Story : How To Make A Friend Vol.2 Chapter 12 Part2
“Kau sedang
memikirkan sesuatu.”
“.............Ha...?”
Mendengar
perkataan Emi yang tiba-tiba, Haruko yang berdiri di sampingnya langsung
menatap dengan wajah tidak mengerti.
Seusai
meletakkan bunga dan berdoa, Haruko dan Runa berkumpul dengan Emi dan Riya,
kemudian berbincang-bincang sebentar. Entah sudah berapa lama mereka bertiga
tak berbicara akrab seperti saat-saat dulu. Kira-kira 30 menit kemudian, Riya
memutuskan untuk kembali menyambut para tamu yang masih berdatangan, sementara
Runa, ia sudah janji dengan ibunya akan mengantarkan barang untuk bibinya dan
harus segera pulang.
Jadi yang
tersisa, hanya Haruko dan Emi.
“.................”
Emi, yang merasa
Haruko terus saja menatapnya dengan ekspresi aneh itu, langsung merasa sedikit
aneh. Karena bukannya mendapat jawaban, tapi dia justru ditatap seperti
seseorang yang baru saja melakukan tindakan aneh.
“Ada apa,
Takashi-san? Kenapa kau melihatku dengan wajah seperti itu?”
Tanyanya.
“.......Tidak,
hanya saja orang biasanya tidak akan tiba-tiba berkata ‘Kau sedang memikirkan sesuatu’kan?,
tanpa alasan yang jelas. Aku hanya tidak mengerti, kenapa kau bertanya hal
seperti itu padaku.”
Haruko berkata
sambil memainkan rambutnya yang pendek sebahu dengan jarinya. Walau tak terlalu
terlihat, tapi wajahnya menunjukkan ekspresi seseorang yang merasa terganggu
akan sesuatu.
Ia bukannya
tidak mengerti kenapa Emi bertanya seperti itu padanya. Ia hanya tidak ingin
siapapun menanyakannya karena ia tak ingin memikirkan hal tersebut.
“...Hmm...Sewaktu
kita berbincang dengan Riya-chan tadi--Kau nampak sedih...Aku tak punya
kesempatan untuk bertanya padamu, karena aku juga tak ingin membuat Riya-chan
dan Hasegawa-san khawatir.”
“Makanya, kau
menunggu kesempatan saat hanya kita berdua di sini? ... [Ternyata dia memang benar menyadarinya].”
“Ya...Begitulah.”
Ucap Emi sambil
tersenyum kecil ke arah Haruko.
Entah kenapa ia
sedikit merasa tak nyaman berada di dekat gadis itu. Bukannya ia membencinya
atau apapun. Hanya saja, gadis itu terlalu peka dengan perasaan orang lain, dan
untuk orang yang sedang tak ingin mengatakan apa yang sedang dipikirkannya, ia
adalah musuh yang paling besar.
Mendengar
jawaban yang sudah sangat jelas itu, Haruko hanya bisa menghela nafas pasrah.
“Maaf, bukannya
aku mau menyia-nyiakan kebaikanmu atau apapun. Tapi ini bukan hal yang penting,
kok. Lebih baik kau temani Riya saja. Sebentar lagi aku juga mau pulang. Harus
bantu-bantu ibu di rumah kalau tidak aku bisa kena lempar sapu.”
Haruko berkata,
kali ini memalingkan pandangannya dari Emi. Disadari atau tidak, nada bicaranya
terdengar agak kesal.
“Kau terlihat
sedikit kesal hari ini, Takashi-san?”
“Oh ya?”
“Tadi juga kau
terlihat khawatir dan gelisah akan sesuatu. Itu pasti bukan ‘Bukan sesuatu yang
penting’kan? Pasti ada sesuatu deh.”
Ujar Emi, yang
membuat Haruko semakin mengerutkan dahi.
Apa tidak apa-apa kalau mereka selamat? Jika
seandainya ia datang dan menyelamatkan ibu Riya--Bisa saja itu terjadi’kan?
Tak peduli
seberapa keras Haruko berusaha menghindari pertanyaan dari Emi, gadis berambut
coklat panjang itu tak berhenti melontarkan pertanyaan yang mengganggunya.
Tapi ia tetap
merasa, kalau ia mengatakan hal yang mengganjal hatinya sejak tadi itu,
bukannya itu justru akan membuat Riya kesal? Terasa seperti ia menyia-nyiakan
ucapan maaf yang dikatakan oleh gadis itu.
Ibunya
meninggal, dia terlihat sangat sedih. Masih ada mereka di sisinya, setidaknya
membuat bebannya sedikit berkurang. Ia berpikiran seperti itu, entah kenapa ia
merasa tak menghargai nyawanya dan kebersamaan mereka saat ini.
Ia senang mereka
bertiga masih bisa bersahabat. Ia senang mereka bertiga sekarang telah semakin
memahami satu sama lain dan mengungkapkan apa yang mereka pendam sejak lama. Ia
bersyukur bisa melihat hubungan Riya dengan Runa yang semakin membaik ke
sininya.
Karena itu, ia
ingin memikirkan hal ini hanya sebagai masa lalu saja. Ibu Riya tewas pasti
karena takdir Tuhan, tidak ada yang bisa mengubahnya atau membelokkannya. Jika
seandainya saja, itu hanya akan menambah korban saja.
Hanya saja, tak
peduli seberapa kerasnya ia berusaha untuk menyingkirkan pikiran tentang
penyesalannya karena masih hidup sampai saat ini dengan membiarkan ibu Riya
tewas, perasaan bersalah itu masih terus saja menghantuinya.
“Tuh, kau
melakukannya lagi, Takashi-san.”
“Eh? Apa?”
Haruko kembali
tertegun dan bangun dari lamunannya saat Emi mengatakan sesuatu padanya.
“Lagi-lagi kau
memasang wajah seperti itu. Wajah yang terlihat gelisah.”
“Itu hanya
perasaanmu saja.”
Sekali lagi, ia
mengalihkan pandangannya dari gadis itu dan menjawab dengan nada yang terdengar
acuh.
“..................”
Melihat sikap
Haruko padanya, Emi terdiam sesaat. Ia memandang ke arah gadis berambut hitam
itu sejenak, kemudian kembali berkata,
“Dengar’kan aku,
Takashi-san.”
“?”
“Hasegawa-san
sudah kembali berteman dengan Riya-chan, kau juga. Jika kalian berdua sekarang
adalah sahabat Riya-chan, itu berarti kalian adalah sahabatku juga. Mungkin,
awalnya aku memang tidak terlalu peduli akan keberadaan kalian berdua--“
“Tunggu--Kau
apa?!”
Akhirnya, apa
yang diucapkan oleh Emi, berhasil menarik perhatian Haruko.
Ia masih belum
mengerti dengan jelas apa yang berusaha dikatakannya, tapi sepertinya itu bukan
sesuatu yang bagus. Walau begitu, ia terus melihat ke arah Emi, menunggu
kelanjutan dari perkataannya yang membuatnya agak terkejut.
“Hmm...Aku belum sempat untuk berkata jujur
saat itu, biar aku mengatakannya sekarang. Aku pun--Ternyata memiliki masalah
yang sama dengan Hasegawa-san. Kalau Hasegawa-san tidak ingin persahabaannya
denganmu menjadi milik orang lain--Kurasa aku tidak ingin persahabatanku dengan
Riya-chan direbut oleh siapapun. Terlebih lagi, ketika mengetahui kalau kalian
adalah teman dekatnya--“
“...............”
“Aku merasa
perlu membuat kalian menjauh dengan cara apapun.”
“!?”
Haruko tertegun,
namun bukan karena kata-kata yang disampaikan gadis berambut panjang itu
padanya. Melainkan oleh perasaannya sendiri. Perasaan takut, saat ia menatap ke
arah mata kedua gadis itu, yang entah kenapa, seolah memancarkan cahaya, namun
sangat gelap.
Rasanya, ia
sudah tak begitu asing dengan perasaan seperti ini...
“Kalian berdua ini...Apa kalian sahabat Riya-chan?”
“Kalau begitu, perkenalkan, namaku Kawada Emi. Aku
adalah sahabat masa kecil Riya-chan. Dan itu berarti...Aku adalah sahabat nomor
satunya.”
Ya, ia
mengingatnya. Kalau tidak salah, di masa lalu juga, pernah terjadi hal seperti
ini. Jadi perasaan yang ia rasakan waktu itu tidak bohong? Rasa ketakutan yang
dirasakannya pada saat itu, apa itu memang benar-benar nyata dan tidak hanya
menjadi perasaaan saja?
Dan yang menjadi
sumber rasa ketakutannya saat itu--Ternyata kecemburuan Emi terhadapnya dan
Runa yang bersahabat dengan Riya, membuatnya merasa tak nyaman. Ternyata itu
yang ia rasakan.
“Tapi...”
“....................”
“Melihat
Riya-chan yang begitu peduli pada kalian, aku akhirnya tak bisa membenci
kalian. Dan tak bisa membiarkan hal yang buruk menimpa kalian. Aku juga, ingin
jadi teman yang sebenarnya.”
Emi berkata
sambil tersenyum.
Ingin jadi teman
yang sebenarnya?
“...................”
“Aku tidak ingin
jadi teman yang hanya berpura-pura saja. Karena itu, jika aku sangat khawatir
pada kalian, mulai saat ini aku akan mencari tahu kenapa, kemudian mencari cara
untuk mengatasinya bersama. Aku harap itu bisa membuat kalian senang.”
“.....................”
Tidak ingin
hanya jadi teman yang berpura-pura?
Iya, ya, kalau
diingat-ingat lagi, bukan hanya Runa atau Riya atau mungkin dirinya yang
berubah karena hal ini. Bahkan ternyata kejadian ini juga bisa mempengaruhi
gadis yang hebat seperti Emi.
Mereka semua
memang berpura-pura. Sejak awal, bahkan sejak persahabatan ini di mulai, tak
satu pun diantara mereka yang benar-benar tulus menganggap satu sama lain
sebagaia sahabat dekat.
‘Aku tak’kan
meninggalkanmu meski aku sudah memiliki teman-teman yang baru’,
‘Aku akan terus
ada di sampingmu saat kau membutuhkanku’,
‘Aku akan datang
menemuimu dengan segera saat kau meneriakkan namaku’,
‘Aku akan datang
dan mengusap air matamu ketika melihatmu menangis’,
Seharusnya,
‘Teman yang sebenarnya’ adalah seperti itu. Tapi kelihatannya, beban tersebut
terlalu berat ditanggung oleh manusia biasa dan kecil seperti mereka. Tidak ada
satu pun, orang sempurna yang bisa menanggung beban hidup mereka bersama dengan
orang lain.
Mereka hanya
terlalu egois, hanya ingin memiliki sesuatu untuk diri mereka saja. ketika
mereka tak peduli, mereka tak membiarkan orang lain untuk peduli, ketika mereka
meninggalkannya, mereka tak membiarkan siapapun untuk menemaninya.
Manusia memang
mahluk yang seperti itu, dan sampai kapanpun, hal itu tidak akan pernah
berubah.
Meski begitu,
mereka beruntung karena masih memiliki sebuah kekuatan. Kekuatan yang disebut
dengan pengalaman dan cinta.
“..........Yah,
aku paham...”
Haruko akhirnya
berkata, sambil memejamkan mata dan menghela nafas pendek. Ia sedikitnya
mengerti kalau Emi hanya berusaha bersikap baik padanya.
Dengan
pengalaman pahit yang terjadi diantara mereka, ia yakin mereka telah belajar
sesuatu. Sudah waktunya, untuk merubah ketidakjujuran mereka yang sebelumnya
terkubur, berubah menjadi sesuatu yang lebih bersinar dan lebih bercahaya serta
penuh cinta, karena sekarang, mereka telah mengetahui keburukan hati satu sama
lain. Mereka, sudah jauh lebih dekat dari sebelumnya.
“Hmmm...”
Haruko bergumam
dengan suara pelan, kemudian mengatakan,
“Sebenarnya, aku
agak takut padamu, Kawada-san. Hanya sedikit sih...”
Ujar Haruko
sambil melipat tangannya di depan dada. Kali ini, gilirannya membuat Emi
tersentak kaget.
“Kau takut
padaku?”
“Yah...Habisnya,
kau itu cantik, pintar, jago masak dan olahraga, kau juga baik dan sangat setia
kawan, tak malu ketika harus mengakui sisi burukmu dihadapanku, selalu
tersenyum kepada setiap orang, terlebih lagi kau juga ramah dan baik
hati--Tunggu, aku sudah mengatakannya tadi...”
“.............Kau
tidak harus memujiku seperti itu...”
“Yah, selain
itu, kau juga bisa membaca perasaan orang lain dengan sempurna. Hal itu
membuatku, yang cukup suka menyimpan semua perasaanku di dalam hati, menjadi
sedikit tidak tenang. Ada bagian di dalam diriku yang merasa tidak nyaman
berada di dekatmu. Kau itu, memang benar-benar menakutkan, Kawada-san.”
Haruko berkata
ke arah Emi, sambil sedikit tersenyum. Melihat itu, Emi tak mengatakan apapun
dan hanya menatap ke arah bola mata gadis di sampingnya.
Ia lalu
menundukkan kepalanya, walau wajahnya sedikit tertutup oleh rambutnya, namun
sekilas senyum dapat terlihat di wajahnya saat ia berkata,
“.........Ya...Kurasa
kau benar, Takashi-san. Aku memang orang yang sangat menakutkan.”
Ucapnya pelan.
Sementara itu,
Haruko hanya memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung.
“.......Kau
mengatakan sesuatu? Kawada-san? Kau--Tidak marah padaku’kan?”
“Tidak, aku
tidak marah, kok. Kita’kan sudah janji untuk selalu terbuka akan berbagai hal.
Yah...Jika memang ada yang tidak ingin kau katakan, maaf karena aku terus
memaksamu untuk mengatakannya.”
Emi sekali lagi
memperlihatkan sebuah senyuman hangat saat Haruko berkata padanya. Sepertinya
Haruko tak menyadari apa yang baru saja diucapkannya.
“Oh...Tidak, aku
tahu maksudmu baik, kau hanya khawatir padaku’kan? Terima kasih, Kawada-san.”
Kata Haruko,
yang merasa lega karena ternyata Emi tidak merasa kesal atas ucapannya. Mungkin
dia memang benar gadis yang baik.
“Oh, ya,
Kawada-sa--“
“Maaf aku baru
sempat datang sekarang, Miyashita.”
“Hm?”
Ketika ia ingin
melanjutkan perbincangan dengan Emi, Haruko tiba-tiba menghentikan ucapannya
ketika ia mendengar suara seseorang yang tidak asing lagi. Jadi, ia segera
memalingkan pandangannya ke arah 2 orang yang kini sudah berdiri di dekat Riya.
Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu.
Emi, yang melihat Haruko seperti sedang memperhatikan sesuatu,
ikut berbalik dan melihat ke arah yang dituju oleh gadis berambut pendek itu.
Di sana ada
Riya, bersama dengan 2 gadis lainnya.
“Itu’kan,
Fujikawa dan Higashitani dari kelas kita?”
Ujar Emi.
“Oh, tadi aku
bertemu mereka di jalan. Katanya mereka mau ke sini, tapi ingin membeli bunga
dulu. Ternyata sudah sampai, ya.”
Sambil berkata
seperti itu, Haruko langsung berjalan ke arah Riya, Fujikawa dan Higashitani,
diikuti oleh Emi di belakang.
Sementara itu,
mendengar ucapan Fujikawa, Riya menggeleng pelan dan sedikit tersenyum,
“Tidak apa-apa.
Yang penting kalian datang. Aku senang karena masih ada yang peduli. Terima
kasih Fujikawa, Higashitani.”
“Bukan masalah.”
“Aku turut
berduka cita soal ibumu Miyashita. Ah, dan maaf karena aku tidak sempat
menjengukmu saat masih di rumah sakit. Ada beberapa hal yang harus kulakukan di
rumah, dan selama itu, orang tuaku tidak mengijinkanku pergi terlalu jauh dari
rumah...Kau tahu’kan? Karena pembunuh itu masih berkeliaran di sini? Kau pasti
sangat kesepian...[Karena aku pernah
kecelakaan dan tak banyak yang datang selain teman-teman baikku...Rasanya
mengerikan sekali saat mengetahui kalau kau hanya seorang diri...].”
Higashitani
berkata sambil menggaruk rambutnya. Penyesalan jelas nampak di wajah gadis itu.
“Ya, tidak
masalah, kok. Lagipula, ada beberapa yang lain yang menjengukku. Jadi aku tidak
kesepian. Ah, Fujikawa waktu itu juga datang menengokku’kan?”
Kata Riya, yang
langsung ditanggapi oleh Fujikawa dengan anggukkan.
Mendengar itu,
Higashitani sedikit menghela nafas lega dan meletakkan tangan di depan dadanya.
“Begitu, ya?
Tapi...Aku tetap merasa tidak enak...Seandainya aku bisa datang...”
“Yang penting
kalian datang sekarang’kan?”
“Hm? Ah, Takashi
dan Kawada rupanya.”
Berbalik ke arah
sumber suara, Higashitani mendapati Haruko dan Emi yang telah berada di dekat
mereka.
“Oh, ya.
Mana--Ahem, m--mana Hasegawa? Apa dia sudah pulang?”
Tanya
Higashitani pada Haruko.
“Runa? Ya, dia
sudah pulang duluan. Memang ada apa?”
“Tidak ada.
Tidak ada apa-apa.”
Ujar Higashitani
sambil menggelengkan kepala. Ia kemudian mendekati Emi dengan cepat.
“Kawada, bagaimana kabarmu?”
Ia berkata,
entah kenapa, gadis itu nampak senang ketika bertemu dengan Emi.
“Ya...Aku baik.”
Jawab Emi,
sedikit tersipu malu.
“Aku dengar
ceritanya dari Takashi, katanya kau yang setiap hari selalu menemani Miyashita
dan men-supportnya, ya? Uwooo! Aku terharu sekali ketika mendengarnya, Kawada!
Ternyata di dunia yang kejam seperti ini--Masih ada sahabat yang baik hati
sepertimu!! [Seandainya kau sudah ada di
sini saat kecelakaanku dulu...].”
Langsung
menjabat tangan Emi dengan erat, Higashitani yang berambut pendek berkata
dengan semangatnya.
Memang benar,
apa yang dilakukan oleh Emi adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang
sahabat.
“Ti--Tidak
sehebat itu...Aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang teman yang baik.”
“Kawada memang
baik sekali. Aku juga mau berteman denganmu~”
Kata Higashitani
yang membuat Emi tersentak kaget ketika ia menggenggam tangannya. Rasanya
permintaan pertemanan itu jadi terasa seperti lamaran...
Memperhatikan
itu, Haruko, Riya dan Fujikawa hanya bisa tersenyum.
“Aura yang
dimiliki oleh Kawada-san memang sangat kuat...Makanya, Kawada-san bisa sangat
populer seperti itu...Bukan hanya dikalangan pria saja...”
Ucap Haruko
sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Fujikawa yang
berdiri di sampingnya, langsung setuju dan menganggukkan kepala,
“.........Mm...Aku
sendiri juga berpikir, kalau Kawada-san adalah teman yang sempurna.”
*DEG*
Tidak ada yang
tahu kenapa, atau tepatnya bagian ucapan mana dari perkataan Fujikawa yang
membuat Haruko tertegun. Rasanya seperti tiba-tiba seluruh fungsi di tubuhnya
tidak berjalan sebagai mana mestinya. Dengan cepat, perasaan aneh itu segera
menjalar ke seluruh tubuhnya seperti sebuah virus yang mematikan.
Dan--
“!?”
--Ketika tatapan
matanya tak sengaja bertemu dengan mata biru milik Riya--Ekspresi wajah Haruko
terlihat semakin tegang, mirip dengan seseorang yang baru saja melihat hantu.
“?”
Tentu saja,
melihat sikap Haruko yang aneh, dan tubuhnya yang terlihat gemetar, membuat
Riya sedikit khawatir. Namun, sebelum sempat ia menanyakan sesuatu, Haruko,
segera berjalan melewatinya,
“Maaf, aku harus
pulang.”
“Haruko?”
“Takashi, kau
baik-baik saja? Wajahmu pucat?”
Riya dan
Higashitani berkata bergantian. Ucapan mereka membuat perhatian Emi dan
Fujikawa terarah pada Haruko.
Tanpa
mengucapkan apapun, Haruko terdiam di tempatnya. Beberapa saat kemudian,
barulah ia berbalik, menghadap ke arah keempat gadis yang lain.
“Kalian tidak
apa-apa kalau hanya berempat’kan?”
Ia berkata
sambil tersenyum kecil. Ketika melihat itu, Riya langsung merasa ada yang tidak
beres dengan senyuman gadis itu. Tapi ia tak mengatakan apapun.
“..........Ya.”
Jawabnya pelan.
Sekali lagi,
Haruko tersenyum tipis--
“Kalau begitu
aku duluan. Sampai jumpa besok.”
--Kemudian
berbalik dan beranjak pergi.
“..............Ya,
sampai jumpa besok.”
Meski tahu
Haruko tak akan membalas, Riya tetap saja mengatakannya sambil mengangkat
sebelah tangannya.
“Takashi-san
juga kelihatannya orang yang sangat baik.”
Fujikawa berkata
sambil meletakkan sebelah tangannya di pinggang, yang langsung menarik
perhatian Riya.
Begitu pula
Higashitani yang tersenyum sambil melihat ke arah Haruko pergi.
“Setidaknya, karena
itu kau bisa berteman dengannya.”
“?”
Menatap ke arah
Higashitani, Riya memperlihatkan ekspresi tidak mengerti. Sementara Higashitani
yang sadar kalau Riya terus memperhatikannya, sedikit tertegun sebelum akhirnya
mengalihkan pandangannya ke atas.
“Setidaknya, itu
yang aku tangkap dari kebersamaan kalian. Kulihat kau jarang sekali berbicara
dengan siapapun di kelas selain dengan Hasegawa dan juga Takashi?”
“...............Hm?”
“Saat upacara
pembukaan juga, aku mengajakmu bergabung di barisan kami, dengan Fujikawa dan
yang lainnya.”
“.................Kau...Mengajakku?
Kau berbicara padaku?”
“Oh...Ya, kau
tidak ingat?”
Higashitani
menatap Riya sambil mendekatkan telunjuknya di bibir, terlihat heran akan
responnya yang cukup kaget. Apa itu adalah sesuatu yang membuat seseorang bisa
sangat terkejut seperti itu?
Sementara itu,
Riya masih melihat Higashitani dengan wajah yang seolah berkata ‘Itu tidak
mungkin’.
.............Kenapa
ia berpikiran kalau itu tidak mungkin?
“.............Bagaimana
reaksiku saat itu?”
Riya bertanya,
yang membuat Higashitani tersentak.
“Ekh?
Kau--Benar-benar tidak ingat, ya? Aku yang pertama kali menyapamu, lho. [Orang anti-sosial memang selalu melupakan
orang lain dengan kecepatan 90KM/detik...Aku tidak terkejut lagi...].Aku
tak begitu ingat yang kau katakan, kau langsung pergi dan menjauh dari
gerombolan siswa baru lainnya.”
“.....................Benarkah?”
Tanya gadis
berambut pirang itu dengan nada tidak yakin.
“Iya, benar. Aku
tidak melupakannya, tapi aku juga tidak peduli akan hal seperti itu sih. Aku
hanya bisa percaya kalau seseorang melakukan sesuatu pasti ada alasannya.”
“.....................”
Menopang dagu,
Riya terdiam sejenak. Ia berusaha mengingat-ingat yang terjadi di masa lalu,
dan mendapati mungkin memang ada yang seperti itu.
“.........Ketika
kau mengatakannya...Aku rasa itu memang terjadi...Maaf, ya, ingatanku agak
buruk.”
“Ya, ya, no
problem.”
Ucap
Higashitani, mengacungkan ibu jarinya.
“Kalau begitu,
ayo kita letakkan bunga ini.”
Higashitani
berkata pada Fujikawa. Namun Fujikawa hanya tersenyum dan memberi isyarat
dengan tangan agar Higashitani meletakkannya duluan. Melihat itu, ia mengangkat
kedua bahunya, kemudian berkata ‘Ya sudah, biar Kawada-san yang menemaniku’,
dan pergi sambil menarik tangan Emi yang bahkan belum sempat memberi jawaban
‘Ya’ atau ‘Tidak’.
Bukan berarti Higashitani akan peduli akan hal
itu.
“.................”
Fujikawa, lalu
melihat ke arah Riya yang nampak sedang memikirkan sesuatu, kemudian
mendekatinya,
“Yah, tapi
setidaknya, sekarang kulihat kau nampak akrab dengan Takashi-san, Hasegawa-san
dan Kawada-san.”
“?”
Kata-kata
Fujikawa yang tiba-tiba itu, langsung membangunkan Riya dari lamunannya.
Fujikawa
melanjutkan ucapannya,
“Aku tahu semua
orang itu baik. Tinggal kita melihatnya dari sudut pandang yang seperti apa.
Takashi-san gadis yang baik, begitu juga dengan Hasegawa-san yang ceria dan
Kawada-san yang kalem.”
Ia berkata,
mengalihkan pandangan ke arah Higashitani bersama Emi.
“Higashitani
juga baik. Walau terkadang dia sedikit pendiam dan aneh, tapi cukup menarik,
karena semua hal tentang dia itulah aku bisa menjadi temannya. Jujur aku juga
bukan orang yang banyak teman. Sebenarnya--Ada sedikit pengalaman yang
membuatku sedikit pemilih...Aku tahu itu bukan sesuatu yang baik, tapi--Mau bagaimana
lagi...”
Fujikawa berkata
dengan senyuman tipis di wajahnya, yang entah kenapa ekspresinya terlihat
sedih.
Riya tahu, tak
baik menanyakan suatu masalah tentang orang lain yang nampaknya membuatnya
merasa sedih, dan merasa buruk. Itu bukan sesuatu yang baik. Namun, ia tak bisa
menahan dirinya untuk tidak bertanya.
“.........Apa
ada sesuatu yang terjadi?”
Tanyanya.
“Hanya masalah
yang sama yang dialami oleh anak-anak SMA lainnya.”
“Oh...”
Tanpa
dijelaskan, ia cukup tahu apa yang dimaksud oleh Fujikawa. Pasti ada
hubungannya dengan gadis itu--Itsuki Kanako.
“Tapi tiu tidak
penting lagi’kan? Karena sekarang kita sudah memiliki teman yang bisa kita
percaya masing-masing. Setidaknya, itu alasan kenapa kau bisa berteman
dengannya’kan? Karena kulihat kau tak terlalu banyak memiliki teman, jadi
mereka pasti terlihat spesial di matamu, ya?”
“................”
Haruko, Runa dan
Emi--Nampak spesial di matanya...?
“...........Ya...Ya,
kurasa...Kurasa memang seperti itu...”
“Benar’kan?
Punya teman itu memang sesuatu yang bagus.”
“.............Ya...Aku
setuju denganmu...”
Ia berkata,
namun entah mengapa, kata-katanya terdengar ragu dibagian akhirnya, seolah ada
sesuatu yang tidak beres dan mengganggu pikirannnya.
Ia memang tidak
pernah berbincang dengan teman sekelas yang lain selain dengan Haruko Runa,
mungkin itu yang membuat murid-murid lain menganggapnya gadis yang suka
pilih-pilih teman. Bukan hanya itu, sikapnya juga selalu tak bersahabat jika
dengan siswa lain.
.......................
Kenapa?
Kenapa sikapnya
selalu buruk jika bersama dengan orang lain yang bukan Haruko dan juga Runa?
Apa karena
Haruko adalah orang yang pertama kali mengajaknya berbicara saat itu?
“Kamu Miyashita’kan? Kulihat kau tak terlalu
memiliki banyak teman.”
“Eh?”
“Kalau kamu tidak masalah, mau’kan, menjadi teman
baikku? Teman yang selalu ada untukku?”
Ketika ia tak
memiliki seorang pun yang bisa menyebutnya sebagai ‘Seorang sahabat’, Haruko
menawarkan semua hal itu. Sedangkan Runa? Karena ia teman masa kecil
Haruko, jadi ia juga harus terjebak
bersamanya dan menjadi sahabatnya juga.
...............Tunggu?
Bukankah itu
aneh...?
Kalau saja
seandainya saat itu, ada orang lain yang menyapanya--Apakah ia juga akan
berteman dengan mereka?
.....................
“..............[Tidak, kurasa aku tidak akan melakukan hal
itu...].”
Ia
mengatakannya. Mengatakan dengan sangat yakin jika seolah ‘Bukan Haruko maupun
Runa yang menyapanya hari itu--Ia takkan pernah berteman dengan siapapun sampai
saat ini’.
Kalau diingat-ingat lagi, cukup banyak siswa
yang mengajaknya bicara di upacara pembukaan tahun ajaran baru saat itu,
sebelum bertemu dengan Haru--
“Ekh? Kau--Benar-benar tidak ingat, ya? Aku yang
pertama kali menyapamu, lho.”
Huh?
Tiba-tiba, Riya
dibuat tertegun oleh pikirannya sendiri.
Rasanya, ada
sesuatu yang salah di sini.
Apa karena Haruko adalah orang yang pertama kali
mengajaknya berbicara saat itu?
Benar juga. Ia
tidak tahu, tapi kenapa justru baru sekarang ia menyadarinya. Ia selalu
terjebak dengan pemikiran itu. Bahkan sekarang, ia tidak tahu darimana pikiran
tersebut muncul untuk yang pertama kalinya dalam kepalanya?
Haruko tidak
menjadi orang pertama yang menyapanya saat itu? Bahkan jauh sebelum ia bertatap
muka dengan gadis itu, sudah ada beberapa murid yang mendekatinya...
Seolah-olah
ingatannya mulai tersusun satu per satu, wajah beberapa gadis yang tak asing
muncul. Beberapa gadis yang kini satu
kelas dengannya, atau gadis dari kelas lain yang ia lihat di upacara pembukaan,
mengajaknya untuk bergabung dengan mereka di satu barisan yang sama. Apa
jawabannya waktu itu--
“Aku tidak mau.”
Mereka adalah
Higashitani dan Fujikawa yang sekarang berada di satu kelas yang sama
dengannya, lalu Tanabe dan Yorui serta Tamura yang sekarang ada di kelas
sebelah.
Menolak dengan
tegas.
Mengapa?
Kenapa ia tak
berteman dengan mereka? Kenapa ia justru memasang wajah yang seolah mengusir
mereka? Kenapa--Sikap yang ia perlihatkan begitu berbeda terhadap Haruko dan
Runa?.......Lupakan Runa, kenapa sikapnya begitu lunak saat Haruko mengatakan
semua ucapannya?
Kenapa ia
setuju? Bagaimana dengan anak-anak yang lain?
Apa yang
sebenarnya diinginkan saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di halaman SMA
itu? Kehidupan SMA yang baik? Penuh warna? Teman? Jika memang itu yang dia
inginkan, jika memang yang ia inginkan hanyalah seseorang yang bisa ia sebut
‘Sahabat’--Kenapa ia membuat mereka semua menyingkir?
.................
“..............[Benar...Sekarang ketika melihat ke awalnya
lagi--Kenapa aku sangat dingin dan benci pada mereka, ya? Padahal mereka sangat
bersahabat dan tak berbuat salah padaku--Kenapa aku justru--.............].”
“Takashi-san juga kelihatannya orang yang sangat
baik.”
Apa itu karena
Haruko terlihat baik?
Apa karena ia bisa
melihat kebaikan di mata gadis itu, sedangkan di mata yang lainnya--Yang ia
lihat hanya kepalsuan?
............
Tidak. Ia tidak
tahu kenapa ia bisa merasa seyakin itu, tapi bukan itu yang menjadi masalahnya.
Semuanya nampak baik pada hari itu. Ia bisa melihat mata-mata mereka yang
bersahabat menatap ke arahnya. Haruko hanyalah satu diantara puluhan orang yang
terlihat baik lainnya.
Lagipula, itu
adalah hari pertamanya di SMA. Ia tak mengenal satu orang pun, dan tidak
mungkin ia bisa seenaknya memberikan label ‘Orang ini baik’ dan ‘Orang ini
tidak baik’.
Jadi, semua itu
tidak akan berhasil seandainya bukan Haruko yang mengajaknya berteman?
Sekali lagi,
pertanyaan itu muncul,
Kenapa?
................
Ia baru
menyadari, bahwa ternyata hal itu sangat tidak wajar dan mengganggu pikirannya.
Sebelumnya, ia tak pernah memikirkan jauh sampai ke arah sini. Kalaupun pernah,
ia sama sekali menghiraukannya dan tak menganggap semua itu penting. ‘Aku hanya
ingin berteman dengan Haruko’, selalu itu yang ia tahu.
Ia seolah
melupakan hal baik tentang siswa-siswa lain yang sebenarnya mau berteman
dengannya, seolah kebaikan itu hanyalah seperti tulisan di papan tulis yang
menggunakan kapur, sehingga dapat dengan mudah terhapus.
Lalu yang
tersisa hanyalah debu--Hanyalah sisa-sisa kebenciannya karena mereka semua
menjauhinya.
Ia tak pernah
memikirkan semua ini--Sampai kasus ini terjadi. Sejak awal, kenapa ia membenci
semuanya seperti itu? Siapa yang menjadi penyebab mereka membencinya seperti
itu?
Karena ia tak
pandai bersahabat? Atau karena dia sebenarnya secara tak sadar, suka
memilih-milih orang untuk menjadi sahabatnya?
Selama ini yang
ada dipikirannya hanyalah Haruko, sebagai satu-satunya gadis yang mau berteman
dengannya. Tapi itu juga salah--!
Ketika ia mulai
menyatukan semua bagian-bagian yang seperti sebuah puzzle yang rumit ini--Ia
sama sekali tak menemukan sebuah bentuk tertentu. Satu, atau beberapa bagian
puzzle itu hilang.
.............
Lho...?
Tunggu
sebentar...
Sebenarnya--
“Dan, hey. Kau
nampak berubah sekarang!”
“Ah!”
Riya sedikit
berteriak dan hampir saja jatuh ke depan, saat Fujikawa tiba-tiba berbicara
sesuatu dan menepuk pundaknya dengan cukup keras.
Untung saja ia
bisa segera menjaga keseimbangan tubuhnya, kalau tidak, ia pasti akan terjatuh
ke atas lantai sambil melakukan forward
roll.
Fujikawa
melanjutkan perkataannya, yang sebelumnya tidak terlalu tertangkap oleh Riya,
“Aku baru saja
sadar, kalau aku telah berbincang dengan Miyashita yang seperti itu!”
“........Apa
maksudnya dengan ‘Miyashita yang seperti itu’?”
Tanyanya dengan
penuh curiga.
“Hm? Seperti
itu, ya? Seperti itu!”
“Setidaknya,
jelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan ‘itu’, sehingga aku bisa tahu
harus memasang reaksi senang atau tidak!”
“Aku tidak tahu.
Hanya setiap kali menyebutmu, semua selalu berkata ‘Eh, dia’kan Miyashita yang
itu’, atau ‘Dengan Miyashita yang itu?!’, atau ‘Harus satu kelompok dengan
Miyashita yang itu?’.”
“Aku tidak tahu
panggilan kehormatan seperti apa yang kalian berikan padaku, tapi tolong
berhenti menyebutku ‘Miyashita yang itu’. Kalian pikir, ada berapa banyak
Miyashita di dunia ini?”
Ujar Riya, yang
langsung membuat Fujikawa sedikit tertawa. Tentu, Riya kembali dibuat bingung
dengan sikapnya yang aneh.
“Ada apa? Kenapa
kau tertawa seperti itu?”
Ia bertanya dengan
nada bicara yang terdengar monoton.
Sementara
Fujikawa, masih berusaha menghapus air mata di sudut matanya, menjawab
pertanyaan singkat Riya.
“Kau nampak
berbeda dari yang orang katakan selama ini. Menurutku, kau cukup bersahabat dan
aku berani bertaruh, kalau ini berkat Takashi-san dan yang lainnya.
Kelihatannya kau orang yang menyenangkan. Aku harap aku bisa tahu hal ini lebih
cepat.”
“Aku bukan--“
“Dan,”
“?”
“Seandainya di
dunia ini banyak orang baik seperti Takashi-san, Kawada-san dan Hasegawa-san,
aku yakin... Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk terjadi.”
Fujikawa
berkata, memperlihatkan sekilas senyuman di wajahnya. Ia memandang ke atas,
seolah sedang memandang ke arah langit biru.
“.........Sesuatu
yang buruk?”
“Ah, aku hanya
bicara dengan diriku sendiri. Kalau begitu, aku ingin meletakkan bunga ini
dulu. Sampai jumpa, Miyashita. Semoga kita bisa cepat berbincang lagi.”
Melambaikan
tangan ke arah Riya, Fujikawa berkata lalu berbalik dan berjalan ke arah
Higashitani dan Emi yang masih berdoa.
Malam hari telah
datang pada waktu itu.
Semua orang
sudah tak nampak lagi di ruangan kecil yang cukup sederhana itu. Yang tersisa
hanyalah sebuah altar kecil dengan bunga-bunga berwarna putih, serta foto
seorang wanita paruh baya yang nampak sedang tersenyum.
Itu adalah salah
satu foto terbaiknya.
“.............”
Sekarang, hanya
Riya satu-satunya yang masih tinggal di ruangan ini. Dengan perlahan, ia
menyapu lantai yang terlihat sedikit kotor itu, kemudian meletakkan
barang-barang yang mungkin tidak sengaja tersenggol oleh orang lain.
Meski rumah ini
sekarang sudah tidak menjadi tempat yang ia tinggali lagi, tetap saja ini
adalah rumah kenangan antara dia dan ibunya. Dia memutuskan untuk tidak
meninggalkannya sampai ia membereskan beberapa hal.
Seusai berpisah
dengan Higashitani dan Fujikawa, tak terasa hari sudah menjelang sore. Mereka
membicarakan banyak hal yang sebelumnya belum pernah mereka bincangkan
sebelumnya. Ia juga sedikit merasa, berbicara dengan orang selain Haruko dan
juga Runa ternyata cukup menyenangkan.
Tapi ia tetap
berharap kalau seandainya kedua gadis itu masih ada di sini, mereka pasti bisa
saling berbicara dalam kelompok yang lebih besar lagi.
Walau ia tidak
tahu apa ini benar atau tidak, tapi ia sedikit merasa, semenjak adanya kasus ini,
perlahan-lahan dirinya mulai berubah. Banyak hal yang sebelumnya tak pernah ia
pikirkan, banyak hal yang sebelumnya tak pernah ia anggap penting, banyak hal
yang sebelumnya tak ia lihat, menjadi
semakin jelas.
Berpikiran
seperti itu--Membuatnya merasa takut akan dirinya sendiri. Mengatakan bahwa
kasus ini adalah sesuatu yang baik--Itu saja sudah terasa salah.
‘Mungkin ibumu
ingin kau melihat dunia ini dnegan cara yang berbeda. Karena itu kau
merasakannya, hal-hal yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Tanpa kau sadari,
kehilangan ini telah membawa perubahan besar dalam hidupmu.’,
Itu yang
dikatakan oleh Higashitani, sebelum gadis itu memutuskan untuk pulang bersama
Fujikawa. Mereka gadis yang baik, dan ia baru saja menyadari itu sekarang.
Kalau saja seandainya waktu itu ia tak menatap mereka dengan ekspresi yang
kelihatan marah--Mungkin mereka sudah menjadi teman dekat saat ini.
Jam-jam
berikutnya, dilaluinya bersama dengan Emi. Sekarang gadis berambut panjang itu
sudah pulang ke rumahnya. Sebenarnya, ia ingin menemani Riya lebih lama .
Karena tak ingin merepotkannya terlalu banyak, lagipula banyak yang sudah
diberikan oleh Emi padanya, ia menyuruhnya untuk pulang duluan saja.
Seharian ini,
Emi sudah menemaninya. Terlihat sekali wajahnya yang sudah kelelahan.
“..........”
Tanpa mengatakan
apapun, atau bahkan kata-kata yang biasanya diucapkan di saat seperti ini,
misalnya ‘Akhirnya selesai’, atau
apapun, iya meletakkan sapunya di luar rumah, kemudian kembali masuk.
Untuk sesaat, ia
hanya berdiri di sana tanpa suatu tindakan yang berarti. Matanya menatap ke
arah rumah yang sebentar lagi akan kosong ini, seolah baru pertama kali ia
masuk ke dalamnya. Setelah berdiam diri cukup lama, ia akhirnya mulai melangkah
perlahan masuk lebih jauh lagi ke dalam ruangan, dan sesekali menyentuhkan
jarinya di perabotan-perabotan yang ada di sana. Mengenang kembali setiap
kenangan dan ingatan yang terbentuk.
“....................”
Sampai akhirnya,
ia berdiri di depan altar tempat foto ibunya terpajang.
“Kau putriku. Dan aku sangat mengenalmu dibanding
seluruh orang yang kau kenal di dunia ini. Dan aku tahu, tak peduli seberapa
rendahnya nilaimu, Tak peduli apakah kau orang yang malas berusaha dalam hal
apapun, tak peduli seberapa seringnya kau membantah nasihatku dan membuatku
merasa sangat kesal, tak peduli akan pandanganmu yang membosankan tentang
dunia--Aku tahu, kau baik, dan tidak mungkin melukai orang lain sampai seperti
itu!
Matanya tak
berhenti menatap ke arah wajah tersenyum cerah ibunya. Ia tak ingat kapan terakhir
kali melihat ibunya tersenyum sejak saat itu, tepat sebelum ibunya tewas.
“Jika semua orang berkata jelek tentang dirimu, ibu
akan berdiri di sana untuk melindungimu! Jika Runa maupun Haruko
meninggalkanmu, ibu akan tetap ada di sini dan bersamamu!!!”
Kalau saja
seandainya saat itu ia marah dan segera naik ke kamar, kemudian ibunya akan
berteriak kesal sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan keras--Apakah
kejadian itu tidak akan terjadi?
“Tidak, tidak.
Aku tidak ingin memikirkan hal itu saat ini.”
Riya berkata
pada dirinya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Semua ini telah
terjadi. Tidak ada gunanya untuk menyesali hal yang belum pasti akan terjadi.
Sekarang, ia hanya bisa percaya kalau hal lain tidak akan menjadi lebih buruk
daripada ini.
Itu, pasti adalah satu hal yang diinginkan
oleh ibunya untuk dilakukannya. Jangan sampai kejadian ini menghambat jalannya
menuju masa depan. Jangan sampai kejadian ini membuatnya terjatuh dan tak dapat
bangkit kembali.
“Dan jika semua orang di seluruh dunia ini berbalik
memusuhimu, maka ibu akan menjadikan mereka semua sebagai musuhku juga!”
“...............”
Ketika
berpikiran seperti itu, air mata yang telah mengering itu, kembali menetes.
Sekali lagi,
kata-kata ibunya yang terdengar kuat itu kembali terngiang di telinganya,
seolah benar-benar ibunya sendiri yang mengatakannya saat ini, dan bukan hanya
khayalan belaka.
“--Kau tidak perlu merasa khawatir lagi. Setidaknya,
sudah ada 3 orang yang akan berdiri untukmu, dan untuk selamanya bagi mereka,
kau tetaplah orang yang sama, Miyashita Riya yang sama dan tidak berubah. Kau,
bukan seperti yang orang-orang itu katakan padamu!”
Namun dengan
cepat, Riya segera menghapusnya. Ia tak ingin nampak buruk dan menyedihkan
untuk yang kedua kalinya di hadapan ibunya. Cukup hanya sekali itu saja, saat
ia memeluk ibunya dengan erat dan menangis seperti anak kecil, cukup saat itu
saja ia membuat ibunya khawatir. Ia ingin berubah. Ia memutuskan untuk tidak
menangis.
“Jadi setelah ini--Apapun yang terjadi, atau luka
seperti apa yang akan kau dapatkan dalam hidup ini, kau tidak akan menangis dan
meneteskan air mata seperti hari ini lagi.”
Ia telah membuat
janji. Apapun yang terjadi, penderitaan seperti apa yang ia alami, ia takkan
meneteskan air mata kesedihan lagi.
“........Karena aku percaya, kalau kau tidak mungkin
melakukan hal seperti itu...”
Untuk ibunya
yang percaya bahwa dia tak melakukan perbuatan itu--Apapun yang terjadi, ia
percaya padanya. Dan sekarang waktunya dia untuk menunjukkan kebenaran, mencari
kebenaran dan mengungkap kebohongan yang selama ini terus terselimuti oleh
kegelapan, ia takkan berhenti sebelum menemukannya. Ia takkan berhenti sebelum
semua ini berakhir.
Untuk itulah ia
masih hidup di dunia ini. Pasti itu yang Tuhan ingin dia lakukan.
Maka, menghela
nafas agak panjang, Riya lalu menyentuh foto ibunya dengan lembut, kemudian
mengatakan,
“..........Aku
janji. Aku akan menemukan siapa pelakunya. Aku akan menghentikannya. Supaya
tidak ada yang terbunuh lagi.”
Ucapnya, dengan
penuh keyakinan.
Untuk beberapa
saat, pandangannya tak lepas dari foto ibunya, baru kemudian, ia berbalik,
berjalan keluar dari rumah. ketika ia sampai di depan pintu, ia terdiam sambil
menyentuh dinding di sisinya.
“.............”
Mungkin inilah,
saat yang tepat untuk mengucapkan salam perpisahan.
“...................”
.........................................
“........Tidak.
Aku tidak akan mengatakannya.”
Sambil
memperlihatkan sebuah senyuman tipis, ia mengatakannya. Ia kemudian berbalik,
mengalihkan pandangannya ke arah foto ibunya terpajang, dan,
“Ayo, kita
bertemu lagi di lain waktu, di suatu tempat di sana.”
“[Sampai saat itu, aku akan merindukanmu. Sampai
saat itu, aku akan selalu mengenangmu. Mengenang setiap kata-kata dan ucapanmu
waktu itu--Agar aku selalu kuat dalam menjalani hidup ini. Walau tak terlihat,
tapi aku tahu kau sedang menggenggam tanganku, dan melangkah bersamaku].”
“Aku sayang
padamu.”
Ia berkata,
tersenyum lebar, kemudian menekan tombol lampu di rumah itu sehingga nampak
gelap. Lalu dengan perlahan, menutup pintu sebelum melangkah keluar.
Bagaimanapun
juga, ia sudah terlibat. Dan apapun yang terjadi selanjutnya, tidak akan bisa
menghalangi langkahnya menuju tempat yang ada cahayanya, dan menggenggam
butiran cahaya itu dengan tangannya sendiri.
“Huh?”
Saat ia akan
membuka pintu rumah keluarga Kawada, Riya tiba-tiba merasa ada seseorang yang
mengikutinya.
Rasanya, ada
yang melihat ke arahnya.
“................”
“Miyashita!!”
*DEG*
Tanpa ia
inginkan, bayangan Mochida yang biasanya selalu berlari ke arahnya sambil
meneriakkan namanya, terbayang di pikirannya. Ini adalah hal yang sangat jarang
terjadi--Dan langsung membuat wajahnya merona merah.
“.......Tidak
ada apa-apa.”
Katanya,
memastikan sekali lagi area di sekelilingnya. Setelah yakin, tak ada
tanda-tanda orang lain, ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah.
“...............”
Dan tanpa ia
ketahui, sesosok pemuda berambut kecoklatan muncul dari balik pagar rumah
keluarga Kawada.
“Miyashita...”
***-***
A/N : Halo, minna XDD Fujiwara Hatsune di sini!
HTMF Chapter 12! Ternyata masih panjang juga nih ceritanya. Rencana
awalnya sih mau satu buku aja, tapi ternyata kepanjangan. Bahkan mungkin lebih
dari 2. Ini aja kalau jadi, Vol.3 udah mau dibuat.
Di chapter kali ini, diawali tentang Riya dan ibunya...
Hatsui : Dan akhirnya, Miyashita tinggal di
rumahnya Kawada juga, ya? Cerita kali ini episode tentang pemakaman ibunya
Miyashita. Kasihan, masih 15 tahun udah harus tinggal sendirian. Btw, ayahnya
ke mana nih?
Ayahnya udah meninggal. Jadi ibunya cuma sendirian aja membesarkan Riya. Meski gitu, hubungan keduanya ngga terlalu
deket sih, karena Riya-nya yang males dan agak aneh, sedangkan ibunya selalu
ceramah. Nggak ada’kan ortu yang suka kalau punya anak males yang ngga rajin
dan suka ngelawan kalau di kasih tau? Walau begitu, Riya juga pasti sayang
ibunya dan merasa kehilangan.
Hatsui : Hm, hm, nah, terus waktu
di pemakamannya kan ada 3 orang yang lagi ngobrol tuh, emang itu penting, ya?
perasaan itu ngga ada hubungannya sama cerita ini, napa ditulis juga? Kisah
cintanya si orang itu yang dulu pernah dibully?
Emang ngga ada. Tapi itu adalah kelanjutan dari ceritasalah satu
ceritaku, ketika si cowok dan ceweknya itu dah menikah. Mereka juga tinggal di
kota ini.
Hatsui : Ho ho, bisa itu juga,
ya? Tapi yang menjadi pertanyaanku di sini, adalah--Kenapa Takashi, Hasegawa
dan Miyashita sudah berbaikkan!!? Hoi! Hoi! Tidakkah kau terlalu banyak
menghilangkan detail di sini, Hatsune-san!? Sejak kapan mereka berteman
kembali, dan saling menerima seperti itu!!!?
Ada ceritanya kok. Ch selanjutnya ada ceritanya. Dan ada bagian yang
mengejutkannya juga lho!
Hatsui : Oh ya!? Apa itu ada
hubungannya dengan seseorang yang ditunggu sama Miyashita? Pasti Mochida’kan?!
Apa ada alasan kenapa Mochida ngga dateng?
Mungkin. Tapi Mochida tetap memperhatikan Riya’kan?
Hatsui : Iya sih, di bag.
akhirnya dia dateng...
Fujikawa dan Higashitani. 2 chara baru yang muncul. Kelihatannya baik,
aku suka mereka berdua.
Hatsui : Fujikawa ini--Yang waktu
itu maafin Itsuki’kan? Terus, Higashitani itu?
Dia temannya Fujikawa juga. Higashitani sangat menganggumi Emi karena
sepertinya dia sahabat yang baik. sampai terlihat ingin melamarnya lol XDDD
Hatsui : Tapi, aku ada satu
pertanyaan untuk chapter ini. Si Takashi itu...Kok tiba-tiba dia jadi aneh?
Itu hanya perasaanmu saja.
Hatsui : Tidak. Dia memang jadi
aneh. Apalagi waktu kata-kata teman sempurna keluar dari mulutnya Fujikawa.
Tidak, Itu cuma perasaanmu saja.
Kalau begitu, sampai jumpa di ch selanjutnya!
Sankyuu!!
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar