, pembunuh itu sama sekali belum diketahui identitasnya.
 Tak satu orang pun seharusnya memperlemah penjagaan mereka dan keluar tanpa memperhatikan sekitar.
--Itu yang seharusnya terjadi.
Kenyataan mengatakan sesuatu yang jauh berlawanan, karena semua aktivitas berlangsung biasa bahkan beberapa orang terkesan seolah tak ada sesuatu yang sedang terjadi.
“[Ada pembunuh sadis yang bisa saja berada di tengah-tengah kita saat ini! Bagaimana kalian bisa sesantai itu!? Apa kalian semua benar-benar tidak peduli!? Jika aku menjadi mereka, bisakah aku menanggapinya dengan mudah juga? Seolah-olah aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan semua ini? Seolah-olah mereka yang menjadi korban itu bukan siapa-siapa kita? Bukannya mereka itu teman satu sekolah?! Inikah yang harus kita lakukan ketika sahabat kita meninggal dan sedang mendapat masalah? Bahkan tak satupun diantara mereka benar-benar peduli dengan kasus ini sejak awal].”
Bahkan ia bisa menemukan murid-murid satu sekolahnya di mall ini. Kelihatan sekali mereka mulai sangat menikmati waktu liburan yang cukup panjang dengan bersenang-senang. Tanpa adanya beban pikiran, bahwa musibah yang menakutkan telah menimpa 3 orang di sekolahnya. Ya, perlahan-lahan hal seperti itu akan terlupakan oleh orang-orang sekitar dan hanya akan menjadi sebuah ‘Kisah yang mengerikan’ di masa lalu.
Tak banyak siswa yang menjenguk Riya di rumah sakit, sekedar menanyakan kabar pun jarang sekali. Mungkin diantara beberapa manusia itu, ada yang benar-benar peduli dan membawakan sesuatu seperti buah atau semacamnya yang biasanya di bawa ketika mengunjungi teman kita yang sedang sakit.
Hanya beberapa pesan singkat ‘Sesuatu yang tidak menyenangkan telah terjadi, ya? Aku berharap semoga kau cepat baikkan’,yang dikirim oleh mereka.
Tapi, saat ini yang ada dipikirannya hanyalah, ada berapa banyak orang seperti itu jika dibandingkan dengan orang-orang yang tak memiliki perasaan itu.
Apakah sekarang mereka akan mengatakan ‘Beruntung dia mati karena sekarang kita bisa mendapat libur panjang dari kegiatan sekolah yang memuakkan itu’, dengan senyuman di wajah mereka?
“[Itu bahkan jauh lebih mengerikan dari pembunuh itu sendiri].”
Ketika ia berpikiran mengenai hal itu, Haruko tiba-tiba tertegun. Ekspresi wajahnya terlihat muram. Ia baru saja menyadari sebuah kesalahan yang ia buat.
“[Kalau begitu, apa yang aku lakukan di sini...?].”
Dan fakta bahwa ia sekarang ini, bisa berada di sini,
Juga membuatnya merasa sama seperti orang-orang itu. Tidak memiliki perasaan.
“[Apa jika seandainya aku memiliki waktu luang yang lebih karena ada salah seorang murid di sekolahku yang terbunuh, apa aku juga akan bersenang-senang seperti yang mereka lakukan? Pergi keluar tanpa beban dan pulang membawa 2 kantong belanjaan penuh dengan baju? Apa aku harus berpikir positif ‘Pembunuh itu sudah tak terdengar lagi kabarnya, jadi aku bisa menjalani hari-hariku dengan biasa’?].”
........................
“[Aku tak perlu bertanya kepada diriku sendiri untuk menjawab pertanyaan itu. Jika aku memiliki waktu luang sebanyak ini, maka tidak akan ada hal lain yang bisa aku lakukan selain pergi daripada terkurung seharian di rumah, memeluk lutut dan memandangi pintu kamar yang tertutup, berjaga-jaga siapa tahu akan ada orang asing yang tidak kukenal menerobos masuk dan merobek tenggorokanku dengan pisaunya yang telah berlumuran darah. Ya, mungkin pada akhirnya aku memang sama dengan mereka. Orang-orang yang aku sebut tak berperasaan. Tapi...Mungkin masih belum terlambat jika ingin melangkah keluar dari lingkaran itu...].”
Hanya satu yang ia inginkan saat ini,
“[Jika aku tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik, dan selalu mengacaukan segalanya, setidaknya, biarkan aku menjadi seorang ‘teman’ yang baik] Runa!”
“Hm?”
Mendengar namanya dipanggil, Runa mengalihkan pandangan ke arah Haruko di belakangnya.
“.........Mmm...Kurasa aku haru segera pulang.”
Ujar Haruko sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Eh, kenapa? Kau sudah ada janji?”
Mari, bertanya dengan penuh rasa penasaran, yang kira-kira, sama dengan raut muka yang dibuat oleh 3 gadis yang lain.
Haruko melemparkan tatapan ke arah mereka, lalu menoleh ke arah lain beberapa saat, hingga akhirnya ia tersenyum ke arah mereka, terutama pada Runa,
“Mhm, dengan sahabat baikku, Miyashita Riya. Aku duluan, ya!”
Ia tersenyum, berbalik, meninggalkan keempat gadis lainnya yang kini menatap dengan tatapan penuh tanda tanya.
“.......................”
***-***
“Eh? Apa yang kau katakan, Itsuki-san?!”
“Haruskah aku mengulanginya dua kali?”

Di dalam ruangan yang didominasi dengan warna biru muda itu, seorang gadis dengan rambut panjang keperakan sedang tiduran di atas tempat tidurnya dengan selimut bermotif bunga. Gadis itu adalah Itsuki Kanako, dan karena sesuatu hal, semenjak beberapa hari yang lalu, tak ada hal lain yang dilakukannya selain bermain dengan ponselnya.
Mungkin bukan bermain, lebih tepat jika dibilang ia sedang menelepon orang-orang untuk menyampaikan sesuatu.

“Habisnya, aku sedikit merasa kalau yang kau katakan padaku itu sangat tidak masuk akal. Sebelum itu, fakta bahwa sekarang ini kau meneleponku...Sudah membuatku merasa aneh...Apa ada sesuatu yang merasukimu?”

Setelah sekitar 5 menit yang lalu suara laki-laki yang terdengar, kini sepertinya yang ia telepon adalah seorang gadis, terdengar dari suaranya. Teman satu kelasnya.

“Hey, aku serius di sini. Apa butuh seorang roh untuk membantuku menyampaikan ucapan maaf?”
“Ah, ya...Mungkin tidak. Itu pasti akan sangat mengerikan.”
“Baiklah, kalau begitu, aku minta maaf atas perlakuanku selama ini padamu, Fujikawa.”
“Hee...Tapi, tetap saja, aku merasa aneh di sini. Tiba-tiba kau menghubungiku untuk meminta maaf padaku? Ada sesuatu yang terjadi?”
“..........Tidak ada. Aku hanya ingin saja.”
“Hmm...Kalau begitu, memang kau masih ingat apa yang telah kau lakukan padaku?”
“Kesalahanku padamu waktu adalah ketika aku menyuruhmu untuk membersihkan sepatuku ketika kau menumpahkan es krim ke sepatuku. Lalu bersujud untuk meminta maaf. Saat hari ketiga sekolah.”
“WO~W, tak kusangka kau masih mengingatnya. Ingatanmu benar-benar hebat, Itsuki-san. Kau tahu seberapa malunya aku saat itu? Semua orang masih membicarakannya bahkan sampai saat ini.”
Gadis itu mengatakannya.
Ia pastinya tidak tahu wajah seperti apa yang Itsuki buat saat ini, itu bisa saja membuatnya merasa kalau ini hanya main-main saja.
Tapi itu tidak sepenuhnya salah. Karena ini memang hanya main-main saja, dan bukan sesuatu yang benar-benar Itsuki ingin lakukan.
Dengan wajah kesal sambil sedikit meremas ponselnya yang berwarna hitam, pembuluh darah mulai terlihat timbul di dahi Itsuki seolah akan meledak kapan saja.
“..........[Ugh...Ini ternyata tidak semudah yang aku kira--!!!].”

Itsuki ingat jelas dengan apa yang ia lakukan pada waktu itu.
Tepat di hadapan semua siswa, ia menyuruh seorang gadis bernama Fujikawa--Dia tidak terlalu ingat siapa namanya-- yang secara tidak sengaja menumpahkan es krimnya ke sepatu baru milik Itsuki.
Dengan arogan dan tatapannya yang sombong, ia menyuruh Fujikawa untuk membersihkan es krim itu kemudian ia menyuruhnya untuk bersujud dan meminta maaf, serta memanggilnya dengan sebutan ‘Itsuki-sama’. Semua orang mulai tertawa dan berbisik-bisik, menertawakan Fujikawa yang hampir menangis dan terlihat sangat menyedihkan. Benar-benar pemandangan yang menyedihkan.
Itu pasti kejadian yang paling menyenangkan baginya, sekaligus menjadi kejadian paling memalukan bagi Fujikawa.
Tidak sampai di situ saja, sejak saat itu, setiap kali berpapasan, ia selalu secara sengaja menyenggol Fujikawa, atau mendorongnya hingga terjatuh, dan berbagai penindasan lainnya.
Ia tidak tahu kenapa, hanya saja, memperlakukan orang lain seperti itu, membuatnya merasa hebat, kuat dan juga penuh dengan kuasa dan kehormatan.

“Iya, iya. Aku tahu aku sudah keterlaluan padamu saat itu. Aku janji aku tidak akan melakukan hal buruk seperti itu lagi. Kalau kau mau, aku bisa meminta maaf kepadamu dihadapan semuanya saat sekolah!! Aku akan melakukannya!”
“Hmm...Melakukan hal seperti itu...Meh, kelihatan sangat membosankan kalau aku memaafkanmu begitu saja, Itsuki-san.”
“Mn, oke, aku akan lakukan apapun yang kau inginkan! Katakan saja!”
Ia bersikeras.
Apapun yang terjadi, ia harus bisa mendapat maaf dari gadis ini!
“Apapun?”
Nada bicaranya mulai terdengar tertarik.
Dengan cepat, Itsuki berkata ‘Iya’, sambil menganggukkan kepala, meskipun itu tidak diperlukan saat ini. Sebelum ia berubah pikiran.
“Hmm...Biar aku pikirkan sesuatu yang menarik...”
Seusai mengatakan itu, tak terdengar suara dari ponselnya.
Ia hanya bisa berharap saja, semoga itu bukan hal yang mempermalukan dirinya.
Akhirnya, beberapa detik kemudian--
“Ah~ Aku sudah menemukan sesuatu yang cocok untukmu Itsuki-san.”
Terdengar sangat bahagia.
Entah mengapa ketika mendengar itu, Itsuki justru membuat wajah kesal, yang berusaha sebisa mungkin tak ia tunjukkan lewat nada bicaranya.
“Mnn...Apa itu?”
Ia berkata dengan singkat.
Nada bicara yang terdengar ketus dan kasar akan mempengaruhi bagaimana lawan bicaramu merespon ucapanmu.
Pelajaran yang biasa ia dapatkan dari ayahnya ketika menginterogasi seseorang.
Jika kita bertanya dengan kasar, ia akan ketakutan dan tidak akan menjawab pertanyaan kita dengan baik. Sebaliknya, jika kita bertanya dengan perlahan-lahan dan lebih sabar, orang itu pasti akan lebih terbuka.
Suara tawa terdengar. Beberapa suara yang terdengar berbeda, dan sepertinya ada suara laki-laki juga di sana. Sepertinya Fujikawa sedang bersama dengan teman-temannya dan berdiskusi mengenai masalah ini.
Ia bisa merasa akan terjadi sesuatu yang sangat gawat kalau sampai teman-teman Fujikawa ikut menyumbang ide mereka.
“Jadi--“
“?”
“--Aku ingin ketika sekolah sudah kembali di buka, Itsuki-san berlari di lapangan sambil telanjang kemudian berteriak ‘Maaf’kan aku, Akiko-sama’.”
“A--Apa!!!!?? Kau jangan bercanda!! Kau suruh aku untuk melakukan hal memalukan seperti itu!!!!?? Tidak akan pernah! Lebih baik aku mati daripada harus menanggung malu sebesar itu!!”
“Hee~ Begitukah? Hmm...Kalau begitu, aku juga tidak akan memaaf’kanmu.”
“Kuh!!”

‘Aku ingin kau meminta maaf pada semua yang pernah kau sakiti. Kita tidak pernah tahu apakah pembunuh itu adalah salah satu dari orang-orang itu. Mungkin mereka membunuh Sasagawa dan Karisawa, entah kenapa, aku sedikit merasa kalau itu ada hubungannya dengan sikapmu selama ini. Hanya untuk jaga-jaga saja, buang ego-mu, dan minta maaf pada mereka!’

Yang membuat Itsuki melakukan semua hal ini, adalah perkataan Mochida waktu itu.
Sudah 5 hari berlalu, dan sampai hari ini, ia masih sibuk menghubungi satu per satu teman sekelas maupun teman satu angkatan yang pernah ia hina dan sakiti. Sebenarnya, ia bukan tipe orang yang mau melakukan semua ini, menundukkan kepala, membuang harga dirinya untuk meminta maaf atas perlakuannya kepada orang lain.
Kata menyesal tak ada dalam kamusnya. Dan ia sama sekali tak pernah menyesali apa yang ia lakukan. Bahkan ketika kata ‘Maaf’ dan ‘Aku benar-benar menyesal telah melakukan semua itu’, terlontar dari mulutnya, pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai emosi yang negatif, tidak benar-benar tulus ketika mengatakan semua itu.
Jika saja seandainya bukan Mochida yang menyuruhnya untuk ini, ia pasti sekarang sudah melakukan hal lain yang lebih berguna daripada harus mencari satu per satu nomor anak-anak itu, yang sebagian ia dapat dari Mochida, untuk menyampaikan pesan ungkapan maaf.
Sampai saat ini, sudah ada sekitar 58 anak yang ia hubungi. Beberapa dari mereka, sudah pasti akan menunjukkan ekspresi-ekspresi bodoh yang tidak penting seperti ‘Eh?’, atau ‘Hah?!’, dan beberapa mengatakan apa ada sesuatu yang terjadi. Ia bisa menebak ekspresi keheranan seperti apa yang mereka buat dengan kata-kata spontan itu, atau justru, mereka sedang menertawakan tindakannya saat ini.
Meski beberapa orang menerima permintaan maafnya, ia tidak tahu apa mereka benar tulus, atau hanya sebagai formalitas saja karena merasa tidak enak padanya.

“............[Ini benar-benar tindakan yang bodoh...].”

Ia mengatakannya.
Dalam hatinya, ia masih berkata ‘Tak ada gunanya melakukan hal seperti ini’.
Tapi,
“Oke, aku akan melakukannya...”
Sekarang sudah tidak ada pilihan lain yang bisa ia ambil. Mau dilihat dari sisi manapun juga, pilihan yang saat ini ada di hadapannya, adalah pilihan yang paling absolut.
--Meminta maaf atau mati.
Hanya itu.
Dan ia tidak ingin mati. Tidak, setidaknya tidak seperti Sasagawa dan Karisawa, dengan cara yang sangat mengerikan seperti itu--
“[Jika seandainya aku memang ditakdirkan untuk mati, aku lebih memilih minum racun, atau menyilet nadiku, daripada di bakar dan dimutilasi seperti itu...Aku tidak mau...].”
Sama seperti yang Mochida katakan, masih belum ada yang tahu siapa pembunuh tersebut.
Dan jika seandainya ia mengincar Sasagawa dan Karisawa, seperti yang ayahnya katakan padanya, bahwa masih ada kemungkinan terbesar pelakunya memang siswa SMA-XXX-.
Masalahnya, siapa yang melakukannya?
Sasagawa dan Karisawa, mati bersamaan. Pasti ada alasan kenapa pembunuh itu memutuskan untuk menghabisi mereka berdua sekaligus. Apa ini sebuah pesan? Pesan untuk Itsuki? Agar menghentikan semua perbuatan buruknya?
Apakah benar seperti itu?
Karena itu, tak ada yang bisa ia lakukan selain melakukan yang Mochida katakan padanya. Kemungkinan jika pelakunya memang menyimpan suatu dendam kepadanya, ini adalah pilihan terbaik untuk menghindari situasi terburuk.
“....................”
Selama beberapa saat sibuk dengan pikiranya, ia baru sadar kalau tak ada suara yang terdengar dari ponsel itu. Hening.
“.....................”
“.............................”
“....................”
“....Ha ha ha.”
“?”
Akhirnya, justru suara tertawa yang terdengar.
“Itsuki-san benar-benar akan melakukannya? Ah, jujur, aku tidak menyangka kau benar-benar akan setuju dengan hal itu.”
“Maksudmu? Ada hal lain yang ingin kau suruh aku lakukan? Aku terima. Apa saja, asalkan kau mau memaaf’kanku!”
“....................”
“Fujikawa?”
“Ah, iya, iya. Mmm...Baiklah...Ah, tapi, karena aku bukan tipe orang yang suka memberikan fan service pada para pria, dan lagi, jika seandainya aku punya kesempatan untuk bekerja di Kadokawa atau semacamnya, aku ingin sekali mengurangi genre anime ecchi dan juga harem, karena jujur saja, itu agak sedikit menggangguku, dan membuat citra anime dikenal sebagai film porno dan--“
“Tunggu? Apa yang sebenarnya sedang kau bicarakan di sini?”
“Ah, maaf, maaf, aku malah membicarakan yang tidak-tidak. Mnn...Jadi, ya, intinya aku memaafkan, Itsuki-san.”
“.........................Apa? Kau memaaf’kanku...? Tanpa harus melakukan hal bodoh itu? Semudah itu?”
“Mhmm, karena aku mendengar kesungguhan Itsuki-san saat kau meminta maaf padaku. Aku tak benar-benar ingin kau melakukan hal itu, tapi ketika kau menyetujuinya dan mau melakukannya, hanya supaya mendapat maaf dariku, aku hanya merasa ingin memaaf’kanmu. Terdengar sekali, kau sungguh menyesali semuanya! Itu saja.”
“..............Kenapa begitu?”
Ia bingung. Bahkan ketika mendapat jawaban yang dia inginkan, ia justru merasa semuanya sama sekali tidak masuk akal. Semua orang yang ia hubungi, hampir semuanya mengatakan sesuatu yang sama seperti ‘Eh, ya...A--Aku, aku memaaf’kanmu...’.
Terdengar sangat tidak tulus.
Tapi kenapa satu orang ini,
--Benar-benar berbeda dari yang lain? Benar-benar tulus? Bahkan mengatakan sesuatu yang benar-benar baik...?
“Hm? Aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya selalu berpikiran, semua orang bisa mendapat kesempatan untuk berubah menjadi seseorang yang lebih baik lagi di masa depan. Dan aku akan senang sekali kalau aku bisa memberikanmu kesempatan untuk berubah. Aku tidak ingin ada orang lain yang mengalami hal seperti yang aku alami., aku juga tidak ingin memperlakukan orang lain sebagaimana kau memperlakukan mereka. Karena aku tidak ingin jadi seperti Itsuki-san.”
“Ah.......”
Karena dia tidak ingin jadi sepertinya? Jawaban yang sangat masuk akal.
“Tapi, hey, aku sama sekali sudah tak mempermasalahkan hal itu lagi. Aku sendiri kaget kau masih mengingatnya. Kupikir kau adalah tipe orang yang akan melupakan semua kesalahan yang ia buat dan berkata ‘Apa aku pernah berbuat sesuatu padamu??’. Ternyata itu salah, ya?”
“..........Tidak juga...”
Meski tak terlihat dengan jelas, tubuhnya sedikit bergetar begitu mengatakan itu.
Pada kenyataannya, ia memang orang seperti itu. Walau, bukan melupakan sesuatu yang pernah ia lakukan kepada orang lain. Ia akan selalu mengingatnya, kemudian akan selalu mempermalukan orang tersebut lagi dan lagi tiap kali mereka bertemu.
Dilihat dari segi manapun, itu jauh terlihat lebih kejam.
Tapi,
“............[Tapi, kenapa orang ini justru mengatakan sesuatu yang  membuatku tidak merasa nyaman seperti ini...? Kenapa...Dia mengatakan sesuatu, seolah aku ini adalah orang baik yang terjebak dalam kegelapan...?].”
Kenapa dia mengatakan hal seperti itu?
Kenapa ia mengatakan kalau ia sudah melupakan kejadian itu? Padahal ia terlihat sangat terluka saat itu?
“.......................”
Ekspresi wajah murid-murid yang pernah ia rendahkan, satu per satu terbayang di wajah Itsuki. Semua wajah ketakutan itu, entah kenapa mulai menghantuinya satu per satu.
Apa ia benar-benar bisa berubah? Dengan semua dosa yang kini menumpuk di kedua tangannya? Dengan semua perkataan dan perbuatan buruknya, dapatkah ia berubah menjadi seseorang yang lebih baik?
Tiba-tiba saja, dirinya seolah kembali ke beberapa hari yang lalu.
Hari di mana 2 orang sahabat baiknya terbunuh, Eiko dan Kyouko...Hari di mana ia benar-benar kehilangan seseorang yang ia percayai...
“.........[Padahal saat itu, baru saja kemarinnya, kita berencana akan pergi ke karaoke bersama...Tapi--Bahkan belum sempat itu terjadi...],”
--Mereka berdua telah mati, dengan cara yang sangat tidak manusiawi.
“..................”
Ia memang memiliki banyak teman satu gang-nya yang selalu mengikutinya ke mana-mana seperti para pengawal atau bodyguard yang selalu mengikuti putri-nya. Mereka selalu tertawa bersama-sama, tapi, tak ada yang bisa tertawa bersamanya, seperti saat ia bersama dengan Eiko dan Kyouko.
Karena baginya, mereka berdua adalah sahabat yang paling dekat untuknya.
“[Mereka adalah sahabat terbaikku...].”
Sampai 5 hari telah berlalu sejak kejadian itu terjadi, di depan matanya, ia tak sekalipun ingin meninggalkan rumahnya. Jika ia memang terpaksa pergi, ia akan pergi untuk mengunjungi makam Eiko dan Kyouko yang terletak di pemakaman kota.
Ketika ia mengunjungi makam mereka dan meletakkan bunga, orang-orang yang melihatnya selalu saja menatap dengan wajah kasihan, atau mungkin ketakutan.
‘Mereka berdua masih sangat muda, masih memiliki masa depan yang panjang. Tragis sekali, hidup mereka harus berakhir dengan cara mengerikan seperti itu. Aku sama sekali tidak bisa membayangkannya’,
Mungkin itu yang sering ia tangkap dari sorot mata dan raut wajah orang-orang tersebut.
“....................”
Kini, pikirannya terbawa saat ia menghadiri upacara pemakaman Eiko dan Kyouko 2 hari yang lalu.
Pemakaman berlangsung layaknya pemakaman normal. Orang-orang menitikkan air mata. Tanda kesedihan, atau kebahagiaan yang tersembunyi, tak ada yang tahu selain orang yang meneteskannya sendiri. Tentu saja, yang paling terlihat terluka dan sedih adalah kedua orang tua mereka, yang bahkan beberapa kali tak kuat menahan semua beban ini dan berulang kali pingsan.
Ia sedang berdiri di hadapan foto kedua sahabatnya itu. Meski bukan saudara, namun karena hubungan mereka dan juga orang tua mereka yang cukup dekat, upacara pemakaman dilakukan bersamaan di rumah keluarga Sasagawa, juga menghormati kedekatan 2 sahabat baik itu.
Dan saat itulah, ia baru saja menyadari, kalau ia tak memiliki siapapun lagi yang bisa dianggap sebagai teman. Sasagawa dan Karisawa mati. Hanya beberapa siswa yang datang.
Sekarang, ketika ia merasa kesepian dan berusaha menghubungi teman-teman satu kelompoknya yang lain, mereka seolah menghilang dan tak dapat dihubungi. Tak ada satupun diantara mereka yang menanyakan bagaimana kabarnya.
Tidak ada lagi yang bisa diajak bicara, semuanya telah meninggalkannya. Ia baru mengetahui, kalau kesepian ternyata sangat menyeramkan. Tentu, mereka mengikuti dirinya bukan karena dirinya sendiri atau karena kehebatannya, melainkan karena mereka takut, jika melawan akan diperlakukan seperti orang rendahan. Bukan hal aneh kalau ternyata mereka sering membicarakannya di belakang mereka.
Sedikit, mungkin ia tahu itu. Namun tak peduli. ‘Yang penting aku bisa terlihat memiliki banyak teman di sekelilingku’, agaknya selalu menutupinya. Orang yang mengikuti banyak pengikut, akan dapat memenangkan segalanya. Tak peduli apa mereka benar-benar ‘teman’ atau bukan. Makanya ia tidak peduli. Berusaha untuk tidak peduli.
Sampai saat ini, hanya Eiko dan Kyouko, yang benar-benar menjadi sahabatnya sejak sangat lama.
Jadi, kini, ketika orang-orang mulai menghindar darinya satu per satu, atau tak mau menerima permintaan maaf darinya,
Apa dia bisa berada di posisi di mana dia bisa merasa kesal?
Jika dulu,
“[Dulu mungkin iya...].”
Dengan mudahnya, ia akan berteriak dengan keras ‘Siapa kalian bisa seenaknya memperlakukan aku seperti ini!!!?’, tanpa ragu sedikitpun. Dan semua orang, tanpa kecuali akan diam dan menutup mulut mereka.
Tapi sekarang, ketika tak ada orang lain di belakangnya yang men-support dirinya, ketika kedua orang itu terbunuh secara tiba-tiba,
“[Kenapa aku merasa kalau aku bukan siapa-siapa sekarang...].”
Seolah-olah semua kekuatan yang selama ini sudah dikumpulkan lenyap, semua perasaan hormat itu luntur.
Ia merasa berbeda. Dengan tidak adanya kedua orang itu, ia merasa lemah. Tidak ingin merasakan dan melakukan apapun.
Tidak tahu kenapa, tapi ia merasa tak bisa kesal jika mereka mulai mengatakannya sebagai ‘Gadis yang menggunakan rasa takut untuk memperalat orang lain’. Ia hanya tidak bisa.
Dan,
Tentu saja, hanya akan ada segelintir orang yang datang ke makan mereka berdua, karena pada akhirnya, mereka akan selalu di kenal sebagai anak buah Itsuki Kanako--
--Gadis yang kejam.
Mereka meninggal, dengan meninggalkan kebencian di hati orang-orang. Semua ini, gara-gara dia.
“[Rasanya berbeda...Rasanya seperti kehilangan segalanya...Aku--],”
............
“[--Memang benar-benar yang terburuk...].”

 “Yah, apapun inti dari pembicaraan yang tiba-tiba ini--“
“..................”
“--Aku hanya ingin mengatakan kalau aku sudah memaaf’kanmu. Mungkin kau melakukan ini karena kejadian yang menimpa Sasagawa dan Karisawa...Aku tidak tahu apa ada suatu motif tersembunyi di balik ungkapan maaf yang kau ucapkan padaku ini, tapi jika ini menyangkut mereka berdua, aku yakin mereka juga akan senang melihatmu berubah seperti ini. Semua orang pasti akan senang.”
“..................”
Ia tidak tahu kenapa. Hanya saja, wajah Fujikawa yang sedang berbicara dan tersenyum, terbayang di pikirannya.
Rasanya aneh. Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang ia ingin teriakkan dengan sangat keras. Jika ia tak mengatakannya sekarang, ia akan menyesal. Mungkin sangat menyesal. Jika ia tidak mengatakannya sekarang, rasanya sangat menyedihkan. Jika tidak mengatakannya sekarang, dadanya terasa sangat sesak.
“......[Kenapa aku harus mengatakannya--!? Mengatakannya pun, tak akan mengubah apapun...].”
“Jika hanya itu yang ingin kau bicarakan, sudah dulu, ya? Aku sedang bersama-sama teman-temanku, jadi--“
“Aku--
“?”
“.........Aku berani menjamin, kalau tak ada maksud tersembunyi di balik semua ini. Aku--Hanya ingin meminta maaf...Mm, kalau bisa, maukah kau juga memaaf’kan Eiko dan Kyouko?”
“..............”
“.........Halo?”
“Oh, ya?! Bukannya itu hal yang bagus!? Waa, aku terharu sekali, Itsuki-san...Hal baik kalau kau ternyata benar-benar serius mengatakannya! Tentu saja, aku juga sudah memaaf’kan Sasagawa dan Karisawa! Lalu, Mnn...Aku harap kita bisa jadi teman baik nanti.”
“..........Mmhm...”
“Aku yakin, Sasagawa dan Karisawa pasti akan sangat senang!”
“..........Ya...”

