Story : Faraway Days
Read :
FARAWAY DAYS
“Aku tidak
akan pernah melupakan hari-hari itu.”
Kelopak bunga berwarna putih itu,terbang terbawa
angin yang lembut, kemudian terjatuh tepat di atas lembaran halaman berwarna
putih yang telah penuh dengan huruf tentang hari-hariku. Duduk di bawah pohon
yang rindang, bayangan dirimu yang sedang tertawa di sampingku, samar-samar
kembali terbayang. Rambutmu yang berwarna hitam terlihat lembut ketika angin
membuatnya berkibar. Aku tak ingin melupakannya, bahkan tiap detik.
Sebuah bolpoin di tangan kananku, tak
berhenti menulis, mengisi tiap lembar yang masih kosong itu dengan kata-kata.
Menceritakan tentang aku dan kamu, yang terpisah oleh hari-hari yang jauh itu.
Aku berpikir, apakah ketika aku sudah
memenuhi seluruh lembaran ini, kisah kita akan berakhir? Atau justru baru akan
di mulai?
Namun satu hal yang aku tahu, bahwa kau tidak
akan pernah melupakan aku dan hari-hari berharga yang telah kita lalu bersama.
‘Jangan pernah lupa’,
Kata-kata yang kau ucapkan sebelum menghilang
dari hari-hariku dan menjadi kepercayaan untukku.
Tidak salah’kan jika aku berharap kau akan
kembali?
Hey, sampai kapanpun, aku akan terus
menunggumu...
Hari-hari yang jauh itu terasa tidak nyata
dan seperti ilusi.
Kemarin aku masih bisa melihat senyumanmu,
namun besoknya, aku tak bisa menemukan sosokmu bahkan di dalam mimpiku.
Meskipun begitu, ketika aku merasakan cahaya
matahari yang menembus jendela sampai ke dalam ruangan tempat biasanya kita
selalu bermain, aku bisa merasakan kalau hari-hari yang aku habiskan denganmu itu
adalah nyata.
Hanya dengan itu, yang menjadi kekuatanku,
menunggumu untuk kembali kemari.
Bayangan kita memang semakin jauh tiap
harinya, bersamaan dengan hari-hari yang jauh itu semakin pudar, tapi bahkan
sampai keesokan harinya, aku akan terus menulis cerita, yang mendekatkan kita
berdua.
“Di sini,
aku selalu berdoa agar kebahagiaan yang sesungguhnya bisa terlihat melalui
dirimu.”
Berdiri di bawah langit yang biru, entah
sudah hari ke berapa sejak perpisahan kita pada saat itu. Aku sudah mulai lelah
menghitung hari dan pada saat bersamaan mulai melupakannya. Aku mengulurkan
tanganku ke atas. Dulu kita sering membuat bingkai dengan tangan kita dan
melihat langit dari dalamnya, cukup untuk kita berdua.
Kini hanya ada tanganku seorang tanpa ada
tangan lainnya yang akan melengkapi bingkai ini. Kenangan mulai kembali. Namun
bercampur dengan rasa sedih. Karena aku tahu, kalau itu tidak akan pernah
terjadi lagi.
Duduk di bawah pohon yang rindang, aku
mencabut beberapa helai rumput dengan sebelah tanganku. Aku tertegun oleh suara
tawa seseorang dan bersamaan dengan itu pula, suara langkah kaki anak kecil yang
berlarian di tengah rumput yang bergoyang itu, berlarian dengan bebasnya dengan
angin di belakang mereka, mengarah ke langit yang luas dan besar.
“Sangat
jauh, sangat jauh...”
Hari-hari yang jauh itu, sebuah rumah kecil
di bawah bukit, sebuah pohon besar di puncak bukit dan aliran sungai yang
biasanya kulalui, akankah suatu hari nanti berubah? Akankah suatu hari nanti
aku lupakan?
Karena tidak mungkin untuk selamanya aku bisa
menyimpan sebuah perasaan yang sama.
Tapi, seperti yang sudah kukatakan padamu,
“Aku akan
ada di sini untuk menunggumu...”
Berdiri di bawah pohon rindang, aku mengulurkan sebelah tanganku
sementara tanganku yang lain mengenggam sebuah buku bersampul biru.
Tanganku menggenggam buku, melindungi semua kenangan dan cerita
hari-hari yang kita lewati, tidak ingin melupakannya.
Dan tanganku yang lain, mencari keberadaanmu di balik perbatasan
yang jauh, namun tak kutemukan bayang-bayang siapapun di sana, mulai
melupakannya.
Perlahan, kelopak bunga berwarna putih itu terjatuh dengan lembut
di atas telapak tanganku.
Bolehkah aku menjaganya?
Hari-hari kita yang jauh itu?
Karena ketika tanganku berusaha menggapai bayang-bayangmu, sosokmu
menghilang, menjauh dan tidak bisa kugapai. Seolah kau terbang jauh ke atas
langit dan aku di sini, hanya bisa mengulurkan tangan ke atas, tanpa bisa
meraih tanganmu.
“Karena
aku berada di sisi jurang, di mana aku tidak mungkin bisa melangkah.”
Apa aku bisa terus menunggumu?
Hari-hari yang jauh itu, terasa tidak nyata dan
seperti ilusi.
Seolah seperti tidak pernah terjadi, kemarin aku masih ingat
dengan jelas wajah dan suaramu ketika menyebut namaku.
Namun esok harinya, bahkan aku mulai melupakan beberapa hal
tentang dirimu.
Ketika aku berdiri di samping jendela yang kini terasa suram dan
dingin, di ruangan tempat biasanya kita bermain, aku mulai meragukan apakah
hari-hari yang aku habiskan denganmu itu nyata?
Ataukah hanya sebuah bayangan yang kejam?
Kekuatanku untuk menunggumu kembali kemari perlahan-lahan sudah
tidak tersisa, tergantikan oleh sebuah mimpi, di mana kau tidak ada di sisiku.
Melupakan wujudmu.
Seperti apa senyumanmu? Aku ingin melihatnya sekali lagi.
“Ketika
tanganku sedang menulis tentang hari-hari yang jauh itu,”
Tanganku tiba-tiba berhenti menulis.
Di satu baris, pada halaman terakhir, aku kehilangan sesuatu yang
ingin aku isikan. Entah mengapa baris terakhir itu tetap kosong, bahkan sampai
bertahun-tahun kemudian,
Ketika ingatanku tentangmu,
Sudah hampir tak tersisa lagi.
Bayangan kita berdua kini sudah tidak terlihat lagi. Bayang-bayangmu
yang biasanya hadir di sisiku, aku sudah tidak bisa lagi merasakan kehadiranmu
lagi. Bahkan sampai keesokan harinya, hari-hari yang jauh itu akan terasa
semakin menjauh sampai akhirnya benar-benar tak tergapai olehku dan selalu
luput dari genggamanku.
Mungkin, ini adalah akhir dari cerita yang aku tulis, sebuah kisah
yang menjauhkan kita berdua.
“Karena
di mimpiku yang jauh itu...”
Anak-anak tertawa, berlari, menulis nama mereka
sepanjang langit biru dengan sebuah kotak kaca berisi jangkrik yang bernyanyi,
di dalam kenangan itu.
Di dalam mimpiku yang jauh itu, aku selalu berjalan
dan berjalan, seorang diri, melalui sebuah rumah tua yang mulai berlumut,
melalui sebuah pohon rindang yang kini mulai terlihat rapuh, melalui aliran
sungai yang biasanya aku lalui,
Apakah sudah waktunya bagiku untuk memilih jalan lain?
Jalan di mana kau tidak pernah menjadi sebuah
kenyataan indah dalam hidupku?
“Tapi
meski begitu, aku masih berdiri di sini,”
Meskipun begitu, meski aku tidak ingat lagi akan
sosokmu, meski ruangan dingin yang biasanya kita bermain di sana telah membeku
oleh waktu dan tak tersentuh cahaya matahari lagi, meski baris terakhir itu
belum terisi dan satu kata itu belum kutemukan,
Aku bisa merasakan genggaman tangan seseorang yang
terasa hangat.
Bahkan sampai detik ini, di bawah pohon tua ini, aku
tetap berdiri seorang diri, melemparkan pandangan pada hari-hari yang jauh di
belakang itu.
Menunggu seseorang yang telah aku lupakan, ingin
kembali mengingatnya.
Mungkinkah aku bisa mengingatmu?
Hari-hari yang jauh itu sekali lagi?
Senyuman yang terasa baik itu, tidak bisa muncul di
ingatanku. Walaupun seperti itu, kata ‘Jangan pernah lupa’, terus bergema di
telingaku, seolah mengingatkanku akan janji kita.
Kata-kata yang kau ucapkan sebagai tanda perpisahan
dari hari-hariku dan satu-satunya yang masih aku ingat.
Bayang-bayangmu sudah tidak terasa lagi, tidak
terlihat lagi. Tapi entah mengapa, tanganku tetap terulur, mencari keberadaanmu
di perbatasan.
Bisakah aku menemukanmu? Yang tersembunyi di balik
hari-hari yang jauh itu?
Tidak cukup seperti ini saja. Aku ingin kembali
melihatmu. Memecahkan gelas kaca tempatku terkurung dan mencari dirimu sekali
lagi.
Meski hanya dengan serpihan-serpihan memory-ku yang seperti pasir putih,
Aku, pasti,
Akan menemukan dirimu di dalam diriku.
“Aku
telah menunggumu...”
Hari-hari yang jauh itu, tidak terasa nyata dan seperti ilusi.
Seperti dunia yang transparan, di mana aku bisa melihat diriku
sendiri di dalamnya bersama denganmu, yang kulupakan, namun sama sekali tak
bisa kusentuh.
Kemarin, aku tidak bisa merasakan apapun tentang dirimu, namun
hari esoknya aku mencoba untuk kembali merasakan kehadiranmu di sisiku.
Ketika aku kembali lagi ke ruangan berdebu yang sudah tak
tersentuh bertahun-tahun lamanya, samar-samar, bayangan kita yang yang dulu
mulai terlihat berkeliaran, saling mengejar, bercanda dan tertawa. Kujulurkan
tanganku, berusaha membelai figurmu dari kejauhan. Walau wajahmu tak nampak
dengan jelas, tapi kuyakin bahwa itu adalah dirimu.
Hanya dengan itu, aku bisa yakin kalau hari-hari yang kuhabiskan
bersama denganmu,
Ternyata benar-benar nyata.
Tanganmu yang menyentuh pipiku, tanganmu yang menggenggam
jari-jariku yang bergetar, sekarang dan selamanya, aku akan mendekap semua
kehangatan yang ditinggalkan.
Bersamaan dengan aku melihat ke dalammu, dengan bayang-bayang yang
semakin besar, melihat keluar melalui jendela kecil yang berdebu, perlahan
menghapusnya, sinar matahari itu masuk dan menusuk mataku. Pemandangan yang
biasanya selalu aku lihat dari sini, yang sudah bertahun-tahun tak kulihat itu,
“Ah,
pemandangan ini indah sekali...”
Aku ingin menangis.
Air mataku mulai mengalir, mengaliri pipiku, jatuh ke
atas lantai.
Kau berkata kepadaku, bahwa satu-satunya harapanmu,
adalah supaya perasaan kita bisa berbalas, jadi kita bisa melihat satu sama
lain untuk selamanya.
Sekarang ketika aku menutup mataku dengan perlahan,
kata-katamu timbul di dalam hatiku, senyumanmu pada waktu itu, benar-benar
sangat menakjubkan.
Aku mungkin sudah tidak ingat lagi seperti apa wujudmu, tapi aku
tahu, betapa menakjubkannya dirimu untukku, betapa berkilaunya senyumanmu,
betapa indahnya kibaran rambutmu, dan betapa sungguhnya kata-katamu padaku
waktu itu.
Aku yakin kalau kau akan benar-benar kembali.
Itu menjadi kekuatanku, untuk kembali menunggumu.
Bayangan kita memang semakin jauh tiap harinya dan bahkan mungkin
sampai keesokannya harinya, kita mungkin tidak akan bertemu lagi.
Tapi aku tahu satu hal.
Cerita kita belum berakhir. Karena satu halaman terakhir itu masih
belum terisi.
Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya aku kembali mengingatnya,
sesuatu yang ingin aku isikan, sesuatu yang ingin aku sampaikan pada bayangmu,
kata-kata yang aku lupakan.
Walau wujudmu tak dapat kuingat lagi, tanganku kembali menulis.
Mengisi satu baris terakhir itu.
Bayangan kita memang semakin jauh tiap harinya,
Tapi, bahkan sampai keesokan harinya, tanganku akan terus mencari
sosokmu di perbatasan,
Aku akan terus menulis cerita, yang mendekatkan kita berdua...
Dan hari-hari yang jauh itu...
“Hari-hari
yang jauh itu, di sebuah desa kecil, di sebuah rumah tua, pohon rindang yang
kini sudah tak ada lagi, dan sepanjang aliran sungai itu,
Meski
semuanya telah menghilang, meski semuanya telah tidak sama seperti dulu lagi,
meski sosokmu tak lagi kuingat,
Tapi
bukti bahwa kita bermain, berlarian,
Bukti
bahwa kau pernah ada di sampingku,
Dan
rasa cintaku kepadamu,
Semua itu adalah sesuatu yang nyata
Kita hidup di sana...
Sampai
saat ini, aku masih berdiri di sini, terus menunggu...”
-[FARAWAY
DAYS] THE END-
A/N :
Cerita One-shot yang terinspirasi dari lagu Haruka na Hibi :)
Sankyuu!!
DA
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar