One-Shot Story : AIKA [A Mother's Love]
Read :
AIKA
[A Mother’s Love]
“Ai-chan, makan malam sudah
siap.”
Sambil menata meja makan dari
kayu yang berukuran kecil, seorang wanita yang mungkin sudah berusia sekitar 40
tahunan, berteriak dari ruang makan.
Mendengar panggilan tersebut,
munculah seorang gadis kecil, yang berusia sekitar 14 tahun. Rambut hitam
panjangnya yang sedikit bergelombang dan poni-nya yang sudah hampir menutupi
mata.
‘Mungkin besok aku harus memotong
rambutnya’,
Pikir wanita paruh baya itu dalam
hati.
Gadis kecil itu berlari kecil
menuju ke arah kursi. Namun, karena tubuhnya yang sedikit pendek, ia kesulitan
saat berusaha mencapai kursi yang mungkin biasa digunakan oleh orang dewasa
itu. Sambil tersenyum, wanita itu berjalan perlahan ke arah gadis itu.
“Ha ha, kau harus menunggu sampai
usiamu 16 tahun, baru kau bisa duduk di atas kursi ini sendiri. Nah, biar aku
menggendongmu.”
Dengan sabar dan penuh cinta,
wanita itu menggendong tubuh mungil gadis tersebut dan mendudukkannya di atas
kursi. Gadis itu tidak mengatakan apapun. Ia hanya tersenyum manis sambil
memandang lekat wanita yang membalas senyumannya itu.
Jika diperhatikan, gadis cilik
yang dipanggil ‘Ai-chan’ itu sangat manis. Rambut hitamnya terlihat berkilauan
seperti langit malam. Kulitnya juga putih dan bola matanya yang berwarna
kebiruan seolah merefleksikan indahnya langit biru. Ai-chan terlihat seperti
bidadari, yang memiliki sayap indah berwarna putih dan bisa terbang bebas di
manapun di angkasa luas ini.
Wanita itu selalu percaya, bahwa
gadis kecil itu, suatu saat nanti pasti akan bisa mengepakkan sayapnya kemudian
terbang ke langit.
Meskipun saat ini,
Gadis itu telah kehilangan
sepasang sayapnya...
Ai-chan tersenyum, kemudian,
jari-jarinya yang kecil bergerak, membentuk suatu isyarat kata-kata.
‘T-E-R-I-M-A-K-A-S-I-H-, A-Y-U-K-O-S-A-N’
Dan dengan cara yang sama, Ayuko
menggerakkan jarinya, membalas ucapan terima kasih gadis tersebut.
‘I-Y-A-S-A-M-A-S-A-M-A’
Sambil tersenyum lembut.
Yanagi Ayuko, hanyalah seorang
wanita yang sederhana.
Ia tidak menikah dan juga tidak
memiliki anak. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia saat ia baru berusia 19
tahun. Usia yang masih sangat muda untuk kehilangan seseorang yang begitu
dicintainya. Meskipun begitu, orang tua Ayuko tidak terlambat mengajarkan
kepadanya, apa yang harus ia tahu.
Mereka mengajarkannya untuk
tumbuh menjadi gadis yang penuh dengan cinta kepada siapapun, entah itu kepada
keluarganya sendiri, maupun kepada orang asing yang bahkan ia tidak tahu
namanya sekalipun.
Sejak kecil, Ayuko sudah
diajarkan untuk saling berbagi dan mengasihi orang lain, sebagaimana yang
diajarkan oleh Tuhan kepada umatnya. Karena itu ia memiliki banyak teman dan
dikenal suka memberikan sebagian uang sakunya untuk orang yang membutuhkan.
Namun, ketika kedua orang tuanya
meninggal dalam perjalanan bisnis ke Amerika, bisnis keluarganya hancur. Semua
barang, perabotan bahkan rumah, di sita oleh bank. Kehilangan orang tuanya,
membuat Ayuko yang masih remaja kehilangan segalanya, baik itu harta, tempat
tinggal, teman-teman bahkan kekasih yang sangat dicintainya dan yang berkata ‘sangat
mencintainya’.
Ia langsung jatuh miskin. Semua
teman yang dulu selalu ada untuknya, yang berkata ‘Kita akan berteman
selamanya!’, meninggalkan seolah janji itu telah terhapus oleh bayang-bayang
malam. Kekasihnya langsung memutuskan dirinya, dan berkata bahwa ia ternyata
tidak cukup mencintainya.
Meski seperti itu, ia tidak
pernah dendam pada mereka. Ia memang sudah jatuh miskin, tapi tidak miskin
hati. Setelah kejadian yang membuat hidupnya terpuruk itu, Ayuko memutuskan
untuk bangkit dan hidup dengan segala kemampuan yang ia miliki.
Ia memutuskan untuk memberikan
pelajaran kepada anak-anak yang tidak bisa bersekolah, meski bayaran yang
diberikan tidaklah tinggi. Tapi, tiap hari, selalu Ayuko jalani dengan semangat
yang baru dan senyuman. Wanita itu selalu menguatkan dirinya untuk bertahan
menjalani kerasnya hidup.
‘Langit pasti akan cerah keesokan
harinya!’,
Itulah yang menjadi penyemangat
hidupnya meski kehidupan baru yang ia jalani tidaklah semudah yang dulu.
Percaya bahwa tak selamanya
langit akan mendung, percaya bahwa pelangi yang penuh warna akan muncul di
keesokannya.
Ayuko selalu berharap bahwa akan
ada setitik cahaya dan harapan yang akan membawanya ke tempat yang lebih baik,
ke hidup yang lebih baik.
Dan ia tidak percaya, kalau hari
yang ia nantikan itu, akhirnya datang.
Semuanya berawal sekitar 10 tahun
yang lalu, di saat hari sedang hujan.
Hujan rintik-rintik turun
mendampingi langkah Ayuko, yang baru saja selesai berbelanja untuk makan malam.
Langit terlihat mendung, dan gelap, menandakan bahwa hujan akan turun cukup
lama hari ini. Maka dengan payung merah di tangannya, Ayuko mempercepat langkahnya
untuk sesegera mungkin sampai ke rumah.
Tepat pada waktu itu, langkah
kakinya tiba-tiba terhenti, ketika bola matanya secara tak sengaja menangkap
sesosok anak kecil, seorang gadis di sebrang jalan.
Sendirian di tengah hujan deras,
gadis kecil itu melemparkan tatapan kosong pada jalanan. Tak seorangpun orang
menuju ke arahnya dan bertanya ‘Apa yang terjadi denganmu?’.
Mereka hanya berjalan, dan terus
berjalan. Tak ada yang menghampiri gadis malang tersebut. Merasa hatinya
tergerak, Ayuko berlari, menyeberangi jalanan yang tidak sedang ramai itu.
Dengan cepat, ia memayungi gadis kecil itu yang sepertinya sedang berusaha
menahan udara dingin.
“Kau baik-baik saja?”
Ayuko bertanya dengan nada
khawatir, kemudian melepaskan syal merahnya dan memakaikannya pada gadis itu.
Kelihatannya sangat kedinginan.
Tapi yang ada dipikiran Ayuko
saat ini adalah,
“[Apa yang gadis ini lakukan seorang diri di tengah hujan seperti ini].”
Ia tidak mengatakan apapun.
Gadis itu, terus menatap ke arah Ayuko
dalam-dalam seolah sedang mengamatinya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Wanita itu kembali melontarkan
sebuah pertanyaan.
Namun, gadis kecil di tengah
hujan tersebut, tidak membalasnya. Ia hanya terus memandang wajah Ayuko dan
diam di tempatnya, seolah tidak mengerti ucapan Ayuko.
“...........[Anak ini...].”
Meski baru saja bertemu, Ayuko
bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan anak itu. Mungkin saja ia
tersesat dan hilang atau mungkin ditinggal oleh kedua orang tuanya.
Karena itu, Ayukopun tersenyum,
kemudian mengucapkan kata-kata ajaibnya,
“Semua akan baik-baik saja!”
Ia menyodorkan tangannya ke arah
gadis kecil itu, berharap gadis itu akan membalas dengan menggenggam tangannya.
Gadis itu terdiam sejenak, tapi
tak perlu menunggu beberapa detik, gadis tersebut tersenyum kecil, kemudian
menggapai tangan Ayuko.
“Maukah kau pulang bersamaku?”
Tanyanya.
Dan gadis itu mengangguk.
Saat itu, tidak tahu apakah
pertemuan mereka yang tidak disengaja itu adalah takdir atau bukan, tapi
perlahan, hujan deras itupun mulai menipis sedikit demi sedikit dan hanya
menyisakan tetes-tetes air.
Ayuko menurunkan sedikit
payungnya, kemudian melihat ke atas langit sore, yang kini terlihat bersahabat.
Pemandangan yang sangat indah.
Maka dengan itu, mereka berdua
berjalan bersama, menyusuri jalanan dengan bayangan yang mengikuti,
membelakangi sang surya yang kini sudah hampir tenggelam.
“Siapa namamu?”
Menuangkan coklat panas ke 2 buah
cangkir berbentuk seperti kepala beruang, yang satu berwarna putih dan yang
satu berwarna hijau muda, Ayuko menanyakan sebuah pertanyaan yang harus ia
tanyakan pertama kali.
Siapa gadis itu dan identitasnya.
“........................”
Tak ada jawaban.
Ayuko hanya diam di tempatnya,
menunggu gadis itu menjawab pertanyaannya.
Tapi, gadis itu cuma menoleh ke sana
kemari, seperti seseorang sedang mencari sesuatu. Gadis itu kemudian melihat ke
atas meja tulis yang ada di sudut ruangan, kemudian berlari ke sana.
“Hey, mau ke mana kau?”
Ayuko mengikuti ke mana gadis
kecil itu menuju.
Gadis itupun duduk di lantai, kemudian
mengambil selembar kertas dan sebuah
pulpen hitam yang tergeletak begitu saja di atas meja.
Di sana, ia menulis,
‘Aika’.
“............Oh, Aika! Namamu
Aika?”
Ayuko bertanya sambil sedikit
membungkukkan tubuhnya dan memperhatikan tulisan gadis kecil yang cukup rapi
itu.
Aika menoleh ke arah Ayuko lalu
tersenyum dan mengangguk.
“Aika...’Cinta’, ya?...Nama yang
bagus...”
Pujinya, yang membuat Aika
tersenyum malu kemudian menggaruk belakang kepalanya. Rambutnya masih sedikit
basah terkena air hujan.
“Berapa usiamu?”
Dan Aika menjawabnya dengan isyarat
tangan, membuat angka ‘4’.
“..................”
Melihat itu, Ayuko yang sadar
akan sesuatu tidak mengatakan apapun.
Ia hanya mengangguk-anggukkan
kepala dan mendekatkan telunjuknya di dekat bibir.
Wanita itu paham, Aika tidak bisa
bicara.
Sayangnya, Aika sama sekali tidak
mengingat di mana ia tinggal. Ia menulis, bahwa ia dan keluarganya sedang
berlibur di kota ini. Namun, sepertinya Aika tertinggal dan tidak tahu harus
mencari jalan pulang ke mana. Ia hanya tahu, kalau ia tinggal di Osaka. Hanya,
alamat tempat tinggalnya yang lebih detail lagi, Aika kurang ingat.
Hari sudah larut, dan Ayuko
membiarkan Aika untuk menempati tempat tidurnya, sementara ia tidur di ruang
tamu. Di tengah kegelapan yang menyelimuti itu, Ayuko sama sekali tidak bisa
tidur. Sambil membaringkan diri di atas sofa dengan berselimutkan kain yang
tipis, Ayuko menatap ke langit-langit, dan hanyut dalam pikirannya.
“Hmm...Apa yang harus aku
lakukan, ya?”
Ayuko berkata kepada dirinya sendiri.
Bahkan menghidupi dirinya sendiri
saja sudah merupakan sebuah perjuangan yang sulit. Apalagi, jika ia harus
menanggung hidup Aika, seorang gadis yang secara tidak sengaja terpisah dari
keluarganya.
Tapi, perkataan kedua orang
tuanya selalu terngiang di terngiang di telinganya, tiap kali ia memikirkan apa
yang harus ia lakukan terhadap Aika.
‘Kita harus memberikan kasih sayang dan cinta kita pada setiap orang
yang kita temui.’
‘Yang kita inginkan bukanlah ucapan terima kasih, melainkan sebuah
kebahagiaan yang sebenarnya.’
Benar.
Ia tidak bisa membiarkan gadis
sekecil Aika hidup tidak jelas tanpa arah dan tujuan. Apalagi, anak dengan
keterbatasan seperti Aika. Ia membutuhkan orang yang mencintainya, yang
memberikan kasih sayang dan membimbingnya untuk menjadi orang yang berguna bagi
orang lain.
“...........[Iya, seandainya orang tua asli Aika tidak bisa melakukannya, maka harus
aku yang melakukannya. Aku percaya, Tuhan mempertemukan kami berdua karena
alasan itu. Ia ingin aku menjaga Aika, membesarkannya, dan memberikannya cinta padanya,
sama seperti kedua orangtuaku selalu mengajari aku. Aku akan membuat Aika
menjadi anak yang luar biasa meskipun ia memiliki kekurangan!].”
Ia bertekad dalam hati, untuk
mencurahkan segala kemampuan yang ia miliki, untuk mendidik Aika menjadi gadis
yang penuh dengan cinta, sesuai dengan namanya. Ai yang berarti cinta.
Ayuko menyingkirkan selimutnya
dan bangkit berdiri.
Dengan pelan, ia membuka pintu
kamar di mana Aika sedang tertidur. Iapun melangkahkan kakinya, berusaha sebisa
mungkin untuk tidak menimbulkan suara berisik yang mungkin akan membangunkan
anak itu.
Ia lalu mengintip wajah Aika yang
tengah tertidur pulas.
“[Untung saja dia tidak terkena flu setelah berdiri di tengah hujan
seperti itu].”
Ayuko tersenyum sambil
menyentuhhkan tangannya di dahi Aika.
Wajahnya ketika tertidur
benar-benar seperti malaikat.
“..........[Malaikat...?].”
Ayuko tiba-tiba tertegun oleh
pikirannya sendiri.
Iapun kembali memperhatikan wajah
gadis itu lebih dekat lagi.
Ingatannya tentang kisah malaikat
yang jatuh ke bumi dan kehilangan sebelah sayapnya, sebuah cerita anak-anak
yang selalu diceritakan oleh ibunya sebelum tidur. Meskipun hanya memiliki satu
sayap, namun malaikat itu percaya bahwa ia, suatu saat nanti akan bisa pulang
kembali ke rumahnya di langit.
Ayuko kemudian tersenyum, dan
dengan lembut, menyentuhkan jari-jarinya lalu membelai rambut Aika.
“[Benar...Kau seperti malaikat. Dengan sayap putih lebar yang indah, yang
akan membawamu terbang ke langit biru. Di sanalah kau akan melihat indahnya
dunia ini. Hanya saja...Saat ini kau masih belum menemukan sebelah sayapmu. ‘Masih’
bukan berarti ‘pasti’. Suatu saat nanti, kau akan menemukannya. Dan aku akan
membantumu, untuk bisa kembali terbang. Setidaknya, sampai kedua orang tuamu
kembali, untuk menjemputmu...].”
........................
.....................................
..........................................................
“Ijinkan aku...Mencintaimu dengan
sepenuh hati...Dan, menjadi sayap untukmu...”
Maka sejak saat itu, Ayuko dan
Aika, tinggal bersama.
Ayuko yang sebelumnya hidup
seorang diri, kini harus menghidupi 2 orang. Bukan hanya itu, iapun memaksakan
dirinya untuk bertanggung jawab atas pendidikan Aika dan bermaksud untuk
menyekolahkannya, tak peduli biaya sekolah tidaklah semurah itu. Karena ia
tahu, meskipun tidak bisa berbicara, Aika sangatlah cerdas dan akan sia-sia
kalau ia hanya duduk-duduk di rumah seharian.
Iapun mulai mencari berbagai
pekerjaan yang bisa ia lakukan, apa saja boleh asalkan Ayuko bisa menghidupi
dan menyekolahkan Aika di sekolah umum, bukan disekolah khusus. Agar Aika
tumbuh semakin pandai dan kedua orangtuanya bisa merasa bangga kepadanya.
Tapi,
Membawa Aika ke dalam hidupnya,
ternyata tak semudah yang ia kira.
Berbagai macam komentar-komentar
miring dari sekitar lingkungannya mulai banyak sampai ke telinganya.
‘Wanita itu tidak menikah.
Bagaimana bisa dia memiliki seorang anak yang sudah sebesar itu?’
‘Itu pasti anaknya dengan pria di
luar pernikahan!’
‘Ternyata dia wanita seperti itu.
Benar-benar menjijikkan’.
‘Kudengar anak itu bisu! Pasti
itu yang dinamakan karma!’.
Hal-hal seperti itu sudah bisa
menghiasai hari-harinya tiap kali pergi dan pulang kerja kemudian ketika ia
mengantar dan menjemput Aika dari sekolahnya.
Tentu saja, tiba-tiba ada seorang
anak perempuan yang tinggal denganmu, pastinya akan mengundang berbagai tanda
tanya. Dan semuanya memandangmu hanya dari sisi negatif, tak peduli tindakan
mulia yang dilakukan Ayuko untuk merawat Aika, yang bahkan tidak ada hubungan
darah dengannya.
Itu karena semua manusia hanya
akan mempercayai sesuatu yang nampak diluar saja, tanpa meneliti lebih jauh ke
dalam.
‘Semua akan baik-baik saja!’,
Kata-kata ajaib Ayuko yang ia
katakan pada dirinya sendiri.
Untuk apa mempedulikan
gosip-gosip yang belum tentu kebenarannya itu?
Toh, Ayuko yang paling tahu apa
yang sebenarnya terjadi. Bahkan meskipun semua orang disekitarnya menghujat
dirinya, ia, tidak akan pernah meninggalkan Aika dan akan terus berusaha untuk
menjaga dan mencintai anak tersebut.
Seperti anaknya sendiri.
Ia akan memberikan semua hal
mengenai cinta dan kehidupan, yang selalu diceritakan kepada orang tuanya dulu
semasa mereka masih hidup.
“Ai-chan, kau tahu tidak, arti
dari namamu?”
“Eh, tidak. Memangnya apa?”
“ ’Ai’ yang berarti cinta. Karena
itu, kau harus hidup dengan penuh cinta. dan aku akan memberikan banyak cinta
kepadamu, yang akan kau gunakan untuk mencintai orang lain!”
Tiap harinya, wanita itu
mengajari bahasa isyarat menggunakan tangan yang biasa digunakan oleh
orang-orang seperti Aika. Pelan-pelan, tapi Aika belajar dengan cepat dan juga
lancar. Ayuko sendiri bisa mengajari Aika, karena sebelumnya ia pernah belajar
sewaktu berkunjung ke panti asuhan, di mana banyak sekali anak-anak yang bisu
maupun tuli atau cacat fisik lainnya.
Dari sana, Ayuko sangat tertarik
untuk bisa berkomunikasi dan bersahabat dengan orang-orang yang biasanya selalu
disingkirkan itu.
Dan kata yang pertama kali Ayuko
ajarkan kepada Aika adalah,
‘C-I-N-T-A’.
‘Bibi, hari ini semuanya kembali
mengejekku karena aku tidak bisa bicara dan hanya bisa menggunakan bahasa
isyarat.’
Menyekolahkan Aika di sekolah
umum, bukan berarti tidak ada resikonya.
Hampir tiap hari, semua siswa
mengejek Aika dan tak satupun yang ingin berteman dengannya hanya karena ia
berbeda. Dan hampir tiap hari pula, gadis kecil itu menangis tiap kali pulang
dari sekolah. Ada juga masa di mana Aika merengek dan tidak ingin datang ke
sekolah lagi.
Meskipun begitu, Ayuko selalu
mendampingi Aika dan memberikan sebuah kekuatan padanya untuk terus
memberanikan diri dan berani melangkah.
Ayuko selalu mengajari Aika,
memberikan pengarahan baginya untuk tidak minder karena ia tidak seperti
anak-anak lainnya.
“Kau tahu? Kau sebenarnya bisa
terbang!”
Itu adalah kata-kata favorit yang
selalu dikatakan oleh Ayuko ketika Aika merasa sedih karena tidak mampu
berkomunikasi dengan normal.
Dan tiap kali Aika mendengar
kata-kata itu, wajahnya yang sebelumnya terlihat lesu langsung berubah menjadi
lebih cerah dan mengangguk, kemudian mulai berputar-putar sambil merentangkan
kedua tangannya seperti burung yang terbang.
“Ayuko-san, kapan papa dan mama
akan datang menemuiku?”
Pertanyaan itu terlontar dari
mulutnya waktu usianya sudah menginjak 8 tahun.
Bahkan dalam jangka waktu yang
cukup panjang itu, orang tua Aika tak kunjung datang dan menjemputnya.
Sebenarnya Ayuko sendiri tidak pasti tentang keadaan orang tua Aika yang
sebenarnya. Apa Aika benar-benar tertinggal, ataukah orang tua gadis itu
membuangnya karena ketidaksempurnaan pada dirinya?
Setiap kali ia berpikiran seperti
itu, ia selalu menggelengkan kepala, berdoa dan selalu berharap yang terbaik
yang akan terjadi.
“Suatu saat nanti. Saat kau sudah
menemukan sebelah sayapmu, orang tuamu akan datang dan kau akan bisa bersatu
lagi dengan mereka.”
Sampai saat itu tiba, ia akan terus menjaga
Aika, sesuai janji yang pernah diucapkannya dulu. Dan membantu gadis itu
menemukan sayapnya.
Meski sangat lelah karena harus
pulang malam tiap harinya, Ayuko selalu menyempatkan waktu untuk bermain dan
juga mengajari Aika berbagai macam hal yang ia tahu. Hal itu membuat Aika tidak
pernah merasa kekurangan akan kasih sayang, meskipun itu hanya berasal dari
seorang wanita yang cuma memiliki cinta pada dirinya.
Suatu hari, Ayuko menemukan bakat
yang sangat menonjol dalam diri Aika.
Karena hari-harinya selalu dekat
dengan kertas dan juga pulpen, yang selalu membantunya dalam bekomunikasi,
terkadang ia juga sering mencoret-coret dan memberikan gambar pada tulisannya.
Awalnya, hanya gambar yang biasa. Seperti coret-coret yang layaknya dibuat oleh
anak-anak.
Namun, pelan-pelan, Aika sering menunjukkan
berbagai gambar yang ia buat di sebuah buku, yang membentuk sekumpulan cerita.
“Gambarmu bagus sekali!”
Puji Ayuko sambil memperhatikan
tiap halaman putih yang kini sudah penuh dengan berbagai gambar.
“Benarkah?”
Sejak saat itu, Aika mulai giat
menggambar. Hampir tiap hari, ia menyempatkan diri, setelah pulang sekolah
untuk menyelesaikan cerita bergambarnya di satu buku penuh. Dan ia selalu
senang ketika Ayuko membaca ceritanya dan mendengar komentarnya.
Wanita itu sadar, menggambar
adalah hal yang sangat disukai Aika, dan itu adalah bakat luar biasa yang ia
temukan dalam diri Aika. Karena ia tidak bisa berbicara, ia bisa menggunakan
kemampuannya itu untuk mengatakan apa yang ia pikirkan.
Bahkan di dalam sebuah batu hitam yang buruk
dan juga keras, di dalamnya bisa saja terdapat emas yang indah juga berkilauan.
Meskipun banyak yang tidak menyukai Aika dan banyak yang mengatakan ‘Anak
seperti itu tidak akan pernah berhasil dan meraih apapun dalam hidupnya’, namun
Ayuko percaya, jika bakat itu akan mampu membuat Aika bersinar.
Iapun sadar akan satu hal, kemudian dengan
nada bangga, ia berkata kepada Aika,
‘Mungkin inilah yang akan menjadi
sayapmu! Bakatmu ini yang akan membuatmu bisa terbang!!’
Mendengar itu, kilauan langsung
terlihat di mata gadis itu. Ia terlihat begitu senang mendengarnya, dan
berjanji tidak akan berhenti menggambar sampai kapanpun.
Ayuko sebenarnya tidak terlalu
pandai menggambar dan tidak terlalu hebat soal masalah seni. Mengingat dia
selalu mendapat nilai C saat pelajaran kesenian dan kelas itu adalah kelas yang
paling sangat ingin ia hindari. Tapi, kini ia tidak bisa menghindar lagi dan
memutuskan untuk mengajari Aika sedikit cara menggambar. Ia juga menyisihkan
sebagian gajinya untuk membelikan berbagai macam buku dan peralatan menggambar,
yang membantu Aika mengembangkan skill-nya. Bukan hanya itu, Ayuko bahkan
mengikutkan Aika ke sebuah les menggambar yang kebetulan terletak di dekat
rumahnya.
Ia tidak peduli, meskipun semua
orang mengatakan ‘Kau hanya membuang-buang uang dengan menyekolahkan anak itu.
Bukan cuma itu, sekarang kau bahkan membelikan berbagai peralatan menggambar
dan juga buku serta mengikutkannya di sebuah kursus!!’, ia tidak akan berhenti
dan terus membuat Aika menggambar!
Membuat semua orang yang selama
ini terus meremehkan Aika, bisa melihat kehebatan dari diri anak itu.
Tapi, dalam kesehariannya itu,
banyak juga masalah yang dihadapi Ayuko.
Seperti suatu ketika, ia
terlambat bekerja karena mengantar Aika ke sekolah. Dan saat itu, jalanan
sedang saat ramai. Akibatnya, iapun dipecat dari salah satu pekerjaan yang ia
jalani. Dipecatnya Ayuko, berarti pengurangan untuk pemasukan keluarga
kecilnya.
Bukan cuma itu, entah apa yang
terjadi, ataukah nasib sial sedang menghantui dirinya, ia secara tidak sengaja
melakukan berbagai kesalahan dalam tempat kerjanya yang lain. Hingga akhirnya,
ia sama sekali tidak memiliki sebuah pekerjaan untuk dilakukan.
Keesokan harinya ketika Aika
bertanya ‘Ayuko-san, apa kau tidak berangkat bekerja hari ini?’, Ayuko hanya
tersenyum dan mengusap pelan kepala anak itu.
“Aku sudah tidak memiliki
pekerjaan. Aku sudah dipecat.”
Ucap Ayuko dengan raut wajah
sedih.
Melihat wanita yang selama ini
telah merawatnya seperti anakya sendiri, Aika hanya bisa menundukkan kepalanya,
kemudian menulis di atas sebuah kertas,
‘...........Ini semua salah
Aika...’
“!?”
Ayuko yang membawa tulisan Aika,
langsung tertegun. Ia kemudian membelai pipi gadis itu dan bertanya dengan
lembut,
“Kenapa Ai-chan berkata seperti
itu? Ini sama sekali bukan salah Ai-chan. Tapi, ini salah bibi sendiri.”
Jelasnya.
Namun, Aika hanya menggeleng dan
membalik kertas itu, kemudian kembali menulis.
‘Tidak! Ini semua salah Aika!
Bibi harus bekerja sangat keras, untuk Aika yang bahkan bukan putri bibi
sendiri. Untuk Aika yang hanya menambah beban untuk hidup bibi yang sudah
sangat susah...’
“Ai-chan...”
‘Bibi harus bekerja macam-macam
demi Aika, demi memenuhi kebutuhan Aika, demi menyekolahkan Aika, demi
memberikan Aika pensil warna dan juga buku gambar...Kalau saja Aika bisa
membantu, maka Aika tidak mau menggambar lagi!!’
“Ai-chan!!”
‘Biar saja! Aika tidak mau
merepotkan bibi! Karena Aika--‘
Tulisan Aika berhenti sampai di
situ.
Gadis kecil itupun meletakkan
alat tulis dan kertasnya, kemudian dengan isyarat tangan, ia mengatakan,
‘A-K-U-S-A-Y-A-N-G-P-A-D-A-M-U’
“.....................”
Tak dapat yang Ayuko katakan
ketika ia membaca bahasa isyarat itu dengan perlahan. Tubuhnya hanya bisa
bergetar karena terharu.
Aika rela membuang semua yang ia
senangi demi membantu dirinya, seseorang yang sangat berharga. ingin sekali air
mata itu menetes turun. Namun, ia menahannya. Ia belum pernah dan tidak akan
pernah menunjukkan air matanya di hadapan Aika, karena ia tidak ingin gadis itu
melihatnya bersedih.
Ia ingin terus terlihat kuat,
agar gadis itu bisa menghadapi semuanya tanpa adanya tetes air mata.
Maka, ia tersenyum kecil,
‘J-A-N-G-A-N-B-E-R-H-E-N-T-I-M-E-L-A-K-U-K-A-N-Y-A-N-G-K-A-U-S-U-K-A-I’
“!”
Wajah Aika sedikit tertegun
ketika membaca bahasa isyarat Ayuko untuknya. Pesan dari dalam hatinya yang
terdalam.
‘A-K-U-S-U-K-A-M-E-L-I-H-A-T-M-U-M-E-N-G-G-A-M-B-A-R’
“[Kau tahu? Aku bisa berjuang sekeras ini berkatmu. Jika kau berhenti
melakukan semuanya, untuk siapa aku berjuang?].”
‘K-A-U-T-E-R-L-I-H-A-T-B-E-R-K-I-L-A-U-A-N-S-A-A-T-I-T-U’
“.......................”
“[Ingat yang aku katakan padamu saat itu?].”
‘A-K-U-T-A-H-U-K-A-U-B-I-S-A-T-E-R-B-A-N-G.
D-A-N-B-A-K-A-T-M-U-I-N-I-A-K-A-N-M-E-N-J-A-D-I-S-A-Y-A-P-M-U’
“........................”
“[Karena itu, apapun yang terjadi, jangan pernah berhenti menggambar!].”
‘A-K-U-A-K-A-N-M-E-L-A-K-U-K-A-N-S-E-M-U-A-Y-A-N-G-A-K-U-B-I-S-A’
“................................”
Aika yang terus terdiam, akhirnya
tidak bisa menahan air matanya itu lagi.
Dengan cepat, ia segera berlari
dan memeluk tubuh Ayuko dengan erat. Sementara Ayuko tak mengatakan apapun.
Iapun membalas pelukan Aika.
Ia tidak pernah menundukkan
kepalanya dan selalu melihat ke atas. Melihat langit terang berwarna biru muda.
Langit yang selalu ada di depannya, tidak pernah meninggalkannya seorang diri.
‘Semuanya akan baik-baik saja!’
Tahun demi tahun kembali mereka
berdua lewati. Musim semi, panas, gugur dan juga dingin, mereka lalui dengan
kehangatan bersama. Canda tawa yang semakin mendekatkan Ayuko dan Aika setiap
harinya.
Bahkan Aika sudah sama sekali
tidak pernah menanyakan tentang orang tua kandungnya lagi. Ia sudah merasa
bahagia. Hanya dengan bersama dengan Ayuko, ia sudah bisa merasakan bagaimana
bahagianya memiliki orang tua. Bagaimana rasanya dicintai oleh kedua orang tua
kita.
Begitu juga dengan Ayuko. Ia
senang karena di hari hujan itu, ia menggandeng tangan Aika dan memutuskan
untuk merawatnya. Meskipun jalanan berbatu yang harus mereka lalui, suatu saat
nanti, jalanan di mana banyak bunga disekelilingnya pasti akan terlihat di
akhir perjalanan mereka.
21 Desember...
“Nah, makan malam sudah selesai.
Cepat gosok gigimu dan pergi tidur.”
Ayuko berkata, membantu Aika
turun dari tempat duduknya.
Dengan riangnya, gadis itu
berlari ke arah kamar mandi. Ayuko hanya melihatnya. Senyuman kecil terlihat
mengembang di wajahnya. Ia kemudian merapikan meja dan membawa piring-piring ke
bak cucian.
“...........Ah, hari ini
hujan...”
Ujarnya pelan ketika tak sengaja
melihat ke arah jendela. Tetesan hujan menempel pada kacanya. Suasana musim
salju yang sudah dingin, terasa menjadi dingin 3 kali lipat.
Ia terdiam sesaat, pikirannya
melayang ke saat itu.
Saat ia pertama kali bertemu
dengan Aika di hari hujan.
“Hari ini hujan...Sama seperti
hari itu...Sudah 10 tahun...”
Seusai mengucapkan kata itu,
Ayuko menghela nafas singkat. Dan, ketika ia mengalihkan pandangannya dari
jendela, ia sedikit tertegun ketika melihat bahwa Aika masih berdiri di depan
pintu kamar mandi. Wajahnya terlihat malu dengan kedua tangan dibelakang.
Aika menggerak-gerakkan sebelah
kakinya, kemudian menghela nafas dan menatap ke arah Ayuko. Ia pun mulai
menggerakkan jari jemarinya, membentuk suatu rangkaian kata-kata,
‘A-K-U-S-A-Y-A-N-G-P-A-D-A-M-U’
“.....................”
Membaca itu, Ayuko sedikit
tertegun.
Tapi lalu ia hanya tersenyum
kecil sambil membalas pesan Aika dengan cara yang sama.
‘A-K-U-J-U-G-A-A-K-A-N-S-E-L-A-L-U-S-A-Y-A-N-G-P-A-D-A-M-U’
Begitu Aika menangkap pesan itu,
ia langsung tertawa kecil, kemudian kembali merangkai kata-kata,
‘A-K-U-H-A-R-A-P-K-I-T-A-B-I-S-A-S-E-L-A-L-U-B-E-R-S-A-M-A-S-A-M-P-A-I-K-A-P-A-N-P-U-N’
Aika langsung berlari menuju ke
kamar mandi setelah ia selesai mengatakan itu dengan bahasa isyaratnya,
meninggalkan Ayuko sendirian.
Malamnya, Ayuko tidak bisa tidur.
Kata-kata yang Aika sampaikan
padanya, entah kenapa membuat dirinya merasa aneh. Di lain pihak, dia sangat
senang ketika gadis itu mengatakan ingin selalu bersama dengannya, apalagi,
waktu 10 tahun yang mereka habiskan bersama bukanlah sesuatu yang bisa
dihilangkan dan dihapus dari memori begitu saja.
Namun,
Di saat yang bersamaan pula, ia
sadar kalau ia dan Aika tidak akan bisa bersama untuk selamanya. Suatu hari
nanti, entah kapan, orang tua Aika pasti akan datang dan membawanya pergi. Percaya
atau tidak, hari itu pasti akan datang cepat atau lambat.
Jika seandainya saat itu tiba, ia
sama sekali tidak tahu harus melakukan apa.
Haruskah ia merelakannya?
“[Atau...Aku harus mempertahankan Aika karena aku yang sudah merawatnya
selama 10 tahun...?].”
Ia berkata dalam hati, menatap ke
arah langit-langit kosong, yang tak memberinya jawaban.
Derasnya suara hujan di luar
sedikit mengganggu Ayuko, sehingga ia memutuskan untuk terbangun. Ia tidak tahu
apa yang ia lakukan, tapi ia hanya berjalan saja. Tahu-tahu, kakinya telah
membawanya ke kamar Aika.
Iapun tertegun.
“Lho? Sudah selarut ini, tapi
lampunya masih menyala?”
Memperhatikan kamar Aika yang
masih terang dari luar, Ayuko melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul
01.23.
Meskipun besok libur [liburan
musim dingin], tak biasanya Aika bangun sampai selarut ini. Jadi, ketika rasa
penasaran itu timbul dalam dirinya, Ayukopun membuka kamar Aika dan masuk ke
dalamnya.
Ternyata benar. Aika masih
terjaga, dan ia tertangkap sedang melakukan sesuatu di ataas tempat tidurnya.
“Ai-chan.”
“!!!!!?”
Meskipun tidak berteriak atau
menjerit, namun ekspresi wajah Aika yang langsung meloncat kaget begitu
mendengar suara Ayuko memanggilnya, sudah menunjukkan betapa tekejutnya dia.
Ayuko berjalan menghampiri Aika
yang terlihat gugup.
“Ai-chan, apa yang kau lakukan
malam-malam seperti ini?”
Ujarnya, melihat apa yang
ditutupi oleh gadis itu.
Namun, Aika kemudian langsung
merapikan semua alat tulis dan cepat-cepat menutup bukunya seolah tidak
membiarkan wanita itu melihat apa yang ia gambar.
Ayuko yang melihat beberapa
pensil warna terlihat keluar dari dalam buku Aika, langsung mengambil
kesempulan bahwa anak itu pasti sedang menggambar.
Iapun duduk di atas tempat tidur
Aika.
“Kau sedang menggambar, ya? Bikin
apa? Aku boleh melihatnya tidak?”
Tanyanya, berusaha meraih buku
gambar Aika yang tergeletak di belakang tubuh anak itu.
Segera, Aika menahan buku itu
dengan tangannya, sebuah tanda bahwa Ayuko tidak boleh membukanya.
“..........[Hmm...Aneh...Biasanya dia selalu memintaku membaca bukunya...].”
Batin Ayuko menopang dagu, memperhatikan
tingkah Aika yang terasa sedikit aneh.
Tapi akhirnya ia cuma bisa
mendesah pelan, karena Ayuko juga tidak mau memaksa Aika melakukan sesuatu yang
tidak ingin dilakukannya.
Jadi ia hanya tersenyum dan
berkata ‘Baiklah, tidak apa kalau kau tidak mau menunjukkannya kepadaku...’,
lalu berbalik.
Pada waktu itu--
GREP
“?”
Ayuko tertegun ketika ia
merasakan tangan kecil yang memegang tangannya dengan erat. Seperti tidak ingin
kehilangan dirinya.
Iapun menoleh dan mendapati Aiko
di belakangnya. Anak itu melepaskan genggamannya kemudian membentuk suatu
isyarat,
‘A-K-U-I-N-G-I-N-T-I-D-U-R-D-E-N-G-A-N-M-U-‘
Ayuko memperhatikan kata-kata
itu, kemudian tersenyum.
“Tentu, kenapa tidak?”
Katanya, lalu menggandeng tangan
Aika yang kini tersenyum bahagia ke tempat tidurnya.
Lampu sudah dimatikan, dan kini
Aika telah tertidur dengan pulas. Meskipun begitu, ia masih mendekap buku itu
dengan erat dipelukannya. Entah apa yang tergambar di buku itu. Tapi,
sepertinya sesuatu yang sangat berharga untuk Aika.
Ayuko yang masih belum menutup
matanya, memandang wajah tertidur Aika.
Kemudian membelai pipinya dengan
lembut.
“[Saat itu juga seperti ini. Kejadian 10 tahun yang lalu saat pertama kali
kau datang ke rumahku. Rasanya sudah sangat lama sekali...Waktu itu kau masih 4
tahun, ya? Sekarang kau sudah 14...Semakin dewasa...].”
Ayuko berkata dalam hati sambil
menatap Aika dalam-dalam.
Namun perlahan, tangannya
berhenti menyentuh pipi itu. Wajahnya tertunduk, penuh dengan kesedihan yang
tergambar di wajahnya.
“.............Ai-chan...”
Ia berkata dengan suara pelan,
seolah sedang memanggil gadis tersebut. Tapi Aika tidak menyahut, tentu saja
karena ia sudah tertidur.
“..........Akupun--“
Ayuko berusaha mengatakan apapun,
tapi ia berhenti ditengah-tengah seolah tidak sanggup melanjutkan ucapannya
sendiri.
“.........................”
Suara yam yang terdengar seperti
‘Tik’, ‘Tik’, bercampur jadi satu dengan suara hujan yang menyelimuti seluruh
ruangan sunyi.
Selama beberapa menit, Ayuko
hanya terdiam sambil terus memperhatikan Aika. Ia tahu gadis itu tidak akan
mendengar apa yang akan ia katakan, meskipun begitu, rasanya hati Ayuko ingin
sekali berteriak dengan keras dan mengatakannya,
“Ingin tinggal selamanya bersama
denganmu...”
Ia akhirnya mengatakannya.
Tanpa Aika sadari, air mata Ayuko
yang tak pernah ia tunjukkan, mengalir dan jatuh dengan lembut ke pipinya.
Semua perasaan yang bergejolak
dalam dirinya akhirnya tertumpah juga.
“Aku, sangat menyanyangimu...Aku
selalu...Menganggapmu seperti putriku sendiri...”
.....................
“Hey, Ai-chan...”
Bisik Ayuko di dekat telinga
Aika.
.................
................................
.....................................................................
“............Bolehkah aku...Menjadi ibumu...?”
Sebuah pertanyaan terlontar dari
mulut Ayuko.
Selama ini, Ayuko telah
mencurahkan semua yang ia miliki, semua cinta yang ia punya untuk membesaran
Aika sampai seperti ini. Sesuatu yang sama dengan yang seorang ibu akan
lakukan. Apalagi waktu 10 tahun yang sudah mereka habiskan layaknya ibu dan
anak, membuat ikatan kekeluargaan yang kuat diantara mereka berdua.
Tapi,
Nada bicaranya terdengar sangat
sedih. Karena, sampai kapanpun, ia sadar kalau ia tidak akan pernah bisa
menggantikan ibu kandung Aika yang telah mengandung dan melahirkannya.
Bagaimanapun juga, bagi Aika, ibu kandungnya pasti satu-satunya ‘ibu’ untuk
gadis kecil itu.
Dan itu membuat hati Ayuko terasa
sakit.
“..................Tidak ada
jawaban...Tidak bisa, ya...? Tentu saja...Mana mungkin aku...”
Meskipun tahu bahwa Aika tengah
tertidur dan tidak bisa mendengar pertanyaan ataupun menjawabnya, Ayuko
menganggap diam itu, adalah jawaban tidak atas pertanyaannya barusan.
Perlahan, bayangan ketika orang
tua Aika yang sebenarnya datang dan menjemputnya, kembali terbayang di benak
Ayuko.
“.............[Akhir-akhir ini sering kali terjadi...Aku
selalu bermimpi buruk kau meninggalkanku bersama orang tua kandungmu...Ah, apa
yang baru saja kukatakan? Kau pergi bersama dengan orang tua kandungmu...Seharusnya
itu jadi mimpi yang indah untukmu...].”
Apa ini artinya ia telah
berpikiran egois?
Apa baru saja ia berpikir akan
lebih baik kalau orang tua kandung Aika lebih baik tidak datang menjemputnya?
“............Aku
ini...Benar-benar yang terburuk...[Benar-benar
tidak bisa dipercaya kalau aku benar-benar berpikiran seperti itu...].”
Tapi--
“Tapi meskipun begitu--“
Tidak ingin berpisah dari Aika.
“Tidak ingin berpisah darimu...”
Ia sangat mencintai Aika, dan
pasti akan menjadi sesuatu yang berat ketika ia harus melepaskan anak itu.
Ayuko tidak tahu, apa yang akan ia lakukan dalam hidupnya, jika ia sudah tidak
melihat tawa manis gadis kecil itu lagi di sisinya.
Meskipun sekarang musim dingin
tengah berlangsung, dengan kehadiran Aika, rasanya musim semi tengah
berlangsung di dalam hatinya. Penuh dengan bunga-bunga kebahagiaan.
Perlahan, tangannya menyentuh
bahu Aika.
“...........[Aku tahu, akan ada suatu hari nanti, di mana aku tidak bisa mengejar
bayanganmu. Karena di balik setiap pertemuan indah, pasti ada perpisahan yang
menyedihkan dan mengharukan...Sampai saat itu tiba...Kumohon...Meskipun hanya
sebentar saja...].”
“[Ijinkan aku terus seperti ini...].”
Kemudian memeluk tubuh kecilnya
dengan erat.
Keesokan harinya, 22 Desember...
Setelah semalaman hujan turun
dengan cukup deras, pagi ini terlihat benar-benar berbeda. Suara kicauan burung
bisa terdengar, pancarang hangat dari sinar matahari dapat Ayuko rasakan dengan
tangannya, ketika ia melihat keluar dari jendela kamar Aika.
Aika sudah bagun pagi-pagi
sekali, dan mungkin sekarang ia sedang mandi. Ayuko kemudian bergerak ke tempat
tidur Aika dan merapikan selimut yang berantakan.
Ia kemudian melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga
yang biasa ia lakukan. Menyapu, mengepel lantai, mencuci piring. Mumpung hari
ini ia libur, ia bermaksud menyelesaikan semua pekerjaannya lebih awal agar
bisa menemani Aika belajar ataupun hanya sekedar melihatnya menggambar.
Sedangkan Aika, seharian ini ia terus berada di kamarnya dan melanjutkan
gambarnya semalam.
Kejadian itu berlangsung sekitar
pukul 13.00. Dan Ayuko sedang menyiapkan makan siang untuk hari itu. Ketika
itu, ia mendengar suara pintu yang terbuka.
“!!”
Awalnya ia terkejut ketika mendengar
suara pintu yang terbuka, dan mengira kalau suara itu berasal dari pintu depan.
Maka cepat-cepat, dengan perasaan
deg-degan, Ayuko berlari ke arah pintu depan.
Tidak ada siapapun, dan pintu
tidak terbuka.
Melihat tidak ada siapapun yang
datang, Ayuko menghela nafas lega dengan tangan di atas dadanya. Ketika ia
berbalik, sadar-sadar, Aika sudah ada di hadapannya.
“[Ah, suara pintu yang terbuka itu pasti suara kamar Ai-chan...Sepertinya
aku terlalu banyak memikirkan sesuatu...].
Pikirnya dan berjalan mendekati
Aika.
‘A-D-A-T-A-M-U-?’
Tanya Aika.
Ayuko tersenyum kecil kemudian
menggeleng pelan.
‘T-I-D-A-K-A-D-A-‘
Saat itu, ia sadar kalau Aika
menyembunyikan sesuatu di balik tubuhnya. Iapun berjongkok agar tingginya
sejajar dengan tubuh gadis yang cukup pendek itu.
“Apa itu? Yang kau sembunyikan di
balik tubuhmu?”
Ayuko bertanya, menunjuk-nunjuk
ke belakang Aika.
“..................”
Aika tidak tersenyum, ia hanya
berdiri di sana dengan wajah memerah. Kelihatan dari wajahnya, ada sesuatu yang
ingin disampaikannya.
Perlahan, ia menunjukkan sesuatu
yang ia sembunyikan di balik tubuh mungilnya.
Ternyata sebuah buku.
“[Buku? Buku yang kemarin tidak mau ia tunjukkan kepadaku, ya?].”
Batin Ayuko, mendekatkan jari
telunjuk pada bibirnya.
Tanpa menunggu lagi, Aikapun
menyodorkan buku itu dengan kedua tangannya. Sebuah senyuman manis tergambar di
wajahnya.
Tidak perlu berpikir 2 kali,
tangannya langsung bergerak, menggapai buku itu.
TOK TOK TOK
“!!?”
Suara pintu yang diketuk,
terdengar di kedua telinga Ayuko.
Tidak tahu mengapa, tapi tubuhnya
terasa sangat berat, bahkan ketika ingin berdiri dan membuka pintu, melihat
siapa yang ada di baliknya. Keringat dingin mulai mengalir. Jantungnya berdebar
dnegan kencang, menanti sebuah kenyataan yang ada di depan mata.
Sekali lagi, suara ketukan pintu
itu kembali terdengar. Kali ini, Aika yang berjalan, melewatinya dan bermaksud
membukakan pintu. Tepat saat itu, Ayuko langsung menoleh ke belakang, kemudian
segera bergerak, berdiri mengejar Aika.
Ingin rasanya berteriak ‘Jangan
buka pintu itu’, tapi itu tidak mungkin, karena pintu sudah terbuka, bahkan
sebelum Aika membukanya.
“.................”
Gadis itu hanya berdiri diam,
karena ia tidak mengenali sesosok pria yang kini sudah ada di hadapannya.
Di sisi lain, pria itu menatap
Aika lekat-lekat, seolah sudah lama tidak bertemu. Meskipun samar-samar, tapi
terlihat jelas tetesan air mata yang mengalir di wajahnya.
Dengan wajah tidak percaya dan
tubuhnya yang tidak bisa berhenti gemetar, paria itu, mengatakan sesuatu, dengan
suaranya yang pelan,
“Ai...Ka...?”
Ucapnya, langsung membuat Aika
dan Ayuko tertegun.
Ayuko yang memegang pundak Aika,
bisa merasakan jantungnya serasa berhenti berdetak.
Kemudian, seperti angin yang
terasa, pria itu langsung berlari, lalu memeluk Aika dengan erat.
“Aika! Ini benar-benar kau!?”
Teriaknya dengan nada tidak
percaya, sementara Aika masih terlihat kaget dengan kedua bola mata yang
terbuka lebar.
Sepertinya, ia tidak mengenal
pria yang mendekapnya dengan sangat erat itu.
Bukan,
Tapi ia sudah melupakan sosok
yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak ia jumpai.
Sedangkan Ayuko, tidak memerluka
detik berikutnya untuk mengetahui, siapa pria yang tidak dikenalnya itu.
Dia--
“Ini ayah! Ayah!! Ayah
benar-benar senang ternyata bisa menemukanmu lagi di sini!!”
Nada bicaranya benar-benar
terdengar sedih. Ia sangat merindukan putrinya yang sudah lama hilang.
“....................”
Aika tidak merespon perkataan
ayahnya. Ia hanya terus menatap dengan ekspresi yang berkata ‘Ini tidak mungkin
terjadi’.
“Aika sudah besar...Kau sudah
jadi gadis yang cantik!”
Ayah Aika kemudian melepaskan
pelukannya, dan meletakkan kedua tangan pada bahu putrinya tersebut. Ia
kemudian menjelaskan, bahwa selama 10 tahun ini, ia terus mencari keberadaan
Aika yang tiba-tiba menghilang ketika mereka sedang pergi berlibur.
Sepertinya, Aika tidak sengaja
terpisah dari kedua orang tuanya saat mereka berjalan-jalan ke kebun binatang
yang terletak di kota sebelah, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari
kota ini.
Ketika menyadari Aika menghilang,
kedua orang tuanya tak berhenti mencari. Mereka mencari di kota tempat
hilangnya Aika, tanpa tahu kalau Aika telah berjalan tanpa arah seorang diri,
seperti seekor kucing yang tersesat, menuju ke kota ini.
Karena itu, ketika 3 bulan mereka
mencari dan tidak menemukan keberadaan Aika,kedua orang tuanya menyangka bahwa
Aika mungkin telah meninggal, atau telah benar-benar hilang dan mustahil untuk
bisa bertemu lagi.
2 Bulan setelahnya, ibu Aika
meninggal karena sakit.
Begitulah seterusnya, sang ayah
tak berhenti-hentinya meratapi kepergian isri dan juga putrinya. Namun, ia
selalu ingat apa yang istrinya katakan sebelum meninggal,
‘Putri kita pasti masih hidup.
Aku bisa merasakannya, jauh di dalam hatiku...’
Maka dengan keyakinan yang kecil tapi
sangat kuat itu, ayah Aika kembali berjuang untuk menemukan putrinya, berharap
sebuah keajaiban dari Tuhan.
5 tahun, 2 tahun, bertahun-tahun
ia lewati dengan terus mencari tahu keberadaan Aika. Ia sudah meminta bantuan
polisi, memasang iklan orang hilang di koran dan berbagai macam usaha lain.
Sampai pada akhirnya, ia
memutuskan untuk mencari keberadaan putrinya di kota-kota yang berdekatan
dengan kota tempat mereka berlibur sewaktu itu.
Dan ternyata, kabar tentang
seorang gadis kecil bisu yang ditemukan oleh seorang wanita, mengantarkan ayah
Aika ke rumah Ayuko.
“Aika...Ayah benar-benar
merindukanmu...Ayo, kita pulang...”
DEG
“.......................”
Akhirnya, saat ini ternyata
benar-benar tiba.
Lebih cepat dari dugaan Ayuko
sendiri.
Tubuhnya tidak berhenti bergetar.
“[Kenapa, ya...? Padahal diluar sangat cerah...Tapi kenapa...Di dalam
sini rasanya benar-benar dingin...].”
Tatapan matanya tidak teralihkan
sedikitpun dari reuni mengharukan antara Aika dan ayahnya yang sudah 10 tahun
tidak berjumpa.
Sementara itu, Aika yang
mendengar ajakan pulang dari sang ayah, justru melepaskan tangan ayahnya dari
pundaknya,
“Aika!”
Kemudian berlari ke arah Ayuko.
Tangan kecilnya berusaha
menggapai wanita itu, sementara tangannya yang lain masih memegang buku gambar
miliknya. Ia menangis, ingin berteriak, namun tidak bisa. Ia hanya bisa terus
melangkah, ingin menggapai lengan wanita yang sudah merawatnya selama ini.
GREP
Aika berbalik, ketika ayahnya
memegang tangannya, tidak mengijinkannya untuk pergi lebih jauh darinya.
Namun Aika terus meronta dan
menangis, tangannya terjulur, berusaha menggapai Ayuko yang terlihat dekat di
matanya, tapi entah kenapa terasa sangat jauh dari jangkauannya.
Ayah Aikapun terus berupaya
membujuk Aika supaya mau kembali pulang bersamanya.
‘Aku ingin tinggal bersamamu!!’
Mungkin jika Aika bisa berbicara,
itulah yang akan ia katakan kepada Ayuko. Tapi sayangnya, pesan terakhirnya itu
tidak sampai kepada wanita yang hanya bisa membatu melihat kejadian di
depannya.
Hari ini akhirnya telah datang.
Ayuko sama sekali membuat
membulatkan hatinya, belum menentukan dan memikirkan matang-matang keputusan
apa yang harus ia ambil.
Dalam hati ia tidak ingin
kehilangan Aika, ia ingin terus bisa menjadi ‘ibu’ bagi anak itu. Ia ingin
menjulurkan tangannya, kemudian meraih tangan kecil Aika.
“[Aku tidak ingin kehilangannya!! Tidak ingin berpisah!!].”
Jeritnya dalam hati.
Ia berusaha menggerakkan
tangannya,
Tapi,
Menghentikannya di tengah jalan.
“[Meskipun begitu, ayah Aika, pasti lebih tidak ingin berpisah darinya...].”
Saat itulah, Ayuko membuat
keputusan paling besar dalam hidupnya.
Ia,
“AIKA!!!”
“!!?”
Gadis itu langsung tertegun
dengan wajah basah karena air mata, begitu pula dnegan ayahnya yang terus
memegangi tubuhnya.
“..................”
Ayuko terdiam di tempat dengan
kedua tangan di samping tubuhnya.
Ia kemudian menghela nafas
pendek,
Dan menunjukkan sebuah senyuman
kecil,
Senyuman yang sama dengan yang
pertama kali ia tunjukkan pada Aika,
Dengan gerakan isyarat tangan,
Ayuko mulai membentuk sebuah pesan dari dalam lubuk hatinya untuk Aika.
Pesan pertama berbunyi,
‘Semua akan baik-baik saja!’
Pesan kedua berbunyi,
‘Kau tahu? Kau sebenarnya bisa
terbang!’
Pesan ketiga berbunyi,
‘Mungkin inilah yang akan menjadi
sayapmu! Bakatmu ini yang akan membuatmu bisa terbang!!’
Dan pesan terakhir yang ia
sampaikan pada Aika, bersamaan dengan senyuman terakhirnya,
‘Tapi,
D-I-S-I-N-I-B-U-K-A-N-T-E-M-P-A-T-M-U-U-N-T-U-K-T-E-R-B-A-N-G’
Aika hanya bisa diam ketika
menangkap pesan itu. Dan ketika tangisannya berhenti, ia tidak melawan ketika
membawanya pergi. Ayah Aika menundukkan kepalanya, berterima kasih dari hatinya
yang terdalama, kemudian berlalu dan membawa Aika pergi, dari hidup Ayuko untuk
selamanya.
Saat itulah, samar-samar, Aika
melihat, wanita itu meneteskan air mata dihadapannya, untuk yang pertama dan
terakhir kalinya...
***-***
“Baiklah semuanya! Di acara kita
kali ini, akan ada bintang tamu spesial! Dia adalah seorang wanita berusia 24
tahun yang cantik dan sangat luar biasa. Di tengah keterbatasan yang ia miliki,
ia mampu berkreasi dan menciptakan hasil karya yang luar biasa. Hasil karyanya
yang paling dikenal oleh masyarakat, adalah sebuah buku bergambar dengan kisah
tentang seorang gadis kecil, yang berusaha terbang dan menemukan impiannya yang
tersebar bagaikan bintang di angkasa luas. Gadis yang berusaha menemukan
sayapnya, ini dia, mari kita sambut, Hirano Aika!!”
Begitu sang pembawa acara
menyebut namanya, seorang gadis muda dengan rambut hitamnya yang panjang hampir
sepunggung, berjalan memasuki ruangan.
Didampingi oleh seorang wanita
berpakain hitam, Aika melambaikan tangannya ke arah penonton yang meneriakkan
namanya dengan sangat heboh sambil bertepuk tangan. Iapun duduk di sofa yang
telah disediakan, didamping oleh wanita tadi.
“Ini dia, Hirano Aika! Sudah ada
di studio.”
Sang pembawa acarapun bertepuk
tangan dan tersenyum,
“Boleh aku tahu, apa aku boleh
memanggilmu ‘Aika’?”
Tanyanya.
Aika tidak menjawab, melainkan
menggerakkan jari-jarinya membentuk suatu isyarat kata-kata. Kemudian, wanita
berbaju hitam di sampingnya, menerjemahkan isyaratnya,
“Tentu saja.”
Kata wanita itu, tersenyum.
10 tahun semenjak hari itu, Aika
tinggal bersama dengan ayahnya.
Meskipun beberapa hal dalam hidupnya mengalami
perubahan, namun satu hal yang tidak pernah berubah dalam hidup Aika.
Ia masih terus menggambar.