“[Aku tak peduli dengan pembunuh itu lagi. Aku ingin meminta maaf karena aku memang ingin, dan juga demi Eiko dan Kyouko. Bukan demi diriku atau siapapun].”
“[Karena aku yakin, jika sesuatu memang harus terjadi padaku],”
“[Aku yakin pada saat itu, Toru akan datang dan menyelamatkanku!].”
***-***
Rumah sakit, 20.46 P.M...
“? Takashi-san?”
Begitu melihat Haruko dan Runa berjalan ke arahnya, yang baru saja keluar dari lift, Emi terlihat agak terkejut.
Haruko melambaikan tangan ke arah gadis itu dengan senyuman tipis di wajahnya yang terkesan ragu. Ia sendiri tidak tahu, apakah ini saatnya untuk bisa membuat senyuman atau memasang wajah sedih.
“Kawada-san? Kau masih di sini? Sejak tadi?”
Ujar Haruko, yang meski nada bicaranya terdengar kaget, tapi wajahnya terlihat biasa.
Sejak 5 hari yang lalu, yang paling sering menjaga Riya adalah Emi. Karena itu, Haruko tak terlalu heran lagi jika ia menemukan gadis itu di sekitar rumah sakit.
Sementara Haruko masih terlalu takut untuk mengunjungi dan bertemu langsung, dan juga tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan Riya semenjak kejadian di kantor polisi waktu itu. Jadi ia hanya menunggu di depan kamar, tanpa melakukan apapun.
Tapi setidaknya ia bisa merasa lega.
Karena Riya baru saja kehilangan ibunya...Ia senang karena ada Emi yang mau menjaga dan selalu ada di sisinya. Ini pasti sesuatu yang sangat berat untuk dilalui olehnya.
Emi sedikit tersenyum lalu menjawab,
“Aku baru saja mau pulang. Kau, mau menjenguk Riya-chan juga?”
Emi bertanya pada mereka, yang ditanggapi Haruko dengan anggukan.
“Begitulah. Karena aku jarang mampir, dan aku masih merasa bersalah...Sejujurnya aku merasa tak pantas untuk berada di sini dan menjenguk Riya. Setelah pertengkaran kami waktu itu, aku sempat berpikir kalau Riya pasti sedang emosi, lelah dan kesal, atas semua yang telah terjadi....Mengatakan semua itu tanpa berpikir...Dan aku juga pergi tanpa berpikir...Tapi, kali ini, aku akan masuk dan mengucapkan salam. Setidaknya, aku tidak ingin lari lagi.”
Kata Haruko, dengan wajah dan ekspresi yang terlihat menyimpan kesedihan.
“Hmm...Kurasa itu ide yang bagus. Aku yakin, Riya-chan juga akan senang jika teman baiknya datang menjenguknya.”
Katanya sambil mengusap rambutnya yang panjang dengan sebelah tangan, sedangkan tangannya yang lain membawa sebuah tas berwarna coklat.
“Mmm, kuharap dia tidak marah karena selama ini aku tidak masuk dan melihatnya secara langsung. Atau semoga saja dia mau memaaf’kan apa yang aku katakan pada waktu itu...”
Haruko bicara dengan nada yang terdengar malu sambil mengalihkan pandangannya.
Emi tersenyum lalu menggelengkan kepala, dan mengatakan sesuatu seperti ‘Tidak’, kemudian kembali melanjutkan perkataannya,
“Riya-chan tidak mungkin marah. Sepertinya, dia juga sudah menunggu kedatanganmu, Takashi-san.”
“............Jadi, bagaimana keadaan Riya hari ini, Kawada-san? Apa dia sudah mau makan dengan baik? Apa dia istirahat dengan baik?”
Tanya gadis berambut hitam itu, walau ia sudah bisa menduga apa yang akan Emi katakan.
Mendengar itu, Emi hanya menghela nafas pelan.
“Masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Dia hanya mau makan sedikit. Tidak banyak yang dilakukannya selain terdiam sambil memegangi lututnya. Yah...Sesuatu yang mengerikan telah terjadi padanya...”
Emi menopang dagu dan menundukkan kepalanya, seolah sedang memikirkan apa yang dirasakan oleh Riya saat ini.
“Walau begitu...Kurasa dia akan jauh lebih tenang kalau dia mau bicara dengan kita...”
Ujar Haruko pelan.
“Haruko!”
“?”
Baik Emi maupun Haruko, segera menoleh ke belakang mereka begitu mendengar suara seseorang disertai suara langkah kaki. Sepertinya akan ada satu orang lagi yang bergabung dengan mereka.
“Haah...Hah...Setelah pulang dari mall, aku segera berlari kemari. Maaf lama...Apa--Apa kau sudah selesai menjenguk Riya...?”
“.................”
Namun, raut wajah Emi langsung berubah. Dengan sinisnya, ia menyebut nama orang itu,
“.......Hasegawa-san...”
“Hm?”
Runa, yang mendengar Emi menyebut namanya langsung tertegun. Berdiri di belakang Haruko, ia melayangkan pandangan ke arah gadis berambut panjang itu.
“Ada apa, Kawada-san? Kenapa kau melihatku seperti itu...?”
Sedikit rasa takut terpancar di wajahnya saat berbicara.
“...........Aku tidak tahu. Apa kau kemari untuk menjenguk Riya-chan juga?”
Tanya Emi dengan nada dingin.
“Eh...”
Tubuh Runa tersentak begitu ia mendengar pertanyaan itu. Ia menundukkan kepala, kemudian kembali menatap Emi dan sedikit membuat senyuman di wajahnya, yang entah tulus atau paksaan.
“Tentu saja...Mau bagaimanapun juga... Riya juga adalah sahabatku...Jadi--“
“ ‘Teman’?”
“Ukh...
Belum selesai Runa menyelesaikan kalimatnya, Emi langsung menyela sambil menyipitkan sebelah matanya.
“..................”
“.........Setelah kejadian di kantor polisi sewaktu itu, kau masih menyebut Riya-chan sebagai teman...?”
“I--Itu--“
“Kau jangan membuatku tertawa. Bahkan sejak Riya-chan di rawat di rumah sakit, kau tak pernah sekalipun datang dan menjenguknya’kan?”
“....................”
“Eh...Ah...”
Melihat ekspresi ketakutan di wajah Runa, sekaligus ekspresi kesal di wajah Emi, Haruko terus menatap bergantian ke arah mereka berdua, sambil terus berpikir apa yang harus ia lakukan. Situasi yang sebelumnya terasa baik, perlahan mulai terasa berat.
“Ah, Kawada-san,”
Haruko akhirnya memutuskan untuk setidaknya mengatakan sesuatu daripada harus terdiam dan membiarkan kedua orang itu saling menatap seperti itu. Setidaknya, harus ada seseorang yang mengendalikan situasi.

Ketika memutuskan untuk pergi dari mall dan segera menuju ke rumah sakit, Runa, memegang tangan Haruko dan menghentikannya untuk pergi.
Haruko bingung dengan sikap Runa tapi segera menjadi lega ketika akhirnya, Runa mau ikut dan pergi untuk bertemu dengan Riya setelah mereka selesai berbelanja.
Semenjak Riya di rawat di rumah sakit, tak satu kali pun Runa menginjakkan kakinya di sana. Tapi bukan berarti, ia tak pernah menanyakan kabarnya dari Haruko.
Tiap kali membicarakan masalah itu, tubuhnya tak berhenti gemetar dan terlihat sangat ketakutan, raut wajahnya langsung berubah menjadi sedih dan penuh dengan penyesalan. Hanya dengan itu saja, Haruko tahu kalau Runa merasa tidak enak menemui Riya setelah apa yang ia katakan di kantor polisi waktu itu. Ia sendiri pun, akan merasa sangat sungkan untuk bertemu dengan seorang teman sehabis mereka bertengkar sangat hebat. Apalagi mengatakan kalau ia sebenarnya sangat membencinya.
Jadi ia menganggap tindakan Runa itu sebagai sesuatu yang normal dan membiarkannya sampai ia sendiri yang memutuskan untuk keluar dan memberanikan dirinya untuk meminta maaf. Karena bagaimana pun, pertengkaran itu tak akan terjadi jika ia tak memulainya terlebih dahulu.
Dan ia tak bisa menyembunyikan perasaan senang sekaligus lega di wajahnya, ketika sahabat masa kecil yang selalu bergantung padanya itu, mau mengambil inisiatif dan meminta maaf.

Ia melanjutkan,
“Aku paham kenapa kau sangat kesal. Karena kau adalah sahabat masa kecil Riya, aku bisa mengerti kalau kau sangat ingin membelanya. Jujur saja, a--aku juga sedikit terkejut dengan perkataan Runa waktu itu.”
Kata Haruko sambil sedikit melirik ke arah Runa. Ia kemudian kembali mengalihkan pandangan ke arah Emi.
“Tapi aku yakin, kalau Runa sendiri pasti menyesal dengan apa yang ia katakan pada waktu itu. Waktu itu, kita baru saja mengalami kejadian yang sangat berat. Perasaan takut itu membuat kita tak bisa mengontrol emosi kita dan akhirnya meledak.”
“...............Benarkah...?”
Emi terdengar tidak percaya dengan penjelasan Haruko, lalu melirik ke arah Runa. Dari tatapan matanya, ia seolah berkata ‘Aku ingin dengar semua penjelasan itu dari mulutmu sendiri’.
“..................Aku...Aku selama ini memang tidak pernah menganggap Riya sebagai sahabatku...”
Akhirnya, Runa berkata dengan kepala tertunduk. Begitu kata-kata itu keluar dari mulut gadis dengan 2 twintail pendek itu, tak satu pun diantara Haruko maupun Emi yang mengatakan apapun. Mereka hanya terdiam, dan memperhatikan gadis itu.
“..........Sejak kemunculannya di SMA, sejak Haruko mendekatinya dan mengajaknya untuk berteman, aku sudah tidak menyukainya. Haruko adalah temanku satu-satunya...Dan aku tak bisa membiarkannya jauh lebih dekat lagi dengan gadis seperti Riya. Dari luar mungkin dia kelihatan biasa-biasa saja. Tapi, semakin lama aku mengenalnya, aku jadi tahu, dia itu dingin terhadap orang lain, cuek dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Dia juga selalu mengeluh dan tak pernah menyelesaikan semuanya dengan benar.”
“...............”
“.......................”
“Tapi yang paling membuatku tidak suka adalah, ketika dia bisa bersikap sangat bersahabat di dekat Haruko. Kau tahu? Menurutku itu aneh saja. Dan pelan-pelan aku mulai merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh semuanya ketika Riya berada di dekat Kawada-san...”
“Eh, maksudmu, Riya memanfaat’kan aku, begitu?”
Mendengar pernyataan Runa yang tiba-tiba itu, Haruko yang tak menyadari hal itu hanya bisa membuat ekspresi kaget di wajahnya seolah tidak percaya dengan yang ia dengar.
Runa menganggukkan kepalanya dengan lemah dan meletakkan kedua tangannya di depan dada.
“............Aku takut kalau dia hanya memanfaat’kan kebaikan hati Haruko untuk kepentingannya sendiri...Makanya aku tidak suka...Tapi...”
“...............”
Ia menghentikan ucapannya. Butiran air mata mulai terlihat di sudut kedua matanya.
“Hasegawa-san, sebenarnya seberapa rendah kau pikir Riya-chan itu? Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu.”
Emi berkata ke arah Runa, yang mulai terlihat menangis.
“.......Aku tahu itu! Sebenarnya, jauh di atas semua itu--Aku sendiri merasa iri karena kedekatan mereka berdua!! Aku tahu aku telah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan dan malah memperburuk suasana...Setelah semua ini terjadi--Aku mulai berpikir ulang, bahwa mungkin aku terlalu jauh menilainya. Setelah semua ini terjadi--Aku merasa bersalah karena telah mengatakan semua itu...! Aku benar-benar salah!!”
 “.........Runa...”
Ucap Haruko pelan sambil melihat ke arah Runa yang  kelihatan sangat menderita.
“Aku tak ingin menemuinya karena aku merasa malu dengan diriku sendiri! Bagaimana bisa aku menghadapinya setelah aku mengatakan sesuatu yang sangat mengerikan!!? Aku tidak ingin dimaaf’kan, dan aku tahu kalau aku tidak akan mendapat maaf sampai kapanpun, tapi, apapun yang terjadi, aku tetap ingin meminta maaf!! ”
“...............”
“Aku ingin minta maaf pada Riya, karena itu aku ingin menemuinya! Sebelum itu, aku juga ingin minta maaf padamu, Kawada-san. Karena aku pikir, jika aku ingin minta maaf pada Riya, orang lain yang juga harus menerima permintaan maaf dariku, adalah kau. Kau adalah sahabat masa kecilnya, aku tahu bagaimana rasanya jika sahabat baikmu di hina oleh orang lain...”
“.................”
“.......Ada waktu di mana orang-orang mengatakan sesuatu yang buruk terhadap orang yang berada di dekatmu. Dan di saat itu, hati kita juga akan merasakan luka yang sama dengan yang mereka alami. Bahkan mungkin jauh lebih menyakitkan, melihat mereka dihina, dipermalukan di depan umum...Aku tidak akan marah lagi dan membalas jika kau ingin berteriak lagi...Aku cuma mau minta maaf...Itu saja...”
“Sudah, sudah, Runa. Itu sudah cukup.”
Haruko menepuk pundak Runa sampai akhirnya gadis itu menangis lebih keras lagi.
“..............Ya...Kurasa itu memang cukup...”
Setelah cukup lama, akhirnya Emi menunjukkan sebuah senyuman yang menggambarkan perasaan lega di wajahnya, ketika ia menatap ke arah Runa.
“......Ka--Kawada-san...”
Ujar Runa, yang masih terus berusaha menghapus air matanya. Ia pasti terkejut karena setelah mengatakan kata-kata kasar padanya, gadis itu akhirnya memperlihatkan sebuah senyuman. Ia tak menyangka kalau gadis itu akan mengatakannya.
“........Teman terkadang ada untuk bertengkar. Bukannya sesuatu yang biasa? Tertawa bersama, bercanda, menangis, terluka, kemudian tertawa lagi. Justru orang-orang yang bisa melalui semua itu, adalah yang bisa di sebut sebagai ‘teman sejati’.”
Mendengar ucapan Emi, Haruko mengangguk lalu melingkarkan sebelah tangannya pada leher Runa.
“Kawada-san benar. Lagipula, persahabatan itu memang sesuatu yang unik. Justru semakin sering kita bertengkar, semakin kuat pula ikatan yang terbentuk. Saat di mana kita bisa melampaui semua itu sambil tetap mempertahankan ikatan tanpa terputus, saat itulah kita bisa tahu apakah ikatan itu benar-benar pantas dipertahankan atau dilepas.”
Ujarnya.
“.........Benar...?”
Sedikit melihat ke arah Haruko di sampingnya, Runa melemparkan sebuah kata tanya.
Dan Haruko mengangguk sekali lagi.
“Mhmm. Dan, ah, kurasa Riya tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Mm...Kurasa dia...Hanya berusaha menjadi teman yang baik saja...Ya, ada beberapa orang yang hanya mau berteman dengan seseorang yang benar-benar mau menjadi temannya. Mungkin Riya itu spesial sehingga dia bisa melihat itu. Kan...Ehm! Aku ini memang sahabat yang terbaik...”
Haruko berkata sambil menopang dagu dan bintang berkelap-kelip dapat dilihat di sekelilingnya.
“Ugh...”
Mendengar kata-kata itu benar keluar dari mulut Haruko, Runa hanya bisa melihat dengan wajah yang tak dapat dideskripsikan.
“Kalau begitu...”
“............”
Pandangan mereka berdua kini terarah pada Emi yang berbicara dengan pelan. Ia lalu berjalan, melewati mereka berdua,kemudian melambaikan tangan,
“Aku harus segera pulang. Semoga hal menyenangkan lainnya segera terjadi...Ya?”
“Hm? Sesuatu yang menyenangkan...?”
Haruko mengulangi perkataan Emi sambil meletakkan telunjuk di dekat bibirnya dan sedikit memiringkan kepala.
“Apa maksudnya...?”
Ia bertanya pada dirinya sendiri. Dan saat itu, ia menyadari kalau Emi telah menghilang di tengah kerumunan orang.
“Haruko, ayo, kita ke kamar Riya sekarang.”
Ajak Runa, memegang lengan Haruko dengan kedua tangannya, membuat gadis berambut pendek itu tertegun sesaat.
***-***
Setelah itu, mereka berdua segera menaiki lift dan menuju ke lantai 2. Lorong rumah sakit terlihat cukup sepi malam itu. Hanya terlihat beberapa orang yang sedang duduk di luar ruangan. Sepertinya menunggu keluarga mereka yang sedang di rawat. Tergambar wajah tertekan di masing-masing wajah mereka.
Tak pernah tahu, kalau ternyata menunggu seseorang itu sangat menyakitkan.
“.........Bukannya rumah sakit di malam hari sangat menyeramkan, Runa?”
“Eh..Di sini memang gelap...”
Seperti yang biasanya terjadi di dalam sebuah kisah horor yang ber-setting di rumah sakit. Lampu yan tiba-tiba redup, lorong yang seharusnya tak ada seorang pun di sana, tiba-tiba terdengar langkah kaki misterius.
Hanya membayangkannya saja, sudah membuat tubuh bergidik ngeri. Apalagi, dengan adanya kasus pembunuhan misterius itu...Apa pembunuh itu, ada di dalam rumah sakit ini?
“Mungkin lebih baik tidak usah membayangkan yang aneh-aneh...Ha ha ha...”
Haruko terdengar seperti seseorang yang sedang memaksakan dirinya untuk tertawa ketika ia mengatakan itu.
“Aku tak membayangkan apapun.”
Dan Runa membalasnya dengan singkat. Meski begitu, tangannya tak berhenti memegang lengan baju Haruko dengan erat.

Beberapa saat kemudian, akhirnya mereka sampai juga di ruangan yang menjadi tujuan mereka. Sebuah pintu berwarna antara hijau pucat dan putih, dengan angka 27 yang tertera, menyambut mereka berdua.
Yang terjadi di hari-hari biasanya, mereka berdua selalu bertemu dengan orang itu. Baik saat masuk maupun libur, setidaknya dalam waktu semenjak mereka saling mengenal, tak satu hari pun mereka lewatkan tak saling bertemu.
Baru kali ini saja, sudah 5 hari mereka tak melihatnya.
Ketika tangannya berusaha membuka gagang pintu itu, tiba-tiba saja sebuah kejadian kembali terbayang di benaknya.
Saat pertama kali bertemu--

“Kamu Miyashita’kan? Kulihat kau tak terlalu memiliki banyak teman.”
“Eh?”
“Kalau kamu tidak masalah, mau’kan, menjadi teman baikku? Teman yang selalu ada untukku?”

Pertama kali, dia yang mengajaknya untuk berteman. Apa dia sudah menjadi teman yang baik? Atau sebaliknya?
Ia setidaknya sedikit sadar kalau ia memang lebih sering menghabiskan waktu dengan Runa. Mau bagaimana pun, ia jauh lebih lama bersama Runa, sejak mereka masih sangat kecil. Mereka sudah tahu kelemahan dan sisi negatif masing-masing. Tapi itu bukan berarti ia tak mau membuang waktu dengannya. Ia benar-benar mau berteman dengannya.
“[Karena bagaimanapun...Sejak awal aku yang sudah memulainya...Jadi...].”
Seandainya ‘itu’ tidak terjadi,
“[Apa yang aku pikirkan? Bukan waktunya untuk memikirkan hal itu...].”
“Haruko, wajahmu pucat?”
“Oh...”
Ia tiba-tiba tersentak kaget ketika gadis di belakangnya menyebut namanya. Ia kemudian tersenyum, berusaha membuat kesan seolah ia baik-baik saja.
“Tidak, aku baik. Hanya agak gugup. Aku sudah membicarakannya dengan Kawada-san tentang ini dan dia bilang Riya akan sangat senang kalau aku bisa datang menemuinya. Tapi tetap saja, aku agak takut.”
Ia berkata sambil menggaruk rambutnya yang pendek. Sebelah tangannya masih memegang gagang pintu.
“....................”
Mendengar itu, Runa, menundukkan kepala sambil kembali terlihat sedih.
“Aku yang salah, tapi kenapa malah kamu yang takut...?”
Ujarnya.
“Memangnya kamu tidak takut?”
“T--Tentu saja aku takut! Kan aku yang mengatakan semua hal buruk itu, menghinanya habis-habisan dan berkata kalau dia itu pembunuh! Tapi, ya, setelah kejadian ini, aku tahu kalau bukan dia yang salah dan aku menyesal!! Walau begitu, fakta bahwa aku berkata seperti itu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun! Kau sendiri, apa yang kau katakan? Kau tidak mengatakan sesuatu yang berat’kan? Makanya aku tanya, kenapa kau takut?”
“....................”
Ia hanya terdiam dan menatap ke arah Runa seusai mendengar pertanyaan itu, kemudian mengalihkan pandangannya ke gagang pintu yang tanpa ia sadari terus ia sentuh sejak tadi.
“..........Karena aku meninggalkannya...”
“Meninggalkannya?”
“Karena waktu itu, aku--Pergi tanpa melihat ke arahnya sedikit pun. Aku mengeluarkan kata-kata dingin yang tersimpan kekejaman di dalamnya. Aku meninggalkannya...Padahal aku temannya--! Harusnya aku--Bisa tetap bersama di sisinya...Menemaninya saat masalah yang besar menerpanya. Tapi, aku malah membalikkan tubuhku...”
“................”
Haruko menghentikan perkataannya dan menundukkan kepala. Beberapa saat setelahnya, ia mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis ke arah Runa,
“Aku ini--Memang benar-benar yang terburuk...”
“Haru--“
Dan tepat saat itu,

KRIIIET

“Ah!?”
Haruko tertegun, begitu menyadari seseorang dari balik pintu menggerakan gagang pintu, dan membukanya.
“.....................”
Hanya dalam hitungan detik, pintu tersebut, terbuka.
“................”
Dari dalamnya, muncul seorang gadis, dengan rambut pirang panjang.
“..............Riya.”
“Haruko...Runa...?”
“Riya! Kau baik-baik saja!?”
Haruko, yang masih sedikit terkejut karena kemunculan Riya yang tiba-tiba itu, langsung mendekatinya dan memeluknya. Sementara Runa, masih berdiri di tempatnya.
“...................”
“Ah...Aku senang sekali...Karena pada akhirnya aku bisa bertemu lagi...”
Ucap Haruko dengan perasaan lega bercampur senang. Rasanya seperti semua peraaan yang ia simpan selama ini, telah keluar dan terbang ke lagit, membuat tubuhnya serasa lebih ringan.
Seperti bisa melakukan apapun yang ia inginkan, dan kata-kata itu keluar dari dalam mulutnya secara alami.
Ia lalu melanjutkan,
“Maaf karena aku baru bisa datang menjengukmu sekarang...”
“.................”
“Aku--Aku merasa sangat bersalah padamu...Atas apa yang aku lakukan di kantor polisi waktu itu...Atas semua perkataanku padamu...Lalu...”
“Mmm...”
Ketika Haruko tiba-tiba mengalihkan pandangan kepadanya, Runa tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertegun. Ia lalu tertunduk dengan wajah penuh dengan penyesalan.
Haruko memperhatikan Runa untuk sesaat, kemudian melepaskan dirinya dari Riya. Ia lalu menatap ke arah gadis itu, yang aneh, ia tak seperti balas menatap dirinya meski mata mereka saling bertemu.
“........Atas apa yang Runa katakan padamu...Aku minta maaf atas semuanya...”
“........................”
“Runa sudah menjelaskannya padaku. Semua yang dia rasakan. Semua yang ia pikirkan tentang dirimu, ia sudah memberitahukan semuanya padaku tanpa kecuali. Runa memang membencimu...”
Haruko mengatakan ini, dan saat itu, bahu Runa bergetar ketika mendengarnya. Rasanya aneh, ketika memberitahu seseoang bahwa kau membenci mereka.
“.................”
“Meskipun begitu, dia menyesal setelah mengetahui semua kejadian ini menimpamu. Dia menyesal atas kematian ibumu...Dia menyesal atas semuanya...”
“....................”
“Aku pun...”
Sambil berkata seperti itu, Haruko meletakkan kedua tangannya di pundak Riya tanpa melihat ke arah wajahnya, dan justru menatap ke arah lantai.
“Aku pun sangat menyesal, dan merasa sangat malu untuk berhadapan lagi denganmu. Seorang teman, tak seharusnya melakukan sesuatu yang aku lakukan. Karena itu, bagaimana kalau kita mulai semuanya dari awal lagi...”
Kemudian mengangkat wajahnya, memberikan sebuah senyuman,
“Sebagai seorang ‘sahabat’. Kali ini, benar-benar ‘sahabat’.”
“........................”
“........Riya?”
“..........Sudah selesai...?”
“?”
Riya, akhirnya setelah sekian lama membuka mulutnya dan membuat suara. Namun yang membuat Haruko terkejut adalah, ekspresi suram yang dibuat oleh gadis itu. Sangat terlihat menakutkan.
Dengan pelan, Riya melepas tangan Haruko dari bahunya, kemudian berkata,
“............Apa yang kalian berdua lakukan di sini...? Pergi dari hadapanku sekarang...”
“............Eh...?”
“Pergi atau--“
“!!?”
“Ha--Haruko!”
Baik Haruko maupun Runa, tak ada yang tak terkejut ketika melihat apa yang sedang ada di hadapan mereka saat ini.
Dan sekali lagi, dengan nada yang sangat dingin, Riya membuka mulutnya dan berkata--
“Seperti yang sudah aku katakan waktu itu--“
“..................”
“Akan kubunuh kalian berdua di sini.”
--Kemudian mempertunjukkan sebilah pisau tajam di tangannya, tepat di hadapan mereka berdua.
***-***


A/N : Halo, minna XDD
HTMF chapter 9! Cerita diawali dengan ending dari ch8 HTMF Vol.1, di mana si Riya berusaha menelepon Mochida, tapi Mochida-nya malah ngga sadar//gimana sih Mochida?!

Hatsui: Miyashita pasti kecewa banget kalau tahu ternyata Mochida ngga dateng, padahal dari nomornya Takashi ama Hasegawa, dia malah menelepon Mochida yang dia benci...

Itu karena Riya baru aja berantem hebat sama Runa dan Haruko...//Dia ngga punya nomor telepon temen yang lain karena ngga deket...

Hatsui: Tapi kalau nomor telepon, ada Kawada juga’kan?

Hn?! Oh ya. Mm...Mungkin Riya pikir Mochida bisa nolong dia, karena bahaya kalau Emi sampai dateng.

Hatsui: Intinya, dia cuma mau mengobankan Mochida aja’kan!? Jahat banget!!!

Di cerita dengan tema pembunuhan spt ini, ngga ada chara yang bener-bener baik.

Hatsui: Tapi--Aku baru sadar kalau Miyashita suka Haganai?

Riya’kan emang suka komedi. Dia juga baca Baka to test.

Hatsui:Dia baca Kagerou Days juga.

Itu karena ceritanya emang bagus, menarik dan cowoknya keren-keren.

Hatsui : Dari vol.1, kayaknya dia juga baca Shakugan no Shana//yang 22 volume LN itu.

SnS kan bagus bgt emang. Anggap saja, Riya itu bukan tipe orang yang mempermasalahkan genre. Asal cerita menarik, dia pasti suka!

Hatsui: Sebenarnya itu kamu’kan? Di awal cerita kali ini...Kelihatan Miyashita yang nampak stress berat...Makan tak habis, ucapan Kawada sama sekali nggak digubris. Aku kasihan liatnya...Terus, waktu Mochida mau dateng, eh, Kawada malah ngusir...

Emi hanya berusaha menjadi sahabat yang ‘sempurna’ sesuai keinginan Riya. Itu berarti, dia bakal menjauhkan siapapun yang menyakiti Riya. Bahkan mungkin hanya karena salah kecil//Emang Mochida salah, ya?

Hatsui: Orang-orang kelihatannya juga mulai ngga peduli sama pembunuhan itu. Pembunuhnya belum ketemu, tapi bener kata Takashi, mereka malah terkesan ngga peduli. Kayaknya, kalau bukan mereka yang kena, orang-orang itu ngga akan pernah benar-benar peduli sama yang jadi korban. Tapi aku senang lihat Takashi yang mau ketemu Miyashita! Nampaknya, Takashi itu orang yang baik bgt deh. Sedangkan Hasegawa...Aku ngga tahu dia itu baik, egois, atau sikapnya itu palsu?

Sejak awal, Riya sendiri udah sadar’kan kalau yang mau temenan sama dia cuma Haruko? Sedangkan Runa cuma pura-pura berteman dengannya, dan berusaha menjauhkan Haruko.

Hatsui: Terus si Itsuki--Ngga ada angin ngga ada hujan, dia minta maaf ke semua murid yang dia udah bully? Kasian lagi si Fujikawa itu...Di suruh sujud juga...Jahat banget si Itsuki...Udah gitu, minta maafnya cuma gara-gara disuruh ama Mochida! Ngga ada tulus-tulusnya, mending ga usah dimaafin, Fujikawa!

Tapi Itsuki udah sadar dikit-dikit loh. Gara-gara kedua sahabatnya meninggal, dia jadi takut kalau berikutnya dia yang bakal kehilangan nyawa, dan itu bikin dia pelan-pelan sadar kalo dia salah.

Hatsui: Jadi harus Sasagawa ama Karisawa mati dulu baru dia sadar?

Mn...Ngga gitu juga sih//kejam amat. Intinya, dengan adanya kejadian itu membuka mata Itsuki atas apa yang selama ini telah ia lakukan. Ingatannya kembali di refresh, dia juga sadar kalau sebenarnya dia ngga punya banyak temen karena beberapa anggota gang-nya dia, mengikuti dia karena takut. Dia minta maaf sama Fujikawa, awalnya emang ngga tulus. Tapi akhir-akhir dia bilang kalo ngga ada motifnya. Dan yang pikirannya semakin terbuka gara-gara ada kasus ini bukan cuma Itsuki aja. Meski gitu, dia kayaknya tetep ngga terlalu suka ama Riya deh...
Sejak awal, Itsuki itu emang ngga terlalu penting, jadi ngga ada adegannya dia nge-bully si Riya atau murid-murid lain secara langsung//plaak.

Hatsui:Terakhir--Apaan itu bagian terakhirnyaaa!!? Si Miyashita serius mau nge-bunuh Hasegawa ama Takashi!!? Jangan Miyashitaaa!!! Mereka udah serius mau minta maaf dan berteman lagi denganmu! Turunkan pisau itu!! Ah!! Aku butuh next chapternyaaa!! Apa yang akan terjadi, ya!?

Sayang sekali, next chapternya kita ngga akan membahas bagian ini.

Hatsui: Ha? Terus--Ch berikutnya isinya apaan?

Di ch10, kita akan mundur ke beberapa hari yang lalu, ketika Sasagawa dan Karisawa masih hidup. Ini, adalah cerita tentang malam terbunuhnya kedua sahabat itu.


Next Chapter :

Aku Melihat Seseorang Yang Seharusnya Tak Ada Di Sana



Visit : DA
          Ngomik
 


Author,
Fujiwara Hatsune




Tidak ada komentar:

Posting Komentar