Selasa, 23 Desember 2014

One-Shot Story : AIKA [A Mother's Love]



One-Shot Story : AIKA [A Mother's Love] 

 Read :



AIKA
[A Mother’s Love]

“Ai-chan, makan malam sudah siap.”
Sambil menata meja makan dari kayu yang berukuran kecil, seorang wanita yang mungkin sudah berusia sekitar 40 tahunan, berteriak dari ruang makan.
Mendengar panggilan tersebut, munculah seorang gadis kecil, yang berusia sekitar 14 tahun. Rambut hitam panjangnya yang sedikit bergelombang dan poni-nya yang sudah hampir menutupi mata.
‘Mungkin besok aku harus memotong rambutnya’,
Pikir wanita paruh baya itu dalam hati.
Gadis kecil itu berlari kecil menuju ke arah kursi. Namun, karena tubuhnya yang sedikit pendek, ia kesulitan saat berusaha mencapai kursi yang mungkin biasa digunakan oleh orang dewasa itu. Sambil tersenyum, wanita itu berjalan perlahan ke arah gadis itu.
“Ha ha, kau harus menunggu sampai usiamu 16 tahun, baru kau bisa duduk di atas kursi ini sendiri. Nah, biar aku menggendongmu.”
Dengan sabar dan penuh cinta, wanita itu menggendong tubuh mungil gadis tersebut dan mendudukkannya di atas kursi. Gadis itu tidak mengatakan apapun. Ia hanya tersenyum manis sambil memandang lekat wanita yang membalas senyumannya itu.
Jika diperhatikan, gadis cilik yang dipanggil ‘Ai-chan’ itu sangat manis. Rambut hitamnya terlihat berkilauan seperti langit malam. Kulitnya juga putih dan bola matanya yang berwarna kebiruan seolah merefleksikan indahnya langit biru. Ai-chan terlihat seperti bidadari, yang memiliki sayap indah berwarna putih dan bisa terbang bebas di manapun di angkasa luas ini.
Wanita itu selalu percaya, bahwa gadis kecil itu, suatu saat nanti pasti akan bisa mengepakkan sayapnya kemudian terbang ke langit.
Meskipun saat ini,
Gadis itu telah kehilangan sepasang sayapnya...
Ai-chan tersenyum, kemudian, jari-jarinya yang kecil bergerak, membentuk suatu isyarat kata-kata.
‘T-E-R-I-M-A-K-A-S-I-H-, A-Y-U-K-O-S-A-N’
Dan dengan cara yang sama, Ayuko menggerakkan jarinya, membalas ucapan terima kasih gadis tersebut.
‘I-Y-A-S-A-M-A-S-A-M-A’
Sambil tersenyum lembut.

Yanagi Ayuko, hanyalah seorang wanita yang sederhana.
Ia tidak menikah dan juga tidak memiliki anak. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia saat ia baru berusia 19 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk kehilangan seseorang yang begitu dicintainya. Meskipun begitu, orang tua Ayuko tidak terlambat mengajarkan kepadanya, apa yang harus ia tahu.
Mereka mengajarkannya untuk tumbuh menjadi gadis yang penuh dengan cinta kepada siapapun, entah itu kepada keluarganya sendiri, maupun kepada orang asing yang bahkan ia tidak tahu namanya sekalipun.
Sejak kecil, Ayuko sudah diajarkan untuk saling berbagi dan mengasihi orang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh Tuhan kepada umatnya. Karena itu ia memiliki banyak teman dan dikenal suka memberikan sebagian uang sakunya untuk orang yang membutuhkan.
Namun, ketika kedua orang tuanya meninggal dalam perjalanan bisnis ke Amerika, bisnis keluarganya hancur. Semua barang, perabotan bahkan rumah, di sita oleh bank. Kehilangan orang tuanya, membuat Ayuko yang masih remaja kehilangan segalanya, baik itu harta, tempat tinggal, teman-teman bahkan kekasih yang sangat dicintainya dan yang berkata ‘sangat mencintainya’.
Ia langsung jatuh miskin. Semua teman yang dulu selalu ada untuknya, yang berkata ‘Kita akan berteman selamanya!’, meninggalkan seolah janji itu telah terhapus oleh bayang-bayang malam. Kekasihnya langsung memutuskan dirinya, dan berkata bahwa ia ternyata tidak cukup mencintainya.
Meski seperti itu, ia tidak pernah dendam pada mereka. Ia memang sudah jatuh miskin, tapi tidak miskin hati. Setelah kejadian yang membuat hidupnya terpuruk itu, Ayuko memutuskan untuk bangkit dan hidup dengan segala kemampuan yang ia miliki.
Ia memutuskan untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak yang tidak bisa bersekolah, meski bayaran yang diberikan tidaklah tinggi. Tapi, tiap hari, selalu Ayuko jalani dengan semangat yang baru dan senyuman. Wanita itu selalu menguatkan dirinya untuk bertahan menjalani kerasnya hidup.
‘Langit pasti akan cerah keesokan harinya!’,
Itulah yang menjadi penyemangat hidupnya meski kehidupan baru yang ia jalani tidaklah semudah yang dulu.
Percaya bahwa tak selamanya langit akan mendung, percaya bahwa pelangi yang penuh warna akan muncul di keesokannya.
Ayuko selalu berharap bahwa akan ada setitik cahaya dan harapan yang akan membawanya ke tempat yang lebih baik, ke hidup yang lebih baik.
Dan ia tidak percaya, kalau hari yang ia nantikan itu, akhirnya datang.

Semuanya berawal sekitar 10 tahun yang lalu, di saat hari sedang hujan.
Hujan rintik-rintik turun mendampingi langkah Ayuko, yang baru saja selesai berbelanja untuk makan malam. Langit terlihat mendung, dan gelap, menandakan bahwa hujan akan turun cukup lama hari ini. Maka dengan payung merah di tangannya, Ayuko mempercepat langkahnya untuk sesegera mungkin sampai ke rumah.
Tepat pada waktu itu, langkah kakinya tiba-tiba terhenti, ketika bola matanya secara tak sengaja menangkap sesosok anak kecil, seorang gadis di sebrang jalan.
Sendirian di tengah hujan deras, gadis kecil itu melemparkan tatapan kosong pada jalanan. Tak seorangpun orang menuju ke arahnya dan bertanya ‘Apa yang terjadi denganmu?’.
Mereka hanya berjalan, dan terus berjalan. Tak ada yang menghampiri gadis malang tersebut. Merasa hatinya tergerak, Ayuko berlari, menyeberangi jalanan yang tidak sedang ramai itu. Dengan cepat, ia memayungi gadis kecil itu yang sepertinya sedang berusaha menahan udara dingin.
“Kau baik-baik saja?”
Ayuko bertanya dengan nada khawatir, kemudian melepaskan syal merahnya dan memakaikannya pada gadis itu. Kelihatannya sangat kedinginan.
Tapi yang ada dipikiran Ayuko saat ini adalah,
“[Apa yang gadis ini lakukan seorang diri di tengah hujan seperti ini].”
Ia tidak mengatakan apapun.
 Gadis itu, terus menatap ke arah Ayuko dalam-dalam seolah sedang mengamatinya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Wanita itu kembali melontarkan sebuah pertanyaan.
Namun, gadis kecil di tengah hujan tersebut, tidak membalasnya. Ia hanya terus memandang wajah Ayuko dan diam di tempatnya, seolah tidak mengerti ucapan Ayuko.
“...........[Anak ini...].”
Meski baru saja bertemu, Ayuko bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan anak itu. Mungkin saja ia tersesat dan hilang atau mungkin ditinggal oleh kedua orang tuanya.
Karena itu, Ayukopun tersenyum, kemudian mengucapkan kata-kata ajaibnya,
“Semua akan baik-baik saja!”
Ia menyodorkan tangannya ke arah gadis kecil itu, berharap gadis itu akan membalas dengan menggenggam tangannya.
Gadis itu terdiam sejenak, tapi tak perlu menunggu beberapa detik, gadis tersebut tersenyum kecil, kemudian menggapai tangan Ayuko.
“Maukah kau pulang bersamaku?”
Tanyanya.
Dan gadis itu mengangguk.
Saat itu, tidak tahu apakah pertemuan mereka yang tidak disengaja itu adalah takdir atau bukan, tapi perlahan, hujan deras itupun mulai menipis sedikit demi sedikit dan hanya menyisakan tetes-tetes air.
Ayuko menurunkan sedikit payungnya, kemudian melihat ke atas langit sore, yang kini terlihat bersahabat. Pemandangan yang sangat indah.
Maka dengan itu, mereka berdua berjalan bersama, menyusuri jalanan dengan bayangan yang mengikuti, membelakangi sang surya yang kini sudah hampir tenggelam.

“Siapa namamu?”
Menuangkan coklat panas ke 2 buah cangkir berbentuk seperti kepala beruang, yang satu berwarna putih dan yang satu berwarna hijau muda, Ayuko menanyakan sebuah pertanyaan yang harus ia tanyakan pertama kali.
Siapa gadis itu dan identitasnya.
“........................”
Tak ada jawaban.
Ayuko hanya diam di tempatnya, menunggu gadis itu menjawab pertanyaannya.
Tapi, gadis itu cuma menoleh ke sana kemari, seperti seseorang sedang mencari sesuatu. Gadis itu kemudian melihat ke atas meja tulis yang ada di sudut ruangan, kemudian berlari ke sana.
“Hey, mau ke mana kau?”
Ayuko mengikuti ke mana gadis kecil itu menuju.
Gadis itupun duduk di lantai, kemudian mengambil selembar kertas dan sebuah  pulpen hitam yang tergeletak begitu saja di atas meja.
Di sana, ia menulis,
‘Aika’.
“............Oh, Aika! Namamu Aika?”
Ayuko bertanya sambil sedikit membungkukkan tubuhnya dan memperhatikan tulisan gadis kecil yang cukup rapi itu.
Aika menoleh ke arah Ayuko lalu tersenyum dan mengangguk.
“Aika...’Cinta’, ya?...Nama yang bagus...”
Pujinya, yang membuat Aika tersenyum malu kemudian menggaruk belakang kepalanya. Rambutnya masih sedikit basah terkena air hujan.
“Berapa usiamu?”
Dan Aika menjawabnya dengan isyarat tangan, membuat angka ‘4’.
“..................”
Melihat itu, Ayuko yang sadar akan sesuatu tidak mengatakan apapun.
Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala dan mendekatkan telunjuknya di dekat bibir.
Wanita itu paham, Aika tidak bisa bicara.

Sayangnya, Aika sama sekali tidak mengingat di mana ia tinggal. Ia menulis, bahwa ia dan keluarganya sedang berlibur di kota ini. Namun, sepertinya Aika tertinggal dan tidak tahu harus mencari jalan pulang ke mana. Ia hanya tahu, kalau ia tinggal di Osaka. Hanya, alamat tempat tinggalnya yang lebih detail lagi, Aika kurang ingat.
Hari sudah larut, dan Ayuko membiarkan Aika untuk menempati tempat tidurnya, sementara ia tidur di ruang tamu. Di tengah kegelapan yang menyelimuti itu, Ayuko sama sekali tidak bisa tidur. Sambil membaringkan diri di atas sofa dengan berselimutkan kain yang tipis, Ayuko menatap ke langit-langit, dan hanyut dalam pikirannya.
“Hmm...Apa yang harus aku lakukan, ya?”
Ayuko berkata kepada dirinya sendiri.
Bahkan menghidupi dirinya sendiri saja sudah merupakan sebuah perjuangan yang sulit. Apalagi, jika ia harus menanggung hidup Aika, seorang gadis yang secara tidak sengaja terpisah dari keluarganya.
Tapi, perkataan kedua orang tuanya selalu terngiang di terngiang di telinganya, tiap kali ia memikirkan apa yang harus ia lakukan terhadap Aika.

‘Kita harus memberikan kasih sayang dan cinta kita pada setiap orang yang kita temui.’
‘Yang kita inginkan bukanlah ucapan terima kasih, melainkan sebuah kebahagiaan yang sebenarnya.’

Benar.
Ia tidak bisa membiarkan gadis sekecil Aika hidup tidak jelas tanpa arah dan tujuan. Apalagi, anak dengan keterbatasan seperti Aika. Ia membutuhkan orang yang mencintainya, yang memberikan kasih sayang dan membimbingnya untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain.
“...........[Iya, seandainya orang tua asli Aika tidak bisa melakukannya, maka harus aku yang melakukannya. Aku percaya, Tuhan mempertemukan kami berdua karena alasan itu. Ia ingin aku menjaga Aika, membesarkannya, dan memberikannya cinta padanya, sama seperti kedua orangtuaku selalu mengajari aku. Aku akan membuat Aika menjadi anak yang luar biasa meskipun ia memiliki kekurangan!].”
Ia bertekad dalam hati, untuk mencurahkan segala kemampuan yang ia miliki, untuk mendidik Aika menjadi gadis yang penuh dengan cinta, sesuai dengan namanya. Ai yang berarti cinta.
Ayuko menyingkirkan selimutnya dan bangkit berdiri.
Dengan pelan, ia membuka pintu kamar di mana Aika sedang tertidur. Iapun melangkahkan kakinya, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara berisik yang mungkin akan membangunkan anak itu.
Ia lalu mengintip wajah Aika yang tengah tertidur pulas.
“[Untung saja dia tidak terkena flu setelah berdiri di tengah hujan seperti itu].”
Ayuko tersenyum sambil menyentuhhkan tangannya di dahi Aika.
Wajahnya ketika tertidur benar-benar seperti malaikat.
“..........[Malaikat...?].”
Ayuko tiba-tiba tertegun oleh pikirannya sendiri.
Iapun kembali memperhatikan wajah gadis itu lebih dekat lagi.
Ingatannya tentang kisah malaikat yang jatuh ke bumi dan kehilangan sebelah sayapnya, sebuah cerita anak-anak yang selalu diceritakan oleh ibunya sebelum tidur. Meskipun hanya memiliki satu sayap, namun malaikat itu percaya bahwa ia, suatu saat nanti akan bisa pulang kembali ke rumahnya di langit.
Ayuko kemudian tersenyum, dan dengan lembut, menyentuhkan jari-jarinya lalu membelai rambut Aika.
“[Benar...Kau seperti malaikat. Dengan sayap putih lebar yang indah, yang akan membawamu terbang ke langit biru. Di sanalah kau akan melihat indahnya dunia ini. Hanya saja...Saat ini kau masih belum menemukan sebelah sayapmu. ‘Masih’ bukan berarti ‘pasti’. Suatu saat nanti, kau akan menemukannya. Dan aku akan membantumu, untuk bisa kembali terbang. Setidaknya, sampai kedua orang tuamu kembali, untuk menjemputmu...].”
........................
.....................................
..........................................................
“Ijinkan aku...Mencintaimu dengan sepenuh hati...Dan, menjadi sayap untukmu...”

Maka sejak saat itu, Ayuko dan Aika, tinggal bersama.

Ayuko yang sebelumnya hidup seorang diri, kini harus menghidupi 2 orang. Bukan hanya itu, iapun memaksakan dirinya untuk bertanggung jawab atas pendidikan Aika dan bermaksud untuk menyekolahkannya, tak peduli biaya sekolah tidaklah semurah itu. Karena ia tahu, meskipun tidak bisa berbicara, Aika sangatlah cerdas dan akan sia-sia kalau ia hanya duduk-duduk di rumah seharian.
Iapun mulai mencari berbagai pekerjaan yang bisa ia lakukan, apa saja boleh asalkan Ayuko bisa menghidupi dan menyekolahkan Aika di sekolah umum, bukan disekolah khusus. Agar Aika tumbuh semakin pandai dan kedua orangtuanya bisa merasa bangga kepadanya.

Tapi,
Membawa Aika ke dalam hidupnya, ternyata tak semudah yang ia kira.
Berbagai macam komentar-komentar miring dari sekitar lingkungannya mulai banyak sampai ke telinganya.
‘Wanita itu tidak menikah. Bagaimana bisa dia memiliki seorang anak yang sudah sebesar itu?’
‘Itu pasti anaknya dengan pria di luar pernikahan!’
‘Ternyata dia wanita seperti itu. Benar-benar menjijikkan’.
‘Kudengar anak itu bisu! Pasti itu yang dinamakan karma!’.
Hal-hal seperti itu sudah bisa menghiasai hari-harinya tiap kali pergi dan pulang kerja kemudian ketika ia mengantar dan menjemput Aika dari sekolahnya.
Tentu saja, tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang tinggal denganmu, pastinya akan mengundang berbagai tanda tanya. Dan semuanya memandangmu hanya dari sisi negatif, tak peduli tindakan mulia yang dilakukan Ayuko untuk merawat Aika, yang bahkan tidak ada hubungan darah dengannya.
Itu karena semua manusia hanya akan mempercayai sesuatu yang nampak diluar saja, tanpa meneliti lebih jauh ke dalam.
‘Semua akan baik-baik saja!’,
Kata-kata ajaib Ayuko yang ia katakan pada dirinya sendiri.
Untuk apa mempedulikan gosip-gosip yang belum tentu kebenarannya itu?
Toh, Ayuko yang paling tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan meskipun semua orang disekitarnya menghujat dirinya, ia, tidak akan pernah meninggalkan Aika dan akan terus berusaha untuk menjaga dan mencintai anak tersebut.
Seperti anaknya sendiri.
Ia akan memberikan semua hal mengenai cinta dan kehidupan, yang selalu diceritakan kepada orang tuanya dulu semasa mereka masih hidup.
“Ai-chan, kau tahu tidak, arti dari namamu?”
“Eh, tidak. Memangnya apa?”
“ ’Ai’ yang berarti cinta. Karena itu, kau harus hidup dengan penuh cinta. dan aku akan memberikan banyak cinta kepadamu, yang akan kau gunakan untuk mencintai orang lain!”

Tiap harinya, wanita itu mengajari bahasa isyarat menggunakan tangan yang biasa digunakan oleh orang-orang seperti Aika. Pelan-pelan, tapi Aika belajar dengan cepat dan juga lancar. Ayuko sendiri bisa mengajari Aika, karena sebelumnya ia pernah belajar sewaktu berkunjung ke panti asuhan, di mana banyak sekali anak-anak yang bisu maupun tuli atau cacat fisik lainnya.
Dari sana, Ayuko sangat tertarik untuk bisa berkomunikasi dan bersahabat dengan orang-orang yang biasanya selalu disingkirkan itu.
Dan kata yang pertama kali Ayuko ajarkan kepada Aika adalah,
‘C-I-N-T-A’.

‘Bibi, hari ini semuanya kembali mengejekku karena aku tidak bisa bicara dan hanya bisa menggunakan bahasa isyarat.’
Menyekolahkan Aika di sekolah umum, bukan berarti tidak ada resikonya.
Hampir tiap hari, semua siswa mengejek Aika dan tak satupun yang ingin berteman dengannya hanya karena ia berbeda. Dan hampir tiap hari pula, gadis kecil itu menangis tiap kali pulang dari sekolah. Ada juga masa di mana Aika merengek dan tidak ingin datang ke sekolah lagi.
Meskipun begitu, Ayuko selalu mendampingi Aika dan memberikan sebuah kekuatan padanya untuk terus memberanikan diri dan berani melangkah.
Ayuko selalu mengajari Aika, memberikan pengarahan baginya untuk tidak minder karena ia tidak seperti anak-anak lainnya.
“Kau tahu? Kau sebenarnya bisa terbang!”
Itu adalah kata-kata favorit yang selalu dikatakan oleh Ayuko ketika Aika merasa sedih karena tidak mampu berkomunikasi dengan normal.
Dan tiap kali Aika mendengar kata-kata itu, wajahnya yang sebelumnya terlihat lesu langsung berubah menjadi lebih cerah dan mengangguk, kemudian mulai berputar-putar sambil merentangkan kedua tangannya seperti burung yang terbang.

“Ayuko-san, kapan papa dan mama akan datang menemuiku?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya waktu usianya sudah menginjak 8 tahun.
Bahkan dalam jangka waktu yang cukup panjang itu, orang tua Aika tak kunjung datang dan menjemputnya. Sebenarnya Ayuko sendiri tidak pasti tentang keadaan orang tua Aika yang sebenarnya. Apa Aika benar-benar tertinggal, ataukah orang tua gadis itu membuangnya karena ketidaksempurnaan pada dirinya?
Setiap kali ia berpikiran seperti itu, ia selalu menggelengkan kepala, berdoa dan selalu berharap yang terbaik yang akan terjadi.
“Suatu saat nanti. Saat kau sudah menemukan sebelah sayapmu, orang tuamu akan datang dan kau akan bisa bersatu lagi dengan mereka.”
 Sampai saat itu tiba, ia akan terus menjaga Aika, sesuai janji yang pernah diucapkannya dulu. Dan membantu gadis itu menemukan sayapnya.

Meski sangat lelah karena harus pulang malam tiap harinya, Ayuko selalu menyempatkan waktu untuk bermain dan juga mengajari Aika berbagai macam hal yang ia tahu. Hal itu membuat Aika tidak pernah merasa kekurangan akan kasih sayang, meskipun itu hanya berasal dari seorang wanita yang cuma memiliki cinta pada dirinya.

Suatu hari, Ayuko menemukan bakat yang sangat menonjol dalam diri Aika.
Karena hari-harinya selalu dekat dengan kertas dan juga pulpen, yang selalu membantunya dalam bekomunikasi, terkadang ia juga sering mencoret-coret dan memberikan gambar pada tulisannya. Awalnya, hanya gambar yang biasa. Seperti coret-coret yang layaknya dibuat oleh anak-anak.
 Namun, pelan-pelan, Aika sering menunjukkan berbagai gambar yang ia buat di sebuah buku, yang membentuk sekumpulan cerita.
“Gambarmu bagus sekali!”
Puji Ayuko sambil memperhatikan tiap halaman putih yang kini sudah penuh dengan berbagai gambar.
“Benarkah?”
Sejak saat itu, Aika mulai giat menggambar. Hampir tiap hari, ia menyempatkan diri, setelah pulang sekolah untuk menyelesaikan cerita bergambarnya di satu buku penuh. Dan ia selalu senang ketika Ayuko membaca ceritanya dan mendengar komentarnya.
Wanita itu sadar, menggambar adalah hal yang sangat disukai Aika, dan itu adalah bakat luar biasa yang ia temukan dalam diri Aika. Karena ia tidak bisa berbicara, ia bisa menggunakan kemampuannya itu untuk mengatakan apa yang ia pikirkan.
 Bahkan di dalam sebuah batu hitam yang buruk dan juga keras, di dalamnya bisa saja terdapat emas yang indah juga berkilauan. Meskipun banyak yang tidak menyukai Aika dan banyak yang mengatakan ‘Anak seperti itu tidak akan pernah berhasil dan meraih apapun dalam hidupnya’, namun Ayuko percaya, jika bakat itu akan mampu membuat Aika bersinar.

 Iapun sadar akan satu hal, kemudian dengan nada bangga, ia berkata kepada Aika,
‘Mungkin inilah yang akan menjadi sayapmu! Bakatmu ini yang akan membuatmu bisa terbang!!’
Mendengar itu, kilauan langsung terlihat di mata gadis itu. Ia terlihat begitu senang mendengarnya, dan berjanji tidak akan berhenti menggambar sampai kapanpun.

Ayuko sebenarnya tidak terlalu pandai menggambar dan tidak terlalu hebat soal masalah seni. Mengingat dia selalu mendapat nilai C saat pelajaran kesenian dan kelas itu adalah kelas yang paling sangat ingin ia hindari. Tapi, kini ia tidak bisa menghindar lagi dan memutuskan untuk mengajari Aika sedikit cara menggambar. Ia juga menyisihkan sebagian gajinya untuk membelikan berbagai macam buku dan peralatan menggambar, yang membantu Aika mengembangkan skill-nya. Bukan hanya itu, Ayuko bahkan mengikutkan Aika ke sebuah les menggambar yang kebetulan terletak di dekat rumahnya.
Ia tidak peduli, meskipun semua orang mengatakan ‘Kau hanya membuang-buang uang dengan menyekolahkan anak itu. Bukan cuma itu, sekarang kau bahkan membelikan berbagai peralatan menggambar dan juga buku serta mengikutkannya di sebuah kursus!!’, ia tidak akan berhenti dan terus membuat Aika menggambar!
Membuat semua orang yang selama ini terus meremehkan Aika, bisa melihat kehebatan dari diri anak itu.

Tapi, dalam kesehariannya itu, banyak juga masalah yang dihadapi Ayuko.
Seperti suatu ketika, ia terlambat bekerja karena mengantar Aika ke sekolah. Dan saat itu, jalanan sedang saat ramai. Akibatnya, iapun dipecat dari salah satu pekerjaan yang ia jalani. Dipecatnya Ayuko, berarti pengurangan untuk pemasukan keluarga kecilnya.
Bukan cuma itu, entah apa yang terjadi, ataukah nasib sial sedang menghantui dirinya, ia secara tidak sengaja melakukan berbagai kesalahan dalam tempat kerjanya yang lain. Hingga akhirnya, ia sama sekali tidak memiliki sebuah pekerjaan untuk dilakukan.
Keesokan harinya ketika Aika bertanya ‘Ayuko-san, apa kau tidak berangkat bekerja hari ini?’, Ayuko hanya tersenyum dan mengusap pelan kepala anak itu.
“Aku sudah tidak memiliki pekerjaan. Aku sudah dipecat.”
Ucap Ayuko dengan raut wajah sedih.
Melihat wanita yang selama ini telah merawatnya seperti anakya sendiri, Aika hanya bisa menundukkan kepalanya, kemudian menulis di atas sebuah kertas,
‘...........Ini semua salah Aika...’
“!?”
Ayuko yang membawa tulisan Aika, langsung tertegun. Ia kemudian membelai pipi gadis itu dan bertanya dengan lembut,
“Kenapa Ai-chan berkata seperti itu? Ini sama sekali bukan salah Ai-chan. Tapi, ini salah bibi sendiri.”
Jelasnya.
Namun, Aika hanya menggeleng dan membalik kertas itu, kemudian kembali menulis.
‘Tidak! Ini semua salah Aika! Bibi harus bekerja sangat keras, untuk Aika yang bahkan bukan putri bibi sendiri. Untuk Aika yang hanya menambah beban untuk hidup bibi yang sudah sangat susah...’
“Ai-chan...”
‘Bibi harus bekerja macam-macam demi Aika, demi memenuhi kebutuhan Aika, demi menyekolahkan Aika, demi memberikan Aika pensil warna dan juga buku gambar...Kalau saja Aika bisa membantu, maka Aika tidak mau menggambar lagi!!’
“Ai-chan!!”
‘Biar saja! Aika tidak mau merepotkan bibi! Karena Aika--‘
Tulisan Aika berhenti sampai di situ.
Gadis kecil itupun meletakkan alat tulis dan kertasnya, kemudian dengan isyarat tangan, ia mengatakan,
‘A-K-U-S-A-Y-A-N-G-P-A-D-A-M-U’
“.....................”
Tak dapat yang Ayuko katakan ketika ia membaca bahasa isyarat itu dengan perlahan. Tubuhnya hanya bisa bergetar karena terharu.
Aika rela membuang semua yang ia senangi demi membantu dirinya, seseorang yang sangat berharga. ingin sekali air mata itu menetes turun. Namun, ia menahannya. Ia belum pernah dan tidak akan pernah menunjukkan air matanya di hadapan Aika, karena ia tidak ingin gadis itu melihatnya bersedih.
Ia ingin terus terlihat kuat, agar gadis itu bisa menghadapi semuanya tanpa adanya tetes air mata.
Maka, ia tersenyum kecil,
‘J-A-N-G-A-N-B-E-R-H-E-N-T-I-M-E-L-A-K-U-K-A-N-Y-A-N-G-K-A-U-S-U-K-A-I’
“!”
Wajah Aika sedikit tertegun ketika membaca bahasa isyarat Ayuko untuknya. Pesan dari dalam hatinya yang terdalam.
‘A-K-U-S-U-K-A-M-E-L-I-H-A-T-M-U-M-E-N-G-G-A-M-B-A-R’
“[Kau tahu? Aku bisa berjuang sekeras ini berkatmu. Jika kau berhenti melakukan semuanya, untuk siapa aku berjuang?].”
‘K-A-U-T-E-R-L-I-H-A-T-B-E-R-K-I-L-A-U-A-N-S-A-A-T-I-T-U’
“.......................”
“[Ingat yang aku katakan padamu saat itu?].”
‘A-K-U-T-A-H-U-K-A-U-B-I-S-A-T-E-R-B-A-N-G. D-A-N-B-A-K-A-T-M-U-I-N-I-A-K-A-N-M-E-N-J-A-D-I-S-A-Y-A-P-M-U’
“........................”
“[Karena itu, apapun yang terjadi, jangan pernah berhenti menggambar!].”
‘A-K-U-A-K-A-N-M-E-L-A-K-U-K-A-N-S-E-M-U-A-Y-A-N-G-A-K-U-B-I-S-A’
“................................”
Aika yang terus terdiam, akhirnya tidak bisa menahan air matanya itu lagi.
Dengan cepat, ia segera berlari dan memeluk tubuh Ayuko dengan erat. Sementara Ayuko tak mengatakan apapun. Iapun membalas pelukan Aika.
Ia tidak pernah menundukkan kepalanya dan selalu melihat ke atas. Melihat langit terang berwarna biru muda. Langit yang selalu ada di depannya, tidak pernah meninggalkannya seorang diri.
‘Semuanya akan baik-baik saja!’

Tahun demi tahun kembali mereka berdua lewati. Musim semi, panas, gugur dan juga dingin, mereka lalui dengan kehangatan bersama. Canda tawa yang semakin mendekatkan Ayuko dan Aika setiap harinya.
Bahkan Aika sudah sama sekali tidak pernah menanyakan tentang orang tua kandungnya lagi. Ia sudah merasa bahagia. Hanya dengan bersama dengan Ayuko, ia sudah bisa merasakan bagaimana bahagianya memiliki orang tua. Bagaimana rasanya dicintai oleh kedua orang tua kita.
Begitu juga dengan Ayuko. Ia senang karena di hari hujan itu, ia menggandeng tangan Aika dan memutuskan untuk merawatnya. Meskipun jalanan berbatu yang harus mereka lalui, suatu saat nanti, jalanan di mana banyak bunga disekelilingnya pasti akan terlihat di akhir perjalanan mereka.

21 Desember...
“Nah, makan malam sudah selesai. Cepat gosok gigimu dan pergi tidur.”
Ayuko berkata, membantu Aika turun dari tempat duduknya.
Dengan riangnya, gadis itu berlari ke arah kamar mandi. Ayuko hanya melihatnya. Senyuman kecil terlihat mengembang di wajahnya. Ia kemudian merapikan meja dan membawa piring-piring ke bak cucian.
“...........Ah, hari ini hujan...”
Ujarnya pelan ketika tak sengaja melihat ke arah jendela. Tetesan hujan menempel pada kacanya. Suasana musim salju yang sudah dingin, terasa menjadi dingin 3 kali lipat.
Ia terdiam sesaat, pikirannya melayang ke saat itu.
Saat ia pertama kali bertemu dengan Aika di hari hujan.
“Hari ini hujan...Sama seperti hari itu...Sudah 10 tahun...”
Seusai mengucapkan kata itu, Ayuko menghela nafas singkat. Dan, ketika ia mengalihkan pandangannya dari jendela, ia sedikit tertegun ketika melihat bahwa Aika masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Wajahnya terlihat malu dengan kedua tangan dibelakang.
Aika menggerak-gerakkan sebelah kakinya, kemudian menghela nafas dan menatap ke arah Ayuko. Ia pun mulai menggerakkan jari jemarinya, membentuk suatu rangkaian kata-kata,
‘A-K-U-S-A-Y-A-N-G-P-A-D-A-M-U’
“.....................”
Membaca itu, Ayuko sedikit tertegun.
Tapi lalu ia hanya tersenyum kecil sambil membalas pesan Aika dengan cara yang sama.
‘A-K-U-J-U-G-A-A-K-A-N-S-E-L-A-L-U-S-A-Y-A-N-G-P-A-D-A-M-U’
Begitu Aika menangkap pesan itu, ia langsung tertawa kecil, kemudian kembali merangkai kata-kata,
‘A-K-U-H-A-R-A-P-K-I-T-A-B-I-S-A-S-E-L-A-L-U-B-E-R-S-A-M-A-S-A-M-P-A-I-K-A-P-A-N-P-U-N’
Aika langsung berlari menuju ke kamar mandi setelah ia selesai mengatakan itu dengan bahasa isyaratnya, meninggalkan Ayuko sendirian.

Malamnya, Ayuko tidak bisa tidur.
Kata-kata yang Aika sampaikan padanya, entah kenapa membuat dirinya merasa aneh. Di lain pihak, dia sangat senang ketika gadis itu mengatakan ingin selalu bersama dengannya, apalagi, waktu 10 tahun yang mereka habiskan bersama bukanlah sesuatu yang bisa dihilangkan dan dihapus dari memori begitu saja.
Namun,
Di saat yang bersamaan pula, ia sadar kalau ia dan Aika tidak akan bisa bersama untuk selamanya. Suatu hari nanti, entah kapan, orang tua Aika pasti akan datang dan membawanya pergi. Percaya atau tidak, hari itu pasti akan datang cepat atau lambat.
Jika seandainya saat itu tiba, ia sama sekali tidak tahu harus melakukan apa.
Haruskah ia merelakannya?
“[Atau...Aku harus mempertahankan Aika karena aku yang sudah merawatnya selama 10 tahun...?].”
Ia berkata dalam hati, menatap ke arah langit-langit kosong, yang tak memberinya jawaban.
Derasnya suara hujan di luar sedikit mengganggu Ayuko, sehingga ia memutuskan untuk terbangun. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan, tapi ia hanya berjalan saja. Tahu-tahu, kakinya telah membawanya ke kamar Aika.
Iapun tertegun.
“Lho? Sudah selarut ini, tapi lampunya masih menyala?”
Memperhatikan kamar Aika yang masih terang dari luar, Ayuko melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 01.23.
Meskipun besok libur [liburan musim dingin], tak biasanya Aika bangun sampai selarut ini. Jadi, ketika rasa penasaran itu timbul dalam dirinya, Ayukopun membuka kamar Aika dan masuk ke dalamnya.
Ternyata benar. Aika masih terjaga, dan ia tertangkap sedang melakukan sesuatu di ataas tempat tidurnya.
“Ai-chan.”
“!!!!!?”
Meskipun tidak berteriak atau menjerit, namun ekspresi wajah Aika yang langsung meloncat kaget begitu mendengar suara Ayuko memanggilnya, sudah menunjukkan betapa tekejutnya dia.
Ayuko berjalan menghampiri Aika yang terlihat gugup.
“Ai-chan, apa yang kau lakukan malam-malam seperti ini?”
Ujarnya, melihat apa yang ditutupi oleh gadis itu.
Namun, Aika kemudian langsung merapikan semua alat tulis dan cepat-cepat menutup bukunya seolah tidak membiarkan wanita itu melihat apa yang ia gambar.
Ayuko yang melihat beberapa pensil warna terlihat keluar dari dalam buku Aika, langsung mengambil kesempulan bahwa anak itu pasti sedang menggambar.
Iapun duduk di atas tempat tidur Aika.
“Kau sedang menggambar, ya? Bikin apa? Aku boleh melihatnya tidak?”
Tanyanya, berusaha meraih buku gambar Aika yang tergeletak di belakang tubuh anak itu.
Segera, Aika menahan buku itu dengan tangannya, sebuah tanda bahwa Ayuko tidak boleh membukanya.
“..........[Hmm...Aneh...Biasanya dia selalu memintaku membaca bukunya...].”
Batin Ayuko menopang dagu, memperhatikan tingkah Aika yang terasa sedikit aneh.
Tapi akhirnya ia cuma bisa mendesah pelan, karena Ayuko juga tidak mau memaksa Aika melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
Jadi ia hanya tersenyum dan berkata ‘Baiklah, tidak apa kalau kau tidak mau menunjukkannya kepadaku...’, lalu berbalik.
Pada waktu itu--

GREP

“?”
Ayuko tertegun ketika ia merasakan tangan kecil yang memegang tangannya dengan erat. Seperti tidak ingin kehilangan dirinya.
Iapun menoleh dan mendapati Aiko di belakangnya. Anak itu melepaskan genggamannya kemudian membentuk suatu isyarat,
‘A-K-U-I-N-G-I-N-T-I-D-U-R-D-E-N-G-A-N-M-U-‘
Ayuko memperhatikan kata-kata itu, kemudian tersenyum.
“Tentu, kenapa tidak?”
Katanya, lalu menggandeng tangan Aika yang kini tersenyum bahagia ke tempat tidurnya.

Lampu sudah dimatikan, dan kini Aika telah tertidur dengan pulas. Meskipun begitu, ia masih mendekap buku itu dengan erat dipelukannya. Entah apa yang tergambar di buku itu. Tapi, sepertinya sesuatu yang sangat berharga untuk Aika.
Ayuko yang masih belum menutup matanya, memandang wajah tertidur Aika.
Kemudian membelai pipinya dengan lembut.
“[Saat itu juga seperti ini. Kejadian 10 tahun yang lalu saat pertama kali kau datang ke rumahku. Rasanya sudah sangat lama sekali...Waktu itu kau masih 4 tahun, ya? Sekarang kau sudah 14...Semakin dewasa...].”
Ayuko berkata dalam hati sambil menatap Aika dalam-dalam.
Namun perlahan, tangannya berhenti menyentuh pipi itu. Wajahnya tertunduk, penuh dengan kesedihan yang tergambar di wajahnya.
“.............Ai-chan...”
Ia berkata dengan suara pelan, seolah sedang memanggil gadis tersebut. Tapi Aika tidak menyahut, tentu saja karena ia sudah tertidur.
“..........Akupun--“
Ayuko berusaha mengatakan apapun, tapi ia berhenti ditengah-tengah seolah tidak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri.
“.........................”
Suara yam yang terdengar seperti ‘Tik’, ‘Tik’, bercampur jadi satu dengan suara hujan yang menyelimuti seluruh ruangan sunyi.
Selama beberapa menit, Ayuko hanya terdiam sambil terus memperhatikan Aika. Ia tahu gadis itu tidak akan mendengar apa yang akan ia katakan, meskipun begitu, rasanya hati Ayuko ingin sekali berteriak dengan keras dan mengatakannya,
“Ingin tinggal selamanya bersama denganmu...”
Ia akhirnya mengatakannya.
Tanpa Aika sadari, air mata Ayuko yang tak pernah ia tunjukkan, mengalir dan jatuh dengan lembut ke pipinya.
Semua perasaan yang bergejolak dalam dirinya akhirnya tertumpah juga.
“Aku, sangat menyanyangimu...Aku selalu...Menganggapmu seperti putriku sendiri...”
.....................
“Hey, Ai-chan...”
Bisik Ayuko di dekat telinga Aika.
.................
................................
.....................................................................
 “............Bolehkah aku...Menjadi ibumu...?”
Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Ayuko.
Selama ini, Ayuko telah mencurahkan semua yang ia miliki, semua cinta yang ia punya untuk membesaran Aika sampai seperti ini. Sesuatu yang sama dengan yang seorang ibu akan lakukan. Apalagi waktu 10 tahun yang sudah mereka habiskan layaknya ibu dan anak, membuat ikatan kekeluargaan yang kuat diantara mereka berdua.
Tapi,
Nada bicaranya terdengar sangat sedih. Karena, sampai kapanpun, ia sadar kalau ia tidak akan pernah bisa menggantikan ibu kandung Aika yang telah mengandung dan melahirkannya. Bagaimanapun juga, bagi Aika, ibu kandungnya pasti satu-satunya ‘ibu’ untuk gadis kecil itu.
Dan itu membuat hati Ayuko terasa sakit.
“..................Tidak ada jawaban...Tidak bisa, ya...? Tentu saja...Mana mungkin aku...”
Meskipun tahu bahwa Aika tengah tertidur dan tidak bisa mendengar pertanyaan ataupun menjawabnya, Ayuko menganggap diam itu, adalah jawaban tidak atas pertanyaannya barusan.
Perlahan, bayangan ketika orang tua Aika yang sebenarnya datang dan menjemputnya, kembali terbayang di benak Ayuko.
“.............[Akhir-akhir ini sering kali terjadi...Aku selalu bermimpi buruk kau meninggalkanku bersama orang tua kandungmu...Ah, apa yang baru saja kukatakan? Kau pergi bersama dengan orang tua kandungmu...Seharusnya itu jadi mimpi yang indah untukmu...].”
Apa ini artinya ia telah berpikiran egois?
Apa baru saja ia berpikir akan lebih baik kalau orang tua kandung Aika lebih baik tidak datang menjemputnya?
“............Aku ini...Benar-benar yang terburuk...[Benar-benar tidak bisa dipercaya kalau aku benar-benar berpikiran seperti itu...].”
Tapi--
“Tapi meskipun begitu--“
Tidak ingin berpisah dari Aika.
“Tidak ingin berpisah darimu...”
Ia sangat mencintai Aika, dan pasti akan menjadi sesuatu yang berat ketika ia harus melepaskan anak itu. Ayuko tidak tahu, apa yang akan ia lakukan dalam hidupnya, jika ia sudah tidak melihat tawa manis gadis kecil itu lagi di sisinya.
Meskipun sekarang musim dingin tengah berlangsung, dengan kehadiran Aika, rasanya musim semi tengah berlangsung di dalam hatinya. Penuh dengan bunga-bunga kebahagiaan.
Perlahan, tangannya menyentuh bahu Aika.
“...........[Aku tahu, akan ada suatu hari nanti, di mana aku tidak bisa mengejar bayanganmu. Karena di balik setiap pertemuan indah, pasti ada perpisahan yang menyedihkan dan mengharukan...Sampai saat itu tiba...Kumohon...Meskipun hanya sebentar saja...].”
“[Ijinkan aku terus seperti ini...].”
Kemudian memeluk tubuh kecilnya dengan erat.

Keesokan harinya, 22 Desember...
Setelah semalaman hujan turun dengan cukup deras, pagi ini terlihat benar-benar berbeda. Suara kicauan burung bisa terdengar, pancarang hangat dari sinar matahari dapat Ayuko rasakan dengan tangannya, ketika ia melihat keluar dari jendela kamar Aika.
Aika sudah bagun pagi-pagi sekali, dan mungkin sekarang ia sedang mandi. Ayuko kemudian bergerak ke tempat tidur Aika dan merapikan selimut yang berantakan.
Ia  kemudian melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga yang biasa ia lakukan. Menyapu, mengepel lantai, mencuci piring. Mumpung hari ini ia libur, ia bermaksud menyelesaikan semua pekerjaannya lebih awal agar bisa menemani Aika belajar ataupun hanya sekedar melihatnya menggambar. Sedangkan Aika, seharian ini ia terus berada di kamarnya dan melanjutkan gambarnya semalam.
Kejadian itu berlangsung sekitar pukul 13.00. Dan Ayuko sedang menyiapkan makan siang untuk hari itu. Ketika itu, ia mendengar suara pintu yang terbuka.
“!!”
Awalnya ia terkejut ketika mendengar suara pintu yang terbuka, dan mengira kalau suara itu berasal dari pintu depan.
Maka cepat-cepat, dengan perasaan deg-degan, Ayuko berlari ke arah pintu depan.
Tidak ada siapapun, dan pintu tidak terbuka.
Melihat tidak ada siapapun yang datang, Ayuko menghela nafas lega dengan tangan di atas dadanya. Ketika ia berbalik, sadar-sadar, Aika sudah ada di hadapannya.
“[Ah, suara pintu yang terbuka itu pasti suara kamar Ai-chan...Sepertinya aku terlalu banyak memikirkan sesuatu...].
Pikirnya dan berjalan mendekati Aika.
‘A-D-A-T-A-M-U-?’
Tanya Aika.
Ayuko tersenyum kecil kemudian menggeleng pelan.
‘T-I-D-A-K-A-D-A-‘
Saat itu, ia sadar kalau Aika menyembunyikan sesuatu di balik tubuhnya. Iapun berjongkok agar tingginya sejajar dengan tubuh gadis yang cukup pendek itu.
“Apa itu? Yang kau sembunyikan di balik tubuhmu?”
Ayuko bertanya, menunjuk-nunjuk ke belakang Aika.
“..................”
Aika tidak tersenyum, ia hanya berdiri di sana dengan wajah memerah. Kelihatan dari wajahnya, ada sesuatu yang ingin disampaikannya.
Perlahan, ia menunjukkan sesuatu yang ia sembunyikan di balik tubuh mungilnya.
Ternyata sebuah buku.
“[Buku? Buku yang kemarin tidak mau ia tunjukkan kepadaku, ya?].”
Batin Ayuko, mendekatkan jari telunjuk pada bibirnya.
Tanpa menunggu lagi, Aikapun menyodorkan buku itu dengan kedua tangannya. Sebuah senyuman manis tergambar di wajahnya.
Tidak perlu berpikir 2 kali, tangannya langsung bergerak, menggapai buku itu.

TOK TOK TOK

“!!?”
Suara pintu yang diketuk, terdengar di kedua telinga Ayuko.
Tidak tahu mengapa, tapi tubuhnya terasa sangat berat, bahkan ketika ingin berdiri dan membuka pintu, melihat siapa yang ada di baliknya. Keringat dingin mulai mengalir. Jantungnya berdebar dnegan kencang, menanti sebuah kenyataan yang ada di depan mata.
Sekali lagi, suara ketukan pintu itu kembali terdengar. Kali ini, Aika yang berjalan, melewatinya dan bermaksud membukakan pintu. Tepat saat itu, Ayuko langsung menoleh ke belakang, kemudian segera bergerak, berdiri mengejar Aika.
Ingin rasanya berteriak ‘Jangan buka pintu itu’, tapi itu tidak mungkin, karena pintu sudah terbuka, bahkan sebelum Aika membukanya.
“.................”
Gadis itu hanya berdiri diam, karena ia tidak mengenali sesosok pria yang kini sudah ada di hadapannya.
Di sisi lain, pria itu menatap Aika lekat-lekat, seolah sudah lama tidak bertemu. Meskipun samar-samar, tapi terlihat jelas tetesan air mata yang mengalir di wajahnya.
Dengan wajah tidak percaya dan tubuhnya yang tidak bisa berhenti gemetar, paria itu, mengatakan sesuatu, dengan suaranya yang pelan,
“Ai...Ka...?”
Ucapnya, langsung membuat Aika dan Ayuko tertegun.
Ayuko yang memegang pundak Aika, bisa merasakan jantungnya serasa berhenti berdetak.
Kemudian, seperti angin yang terasa, pria itu langsung berlari, lalu memeluk Aika dengan erat.
“Aika! Ini benar-benar kau!?”
Teriaknya dengan nada tidak percaya, sementara Aika masih terlihat kaget dengan kedua bola mata yang terbuka lebar.
Sepertinya, ia tidak mengenal pria yang mendekapnya dengan sangat erat itu.
Bukan,
Tapi ia sudah melupakan sosok yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak ia jumpai.
Sedangkan Ayuko, tidak memerluka detik berikutnya untuk mengetahui, siapa pria yang tidak dikenalnya itu.
Dia--
“Ini ayah! Ayah!! Ayah benar-benar senang ternyata bisa menemukanmu lagi di sini!!”
Nada bicaranya benar-benar terdengar sedih. Ia sangat merindukan putrinya yang sudah lama hilang.
“....................”
Aika tidak merespon perkataan ayahnya. Ia hanya terus menatap dengan ekspresi yang berkata ‘Ini tidak mungkin terjadi’.
“Aika sudah besar...Kau sudah jadi gadis yang cantik!”
Ayah Aika kemudian melepaskan pelukannya, dan meletakkan kedua tangan pada bahu putrinya tersebut. Ia kemudian menjelaskan, bahwa selama 10 tahun ini, ia terus mencari keberadaan Aika yang tiba-tiba menghilang ketika mereka sedang pergi berlibur.
Sepertinya, Aika tidak sengaja terpisah dari kedua orang tuanya saat mereka berjalan-jalan ke kebun binatang yang terletak di kota sebelah, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari kota ini.
Ketika menyadari Aika menghilang, kedua orang tuanya tak berhenti mencari. Mereka mencari di kota tempat hilangnya Aika, tanpa tahu kalau Aika telah berjalan tanpa arah seorang diri, seperti seekor kucing yang tersesat, menuju ke kota ini.
Karena itu, ketika 3 bulan mereka mencari dan tidak menemukan keberadaan Aika,kedua orang tuanya menyangka bahwa Aika mungkin telah meninggal, atau telah benar-benar hilang dan mustahil untuk bisa bertemu lagi.
2 Bulan setelahnya, ibu Aika meninggal karena sakit.
Begitulah seterusnya, sang ayah tak berhenti-hentinya meratapi kepergian isri dan juga putrinya. Namun, ia selalu ingat apa yang istrinya katakan sebelum meninggal,
‘Putri kita pasti masih hidup. Aku bisa merasakannya, jauh di dalam hatiku...’
Maka dengan keyakinan yang kecil tapi sangat kuat itu, ayah Aika kembali berjuang untuk menemukan putrinya, berharap sebuah keajaiban dari Tuhan.
5 tahun, 2 tahun, bertahun-tahun ia lewati dengan terus mencari tahu keberadaan Aika. Ia sudah meminta bantuan polisi, memasang iklan orang hilang di koran dan berbagai macam usaha lain.
Sampai pada akhirnya, ia memutuskan untuk mencari keberadaan putrinya di kota-kota yang berdekatan dengan kota tempat mereka berlibur sewaktu itu.
Dan ternyata, kabar tentang seorang gadis kecil bisu yang ditemukan oleh seorang wanita, mengantarkan ayah Aika ke rumah Ayuko.
“Aika...Ayah benar-benar merindukanmu...Ayo, kita pulang...”

DEG

“.......................”
Akhirnya, saat ini ternyata benar-benar tiba.
Lebih cepat dari dugaan Ayuko sendiri.
Tubuhnya tidak berhenti bergetar.
“[Kenapa, ya...? Padahal diluar sangat cerah...Tapi kenapa...Di dalam sini rasanya benar-benar dingin...].”
Tatapan matanya tidak teralihkan sedikitpun dari reuni mengharukan antara Aika dan ayahnya yang sudah 10 tahun tidak berjumpa.
Sementara itu, Aika yang mendengar ajakan pulang dari sang ayah, justru melepaskan tangan ayahnya dari pundaknya,
“Aika!”
Kemudian berlari ke arah Ayuko.
Tangan kecilnya berusaha menggapai wanita itu, sementara tangannya yang lain masih memegang buku gambar miliknya. Ia menangis, ingin berteriak, namun tidak bisa. Ia hanya bisa terus melangkah, ingin menggapai lengan wanita yang sudah merawatnya selama ini.

GREP

Aika berbalik, ketika ayahnya memegang tangannya, tidak mengijinkannya untuk pergi lebih jauh darinya.
Namun Aika terus meronta dan menangis, tangannya terjulur, berusaha menggapai Ayuko yang terlihat dekat di matanya, tapi entah kenapa terasa sangat jauh dari jangkauannya.
Ayah Aikapun terus berupaya membujuk Aika supaya mau kembali pulang bersamanya.
‘Aku ingin tinggal bersamamu!!’
Mungkin jika Aika bisa berbicara, itulah yang akan ia katakan kepada Ayuko. Tapi sayangnya, pesan terakhirnya itu tidak sampai kepada wanita yang hanya bisa membatu melihat kejadian di depannya.
Hari ini akhirnya telah datang.
Ayuko sama sekali membuat membulatkan hatinya, belum menentukan dan memikirkan matang-matang keputusan apa yang harus ia ambil.
Dalam hati ia tidak ingin kehilangan Aika, ia ingin terus bisa menjadi ‘ibu’ bagi anak itu. Ia ingin menjulurkan tangannya, kemudian meraih tangan kecil Aika.
“[Aku tidak ingin kehilangannya!! Tidak ingin berpisah!!].”
Jeritnya dalam hati.
Ia berusaha menggerakkan tangannya,
Tapi,
Menghentikannya di tengah jalan.
“[Meskipun begitu, ayah Aika, pasti lebih tidak ingin berpisah darinya...].”
Saat itulah, Ayuko membuat keputusan paling besar dalam hidupnya.
Ia,
“AIKA!!!”
“!!?”
Gadis itu langsung tertegun dengan wajah basah karena air mata, begitu pula dnegan ayahnya yang terus memegangi tubuhnya.
“..................”
Ayuko terdiam di tempat dengan kedua tangan di samping tubuhnya.
Ia kemudian menghela nafas pendek,
Dan menunjukkan sebuah senyuman kecil,
Senyuman yang sama dengan yang pertama kali ia tunjukkan pada Aika,
Dengan gerakan isyarat tangan, Ayuko mulai membentuk sebuah pesan dari dalam lubuk hatinya untuk Aika.
Pesan pertama berbunyi,
‘Semua akan baik-baik saja!’
Pesan kedua berbunyi,
‘Kau tahu? Kau sebenarnya bisa terbang!’
Pesan ketiga berbunyi,
‘Mungkin inilah yang akan menjadi sayapmu! Bakatmu ini yang akan membuatmu bisa terbang!!’
Dan pesan terakhir yang ia sampaikan pada Aika, bersamaan dengan senyuman terakhirnya,
‘Tapi,
D-I-S-I-N-I-B-U-K-A-N-T-E-M-P-A-T-M-U-U-N-T-U-K-T-E-R-B-A-N-G’

Aika hanya bisa diam ketika menangkap pesan itu. Dan ketika tangisannya berhenti, ia tidak melawan ketika membawanya pergi. Ayah Aika menundukkan kepalanya, berterima kasih dari hatinya yang terdalama, kemudian berlalu dan membawa Aika pergi, dari hidup Ayuko untuk selamanya.
Saat itulah, samar-samar, Aika melihat, wanita itu meneteskan air mata dihadapannya, untuk yang pertama dan terakhir kalinya...
***-***
“Baiklah semuanya! Di acara kita kali ini, akan ada bintang tamu spesial! Dia adalah seorang wanita berusia 24 tahun yang cantik dan sangat luar biasa. Di tengah keterbatasan yang ia miliki, ia mampu berkreasi dan menciptakan hasil karya yang luar biasa. Hasil karyanya yang paling dikenal oleh masyarakat, adalah sebuah buku bergambar dengan kisah tentang seorang gadis kecil, yang berusaha terbang dan menemukan impiannya yang tersebar bagaikan bintang di angkasa luas. Gadis yang berusaha menemukan sayapnya, ini dia, mari kita sambut, Hirano Aika!!”
Begitu sang pembawa acara menyebut namanya, seorang gadis muda dengan rambut hitamnya yang panjang hampir sepunggung, berjalan memasuki ruangan.
Didampingi oleh seorang wanita berpakain hitam, Aika melambaikan tangannya ke arah penonton yang meneriakkan namanya dengan sangat heboh sambil bertepuk tangan. Iapun duduk di sofa yang telah disediakan, didamping oleh wanita tadi.
“Ini dia, Hirano Aika! Sudah ada di studio.”
Sang pembawa acarapun bertepuk tangan dan tersenyum,
“Boleh aku tahu, apa aku boleh memanggilmu ‘Aika’?”
Tanyanya.
Aika tidak menjawab, melainkan menggerakkan jari-jarinya membentuk suatu isyarat kata-kata. Kemudian, wanita berbaju hitam di sampingnya, menerjemahkan isyaratnya,
“Tentu saja.”
Kata wanita itu, tersenyum.
10 tahun semenjak hari itu, Aika tinggal bersama dengan ayahnya.
 Meskipun beberapa hal dalam hidupnya mengalami perubahan, namun satu hal yang tidak pernah berubah dalam hidup Aika.
Ia masih terus menggambar.
Dan berkat itu, akhirnya Aika berhasil menerbitkan buku bergambar karyanya sendiri. Bukan hanya satu, tapi puluhan buku sudah berhasil ia ciptakan dan mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari orang-orang.
“Hmm...Baguslah kalau begitu! Jadi, Aika, kita langsung saja ke topik pembicaraan. Apa kau tahu, kalau karya buku bergambarmu itu, sangat terkenal?”
“Aika bilang, ‘Belum se-terkenal itu. Ia masih harus belajar menggambar dan menyampaikan cerita lebih baik lagi’.”
Jelasnya, menerjemahkan isyarat yang digunakan gadis itu agar semua penonton bisa memahami apa yang ia katakan.
“Ha ha, tapi semua orang tak terkecuali anak-anak dan juga orang dewasa, mereka semua menyukai karyamu!! Kudengar juga, karyamu ini sudah terjual sampai ke luar negeri, bahkan ke Amerika dan Eropa!?”
Ujar pembawa acara wanita itu, kembali melontarkan pertanyaan yang Aika jawab dengan anggukkan kecil sambil tersenyum malu.
“Woow! Luar biasa sekali, bukan!?”
Semua penonton langsung memberikan sambutan hangat berupa tepuk tangan.
“Aika, selain seorang pengarang sukses yang sudah terkenal jauh sampai ke luar negeri, kau bukan hanya dikenal karena karyamu. Tapi, juga karena kisah hidupmu yang sangat menyentuh.”
Pembawa acara itu berkata kepada Aika.
Aika terdiam sejenak, kemudian kembali mengangguk dan menggunakan isyarat tangan. Wanita di sampingnyapun mulai menyampaikan apa yang berusaha diceritakan oleh Aika.
’Sewaktu aku berumur 4 tahun, aku pernah terpisah dengan kedua orang tuaku. Dan untungnya, 10 tahun kemudian, kami kembali bersatu meskipun ibuku telah berada di surga.’
Sang pembawa acarapun terlihat begitu takjub.
“Waa, kau pasti sangat bahagia, ya? Akhirnya bisa berkumpul lagi dengan keluargamu?”
“ ‘Iya, sangat bahagia’”.
“Apa orang tuamu yang menjadi inspirasimu dalam menciptakan buku-buku ini?”
Ia kembali melontarkan sebuah pertanyaan.
“ ‘Ya, orang tuaku adalah orang yang sangat luar biasa! Karena itu, meski aku tidak bisa bicara seperti anak-anak normal lainnya, tapi aku ingin melakukan sesuatu yang bisa membuatku berguna untuk mereka.’ “
“Kebetulan sekali. Sekarang tanggal 22 Desember, yang artinya adalah Hari Ibu. Nah, Aika, pasti ada yang ingin sekali kau ucapkan pada ibumu di surga’kan?”
Ia bertanya, yang langsung Aika tanggapi dengan anggukan.
Sekali lagi, jari-jarinya mulai bergera, merangkai kata-kata.
“ ‘Terima kasih karena sudah mengandung dan melahirkanku. Terima kasih juga karena sudah percaya aku masih hidup. Meskipun kita terlambat untuk bertemu, namun tidak pernah ada kata terlambat untuk mengungkapkan seberapa besar rasa cintaku padamu. Karena itu, terima kasih. Selamat Hari Ibu, dan aku akan selalu mencintaimu’ “.
Mendengar pesan yang sangat indah itu, semua penontonpun langsung bertepuk tangan dengan meriah. Bahkan ada yang sampai menitikkan air mata.
Dan ketika pembawa acara akan memulai kembali pertanyaannya,
“ ‘Tunggu sebentar!’”
Teriak wanita yang bertugas untuk menerjemahkan bahasa isyarat yang digunakan oleh Aika. semua penonton langsung terbingung-bingung, apa yang sebenarnya terjadi. Kelihatannya, Aika masih berusaha menyampaikan sesuatu.
“Apa masih ada yang ingin kau sampaikan?”
Aikapun mengangguk, kemudian seperti memberi tanda untuk wanita di sampingnya untuk mengeluarkan sesuatu. Wanita itupun mengeluarkan sebuah buku, dengan sampul berwarna hitam dari balik tubuhnya dan menyerahkan buku itu pada Aika.
Gadis itu menatap buku itu lekat-lekat, kemudian membelainya perlahan. Pembawa acara yang menunjukkan rasa penasaran pada buku itupun bertanya pada Aika,
“Buku apa itu?”
Tersenyum ke arah pembawa acara, Aikapun berbicara dengan isyarat tangan,
 “ ‘Ada satu hal lagi yang ingin aku sampaikan.’ “
“ ‘Sesuatu yang belum sempat aku sampaikan pada waktu itu. Kepada seseorang yang sangat berarti untukku.‘ ”
“Tunggu dulu...Berarti...Ada seseorang selain kedua orang tua anda, yang menginspirasi anda dalam berkarir?”
“..........................”
Tanpa mengatakapan apapun, Aika segera bangkit berdiri, diikuti oleh penerjemahnya, ke arah kamera.
“ ‘Seandainya, kau menonton acara ini, aku ingin kau melihat ini...’
Ia lalu menunjukkan buku itu ke arah kamera.
Dan membuka buku tersebut, dengan gambar dan cerita di dalamnya...

‘Hari di mana aku tidak sengaja bertemu denganmu, aku langsung menemukan berbagai macam impian. Kau yang tersenyum ke arahku, menggandeng tanganku kemudian berkata ‘Ayo, pulang bersamaku’, di saat yang lain mengacuhkanku. Aku tidak akan pernah melupakan senyuman itu. Di mana ada banyak sekali cinta yang terasa. Aku ingin berterima kasih. Tapi bahkan mungkin itu belum cukup mengungkapkan bagaimana perasaanku saat ini.’
‘Kau yang memberikan aku kekuatan untuk menghadapi semua orang yang membenciku dan meremehkanku. Kau selalu menyemangati dengan kata-kata yang bahkan masih terngiang di kepalaku detik ini.’
‘Kau tahu? Kau sebenarnya bisa terbang.’
‘Tiap kali kau mengatakan kata yang mungkin sangat singkat itu, hatiku serasa melayang di angkasa. Aku seperti bisa melihat sepasang sayap transparan yang tidak bisa dilihat oleh siapapun.’
‘Kau yang mengajari aku banyak hal. Berhitung, menulis bahkan mengajariku bahasa yang biasa digunakan oleh orang-orang seperti aku.’
‘Kau yang selalu berusaha dan berjuang sangat keras demi diriku. Meski aku bukan putrimu, namun kau memperlakukan aku seperti salah satunya. Aku tahu kalau mungkin aku ini adalah beban yang sangat berat untukmu. Mungkin aku sering menyusahkanmu. Tiap pulang kau selalu terlihat kelelahan, namun kau menyembunyikan semua itu, dan hanya tersenyum lalu menghampiriku dan membantuku belajar.’
‘Hari di mana aku bertemu denganmu, aku menemukan berbagai impian. Kau membantuku menemukan bakatku, membantuku menemukan sayapku.’

Perlahan, air mata mulai turun dari mata gadis itu, bersamaan dengan halaman yang terus terbuka, mengungkapkan sebuah pesan yang belum sempat tersampaikan selama 10 tahun.

‘J-A-N-G-A-N-B-E-R-H-E-N-T-I-M-E-L-A-K-U-K-A-N-Y-A-N-G-K-A-U-S-U-K-A-I’
‘A-K-U-S-U-K-A-M-E-L-I-H-A-T-M-U-M-E-N-G-G-A-M-B-A-R’
‘K-A-U-T-E-R-L-I-H-A-T-B-E-R-K-I-L-A-U-A-N-S-A-A-T-I-T-U’
‘A-K-U-T-A-H-U-K-A-U-B-I-S-A-T-E-R-B-A-N-G. D-A-N-B-A-K-A-T-M-U-I-N-I-A-K-A-N-M-E-N-J-A-D-I-S-A-Y-A-P-M-U’
‘A-K-U-A-K-A-N-M-E-L-A-K-U-K-A-N-S-E-M-U-A-Y-A-N-G-A-K-U-B-I-S-A’

‘Kata-katamu memberikan aku semangat yang lebih lagi untuk terus meneruskan apa yang aku suka. Dan kau terus berusaha keras untuk membantuku meraihnya, kau menjadi sepasang sayapku yang hilang dan membantuku untuk terbang.’
‘Hari di mana aku tidak sengaja bertemu denganmu, aku menemukan banyak impian. Ketika aku merasa ingin menangis, terima kasih karena selalu berada di sisiku, menghapus air mata yang terjatuh itu.’
‘Terima kasih atas semua. Atas kasih yang kau berikan, atas cinta yang kau berikan, atas semua pengajaran hidup yang kau ajarkan padaku. Dan terima kasih karena memilih untuk merawatku.’

‘Lalu, kau tahu?’
‘Kau sebenarnya juga bisa terbang.’
‘Bagaimana aku bisa mengetahuinya?’
‘Itu rahasia.’

Aika tersenyum bahagia, ketika akhirnya ia selesai mengungkapkan pesan yang ia buat 10 tahun yang lalu.
Pada akhirnya, pesan itupun tersampaikan.
Usianya sekarang 24 tahun. Dan 10 tahun lamanya ia habiskan bersama dengan orang itu. Orang yang membuatnya, menjadi Aika yang sekarang.
“[Apa kau melihatku? Di luar sana? Aku harap kau mendengar pesanku. Aku harap, pesanku sampai kepadamu...].”
Katanya dalam hati sambil melipat kedua tangannya di depan dada, mendekap buku penuh perasaan itu.
“W--Wow...Itu tadi...Benar-benar mengharukan...Jadi di buku itu, tertulis sebuah pesan untuk seseorang yang berharga? Dan selama 10 tahun ini, kau terus memendamnya sendirian?”
Pembawa acara itu berjalan, mendekati Aika yang kini berjalan ke tengah panggung.
“ ‘Ya, aku sudah membuat buku itu 10 tahun yang lalu.’ “
Mendengar jawaban singkat itu, pembawa acara wanita itu mengangguk-anggukan kepala, tapi kemudian terlihat sedikit bingung, sambil memandangi buku bersampul hitam di genggaman Aika.
“Oh ya, tadi kalau tidak salah...Masih ada satu halaman yang belum kau perlihatkan...Apa itu benar? Atau...Mungkin aku yang salah lihat, ha ha.”
Ia berkata sambil sedikit tertawa, Aika menjawab dengan sebuah anggukkan singkat.
“ ‘Memang masih ada satu halaman lagi yang belum aku perlihatkan. Karena ini, halaman khusus, dan aku ingin menunjukkan secara langsung padanya.’ “
“Oh...Aku paham...”
“ ‘Terakhir kali aku bertemu dengannya, 10 tahun yang lalu saat aku kembali bersatu dengan keluargaku yang sebenarnya. Waktu itu, aku benar-benar tidak paham apa yang terjadi. Bahkan ketika ayahku mengajakku untuk pulang ke rumah, aku menolak habis-habisan dan justru memilih untuk tinggal bersama dengannya. Namun, senyumannya saat itu, entah kenapa memberikan pesan ‘Semuanya akan baik-baik saja’, dan tangisanku pun berhenti...Aku tidak paham. Hanya, aku bisa merasakan perpisahan akan segera datang. Meski begitu, ia tetap berusaha tersenyum. Dan hari itu, adalah terakhir kalinya aku melihat senyumannya...Dan pertama kalinya aku melihat butiran air mata itu...’ “
Aika meluapkan seluruh perasaannya yang terbendung waktu itu. Apa yang dia lihat dari senyumannya? Apa yang dia kenang dari air matanya,
“ ‘Dia wanita yang sangat luar biasa!’ “
Dan semuanya, kembali memberikan tepuk tangan yang meriah atas kisah yang Aika ceritakan.
“Aika.”
Tiba-tiba, pembawa acara itu memanggil namanya dan membuat Aika langsung menoleh ke arahnya dengan wajah yang seolah berkata ‘Ya?’.
“Ehm...Kau pasti...Sangat ingin bertemu dengan orang yang sudah memberikanmu kasih sayang layaknya seorang ibu itu?”
“ ‘Ya, tentu aku sangat ingin bertemu dengannya’. “
Jawab Aika dengan antusias.
“Yah...Kalau begitu, tidak usah terlalu lama lagi, mari kita panggil ke atas panggung, Yanagi Ayuko!!”
Seru pembawa acara itu dengan heboh sambil mengangkat sebelah tangannya.
Mendengar itu, sontak seluruh penonton langsung berdiri kemudian kembali memberikan tepuk tangan yang lebih meriah lagi, sementara Aika hanya bisa tertegun sambil melihat ke sana kemari dengan kedua mata terbuka lebar. Ekspresinya seolah berkata ‘Apa kau bercanda!?’.
Masih tidak percaya, Aika terus  menoleh seperti orang sedang mencari sesuatu dengan sebelah tangan menutupi mulutnya. Dan--
Pandangannya terarah pada sosok wanita yang berdiri di ujung panggung. Meskipun rambutnya sudah semakin putih dan wajahnya terlihat menua, tapi,
Ia tidak akan pernah melupakan wanita itu,
“Tidak mungkin...”
Ketika Aika menatapnya dengan tatapan yang seolah tidak percaya, wanita itu justru menatapnya dengan sangat lembut, kemudian tersenyum kecil dan berkata dengan suaranya yang tidak asing...
“................Lama tidak bertemu, Ai-chan...”
“[AYUKO-SAN!!!!]”
Tanpa berpikir panjang lagi, Aika, melesat dan berlari, menuju ke sosok wanita yang telah memberikannya lebih banyak yang dari yang bisa ia berikan. Begitu juga dengan Ayuko, berlari ke tengah panggung untuk menjemput anak yang ditemuinya seorang diri sewaktu hujan itu.
Tangan keduanya terjulur ke depan, berusaha meraih satu sama lain.
Kenangan keduanya akan saat perpisahan yang menyakitkan itu, kembali terbayang.
Ketika itu, tangan mereka tidak bisa saling menyentuh. Tidak bisa saling meraih. Bahkan ketika mereka terpisah hanya seujung jari saja, rasanya sudah sangat menyakitkan.
Tapi, semua orang harus tahu,
Sebuah kisah akan selalu diawali dengan perjumpaan manis, kemudian diakhiri dengan perpisahan pahit.
Kemudian, Semua itu akan dimulai kembali dari awal, dengan pertemuan yang indah.
Dan kini, tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan mereka berdua...

GREP

“Ai-chan!! Ai-chan!! Ini benar-benar kau!?”
Seru Ayuko, memeluk tubuh Aika dengan sangat erat sambil berurai air mata. Aika hanya mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengatakan ‘Ya, ini aku’.
Mereka berdua berpelukan selama beberapa saat, melepas rindu selama 10 tahun tidak bertemu.
Ayuko kemudian melepas pelukannya, dan mengamati Aika dari atas ke bawah dengan haru.
“Coba lihat! Kau sekarang sudah jadi gadis dewasa yang cantik!!”
Ia berkata, berusaha tersenyum sambil membelai lembut rambut Aika, sesuatu yang biasa ia lakukan ketika gadis itu masih sangat kecil.
Sementara Aika hanya tersenyum malu,
‘A-P-A-A-P-A-A-N-I-T-U-?-I-T-U-S-A-M-A-P-E-R-S-I-S-D-E-N-G-A-N-Y-A-N-G-D-U-L-U-A-Y-A-H-K-A-T-A-K-A-N-P-A-D-A-K-U’
Ayuko hanya bisa tertawa kecil ketika membaca pesan itu, berusaha menghapus air matanya.
Kemudian, ketika Aika tidak sengaja menoleh ke arah kursi penonton, ia melihat ayahnya, melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum.

Ternyata, ayah Aika sengaja mendatangkan Ayuko ke acara TV ini. Ia ingin mempertemukan mereka berdua yang sudah terpisah selama 10 tahun. Karena bagaimanapun, Ayuko yang telah merawat dan membesarkan Aika dengan penuh cinta.
Lagipula,
‘Di Hari Ibu, bukannya harus ada seorang ‘ibu’?’
Itulah yang ia katakan pada stasiun TV.

“Jadi...”
Sang pembawa acara kembali mengambil alih acara, membuat Ayuko dan Aika yang sepertinya masih ingin menceritakan banyak hal, menoleh ke arahnya.
Ia lalu menoleh ke arah Aika.
“Aika, wanita ini sekarang sudah ada di hadapanmu. Sampaikan, pesan dihalaman terakhir buku bergambarmu itu. Kalau ada yang ingin kau sampaikan, sepertinya sekarang waktu yang tepat.”
Ujarnya dengan senyuman di wajahnya.
Maka, Ayuko dan Aika kembali saling berhadapan.
Kemudian, Aika, menyodorkan buku bersampul hitam, yang seharusnya ia berikan kepada Ayuko, tanggal 22 Desember, 10 tahun yang lalu...
10 tahun yang lalu, pesan itu belum bisa tersampaikan,
Tapi kini,
Ayuko mengambil buku itu dengan kedua tangannya, lalu membuka halaman terakhirnya,
Dan tepat pada waktu itu,
Aika, membuat sebuah isyarat dengan kedua tangannya, dengan wajah basah karena air mata, pesan dari lubuk hatinya yang terdalam...
‘A-Y-U-K-O-S-A-N’
‘Y-A-?’
‘A-K-U-S-A-Y-A-N-G-P-A-D-A-M-U
I-B-U’

‘Lalu, kau tahu?’
‘Kau sebenarnya juga bisa terbang.’
‘Bagaimana aku bisa mengetahuinya?’
‘Itu rahasia.’
‘Baik, aku bercanda. Jawabannya sudah jelas,’
 ‘Karena saat aku telah menemukan sayapku, kemudian terbang dan mengitari langit yang luas, aku akan meraih tanganmu, kemudian membawamu, terbang bersama di langit yang biru. Aku ingin kita berdua, bisa terbang bebas tanpa batas.’

‘Selamat Hari Ibu. Aku sayang padamu.’

THE END




A/N : Hai, minna XDD
Akhirnya bikin cerita one-shot lagi, dan setelah 2 hari ngebut, jadi juga 30 halaman, fuuuh...//mungkin bagi kalian ini terlalu panjang untuk jadi cerita one-shot.
padahal masih harus ngerjain cerita buat natal, kolab buat cerita natal, terus artwork natal//plaak

Cerita ini sebenarnya buat Hari Ibu, cuma ya gitu, kebiasaan telat selalu muncul...
Bahkan mungkin cerita natal ga bakal sempet...

Mungkin cerita ini sudah banyak di mana-mana, sudah sangat mainstream, aneh maupun membosankan, tapi makasih buat yang sudah mau mampir dan membaca cerita ini ^^

Visit :fujiwara_hatsune.ngomik.com
         http://hatsu-xxx.deviantart.com/

Sankyuu!!

Author,
Fujiwara Hatsune








Tidak ada komentar:

Posting Komentar