Selasa, 25 Agustus 2015

Story : How To Make A Friend Vol.2 Chapter 12 Part2


 Story : How To Make A Friend Vol.2 Chapter 12 Part2

“Kau sedang memikirkan sesuatu.”
“.............Ha...?”
Mendengar perkataan Emi yang tiba-tiba, Haruko yang berdiri di sampingnya langsung menatap dengan wajah tidak mengerti.

Seusai meletakkan bunga dan berdoa, Haruko dan Runa berkumpul dengan Emi dan Riya, kemudian berbincang-bincang sebentar. Entah sudah berapa lama mereka bertiga tak berbicara akrab seperti saat-saat dulu. Kira-kira 30 menit kemudian, Riya memutuskan untuk kembali menyambut para tamu yang masih berdatangan, sementara Runa, ia sudah janji dengan ibunya akan mengantarkan barang untuk bibinya dan harus segera pulang.
Jadi yang tersisa, hanya Haruko dan Emi.

“.................”
Emi, yang merasa Haruko terus saja menatapnya dengan ekspresi aneh itu, langsung merasa sedikit aneh. Karena bukannya mendapat jawaban, tapi dia justru ditatap seperti seseorang yang baru saja melakukan tindakan aneh.
“Ada apa, Takashi-san? Kenapa kau melihatku dengan wajah seperti itu?”
Tanyanya.
“.......Tidak, hanya saja orang biasanya tidak akan tiba-tiba berkata ‘Kau sedang memikirkan sesuatu’kan?, tanpa alasan yang jelas. Aku hanya tidak mengerti, kenapa kau bertanya hal seperti itu padaku.”
Haruko berkata sambil memainkan rambutnya yang pendek sebahu dengan jarinya. Walau tak terlalu terlihat, tapi wajahnya menunjukkan ekspresi seseorang yang merasa terganggu akan sesuatu.
Ia bukannya tidak mengerti kenapa Emi bertanya seperti itu padanya. Ia hanya tidak ingin siapapun menanyakannya karena ia tak ingin memikirkan hal tersebut.
“...Hmm...Sewaktu kita berbincang dengan Riya-chan tadi--Kau nampak sedih...Aku tak punya kesempatan untuk bertanya padamu, karena aku juga tak ingin membuat Riya-chan dan Hasegawa-san khawatir.”
“Makanya, kau menunggu kesempatan saat hanya kita berdua di sini? ... [Ternyata dia memang benar menyadarinya].”
“Ya...Begitulah.”

Ucap Emi sambil tersenyum kecil ke arah Haruko.
Entah kenapa ia sedikit merasa tak nyaman berada di dekat gadis itu. Bukannya ia membencinya atau apapun. Hanya saja, gadis itu terlalu peka dengan perasaan orang lain, dan untuk orang yang sedang tak ingin mengatakan apa yang sedang dipikirkannya, ia adalah musuh yang paling besar.
Mendengar jawaban yang sudah sangat jelas itu, Haruko hanya bisa menghela nafas pasrah.
“Maaf, bukannya aku mau menyia-nyiakan kebaikanmu atau apapun. Tapi ini bukan hal yang penting, kok. Lebih baik kau temani Riya saja. Sebentar lagi aku juga mau pulang. Harus bantu-bantu ibu di rumah kalau tidak aku bisa kena lempar sapu.”
Haruko berkata, kali ini memalingkan pandangannya dari Emi. Disadari atau tidak, nada bicaranya terdengar agak kesal.
“Kau terlihat sedikit kesal hari ini, Takashi-san?”
“Oh ya?”
“Tadi juga kau terlihat khawatir dan gelisah akan sesuatu. Itu pasti bukan ‘Bukan sesuatu yang penting’kan? Pasti ada sesuatu deh.”
Ujar Emi, yang membuat Haruko semakin mengerutkan dahi.

Apa tidak apa-apa kalau mereka selamat? Jika seandainya ia datang dan menyelamatkan ibu Riya--Bisa saja itu terjadi’kan?

Tak peduli seberapa keras Haruko berusaha menghindari pertanyaan dari Emi, gadis berambut coklat panjang itu tak berhenti melontarkan pertanyaan yang mengganggunya.
Tapi ia tetap merasa, kalau ia mengatakan hal yang mengganjal hatinya sejak tadi itu, bukannya itu justru akan membuat Riya kesal? Terasa seperti ia menyia-nyiakan ucapan maaf yang dikatakan oleh gadis itu.
Ibunya meninggal, dia terlihat sangat sedih. Masih ada mereka di sisinya, setidaknya membuat bebannya sedikit berkurang. Ia berpikiran seperti itu, entah kenapa ia merasa tak menghargai nyawanya dan kebersamaan mereka saat ini.
Ia senang mereka bertiga masih bisa bersahabat. Ia senang mereka bertiga sekarang telah semakin memahami satu sama lain dan mengungkapkan apa yang mereka pendam sejak lama. Ia bersyukur bisa melihat hubungan Riya dengan Runa yang semakin membaik ke sininya.

Karena itu, ia ingin memikirkan hal ini hanya sebagai masa lalu saja. Ibu Riya tewas pasti karena takdir Tuhan, tidak ada yang bisa mengubahnya atau membelokkannya. Jika seandainya saja, itu hanya akan menambah korban saja.
Hanya saja, tak peduli seberapa kerasnya ia berusaha untuk menyingkirkan pikiran tentang penyesalannya karena masih hidup sampai saat ini dengan membiarkan ibu Riya tewas, perasaan bersalah itu masih terus saja menghantuinya.
“Tuh, kau melakukannya lagi, Takashi-san.”
“Eh? Apa?”
Haruko kembali tertegun dan bangun dari lamunannya saat Emi mengatakan sesuatu padanya.
“Lagi-lagi kau memasang wajah seperti itu. Wajah yang terlihat gelisah.”
“Itu hanya perasaanmu saja.”
Sekali lagi, ia mengalihkan pandangannya dari gadis itu dan menjawab dengan nada yang terdengar acuh.
“..................”
Melihat sikap Haruko padanya, Emi terdiam sesaat. Ia memandang ke arah gadis berambut hitam itu sejenak, kemudian kembali berkata,
“Dengar’kan aku, Takashi-san.”
“?”
“Hasegawa-san sudah kembali berteman dengan Riya-chan, kau juga. Jika kalian berdua sekarang adalah sahabat Riya-chan, itu berarti kalian adalah sahabatku juga. Mungkin, awalnya aku memang tidak terlalu peduli akan keberadaan kalian berdua--“
“Tunggu--Kau apa?!”
Akhirnya, apa yang diucapkan oleh Emi, berhasil menarik perhatian Haruko.
Ia masih belum mengerti dengan jelas apa yang berusaha dikatakannya, tapi sepertinya itu bukan sesuatu yang bagus. Walau begitu, ia terus melihat ke arah Emi, menunggu kelanjutan dari perkataannya yang membuatnya agak terkejut.
 “Hmm...Aku belum sempat untuk berkata jujur saat itu, biar aku mengatakannya sekarang. Aku pun--Ternyata memiliki masalah yang sama dengan Hasegawa-san. Kalau Hasegawa-san tidak ingin persahabaannya denganmu menjadi milik orang lain--Kurasa aku tidak ingin persahabatanku dengan Riya-chan direbut oleh siapapun. Terlebih lagi, ketika mengetahui kalau kalian adalah teman dekatnya--“
“...............”
“Aku merasa perlu membuat kalian menjauh dengan cara apapun.”
“!?”
Haruko tertegun, namun bukan karena kata-kata yang disampaikan gadis berambut panjang itu padanya. Melainkan oleh perasaannya sendiri. Perasaan takut, saat ia menatap ke arah mata kedua gadis itu, yang entah kenapa, seolah memancarkan cahaya, namun sangat gelap.
Rasanya, ia sudah tak begitu asing dengan perasaan seperti ini...

“Kalian berdua ini...Apa kalian sahabat Riya-chan?”
“Kalau begitu, perkenalkan, namaku Kawada Emi. Aku adalah sahabat masa kecil Riya-chan. Dan itu berarti...Aku adalah sahabat nomor satunya.”

Ya, ia mengingatnya. Kalau tidak salah, di masa lalu juga, pernah terjadi hal seperti ini. Jadi perasaan yang ia rasakan waktu itu tidak bohong? Rasa ketakutan yang dirasakannya pada saat itu, apa itu memang benar-benar nyata dan tidak hanya menjadi perasaaan saja?
Dan yang menjadi sumber rasa ketakutannya saat itu--Ternyata kecemburuan Emi terhadapnya dan Runa yang bersahabat dengan Riya, membuatnya merasa tak nyaman. Ternyata itu yang ia rasakan.
“Tapi...”
“....................”
“Melihat Riya-chan yang begitu peduli pada kalian, aku akhirnya tak bisa membenci kalian. Dan tak bisa membiarkan hal yang buruk menimpa kalian. Aku juga, ingin jadi teman yang sebenarnya.”
Emi berkata sambil tersenyum.
Ingin jadi teman yang sebenarnya?
“...................”
“Aku tidak ingin jadi teman yang hanya berpura-pura saja. Karena itu, jika aku sangat khawatir pada kalian, mulai saat ini aku akan mencari tahu kenapa, kemudian mencari cara untuk mengatasinya bersama. Aku harap itu bisa membuat kalian senang.”
“.....................”
Tidak ingin hanya jadi teman yang berpura-pura?
Iya, ya, kalau diingat-ingat lagi, bukan hanya Runa atau Riya atau mungkin dirinya yang berubah karena hal ini. Bahkan ternyata kejadian ini juga bisa mempengaruhi gadis yang hebat seperti Emi.
Mereka semua memang berpura-pura. Sejak awal, bahkan sejak persahabatan ini di mulai, tak satu pun diantara mereka yang benar-benar tulus menganggap satu sama lain sebagaia sahabat dekat.
‘Aku tak’kan meninggalkanmu meski aku sudah memiliki teman-teman yang baru’,
‘Aku akan terus ada di sampingmu saat kau membutuhkanku’,
‘Aku akan datang menemuimu dengan segera saat kau meneriakkan namaku’,
‘Aku akan datang dan mengusap air matamu ketika melihatmu menangis’,
Seharusnya, ‘Teman yang sebenarnya’ adalah seperti itu. Tapi kelihatannya, beban tersebut terlalu berat ditanggung oleh manusia biasa dan kecil seperti mereka. Tidak ada satu pun, orang sempurna yang bisa menanggung beban hidup mereka bersama dengan orang lain.
Mereka hanya terlalu egois, hanya ingin memiliki sesuatu untuk diri mereka saja. ketika mereka tak peduli, mereka tak membiarkan orang lain untuk peduli, ketika mereka meninggalkannya, mereka tak membiarkan siapapun untuk menemaninya.
Manusia memang mahluk yang seperti itu, dan sampai kapanpun, hal itu tidak akan pernah berubah.
Meski begitu, mereka beruntung karena masih memiliki sebuah kekuatan. Kekuatan yang disebut dengan pengalaman dan cinta.
“..........Yah, aku paham...”
Haruko akhirnya berkata, sambil memejamkan mata dan menghela nafas pendek. Ia sedikitnya mengerti kalau Emi hanya berusaha bersikap baik padanya.
Dengan pengalaman pahit yang terjadi diantara mereka, ia yakin mereka telah belajar sesuatu. Sudah waktunya, untuk merubah ketidakjujuran mereka yang sebelumnya terkubur, berubah menjadi sesuatu yang lebih bersinar dan lebih bercahaya serta penuh cinta, karena sekarang, mereka telah mengetahui keburukan hati satu sama lain. Mereka, sudah jauh lebih dekat dari sebelumnya.
 “Hmmm...”
Haruko bergumam dengan suara pelan, kemudian mengatakan,
“Sebenarnya, aku agak takut padamu, Kawada-san. Hanya sedikit sih...”
Ujar Haruko sambil melipat tangannya di depan dada. Kali ini, gilirannya membuat Emi tersentak kaget.
“Kau takut padaku?”
“Yah...Habisnya, kau itu cantik, pintar, jago masak dan olahraga, kau juga baik dan sangat setia kawan, tak malu ketika harus mengakui sisi burukmu dihadapanku, selalu tersenyum kepada setiap orang, terlebih lagi kau juga ramah dan baik hati--Tunggu, aku sudah mengatakannya tadi...”
“.............Kau tidak harus memujiku seperti itu...”
“Yah, selain itu, kau juga bisa membaca perasaan orang lain dengan sempurna. Hal itu membuatku, yang cukup suka menyimpan semua perasaanku di dalam hati, menjadi sedikit tidak tenang. Ada bagian di dalam diriku yang merasa tidak nyaman berada di dekatmu. Kau itu, memang benar-benar menakutkan, Kawada-san.”
Haruko berkata ke arah Emi, sambil sedikit tersenyum. Melihat itu, Emi tak mengatakan apapun dan hanya menatap ke arah bola mata gadis di sampingnya.
Ia lalu menundukkan kepalanya, walau wajahnya sedikit tertutup oleh rambutnya, namun sekilas senyum dapat terlihat di wajahnya saat ia berkata,
“.........Ya...Kurasa kau benar, Takashi-san. Aku memang orang yang sangat menakutkan.”
Ucapnya pelan.
Sementara itu, Haruko hanya memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung.
“.......Kau mengatakan sesuatu? Kawada-san? Kau--Tidak marah padaku’kan?”
“Tidak, aku tidak marah, kok. Kita’kan sudah janji untuk selalu terbuka akan berbagai hal. Yah...Jika memang ada yang tidak ingin kau katakan, maaf karena aku terus memaksamu untuk mengatakannya.”
Emi sekali lagi memperlihatkan sebuah senyuman hangat saat Haruko berkata padanya. Sepertinya Haruko tak menyadari apa yang baru saja diucapkannya.
“Oh...Tidak, aku tahu maksudmu baik, kau hanya khawatir padaku’kan? Terima kasih, Kawada-san.”
Kata Haruko, yang merasa lega karena ternyata Emi tidak merasa kesal atas ucapannya. Mungkin dia memang benar gadis yang baik.
“Oh, ya, Kawada-sa--“
“Maaf aku baru sempat datang sekarang, Miyashita.”
“Hm?”
Ketika ia ingin melanjutkan perbincangan dengan Emi, Haruko tiba-tiba menghentikan ucapannya ketika ia mendengar suara seseorang yang tidak asing lagi. Jadi, ia segera memalingkan pandangannya ke arah 2 orang yang kini sudah berdiri di dekat Riya. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu.
Emi, yang melihat  Haruko seperti sedang memperhatikan sesuatu, ikut berbalik dan melihat ke arah yang dituju oleh gadis berambut pendek itu.
Di sana ada Riya, bersama dengan 2 gadis lainnya.
“Itu’kan, Fujikawa dan Higashitani dari kelas kita?”
Ujar Emi.
“Oh, tadi aku bertemu mereka di jalan. Katanya mereka mau ke sini, tapi ingin membeli bunga dulu. Ternyata sudah sampai, ya.”
Sambil berkata seperti itu, Haruko langsung berjalan ke arah Riya, Fujikawa dan Higashitani, diikuti oleh Emi di belakang.
Sementara itu, mendengar ucapan Fujikawa, Riya menggeleng pelan dan sedikit tersenyum,
“Tidak apa-apa. Yang penting kalian datang. Aku senang karena masih ada yang peduli. Terima kasih Fujikawa, Higashitani.”
“Bukan masalah.”
“Aku turut berduka cita soal ibumu Miyashita. Ah, dan maaf karena aku tidak sempat menjengukmu saat masih di rumah sakit. Ada beberapa hal yang harus kulakukan di rumah, dan selama itu, orang tuaku tidak mengijinkanku pergi terlalu jauh dari rumah...Kau tahu’kan? Karena pembunuh itu masih berkeliaran di sini? Kau pasti sangat kesepian...[Karena aku pernah kecelakaan dan tak banyak yang datang selain teman-teman baikku...Rasanya mengerikan sekali saat mengetahui kalau kau hanya seorang diri...].”
Higashitani berkata sambil menggaruk rambutnya. Penyesalan jelas nampak di wajah gadis itu.
“Ya, tidak masalah, kok. Lagipula, ada beberapa yang lain yang menjengukku. Jadi aku tidak kesepian. Ah, Fujikawa waktu itu juga datang menengokku’kan?”
Kata Riya, yang langsung ditanggapi oleh Fujikawa dengan anggukkan.
Mendengar itu, Higashitani sedikit menghela nafas lega dan meletakkan tangan di depan dadanya.
“Begitu, ya? Tapi...Aku tetap merasa tidak enak...Seandainya aku bisa datang...”
“Yang penting kalian datang sekarang’kan?”
“Hm? Ah, Takashi dan Kawada rupanya.”
Berbalik ke arah sumber suara, Higashitani mendapati Haruko dan Emi yang telah berada di dekat mereka.
“Oh, ya. Mana--Ahem, m--mana Hasegawa? Apa dia sudah pulang?”
Tanya Higashitani pada Haruko.
“Runa? Ya, dia sudah pulang duluan. Memang ada apa?”
“Tidak ada. Tidak ada apa-apa.”
Ujar Higashitani sambil menggelengkan kepala. Ia kemudian mendekati Emi dengan cepat.
 “Kawada, bagaimana kabarmu?”
Ia berkata, entah kenapa, gadis itu nampak senang ketika bertemu dengan Emi.
“Ya...Aku baik.”
Jawab Emi, sedikit tersipu malu.
“Aku dengar ceritanya dari Takashi, katanya kau yang setiap hari selalu menemani Miyashita dan men-supportnya, ya? Uwooo! Aku terharu sekali ketika mendengarnya, Kawada! Ternyata di dunia yang kejam seperti ini--Masih ada sahabat yang baik hati sepertimu!! [Seandainya kau sudah ada di sini saat kecelakaanku dulu...].”
Langsung menjabat tangan Emi dengan erat, Higashitani yang berambut pendek berkata dengan semangatnya.
Memang benar, apa yang dilakukan oleh Emi adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang sahabat.
“Ti--Tidak sehebat itu...Aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang teman yang baik.”
“Kawada memang baik sekali. Aku juga mau berteman denganmu~”
Kata Higashitani yang membuat Emi tersentak kaget ketika ia menggenggam tangannya. Rasanya permintaan pertemanan itu jadi terasa seperti lamaran...
Memperhatikan itu, Haruko, Riya dan Fujikawa hanya bisa tersenyum.
“Aura yang dimiliki oleh Kawada-san memang sangat kuat...Makanya, Kawada-san bisa sangat populer seperti itu...Bukan hanya dikalangan pria saja...”
Ucap Haruko sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Fujikawa yang berdiri di sampingnya, langsung setuju dan menganggukkan kepala,
“.........Mm...Aku sendiri juga berpikir, kalau Kawada-san adalah teman yang sempurna.”

*DEG*

Tidak ada yang tahu kenapa, atau tepatnya bagian ucapan mana dari perkataan Fujikawa yang membuat Haruko tertegun. Rasanya seperti tiba-tiba seluruh fungsi di tubuhnya tidak berjalan sebagai mana mestinya. Dengan cepat, perasaan aneh itu segera menjalar ke seluruh tubuhnya seperti sebuah virus yang mematikan.
Dan--
“!?”
--Ketika tatapan matanya tak sengaja bertemu dengan mata biru milik Riya--Ekspresi wajah Haruko terlihat semakin tegang, mirip dengan seseorang yang baru saja melihat hantu.
“?”
Tentu saja, melihat sikap Haruko yang aneh, dan tubuhnya yang terlihat gemetar, membuat Riya sedikit khawatir. Namun, sebelum sempat ia menanyakan sesuatu, Haruko, segera berjalan melewatinya,
“Maaf, aku harus pulang.”
“Haruko?”
“Takashi, kau baik-baik saja? Wajahmu pucat?”
Riya dan Higashitani berkata bergantian. Ucapan mereka membuat perhatian Emi dan Fujikawa terarah pada Haruko.
Tanpa mengucapkan apapun, Haruko terdiam di tempatnya. Beberapa saat kemudian, barulah ia berbalik, menghadap ke arah keempat gadis yang lain.
“Kalian tidak apa-apa kalau hanya berempat’kan?”
Ia berkata sambil tersenyum kecil. Ketika melihat itu, Riya langsung merasa ada yang tidak beres dengan senyuman gadis itu. Tapi ia tak mengatakan apapun.
“..........Ya.”
Jawabnya pelan.
Sekali lagi, Haruko tersenyum tipis--
“Kalau begitu aku duluan. Sampai jumpa besok.”
--Kemudian berbalik dan beranjak pergi.
“..............Ya, sampai jumpa besok.”
Meski tahu Haruko tak akan membalas, Riya tetap saja mengatakannya sambil mengangkat sebelah tangannya.
“Takashi-san juga kelihatannya orang yang sangat baik.”
Fujikawa berkata sambil meletakkan sebelah tangannya di pinggang, yang langsung menarik perhatian Riya.
Begitu pula Higashitani yang tersenyum sambil melihat ke arah Haruko pergi.
“Setidaknya, karena itu kau bisa berteman dengannya.”
“?”
Menatap ke arah Higashitani, Riya memperlihatkan ekspresi tidak mengerti. Sementara Higashitani yang sadar kalau Riya terus memperhatikannya, sedikit tertegun sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke atas.
“Setidaknya, itu yang aku tangkap dari kebersamaan kalian. Kulihat kau jarang sekali berbicara dengan siapapun di kelas selain dengan Hasegawa dan juga Takashi?”
“...............Hm?”
“Saat upacara pembukaan juga, aku mengajakmu bergabung di barisan kami, dengan Fujikawa dan yang lainnya.”
“.................Kau...Mengajakku? Kau berbicara padaku?”
“Oh...Ya, kau tidak ingat?”
Higashitani menatap Riya sambil mendekatkan telunjuknya di bibir, terlihat heran akan responnya yang cukup kaget. Apa itu adalah sesuatu yang membuat seseorang bisa sangat terkejut seperti itu?
Sementara itu, Riya masih melihat Higashitani dengan wajah yang seolah berkata ‘Itu tidak mungkin’.
.............Kenapa ia berpikiran kalau itu tidak mungkin?
“.............Bagaimana reaksiku saat itu?”
Riya bertanya, yang membuat Higashitani tersentak.
“Ekh? Kau--Benar-benar tidak ingat, ya? Aku yang pertama kali menyapamu, lho. [Orang anti-sosial memang selalu melupakan orang lain dengan kecepatan 90KM/detik...Aku tidak terkejut lagi...].Aku tak begitu ingat yang kau katakan, kau langsung pergi dan menjauh dari gerombolan siswa baru lainnya.”
“.....................Benarkah?”
Tanya gadis berambut pirang itu dengan nada tidak yakin.
“Iya, benar. Aku tidak melupakannya, tapi aku juga tidak peduli akan hal seperti itu sih. Aku hanya bisa percaya kalau seseorang melakukan sesuatu pasti ada alasannya.”
“.....................”
Menopang dagu, Riya terdiam sejenak. Ia berusaha mengingat-ingat yang terjadi di masa lalu, dan mendapati mungkin memang ada yang seperti itu. 
“.........Ketika kau mengatakannya...Aku rasa itu memang terjadi...Maaf, ya, ingatanku agak buruk.”
“Ya, ya, no problem.”
Ucap Higashitani, mengacungkan ibu jarinya.
“Kalau begitu, ayo kita letakkan bunga ini.”
Higashitani berkata pada Fujikawa. Namun Fujikawa hanya tersenyum dan memberi isyarat dengan tangan agar Higashitani meletakkannya duluan. Melihat itu, ia mengangkat kedua bahunya, kemudian berkata ‘Ya sudah, biar Kawada-san yang menemaniku’, dan pergi sambil menarik tangan Emi yang bahkan belum sempat memberi jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’.
 Bukan berarti Higashitani akan peduli akan hal itu.
“.................”
Fujikawa, lalu melihat ke arah Riya yang nampak sedang memikirkan sesuatu, kemudian mendekatinya,
“Yah, tapi setidaknya, sekarang kulihat kau nampak akrab dengan Takashi-san, Hasegawa-san dan Kawada-san.”
“?”
Kata-kata Fujikawa yang tiba-tiba itu, langsung membangunkan Riya dari lamunannya.
Fujikawa melanjutkan ucapannya,
“Aku tahu semua orang itu baik. Tinggal kita melihatnya dari sudut pandang yang seperti apa. Takashi-san gadis yang baik, begitu juga dengan Hasegawa-san yang ceria dan Kawada-san yang kalem.”
Ia berkata, mengalihkan pandangan ke arah Higashitani bersama Emi.
“Higashitani juga baik. Walau terkadang dia sedikit pendiam dan aneh, tapi cukup menarik, karena semua hal tentang dia itulah aku bisa menjadi temannya. Jujur aku juga bukan orang yang banyak teman. Sebenarnya--Ada sedikit pengalaman yang membuatku sedikit pemilih...Aku tahu itu bukan sesuatu yang baik, tapi--Mau bagaimana lagi...”
Fujikawa berkata dengan senyuman tipis di wajahnya, yang entah kenapa ekspresinya terlihat sedih.
Riya tahu, tak baik menanyakan suatu masalah tentang orang lain yang nampaknya membuatnya merasa sedih, dan merasa buruk. Itu bukan sesuatu yang baik. Namun, ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya.
“.........Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Tanyanya.
“Hanya masalah yang sama yang dialami oleh anak-anak SMA lainnya.”
“Oh...”
Tanpa dijelaskan, ia cukup tahu apa yang dimaksud oleh Fujikawa. Pasti ada hubungannya dengan gadis itu--Itsuki Kanako.
“Tapi tiu tidak penting lagi’kan? Karena sekarang kita sudah memiliki teman yang bisa kita percaya masing-masing. Setidaknya, itu alasan kenapa kau bisa berteman dengannya’kan? Karena kulihat kau tak terlalu banyak memiliki teman, jadi mereka pasti terlihat spesial di matamu, ya?”
“................”
Haruko, Runa dan Emi--Nampak spesial di matanya...?
“...........Ya...Ya, kurasa...Kurasa memang seperti itu...”
“Benar’kan? Punya teman itu memang sesuatu yang bagus.”
“.............Ya...Aku setuju denganmu...”
Ia berkata, namun entah mengapa, kata-katanya terdengar ragu dibagian akhirnya, seolah ada sesuatu yang tidak beres dan mengganggu pikirannnya.
Ia memang tidak pernah berbincang dengan teman sekelas yang lain selain dengan Haruko Runa, mungkin itu yang membuat murid-murid lain menganggapnya gadis yang suka pilih-pilih teman. Bukan hanya itu, sikapnya juga selalu tak bersahabat jika dengan siswa lain.
.......................
Kenapa?
Kenapa sikapnya selalu buruk jika bersama dengan orang lain yang bukan Haruko dan juga Runa?
Apa karena Haruko adalah orang yang pertama kali mengajaknya berbicara saat itu?

“Kamu Miyashita’kan? Kulihat kau tak terlalu memiliki banyak teman.”
“Eh?”
“Kalau kamu tidak masalah, mau’kan, menjadi teman baikku? Teman yang selalu ada untukku?”

Ketika ia tak memiliki seorang pun yang bisa menyebutnya sebagai ‘Seorang sahabat’, Haruko menawarkan semua hal itu. Sedangkan Runa? Karena ia teman masa kecil Haruko,  jadi ia juga harus terjebak bersamanya dan menjadi sahabatnya juga.
...............Tunggu?
Bukankah itu aneh...?
Kalau saja seandainya saat itu, ada orang lain yang menyapanya--Apakah ia juga akan berteman dengan mereka?
.....................
“..............[Tidak, kurasa aku tidak akan melakukan hal itu...].”
Ia mengatakannya. Mengatakan dengan sangat yakin jika seolah ‘Bukan Haruko maupun Runa yang menyapanya hari itu--Ia takkan pernah berteman dengan siapapun sampai saat ini’.
 Kalau diingat-ingat lagi, cukup banyak siswa yang mengajaknya bicara di upacara pembukaan tahun ajaran baru saat itu, sebelum bertemu dengan Haru--

“Ekh? Kau--Benar-benar tidak ingat, ya? Aku yang pertama kali menyapamu, lho.”

Huh?
Tiba-tiba, Riya dibuat tertegun oleh pikirannya sendiri.
Rasanya, ada sesuatu yang salah di sini.

Apa karena Haruko adalah orang yang pertama kali mengajaknya berbicara saat itu?

Benar juga. Ia tidak tahu, tapi kenapa justru baru sekarang ia menyadarinya. Ia selalu terjebak dengan pemikiran itu. Bahkan sekarang, ia tidak tahu darimana pikiran tersebut muncul untuk yang pertama kalinya dalam kepalanya?
Haruko tidak menjadi orang pertama yang menyapanya saat itu? Bahkan jauh sebelum ia bertatap muka dengan gadis itu, sudah ada beberapa murid yang mendekatinya...
Seolah-olah ingatannya mulai tersusun satu per satu, wajah beberapa gadis yang tak asing muncul.  Beberapa gadis yang kini satu kelas dengannya, atau gadis dari kelas lain yang ia lihat di upacara pembukaan, mengajaknya untuk bergabung dengan mereka di satu barisan yang sama. Apa jawabannya waktu itu--

“Aku tidak mau.”

Mereka adalah Higashitani dan Fujikawa yang sekarang berada di satu kelas yang sama dengannya, lalu Tanabe dan Yorui serta Tamura yang sekarang ada di kelas sebelah.
Menolak dengan tegas.
Mengapa?
Kenapa ia tak berteman dengan mereka? Kenapa ia justru memasang wajah yang seolah mengusir mereka? Kenapa--Sikap yang ia perlihatkan begitu berbeda terhadap Haruko dan Runa?.......Lupakan Runa, kenapa sikapnya begitu lunak saat Haruko mengatakan semua ucapannya?
Kenapa ia setuju? Bagaimana dengan anak-anak yang lain?
Apa yang sebenarnya diinginkan saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di halaman SMA itu? Kehidupan SMA yang baik? Penuh warna? Teman? Jika memang itu yang dia inginkan, jika memang yang ia inginkan hanyalah seseorang yang bisa ia sebut ‘Sahabat’--Kenapa ia membuat mereka semua menyingkir?
.................
“..............[Benar...Sekarang ketika melihat ke awalnya lagi--Kenapa aku sangat dingin dan benci pada mereka, ya? Padahal mereka sangat bersahabat dan tak berbuat salah padaku--Kenapa aku justru--.............].”

“Takashi-san juga kelihatannya orang yang sangat baik.”

Apa itu karena Haruko terlihat baik?
Apa karena ia bisa melihat kebaikan di mata gadis itu, sedangkan di mata yang lainnya--Yang ia lihat hanya kepalsuan?
............
Tidak. Ia tidak tahu kenapa ia bisa merasa seyakin itu, tapi bukan itu yang menjadi masalahnya. Semuanya nampak baik pada hari itu. Ia bisa melihat mata-mata mereka yang bersahabat menatap ke arahnya. Haruko hanyalah satu diantara puluhan orang yang terlihat baik lainnya.
Lagipula, itu adalah hari pertamanya di SMA. Ia tak mengenal satu orang pun, dan tidak mungkin ia bisa seenaknya memberikan label ‘Orang ini baik’ dan ‘Orang ini tidak baik’.
Jadi, semua itu tidak akan berhasil seandainya bukan Haruko yang mengajaknya berteman?
Sekali lagi, pertanyaan itu muncul,
Kenapa?
................
Ia baru menyadari, bahwa ternyata hal itu sangat tidak wajar dan mengganggu pikirannya. Sebelumnya, ia tak pernah memikirkan jauh sampai ke arah sini. Kalaupun pernah, ia sama sekali menghiraukannya dan tak menganggap semua itu penting. ‘Aku hanya ingin berteman dengan Haruko’, selalu itu yang ia tahu.
Ia seolah melupakan hal baik tentang siswa-siswa lain yang sebenarnya mau berteman dengannya, seolah kebaikan itu hanyalah seperti tulisan di papan tulis yang menggunakan kapur, sehingga dapat dengan mudah terhapus.
Lalu yang tersisa hanyalah debu--Hanyalah sisa-sisa kebenciannya karena mereka semua menjauhinya.
Ia tak pernah memikirkan semua ini--Sampai kasus ini terjadi. Sejak awal, kenapa ia membenci semuanya seperti itu? Siapa yang menjadi penyebab mereka membencinya seperti itu?
Karena ia tak pandai bersahabat? Atau karena dia sebenarnya secara tak sadar, suka memilih-milih orang untuk menjadi sahabatnya?
Selama ini yang ada dipikirannya hanyalah Haruko, sebagai satu-satunya gadis yang mau berteman dengannya. Tapi itu juga salah--!
Ketika ia mulai menyatukan semua bagian-bagian yang seperti sebuah puzzle yang rumit ini--Ia sama sekali tak menemukan sebuah bentuk tertentu. Satu, atau beberapa bagian puzzle itu hilang.
.............
Lho...?
Tunggu sebentar...
Sebenarnya--
“Dan, hey. Kau nampak berubah sekarang!”
“Ah!”
Riya sedikit berteriak dan hampir saja jatuh ke depan, saat Fujikawa tiba-tiba berbicara sesuatu dan menepuk pundaknya dengan cukup keras.
Untung saja ia bisa segera menjaga keseimbangan tubuhnya, kalau tidak, ia pasti akan terjatuh ke atas lantai sambil melakukan forward roll.
Fujikawa melanjutkan perkataannya, yang sebelumnya tidak terlalu tertangkap oleh Riya,
“Aku baru saja sadar, kalau aku telah berbincang dengan Miyashita yang seperti itu!”
“........Apa maksudnya dengan ‘Miyashita yang seperti itu’?”        
Tanyanya dengan penuh curiga.
“Hm? Seperti itu, ya? Seperti itu!”
“Setidaknya, jelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan ‘itu’, sehingga aku bisa tahu harus memasang reaksi senang atau tidak!”
“Aku tidak tahu. Hanya setiap kali menyebutmu, semua selalu berkata ‘Eh, dia’kan Miyashita yang itu’, atau ‘Dengan Miyashita yang itu?!’, atau ‘Harus satu kelompok dengan Miyashita yang itu?’.”
“Aku tidak tahu panggilan kehormatan seperti apa yang kalian berikan padaku, tapi tolong berhenti menyebutku ‘Miyashita yang itu’. Kalian pikir, ada berapa banyak Miyashita di dunia ini?”
Ujar Riya, yang langsung membuat Fujikawa sedikit tertawa. Tentu, Riya kembali dibuat bingung dengan sikapnya yang aneh.
“Ada apa? Kenapa kau tertawa seperti itu?”
Ia bertanya dengan nada bicara yang terdengar monoton.
Sementara Fujikawa, masih berusaha menghapus air mata di sudut matanya, menjawab pertanyaan singkat Riya.
“Kau nampak berbeda dari yang orang katakan selama ini. Menurutku, kau cukup bersahabat dan aku berani bertaruh, kalau ini berkat Takashi-san dan yang lainnya. Kelihatannya kau orang yang menyenangkan. Aku harap aku bisa tahu hal ini lebih cepat.”
“Aku bukan--“
“Dan,”
“?”
“Seandainya di dunia ini banyak orang baik seperti Takashi-san, Kawada-san dan Hasegawa-san, aku yakin... Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk terjadi.”
Fujikawa berkata, memperlihatkan sekilas senyuman di wajahnya. Ia memandang ke atas, seolah sedang memandang ke arah langit biru.
“.........Sesuatu yang buruk?”
“Ah, aku hanya bicara dengan diriku sendiri. Kalau begitu, aku ingin meletakkan bunga ini dulu. Sampai jumpa, Miyashita. Semoga kita bisa cepat berbincang lagi.”
Melambaikan tangan ke arah Riya, Fujikawa berkata lalu berbalik dan berjalan ke arah Higashitani dan Emi yang masih berdoa.

Malam hari telah datang pada waktu itu.
Semua orang sudah tak nampak lagi di ruangan kecil yang cukup sederhana itu. Yang tersisa hanyalah sebuah altar kecil dengan bunga-bunga berwarna putih, serta foto seorang wanita paruh baya yang nampak sedang tersenyum.
Itu adalah salah satu foto terbaiknya.
“.............”
Sekarang, hanya Riya satu-satunya yang masih tinggal di ruangan ini. Dengan perlahan, ia menyapu lantai yang terlihat sedikit kotor itu, kemudian meletakkan barang-barang yang mungkin tidak sengaja tersenggol oleh orang lain.
Meski rumah ini sekarang sudah tidak menjadi tempat yang ia tinggali lagi, tetap saja ini adalah rumah kenangan antara dia dan ibunya. Dia memutuskan untuk tidak meninggalkannya sampai ia membereskan beberapa hal.

Seusai berpisah dengan Higashitani dan Fujikawa, tak terasa hari sudah menjelang sore. Mereka membicarakan banyak hal yang sebelumnya belum pernah mereka bincangkan sebelumnya. Ia juga sedikit merasa, berbicara dengan orang selain Haruko dan juga Runa ternyata cukup menyenangkan.
Tapi ia tetap berharap kalau seandainya kedua gadis itu masih ada di sini, mereka pasti bisa saling berbicara dalam kelompok yang lebih besar lagi.
Walau ia tidak tahu apa ini benar atau tidak, tapi ia sedikit merasa, semenjak adanya kasus ini, perlahan-lahan dirinya mulai berubah. Banyak hal yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan, banyak hal yang sebelumnya tak pernah ia anggap penting, banyak hal yang sebelumnya tak ia lihat, menjadi  semakin jelas.
Berpikiran seperti itu--Membuatnya merasa takut akan dirinya sendiri. Mengatakan bahwa kasus ini adalah sesuatu yang baik--Itu saja sudah terasa salah.
‘Mungkin ibumu ingin kau melihat dunia ini dnegan cara yang berbeda. Karena itu kau merasakannya, hal-hal yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Tanpa kau sadari, kehilangan ini telah membawa perubahan besar dalam hidupmu.’,
Itu yang dikatakan oleh Higashitani, sebelum gadis itu memutuskan untuk pulang bersama Fujikawa. Mereka gadis yang baik, dan ia baru saja menyadari itu sekarang. Kalau saja seandainya waktu itu ia tak menatap mereka dengan ekspresi yang kelihatan marah--Mungkin mereka sudah menjadi teman dekat saat ini.
Jam-jam berikutnya, dilaluinya bersama dengan Emi. Sekarang gadis berambut panjang itu sudah pulang ke rumahnya. Sebenarnya, ia ingin menemani Riya lebih lama . Karena tak ingin merepotkannya terlalu banyak, lagipula banyak yang sudah diberikan oleh Emi padanya, ia menyuruhnya untuk pulang duluan saja.
Seharian ini, Emi sudah menemaninya. Terlihat sekali wajahnya yang sudah kelelahan.

“..........”
Tanpa mengatakan apapun, atau bahkan kata-kata yang biasanya diucapkan di saat seperti ini, misalnya  ‘Akhirnya selesai’, atau apapun, iya meletakkan sapunya di luar rumah, kemudian kembali masuk.
Untuk sesaat, ia hanya berdiri di sana tanpa suatu tindakan yang berarti. Matanya menatap ke arah rumah yang sebentar lagi akan kosong ini, seolah baru pertama kali ia masuk ke dalamnya. Setelah berdiam diri cukup lama, ia akhirnya mulai melangkah perlahan masuk lebih jauh lagi ke dalam ruangan, dan sesekali menyentuhkan jarinya di perabotan-perabotan yang ada di sana. Mengenang kembali setiap kenangan dan ingatan yang terbentuk.
“....................”
Sampai akhirnya, ia berdiri di depan altar tempat foto ibunya terpajang.

“Kau putriku. Dan aku sangat mengenalmu dibanding seluruh orang yang kau kenal di dunia ini. Dan aku tahu, tak peduli seberapa rendahnya nilaimu, Tak peduli apakah kau orang yang malas berusaha dalam hal apapun, tak peduli seberapa seringnya kau membantah nasihatku dan membuatku merasa sangat kesal, tak peduli akan pandanganmu yang membosankan tentang dunia--Aku tahu, kau baik, dan tidak mungkin melukai orang lain sampai seperti itu!

Matanya tak berhenti menatap ke arah wajah tersenyum cerah ibunya. Ia tak ingat kapan terakhir kali melihat ibunya tersenyum sejak saat itu, tepat sebelum ibunya tewas.

“Jika semua orang berkata jelek tentang dirimu, ibu akan berdiri di sana untuk melindungimu! Jika Runa maupun Haruko meninggalkanmu, ibu akan tetap ada di sini dan bersamamu!!!”

Kalau saja seandainya saat itu ia marah dan segera naik ke kamar, kemudian ibunya akan berteriak kesal sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan keras--Apakah kejadian itu tidak akan terjadi?
“Tidak, tidak. Aku tidak ingin memikirkan hal itu saat ini.”
Riya berkata pada dirinya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Semua ini telah terjadi. Tidak ada gunanya untuk menyesali hal yang belum pasti akan terjadi. Sekarang, ia hanya bisa percaya kalau hal lain tidak akan menjadi lebih buruk daripada ini.
 Itu, pasti adalah satu hal yang diinginkan oleh ibunya untuk dilakukannya. Jangan sampai kejadian ini menghambat jalannya menuju masa depan. Jangan sampai kejadian ini membuatnya terjatuh dan tak dapat bangkit kembali.

“Dan jika semua orang di seluruh dunia ini berbalik memusuhimu, maka ibu akan menjadikan mereka semua sebagai musuhku juga!”

 “...............”
Ketika berpikiran seperti itu, air mata yang telah mengering itu, kembali menetes.
Sekali lagi, kata-kata ibunya yang terdengar kuat itu kembali terngiang di telinganya, seolah benar-benar ibunya sendiri yang mengatakannya saat ini, dan bukan hanya khayalan belaka.

“--Kau tidak perlu merasa khawatir lagi. Setidaknya, sudah ada 3 orang yang akan berdiri untukmu, dan untuk selamanya bagi mereka, kau tetaplah orang yang sama, Miyashita Riya yang sama dan tidak berubah. Kau, bukan seperti yang orang-orang itu katakan padamu!”

Namun dengan cepat, Riya segera menghapusnya. Ia tak ingin nampak buruk dan menyedihkan untuk yang kedua kalinya di hadapan ibunya. Cukup hanya sekali itu saja, saat ia memeluk ibunya dengan erat dan menangis seperti anak kecil, cukup saat itu saja ia membuat ibunya khawatir. Ia ingin berubah. Ia memutuskan untuk tidak menangis.

“Jadi setelah ini--Apapun yang terjadi, atau luka seperti apa yang akan kau dapatkan dalam hidup ini, kau tidak akan menangis dan meneteskan air mata seperti hari ini lagi.”

Ia telah membuat janji. Apapun yang terjadi, penderitaan seperti apa yang ia alami, ia takkan meneteskan air mata kesedihan lagi.

“........Karena aku percaya, kalau kau tidak mungkin melakukan hal seperti itu...”

Untuk ibunya yang percaya bahwa dia tak melakukan perbuatan itu--Apapun yang terjadi, ia percaya padanya. Dan sekarang waktunya dia untuk menunjukkan kebenaran, mencari kebenaran dan mengungkap kebohongan yang selama ini terus terselimuti oleh kegelapan, ia takkan berhenti sebelum menemukannya. Ia takkan berhenti sebelum semua ini berakhir.
Untuk itulah ia masih hidup di dunia ini. Pasti itu yang Tuhan ingin dia lakukan.
Maka, menghela nafas agak panjang, Riya lalu menyentuh foto ibunya dengan lembut, kemudian mengatakan,
“..........Aku janji. Aku akan menemukan siapa pelakunya. Aku akan menghentikannya. Supaya tidak ada yang terbunuh lagi.”
Ucapnya, dengan penuh keyakinan.
Untuk beberapa saat, pandangannya tak lepas dari foto ibunya, baru kemudian, ia berbalik, berjalan keluar dari rumah. ketika ia sampai di depan pintu, ia terdiam sambil menyentuh dinding di sisinya.
“.............”
Mungkin inilah, saat yang tepat untuk mengucapkan salam perpisahan.
“...................”
.........................................
“........Tidak. Aku tidak akan mengatakannya.”
Sambil memperlihatkan sebuah senyuman tipis, ia mengatakannya. Ia kemudian berbalik, mengalihkan pandangannya ke arah foto ibunya terpajang, dan,
“Ayo, kita bertemu lagi di lain waktu, di suatu tempat di sana.”

“[Sampai saat itu, aku akan merindukanmu. Sampai saat itu, aku akan selalu mengenangmu. Mengenang setiap kata-kata dan ucapanmu waktu itu--Agar aku selalu kuat dalam menjalani hidup ini. Walau tak terlihat, tapi aku tahu kau sedang menggenggam tanganku, dan melangkah bersamaku].”

“Aku sayang padamu.”
Ia berkata, tersenyum lebar, kemudian menekan tombol lampu di rumah itu sehingga nampak gelap. Lalu dengan perlahan, menutup pintu sebelum melangkah keluar.
Bagaimanapun juga, ia sudah terlibat. Dan apapun yang terjadi selanjutnya, tidak akan bisa menghalangi langkahnya menuju tempat yang ada cahayanya, dan menggenggam butiran cahaya itu dengan tangannya sendiri.

“Huh?”
Saat ia akan membuka pintu rumah keluarga Kawada, Riya tiba-tiba merasa ada seseorang yang mengikutinya.
Rasanya, ada yang melihat ke arahnya.
“................”

“Miyashita!!”

*DEG*

Tanpa ia inginkan, bayangan Mochida yang biasanya selalu berlari ke arahnya sambil meneriakkan namanya, terbayang di pikirannya. Ini adalah hal yang sangat jarang terjadi--Dan langsung membuat wajahnya merona merah.
“.......Tidak ada apa-apa.”
Katanya, memastikan sekali lagi area di sekelilingnya. Setelah yakin, tak ada tanda-tanda orang lain, ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah.
“...............”
Dan tanpa ia ketahui, sesosok pemuda berambut kecoklatan muncul dari balik pagar rumah keluarga Kawada.
“Miyashita...”
***-***

A/N : Halo, minna XDD Fujiwara Hatsune di sini!
HTMF Chapter 12! Ternyata masih panjang juga nih ceritanya. Rencana awalnya sih mau satu buku aja, tapi ternyata kepanjangan. Bahkan mungkin lebih dari 2. Ini aja kalau jadi, Vol.3 udah mau dibuat.
Di chapter kali ini, diawali tentang Riya dan ibunya...
 Hatsui : Dan akhirnya, Miyashita tinggal di rumahnya Kawada juga, ya? Cerita kali ini episode tentang pemakaman ibunya Miyashita. Kasihan, masih 15 tahun udah harus tinggal sendirian. Btw, ayahnya ke mana nih?
Ayahnya udah meninggal. Jadi ibunya cuma sendirian aja membesarkan Riya.  Meski gitu, hubungan keduanya ngga terlalu deket sih, karena Riya-nya yang males dan agak aneh, sedangkan ibunya selalu ceramah. Nggak ada’kan ortu yang suka kalau punya anak males yang ngga rajin dan suka ngelawan kalau di kasih tau? Walau begitu, Riya juga pasti sayang ibunya dan merasa kehilangan.
Hatsui : Hm, hm, nah, terus waktu di pemakamannya kan ada 3 orang yang lagi ngobrol tuh, emang itu penting, ya? perasaan itu ngga ada hubungannya sama cerita ini, napa ditulis juga? Kisah cintanya si orang itu yang dulu pernah dibully?
Emang ngga ada. Tapi itu adalah kelanjutan dari ceritasalah satu ceritaku, ketika si cowok dan ceweknya itu dah menikah. Mereka juga tinggal di kota ini.
Hatsui : Ho ho, bisa itu juga, ya? Tapi yang menjadi pertanyaanku di sini, adalah--Kenapa Takashi, Hasegawa dan Miyashita sudah berbaikkan!!? Hoi! Hoi! Tidakkah kau terlalu banyak menghilangkan detail di sini, Hatsune-san!? Sejak kapan mereka berteman kembali, dan saling menerima seperti itu!!!?
Ada ceritanya kok. Ch selanjutnya ada ceritanya. Dan ada bagian yang mengejutkannya juga lho!
Hatsui : Oh ya!? Apa itu ada hubungannya dengan seseorang yang ditunggu sama Miyashita? Pasti Mochida’kan?! Apa ada alasan kenapa Mochida ngga dateng?
Mungkin. Tapi Mochida tetap memperhatikan Riya’kan?
Hatsui : Iya sih, di bag. akhirnya dia dateng...
Fujikawa dan Higashitani. 2 chara baru yang muncul. Kelihatannya baik, aku suka mereka berdua.
Hatsui : Fujikawa ini--Yang waktu itu maafin Itsuki’kan? Terus, Higashitani itu?
Dia temannya Fujikawa juga. Higashitani sangat menganggumi Emi karena sepertinya dia sahabat yang baik. sampai terlihat ingin melamarnya lol XDDD
Hatsui : Tapi, aku ada satu pertanyaan untuk chapter ini. Si Takashi itu...Kok tiba-tiba dia jadi aneh?
Itu hanya perasaanmu saja.
Hatsui : Tidak. Dia memang jadi aneh. Apalagi waktu kata-kata teman sempurna keluar dari mulutnya Fujikawa.
Tidak, Itu cuma perasaanmu saja. Kalau begitu, sampai jumpa di ch selanjutnya!
Sankyuu!!

Author,
Fujiwara Hatsune
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar