Senin, 09 Februari 2015

Story : Faraway Days


Story : Faraway Days
 
 Read :


FARAWAY DAYS

“Aku tidak akan pernah melupakan hari-hari itu.”

Kelopak bunga berwarna putih itu,terbang terbawa angin yang lembut, kemudian terjatuh tepat di atas lembaran halaman berwarna putih yang telah penuh dengan huruf tentang hari-hariku. Duduk di bawah pohon yang rindang, bayangan dirimu yang sedang tertawa di sampingku, samar-samar kembali terbayang. Rambutmu yang berwarna hitam terlihat lembut ketika angin membuatnya berkibar. Aku tak ingin melupakannya, bahkan tiap detik.
Sebuah bolpoin di tangan kananku, tak berhenti menulis, mengisi tiap lembar yang masih kosong itu dengan kata-kata. Menceritakan tentang aku dan kamu, yang terpisah oleh hari-hari yang jauh itu.
Aku berpikir, apakah ketika aku sudah memenuhi seluruh lembaran ini, kisah kita akan berakhir? Atau justru baru akan di mulai?
Namun satu hal yang aku tahu, bahwa kau tidak akan pernah melupakan aku dan hari-hari berharga yang telah kita lalu bersama.
‘Jangan pernah lupa’,
Kata-kata yang kau ucapkan sebelum menghilang dari hari-hariku dan menjadi kepercayaan untukku.
Tidak salah’kan jika aku berharap kau akan kembali?

Hey, sampai kapanpun, aku akan terus menunggumu...

Hari-hari yang jauh itu terasa tidak nyata dan seperti ilusi.
 Kemarin aku masih bisa melihat senyumanmu, namun besoknya, aku tak bisa menemukan sosokmu bahkan di dalam mimpiku.
Meskipun begitu, ketika aku merasakan cahaya matahari yang menembus jendela sampai ke dalam ruangan tempat biasanya kita selalu bermain, aku bisa merasakan kalau hari-hari yang aku habiskan denganmu itu adalah nyata.
Hanya dengan itu, yang menjadi kekuatanku, menunggumu untuk kembali kemari.
Bayangan kita memang semakin jauh tiap harinya, bersamaan dengan hari-hari yang jauh itu semakin pudar, tapi bahkan sampai keesokan harinya, aku akan terus menulis cerita, yang mendekatkan kita berdua.

“Di sini, aku selalu berdoa agar kebahagiaan yang sesungguhnya bisa terlihat melalui dirimu.”

Berdiri di bawah langit yang biru, entah sudah hari ke berapa sejak perpisahan kita pada saat itu. Aku sudah mulai lelah menghitung hari dan pada saat bersamaan mulai melupakannya. Aku mengulurkan tanganku ke atas. Dulu kita sering membuat bingkai dengan tangan kita dan melihat langit dari dalamnya, cukup untuk kita berdua.
Kini hanya ada tanganku seorang tanpa ada tangan lainnya yang akan melengkapi bingkai ini. Kenangan mulai kembali. Namun bercampur dengan rasa sedih. Karena aku tahu, kalau itu tidak akan pernah terjadi lagi.
Duduk di bawah pohon yang rindang, aku mencabut beberapa helai rumput dengan sebelah tanganku. Aku tertegun oleh suara tawa seseorang dan bersamaan dengan itu pula, suara langkah kaki anak kecil yang berlarian di tengah rumput yang bergoyang itu, berlarian dengan bebasnya dengan angin di belakang mereka, mengarah ke langit yang luas dan besar.

“Sangat jauh, sangat jauh...”

Hari-hari yang jauh itu, sebuah rumah kecil di bawah bukit, sebuah pohon besar di puncak bukit dan aliran sungai yang biasanya kulalui, akankah suatu hari nanti berubah? Akankah suatu hari nanti aku lupakan?
Karena tidak mungkin untuk selamanya aku bisa menyimpan sebuah perasaan yang sama.
Tapi, seperti yang sudah kukatakan padamu,

“Aku akan ada di sini untuk menunggumu...”

Berdiri di bawah pohon rindang, aku mengulurkan sebelah tanganku sementara tanganku yang lain mengenggam sebuah buku bersampul biru.
Tanganku menggenggam buku, melindungi semua kenangan dan cerita hari-hari yang kita lewati, tidak ingin melupakannya.
Dan tanganku yang lain, mencari keberadaanmu di balik perbatasan yang jauh, namun tak kutemukan bayang-bayang siapapun di sana, mulai melupakannya.
Perlahan, kelopak bunga berwarna putih itu terjatuh dengan lembut di atas telapak tanganku.
Bolehkah aku menjaganya?
Hari-hari kita yang jauh itu?

Karena ketika tanganku berusaha menggapai bayang-bayangmu, sosokmu menghilang, menjauh dan tidak bisa kugapai. Seolah kau terbang jauh ke atas langit dan aku di sini, hanya bisa mengulurkan tangan ke atas, tanpa bisa meraih tanganmu.

“Karena aku berada di sisi jurang, di mana aku tidak mungkin bisa melangkah.”

Apa aku bisa terus menunggumu?

Hari-hari yang jauh itu, terasa tidak nyata dan seperti ilusi.
Seolah seperti tidak pernah terjadi, kemarin aku masih ingat dengan jelas wajah dan suaramu ketika menyebut namaku.
Namun esok harinya, bahkan aku mulai melupakan beberapa hal tentang dirimu.
Ketika aku berdiri di samping jendela yang kini terasa suram dan dingin, di ruangan tempat biasanya kita bermain, aku mulai meragukan apakah hari-hari yang aku habiskan denganmu itu nyata?
Ataukah hanya sebuah bayangan yang kejam?
Kekuatanku untuk menunggumu kembali kemari perlahan-lahan sudah tidak tersisa, tergantikan oleh sebuah mimpi, di mana kau tidak ada di sisiku.
Melupakan wujudmu.
Seperti apa senyumanmu? Aku ingin melihatnya sekali lagi.

“Ketika tanganku sedang menulis tentang hari-hari yang jauh itu,”

Tanganku tiba-tiba berhenti menulis.
Di satu baris, pada halaman terakhir, aku kehilangan sesuatu yang ingin aku isikan. Entah mengapa baris terakhir itu tetap kosong, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian,
Ketika ingatanku tentangmu,
Sudah hampir tak tersisa lagi.
Bayangan kita berdua kini sudah tidak terlihat lagi. Bayang-bayangmu yang biasanya hadir di sisiku, aku sudah tidak bisa lagi merasakan kehadiranmu lagi. Bahkan sampai keesokan harinya, hari-hari yang jauh itu akan terasa semakin menjauh sampai akhirnya benar-benar tak tergapai olehku dan selalu luput dari genggamanku.
Mungkin, ini adalah akhir dari cerita yang aku tulis, sebuah kisah yang menjauhkan kita berdua.

“Karena di mimpiku yang jauh itu...”

Anak-anak tertawa, berlari, menulis nama mereka sepanjang langit biru dengan sebuah kotak kaca berisi jangkrik yang bernyanyi, di dalam kenangan itu.
Di dalam mimpiku yang jauh itu, aku selalu berjalan dan berjalan, seorang diri, melalui sebuah rumah tua yang mulai berlumut, melalui sebuah pohon rindang yang kini mulai terlihat rapuh, melalui aliran sungai yang biasanya aku lalui,
Apakah sudah waktunya bagiku untuk memilih jalan lain?
Jalan di mana kau tidak pernah menjadi sebuah kenyataan indah dalam hidupku?

“Tapi meski begitu, aku masih berdiri di sini,”

Meskipun begitu, meski aku tidak ingat lagi akan sosokmu, meski ruangan dingin yang biasanya kita bermain di sana telah membeku oleh waktu dan tak tersentuh cahaya matahari lagi, meski baris terakhir itu belum terisi dan satu kata itu belum kutemukan,
Aku bisa merasakan genggaman tangan seseorang yang terasa hangat.
Bahkan sampai detik ini, di bawah pohon tua ini, aku tetap berdiri seorang diri, melemparkan pandangan pada hari-hari yang jauh di belakang itu.
Menunggu seseorang yang telah aku lupakan, ingin kembali mengingatnya.
Mungkinkah aku bisa mengingatmu?
Hari-hari yang jauh itu sekali lagi?
Senyuman yang terasa baik itu, tidak bisa muncul di ingatanku. Walaupun seperti itu, kata ‘Jangan pernah lupa’, terus bergema di telingaku, seolah mengingatkanku akan janji kita.
Kata-kata yang kau ucapkan sebagai tanda perpisahan dari hari-hariku dan satu-satunya yang masih aku ingat.
Bayang-bayangmu sudah tidak terasa lagi, tidak terlihat lagi. Tapi entah mengapa, tanganku tetap terulur, mencari keberadaanmu di perbatasan.
Bisakah aku menemukanmu? Yang tersembunyi di balik hari-hari yang jauh itu?
Tidak cukup seperti ini saja. Aku ingin kembali melihatmu. Memecahkan gelas kaca tempatku terkurung dan mencari dirimu sekali lagi.
Meski hanya dengan serpihan-serpihan memory-ku yang seperti pasir putih,
Aku, pasti,
Akan menemukan dirimu di dalam diriku.

“Aku telah menunggumu...”

Hari-hari yang jauh itu, tidak terasa nyata dan seperti ilusi.
Seperti dunia yang transparan, di mana aku bisa melihat diriku sendiri di dalamnya bersama denganmu, yang kulupakan, namun sama sekali tak bisa kusentuh.
Kemarin, aku tidak bisa merasakan apapun tentang dirimu, namun hari esoknya aku mencoba untuk kembali merasakan kehadiranmu di sisiku.
Ketika aku kembali lagi ke ruangan berdebu yang sudah tak tersentuh bertahun-tahun lamanya, samar-samar, bayangan kita yang yang dulu mulai terlihat berkeliaran, saling mengejar, bercanda dan tertawa. Kujulurkan tanganku, berusaha membelai figurmu dari kejauhan. Walau wajahmu tak nampak dengan jelas, tapi kuyakin bahwa itu adalah dirimu.
Hanya dengan itu, aku bisa yakin kalau hari-hari yang kuhabiskan bersama denganmu,
Ternyata benar-benar nyata.
Tanganmu yang menyentuh pipiku, tanganmu yang menggenggam jari-jariku yang bergetar, sekarang dan selamanya, aku akan mendekap semua kehangatan yang ditinggalkan.
Bersamaan dengan aku melihat ke dalammu, dengan bayang-bayang yang semakin besar, melihat keluar melalui jendela kecil yang berdebu, perlahan menghapusnya, sinar matahari itu masuk dan menusuk mataku. Pemandangan yang biasanya selalu aku lihat dari sini, yang sudah bertahun-tahun tak kulihat itu,

“Ah, pemandangan ini indah sekali...”

Aku ingin menangis.
Air mataku mulai mengalir, mengaliri pipiku, jatuh ke atas lantai.
Kau berkata kepadaku, bahwa satu-satunya harapanmu, adalah supaya perasaan kita bisa berbalas, jadi kita bisa melihat satu sama lain untuk selamanya.
Sekarang ketika aku menutup mataku dengan perlahan, kata-katamu timbul di dalam hatiku, senyumanmu pada waktu itu, benar-benar sangat menakjubkan.

Aku mungkin sudah tidak ingat lagi seperti apa wujudmu, tapi aku tahu, betapa menakjubkannya dirimu untukku, betapa berkilaunya senyumanmu, betapa indahnya kibaran rambutmu, dan betapa sungguhnya kata-katamu padaku waktu itu.
Aku yakin kalau kau akan benar-benar kembali.
Itu menjadi kekuatanku, untuk kembali menunggumu.

Bayangan kita memang semakin jauh tiap harinya dan bahkan mungkin sampai keesokannya harinya, kita mungkin tidak akan bertemu lagi.
Tapi aku tahu satu hal.
Cerita kita belum berakhir. Karena satu halaman terakhir itu masih belum terisi.
Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya aku kembali mengingatnya, sesuatu yang ingin aku isikan, sesuatu yang ingin aku sampaikan pada bayangmu, kata-kata yang aku lupakan.
Walau wujudmu tak dapat kuingat lagi, tanganku kembali menulis.
Mengisi satu baris terakhir itu.

Bayangan kita memang semakin jauh tiap harinya,
Tapi, bahkan sampai keesokan harinya, tanganku akan terus mencari sosokmu di perbatasan,
Aku akan terus menulis cerita, yang mendekatkan kita berdua...

Dan hari-hari yang jauh itu...

“Hari-hari yang jauh itu, di sebuah desa kecil, di sebuah rumah tua, pohon rindang yang kini sudah tak ada lagi, dan sepanjang aliran sungai itu,
Meski semuanya telah menghilang, meski semuanya telah tidak sama seperti dulu lagi, meski sosokmu tak lagi kuingat,
Tapi bukti bahwa kita bermain, berlarian,
Bukti bahwa kau pernah ada di sampingku,
Dan rasa cintaku kepadamu,
 Semua itu adalah sesuatu yang nyata
 Kita hidup di sana...

Sampai saat ini, aku masih berdiri di sini, terus menunggu...”

-[FARAWAY DAYS] THE END-

 A/N :
Cerita One-shot yang terinspirasi dari lagu Haruka na Hibi :)
Sankyuu!!

Visit : Ngomik

         DA

Author,
Fujiwara Hatsune



Tidak ada komentar:

Posting Komentar