Dan berkat itu, akhirnya Aika
berhasil menerbitkan buku bergambar karyanya sendiri. Bukan hanya satu, tapi
puluhan buku sudah berhasil ia ciptakan dan mendapat sambutan yang sangat luar
biasa dari orang-orang.
“Hmm...Baguslah kalau begitu!
Jadi, Aika, kita langsung saja ke topik pembicaraan. Apa kau tahu, kalau karya
buku bergambarmu itu, sangat terkenal?”
“Aika bilang, ‘Belum se-terkenal itu. Ia masih harus
belajar menggambar dan menyampaikan cerita lebih baik lagi’.”
Jelasnya, menerjemahkan isyarat
yang digunakan gadis itu agar semua penonton bisa memahami apa yang ia katakan.
“Ha ha, tapi semua orang tak
terkecuali anak-anak dan juga orang dewasa, mereka semua menyukai karyamu!!
Kudengar juga, karyamu ini sudah terjual sampai ke luar negeri, bahkan ke
Amerika dan Eropa!?”
Ujar pembawa acara wanita itu,
kembali melontarkan pertanyaan yang Aika jawab dengan anggukkan kecil sambil
tersenyum malu.
“Woow! Luar biasa sekali, bukan!?”
Semua penonton langsung
memberikan sambutan hangat berupa tepuk tangan.
“Aika, selain seorang pengarang
sukses yang sudah terkenal jauh sampai ke luar negeri, kau bukan hanya dikenal
karena karyamu. Tapi, juga karena kisah hidupmu yang sangat menyentuh.”
Pembawa acara itu berkata kepada
Aika.
Aika terdiam sejenak, kemudian
kembali mengangguk dan menggunakan isyarat tangan. Wanita di sampingnyapun
mulai menyampaikan apa yang berusaha diceritakan oleh Aika.
“ ’Sewaktu aku berumur 4 tahun, aku pernah terpisah dengan kedua orang tuaku.
Dan untungnya, 10 tahun kemudian, kami kembali bersatu meskipun ibuku telah
berada di surga.’ ”
Sang pembawa acarapun terlihat
begitu takjub.
“Waa, kau pasti sangat bahagia,
ya? Akhirnya bisa berkumpul lagi dengan keluargamu?”
“ ‘Iya, sangat bahagia’”.
“Apa orang tuamu yang menjadi
inspirasimu dalam menciptakan buku-buku ini?”
Ia kembali melontarkan sebuah
pertanyaan.
“ ‘Ya, orang tuaku adalah orang yang sangat luar biasa! Karena itu, meski
aku tidak bisa bicara seperti anak-anak normal lainnya, tapi aku ingin
melakukan sesuatu yang bisa membuatku berguna untuk mereka.’ “
“Kebetulan sekali. Sekarang
tanggal 22 Desember, yang artinya adalah Hari Ibu. Nah, Aika, pasti ada yang
ingin sekali kau ucapkan pada ibumu di surga’kan?”
Ia bertanya, yang langsung Aika
tanggapi dengan anggukan.
Sekali lagi, jari-jarinya mulai
bergera, merangkai kata-kata.
“ ‘Terima kasih karena sudah mengandung dan melahirkanku. Terima kasih
juga karena sudah percaya aku masih hidup. Meskipun kita terlambat untuk
bertemu, namun tidak pernah ada kata terlambat untuk mengungkapkan seberapa
besar rasa cintaku padamu. Karena itu, terima kasih. Selamat Hari Ibu, dan aku
akan selalu mencintaimu’ “.
Mendengar pesan yang sangat indah
itu, semua penontonpun langsung bertepuk tangan dengan meriah. Bahkan ada yang
sampai menitikkan air mata.
Dan ketika pembawa acara akan
memulai kembali pertanyaannya,
“ ‘Tunggu sebentar!’”
Teriak wanita yang bertugas untuk
menerjemahkan bahasa isyarat yang digunakan oleh Aika. semua penonton langsung
terbingung-bingung, apa yang sebenarnya terjadi. Kelihatannya, Aika masih
berusaha menyampaikan sesuatu.
“Apa masih ada yang ingin kau
sampaikan?”
Aikapun mengangguk, kemudian
seperti memberi tanda untuk wanita di sampingnya untuk mengeluarkan sesuatu.
Wanita itupun mengeluarkan sebuah buku, dengan sampul berwarna hitam dari balik
tubuhnya dan menyerahkan buku itu pada Aika.
Gadis itu menatap buku itu
lekat-lekat, kemudian membelainya perlahan. Pembawa acara yang menunjukkan rasa
penasaran pada buku itupun bertanya pada Aika,
“Buku apa itu?”
Tersenyum ke arah pembawa acara,
Aikapun berbicara dengan isyarat tangan,
“ ‘Ada
satu hal lagi yang ingin aku sampaikan.’ “
“ ‘Sesuatu yang belum sempat aku sampaikan pada waktu itu. Kepada seseorang
yang sangat berarti untukku.‘ ”
“Tunggu dulu...Berarti...Ada
seseorang selain kedua orang tua anda, yang menginspirasi anda dalam berkarir?”
“..........................”
Tanpa mengatakapan apapun, Aika
segera bangkit berdiri, diikuti oleh penerjemahnya, ke arah kamera.
“ ‘Seandainya, kau menonton acara ini, aku ingin kau melihat ini...’ “
Ia lalu menunjukkan buku itu ke
arah kamera.
Dan membuka buku tersebut, dengan
gambar dan cerita di dalamnya...
‘Hari di mana aku tidak sengaja bertemu denganmu, aku langsung
menemukan berbagai macam impian. Kau yang tersenyum ke arahku, menggandeng
tanganku kemudian berkata ‘Ayo, pulang bersamaku’, di saat yang lain
mengacuhkanku. Aku tidak akan pernah melupakan senyuman itu. Di mana ada banyak
sekali cinta yang terasa. Aku ingin berterima kasih. Tapi bahkan mungkin itu
belum cukup mengungkapkan bagaimana perasaanku saat ini.’
‘Kau yang memberikan aku kekuatan untuk menghadapi semua orang yang
membenciku dan meremehkanku. Kau selalu menyemangati dengan kata-kata yang
bahkan masih terngiang di kepalaku detik ini.’
‘Kau tahu? Kau sebenarnya bisa terbang.’
‘Tiap kali kau mengatakan kata yang mungkin sangat singkat itu, hatiku
serasa melayang di angkasa. Aku seperti bisa melihat sepasang sayap transparan
yang tidak bisa dilihat oleh siapapun.’
‘Kau yang mengajari aku banyak hal. Berhitung, menulis bahkan
mengajariku bahasa yang biasa digunakan oleh orang-orang seperti aku.’
‘Kau yang selalu berusaha dan berjuang sangat keras demi diriku. Meski
aku bukan putrimu, namun kau memperlakukan aku seperti salah satunya. Aku tahu
kalau mungkin aku ini adalah beban yang sangat berat untukmu. Mungkin aku
sering menyusahkanmu. Tiap pulang kau selalu terlihat kelelahan, namun kau
menyembunyikan semua itu, dan hanya tersenyum lalu menghampiriku dan membantuku
belajar.’
‘Hari di mana aku bertemu denganmu, aku menemukan berbagai impian. Kau
membantuku menemukan bakatku, membantuku menemukan sayapku.’
Perlahan, air mata mulai turun
dari mata gadis itu, bersamaan dengan halaman yang terus terbuka, mengungkapkan
sebuah pesan yang belum sempat tersampaikan selama 10 tahun.
‘J-A-N-G-A-N-B-E-R-H-E-N-T-I-M-E-L-A-K-U-K-A-N-Y-A-N-G-K-A-U-S-U-K-A-I’
‘A-K-U-S-U-K-A-M-E-L-I-H-A-T-M-U-M-E-N-G-G-A-M-B-A-R’
‘K-A-U-T-E-R-L-I-H-A-T-B-E-R-K-I-L-A-U-A-N-S-A-A-T-I-T-U’
‘A-K-U-T-A-H-U-K-A-U-B-I-S-A-T-E-R-B-A-N-G.
D-A-N-B-A-K-A-T-M-U-I-N-I-A-K-A-N-M-E-N-J-A-D-I-S-A-Y-A-P-M-U’
‘A-K-U-A-K-A-N-M-E-L-A-K-U-K-A-N-S-E-M-U-A-Y-A-N-G-A-K-U-B-I-S-A’
‘Kata-katamu memberikan aku semangat yang lebih lagi untuk terus
meneruskan apa yang aku suka. Dan kau terus berusaha keras untuk membantuku
meraihnya, kau menjadi sepasang sayapku yang hilang dan membantuku untuk
terbang.’
‘Hari di mana aku tidak sengaja bertemu denganmu, aku menemukan banyak
impian. Ketika aku merasa ingin menangis, terima kasih karena selalu berada di
sisiku, menghapus air mata yang terjatuh itu.’
‘Terima kasih atas semua. Atas kasih yang kau berikan, atas cinta yang
kau berikan, atas semua pengajaran hidup yang kau ajarkan padaku. Dan terima
kasih karena memilih untuk merawatku.’
‘Lalu, kau tahu?’
‘Kau sebenarnya juga bisa terbang.’
‘Bagaimana aku bisa mengetahuinya?’
‘Itu rahasia.’
Aika tersenyum bahagia, ketika
akhirnya ia selesai mengungkapkan pesan yang ia buat 10 tahun yang lalu.
Pada akhirnya, pesan itupun
tersampaikan.
Usianya sekarang 24 tahun. Dan 10
tahun lamanya ia habiskan bersama dengan orang itu. Orang yang membuatnya,
menjadi Aika yang sekarang.
“[Apa kau melihatku? Di luar sana? Aku harap kau mendengar pesanku. Aku
harap, pesanku sampai kepadamu...].”
Katanya dalam hati sambil melipat
kedua tangannya di depan dada, mendekap buku penuh perasaan itu.
“W--Wow...Itu tadi...Benar-benar
mengharukan...Jadi di buku itu, tertulis sebuah pesan untuk seseorang yang
berharga? Dan selama 10 tahun ini, kau terus memendamnya sendirian?”
Pembawa acara itu berjalan,
mendekati Aika yang kini berjalan ke tengah panggung.
“ ‘Ya, aku sudah membuat buku itu 10 tahun yang lalu.’ “
Mendengar jawaban singkat itu, pembawa
acara wanita itu mengangguk-anggukan kepala, tapi kemudian terlihat sedikit
bingung, sambil memandangi buku bersampul hitam di genggaman Aika.
“Oh ya, tadi kalau tidak
salah...Masih ada satu halaman yang belum kau perlihatkan...Apa itu benar?
Atau...Mungkin aku yang salah lihat, ha ha.”
Ia berkata sambil sedikit
tertawa, Aika menjawab dengan sebuah anggukkan singkat.
“ ‘Memang masih ada satu halaman lagi yang belum aku perlihatkan. Karena
ini, halaman khusus, dan aku ingin menunjukkan secara langsung padanya.’ “
“Oh...Aku paham...”
“ ‘Terakhir kali aku bertemu dengannya, 10 tahun yang lalu saat aku
kembali bersatu dengan keluargaku yang sebenarnya. Waktu itu, aku benar-benar
tidak paham apa yang terjadi. Bahkan ketika ayahku mengajakku untuk pulang ke
rumah, aku menolak habis-habisan dan justru memilih untuk tinggal bersama
dengannya. Namun, senyumannya saat itu, entah kenapa memberikan pesan ‘Semuanya
akan baik-baik saja’, dan tangisanku pun berhenti...Aku tidak paham. Hanya, aku
bisa merasakan perpisahan akan segera datang. Meski begitu, ia tetap berusaha
tersenyum. Dan hari itu, adalah terakhir kalinya aku melihat senyumannya...Dan
pertama kalinya aku melihat butiran air mata itu...’ “
Aika meluapkan seluruh
perasaannya yang terbendung waktu itu. Apa yang dia lihat dari senyumannya? Apa
yang dia kenang dari air matanya,
“ ‘Dia wanita yang sangat luar biasa!’ “
Dan semuanya, kembali memberikan
tepuk tangan yang meriah atas kisah yang Aika ceritakan.
“Aika.”
Tiba-tiba, pembawa acara itu
memanggil namanya dan membuat Aika langsung menoleh ke arahnya dengan wajah
yang seolah berkata ‘Ya?’.
“Ehm...Kau pasti...Sangat ingin
bertemu dengan orang yang sudah memberikanmu kasih sayang layaknya seorang ibu
itu?”
“ ‘Ya, tentu aku sangat ingin bertemu dengannya’. “
Jawab Aika dengan antusias.
“Yah...Kalau begitu, tidak usah
terlalu lama lagi, mari kita panggil ke atas panggung, Yanagi Ayuko!!”
Seru pembawa acara itu dengan
heboh sambil mengangkat sebelah tangannya.
Mendengar itu, sontak seluruh
penonton langsung berdiri kemudian kembali memberikan tepuk tangan yang lebih
meriah lagi, sementara Aika hanya bisa tertegun sambil melihat ke sana kemari
dengan kedua mata terbuka lebar. Ekspresinya seolah berkata ‘Apa kau bercanda!?’.
Masih tidak percaya, Aika terus menoleh seperti orang sedang mencari sesuatu
dengan sebelah tangan menutupi mulutnya. Dan--
Pandangannya terarah pada sosok
wanita yang berdiri di ujung panggung. Meskipun rambutnya sudah semakin putih
dan wajahnya terlihat menua, tapi,
Ia tidak akan pernah melupakan
wanita itu,
“Tidak mungkin...”
Ketika Aika menatapnya dengan
tatapan yang seolah tidak percaya, wanita itu justru menatapnya dengan sangat
lembut, kemudian tersenyum kecil dan berkata dengan suaranya yang tidak
asing...
“................Lama tidak
bertemu, Ai-chan...”
“[AYUKO-SAN!!!!]”
Tanpa berpikir panjang lagi, Aika,
melesat dan berlari, menuju ke sosok wanita yang telah memberikannya lebih
banyak yang dari yang bisa ia berikan. Begitu juga dengan Ayuko, berlari ke tengah
panggung untuk menjemput anak yang ditemuinya seorang diri sewaktu hujan itu.
Tangan keduanya terjulur ke
depan, berusaha meraih satu sama lain.
Kenangan keduanya akan saat
perpisahan yang menyakitkan itu, kembali terbayang.
Ketika itu, tangan mereka tidak
bisa saling menyentuh. Tidak bisa saling meraih. Bahkan ketika mereka terpisah
hanya seujung jari saja, rasanya sudah sangat menyakitkan.
Tapi, semua orang harus tahu,
Sebuah kisah akan selalu diawali
dengan perjumpaan manis, kemudian diakhiri dengan perpisahan pahit.
Kemudian, Semua itu akan dimulai
kembali dari awal, dengan pertemuan yang indah.
Dan kini, tidak akan ada lagi
yang bisa memisahkan mereka berdua...
GREP
“Ai-chan!! Ai-chan!! Ini
benar-benar kau!?”
Seru Ayuko, memeluk tubuh Aika
dengan sangat erat sambil berurai air mata. Aika hanya mengangguk-anggukkan
kepala, seolah mengatakan ‘Ya, ini aku’.
Mereka berdua berpelukan selama
beberapa saat, melepas rindu selama 10 tahun tidak bertemu.
Ayuko kemudian melepas pelukannya,
dan mengamati Aika dari atas ke bawah dengan haru.
“Coba lihat! Kau sekarang sudah
jadi gadis dewasa yang cantik!!”
Ia berkata, berusaha tersenyum
sambil membelai lembut rambut Aika, sesuatu yang biasa ia lakukan ketika gadis
itu masih sangat kecil.
Sementara Aika hanya tersenyum
malu,
‘A-P-A-A-P-A-A-N-I-T-U-?-I-T-U-S-A-M-A-P-E-R-S-I-S-D-E-N-G-A-N-Y-A-N-G-D-U-L-U-A-Y-A-H-K-A-T-A-K-A-N-P-A-D-A-K-U’
Ayuko hanya bisa tertawa kecil
ketika membaca pesan itu, berusaha menghapus air matanya.
Kemudian, ketika Aika tidak
sengaja menoleh ke arah kursi penonton, ia melihat ayahnya, melambaikan tangan
ke arahnya sambil tersenyum.
Ternyata, ayah Aika sengaja
mendatangkan Ayuko ke acara TV ini. Ia ingin mempertemukan mereka berdua yang
sudah terpisah selama 10 tahun. Karena bagaimanapun, Ayuko yang telah merawat
dan membesarkan Aika dengan penuh cinta.
Lagipula,
‘Di Hari Ibu, bukannya harus ada
seorang ‘ibu’?’
Itulah yang ia katakan pada
stasiun TV.
“Jadi...”
Sang pembawa acara kembali
mengambil alih acara, membuat Ayuko dan Aika yang sepertinya masih ingin
menceritakan banyak hal, menoleh ke arahnya.
Ia lalu menoleh ke arah Aika.
“Aika, wanita ini sekarang sudah
ada di hadapanmu. Sampaikan, pesan dihalaman terakhir buku bergambarmu itu.
Kalau ada yang ingin kau sampaikan, sepertinya sekarang waktu yang tepat.”
Ujarnya dengan senyuman di
wajahnya.
Maka, Ayuko dan Aika kembali
saling berhadapan.
Kemudian, Aika, menyodorkan buku
bersampul hitam, yang seharusnya ia berikan kepada Ayuko, tanggal 22 Desember,
10 tahun yang lalu...
10 tahun yang lalu, pesan itu
belum bisa tersampaikan,
Tapi kini,
Ayuko mengambil buku itu dengan
kedua tangannya, lalu membuka halaman terakhirnya,
Dan tepat pada waktu itu,
Aika, membuat sebuah isyarat
dengan kedua tangannya, dengan wajah basah karena air mata, pesan dari lubuk
hatinya yang terdalam...
‘A-Y-U-K-O-S-A-N’
‘Y-A-?’
‘A-K-U-S-A-Y-A-N-G-P-A-D-A-M-U
I-B-U’
‘Lalu, kau tahu?’
‘Kau sebenarnya juga bisa terbang.’
‘Bagaimana aku bisa mengetahuinya?’
‘Itu rahasia.’
‘Baik, aku bercanda. Jawabannya sudah jelas,’
‘Karena saat aku telah menemukan
sayapku, kemudian terbang dan mengitari langit yang luas, aku akan meraih
tanganmu, kemudian membawamu, terbang bersama di langit yang biru. Aku ingin
kita berdua, bisa terbang bebas tanpa batas.’
‘Selamat Hari Ibu. Aku sayang padamu.’
THE END
A/N : Hai, minna XDD
Akhirnya bikin cerita one-shot lagi, dan
setelah 2 hari ngebut, jadi juga 30 halaman, fuuuh...//mungkin bagi
kalian ini terlalu panjang untuk jadi cerita one-shot.
padahal masih harus ngerjain cerita buat natal, kolab buat cerita
natal, terus artwork natal//plaak
Cerita ini sebenarnya buat Hari Ibu, cuma ya gitu, kebiasaan telat selalu muncul...
Bahkan mungkin cerita natal ga bakal sempet...
Mungkin cerita ini sudah banyak di
mana-mana, sudah sangat mainstream, aneh maupun membosankan, tapi
makasih buat yang sudah mau mampir dan membaca cerita ini ^^
Visit :fujiwara_hatsune.ngomik.com
http://hatsu-xxx.deviantart.com/
Sankyuu!!
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar