*Read : Chapter 9 HTMF Vol.1
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Epilogue
Chapter 9 Aku Memang Benar-Benar Yang Terburuk
BEEP
BEEP
Tersambung?
“Halo?”
Suara yang
sangat familiar itu, terdengar. Biasanya ia selalu benci ketika mendengar suara
itu, biasanya ia selalu kesal dan muak.
Tapi--
“A--“
“Halo? Siapa ini?”
--Sekarang
justru ia begitu sangat ingin mendengarnya seolah ini adalah yang terakhir
kali.
“Mo--“
“ya? Maaf aku tidak bisa mendengarmu. Kau
bicara apa?”
“M--“
--Ponsel itu
terlepas dari genggamannya.
“Halo? Halo? Maaf, ini siapa? Apa ada
sesuatu?”
Suara dari
ponsel itu terus terdengar, meski tak ada suara yang membalas.
Bahkan sampai
di saat yang terakhirpun, Suaranya tak bisa menggapainya. Tak tersampaikan
kepadanya di jarak yang begitu jauh.
“....................”
Sampai pada
saatnya--
--Kesadaran
yang tersisa itu--Akhirnya berakhir juga...
“...............................................................................--“
“--[Mochida...].”
***-***
“Riya-chan,
coba lihat! Hari ini aku bawakan buku ‘Boku
wa Tomodachi ga sukunai’ yang kau inginkan beberapa minggu yang lalu! Mungkin kau ingin membacanya sekarang...?”
“....................”
“.......Aku...Aku
letakkan di sini saja kalau begitu. Sudah ku baca beberapa halaman, dan seperti
yang kau ceritakan, novel ini memang sangat menarik! Riya-chan ternyata sangat
tertarik dengan cerita bergenre komedi, ya?”
“....................”
“.........Kemarin
aku juga mengecek ke toko DVD dan menemukan anime-nya. Kalau kau mau, setelah
kau keluar dari rumah sakit, kita bisa menontonnya bersama-sama.”
“.......................”
“...........Ah,
aku juga bawakan sarapan untukmu. Mau makan sekarang?”
“...............................”
“......................”
“.....................................”
“...........Riya-chan,
berhentilah memasang wajah seperti itu dan katakan sesuatu agar aku benar tahu
kalau kau baik-baik saja.”
“.....................”
“.........
Sudah hampir 3 hari kau terus seperti ini. ..........Mungkin, kau kesal karena
aku seolah tidak peduli akan kondisimu dan justru sambil tersenyum dan
riangnya, aku malah membicarakan sebuah buku, yang mungkin saat ini tidak
penting untukmu. Tapi aku melakukan semua ini untukmu! Aku tidak ingin kau
terlihat sedih dan menderita seperti ini, jadi aku berusaha untuk menghiburmu!
Aku tidak tega melihatnya...”
“....................”
“........Ya,
aku memang tidak mengerti bagaimana perasaanmu saat ini, karena bagaimanapun
juga, bukan aku yang kehilangan...”
“...................”
“.....Tapi--“
“.......................”
“--Aku,
benar-benar takut. Aku benar-benar takut kalau...Kalau kau--Terbunuh oleh orang
itu! Aku sama sekali tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi!! Aku--Aku
tidak ingin kehilangan Riya-chan!! Dan, aku merasa bersalah karena tidak bisa
melindungimu dari pembunuh itu! Harusnya aku tahu dia masih berkeliaran!
Harusnya tak kubiarkan kau sendirian bersama ibumu saja! Harusnya aku ikut
masuk ke rumahmu, dan menemanimu lebih lama lagi...Dan bisa mencegah hal
mengerikan ini untuk terjadi...Melindungimu dan ibumu...”
“...................”
“.....Maaf...Aku
tidak datang tepat waktu pada saat itu. Maaf, aku membiarkan semua ini terjadi.
Maaf, padahal aku sudah bilang akan selalu ada di sisimu, akan selalu menjagamu,
tapi pada akhirnya, baik ada diriku maupun tidak, itu sama sekali tidak ada
bedanya. Tidak ada artinya.”
“......................”
“Meski begitu,
ijinkan aku untuk berjanji satu hal. Pembunuhan ini...Semua kejadian baik yang
telah menimpa Sasagawa maupun Karisawa--Itu semua sudah direncanakan!! Dan aku
sungguh tidak percaya, kalau ternyata ‘dia’ juga menyerangmu! Sahabat baikku!
Dan itu berarti, secara tidak langsung, ikut mengibarkan bendera perang
kepadaku! Karena itu, aku janji, kalau aku bertemu dengannya--Bertatap mata
dengannya sekali lagi--“
“.................”
“--Aku tidak
akan melepaskannya untuk yang kedua kalinya. Tidak akan. Aku janji padamu.”
“Ah,
Kawada-san, hari ini kau datang seperti biasanya, ya?”
Seorang dokter
wanita berkacamata, tiba-tiba masuk ke dalam ruangan, dan membuat Emi yang
sedang terduduk di kursi dekat tempat tidur Riya tertegun.
Dengan cepat,
Emi segera memasang wajah tersenyumnya yang biasa.
“Iya,
Kashiwagi-san. Hari ini aku membawakan buku untuk Riya-chan. Supaya dia tidak
bosan.”
Jawab Emi,
sedikit tersenyum malu.
Kashiwagi-san
membuat senyuman tipis di wajahnya ketika mendengar jawaban dari gadis berambut
panjang itu. Sambil mendekat ke arahnya, ia berkata,
“Kau sahabat
yang sangat perhatian, Kawada-san. Aku yakin, Miyashita-san sangat senang bisa
punya sahabat yang peduli padanya sepertimu. Apa dia sudah mau makan sesuatu?”
Tanyanya.
Emi menggeleng
pelan.
“Belum.
Kalaupun mau, pasti hanya sedikit sekali. Aku khawatir dengan kondisi
Riya-chan.”
Ia berkata,
meletakkan sebelah tangannya di pundak Riya, yang dari tadi, terus duduk sambil
memeluk erat lututnya itu, menyembunyikan wajahnya.
“Tapi walau
begitu--“
“?”
“Riya-chan
sama sekali tidak menangis.”
“...............”
‘Maaf,
Miyashita-san. Tapi kami tak dapat menyelamatkan nyawa ibumu’,
Kata-kata itu
disampaikan oleh Kashiwagi-san, beberapa saat setelah Riya membuka matanya. Ia
sebenarnya ingin menunggu beberapa waktu lagi sebelum menyampaikan hal itu.
Bagaimana pun juga, ini adalah sesuatu yang sangat berat, dan akan menghambat
pemulihan kondisi Riya, semakin memperburuk suasana hatinya.
Namun entah
mengapa, ia langsung mengatakannya saat gadis itu menanyakan keberadaan ibunya.
Ketika itu,
tergambar kekhawatiran yang tidak dibuat-buat di wajah gadis berambut pirang
itu. Ia benar-benar ingin bertemu ibunya dan mengetahui kondisinya. Meskipun ia
belum diperbolehkan untuk meninggalkan tempat tidur, tapi ia bersikeras untuk
pergi ke kamar ibunya, apapun kondisinya.
Saat itulah
kata-kata itu melayang sampai ke kedua telinganya. Kata-kata yang kejam dan
sebisa mungkin berharap bahwa itu hanyalah sebuah lelucon buruk.
Tapi, tak ada
satu pun orang di dunia ini, yang bahkan berani bercanda mengenai kematian.
Tidak ada satu orang pun yang boleh bermain-bermain dengan kematian atau
mempermainkan kematian.
Maka dari
itu--Apa yang diucapkannya, itu adalah sesuatu yang benar.
Tak ada kata
yang keluar, bahkan ungkapan terkejut seperti ‘Apa’, atau ‘Tidak mungkin’.
Reaksi khawatir yang ia tunjukkan sebelumnya menghilang. Berganti dengan tatapan
mata kosong yang terbuka lebar, yang telah kehilangan segalanya di dunia ini.
Tubuhnya tak
bergerak sedikit pun, seolah ia telah terkena sihir kutukan dan menjadi patung.
Siapapun tak
dapat membaca apa yang ia pikirkan saat ini. Dan walau mungkin memang sudah
terlihat dengan sangat jelas, tetap saja mereka tak bisa melihat langsung ke
dalam kepalanya.
Diam.
Hanya itu yang
ia lakukan.
Kesedihan yang
amat besar dan kehilangan yang tiba-tiba.
Itu yang ia
rasakan.
Air mata.
Itu yang tak
ia perlihatkan.
“Yah...Dia
gadis yang kuat...Atau kira-kira seperti itu...”
Ujar
Kashiwagi-san.
Walau hanya
melihat sekilas, Kashiwagi-san bisa melihat eskpresi khawatir di wajah Emi.
Beberapa saat kemudian, Emi tertegun dan mengatakan sesuatu seperti ‘Ah, hari
ini aku harus membantu membereskan rumah’, dan segera beranjak dari kursi.
Mengatakan
‘Aku harus segera pulang’ dan ‘Semoga kau cepat sembuh’ kepada Riya, yang
bahkan tak memberikan sebuah respon meski hanya sebuah anggukan kepala,
wajahnya sedikit terlihat kecewa, namun ia berusaha menyembunyikannya di balik
sebuah senyuman tipis.
Ia mengerti,
semua ini butuh waktu dan tidak bisa terjadi secara instan dan begitu saja.
Bagaimanapun juga, kehilangan yang dialami sahabat masa kecilnya itu, terlalu
besar dan pasti akan menimbulkan luka yang akan sangat membekas di hatinya
dibandingkan dengan luka yang dialaminya secara fisik.
Emi memandangi
Riya sejenak, lalu ketika ia berdiri di hadapan Kashiwagi-san, Emi
membungkukkan tubuhnya, lalu mengucapkan selamat tinggal sebelum akhirnya
beranjak pergi.
Menutup pintu
ruangan berwarna putih dengan pelan, Emi bersandar di pintu tersebut, lalu
menghela nafas dengan pelan. Bersamaan dengan saat ia ingin kembali
melangkahkan kakinya--
“Kawada-san.”
“.............”
Pandangan mata
Emi, mengarah ke arah sumber suara yang kini sedang berjalan ke arahnya. Sosok
yang tidak asing lagi, kini telah berdiri di hadapannya.
Ia tak
mengatakan apapun ketika kedatangan pemuda itu sedikit membuatnya terkejut.
Yang ada, hanyalah tatapan mata tanpa emosi. Meskipun begitu, tetap nampak
seperti ekspresi dingin yang terlihat sangat kejam.
“.............”
“...................”
Menangkap raut
muka gadis itu, yang seolah berkata ‘Apa yang kau lakukan di sini!?’, pemuda
dengan rambut kecoklatan itu, Mochida Toru, ia bisa menangkap kekesalan di
wajah Emi.
Tidak
mengatakan apapun, Mochida hanya menundukkan kepala dengan ekspresi tertekan di
wajahnya. Ia lalu terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan
sedikit pandangannya ke arah Emi di hadapannya.
“.........Bagaimana...Keadaan
Miyashita hari ini...?”
“...........Bukan
urusanmu, Mochida-kun.”
DEG
Itu tadi
benar-benar sangat dingin.
Mampu membuat
hawa dingin itu masuk dan menjalar ke seluruh tubuh Mochida ketika ia tersentak
ke belakang.
“...............Aku--Aku
hanya ingin tahu...”
Ia kembali
berbicara, namun Emi segera menyelanya,
“Tidak ada
yang harus kau ketahui. Sejak awal, kau sama sekali tidak peduli pada
Riya-chan’kan? Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Jangan buang-buang waktumu,
dan pulanglah.”
Berkata
seperti itu, sekali lagi Emi memberikan sentuhan hawa dingin yang amat sangat
pada tubuh Mochida sambil meletakkan sebelah tangannya di pinggang, tak
beranjak dari tempatnya berdiri.
Mochida
sedikit merasa ketakutan, tapi ia tidak ingin menyerah di sini, dan terus
mendesak Emi.
“I--Itu tidak
benar, Kawada-san! Aku--Aku sangat peduli pada Miyashita!! Aku merasa, kau tahu
akan hal itu--!! Kalau ada satu orang yang benar-benar khawatir akan
keadaannya, sudah pasti itu adalah aku!”
“KALAU
BEGITU KENAPA KAU TIDAK DATANG!!!?”
“!!!!?”
“KENAPA KAU
TIDAK DATANG KETIKA RIYA-CHAN MEMBUTUHKANMU!!!!?”
“........A--Aku...”
Teriakan Emi,
membuat sebuah hantaman keras yang terasa menyakitkan pada tubuh Mochida,
seolah dia diserang menggunakan pipa besi, atau sesuatu yang lebih berat dari
itu yang bisa langsung meremukkan seluruh tulang di tubuhnya.
Ia ingin
mengatakan sesuatu seperti ‘Itu semua tidak benar’, hanya saja,
Memang dia
benar-benar tidak datang pada waktu itu...
“Aku pikir kau
orang baik! Aku pikir, kau bisa menjaga Riya-chan, dan aku bisa
mempercayakannya di tanganmu, Mochida-kun!! Tapi--“
Emi
menghentikan perkataannya, kedua tangannya yang mengepal mulai gemetar. Ia lalu
melanjutkan,
“--Tapi
ternyata aku salah! Selama ini, aku sudah salah menilaimu!! Bahkan Riya-chan
yang selalu bersikap mengacuhkanmu itu--Mengharapkan kehadiranmu di sisinya
pada waktu itu!!! Yang kau lakukan hanyalah menghianatinya!! Kau monster!!!”
“Tenang,
Kawada-san! Aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu!! Aku--Aku tidak tahu
jika yang menghubungiku adalah Miyashita! Seandainya aku tahu--Seandainya aku
tahu itu dia--Aku pasti, akan segera datang tanpa harus memikirkan hal lain!!!”
Teriak
Mochida, membalas semua ucapan Emi padanya.
“Bohong!!! Kau
tidak mungkin datang!! Sekarang aku ragu, apa kau benar-benar--Benar menyukai
Riya-chan, seperti yang selama ini selalu tergambar di gerak-gerikmu itu,
karena sekarang kau terlihat seperti seorang pemuda yang selalu mempermainkan
perasaan orang lain!”
“Aku bukanlah
orang seperti itu!! Aku tidak pernah--“
“Ketika
Riya-chan membutuhkanmu, saat dia mulai menaruh semua perasaannya padamu, ke
mana kau pergi dan justru menghilang seperti bayangan!!!?”
“...............Aku--“
GREP
Tanpa
peringatan terlebih dahulu, tangan Emi yang terasa dingin menarik kerah kemeja
berwarna putih yang dikenakan oleh pemuda itu.
“..................”
“Meski aku
bisa menyelamatkan Riya-chan--ORANG YANG IA INGIN ADA DI SISINYA ITU BUKAN AKU!!!”
“!?”
“TAPI
KAU!!!”
“....................”
“Saat di bawa
kemari, saat dia masih sedikit sadar--Bukan namaku yang ia sebut berulang kali,
bukan aku yang ia harapkan ada di sana!!--TAPI NAMAMU!!!”
“!!?”
“Jika--Jika
seandainya kau datang--Jika saja seandainya kau datang pada waktu itu--!!!”
“.......................”
“Jika kau--Ah!
Sudahlah, tidak ada gunanya mengatakan semua ini!”
Tubuh Mochida
terdorong ke belakang, ketika Emi, dengan kasarnya melepas tangannya dari kerah
kemeja Mochida dengan sedikit memberikan dorongan.
“.............”
Merapikan
bagian kerahnya, tak satupun kata yang keluar dari mulut Mochida.
Atau, sebenarnya ia ingin mengucapkan sesuatu,
namun rasa bersalah yang bersembunyi di bagian terdalam dari dirinya,
membuatnya menerima saja apa perlakuan Emi padanya. Termasuk jika gadis itu
ingin menampar wajahnya, ia tak akan mengatakan apapun selain diam.
Jika
seandainya pun Emi tak melakukannya, ia sendiri akan memukul dirinya
berkali-kali di depan cermin, sehingga ia bisa melihat wajah seperti apa yang
ia buat. Wajah terluka seperti apa yang Riya buat.
“............”
“......................”
Tak ada yang
kembali berbicara pada detik berikutnya.
Sampai pada
saat Emi, berjalan mendekati Mochida, dan mengangkat jari telunjuknya tepat di
hadapannya.
“Sudah tidak
ada gunanya lagi kau berada di sini, Mochida-kun. Pergi, dan jangan pernah
tunjukkan wajahmu lagi di hadapan Riya-chan. Mulai sekarang, aku yang akan
melindunginya dengan kedua tanganku sendiri! KAU MEMANG TEMAN YANG TERBURUK!!”
Setelah
mengatakan semua itu, Emi berjalan cepat melewati Mochida, membuat rambut
panjangnya berkibar diiringi oleh suara ‘Tap’ ‘Tap’ ‘Tap’.
“....................”
Menoleh ke
arah Emi pergi dan sosoknya yang mulai menghilang di koridor itu, Mochida
terdiam sejenak. Berbagai macam pikiran mulai melayang-melayang di kepalanya.
Ia tahu Emi
merasa sangat kesal padanya. Sudah seharusnya bagi seorang sahabat untuk merasa
kesal kepada orang yang menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan temannya.
“...Ah...Benar-benar...”
Menghela
nafas, tubuh Mochida bersandar pada dinding, kemudian jatuh dengan lemasnya.
“Akan lebih
baik kalau dia memukulku saja...”
Tepat pada
sore hari itu, suara tembakan terdengar.
Semua orang
yang waktu itu baru saja pulang dari kantor atau tempat kerja mereka dan sedang
bersantai, tiba-tiba saja dikejutkan oleh suara keras yang bergema di telinga
mereka.
Dengan cepat,
bercampur dengan perasaan khawatir dan was-was juga takut, mereka segera
berhamburan keluar dari rumah.
‘Apa seseorang
baru saja terbunuh lagi!?’
Mungkin itulah
yang ada di benak semuanya pada waktu itu.
Pembunuhan
sadis yang terjadi pagi hari tadi--
Ada 2 mayat tergantung dengan perut mereka
yang terbelah sehingga isi perutnya berhamburan keluar.
Tubuh mereka hampir hangus, seolah habis
dibakar dengan api.
Dan suara
tembakan yang tak direncanakan itu--
Seolah membuat
sebuah kesimpulan yang mungkin terkesan terburu-buru, bahwa--
Sebuah
pembunuhan telah kembali terjadi dalam satu hari yang sama!
Saat semua
orang mencari sumber suara itu, beberapa dari mereka ada yang terlihat
ketakutan, takut-takut jika pembunuh itu masih ada di sekitar wilayah mereka
dan bisa saja menembakkan peluru secara membabi buta, dan memutuskan untuk
hanya melihat dari balik pagar rumah mereka.
Untuk mereka
yang memiliki setitik rasa keberanian berselimut rasa penasaran, mungkin juga
geram terhadap si pelaku, memberanikan diri mengecek keadaan sekitar tanpa
sedikitpun mengurangi penjagaan terhadap diri mereka sendiri.
Apa itu benar
suara tembakan?
Apa seseorang
benar-benar kembali terbunuh di sini?
Atau--hanya
suara tembakan saja yang terdengar tanpa jatuh korban?
Dan diantara
orang-orang yang berkeliaran tanpa arah itu--Emi ada diantara mereka.
Wajahnya
terlihat pucat dan ketakutan. Dengan nafasnya yang terengah-engah, ia berlari,
menyusuri setiap sudut, berharap bisa menemukan ‘sosok’ misterius yang diduga
oleh semua orang sama dengan pelaku pembunuhan pagi hari tadi di SMA -XXX-.
“Tidak ada di
sini!”
Bersamaan
dengan kedua matanya tak menangkap sosok apapun yang mencurigakan dengan pistol
atau senapan, ia menyipitkan kedua matanya dengan raut muka kesal.
“Di mana dia
bersembunyi!?”
Hanya manusia
biasa, tak mungkin bisa berlari secepat itu!
Lalu, tepat
pada saat ia berbalik--
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!”
Suara--Sebuah
teriakan terdengar.
“Ada apa!!?”
Semua orang
mulai berkumpul di satu titik, di mana mereka mendengar suara teriakan yang
sepertinya milik seorang wanita itu. Emi yang terkejut mendengar teriakan
tiba-tiba itu, juga mulai bergerak mengikuti ke mana arah semua orang menuju.
“Di rumah
itu--!!”
“Rumah--Bukannya
itu rumah keluarga Miyashita!?”
“!!!!!?”
Miyashita?
Ketika nama
itu sampai ke kedua telinganya, Emi bisa merasakan, jantungnya berdetak lebih
lambat dari yang biasanya. Bukan hanya itu, kedua kakinya terasa berat untuk
dilangkahkan, waktu terasa berjalan lebih lambat untuk dirinya, seolah-olah
sedang berada dalam sebuah adegan film, di mana semua gerakan pemainnya di
perlambat.
Ia bisa
merasakan di kulitnya,
Sesuatu yang
buruk sedang terjadi!!
Maka dengan
mempercepat langkahnya, ia mendahului beberapa orang di depannya, melesat menuju
rumah itu,
Dan menemukan
seorang wanita telah jatuh terduduk di depan pintu.
“....................”
Pintu terbuka
dan kegelapan yang terlihat di dalamnya.
Ekspresinya
terlihat seperti baru saja melihat sesuatu yang benar-benar menakutkan ketika orang-orang
di sekitar membantunya untuk berdiri.
Dengan itu
saja--
“Riya-chan!!!”
--Ia yakin,
sesuatu yang mengerikan itu benar-benar terjadi di dalam rumah itu!!
Berlari
beberapa langkah, akhirnya ia berada tepat di depan pintu rumah keluarga
Miyashita yang terbuka. Beberapa orang pria terlihat sudah berada di dalam dan
mulai meminta bagi orang yang membawa ponsel untuk menelepon ambulance.
Berlari
menerobos kerumunan orang, begitu kakinya melangkah masuk, hanya untuk
menemukan bahwa lantai di bawahnya telah menjadi kolam darah yang menakutkan,
dan tubuh wanita serta Riya tergeletak di sana.
“U--Uwaaaaaaa!!!!!!!”
Dengan segera,
Emi yang kini berurai air mata, berlutut dan memegang-megang tubuh Riya,
berharap mendapatkan respon dari gadis itu. Namun seberapa kerasnya ia menyuruh
gadis itu untuk membuka matanya, tak ada yang terjadi. Matanya masih terpejam.
Di saat
itulah, matanya menangkap sebuah ponsel yang tergeletak di samping tangan Riya.
Dengan perlahan, ia menyentuh ponsel itu dan mengangkatnya.
“!?”
Di layarnya,
tertulis sebuah nomor yang kalau tidak salah ia kenal.
Nomor Mochida.
Walau belum
lama ini ia baru saja bertukar nomor dengannya, tapi tak salah lagi kalau nomor
yang berusaha dihubungi oleh Riya adalah nomor pemuda itu.Terbayang berbagai
macam hal di benak Emi pada waktu itu.
“Riya
menghubungi Mochida, tapi--“,
Bahkan ketika
ia melihat ke sana dan kemari, figur Mochida, sama sekali tak nampak di
sekitarnya.
Apa dia tidak
datang?
Apa dia tidak
tahu kalau Riya sedang dalam bahaya!!?
Mengerikan, Mengerikan,
Mengerikan, Mengerikan!!!!
ORANG MACAM
APA DIA ITU SEBENARNYA!!!?
“Mochida
Toru--!!!”
“Apa--Apa-apaan
ini!!!?”
“!?”
Emi terkejut,
suara yang menggelegar bagaikan petir itu membuatnya berbalik.
Yang berdiri
di sana, bukanlah Mochida, meski begitu, itu juga sosok yang sangat ia kenal.
Seorang gadis, mengenakan seragam sekolah, dengan rambut hitamnya yang pendek--
--Takashi
Haruko, berdiri di sana dengan tatapan tidak percaya.
Sore itu,
kejadian yang tiba-tiba itu berakhir dengan suasana hening menyelimuti.
Tak seorangpun
nampak keluar dari rumah mereka seolah sekumpulan manusia tadi hanyalah ilusi
saja.
Para polisi
memutuskan untuk menyelidiki kejadian ini lebih lanjut. Hanya saja, sungguh
menakutkan jika mendengar fakta bahwa 4 orang, dalam satu hari yang sama di
serang oleh seorang pembunuh misterius.
Apalagi, 3
dari korban itu adalah siwi dari SMA -XXX-, semakin menimbulkan kesan jelas
bahwa pembunuh itu memang mengincar para siswa di sekolah itu. Karena saat itu
sekolah sedang ditutup selama satu Minggu akibat kasus terbunuhnya Sasagawa dan
Karisawa, polisi akan melakukan penyelidikan yang lebih intens lagi, dan
kembali menanyai beberapa murid. Untuk melihat juga, apa dalam jangka waktu
itu, murid sekolah itu kembali menjadi korban, atau suasana akan kembali
tenang.
Di rumah
sakit, Haruko dan Emi sama-sama menunggu.
Sepulang dari
kantor polisi, Runa memutuskan untuk pulang seorang diri, karena ingin membeli
sesuatu di minimarket dan menyuruh Haruko untuk pulang duluan daripada harus
menunggunya. Haruko memang sudah sampai di depan rumahnya.
Namun, ketika
tangannya membuka pintu, sentuhan dingin tiba-tiba terasa dengan jelas di
tangannya. Sebuah firasat buruk langsung terlintas di benaknya. Entah mengapa,
dengan cepat ia segera berlari. Tujuannya adalah rumah Riya.
‘Aku tidak
tahu kenapa. Tiba-tiba tubuhku berbalik sendiri dan melangkah dengan
tergesa-gesa. Dalam hatiku, aku bisa merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Aku merasa, itu karena sikapku pada Riya tadi. Semua tahu ia sedang emosi, semua
tahu ia sedang kesal. Aku juga tahu itu, tapi aku juga malah ikut menyalakan
api, dan pulang tanpa mengatakan apapun. Entah, mungkin aku sendiri sadar,
kalau aku tidak akan suka seseorang tiba-tiba pergi meninggalkanku sendirian
seperti itu. Mungkin, aku hanya ingin minta maaf...?’
Itulah yang
Haruko katakan.
Akhirnya,
kabar yang mereka berdua tunggu datang juga. Riya selamat, meski kondisinya
masih sangat lemah.
2 hari
kemudian, gadis itu membuka matanya, hanya untuk mendengar kabar dari Haruko,
bahwa ibunya tidak bisa diselamatkan dan meninggal di tempat saat itu.
“..........[Sampai saat ini, sudah 5 hari semenjak
pembunuhan itu. Tak ada korban baru, dan polisi masih melakukan
penyelidikannya...].”
......................
“............[Tapi aku--Bahkan sampai saat ini masih tak
dapat melihatnya secara langsung...Andai saja aku tahu...Kalau saat itu dia
yang meneleponku--Ugh!! Sial!!!].”
Mochida
mengetahui hal itu, satu hari setelah kejadian berlangsung.
Tepat satu
hari setelah terbunuhnya Sasagawa dan Karisawa, Mochida pergi untuk mengunjungi
rumah Riya dan mengetahui keadaannya. Melihat semua yang telah terjadi, gadis
itu pasti membutuhkan orang-orang terdekatnya untuk terus men-support dirinya.
Ia tahu kalau
Emi akan datang dan melakukan hal itu untuknya. Tapi tetap saja, apapun yang
terjadi, ia ingin datang dan menunjukkan padanya, bahwa ia tulus dan peduli
padanya. Bahwa ia benar-benar percaya, bukan Riya pelakunya.
“..................”
Ekspresi
terkejut seakan-akan telah melihat sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Mungkin
itu yang berusaha dikatakan oleh pemuda itu, ketika ia diam berdiri di depan
rumah Riya, yang kini telah dipasangi garis-garis polisi berwarna kuning.
‘Apa yang
terjadi...?’
Ia bertanya
dalam pikirannya sendiri. Walau begitu, ia sendiri samar-sama sudah tahu
jawabannya bersamaan dengan munculnya pertanyaan itu.
Terbunuh...
Seseorang
terbunuh!?
Tubuhnya waktu
itu bisa saja jatuh karena lemas, membayangkan berbagai macam kenyataan yang
mungkin terjadi, kalau saja tak ada seorang pria yang menepuk pundaknya dan
membangunkannya dari lamunannya.
Dari cerita
pria itulah ia tahu, kalau seseorang misterius menembak Riya dan ibunya.
Tanpa berpikir
2 kali, Mochida segera pergi ke rumah sakit, dan tak sengaja bertemu dengan
Haruko yang juga ingin ke sana. Bersama, mereka sampai di rumah sakit.
Saat itulah, di depan kamar Riya, ketika
Mochida ingin masuk dan menengok gadis itu, Emi, berdiri di sana dan menatap
sinis ke arahnya,
“Apa yang kau
lakukan di sini, Mochida-kun...?”
“A--Aku ingin menengok
Miyashita! Bagaimana keadaannya!!? Apa dia baik-baik saja!?”
“............Kurasa
kau tidak ingin tahu.”
“Eh...?”
Emi
benar-benar marah pada saat itu.
Semua emosi
bercampur menjadi satu dan meledak secara bersamaan. Mochida bahkan tidak bisa
mengatakan sepatah katapun untuk membalas, ketika Emi sampai pada ‘Riya-chan
menghubungimu! Tapi tega sekali kau tidak datang!!’, ia hanya bisa berdiri
membatu dengan kedua mata terbelalak.
‘Miyashita
menghubungiku...?’
Sedikit agak
mengejutkan untuk Mochida begitu ia mendengar kalimat itu. Ia masih ingat
dengan sangat jelas, ketika di kantor polisi, gadis itu dengan kasar dan
santainya merobek kertas berisi nomor teleponnya.
‘Aku tidak
memerlukan bantuanmu’,
Seolah itu
yang gadis tersebut katakan kepadanya secara tidak langsung.
Tapi--
--Dia
menghubunginya.
‘Dia
menghubungiku...?’
Apa itu
berarti--
‘Miyashita
memerlukanku...?’
‘Riya-chan menghubungimu! Tapi tega sekali
kau tidak datang!!’
‘Ah...’
Pada saat
kata-kata itu kembali terlintas tanpa keinginannya, tubuhnya terasa seperti di
hantam oleh sebuah batu yang sangat besar.
Ia
memerlukannya. Ia menyebut namanya! Tapi--Kenapa ia bisa tidak menyadari itu
dan tidak datang!!!
Sekarang,
bahkan Mochida tak tahu harus bereaksi seperti apa. Haruskah ia merasa senang karena
di saat-saat seperti itu, ternyata gadis itu mengharapkan kehadirannya untuk
menyelamatkannya? Atau--Haruskah ia membenci dirinya sendiri, karena tak mampu,
bahkan datang dan menjadi orang pertama yang menolong gadis itu--Gadis yang
sangat ia sukai!?
“KAU MEMANG TEMAN YANG TERBURUK!!”
“.......[Kawada-san benar...Aku memang yang
terburuk...].”
“Ingat, kalau ada apa-apa atau kau sedang
butuh bantuan, hubungi aku, ya.”
“[Kebohongan mengerikan seperti apa yang telah
aku ucapkan...Sial...].”
..................
“[Aku...],”
“[Memang benar-benar yang terburuk...].”
***-***
“Takashi-san.
Bagaimana menurutmu? Apa baju ini cocok untukku?”
“Eh...Ya...Hmm...”
“Baju itu
cocok untukmu kok, Mari!”
“Oh ya, Runa?
Kalau begitu, aku pilih yang ini saja.”
“Hmm...Hmmmm...”
Haruko hanya
bergumam pelan sambil memperhatikan gadis yang tengah mencocokkan ukuran
pakaian itu dengan tubuhnya dan berputar-putar seperti seorang putri.
Sudah
kesepuluh kalinya ia mencoba baju yang berbeda dengan pertanyaan ‘Haruko,
Bagaimana menurutmu? Apa baju ini cocok untukku?’, dan selama ini, ia hanya
mengatakan sesuatu yang tidak jelas seperti ‘Hmm’ atau ‘Bagaimana, ya?’, bahkan
bisa dibilang ia sama sekali tidak menyuarakan opini atau pendapatnya secara
jelas.
Tapi
sepertinya tidak ada yang mempermasalahkannya, karena Runa selalu mengatakan
apa baju itu cocok atau tidak untuknya.
“Eh, setelah
ini, kita makan dulu, yuk! Aku sudah lapar nih!”
“Boleh, tapi
Yukino yang bayar, ya!”
“Hah!? Kenapa
harus aku yang bayar, Shion!? Kita ke sini’kan berlima, kenapa harus aku yang
bayar sendirian? Setidaknya, bantu aku dalam membayar bon-nya. Iya’kan,
Takashi-san?”
“.....................”
“.......Takashi-san?”
“.....................”
“Haruko!”
“Eh, ah?”
“Ada apa
denganmu, Takashi-san? Kau terlihat tak bersemangat? Apa kau sedang sakit?”
Diberi
pertanyaan seperti itu, Haruko sedikit tertegun. Entah kenapa tiba-tiba saja
otaknya memasuki fase ‘Blank’, dan tidak tahu harus memberikan respon seperti
apa bahkan untuk pertanyaan se-simple itu. Ia terlihat sedikit kebingunan,
hingga memutuskan untuk menundukkan kepala dan menggeleng pelan.
“..............Baiklah.
Kalau begitu, kita ke lantai 3 sekarang.”
“............”
Grup
beranggotakan 4 gadis itu [tidak termasuk Haruko], berjalan sambil membawa
maksimal 2 kantong belanjaan di tangan mereka. Terlihat mereka sedang asyik
membicarakan sesuatu, meninggalkan Haruko yang masih terdiam di tempatnya. Baru
beberapa saat kemudian, ia berjalan di belakang mereka dan sedikit membuat
jarak.
“................[Sejak awal, aku memang tidak cocok dengan
teman-teman Runa...Menyebalkan harus terjebak bersama mereka selama berjam-jam
seperti ini, melakukan hal-hal tidak penting].”
Ini adalah
hari ke-5 sekolah mereka diliburkan.
Karena sekolah
libur dan tak ada hal menarik yang bisa mereka lakukan, Runa memutuskan untuk
mengajak teman-temannya gerombolannya, Shion, Yukino dan Mari, pergi ke mall
dan berbelanja kebutuhan para gadis.
Tentu saja
yang ia maksud teman, tak lepas adalah Haruko, temannya sejak taman
kanak-kanak. Berbeda dengan Runa yang pandai bergaul dan berpenampilan menarik
serta memiliki banyak teman Haruko jauh lebih suka memiliki sedikit teman, tapi
benar-benar sahabat sejati yang meluangkan waktu bersama-sama. Bukannya
sekumpulan gadis yang hanya mengerti fashion atau bergosip saja.
Ia tak pernah
mengatakan apapun tentang sahabat-sahabat Runa yang selalu terlihat memakai
perhiasan dan make up berlebihan ketika sekolah. Wajah ‘Kau boleh berteman
dengan siapapun sesukamu’, selalu tergambar di wajahnya.
Gadis dengan
rambut hitam pendek itu memang sangat menyukai kebebasan. Ia sendiri pun tidak
akan suka jika harus dibatasi dalam urusan pertemanan.
Yang
terpenting adalah persahabatannya dengan Runa tetaplah yang nomor satu.
Tapi, bukan
itu alasan terbesar kenapa pikirannya terasa kosong sejak tadi.
--3 orang
telah mati.
“...........[Bagaimana bisa mereka menanggapi situasi
seperti ini dengan mudah? Dengan belanja? Dan dengan tersenyum ini!?].”
Saat ia
memikirkan hal itu, tanpa ia sadari tubuhnya merinding.
Rasa takut
ketika melihat mayat Sasagawa dan Karisawa, isi perut mereka yang berhamburan
ke tanah, membuat sensasi yang ia rasakan saat itu kembali.
Sekarang,
seakan melihat gerbang sekolah itu di hadapannya, kedua pohon yang menjadi
tempat tergantungnya mayat mereka yang terbakar dengan sangat jelas. Rasanya
ingin muntah. Rasanya ia ingin berteriak dan menjerit sekeras yang ia bisa.
Tapi daripada
semua itu--
Yang
membuatnya merasa takut saat ini adalah karena orang-orang disekitarnya mulai
menanggapi situasi ini dengan enteng, seolah tak ada hubungannya dengan mereka,
dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dalam selang
hari yang hampir mencapai seminggu itu, tak ada kejadian pembunuhan yang
kembali terjadi. Meski begitu, bukan berarti pembunuh itu telah tertangkap dan
diberi hukuman atas perbuatannya yang setimpal.
Nyatanya,
sampai saat ini, penyelidikan polisi yang sangat panjang itu, tak membuahkan
hasil satupun.
Mereka belum
bisa menyimpulkan apakah orang yang membunuh Sasagawa dan Karisawa, adalah
orang yang sama dengan pelaku penembakan di rumah keluarga Miyashita. Sementara
itu hal lain mengatakan bahwa, jika Riya dan ibunya menjadi korban dalam kasus
ini, kemungkinan ia akan disingkirkan dari daftar tersangka utama. Walau belum
bisa dipastikan, karena beberapa orang beranggapan, bukanlah sesuatu yang aneh
jika dalam sebuah keluarga ada pertikaian atau perselisihan yang berujung
kematian.
Tidak ada yang
tahu, di mana letak kewarasan orang-orang tersebut.
Ketika
beberapa polisi mulai menyatakan bahwa pembunuhan itu telah terencana, maka
kasus penembakan itu masih sebuah tanda tanya.
Sasagawa,
Karisawa, Riya dan ibunya?
Apa
hubungannya?
Jika
seandainya korban berikutnya adalah Itsuki, mungkin masih bisa dibilang kalau
pelaku adalah seseorang yang tidak menyukai ketiga orang itu, karena mereka
teman dekat dan yang jelas, ada hubungan kenapa pelaku membenci mereka.
Meskipun Riya
tak disukai oleh teman-teman sekelasnya, kenapa ibunya? Kenapa tidak menunggu
saat ia sendirian?
Ini sama
seperti seandainya saja ada sebuah kasus, di mana 4 orang secara tak sengaja
membunuh seorang teman mereka. Lalu ketika kakak anak yang terbunuh itu ingin
membalas dendam, sudah pasti ia akan membunuh diantara 4 orang itu. Akan sangat
aneh, kalau sampai orang yang sama sekali tak terlibat, ikut menjadi korban.
Itu masih
menjadi sebuah tanda tanya yang besar.
Penyelidikan
pun berlanjut. Dalam jangka waktu libur itu, mereka mendatangi rumah siswa satu
per satu dan kembali menanyakan beberapa hal pada mereka, seperti,
‘Sejauh mana
kalian mengenal Miyashita? Dan apa kalian ada hubungan dengannya? Atau mungkin,
hubungan antara kedua siswi yang sebelumnya terbunuh dengannya?’
Dan beberapa
orang akan menjawab,
‘Tidak ada
hubungannya. Dia gadis yang selalu bersama dengan Takashi dan Hasegawa. Mungkin
mereka berdua tahu sesuatu’,
‘Aku tidak
terlalu mengenalnya karena dia tidak pernah berbicara denganku dan sebaliknya’,
‘Setahuku, dia
orang yang selalu tersisihkan dari kelompok. Dia sepertinya cukup dekat dengan
Hasegawa dan Takashi, walau kelihatan mereka berdua lebih sering menghabiskan
waktu berdua daripada bertiga?’,
‘Dia tidak
dekat dengan anak-anak lain yang satu kelas dengannya. Dia teman Hasegawa,
Takashi dan juga teman masa kecil Kawada yang baru saja masuk beberapa bulan
yang lalu’,
‘Seharusnya,
yang membunuh Sasagawa dan Karisawa adalah Miyashita. Tapi...Karena sekarang
sudah jadi seperti ini, aku juga tidak tahu siapa pelakunya’,
Seperti
itulah.
Itsuki juga
kali ini tak luput dari investigasi. Beberapa kali ayahnya yang seorang kepala
polisi menanyakan masalah hubungannya yang buruk dengan Riya, tentang bagaimana
ia membenci gadis itu karena merasa kalau ia merebut Mochida darinya. Serta
bagaimana geramnya ia pada gadis itu sewaktu kedua sahabatnya terbunuh.
Akankah ada
kemungkinan kalau Itsuki benar mengira pembunuh Sasagawa dan Karisawa adalah
Riya, dan memutuskan untuk balas dendam?
Tak aneh
memang, apalagi ayah Itsuki adalah seorang polisi, kemungkinan ia memiliki
pistol di rumahnya bukanlah nol.
Tapi
kemungkinan itu segera dihapus dari daftar berbagai ‘kemungkinan’ yang ada,
karena pada saat kejadian, Itsuki sedang berada di kantor polisi bersama
ayahnya. Ya, mereka melupakan detail penting yang satu ini sehingga hasil
penyelidikan tetap nol.
Haruko, Emi,
Mochida dan Runa--Meski mereka terlihat bertengkar di kantor polisi, mereka
tidak mungkin melakukan pembunuhan hanya karena hal sekecil itu. Dan nama
mereka pun segera dicoret.
Hingga kini,
pembunuh itu sama sekali belum diketahui identitasnya.
Tak satu orang pun seharusnya memperlemah
penjagaan mereka dan keluar tanpa memperhatikan sekitar.
--Itu yang
seharusnya terjadi.
Kenyataan
mengatakan sesuatu yang jauh berlawanan, karena semua aktivitas berlangsung
biasa bahkan beberapa orang terkesan seolah tak ada sesuatu yang sedang terjadi.
“[Ada pembunuh sadis yang bisa saja berada di
tengah-tengah kita saat ini! Bagaimana kalian bisa sesantai itu!? Apa kalian
semua benar-benar tidak peduli!? Jika aku menjadi mereka, bisakah aku
menanggapinya dengan mudah juga? Seolah-olah aku sama sekali tidak ada
hubungannya dengan semua ini? Seolah-olah mereka yang menjadi korban itu bukan
siapa-siapa kita? Bukannya mereka itu teman satu sekolah?! Inikah yang harus
kita lakukan ketika sahabat kita meninggal dan sedang mendapat masalah? Bahkan
tak satupun diantara mereka benar-benar peduli dengan kasus ini sejak awal].”
Bahkan ia bisa
menemukan murid-murid satu sekolahnya di mall ini. Kelihatan sekali mereka
mulai sangat menikmati waktu liburan yang cukup panjang dengan bersenang-senang.
Tanpa adanya beban pikiran, bahwa musibah yang menakutkan telah menimpa 3 orang
di sekolahnya. Ya, perlahan-lahan hal seperti itu akan terlupakan oleh
orang-orang sekitar dan hanya akan menjadi sebuah ‘Kisah yang mengerikan’ di
masa lalu.
Tak banyak
siswa yang menjenguk Riya di rumah sakit, sekedar menanyakan kabar pun jarang
sekali. Mungkin diantara beberapa manusia itu, ada yang benar-benar peduli dan
membawakan sesuatu seperti buah atau semacamnya yang biasanya di bawa ketika
mengunjungi teman kita yang sedang sakit.
Hanya beberapa
pesan singkat ‘Sesuatu yang tidak menyenangkan telah terjadi, ya? Aku berharap
semoga kau cepat baikkan’,yang dikirim oleh mereka.
Tapi, saat ini
yang ada dipikirannya hanyalah, ada berapa banyak orang seperti itu jika
dibandingkan dengan orang-orang yang tak memiliki perasaan itu.
Apakah
sekarang mereka akan mengatakan ‘Beruntung dia mati karena sekarang kita bisa
mendapat libur panjang dari kegiatan sekolah yang memuakkan itu’, dengan
senyuman di wajah mereka?
“[Itu bahkan jauh lebih mengerikan dari
pembunuh itu sendiri].”
Ketika ia
berpikiran mengenai hal itu, Haruko tiba-tiba tertegun. Ekspresi wajahnya
terlihat muram. Ia baru saja menyadari sebuah kesalahan yang ia buat.
“[Kalau begitu, apa yang aku lakukan di sini...?].”
Dan fakta
bahwa ia sekarang ini, bisa berada di sini,
Juga
membuatnya merasa sama seperti orang-orang itu. Tidak memiliki perasaan.
“[Apa jika seandainya aku memiliki waktu luang
yang lebih karena ada salah seorang murid di sekolahku yang terbunuh, apa aku
juga akan bersenang-senang seperti yang mereka lakukan? Pergi keluar tanpa
beban dan pulang membawa 2 kantong belanjaan penuh dengan baju? Apa aku harus
berpikir positif ‘Pembunuh itu sudah tak terdengar lagi kabarnya, jadi aku bisa
menjalani hari-hariku dengan biasa’?].”
........................
“[Aku tak perlu bertanya kepada diriku sendiri
untuk menjawab pertanyaan itu. Jika aku memiliki waktu luang sebanyak ini, maka
tidak akan ada hal lain yang bisa aku lakukan selain pergi daripada terkurung
seharian di rumah, memeluk lutut dan memandangi pintu kamar yang tertutup,
berjaga-jaga siapa tahu akan ada orang asing yang tidak kukenal menerobos masuk
dan merobek tenggorokanku dengan pisaunya yang telah berlumuran darah. Ya,
mungkin pada akhirnya aku memang sama dengan mereka. Orang-orang yang aku sebut
tak berperasaan. Tapi...Mungkin masih belum terlambat jika ingin melangkah
keluar dari lingkaran itu...].”
Hanya satu
yang ia inginkan saat ini,
“[Jika aku tidak bisa melakukan sesuatu dengan
baik, dan selalu mengacaukan segalanya, setidaknya, biarkan aku menjadi seorang
‘teman’ yang baik] Runa!”
“Hm?”
Mendengar
namanya dipanggil, Runa mengalihkan pandangan ke arah Haruko di belakangnya.
“.........Mmm...Kurasa
aku haru segera pulang.”
Ujar Haruko
sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Eh, kenapa?
Kau sudah ada janji?”
Mari, bertanya
dengan penuh rasa penasaran, yang kira-kira, sama dengan raut muka yang dibuat
oleh 3 gadis yang lain.
Haruko
melemparkan tatapan ke arah mereka, lalu menoleh ke arah lain beberapa saat,
hingga akhirnya ia tersenyum ke arah mereka, terutama pada Runa,
“Mhm, dengan
sahabat baikku, Miyashita Riya. Aku duluan, ya!”
Ia tersenyum,
berbalik, meninggalkan keempat gadis lainnya yang kini menatap dengan tatapan
penuh tanda tanya.
“.......................”
***-***
“Eh? Apa yang kau katakan, Itsuki-san?!”
“Haruskah aku
mengulanginya dua kali?”
Di dalam
ruangan yang didominasi dengan warna biru muda itu, seorang gadis dengan rambut
panjang keperakan sedang tiduran di atas tempat tidurnya dengan selimut
bermotif bunga. Gadis itu adalah Itsuki Kanako, dan karena sesuatu hal,
semenjak beberapa hari yang lalu, tak ada hal lain yang dilakukannya selain
bermain dengan ponselnya.
Mungkin bukan
bermain, lebih tepat jika dibilang ia sedang menelepon orang-orang untuk
menyampaikan sesuatu.
“Habisnya, aku sedikit merasa kalau yang kau
katakan padaku itu sangat tidak masuk akal. Sebelum itu, fakta bahwa sekarang
ini kau meneleponku...Sudah membuatku merasa aneh...Apa ada sesuatu yang
merasukimu?”
Setelah
sekitar 5 menit yang lalu suara laki-laki yang terdengar, kini sepertinya yang
ia telepon adalah seorang gadis, terdengar dari suaranya. Teman satu kelasnya.
“Hey, aku
serius di sini. Apa butuh seorang roh untuk membantuku menyampaikan ucapan maaf?”
“Ah, ya...Mungkin tidak. Itu pasti akan
sangat mengerikan.”
“Baiklah,
kalau begitu, aku minta maaf atas perlakuanku selama ini padamu, Fujikawa.”
“Hee...Tapi, tetap saja, aku merasa aneh di
sini. Tiba-tiba kau menghubungiku untuk meminta maaf padaku? Ada sesuatu yang
terjadi?”
“..........Tidak
ada. Aku hanya ingin saja.”
“Hmm...Kalau begitu, memang kau masih ingat
apa yang telah kau lakukan padaku?”
“Kesalahanku
padamu waktu adalah ketika aku menyuruhmu untuk membersihkan sepatuku ketika
kau menumpahkan es krim ke sepatuku. Lalu bersujud untuk meminta maaf. Saat
hari ketiga sekolah.”
“WO~W, tak kusangka kau masih mengingatnya.
Ingatanmu benar-benar hebat, Itsuki-san. Kau tahu seberapa malunya aku saat
itu? Semua orang masih membicarakannya bahkan sampai saat ini.”
Gadis itu
mengatakannya.
Ia pastinya
tidak tahu wajah seperti apa yang Itsuki buat saat ini, itu bisa saja
membuatnya merasa kalau ini hanya main-main saja.
Tapi itu tidak
sepenuhnya salah. Karena ini memang hanya main-main saja, dan bukan sesuatu
yang benar-benar Itsuki ingin lakukan.
Dengan wajah
kesal sambil sedikit meremas ponselnya yang berwarna hitam, pembuluh darah
mulai terlihat timbul di dahi Itsuki seolah akan meledak kapan saja.
“..........[Ugh...Ini ternyata tidak semudah yang aku
kira--!!!].”
Itsuki ingat
jelas dengan apa yang ia lakukan pada waktu itu.
Tepat di
hadapan semua siswa, ia menyuruh seorang gadis bernama Fujikawa--Dia tidak
terlalu ingat siapa namanya-- yang secara tidak sengaja menumpahkan es krimnya
ke sepatu baru milik Itsuki.
Dengan arogan
dan tatapannya yang sombong, ia menyuruh Fujikawa untuk membersihkan es krim
itu kemudian ia menyuruhnya untuk bersujud dan meminta maaf, serta memanggilnya
dengan sebutan ‘Itsuki-sama’. Semua orang mulai tertawa dan berbisik-bisik,
menertawakan Fujikawa yang hampir menangis dan terlihat sangat menyedihkan.
Benar-benar pemandangan yang menyedihkan.
Itu pasti
kejadian yang paling menyenangkan baginya, sekaligus menjadi kejadian paling
memalukan bagi Fujikawa.
Tidak sampai
di situ saja, sejak saat itu, setiap kali berpapasan, ia selalu secara sengaja
menyenggol Fujikawa, atau mendorongnya hingga terjatuh, dan berbagai penindasan
lainnya.
Ia tidak tahu
kenapa, hanya saja, memperlakukan orang lain seperti itu, membuatnya merasa
hebat, kuat dan juga penuh dengan kuasa dan kehormatan.
“Iya, iya. Aku
tahu aku sudah keterlaluan padamu saat itu. Aku janji aku tidak akan melakukan
hal buruk seperti itu lagi. Kalau kau mau, aku bisa meminta maaf kepadamu
dihadapan semuanya saat sekolah!! Aku akan melakukannya!”
“Hmm...Melakukan hal seperti itu...Meh,
kelihatan sangat membosankan kalau aku memaafkanmu begitu saja, Itsuki-san.”
“Mn, oke, aku
akan lakukan apapun yang kau inginkan! Katakan saja!”
Ia bersikeras.
Apapun yang
terjadi, ia harus bisa mendapat maaf dari gadis ini!
“Apapun?”
Nada bicaranya
mulai terdengar tertarik.
Dengan cepat,
Itsuki berkata ‘Iya’, sambil menganggukkan kepala, meskipun itu tidak
diperlukan saat ini. Sebelum ia berubah pikiran.
“Hmm...Biar
aku pikirkan sesuatu yang menarik...”
Seusai
mengatakan itu, tak terdengar suara dari ponselnya.
Ia hanya bisa
berharap saja, semoga itu bukan hal yang mempermalukan dirinya.
Akhirnya,
beberapa detik kemudian--
“Ah~ Aku sudah
menemukan sesuatu yang cocok untukmu Itsuki-san.”
Terdengar
sangat bahagia.
Entah mengapa
ketika mendengar itu, Itsuki justru membuat wajah kesal, yang berusaha sebisa
mungkin tak ia tunjukkan lewat nada bicaranya.
“Mnn...Apa
itu?”
Ia berkata
dengan singkat.
Nada bicara
yang terdengar ketus dan kasar akan mempengaruhi bagaimana lawan bicaramu
merespon ucapanmu.
Pelajaran yang
biasa ia dapatkan dari ayahnya ketika menginterogasi seseorang.
Jika kita
bertanya dengan kasar, ia akan ketakutan dan tidak akan menjawab pertanyaan
kita dengan baik. Sebaliknya, jika kita bertanya dengan perlahan-lahan dan
lebih sabar, orang itu pasti akan lebih terbuka.
Suara tawa
terdengar. Beberapa suara yang terdengar berbeda, dan sepertinya ada suara
laki-laki juga di sana. Sepertinya Fujikawa sedang bersama dengan
teman-temannya dan berdiskusi mengenai masalah ini.
Ia bisa merasa
akan terjadi sesuatu yang sangat gawat kalau sampai teman-teman Fujikawa ikut
menyumbang ide mereka.
“Jadi--“
“?”
“--Aku ingin ketika sekolah sudah kembali di
buka, Itsuki-san berlari di lapangan sambil telanjang kemudian berteriak
‘Maaf’kan aku, Akiko-sama’.”
“A--Apa!!!!??
Kau jangan bercanda!! Kau suruh aku untuk melakukan hal memalukan seperti
itu!!!!?? Tidak akan pernah! Lebih baik aku mati daripada harus menanggung malu
sebesar itu!!”
“Hee~ Begitukah? Hmm...Kalau begitu, aku
juga tidak akan memaaf’kanmu.”
“Kuh!!”
‘Aku ingin kau meminta maaf pada semua yang
pernah kau sakiti. Kita tidak pernah tahu apakah pembunuh itu adalah salah satu
dari orang-orang itu. Mungkin mereka membunuh Sasagawa dan Karisawa, entah
kenapa, aku sedikit merasa kalau itu ada hubungannya dengan sikapmu selama ini.
Hanya untuk jaga-jaga saja, buang ego-mu, dan minta maaf pada mereka!’
Yang membuat
Itsuki melakukan semua hal ini, adalah perkataan Mochida waktu itu.
Sudah 5 hari
berlalu, dan sampai hari ini, ia masih sibuk menghubungi satu per satu teman
sekelas maupun teman satu angkatan yang pernah ia hina dan sakiti. Sebenarnya,
ia bukan tipe orang yang mau melakukan semua ini, menundukkan kepala, membuang
harga dirinya untuk meminta maaf atas perlakuannya kepada orang lain.
Kata menyesal
tak ada dalam kamusnya. Dan ia sama sekali tak pernah menyesali apa yang ia
lakukan. Bahkan ketika kata ‘Maaf’ dan ‘Aku benar-benar menyesal telah
melakukan semua itu’, terlontar dari mulutnya, pikirannya masih dipenuhi dengan
berbagai emosi yang negatif, tidak benar-benar tulus ketika mengatakan semua
itu.
Jika saja
seandainya bukan Mochida yang menyuruhnya untuk ini, ia pasti sekarang sudah
melakukan hal lain yang lebih berguna daripada harus mencari satu per satu
nomor anak-anak itu, yang sebagian ia dapat dari Mochida, untuk menyampaikan
pesan ungkapan maaf.
Sampai saat
ini, sudah ada sekitar 58 anak yang ia hubungi. Beberapa dari mereka, sudah
pasti akan menunjukkan ekspresi-ekspresi bodoh yang tidak penting seperti
‘Eh?’, atau ‘Hah?!’, dan beberapa mengatakan apa ada sesuatu yang terjadi. Ia
bisa menebak ekspresi keheranan seperti apa yang mereka buat dengan kata-kata
spontan itu, atau justru, mereka sedang menertawakan tindakannya saat ini.
Meski beberapa
orang menerima permintaan maafnya, ia tidak tahu apa mereka benar tulus, atau
hanya sebagai formalitas saja karena merasa tidak enak padanya.
“............[Ini benar-benar tindakan yang bodoh...].”
Ia
mengatakannya.
Dalam hatinya,
ia masih berkata ‘Tak ada gunanya melakukan hal seperti ini’.
Tapi,
“Oke, aku akan
melakukannya...”
Sekarang sudah
tidak ada pilihan lain yang bisa ia ambil. Mau dilihat dari sisi manapun juga,
pilihan yang saat ini ada di hadapannya, adalah pilihan yang paling absolut.
--Meminta maaf
atau mati.
Hanya itu.
Dan ia tidak
ingin mati. Tidak, setidaknya tidak seperti Sasagawa dan Karisawa, dengan cara
yang sangat mengerikan seperti itu--
“[Jika seandainya aku memang ditakdirkan untuk
mati, aku lebih memilih minum racun, atau menyilet nadiku, daripada di bakar
dan dimutilasi seperti itu...Aku tidak mau...].”
Sama seperti
yang Mochida katakan, masih belum ada yang tahu siapa pembunuh tersebut.
Dan jika
seandainya ia mengincar Sasagawa dan Karisawa, seperti yang ayahnya katakan
padanya, bahwa masih ada kemungkinan terbesar pelakunya memang siswa SMA-XXX-.
Masalahnya,
siapa yang melakukannya?
Sasagawa dan
Karisawa, mati bersamaan. Pasti ada alasan kenapa pembunuh itu memutuskan untuk
menghabisi mereka berdua sekaligus. Apa ini sebuah pesan? Pesan untuk Itsuki?
Agar menghentikan semua perbuatan buruknya?
Apakah benar
seperti itu?
Karena itu,
tak ada yang bisa ia lakukan selain melakukan yang Mochida katakan padanya.
Kemungkinan jika pelakunya memang menyimpan suatu dendam kepadanya, ini adalah
pilihan terbaik untuk menghindari situasi terburuk.
“....................”
Selama
beberapa saat sibuk dengan pikiranya, ia baru sadar kalau tak ada suara yang
terdengar dari ponsel itu. Hening.
“.....................”
“.............................”
“....................”
“....Ha ha ha.”
“?”
Akhirnya,
justru suara tertawa yang terdengar.
“Itsuki-san benar-benar akan melakukannya?
Ah, jujur, aku tidak menyangka kau benar-benar akan setuju dengan hal itu.”
“Maksudmu? Ada
hal lain yang ingin kau suruh aku lakukan? Aku terima. Apa saja, asalkan kau
mau memaaf’kanku!”
“....................”
“Fujikawa?”
“Ah, iya, iya. Mmm...Baiklah...Ah, tapi,
karena aku bukan tipe orang yang suka memberikan fan service pada para pria,
dan lagi, jika seandainya aku punya kesempatan untuk bekerja di Kadokawa atau
semacamnya, aku ingin sekali mengurangi genre anime ecchi dan juga harem,
karena jujur saja, itu agak sedikit menggangguku, dan membuat citra anime
dikenal sebagai film porno dan--“
“Tunggu? Apa
yang sebenarnya sedang kau bicarakan di sini?”
“Ah, maaf, maaf, aku malah membicarakan yang
tidak-tidak. Mnn...Jadi, ya, intinya aku memaafkan, Itsuki-san.”
“.........................Apa?
Kau memaaf’kanku...? Tanpa harus melakukan hal bodoh itu? Semudah itu?”
“Mhmm, karena aku mendengar kesungguhan
Itsuki-san saat kau meminta maaf padaku. Aku tak benar-benar ingin kau
melakukan hal itu, tapi ketika kau menyetujuinya dan mau melakukannya, hanya
supaya mendapat maaf dariku, aku hanya merasa ingin memaaf’kanmu. Terdengar
sekali, kau sungguh menyesali semuanya! Itu saja.”
“..............Kenapa
begitu?”
Ia bingung.
Bahkan ketika mendapat jawaban yang dia inginkan, ia justru merasa semuanya
sama sekali tidak masuk akal. Semua orang yang ia hubungi, hampir semuanya
mengatakan sesuatu yang sama seperti ‘Eh, ya...A--Aku, aku memaaf’kanmu...’.
Terdengar
sangat tidak tulus.
Tapi kenapa
satu orang ini,
--Benar-benar
berbeda dari yang lain? Benar-benar tulus? Bahkan mengatakan sesuatu yang
benar-benar baik...?
“Hm? Aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya
selalu berpikiran, semua orang bisa mendapat kesempatan untuk berubah menjadi
seseorang yang lebih baik lagi di masa depan. Dan aku akan senang sekali kalau
aku bisa memberikanmu kesempatan untuk berubah. Aku tidak ingin ada orang lain
yang mengalami hal seperti yang aku alami., aku juga tidak ingin memperlakukan
orang lain sebagaimana kau memperlakukan mereka. Karena aku tidak ingin jadi
seperti Itsuki-san.”
“Ah.......”
Karena dia
tidak ingin jadi sepertinya? Jawaban yang sangat masuk akal.
“Tapi, hey, aku sama sekali sudah tak
mempermasalahkan hal itu lagi. Aku sendiri kaget kau masih mengingatnya.
Kupikir kau adalah tipe orang yang akan melupakan semua kesalahan yang ia buat
dan berkata ‘Apa aku pernah berbuat sesuatu padamu??’. Ternyata itu salah, ya?”
“..........Tidak
juga...”
Meski tak
terlihat dengan jelas, tubuhnya sedikit bergetar begitu mengatakan itu.
Pada
kenyataannya, ia memang orang seperti itu. Walau, bukan melupakan sesuatu yang
pernah ia lakukan kepada orang lain. Ia akan selalu mengingatnya, kemudian akan
selalu mempermalukan orang tersebut lagi dan lagi tiap kali mereka bertemu.
Dilihat dari
segi manapun, itu jauh terlihat lebih kejam.
Tapi,
“............[Tapi, kenapa orang ini justru mengatakan
sesuatu yang membuatku tidak merasa nyaman
seperti ini...? Kenapa...Dia mengatakan sesuatu, seolah aku ini adalah orang
baik yang terjebak dalam kegelapan...?].”
Kenapa dia
mengatakan hal seperti itu?
Kenapa ia
mengatakan kalau ia sudah melupakan kejadian itu? Padahal ia terlihat sangat
terluka saat itu?
“.......................”
Ekspresi wajah
murid-murid yang pernah ia rendahkan, satu per satu terbayang di wajah Itsuki.
Semua wajah ketakutan itu, entah kenapa mulai menghantuinya satu per satu.
Apa ia
benar-benar bisa berubah? Dengan semua dosa yang kini menumpuk di kedua
tangannya? Dengan semua perkataan dan perbuatan buruknya, dapatkah ia berubah
menjadi seseorang yang lebih baik?
Tiba-tiba
saja, dirinya seolah kembali ke beberapa hari yang lalu.
Hari di mana 2
orang sahabat baiknya terbunuh, Eiko dan Kyouko...Hari di mana ia benar-benar
kehilangan seseorang yang ia percayai...
“.........[Padahal saat itu, baru saja kemarinnya, kita
berencana akan pergi ke karaoke bersama...Tapi--Bahkan belum sempat itu
terjadi...],”
--Mereka
berdua telah mati, dengan cara yang sangat tidak manusiawi.
“..................”
Ia memang
memiliki banyak teman satu gang-nya yang selalu mengikutinya ke mana-mana
seperti para pengawal atau bodyguard
yang selalu mengikuti putri-nya. Mereka selalu tertawa bersama-sama, tapi, tak
ada yang bisa tertawa bersamanya, seperti saat ia bersama dengan Eiko dan
Kyouko.
Karena
baginya, mereka berdua adalah sahabat yang paling dekat untuknya.
“[Mereka adalah sahabat terbaikku...].”
Sampai 5 hari
telah berlalu sejak kejadian itu terjadi, di depan matanya, ia tak sekalipun
ingin meninggalkan rumahnya. Jika ia memang terpaksa pergi, ia akan pergi untuk
mengunjungi makam Eiko dan Kyouko yang terletak di pemakaman kota.
Ketika ia
mengunjungi makam mereka dan meletakkan bunga, orang-orang yang melihatnya
selalu saja menatap dengan wajah kasihan, atau mungkin ketakutan.
‘Mereka berdua
masih sangat muda, masih memiliki masa depan yang panjang. Tragis sekali, hidup
mereka harus berakhir dengan cara mengerikan seperti itu. Aku sama sekali tidak
bisa membayangkannya’,
Mungkin itu
yang sering ia tangkap dari sorot mata dan raut wajah orang-orang tersebut.
“....................”
Kini,
pikirannya terbawa saat ia menghadiri upacara pemakaman Eiko dan Kyouko 2 hari
yang lalu.
Pemakaman
berlangsung layaknya pemakaman normal. Orang-orang menitikkan air mata. Tanda
kesedihan, atau kebahagiaan yang tersembunyi, tak ada yang tahu selain orang
yang meneteskannya sendiri. Tentu saja, yang paling terlihat terluka dan sedih
adalah kedua orang tua mereka, yang bahkan beberapa kali tak kuat menahan semua
beban ini dan berulang kali pingsan.
Ia sedang
berdiri di hadapan foto kedua sahabatnya itu. Meski bukan saudara, namun karena
hubungan mereka dan juga orang tua mereka yang cukup dekat, upacara pemakaman
dilakukan bersamaan di rumah keluarga Sasagawa, juga menghormati kedekatan 2
sahabat baik itu.
Dan saat
itulah, ia baru saja menyadari, kalau ia tak memiliki siapapun lagi yang bisa
dianggap sebagai teman. Sasagawa dan Karisawa mati. Hanya beberapa siswa yang
datang.
Sekarang,
ketika ia merasa kesepian dan berusaha menghubungi teman-teman satu kelompoknya
yang lain, mereka seolah menghilang dan tak dapat dihubungi. Tak ada satupun
diantara mereka yang menanyakan bagaimana kabarnya.
Tidak ada lagi
yang bisa diajak bicara, semuanya telah meninggalkannya. Ia baru mengetahui,
kalau kesepian ternyata sangat menyeramkan. Tentu, mereka mengikuti dirinya
bukan karena dirinya sendiri atau karena kehebatannya, melainkan karena mereka
takut, jika melawan akan diperlakukan seperti orang rendahan. Bukan hal aneh
kalau ternyata mereka sering membicarakannya di belakang mereka.
Sedikit,
mungkin ia tahu itu. Namun tak peduli. ‘Yang penting aku bisa terlihat memiliki
banyak teman di sekelilingku’, agaknya selalu menutupinya. Orang yang mengikuti
banyak pengikut, akan dapat memenangkan segalanya. Tak peduli apa mereka
benar-benar ‘teman’ atau bukan. Makanya ia tidak peduli. Berusaha untuk tidak
peduli.
Sampai saat
ini, hanya Eiko dan Kyouko, yang benar-benar menjadi sahabatnya sejak sangat
lama.
Jadi, kini,
ketika orang-orang mulai menghindar darinya satu per satu, atau tak mau
menerima permintaan maaf darinya,
Apa dia bisa
berada di posisi di mana dia bisa merasa kesal?
Jika dulu,
“[Dulu mungkin iya...].”
Dengan
mudahnya, ia akan berteriak dengan keras ‘Siapa kalian bisa seenaknya
memperlakukan aku seperti ini!!!?’, tanpa ragu sedikitpun. Dan semua orang,
tanpa kecuali akan diam dan menutup mulut mereka.
Tapi sekarang,
ketika tak ada orang lain di belakangnya yang men-support dirinya, ketika kedua
orang itu terbunuh secara tiba-tiba,
“[Kenapa aku merasa kalau aku bukan
siapa-siapa sekarang...].”
Seolah-olah
semua kekuatan yang selama ini sudah dikumpulkan lenyap, semua perasaan hormat
itu luntur.
Ia merasa
berbeda. Dengan tidak adanya kedua orang itu, ia merasa lemah. Tidak ingin
merasakan dan melakukan apapun.
Tidak tahu
kenapa, tapi ia merasa tak bisa kesal jika mereka mulai mengatakannya sebagai
‘Gadis yang menggunakan rasa takut untuk memperalat orang lain’. Ia hanya tidak
bisa.
Dan,
Tentu saja,
hanya akan ada segelintir orang yang datang ke makan mereka berdua, karena pada
akhirnya, mereka akan selalu di kenal sebagai anak buah Itsuki Kanako--
--Gadis yang
kejam.
Mereka
meninggal, dengan meninggalkan kebencian di hati orang-orang. Semua ini,
gara-gara dia.
“[Rasanya
berbeda...Rasanya seperti kehilangan
segalanya...Aku--],”
............
“[--Memang benar-benar yang terburuk...].”
“Yah,
apapun inti dari pembicaraan yang tiba-tiba ini--“
“..................”
“--Aku hanya ingin mengatakan kalau aku
sudah memaaf’kanmu. Mungkin kau melakukan ini karena kejadian yang menimpa
Sasagawa dan Karisawa...Aku tidak tahu apa ada suatu motif tersembunyi di balik
ungkapan maaf yang kau ucapkan padaku ini, tapi jika ini menyangkut mereka
berdua, aku yakin mereka juga akan senang melihatmu berubah seperti ini. Semua
orang pasti akan senang.”
“..................”
Ia tidak tahu
kenapa. Hanya saja, wajah Fujikawa yang sedang berbicara dan tersenyum,
terbayang di pikirannya.
Rasanya aneh.
Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang ia ingin teriakkan dengan sangat keras. Jika
ia tak mengatakannya sekarang, ia akan menyesal. Mungkin sangat menyesal. Jika
ia tidak mengatakannya sekarang, rasanya sangat menyedihkan. Jika tidak
mengatakannya sekarang, dadanya terasa sangat sesak.
“......[Kenapa aku harus mengatakannya--!?
Mengatakannya pun, tak akan mengubah apapun...].”
“Jika hanya itu yang ingin kau bicarakan,
sudah dulu, ya? Aku sedang bersama-sama teman-temanku, jadi--“
“Aku--
“?”
“.........Aku
berani menjamin, kalau tak ada maksud tersembunyi di balik semua ini.
Aku--Hanya ingin meminta maaf...Mm, kalau bisa, maukah kau juga memaaf’kan Eiko
dan Kyouko?”
“..............”
“.........Halo?”
“Oh, ya?! Bukannya itu hal yang bagus!? Waa,
aku terharu sekali, Itsuki-san...Hal baik kalau kau ternyata benar-benar serius
mengatakannya! Tentu saja, aku juga sudah memaaf’kan Sasagawa dan Karisawa!
Lalu, Mnn...Aku harap kita bisa jadi teman baik nanti.”
“..........Mmhm...”
“Aku yakin, Sasagawa dan Karisawa pasti akan
sangat senang!”
“..........Ya...”
“[Aku tak peduli dengan pembunuh itu lagi. Aku
ingin meminta maaf karena aku memang ingin, dan juga demi Eiko dan Kyouko.
Bukan demi diriku atau siapapun].”
“[Karena aku yakin, jika sesuatu memang harus
terjadi padaku],”
“[Aku yakin pada saat itu, Toru akan datang
dan menyelamatkanku!].”
***-***
Rumah sakit,
20.46 P.M...
“?
Takashi-san?”
Begitu melihat
Haruko dan Runa berjalan ke arahnya, yang baru saja keluar dari lift, Emi
terlihat agak terkejut.
Haruko
melambaikan tangan ke arah gadis itu dengan senyuman tipis di wajahnya yang
terkesan ragu. Ia sendiri tidak tahu, apakah ini saatnya untuk bisa membuat
senyuman atau memasang wajah sedih.
“Kawada-san?
Kau masih di sini? Sejak tadi?”
Ujar Haruko,
yang meski nada bicaranya terdengar kaget, tapi wajahnya terlihat biasa.
Sejak 5 hari
yang lalu, yang paling sering menjaga Riya adalah Emi. Karena itu, Haruko tak
terlalu heran lagi jika ia menemukan gadis itu di sekitar rumah sakit.
Sementara
Haruko masih terlalu takut untuk mengunjungi dan bertemu langsung, dan juga
tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan Riya semenjak kejadian di
kantor polisi waktu itu. Jadi ia hanya menunggu di depan kamar, tanpa melakukan
apapun.
Tapi
setidaknya ia bisa merasa lega.
Karena Riya
baru saja kehilangan ibunya...Ia senang karena ada Emi yang mau menjaga dan
selalu ada di sisinya. Ini pasti sesuatu yang sangat berat untuk dilalui
olehnya.
Emi sedikit
tersenyum lalu menjawab,
“Aku baru saja
mau pulang. Kau, mau menjenguk Riya-chan juga?”
Emi bertanya
pada mereka, yang ditanggapi Haruko dengan anggukan.
“Begitulah.
Karena aku jarang mampir, dan aku masih merasa bersalah...Sejujurnya aku merasa
tak pantas untuk berada di sini dan menjenguk Riya. Setelah pertengkaran kami
waktu itu, aku sempat berpikir kalau Riya pasti sedang emosi, lelah dan kesal,
atas semua yang telah terjadi....Mengatakan semua itu tanpa berpikir...Dan aku
juga pergi tanpa berpikir...Tapi, kali ini, aku akan masuk dan mengucapkan
salam. Setidaknya, aku tidak ingin lari lagi.”
Kata Haruko, dengan
wajah dan ekspresi yang terlihat menyimpan kesedihan.
“Hmm...Kurasa
itu ide yang bagus. Aku yakin, Riya-chan juga akan senang jika teman baiknya
datang menjenguknya.”
Katanya sambil
mengusap rambutnya yang panjang dengan sebelah tangan, sedangkan tangannya yang
lain membawa sebuah tas berwarna coklat.
“Mmm, kuharap
dia tidak marah karena selama ini aku tidak masuk dan melihatnya secara
langsung. Atau semoga saja dia mau memaaf’kan apa yang aku katakan pada waktu
itu...”
Haruko bicara
dengan nada yang terdengar malu sambil mengalihkan pandangannya.
Emi tersenyum
lalu menggelengkan kepala, dan mengatakan sesuatu seperti ‘Tidak’, kemudian
kembali melanjutkan perkataannya,
“Riya-chan
tidak mungkin marah. Sepertinya, dia juga sudah menunggu kedatanganmu, Takashi-san.”
“............Jadi,
bagaimana keadaan Riya hari ini, Kawada-san? Apa dia sudah mau makan dengan
baik? Apa dia istirahat dengan baik?”
Tanya gadis
berambut hitam itu, walau ia sudah bisa menduga apa yang akan Emi katakan.
Mendengar itu,
Emi hanya menghela nafas pelan.
“Masih sama
seperti hari-hari sebelumnya. Dia hanya mau makan sedikit. Tidak banyak yang
dilakukannya selain terdiam sambil memegangi lututnya. Yah...Sesuatu yang
mengerikan telah terjadi padanya...”
Emi menopang
dagu dan menundukkan kepalanya, seolah sedang memikirkan apa yang dirasakan
oleh Riya saat ini.
“Walau
begitu...Kurasa dia akan jauh lebih tenang kalau dia mau bicara dengan kita...”
Ujar Haruko
pelan.
“Haruko!”
“?”
Baik Emi
maupun Haruko, segera menoleh ke belakang mereka begitu mendengar suara
seseorang disertai suara langkah kaki. Sepertinya akan ada satu orang lagi yang
bergabung dengan mereka.
“Haah...Hah...Setelah
pulang dari mall, aku segera berlari kemari. Maaf lama...Apa--Apa kau sudah
selesai menjenguk Riya...?”
“.................”
Namun, raut
wajah Emi langsung berubah. Dengan sinisnya, ia menyebut nama orang itu,
“.......Hasegawa-san...”
“Hm?”
Runa, yang
mendengar Emi menyebut namanya langsung tertegun. Berdiri di belakang Haruko,
ia melayangkan pandangan ke arah gadis berambut panjang itu.
“Ada apa,
Kawada-san? Kenapa kau melihatku seperti itu...?”
Sedikit rasa
takut terpancar di wajahnya saat berbicara.
“...........Aku
tidak tahu. Apa kau kemari untuk menjenguk Riya-chan juga?”
Tanya Emi
dengan nada dingin.
“Eh...”
Tubuh Runa
tersentak begitu ia mendengar pertanyaan itu. Ia menundukkan kepala, kemudian
kembali menatap Emi dan sedikit membuat senyuman di wajahnya, yang entah tulus
atau paksaan.
“Tentu
saja...Mau bagaimanapun juga... Riya juga adalah sahabatku...Jadi--“
“ ‘Teman’?”
“Ukh...
Belum selesai
Runa menyelesaikan kalimatnya, Emi langsung menyela sambil menyipitkan sebelah
matanya.
“..................”
“.........Setelah
kejadian di kantor polisi sewaktu itu, kau masih menyebut Riya-chan sebagai
teman...?”
“I--Itu--“
“Kau jangan
membuatku tertawa. Bahkan sejak Riya-chan di rawat di rumah sakit, kau tak
pernah sekalipun datang dan menjenguknya’kan?”
“....................”
“Eh...Ah...”
Melihat
ekspresi ketakutan di wajah Runa, sekaligus ekspresi kesal di wajah Emi, Haruko
terus menatap bergantian ke arah mereka berdua, sambil terus berpikir apa yang
harus ia lakukan. Situasi yang sebelumnya terasa baik, perlahan mulai terasa
berat.
“Ah,
Kawada-san,”
Haruko
akhirnya memutuskan untuk setidaknya mengatakan sesuatu daripada harus terdiam
dan membiarkan kedua orang itu saling menatap seperti itu. Setidaknya, harus
ada seseorang yang mengendalikan situasi.
Ketika
memutuskan untuk pergi dari mall dan segera menuju ke rumah sakit, Runa,
memegang tangan Haruko dan menghentikannya untuk pergi.
Haruko bingung
dengan sikap Runa tapi segera menjadi lega ketika akhirnya, Runa mau ikut dan
pergi untuk bertemu dengan Riya setelah mereka selesai berbelanja.
Semenjak Riya
di rawat di rumah sakit, tak satu kali pun Runa menginjakkan kakinya di sana.
Tapi bukan berarti, ia tak pernah menanyakan kabarnya dari Haruko.
Tiap kali
membicarakan masalah itu, tubuhnya tak berhenti gemetar dan terlihat sangat
ketakutan, raut wajahnya langsung berubah menjadi sedih dan penuh dengan
penyesalan. Hanya dengan itu saja, Haruko tahu kalau Runa merasa tidak enak
menemui Riya setelah apa yang ia katakan di kantor polisi waktu itu. Ia sendiri
pun, akan merasa sangat sungkan untuk bertemu dengan seorang teman sehabis
mereka bertengkar sangat hebat. Apalagi mengatakan kalau ia sebenarnya sangat
membencinya.
Jadi ia
menganggap tindakan Runa itu sebagai sesuatu yang normal dan membiarkannya
sampai ia sendiri yang memutuskan untuk keluar dan memberanikan dirinya untuk
meminta maaf. Karena bagaimana pun, pertengkaran itu tak akan terjadi jika ia
tak memulainya terlebih dahulu.
Dan ia tak
bisa menyembunyikan perasaan senang sekaligus lega di wajahnya, ketika sahabat
masa kecil yang selalu bergantung padanya itu, mau mengambil inisiatif dan
meminta maaf.
Ia melanjutkan,
“Aku paham
kenapa kau sangat kesal. Karena kau adalah sahabat masa kecil Riya, aku bisa
mengerti kalau kau sangat ingin membelanya. Jujur saja, a--aku juga sedikit
terkejut dengan perkataan Runa waktu itu.”
Kata Haruko
sambil sedikit melirik ke arah Runa. Ia kemudian kembali mengalihkan pandangan
ke arah Emi.
“Tapi aku
yakin, kalau Runa sendiri pasti menyesal dengan apa yang ia katakan pada waktu
itu. Waktu itu, kita baru saja mengalami kejadian yang sangat berat. Perasaan
takut itu membuat kita tak bisa mengontrol emosi kita dan akhirnya meledak.”
“...............Benarkah...?”
Emi terdengar
tidak percaya dengan penjelasan Haruko, lalu melirik ke arah Runa. Dari tatapan
matanya, ia seolah berkata ‘Aku ingin dengar semua penjelasan itu dari mulutmu
sendiri’.
“..................Aku...Aku
selama ini memang tidak pernah menganggap Riya sebagai sahabatku...”
Akhirnya, Runa
berkata dengan kepala tertunduk. Begitu kata-kata itu keluar dari mulut gadis
dengan 2 twintail pendek itu, tak satu pun diantara Haruko maupun Emi yang
mengatakan apapun. Mereka hanya terdiam, dan memperhatikan gadis itu.
“..........Sejak
kemunculannya di SMA, sejak Haruko mendekatinya dan mengajaknya untuk berteman,
aku sudah tidak menyukainya. Haruko adalah temanku satu-satunya...Dan aku tak
bisa membiarkannya jauh lebih dekat lagi dengan gadis seperti Riya. Dari luar
mungkin dia kelihatan biasa-biasa saja. Tapi, semakin lama aku mengenalnya, aku
jadi tahu, dia itu dingin terhadap orang lain, cuek dan tidak peduli dengan
lingkungan sekitarnya. Dia juga selalu mengeluh dan tak pernah menyelesaikan
semuanya dengan benar.”
“...............”
“.......................”
“Tapi yang
paling membuatku tidak suka adalah, ketika dia bisa bersikap sangat bersahabat
di dekat Haruko. Kau tahu? Menurutku itu aneh saja. Dan pelan-pelan aku mulai
merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh semuanya ketika Riya berada
di dekat Kawada-san...”
“Eh, maksudmu,
Riya memanfaat’kan aku, begitu?”
Mendengar
pernyataan Runa yang tiba-tiba itu, Haruko yang tak menyadari hal itu hanya
bisa membuat ekspresi kaget di wajahnya seolah tidak percaya dengan yang ia
dengar.
Runa
menganggukkan kepalanya dengan lemah dan meletakkan kedua tangannya di depan
dada.
“............Aku
takut kalau dia hanya memanfaat’kan kebaikan hati Haruko untuk kepentingannya
sendiri...Makanya aku tidak suka...Tapi...”
“...............”
Ia
menghentikan ucapannya. Butiran air mata mulai terlihat di sudut kedua matanya.
“Hasegawa-san,
sebenarnya seberapa rendah kau pikir Riya-chan itu? Dia tidak mungkin melakukan
hal seperti itu.”
Emi berkata ke
arah Runa, yang mulai terlihat menangis.
“.......Aku
tahu itu! Sebenarnya, jauh di atas semua itu--Aku sendiri merasa iri karena
kedekatan mereka berdua!! Aku tahu aku telah mengatakan sesuatu yang seharusnya
tidak kukatakan dan malah memperburuk suasana...Setelah semua ini terjadi--Aku
mulai berpikir ulang, bahwa mungkin aku terlalu jauh menilainya. Setelah semua
ini terjadi--Aku merasa bersalah karena telah mengatakan semua itu...! Aku
benar-benar salah!!”
“.........Runa...”
Ucap Haruko
pelan sambil melihat ke arah Runa yang
kelihatan sangat menderita.
“Aku tak ingin
menemuinya karena aku merasa malu dengan diriku sendiri! Bagaimana bisa aku
menghadapinya setelah aku mengatakan sesuatu yang sangat mengerikan!!? Aku
tidak ingin dimaaf’kan, dan aku tahu kalau aku tidak akan mendapat maaf sampai
kapanpun, tapi, apapun yang terjadi, aku tetap ingin meminta maaf!! ”
“...............”
“Aku ingin
minta maaf pada Riya, karena itu aku ingin menemuinya! Sebelum itu, aku juga
ingin minta maaf padamu, Kawada-san. Karena aku pikir, jika aku ingin minta
maaf pada Riya, orang lain yang juga harus menerima permintaan maaf dariku,
adalah kau. Kau adalah sahabat masa kecilnya, aku tahu bagaimana rasanya jika
sahabat baikmu di hina oleh orang lain...”
“.................”
“.......Ada
waktu di mana orang-orang mengatakan sesuatu yang buruk terhadap orang yang
berada di dekatmu. Dan di saat itu, hati kita juga akan merasakan luka yang
sama dengan yang mereka alami. Bahkan mungkin jauh lebih menyakitkan, melihat
mereka dihina, dipermalukan di depan umum...Aku tidak akan marah lagi dan
membalas jika kau ingin berteriak lagi...Aku cuma mau minta maaf...Itu saja...”
“Sudah, sudah,
Runa. Itu sudah cukup.”
Haruko menepuk
pundak Runa sampai akhirnya gadis itu menangis lebih keras lagi.
“..............Ya...Kurasa
itu memang cukup...”
Setelah cukup
lama, akhirnya Emi menunjukkan sebuah senyuman yang menggambarkan perasaan lega
di wajahnya, ketika ia menatap ke arah Runa.
“......Ka--Kawada-san...”
Ujar Runa,
yang masih terus berusaha menghapus air matanya. Ia pasti terkejut karena
setelah mengatakan kata-kata kasar padanya, gadis itu akhirnya memperlihatkan
sebuah senyuman. Ia tak menyangka kalau gadis itu akan mengatakannya.
“........Teman
terkadang ada untuk bertengkar. Bukannya sesuatu yang biasa? Tertawa bersama,
bercanda, menangis, terluka, kemudian tertawa lagi. Justru orang-orang yang
bisa melalui semua itu, adalah yang bisa di sebut sebagai ‘teman sejati’.”
Mendengar
ucapan Emi, Haruko mengangguk lalu melingkarkan sebelah tangannya pada leher
Runa.
“Kawada-san
benar. Lagipula, persahabatan itu memang sesuatu yang unik. Justru semakin
sering kita bertengkar, semakin kuat pula ikatan yang terbentuk. Saat di mana
kita bisa melampaui semua itu sambil tetap mempertahankan ikatan tanpa
terputus, saat itulah kita bisa tahu apakah ikatan itu benar-benar pantas
dipertahankan atau dilepas.”
Ujarnya.
“.........Benar...?”
Sedikit
melihat ke arah Haruko di sampingnya, Runa melemparkan sebuah kata tanya.
Dan Haruko
mengangguk sekali lagi.
“Mhmm. Dan,
ah, kurasa Riya tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Mm...Kurasa
dia...Hanya berusaha menjadi teman yang baik saja...Ya, ada beberapa orang yang
hanya mau berteman dengan seseorang yang benar-benar mau menjadi temannya.
Mungkin Riya itu spesial sehingga dia bisa melihat itu. Kan...Ehm! Aku ini
memang sahabat yang terbaik...”
Haruko berkata
sambil menopang dagu dan bintang berkelap-kelip dapat dilihat di sekelilingnya.
“Ugh...”
Mendengar
kata-kata itu benar keluar dari mulut Haruko, Runa hanya bisa melihat dengan
wajah yang tak dapat dideskripsikan.
“Kalau
begitu...”
“............”
Pandangan
mereka berdua kini terarah pada Emi yang berbicara dengan pelan. Ia lalu
berjalan, melewati mereka berdua,kemudian melambaikan tangan,
“Aku harus
segera pulang. Semoga hal menyenangkan lainnya segera terjadi...Ya?”
“Hm? Sesuatu
yang menyenangkan...?”
Haruko
mengulangi perkataan Emi sambil meletakkan telunjuk di dekat bibirnya dan
sedikit memiringkan kepala.
“Apa
maksudnya...?”
Ia bertanya
pada dirinya sendiri. Dan saat itu, ia menyadari kalau Emi telah menghilang di
tengah kerumunan orang.
“Haruko, ayo,
kita ke kamar Riya sekarang.”
Ajak Runa,
memegang lengan Haruko dengan kedua tangannya, membuat gadis berambut pendek
itu tertegun sesaat.
***-***
Setelah itu,
mereka berdua segera menaiki lift dan menuju ke lantai 2. Lorong rumah sakit
terlihat cukup sepi malam itu. Hanya terlihat beberapa orang yang sedang duduk
di luar ruangan. Sepertinya menunggu keluarga mereka yang sedang di rawat.
Tergambar wajah tertekan di masing-masing wajah mereka.
Tak pernah
tahu, kalau ternyata menunggu seseorang itu sangat menyakitkan.
“.........Bukannya
rumah sakit di malam hari sangat menyeramkan, Runa?”
“Eh..Di sini
memang gelap...”
Seperti yang
biasanya terjadi di dalam sebuah kisah horor yang ber-setting di rumah sakit.
Lampu yan tiba-tiba redup, lorong yang seharusnya tak ada seorang pun di sana,
tiba-tiba terdengar langkah kaki misterius.
Hanya
membayangkannya saja, sudah membuat tubuh bergidik ngeri. Apalagi, dengan
adanya kasus pembunuhan misterius itu...Apa pembunuh itu, ada di dalam rumah
sakit ini?
“Mungkin lebih
baik tidak usah membayangkan yang aneh-aneh...Ha ha ha...”
Haruko
terdengar seperti seseorang yang sedang memaksakan dirinya untuk tertawa ketika
ia mengatakan itu.
“Aku tak
membayangkan apapun.”
Dan Runa
membalasnya dengan singkat. Meski begitu, tangannya tak berhenti memegang
lengan baju Haruko dengan erat.
Beberapa saat
kemudian, akhirnya mereka sampai juga di ruangan yang menjadi tujuan mereka.
Sebuah pintu berwarna antara hijau pucat dan putih, dengan angka 27 yang
tertera, menyambut mereka berdua.
Yang terjadi
di hari-hari biasanya, mereka berdua selalu bertemu dengan orang itu. Baik saat
masuk maupun libur, setidaknya dalam waktu semenjak mereka saling mengenal, tak
satu hari pun mereka lewatkan tak saling bertemu.
Baru kali ini
saja, sudah 5 hari mereka tak melihatnya.
Ketika
tangannya berusaha membuka gagang pintu itu, tiba-tiba saja sebuah kejadian
kembali terbayang di benaknya.
Saat pertama
kali bertemu--
“Kamu Miyashita’kan? Kulihat kau tak terlalu
memiliki banyak teman.”
“Eh?”
“Kalau kamu tidak masalah, mau’kan, menjadi
teman baikku? Teman yang selalu ada untukku?”
Pertama kali,
dia yang mengajaknya untuk berteman. Apa dia sudah menjadi teman yang baik?
Atau sebaliknya?
Ia setidaknya
sedikit sadar kalau ia memang lebih sering menghabiskan waktu dengan Runa. Mau
bagaimana pun, ia jauh lebih lama bersama Runa, sejak mereka masih sangat
kecil. Mereka sudah tahu kelemahan dan sisi negatif masing-masing. Tapi itu
bukan berarti ia tak mau membuang waktu dengannya. Ia benar-benar mau berteman
dengannya.
“[Karena bagaimanapun...Sejak awal aku yang
sudah memulainya...Jadi...].”
Seandainya
‘itu’ tidak terjadi,
“[Apa yang aku pikirkan? Bukan waktunya untuk
memikirkan hal itu...].”
“Haruko,
wajahmu pucat?”
“Oh...”
Ia tiba-tiba
tersentak kaget ketika gadis di belakangnya menyebut namanya. Ia kemudian
tersenyum, berusaha membuat kesan seolah ia baik-baik saja.
“Tidak, aku
baik. Hanya agak gugup. Aku sudah membicarakannya dengan Kawada-san tentang ini
dan dia bilang Riya akan sangat senang kalau aku bisa datang menemuinya. Tapi
tetap saja, aku agak takut.”
Ia berkata
sambil menggaruk rambutnya yang pendek. Sebelah tangannya masih memegang gagang
pintu.
“....................”
Mendengar itu,
Runa, menundukkan kepala sambil kembali terlihat sedih.
“Aku yang
salah, tapi kenapa malah kamu yang takut...?”
Ujarnya.
“Memangnya
kamu tidak takut?”
“T--Tentu saja
aku takut! Kan aku yang mengatakan semua hal buruk itu, menghinanya
habis-habisan dan berkata kalau dia itu pembunuh! Tapi, ya, setelah kejadian
ini, aku tahu kalau bukan dia yang salah dan aku menyesal!! Walau begitu, fakta
bahwa aku berkata seperti itu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun! Kau
sendiri, apa yang kau katakan? Kau tidak mengatakan sesuatu yang berat’kan?
Makanya aku tanya, kenapa kau takut?”
“....................”
Ia hanya
terdiam dan menatap ke arah Runa seusai mendengar pertanyaan itu, kemudian mengalihkan
pandangannya ke gagang pintu yang tanpa ia sadari terus ia sentuh sejak tadi.
“..........Karena
aku meninggalkannya...”
“Meninggalkannya?”
“Karena waktu
itu, aku--Pergi tanpa melihat ke arahnya sedikit pun. Aku mengeluarkan
kata-kata dingin yang tersimpan kekejaman di dalamnya. Aku
meninggalkannya...Padahal aku temannya--! Harusnya aku--Bisa tetap bersama di
sisinya...Menemaninya saat masalah yang besar menerpanya. Tapi, aku malah
membalikkan tubuhku...”
“................”
Haruko
menghentikan perkataannya dan menundukkan kepala. Beberapa saat setelahnya, ia
mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis ke arah Runa,
“Aku
ini--Memang benar-benar yang terburuk...”
“Haru--“
Dan tepat saat
itu,
KRIIIET
“Ah!?”
Haruko
tertegun, begitu menyadari seseorang dari balik pintu menggerakan gagang pintu,
dan membukanya.
“.....................”
Hanya dalam
hitungan detik, pintu tersebut, terbuka.
“................”
Dari dalamnya,
muncul seorang gadis, dengan rambut pirang panjang.
“..............Riya.”
“Haruko...Runa...?”
“Riya! Kau
baik-baik saja!?”
Haruko, yang
masih sedikit terkejut karena kemunculan Riya yang tiba-tiba itu, langsung
mendekatinya dan memeluknya. Sementara Runa, masih berdiri di tempatnya.
“...................”
“Ah...Aku
senang sekali...Karena pada akhirnya aku bisa bertemu lagi...”
Ucap Haruko
dengan perasaan lega bercampur senang. Rasanya seperti semua peraaan yang ia
simpan selama ini, telah keluar dan terbang ke lagit, membuat tubuhnya serasa
lebih ringan.
Seperti bisa
melakukan apapun yang ia inginkan, dan kata-kata itu keluar dari dalam mulutnya
secara alami.
Ia lalu
melanjutkan,
“Maaf karena
aku baru bisa datang menjengukmu sekarang...”
“.................”
“Aku--Aku
merasa sangat bersalah padamu...Atas apa yang aku lakukan di kantor polisi waktu
itu...Atas semua perkataanku padamu...Lalu...”
“Mmm...”
Ketika Haruko
tiba-tiba mengalihkan pandangan kepadanya, Runa tidak bisa menahan dirinya
untuk tidak tertegun. Ia lalu tertunduk dengan wajah penuh dengan penyesalan.
Haruko
memperhatikan Runa untuk sesaat, kemudian melepaskan dirinya dari Riya. Ia lalu
menatap ke arah gadis itu, yang aneh, ia tak seperti balas menatap dirinya
meski mata mereka saling bertemu.
“........Atas
apa yang Runa katakan padamu...Aku minta maaf atas semuanya...”
“........................”
“Runa sudah
menjelaskannya padaku. Semua yang dia rasakan. Semua yang ia pikirkan tentang
dirimu, ia sudah memberitahukan semuanya padaku tanpa kecuali. Runa memang
membencimu...”
Haruko
mengatakan ini, dan saat itu, bahu Runa bergetar ketika mendengarnya. Rasanya
aneh, ketika memberitahu seseoang bahwa kau membenci mereka.
“.................”
“Meskipun
begitu, dia menyesal setelah mengetahui semua kejadian ini menimpamu. Dia
menyesal atas kematian ibumu...Dia menyesal atas semuanya...”
“....................”
“Aku pun...”
Sambil berkata
seperti itu, Haruko meletakkan kedua tangannya di pundak Riya tanpa melihat ke
arah wajahnya, dan justru menatap ke arah lantai.
“Aku pun
sangat menyesal, dan merasa sangat malu untuk berhadapan lagi denganmu. Seorang
teman, tak seharusnya melakukan sesuatu yang aku lakukan. Karena itu, bagaimana
kalau kita mulai semuanya dari awal lagi...”
Kemudian
mengangkat wajahnya, memberikan sebuah senyuman,
“Sebagai
seorang ‘sahabat’. Kali ini, benar-benar ‘sahabat’.”
“........................”
“........Riya?”
“..........Sudah
selesai...?”
“?”
Riya, akhirnya
setelah sekian lama membuka mulutnya dan membuat suara. Namun yang membuat
Haruko terkejut adalah, ekspresi suram yang dibuat oleh gadis itu. Sangat
terlihat menakutkan.
Dengan pelan,
Riya melepas tangan Haruko dari bahunya, kemudian berkata,
“............Apa
yang kalian berdua lakukan di sini...? Pergi dari hadapanku sekarang...”
“............Eh...?”
“Pergi atau--“
“!!?”
“Ha--Haruko!”
Baik Haruko
maupun Runa, tak ada yang tak terkejut ketika melihat apa yang sedang ada di
hadapan mereka saat ini.
Dan sekali
lagi, dengan nada yang sangat dingin, Riya membuka mulutnya dan berkata--
“Seperti yang
sudah aku katakan waktu itu--“
“..................”
“Akan kubunuh
kalian berdua di sini.”
--Kemudian
mempertunjukkan sebilah pisau tajam di tangannya, tepat di hadapan mereka
berdua.
***-***
A/N : Halo, minna XDD
HTMF chapter 9! Cerita diawali dengan ending dari ch8 HTMF Vol.1, di
mana si Riya berusaha menelepon Mochida, tapi Mochida-nya malah ngga
sadar//gimana sih Mochida?!
Hatsui: Miyashita pasti kecewa
banget kalau tahu ternyata Mochida ngga dateng, padahal dari nomornya Takashi
ama Hasegawa, dia malah menelepon Mochida yang dia benci...
Itu karena Riya baru aja berantem hebat sama Runa dan Haruko...//Dia
ngga punya nomor telepon temen yang lain karena ngga deket...
Hatsui: Tapi kalau nomor telepon,
ada Kawada juga’kan?
Hn?! Oh ya. Mm...Mungkin Riya pikir Mochida bisa nolong dia, karena
bahaya kalau Emi sampai dateng.
Hatsui: Intinya, dia cuma mau
mengobankan Mochida aja’kan!? Jahat banget!!!
Di cerita dengan tema pembunuhan spt ini, ngga ada chara yang
bener-bener baik.
Hatsui: Tapi--Aku baru sadar
kalau Miyashita suka Haganai?
Riya’kan emang suka komedi. Dia juga baca Baka to test.
Hatsui:Dia baca Kagerou Days
juga.
Itu karena ceritanya emang bagus, menarik dan cowoknya keren-keren.
Hatsui : Dari vol.1, kayaknya dia
juga baca Shakugan no Shana//yang 22 volume LN itu.
SnS kan bagus bgt emang. Anggap saja, Riya itu bukan tipe orang yang
mempermasalahkan genre. Asal cerita menarik, dia pasti suka!
Hatsui: Sebenarnya itu kamu’kan? Di
awal cerita kali ini...Kelihatan Miyashita yang nampak stress berat...Makan tak
habis, ucapan Kawada sama sekali nggak digubris. Aku kasihan liatnya...Terus,
waktu Mochida mau dateng, eh, Kawada malah ngusir...
Emi hanya berusaha menjadi sahabat yang ‘sempurna’ sesuai keinginan
Riya. Itu berarti, dia bakal menjauhkan siapapun yang menyakiti Riya. Bahkan
mungkin hanya karena salah kecil//Emang Mochida salah, ya?
Hatsui: Orang-orang kelihatannya
juga mulai ngga peduli sama pembunuhan itu. Pembunuhnya belum ketemu, tapi
bener kata Takashi, mereka malah terkesan ngga peduli. Kayaknya, kalau bukan
mereka yang kena, orang-orang itu ngga akan pernah benar-benar peduli sama yang
jadi korban. Tapi aku senang lihat Takashi yang mau ketemu Miyashita! Nampaknya,
Takashi itu orang yang baik bgt deh. Sedangkan Hasegawa...Aku ngga tahu dia itu
baik, egois, atau sikapnya itu palsu?
Sejak awal, Riya sendiri udah sadar’kan kalau yang mau temenan sama dia
cuma Haruko? Sedangkan Runa cuma pura-pura berteman dengannya, dan berusaha
menjauhkan Haruko.
Hatsui: Terus si Itsuki--Ngga ada
angin ngga ada hujan, dia minta maaf ke semua murid yang dia udah bully? Kasian lagi si Fujikawa itu...Di
suruh sujud juga...Jahat banget si Itsuki...Udah gitu, minta maafnya cuma
gara-gara disuruh ama Mochida! Ngga ada tulus-tulusnya, mending ga usah
dimaafin, Fujikawa!
Tapi Itsuki udah sadar dikit-dikit loh. Gara-gara kedua sahabatnya
meninggal, dia jadi takut kalau berikutnya dia yang bakal kehilangan nyawa, dan
itu bikin dia pelan-pelan sadar kalo dia salah.
Hatsui: Jadi harus Sasagawa ama
Karisawa mati dulu baru dia sadar?
Mn...Ngga gitu juga sih//kejam amat. Intinya, dengan adanya kejadian
itu membuka mata Itsuki atas apa yang selama ini telah ia lakukan. Ingatannya
kembali di refresh, dia juga sadar kalau sebenarnya dia ngga punya banyak temen
karena beberapa anggota gang-nya dia, mengikuti dia karena takut. Dia minta
maaf sama Fujikawa, awalnya emang ngga tulus. Tapi akhir-akhir dia bilang kalo
ngga ada motifnya. Dan yang pikirannya semakin terbuka gara-gara ada kasus ini
bukan cuma Itsuki aja. Meski gitu, dia kayaknya tetep ngga terlalu suka ama
Riya deh...
Sejak awal, Itsuki itu emang ngga terlalu penting, jadi ngga ada
adegannya dia nge-bully si Riya atau murid-murid lain secara langsung//plaak.
Hatsui:Terakhir--Apaan itu bagian
terakhirnyaaa!!? Si Miyashita serius mau nge-bunuh Hasegawa ama Takashi!!?
Jangan Miyashitaaa!!! Mereka udah serius mau minta maaf dan berteman lagi
denganmu! Turunkan pisau itu!! Ah!! Aku butuh next chapternyaaa!! Apa yang akan
terjadi, ya!?
Sayang sekali, next chapternya kita ngga akan membahas bagian ini.
Hatsui: Ha? Terus--Ch berikutnya
isinya apaan?
Di ch10, kita akan mundur ke beberapa hari yang lalu, ketika Sasagawa
dan Karisawa masih hidup. Ini, adalah cerita tentang malam terbunuhnya kedua
sahabat itu.
Next Chapter :
Aku Melihat Seseorang Yang Seharusnya Tak
Ada Di Sana
Visit : DA
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar