Chapter 10 Aku Melihat Seseorang Yang
Seharusnya Tak Ada Di Sana
5 hari yang
lalu, SMA -XXX-...
“Haah...Kenapa
kita yang disuruh mengangkut semua barang-barang olahraga ini pada
akhirnya...?”
Aku, berbicara
dengan nada kesal sambil membawa sekeranjang penuh dengan bola-bola basket.
Sedikit berat, tapi karena aku termasuk siswi yang sangat pandai dalam hal
olahraga, kurasa kemampuan fisikku sedikit jauh di atas anak perempuan lain
pada umumnya. Meski begitu, aku melakukan semua ini bukan karena suka atau
apapun.
Mungkin lebih
bisa dibilang kalau aku terpaksa.
“Mnn...Mungkin
karena sensei menyukai kita?”
Sambil berjalan
di sampingku dengan riangnya seolah yang ia lakukan bukanlah sebuah pekerjaan
menyebalkan dan membawa bola-bola voli, Eiko, berbicara padaku dengan nada
sedikit bercanda.
Saat ini, kami
sedang membereskan barang-barang yang digunakan oleh klub olahraga. Entah apa
yang terjadi sehingga kami, murid paling berbakat dalam klub tersebut di suruh
untuk membereskan semuanya.
Karena biasanya
yang melakukan semua ini, membereskan perlengkapan, mengembalikan gawang ke
tempatnya, adalah tugas untuk anak-anak baru. Atau setidaknya, untuk anak yang
biasanya hanya menonton tanpa menyentuh bola sedikit pun.
“Hee--!!? Tidak
mungkin?! Suka itu maksudnya--Aku dan sensei--!!?”
Aku langsung
menoleh ke arah Eiko dengan wajah merah yang tak dapat kusembunyikan lagi. Aku
sedikit melirik ke atas, karena tubuh gadis itu sangat tinggi, bahkan mungkin
lebih tinggi dari beberaoa murid laki-laki di kelas kami. Aku hanya setinggi
bahunya saja, terkadang, hal itu membuatku malas untuk menatapnya.
Rambut Eiko juga
cukup pendek sebahu dengan warna biru tua, hingga membuatnya mirip dengan anak
laki-laki, sangat sesuai dengan hobinya bermain basket. Sedangkan aku, meski
rambut pirangku lebih pendek dari Eiko, tapi tubuhku juga cukup pendek. Jika
aku dilahirkan sebagai laki-laki, kurasa aku akan menjadi ‘shota’.
“Hua ha ha!! Kau
dan sensei--!? Ha ha ha!! Maksudmu itu...Adalah ‘itu’, Kyouko!!?”
“Ah! Jadi bukan
itu maksudnya!!?”
Aku langsung
terkejut seperti sedang diserang menggunakan stunt gun. Benar-benar terkejut
sampai keranjang berisi sekitar 5 bola basket yang kubawa bergoyang-goyang dan
seolah-olah bola basket itu akan berjatuhan di lantai.
Mendengar
reaksi-ku, Eiko tak bisa menahan dirinya untuk tertawa dengan sangat keras.
Dengan wajah merah dan muka panik yang tergambar dengan teramat sangat jelas di
wajahku ini, ia pasti mengira aku sedang membayang sesuatu yang kotor terjadi
diantara aku dan sensei.
Dan aku sudah
berusaha keras untuk membuka mulut dan mengatakan ‘Bukan itu yang aku
pikir’kan!’.
Tapi pada
kenyataannya, begitu kata ‘suka’ itu mendarat di telingaku, pikiranku tak bisa
memikirkan hal lain selain ‘itu’. Itu membuatku benar-benar sangat malu dan
merasa rendah.
Sekali lagi,
Eiko berbicara padaku.
“Ya ampun!
Maksudku dengan ‘suka’ itu adalah--ubh! K--Kita sebagai murid favoritnya--ha
ha, makanya sensei mempercayakan tugas ini untuk kita, ha ha ha!! Pikiranmu
sangat sempit sekali, Kyouko! Hanya bilang ‘suka’, mengarahnya malah ke sana!
Aku tak benar-benar mengira wajahmu akan merah seperti buah stoberi begitu-ha
ha!!”
Ia berbicara
dengan sesekali tertawa. Aku tahu ia bermaksud untuk menjaga perasaanku dan
berhenti tertawa. Tapi aku tahu, kalau dia berjuang sangat keras untuk
menahannya.
“Mnn...Kalau mau
tertawa, tertawa saja!”
Aku meliriknya
dengan tatapan sinis dan muka sebal yang mungkin akan sangat cocok untuk
karakter tsundere.
Ia menatapku
sesaat, lalu kembali tertawa lagi. Berhenti membuatku malu. Tolong.
“Mungkin kau
harus memperluas kosakatamu. Karena ‘suka’ itu tidak sama dengan ‘s*x.”
Ucap Eiko
tiba-tiba yang sekali lagi membuatku tertegun. Akh...Aku...Aku sama sekali
tidak bisa menahan diriku untuk tak memikirkannya lagi...Aku sungguh
memalukan...dan sungguh terasa sangat tragis ketika aku mengatakannya kepada
diriku sendiri...
“Memperluas
kosakata? Ide bagus, aku akan membeli sebuah kamus bahasa, jadi aku bisa
melihat di sana arti dari kata ‘FU*K, dan mengucapkannya dengan menggunakan
pengeras suara tepat di depan telingamu itu!”
Jujur saja, jari
tengahku sudah tidak sabar lagi untuk menyembul keluar.
“Hee...Suaramu
sudah sangat keras sekali...Setidaknya, tolong ralat bagian ‘Dengan menggunakan
pengeras suara’.”
Eiko berkata
dengan wajah memelas yang dibuat-buat.
“Oh, begitu?
Baik, biar kuralat. Bukan ‘Dengan menggunakan pengeras suara’, melainkan
‘Dengan 3 pengeras suara’.”
Aku mengatakan
ini tanpa menatap ke arahnya, berusaha dengan nada sedingin mungkin. Meski
begitu, aku tahu kalau saat ini ia sedang membuat senyuman bodoh yang berarti
‘Aduh’, sambil sedikit tertawa.
Ya, dia memang
orang seperti itu. Kelihatan di mata murid-murid lain, kami adalah 2 siswi yang
mungkin menurut mereka, sok berkuasa di sekolah ini. Mungkin kami kelihatan
sangat tidak ramah kepada orang-orang rendah itu, dan tak jarang mereka
menganggap kami menakutkan dan suka mengintimidasi.
Tapi jika
berdua, dan bertiga dengan Itsuki-san, kami terlihat seperti remaja normal yang
sedang asyik-asyiknya menikmati masa-masa remaja kami. Dan kami terlihat normal
seperti kebanyakan remaja lain menghabiskan waktu dengan teman-teman mereka.
Aku, Eiko dan
Itsuki-san adalah salah satu dari remaja-remaja berusia 15 tahunan itu.
“Lagipula,
Kyouko,”
“Hm.”
“Sensei menyuruh
kita membereskan ini sebagai hukuman karena kita terlambat 30 menit’kan? Jangan
bilang kau lupa dengan itu.”
Tambahnya yang
langsung kutanggapi dengan,
“Iya sih, aku
tahu itu. Tapi kita hanya telat 30 menit, dan itu satu jam lebih cepat dari
biasanya kita datang.”
“Ehe he...”
Alasanku
memasang wajah kesal seperti itu bukan tanpa alasan. Biasanya kami selalu menghabiskan
waktu bersama dengan Itsuki-san terlebih dahulu. Itsuki-san adalah pemimpin di
kelompok kami, dan kami adalah teman kepercayaannya. Karena itu kami selalu
mengikutinya kemanapun kami pergi, mengusili murid lain yang nampak bodoh di
mata kami, menganggu mereka bahkan sesekali memeras uang mereka.
“Sensei harusnya
memuji kita dengan ‘Aih, kalian ternyata sudah berubah. Dari terlambat satu
setengah jam menjadi hanya terlambat 30 menit’.”
Kataku.
“Jika aku jadi
sensei, aku akan memberikan penghargaan untuk kita berdua!”
Eiko berkata,
yang aku tahu, dia pasti bercanda lagi.
Memeras murid
lain, ya? Itu perbuatan yang buruk. Bahkan aku yang paling keras menertawakan
korban-korban kami yang manis dan tak berdosa itu, berpikiran seperti itu.
Sadar akan dosa yang kami perbuat. Mau bagaimana lagi, kami hanya manusia biasa
yang masih memiliki hati. Setidaknya seperempat kali lebih kecil dari manusia
biasa.
Namun di
hari-hari biasa yang membosankan dan tidak ada hal menarik yang bisa dilakukan
dan terjadi, aku selalu berharap setidaknya ‘ada sesuatu’ di dunia ini yang
‘berbeda’ dan bukan hal ‘normal’ yang biasanya bisa terjadi pada semua orang.
Aku sudah cukup
muak dan lelah dengan semua itu. Bangun tidur, pergi ke sekolah, belajar,
bersikap baik pada siapapun, tersenyum ramah pada semuanya, dan hal-hal biasa
lainnya. Itu semua, sama sekali tidak menarik buatku.
Harus kuakui,
menganggu dan mendengar mereka memohon-mohon untuk dilepaskan sudah seperti
musik yang indah bagi hari-hariku. Rasanya seperti ketika orang mengisap rokok
atau ganja, tidak bisa lepas sehari saja dari itu.
Dan entah sejak
kapan, semua itu menjadi perangsang kepuasaan yang memperkaya hari-hariku.
“Hey, hey,”
Eiko berkata
sambil menyenggol-nyenggol tubuhku dengan sikunya.
“Hm...”
Aku mulai kehilangan
minat akan arah percakapan ini selanjutnya. Jadi aku hanya mengatakan sesuatu
yang pelan sambil membuang muka.
“Jadi--“
“?”
Nada bicara Eiko
terdengar sedikit aneh, dan aku tak bisa menahan diri untuk tak menoleh ke
arahnya, menunggu apa yang akan ia ucapkan selanjutnya.
“Siapa yang di
‘atas’? Kau atau ‘sensei’!? Ha ha!!”
“E--Eiko!! Kalau
mau tertawa, tertawa saja!! Apapun boleh kau lakukan asalkan bukan membicarakan
masalah itu!!”
Ah...Aku sudah
tidak tahu aku harus menyembunyikan rasa maluku ini di mana...Aku benar-benar
menyesal telah menoleh dan menunggu apa yang akan ia katakan. Kenapa aku tidak
menyuruhnya tutup mulut saja? Karena sekarang bola-bola basket itu benar-benar
menggelinding ke atas lantai bersamaan ketika keranjang yang aku bawa jatuh.
“Ugh...Cepat
letakkan bola-bola voli itu, dan bantu aku memunguti bola basket yang jatuh
karena salahmu itu!”
Ujarku, mulai
membungkuk dan mengambil bola-bola basket dan memasukkannya ke keranjang.
“Loh, kenapa
jadi salahku? Hi hi, ini sih, sudah pasti karena fantasy Kyouko yang terlalu
luas! Padahal maksudku di atas itu adalah, ‘skor basket-mu atau skor sensei
yang di atas skor-ku’!”
“Jangan
bercanda! Aku yakin itu alasan yang baru saja kau buat’kan!?”
“Meh, ketahuan
cepat, ya?”
“Tentu saja!
Jadi, sekarang cepat punguti bola-bola itu supaya kita bisa pulang!”
Apapun yang
terjadi--Aku harus mengubah alur percakapan kami secepatnya atau selanjutnya ia
akan menanyakan tentang warna pakaian dalam yang aku kenakan dan seberapa besar
‘bola’ milik sensei yang ada di pikiranku!
Maka sambil
memungut bola dan berjalan lebih cepat lagi menuju ke dapur, aku membicarakan
tentang rencana karaoke esok hari dan menghindari segala topik yang akan
mengarah ke s*x.
“Dan,”
“.............”
“Ketika menurut
Kyouko, suka itu sama dengan s*x, apa itu berarti, jika aku berkata sesuatu
seperti ‘Aku suka apel’, apa itu juga bisa berarti aku ingin melakukan s*x
dengan buah apel?”
“Sampai kapan
kau akan membahas masalah suka dan s*x itu!!?”
Jadi--Rencana
pengalihanku sama sekali tidak berhasil di sini!!
Sial, apa anak
ini sama sekali tidak punya bahan pembicaraan lain selain sesuatu yang berbau ecchi? Dan s*x dengan buah apel? Aku
bahkan sama sekali tidak tahu harus membayangkannya dari mana!
Saat aku
berteriak kesal seperti itu, ia mengatakan karena aku terlalu banyak menonton
Highschool DxD atau apapun itu, garis batas antara ‘suka’ dengan s*x’, menjadi
buram di kepalaku dan sangat tidak jelas.
Jujur, aku
bahkan tidak tahu apa itu Highschool DxD...Apa itu adalah sebuah anime horor
baru? Di mana kalian membuat perkalian antara huruf D dan D? Karena jika memang
benar, aku yakin hasilnya pasti ‘B’ besar [Kalau kalian tidak percaya, silahkan
tumpuk 2 huruf D besar].
“Yosh! Sudah
selesai. Kurasa sekarang kita bisa pulang.”
“Mhmm. lain kali
kita harus berusaha datang tepat waktu supaya sensei tak menghukum kita. Meski
hanya mengangkat beberapa barang ini, kita sudah cukup lelah...Terutama lagi
karena kita adalah perempuan.”
Kata Eiko,
merentangkan kedua tangannya ke atas.
“Itu semua tergantung
Itsuki-san.”
Aku berkata,
sambil menepuk-nepuk kedua tanganku untuk membersihkan debu yang menempel.
Setelah membawa
bola-bola itu ke dalam gudang, kami masih harus membawa beberapa barang-barang
lainnya lagi sebelum akhirnya, 10 kali bolak-balik berakhir dengan penuhnya
ruang gudang.
“Haah...Capeknya...”
Aku menyeka
keringatku, kemudian secara tak sengaja melemparkan pandangan ke arah lorong
sekolah. Benar-benar tak terasa, kalau hari sudah cukup malam. Bintang-bintang
mulai terlihat dan langit sudah benar-benar menjadi gelap.
“.....................”
Melihat lorong
koridor yang gelap itu, entah mengapa pikiranku terbawa ke salah satu film
horor yang pernah aku tonton. Tiba-tiba saja jantungku berdebar semakin kencang
dan keringat dingin mulai menetes dengan pelan. Rasanya keinginan untuk pulang
sirna seketika. Aku tidak mau, jika harus melalui koridor yang gelap itu.
Seandainya ada
jalan lain, aku pasti akan memilih jalan lain. Sayangnya, kita tidak punya
pilihan lain selain masuk dan menyatu dengan kegelapan. Apalagi, entah ini
hanya aku yang merasa ketakutan atau apa--Seseorang ada di sana, di sesuatu
tempat di ujung koridor yang seperti menjadi tempat berkumpulnya kegelapan
malam.
“.................”
Sepertinya, Eiko
menyadari keanehan pada sikapku yang terus-terusan melihat ke arah koridor
gelap, dengan wajah sedikit aneh, karena ia langsung mengatakan,
“Hee...Aneh, ya?”
“Hm?”
Dari tadi aku
sibuk melihat ke arah koridor, sampai aku sedikit tertegun dengan ucapannya
yang tiba-tiba karena sebelumnya terbiasa dengan keheningan dan pikiran-pikiran
diriku sendiri, aku melihat ke arah Eiko yang kini menjatuhkan pandangan ke
arah koridor dengan tangan seperti membuat pose hormat.
“Apanya yang
aneh?”
Walau aku
pribadi merasa ada yang aneh, tapi aku ingin berhenti menakuti diriku sendiri
dan tak mengatakan apapun, sampai Eiko berkata,
“Mnn...Jujur,
sejak tadi, sekitar ketika kita melewati koridor ini yang ketujuh kalinya, aku
bisa merasakan ada sepasang mata yang mengamati kita. Hanya saja, tak ada satu
pun yang nampak di mataku ketika berbalik selain koridor yang gelap. Aku tidak
tahu. Bisa saja itu murid lain yang masih ada keperluan di sekolah dan aku saja
yang terlalu berpikiran aneh-aneh.”
Eiko mengatakan,
sesuatu yang sangat persis yang aku rasakan.
Jika ini hanya
perasaanku saja, mungkin aku memang salah. Tapi, ketika ada 2 orang yang
berpikir atau merasakan sesuatu yang sama, itu akan terlalu aneh untuk sebuah
kebetulan.
Jadi, memang itu
yang sebenarnya? Seseorang ada di sekolah ini selain kita?
Aku hanya
menanggapinya dengan sebuah anggukan dan,
“Ya. Aku juga
merasakan hal yang sama.”
Anehnya,
firasatku mendadak berubah menjadi sangat buruk.
Aku sendiri akan
merasa lebih aneh lagi kalau ‘seseorang’ yang kumaksud’kan itu, ya, itu kalau
dia benar-benar ada dan bukan cuma perasaanku saja, tidak menegur kami dan
menanyakan sesuatu yang biasa seperti ‘Apa yang kalian lakukan di sini? Belum
pulang?’, Dan kemudian percakapan yang sering terdengar akan terjadi. Mungkin
itu akan membuatku merasa lega ketika tahu kalau bukan hanya aku dan Eiko yang
ada di sekolah ini.
Masalahnya--
“Kenapa
dia tak menegur kita? Kenapa dia seolah sedang membuntuti kita...Atau apapun
itu?”
Aku
berkata, dengan sedikit rasa penasaran, berusah sebisa mungkin menekan rasa
takutku.
“Ah, mungkin dia
juga merasakan seperti kita. Mungkin dia mengira kita pencuri...Atau mungkin
hantu? Makanya dia memperhatikan kita.”
Jawab Eiko atas
pertanyaanku. Harus kuakui, itu cukup masuk akal.
Meski begitu,
bayanganku akan film horor tersebut, sudah terlanjur terputar di kepalaku.
Seorang pembunuh
bertopeng yang mengejar-ngejar seorang siswi SMA dengan sabit atau pisau.
Setting-nya juga di sebuah sekolah dan terjadi saat malam hari. Aku benci
mengatakannya, tapi itu sangat mirip dengan suasana kita di sini.
Siswi itu bersembunyi di bilik kamar mandi
paling ujung sambil menahan rasa takutnya.
Tiba-tiba saja
suara pintu terbanting mengejutkan dirinya dan membuatnya hampir saja
berteriak. Untung saja ia masih bisa menahan dan segera menutup mulut dengan kedua
tangannya.
Hanya suara
langkah kaki dari si pembunuh misterius yang terdengar dan suara nafasnya
sendiri, bersatu di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar.
‘BRRAAKH’,
Sekali lagi
suara yang keras itu terdengar. bersamaan dengan itu pula, ia bisa merasakan
tubuhnya gemetar semakin hebat, semua rasa takut yang menyelimuti kini mulai
merasuk ke dalam tubuhnya. Ia merasa ingin menangis, walau air matanya mulai
keluar, tapi ia berusaha untuk tetap tak membuat suara yang tak berarti.
Sekali lagi,
keheningan yang terdengar, sampai bunyi keras yang lainnya mengikuti di
belakang. Kira-kira, ada sekitar 5 toilet di sana, dan sudah ada 3 pintu yang
terbuka.
Lagi-lagi, suara
keras yang membuat telinga terasa sakit mendengarnya, beriringan dengan
perasaan was-was yang seolah menyatakan bahwa sebentar lagi waktu kematianmu
akan segera datang. Ia sudah bisa merasakannya. Pintu di sebelahnya sudah
terbuka. Itu berarti, tinggal bilik tempatnya bersembunyi yang tersisa.
Sambil berharap
dalam hati dan menangis sekeras-kerasnya dalam diam, kata-kata ‘Jangan, kumohon
jangan masuk kemari’, terus ia ulang seperti sebuah doa yang tidak ada
ujungnya, berharap akan menjadi kenyataan.
Dan--
Tak ada yang
terjadi.
Baik suara
langkah kaki, maupun suara pintu yang terbuka, tak terdengar seperti
sebelum-sebelumnya, seolah itu semua hanyalah ilusi dan bayangan yang ia
ciptakan dari alam bawah sadarnya karena merasa ketakutan. Harapannya
seakan-akan terkabul, hanya dengan kata-kata yang terus berulang.
Tapi ia tetap
merasa tak yakin. Jadi ia menunggu sebentar lagi. 1 detik, 5 detik...Tak ada
yang terjadi. Ia aman. Pembunuh itu telah pergi. Ia menghela nafas lega,
kemudian sedikit tertawa. Karena pada akhirnya, setelah melihat 3 temannya
sendiri mati di hadapannya, ia akhirnya menjadi satu-satunya yang selamat.
Setidaknya ia masih hidup.
Awalnya, aku
mengira film tersebut akan berakhir seperti itu. Bagiku, sudah banyak sekali
film horor yang hanya menyisakan, setidaknya satu orang untuk hidup, terlepas
dia adalah tokoh utama dalam cerita atau bukan.
Hanya saja,
Sepertinya aku
memang terlalu cepat membuat keputusan saat itu.
Tiba-tiba saja,
gadis itu menyadari sesuatu. Suara langkah itu menghilang terlalu cepat. Tak
ada seorang pun yang mampu menghilang secepat itu. Jadi, ketika mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi pada akhirnya, bersamaan dengan akhir yang telah
ditentukan, dengan wajah kembali basah karena air mata, dengan ekspresi yang
terlihat sangat menyedihkan, ia menoleh ke atas,
Hanya untuk
menemukan bahwa si pembunuh itu ternyata mengintipnya dari bilik kamar mandi di
sebelahnya, dan tanpa harus menunggu lebih lama lagi, ia melayangkan sabitnya
dan memutuskan leher gadis itu dalam sekejap.
Semuanya mati.
Cerita itu
simple, berakhir di sana.
“Mm, tak
kusangka pikiranmu cukup luas.”
Aku berkata
sambil menganggukkan kepalaku secara spontan.
Ia lalu menoleh
ke arahku dan sedikit menahan tawa.
“Tentu saja.
Pikiranku tidak sesempit kamu yang ketika mendengar kata ‘suka’ langsung
mengarah ke--“
“Baiklah,
sebelum kau lanjutkan, aku akan memotong ucapanmu tiap kali kau membicarakan
itu.”
Gerutuku kesal
dan mengunci ruangan gudang. Tak terasa waktu sudah berlalu beberapa menit
sejak kita selesai melakukan pekerjaan angkut-mengangkut ini.
Karena hari
semakin gelap, aku memutuskan untuk segera pulang. Orang tua ku pasti sudah
mengkhawatirkan aku. Yah, bukan berarti aku peduli sih.
“Eiko, kita
pulang. Hari ini, aku mau cepat menonton Absolute Duo. Aku sudah penasaran
dengan kelanjutannya.”
Aku berjalan sedikit mendahului Eiko, dan
dengan cepat ia segera menyusulku, sambil mengaluarkan ponselnya. Saat itu,
kami melalui ruang musik yang memang letaknya cukup dekat dengan gudang. Semoga
saja piano itu tidak bermain sendiri atau aku akan segera berlari keluar dan
meminta pindah dari sekolah ini.
Waktu itu, Eiko
berkata kepadaku,
“Memang kau
mengerti jalan ceritanya seperti apa? Aku tahu kebiasaanmu tiap kali kau
menonton anime, kau hanya memperhatikan chara laki-laki yang tampan saja.
Apalagi menurut anak-anak lain yang juga menonton, Tooru itu cukup tampan. Aku
bahkan berani bertaruh, kau tidak tahu dialog apa yang diucapkan oleh para
karakternya.”
Ujar Eiko yang
mulai menekan-nekan ponselnya.
Kurasa dia
sedang bermain game karena aku bisa mendengar suara yang cukup imut dari sana.
Sinar dari ponsel miliknya membuat koridor menjadi sedikit terang. Tapi itu
terlihat seperti ia disinari oleh sebuah cahaya dewa [Bukan ‘sinar dewa’ yang
seperti ituuuuu!!!!] sehingga nampak terang di sekelilingnya yang gelap.
Bagian
menyeramkannya adalah melihat wajahnya yang terlihat bercahaya itu, membuatnya
terlihat seperti seseorang yang menyinari wajahnya dengan senter ketika akan
menceritakan sebuah kisah horor di perkemahan.
“Mnn, apa kau
tidak tahu, Eiko? Ada banyak hal yang bisa di dapat dari anime selain jalan
cerita yang menarik. Kau seperti tidak pernah mendengar ada orang yang menonton
anime hanya untuk melihat karakter-nya saja.”
Mengangkat bahu,
aku mengatakan sesuatu, yang mungkin bagi kebanyakan orang terdengar konyol.
“Ya, aku tahu
satu orang. Namanya Karisawa Kyouko dan saat ini ia sedang berjalan di
sampingku.”
Melirik ke
arahku, ia berkata dengan nada sedikit mengejek.
Apa hanya aku di
sini yang menonton anime hanya karena aku ingin lihat karakter laki-lakinya
saja?
Aku lebih suka
menonton film horor real action daripada anime karena terasa lebih nyata dan
menyeramkan untukku. Aku tidak ingin tiba-tiba penyakit ‘fangirling’ku kambuh dan membuatku hanya memandangi para karakter
laki-laki yang setampan Kirito sambil berteriak-teriak tidak jelas, sehingga,
bahkan ketika teman di sampingku ini bertanya ‘Bagaimana endingnya, aku
ketiduran’, aku sama sekali tidak tahu harus menjelaskannya mulai dari mana
karena yang ada di kepalaku hanya karakternya saja.
Meski aku tidak
ingin mengakuinya, tapi aku memang memiliki selera cinta yang berbeda dari
kebanyakan orang.
“.......Huuh...Sekolah
malam-malam begini...Ternyata menyeramkan juga, ya?”
Sambil memeluk
tubuhnya sendiri seolah sedang kedinginan, Eiko melemparkan sebuah pertanyaan.
Yang meski aku tidak tahu apa itu ditujukan untukku atau bukan, atau apakah aku
harus menjawabnya, yah, aku hanya menjawabnya saja sesuai dengan pikiranku.
“Iya, kau benar,
Eiko. Apalagi, mungkin sekarang hanya kita yang ada di sekolah ini.
Mnn...Rasanya seperti terjebak di dalam sebuah film horor atau semacamnya...”
Kataku, terus
memperhatikan ke arah koridor yang sepertinya mencuri perhatianku. Aku sendiri
tidak tahu apa sebabnya. Tapi aku berusaha untuk tidak membahas masalah tatapan
mata, atau benar tidak adanya murid selain kita di sini.
Lagipula, tidak
usah terlalu membesar-besarkan sesuatu. Jika ada orang berjubah dengan senjata
tajam itu, bukannya petugas keamanan di gerbang depan sekolah tak akan
membiarkannya masuk. Iya’kan?
Eiko mengangguk
dan menanggapi perkataanku,
“Apalagi,
biasanya di tempat-tempat seperti sekolah atau rumah sakit itu selalu khas
dengan cerita-cerita mistis. Apa kita tiba-tiba akan bertemu dengan Kuchisake Onna di sini, ya? Ah! Aku baru
saja mencetak highscore!”
Seru Eiko dan
mengangkat sebelah tangannya seperti seseorang yang sedang membuat pose
kemenangan. Sepertinya, ia sedang memainkan game Puzzle Bubble yang biasa
selalu ia mainkan. Ia tidak akan pernah berhenti sebelum memecahkan skor
tertingginya, 60000 point.
Sementara aku,
tidak bisa turut bahagia atas keberhasilannya, karena sekali lagi, tubuhku
diliputi oleh perasaan merinding.
“J--Jangan sebut
nama itu di sini! Aku sudah tidak ingin mendengar namanya begitu aku selesai
menonton film itu setahun yang lalu!”
Ujarku yang
tiba-tiba langsung diliputi oleh rasa takut sambil menggerak-gerakkan tanganku
ke udara seolah sedang menghapus sesuatu.
Itu adalah salah
satu film horor yang paling menyeramkan yang pernah aku tonton. Sayang sekali,
sewaktu itu, DVD-nya rusak, dan aku tidak menonton sampai akhir ceritanya,
padahal tinggal sedikit lagi tamat. Aku sungguh menyesali hal itu, karena aku
sudah terlanjur menonton dari awal, merasakan sensasi menakutkan dari wanita
bermasker dan membawa gunting untuk merobek mulut orang, melihat sesuatu yang
sangat aku sukai sekaligus aku benci.
Aku benar-benar
kecewa waktu itu. Dan sampai saat ini, walau ada kesempatan, aku sama sekali
tidak ingin menontonnya lagi dari awal atau hanya sekedar melihat
cover-nya. Untungnya, seorang teman yang
pernah menontonnya menceritakan padaku bagaimana akhir dari ceritanya, meski
menurutku, akan lebih terasa jika aku menontonnya secara langsung.
Tapi di dalam
hatiku, sudah tidak ada ruang untuk menjerit ketakutan dan aku mengurungkan niatku
dalam-dalam.
Pernah suatu
ketika, aku penasaran dengan kisah-kisah horor yang terjadi di negara tempat
aku tinggal. Aku sebenarnya bukan penggemar horor, tapi juga tidak membencinya.
Aku suka menonton filmnya karena penasaran dengan kisah yang disajikan. Tapi
terkadang aku berpikir ‘Haruskah aku menontonnya?’. Pikiran itu terjadi
berulang-ulang, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menontonnya saja.
Bersama-sama tentunya.
Ketika aku dan
Eiko menginap di rumah Itsuki-san, mereka berdua sedang mengambil cemilan di
bawah dan aku sedang menggunakan laptop miliknya. Sambil duduk di atas kursi
yang nyaman, aku mulai membuka internet dan mencari di Google Find, salah satu
kisah yang berjudul ‘Akai no Heya’.
Di sana, aku
meng-klik bagian Hiikiipedia. Seusai membaca artikel tentang ‘Akai no Heya’, di
bawahnya ada artikel lain tentang beberapa urban
legend di Jepang. Aku sedikit ingin
tahu dan meng-klik bagian itu, dan ternyata muncul beberapa.
Mungkin memang
aku yang kurang teliti, karena di bagian atas jelas-jelas sudah ada petunjuk
mengenai apa saja yang ada di artikel tersebut. Aku nekad melihat-lihat dan
membaca sambil menahan rasa takutku tentu saja.
Pertama ada
artikel tentang sebuah iklan yang katanya terkutuk, di mana katanya seluruh
pemainnya meninggal, kemudian ada hantu teke-teke, kertas merah kertas biru,
Satoru-kun, zasshiki no warashi, mearry-san phone, hitori kakurenbo, Spirited
Away, Kokkuri-san, lalu Kuchisake Onna, dan--
Ekh!!?
Kalian pasti
tidak akan mau tahu ekspresi seperti apa yang kubuat ketika waktu itu, aku
sedang asyik-asyiknya membaca artikel-artikel tentang urban legend itu, dan
tiba-tiba saja, wajah wanita bermulut sobek itu, tertangkap oleh kedua mataku,
seolah ia sedang bertanya ‘Apakah aku cantik’, dan siap merobek mulutku...
Aku benar-benar
tidak tahu, dan betul terkejut atas kejadian yang hanya terjadi selama beberapa
detik itu.
Langsung, aku
menutup tab-nya, kemudian mematikan laptop milik Itsuki-san. Dan ketika mereka
berdua sudah naik ke lantai atas, mereka langsung terheran-heran saat melihatku
bersembunyi di bawah selimut.
“Kalau kita
bertemu, bukannya kita hanya tinggal mengatakan ‘Iya, nee-san! Kau benar-benar cantik!!’, dan kita selamat! Itu
mudah’kan? Uh!! Balon merah! Balon merah!! Aku butuh balon merah tapi kenapa yang
keluar balon biru terus!?”
“Ugh...Kau
mengatakan kalau itu adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dilakukan...”
Aku berkata
dengan nada bicara yang lemah.
Jika aku jadi
Kuchisake Onna sendiri, aku pasti akan sadar, bahwa sebenarnya, dan juga yang
merupakan kenyataannya adalah, aku sama sekali tidak ‘cantik’. Bagaimana kau
bisa mengatakan bahwa orang tersebut sangat cantik, ketika kau melihat mulut
mereka yang robek dan berdarah-darah itu?
‘Iya, nee-san! Kau benar-benar cantik!!’
Berkata seperti
itu sambil mengacungkan jempol, aku percaya hal yang akan terjadi di detik
selanjutnya adalah, darah menyembur deras dan mengenai wajahmu. Lalu kau baru
saja menyadari, bahwa ibu jarimu telah terpotong dan jatuh ke tanah.
Ia lalu membuka
masker ciri khas-nya dan berkata ‘BAGAIMANA MUNGKIN AKU BISA CANTIK DENGAN
MULUT ROBEK SEPERTI INI!!!??’, atau ‘JIKA AKU TIDAK CANTIK, MAKA TIDAK BOLEH
ADA GADIS LAIN YANG LEBIH CANTIK DARIKU!!!’, ‘atau pilihan ketiga ‘BENARKAH AKU
CANTIK? KALAU BEGITU, AKU JUGA AKAN MERIASMU SUPAYA JADI CANTIK SEPERTIKU’.
intinya, baik
yang pertama, kedua maupun ketiga, semuanya akan berakhir dengan satu hal yang
sama, ujung yang sama. Mulutmu akan robek. Itu saja.
Maka scene
selanjutnya adalah, ia menculikmu, mengikatmu di tiang, menggunting mulutmu
dengan gunting rumput yang super panjang itu, tanpa bius, dan tak peduli ketika
kau mengeluarkan teriakan serta jeritan-jeritan kesakitan yang kau keluarkan
saat darah mengalir deras.
Kemudian, ia
akan membuangmu, dan membiarkan orang-orang melihatmu dengan mulut berdarah dan
robek.
Dan aku yakin,
ketika --wanita yang tidak ingin aku sebut namanya-- itu muncul dan berkata
‘Apakah aku cantik?’ lalu membuka masternya, belum sempat kita berkata ‘Iya, nee-san! Kau benar-benar cantik!!’
seperti yang kita rencanakan sebagai persiapan jika-jika berpapasan di jalan,
yang akan kita katakan pasti,
‘SETAAAAAAAAAAAAAAAAN!!!!!!!!!!!!!!!!!’.
Intinya, yang
terbaik adalah tidak pernah bertemu dengan wanita mengerikan itu apapun yang
terjadi.
“Tapi,
membicarakan masalah wanita perobek mulut itu--“
“Eiko aku tidak
ingin membahas masalah itu lagi. Kenapa dari tadi kau itu terus saja membahas
sesuatu yang tidak ingin aku dengar?”
“Bukan itu,
Kyouko. Aku tidak bermaksud menakutimu. Jujur saja, rasanya mungkin akan
benar-benar menyenangkan, kalau aku bisa menggunting mulut Kawada Emi itu
dengan tanganku sendiri.”
Aku tertegun
ketika mendengar perkataan Eiko. Bukan karena aku merasa itu benar-benar
mengerikan untuk dibayangkan atau dilakukan. Tapi pikiranku kembali melayang ke
kejadian hari ini begitu nama gadis tak tahu diri itu sampai di telingaku.
Hari ini,
sebelum makan siang, Itsuki-san memberi kami tugas untuk menjauhkan Kawada Emi
dari Miyashita Riya. Hm, menurutku, Miyashita sendiri sebenarnya tak terlalu
mencolok. Yang membuatnya akhir-akhir ini banyak dibicarakan adalah teman masa
kecilnya, murid baru yang kelewat sempurna dalam segala hal itu, Kawada Emi.
Ada cukup banyak
rumor yang beredar di kelas. Banyak yang mengatakan Miyashita hanya
memanfaatkan Kawada Emi atau apapun itu. Miyashita tidak terlihat begitu jago
dalam hal pelajaran, ia juga nampak tak ramah pada orang di luar lingkaran
persahabatan kecilnya dengan Hasegawa dan Takashi. selain itu, ia jarang sekali
terlihat berbicara dengan murid lain selain kedua gadis itu. Entah apa yang
sebenarnya ada dipikiran gadis aneh itu, tapi itu saja sudah membuatnya tak
terlalu dikenal.
Dan buruknya, ia
sepertinya sadar sangat akan hal itu, namun tetap tak peduli. Bukannya berusaha
membuat image-nya menjadi lebih baik, karena ia juga bukan tipe murid yang suka
mencari gara-gara dengan siswa lain, ia kelihatan cuek dengan semua itu, semua
label yang kelasnya ‘cap’ padanya.
Menakutkannya,
itu semua, sifatnya yang rendah itu, justru mendapat perhatian dari Mochida
Toru, teman masa kecil Itsuki-san, salah satu murid populer di sekolah, dan
pemuda yang disukai oleh Itsuki-san.
Itu tugas kami.
Menjauhkan Kawada Emi darinya, untuk memberinya sedikit pelajaran agar tak
mendekati Mochida Toru dan menjauhinya. Kami tahu, orang yang hanya memiliki
sedikit teman seperti dia, akan menganggap setiap orang yang dekat dengannya
itu sangat berharga. Aku sudah menyiapkan diriku untuk tak tertawa saat melihat
Kawada Emi termakan oleh ucapan kami dan balas menampar Miyashita dengan keras.
Tapi--
“Iya...Kurasa
akan sangat menyenangkan melihatnya kesakitan dan tak bisa bicara lagi, karena
menganggap kita dan Itsuki-san jauh lebih rendah dari Miyashita.”
Aku berkata,
dengan suara datar yang terkesan monoton.
Aku tidak bisa
melihat ekspresi wajahku saat ini. Senang, kejam, dingin, menakutkan, aku yakin
semua itu bercampur jadi satu dan membuatnya tampak mengerikan. Seandainya saja
aku bercermin, aku pasti akan berteriak ketika melihat pantulan wajahku yang
terlihat buruk itu, karena aku yakin, wajah yang kubuat ini hampir sama dengan
wajah pembunuh berdarah dingin yang kulihat di film-film horor itu, yang bisa
memotong-motong tubuh seseorang dengan eskpresi yang lurus.
“Hah! Apa-apaan
itu!? Aku memang tidak peduli pada Kawada Emi atau siapapun dia--Tapi,
bagaimana mungkin dia jauh lebih memilih bersama dengan Miyashita dibanding
dengan kita!? Bukannya itu sangat tidak masuk akal!?”
Menendang ke
arah lantai dengan keras seolah sedang menendang pasir, Eiko mengucapkan
sesuatu dengan serius bercampur kesal. Sesuatu yang tak kudengar sejak tadi.
“Itsuki-san itu
adalah gadis nomor satu di SMA ini! Dia populer dan juga penguasa! Aku--Aku
benar-benar masih tidak percaya dengan penolakan Kawada Emi! Apa, apa yang dia
lihat di diri Miyashita Riya yang amat sangat tidak jauh lebih baik dari
Itsuki-san!!? Apa dia itu juga sampah!?”
Eiko, sekali
lagi berkata buruk soal Kawada Emi. Terdengar sekali, ia sangat membenci gadis
licik itu.
Aku hanya
tersenyum kecil sambil melanjutkan langkahku ketika aku mendengarnya, dan
berbicara dengan simple,
“Yah, karena
teman masa kecilnya saja sudah ‘sampah’, bukan hal aneh lagi kalau Kawada Emi
menjadi salah satu dari tumpukan ‘sampah’ itu.”
Lalu, kami
tertawa bersamaan, menertawakan Kawada Emi dan Miyashita Riya yang bodoh dan tidak
ada nilainya di dunia ini. Bahkan mungkin, akan lebih baik kalau mereka tidak
ada di dunia ini sejak awal. Dunia juga, pasti akan menolak mereka
habis-habisan dan tak menyisakan tempat untuk mereka di sini!
Kita harus
menguliti, membakar kemudian menunjukkan tubuh hancur mereka dihadapan semua
orang! Itu, pasti adalah hal terbaik yang harus dilakukan!
“Buang, buang
sampahmu ke tempat sampah ¯ Jangan lupa
Kawada dan juga Miyashita~”
“Ha ha!! Itu
lagu yang sangat bagus untuk mereka! Besok, aku pastikan akan menyanyikannya
lewat speaker!”
Saat ini, aku
merasakan hal yang sama persis dengan yang gadis di sampingku ini rasakan.
Amarah dan juga benci.
“ ‘Karena
Riya-chan adalah sahabat masa kecilku. Tidak mungkin terpikirkan olehnya untuk
memanfaatkanku seperti itu’, bla bla bla! Sungguh manis sekali Kawada Emi, kau
membela sahabat masa kecilmu yang menyedihkan itu--Dan jadi tampak semakin
menyedihkan!!”
Sejak awal, aku
tidak peduli mendapatkan Kawada Emi ke sisi kami. Mungkin akan terasa jauh
lebih menyenangkan menambah anggota yang serba bisa seperti dia, tapi itu bukan
masalah besar jika dia menolak untuk bergabung dengan kami.
Yang tidak bisa
kami terima adalah, seperti yang Eiko katakan, karena Kawada Emi jauh lebih
memilih bersama Miyashita yang sampah itu, daripada harus bersama Itsuki-san!
Rasanya, Itsuki-san dikalahkan oleh seonggok sampah, dan itu, membuatku merasa
panas dan ingin menghajar wajahnya itu berkali-kali sampai berdarah!
Masih dengan
memencet-mencet tombol di ponselnya, Eiko berbicara sambil tersenyum licik,
“Menolak
bergabung dengan orang yang berkuasa, itu adalah tindakan terbodoh yang pernah
kulihat. Aku harus memastikan Kawada Emi mendapat penghargaan sebagai orang
terbodoh nomor satu di seluruh galaksi!”
“Sayang sekali,
dan meski dia memohon-mohon untuk diberi kesempatan kedua, hanya ada satu kali
untuk bergabung dengan Itsuki-san, dan dia sudah membuang itu jauh-jauh hanya
demi sahabat masa kecilnya yang payah itu. Kalau ingin marah, silahkan kau
injak kepala Miyashita sampai pecah dan otaknya yang seperti otak sapi itu
berhamburan keluar!! Ha ha ha!!!”
Kataku, seolah
sudah biasa mengatakan kalimat yang terdengar benar-benar kejam dan tak terasa
setitik pun rasa kemanusiaan di dalamnya,
sering aku ucapkan pada orang-orang disekitarku. Memang benar
kenyataannya seperti itu. Siapa saja menganggap Itsuki-san rendah dan
menentangnya, kepala mereka layak untuk dipecahkan satu per satu dan dibiarkan
membusuk begitu saja!
“Tapi, tapi,
meski begitu,”
“?”
“Aku sedikit
puas, waktu mengetahui kalau Miyashita menguping pembicaraan kita!”
Eiko baru saja
mengatakan bagian terbaik dari sesuatu yang paling buruk. Aku tak akan pernah
melupakan ekspresi wajah yang Miyashita buat waktu itu. Benar-benar
menakjubkan!!
Rasanya seperti
ketika kita kalah dalam sebuah pertandingan, dan gagal meraih hadiah utama,
tapi tiba-tiba ternyata kita memenangkan hadiah tambahan! Puas sekali aku
melihat ekspresi shock di wajah gadis itu!
“Mendengar seseorang mengatakan kau payah, tidak
ada apa-apanya, aneh dan sampah di belakangmu--Aku sama sekali tidak bisa
membayangkan bagaimana hancurnya hati Miyashita waktu itu!!”
Meski aku tahu
dari wajah yang ia buat, kalau ia merasa langsung ingin menangis dan
menggantung dirinya sendiri! Lebih baik kalau itu yang terjadi.
“Wajah
itu--Benar-benar seperti sebuah maha karya yang luar biasa!! Aku ingin rasanya,
memahat wajah itu di patung, atau mengabadikannya dalam sebuah lukisan, agar
aku bisa tertawa tiap kali aku memandangnya!! Ha ha ha!! Ah! Level 56!!”
Sedikit
berteriak ketika mengatakan itu, pandangan mata Eiko tetap tak berubah dari
permainan yang ia mainkan. Tapi aku bisa merasakan, kesenangan dari nada
bicaranya ketika ia mengucapkan semua itu. Sama sekali tak ada beban ketika
kata-kata mengerikan itu keluar dari mulutnya, seolah itu memang sangat
natural.
Yah, hal yang
sama juga terjadi padaku, yang mungkin hampir kehilangan setengah rasa
kemanusiaan.
Mendengar mereka
menjerit, berteriak, menangis, dan membuat ekspresi wajah menyedihkan seolah
berkata ‘Bagaimana mungkin kalian bisa mengatakan sesuatu seperti iblis’, ha
ha!! Itu adalah tontonan terbaik dalam hidupku! Dan ekspresi menyedihkan di
wajah Miyashita tadi, adalah salah satu yang terbaik!!
Seolah dunia ini
adalah sebuah panggung yang menyedihkan, dan aku adalah naratornya, yang
menggerakkan semua hal yang terjadi, serta menikmati tontonan dari para
pion-ku.
“Fu fu fu, aku
berpikir, seharusnya tadi kita mengatakan sesuatu yang jauh lebih kejam lagi
tentang gadis itu. Aku yakin, wajah yang ia buat, akan lebih menakjubkan lagi!
Aha ha ha!!”
Aku tertawa,
seolah ini adalah pertama kalinya dalam hidupku. Seolah itu benar-benar sesuatu
yang lucu seperti pertunjukkan komedi yang biasa kau tonton di TV.
“Kau benar,
Kyouko! Aku sangat sependapat denganmu dalam hal seperti ini!”
Kami berdua
tertawa bersama. Untuk beberapa saat, tak ada satu pun yang memenuhi pikiran
kami selain Kawada Emi dan Miyashita. Pembicaraan yang keluar dari mulut kami
juga membicarakan betapa bodohnya mereka.
Hingga, Eiko
menutup ponselnya, lalu menoleh ke arahku sambil mendekatkan telunjuknya di
bibir,
“Oh ya, apa kau
ingat dengan ucapan Kawada Emi pada kita waktu itu?”
Ia bertanya,
masih tetap mempertahankan senyuman licik itu di wajahnya.
“Yang mana
maksudmu itu?”
Banyak sekali
yang gadis itu katakan pada kita, pembelaannya terhadap Miyashita dan agak
susah untuk mengingat kalimat mana yang dimaksudkan oleh Eiko. Tapi aku bisa
merasakan, perasaan dan sensasi aneh yang menjalar masuk ke dalam tubuhku ini.
Kurasa, kita berdua akan tertawa lebih keras lagi dari sebelumnya.
“Bagian di mana
ia menyuruh kita untuk menghentikan semua ucapan kita, menjauhi Miyashita. Apa
itu membunyikan bel di kepalamu?”
Ketika ia
mengatakan itu, aku memang teringat akan sesuatu.
“Oh!”
Lalu, seperti
ada sebuah bel yang berdentang di kepalaku, aku memang ingat sesuatu yang
seperti itu. Kira-kira, sesuatu seperti ini kalau aku tidak salah,
“ ‘Kalau kalian
sampai berani berkata buruk soal Riya-chan lagi...Aku--‘,”
“ ‘Aku akan
menggoreng, atau merebus tubuh kalian, dan aku jadikan makanan pendamping
ramen!!’, ha ha ha!! Seperti itu Kawada Emi!? Seperti itu!!?”
“Aha ha ha!!
Makanan pendamping ramen!? Kupikir, dia akan menjadikan kita salah satu dari
wanita malam itu dan mengambil uang dari hasil pekerjaan kita!!”
Seperti dugaanku
sebelumnya, kami tertawa jauh lebih keras lagi dari sebelumnya.
Aku tidak tahu
apakah bagi penjaga sekolah di luar, suara kami terdengar seperti hantu wanita
yang sedang tertawa sehingga ia berlari meninggalkan sekolah. Yang penting,
tidak akan ada yang bisa menghentikan kami, apalagi kami baru saja sampai pada
bagian terbaiknya.
Pembicaraan
mengenai 2 orang itu--Aku sama sekali tidak menduga akan sangat menyenangkan!
Eiko kemudian berdiri di hadapanku. Lalu
dengan itu, ia mulai berakting sambil menunjukkan ponselnya ke arahku.
“ ’Tolong jauhi
Riya-chan!’”
Ia berkata,
dengan wajah memelas sekaligus ketakutan. Itu bukan ekspresi yang sama seperti
yang dibuat oleh Kawada Emi karena ia tadi nampak tak ketakutan, dan jujur, itu
benar-benar menyebalkan. Walau begitu, satu-satunya orang yang akan mengatakan
satu baris bodoh begitu, pasti cuma dia saja.
Jadi, aku
langsung memasang wajah kejam, dan mengikuti pertunjukan drama Eiko.
“ ‘Enak saja kau
menyuruhku untuk menjauhinya!! Sampai kapan pun, aku akan terus menginjak-injak
si Miyashita tak berguna itu!! Kau suruh aku menjauhinya!? Kau pikir bisa
mengancamku!!? Kyouko yang hebat ini??’”
Aku meletakkan
sebelah tanganku di pinggang, berusaha semeyakinkan mungkin. Aku berusaha
sebisaku untuk menahan tawa. Dan sepertinya, hal yang sama juga dialami oleh
Eiko, karena ia mulai berusaha menutup mulutnya.
Ia lalu
melanjutkan sandiwara bodoh ini.
“ ‘Kalau kau
tidak menjauhinya, aku akan sebarkan foto b*gilmu ke seluruh internet!!!’”
“ ‘Oh ya?? Duh,
aku takut sekali...Tapi Kawada-san, apa kau tahu cara menggunakan komputer??’”
Kataku, membuat
ekspresi wajah yang menunjukkan rasa kasihan.
“Ha ha ha!!!
Tentu saja dia pasti tahu, Kyouko! Kau pikir dia tinggal di dalam gua?!”
Eiko tertawa
sambil menepuk pundakku dengan pelan.
Aku segera
menanggapi perkataannya,
“Mungkin sebelum
ia pindah kemari, ia memang tinggal di dalam gua. Makanya, ia tidak bisa
melihat, mana yang lebih hebat antara Itsuki-san dan Miyashita!! Itulah
penyebab kebodohan Kawada Emi yang sempurna itu!! Lagipula, Eiko, foto b*gilku?
Apa itu tidak berlebihan? Dan darimana Kawada Emi mendapatkannya? Apa
jangan-jangan ia mengintipku sewaktu aku sedang ganti baju atau mandi? Oh ya
ampun...Dasar stalker! Ha ha ha!!”
“Itu
menjijikkan! Ha ha ha!! Siapa juga yang mau mengintipmu, Kyouko!? Aku saja
tidak mau menghabiskan waktu untuk melihat tubuhmu yang tak berseni itu!”
“Heh, tidak
berseni kau bilang? Tubuhku ini jauh lebih indah dan bernilai jika dibandingkan
dengan tubuhmu yang kurus kering dan terlihat lebih mirip dengan pipa itu!!”
Ujarku,
melemparkan pandangan dan mengamati tubuh Eiko dari atas sampai bawah beberapa
kali. Tubuhnya jelas berbeda jauh jika dibandingkan dengan tubuhku.
Tentu saja,
melihat tingkahku yang seperti om-om genit sedang memperhatikan mangsanya itu,
Eiko langsung memeluk tubuh dengan tangannya dan terlihat seperti seorang gadis
yang berusaha melindungi dirinya sendiri.
“K--Kyouko...Kenapa
kau melihat tubuhku seperti itu...? Ah...Aku jadi malu...Jangan-jangan, karena
hubungan kita yang cukup dekat, diam-diam kau jatuh cinta padaku...? A--Aku
belum siap...”
Dengan wajah
merah dan terlihat malu-malu itu sambil meletakkan jari telunjuk di dekat
bibirnya, Eiko nampak sama sekali berbeda 650 derajat dari sifat tomboy yang
biasa ia perlihatkan. Ia yang sekarang terlihat seperti ingin menggodaku untuk
menyentuh tubuhnya itu. Dan tentu saja, aku sama sekali tidak seperti yang ia
katakan dan tidak mungkin hasratku akan tergerak karena pose-nya itu barusan.
Jadi, aku hanya
memukulnya dengan agak sedikit keras, tepat di kepalanya.
“Eh! Aku juga
tidak tertarik ke arah sana tahu!! Kau tahu’kan, aku masih punya Arata, Kirito,
Oreki, Shidou, Rin, Shintaro, dan sekarang ada Tooru yang mengantri untuk
menjadi kekasihku!!” [Catatan : Itu semua adalah nama karakter dalam anime,
tidak ada sangkutannya dengan orang yang sesungguhnya].
Mengacung-acungkan
tinjuku ke udara, aku berusaha membela diriku sendiri. Entah mengapa rasanya
akan ada banyak sekali salah paham yang akan terjadi seandainya aku masih
berhubungan sebagai sahabat dengan gadis ini...
Sebelum akhirnya
aku melanjutkan perkataanku, Eiko mengatakan sesuatu seperti ‘Aku tidak tahu
apakah karakter fiksi seperti itu bisa disebut sebagai kekasihmu, Kyouko’, atau
kira-kira sesuatu seperti itu. Jangan meremehkan cinta berbeda dimensi, ya!
“Lagipula,”
Seperti yang
kukatakan sebelumnya, aku segera menyambung ucapanku.
“Kalau menurutku
ada yang ‘yuri’ diantara kita,
menurutku orang itu adalah Kawada Emi.”
Aku berkata,
yang ditanggapi dnegan ‘Heee!!?’, oleh Eiko, seakan-akan aku baru saja
mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan ditemukannya penemuan obat untuk
AIDS.
“Masa sih!?
Justru aku sempat berpikir, kalau dia suka sama Mochida!”
Terdengar nada
bicara yang sangat kaget dari perkataan Eiko. Kawada Emi menyukai Mochida? Aku
sama sekali tidak melihat kemungkinan ke sana.
Lalu, aku
bermaksud untuk memberikan penjelasan atas pernyataanku di atas,
“Mnn...Maksudku,
Kawada Emi itu--Apa kau tidak merasa, dia terlalu menempel sama Miyashita?
Seperti lem begitu?Kita memang belum mengenal Kawada Emi selama kita mengenal
Miyashita. Tapi, aku tahu kalau mereka sering sekali melakukan sesuatu
berduaan. Lalu, apa kau ingat? Pelajaran kelas seni?”
Aku melontarkan
sebuah pertanyaan pada Eiko dengan tujuan agar ia bisa mengerti apa yang
kumaksudkan.
Ia terlihat
berpikir sejenak, kemudian tertegun oleh pikirannya sendiri.
“Ahh...Yang kau
maksud’kan itu, saat Kawada Emi membuat patung wajah, bahkan lukisan
Miyashita?”
Ia berkata,
berhasil mendapatkan jawaban yang tepat atas pertanyaanku.
Membuat patung,
bahkan melukis Miyashita...
Aku rasa, itu
agak sedikit berlebihan.
“Bingo! Kau
menangkap pertanyaanku dengan cepat, Eiko! Kawada Emi, ia selalu melakukan
sesuatu demi Miyashita, selalu untuk Miyashita dan bersama dengan Miyashita.
Intinya, semua yang ia perbuat selalu berhubungan dengan gadis itu. Ia
memperlakukan, seakan-akan Miyashita adalah dewa yang sangat ia puja. Ke arah
sana saja, itu sudah membuatku merinding! Hiiii!!”
“Hmm...Di
lihat-lihat, mereka berdua memang terlalu dekat. Apa itu alasan Kawada Emi
memilih Miyashita? Bukan karena ‘persahabatan’, tapi lebih ke arah ‘cinta’?
Kawada Emi--Dan Miyashita pacaran?!”
Begitu kata-kata
itu keluar dari mulutnya sendiri, Eiko langsung melonjak kaget dengan tatapan
tidak percaya.
Mm...Kalau
dipikir-pikir lagi, Miyashita memang kelihatan tak tertarik pada Mochida Toru.
Dan ia, tak pernah bicara dengan satu pun murid laki-laki di kelas. Ia dekat
dengan Hasegawa dan Takashi, yang seorang perempuan, dan juga dengan Kawada
Emi, sahabat masa kecilnya, yang terlihat begitu terobsesi untuk menyenangkan
hatinya.
“...................”
Tiba-tiba saja,
sesuatu ide yang luar biasa terlintas di kepalaku. Sesuatu yang sepertinya akan
sangat menyenangkan!
Aku memang tidak
tahu kebenaran tentang sesuatu yang baru saja merasuki pikiranku tadi. Tapi
seandainya itu tidak benar dan suatu spekulasi asal-asalanku pun, itu sama
sekali tidak masalah. Rasanya, sekarang ini aku ingin menyebarkan rumor itu,
yang bisa menjatuhkan nama Miyashita, dan teman-temannya sekaligus. Akan bagus
kalau mereka sampai membuat ekspresi menyedihkan yang luar biasa itu!
...Aku merasa
seperti seorang iblis yang sungguh kejam. Aku yakin, wajahku pun, tak jauh
berbeda dari iblis itu. Jika sekarang ini aku sedang menatap iblis, iblis itu
pasti juga akan balik menatapku dan menunjukkan wajah mengerikan yang sama.
Dan aku yakin,
kalau aku akan sangat menyukainya.
“Eiko,”
Dengan itu,
bermaksud untuk menyampaikan niat terselubungku, aku memanggil nama Eiko. Dan
segera, ia menoleh ke arahku dengan wajah yang seolah berkata ‘Ada apa’.
Tidak perlu
bagiku untuk merasa ragu, atau menunggu kesekian detik lagi untuk berlalu. Aku
segera menyampaikan tujuanku.
“Bagaimana kalau
besok, kita kerjai Miyashita lagi? Kali ini--Lebih parah tentunya.”
Ya, membuat
seseorang menderita, menjatuhkan mereka, dan menginjak-injak seseorang, sudah
jadi sebuah hobi yang sangat menyenangkan untukku. Kini, aku sama sekali tidak
bisa menahan diriku utnuk tersenyum. Mungkin senyuman terlicik dalam hidupku.
Tubuhku seolah
terbakar oleh perasaan tidak sabar yang teramat sangat sehingga rasanya seperti
ingin meledak. Aku sudah tidak sabar lagi. Andai besok cepat datang...
Mendengar
ucapanku, Eiko terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu sambil menopang
dagunya. Aku pikir, ia tidak setuju dengan ideku atau mulai bosan dengan
Miyashita dan Kawada Emi. Karena aku tahu Eiko adalah tipe orang yang selalu
paling semangat melakukan sesuatu, tapi tiba-tiba saja bisa yang paling malas
melakukan sesuatu sehingga ada banyak sekali hal yang ia mulai tapi tak
berlanjut hingga akhir.
Aku hanya bisa
berharap-harap cemas, dengan keringat dingin yang mulai menetes turun mengaliri
pipiku, agar penyakitnya itu tidak kambuh sekarang. Ya ampun! Aku benar-benar
bersemangat untuk ini!!
Dan, seolah
beberapa menit sudah terlewat, meski sebenarnya baru saja beberapa detik, ia
terdiam, akhirnya, senyuman yang dari tadi ingin aku lihat, tergambar juga di
wajahnya.
Mendekatkan
sebelah tangannya di wajahnya, membuat suatu ekspresi ‘yandere’ yang
menyeramkan, Eiko berkata,
“Fuh...Aku
senang kau adalah teman baikku, Kyouko. Karena kita memiliki pikiran yang sama.
Sepertinya, tidak ada ruginya meluangkan waktu untuk Miyashita dan
kawan-kawannya yang menyebalkan itu.”
Ya, aku juga
senang kau adalah sahabatku, Eiko. Kurasa karena sudah sering bersama, isi
kepala kita jadi sama.
Pikiran-pikiran
itu kembali membuatku bersemangat tanpa sebab. Tetap tenang, tetap tenang.
Jantungku berdegup kencang seolah akan melihat pengumuman ujian atau sesuatu
seperti itu. Bukan. Tapi lebih kencang lagi. Seperti adrenalin yang menyebar ke
seluruh tubuh, rasa senang itu langsung mengambil diriku seluruhnya.
“Kita sebarkan
rumor bahwa mereka adalah grup lesbian terbesar di sekolah!”
Aku tak bisa
lagi menahan pikiran-pikiranku untuk tak keluar melalui mulutku.
Berusaha menahan
tawa, Eiko menambahkan ide-ide gilanya.
“Lalu, setiap
pulang sekolah, mereka berempat selalu mampir ke sebuah hotel dan--Fu fu fu,
aku tidak sanggup mengatakan lanjutannya! Jangan lupa, katakan juga betapa
payah dan bodohnya Kawada Emi, Miyashita Riya, Hasegawa Runa dan juga Takashi
Haruko!! Katakan kalau mereka tak lebih dari sekumpulan sampah yang bau dan
mengganggu!!”
“Ukh, aku benar-benar sudah tidak sabar
lagi--Melihat ekspresi menyedihkan, atau akan lebih baik, jika lebih
menyedihkan lagi, di wajah Miyashita, dan juga teman-temannya!! Aku berharap
kalau mereka akan menampilkan pertunjukkan terbaik! Karena bagaimanapun juga,
mereka adalah pemeran utamanya!!”
“Ha ha!!! Aku
yakin aku tidak akan bisa tidur malam ini! Bahkan, di dalam tidurku, aku akan
bermimpi melempari Miyashita dengan tumpukan sampah!!”
Meletakkan
sebelah tangannya di pinggang, Eiko membuat suara tawa terjahat yang pernah aku
dengar sepanjang hidupku. Benar, memang harus begitu. Perasaan ketika kita akan
menyebarkan rumor yang buruk tentang orang lain!
Kemudian seperti
tadi, sebuah pikiran terlintas di benakku tanpa aku inginkan terlebih dahulu.
Rasanya seperti melengkapi pikiran-pikiran burukku yang sebelumnya.
Jadi, aku
tersenyum, lalu mengatakan sesuatu--Yang sampai saat ini, jika aku bisa,
......................
Aku berharap tak
pernah mengatakannya--
“Aku sudah tidak
sabar...Apa, ya? Yang akan dilakukan oleh Kawada Emi, ketika rumor buruk
tentang Miyashita tersebar? Apa dia akan merobek perut kita? Mengeluarkan
isinya? Kemudian membakar tubuh kita dan mempertunjukkan tubuh kita dihadapan
orang-orang?! Lalu berteriak ‘Inilah akibat jika kalian menghina Riya-chan!’,Ha
ha ha!! Hanya membayangkan wajah yang ia buat saat itu--Sudah membuatku merasa
sangat puas!!”
“Mhmm...Kurasa
itu ide yang bagus.”
“Ha ha ha! Itu
memang ide yang bagus, Eiko! Tapi--Tentu saja aku benar-benar tak berharap ia
melakukan hal itu pada kita. Itu pasti akan sakit sekali!”
Memegang perutku
yang mulai terasa sakit akibat terlalu banyak tertawa, aku mengusap air mata di
sudut mataku, dan melirik ke arah Eiko.
Hanya saja--
“................”
Wajah yang
dibuat oleh Eiko saat itu--Aku tidak akan pernah melupakannya.
Wajah yang
tiba-tiba saja terlihat pucat itu, seolah semua warna telah bersatu. Ia menatap
ke arahku, dengan mata yang terbelalak kaget. Seolah-olah sesuatu yang
menakutkan telah terjadi. Seolah ada hantu di hadapannya. Aku menatapnya dengan
ekspresi bingung. Aku sama sekali tidak mengerti dengan sesuatu yang sangat
tiba-tiba.
Baru kemudian,
beberapa detik berlalu, aku baru menyadari sesuatu. Sesuatu yang penting--
Suara itu--Bukan
suara milik Eiko.
Dan wajahku pun,
membuat ekspresi yang sama dengannya.
“.......................”
Aku tak
mengatakan apapun. Aku tak bisa
mengatakan apapun. Mulutku terkunci rapat.
Dalam sekejap,
tubuhku terasa kaku. Walau aku tak mendengar kelanjutan dari ucapan orang itu,
dan aku tidak tahu di mana ia sekarang karena suasana yang begitu gelap--Aku
tak berani untuk melirik ke sana kemari, ia melihat kita, entah dari mana.
Di dalam film-film
yang pernah aku tonton, kejutan selalu ada di belakang kita. Dan aku sedikit
punya keyakinan bahwa ia berada di belakang kita. Suaranya terdengar dekat,
tapi juga jauh.
Aku bisa
merasakan udara yang dingin menembus kulitku. Meski sebenarnya sama sekali
tidak ada angin yang berhembus, aku merasa sentuhan-sentuhan yang aneh.
Aku kembali
diingatkan oleh rasa takutku, tentang sebuah film horor, koridor sekolah yang
gelap, dan mata misterius yang seolah memperhatikan kita. Baru saja semua hal
mengerikan yang bisa membuatku bergetar itu menghilang dari pikiranku--Tapi
kenapa sekarang justru kembali memenuhi kepalaku!?
Kenapa--Suara
yang seharusnya tidak ada di koridor itu--
--Terdengar
sangat kejam?
“..........Eiko...”
Aku berkata
pelan. Walau aku berusaha sebisa mungkin menahan suaraku agar tidak terlalu
bergetar dan memancarkan hatiku yang sedang diliputi oleh rasa takut, suaraku
justru terdengar seperti hampir menangis.
Aku tidak tahu
siapa orang itu. Atau apakah ia memiliki maksud jahat atau mungkin tidak
bermaksud apa-apa dan hanya murid yang kebetulan mendengar ucapan kita.
Tapi aku
benar-benar takut. Belum pernah aku merasa setakut ini sebelumnya bersamaan
dengan pikiran-pikiran aneh yang mulai menyelimutiku seolah memaksaku untuk
merasakan sebuah sensasi menakutkan.
Sekarang--Hanya
ada satu hal yang ingin aku lakukan--
“...Kita harus
keluar dari sekolah...!”
Aku menoleh ke
arah Eiko, sedikit berbisik. Ekspresinya tidak jauh berbeda
denganku--Menyedihkan.
Saat ini,
keinginanku untuk keluar dari sini, jauh lebih besar dari apapun. Aku akan
lakukan apapun, asal kita berdua bisa keluar dari situasi ini.
Menatap ke
arahku, aku bisa melihat pancaran ketakutan di kedua bola matanya. Tatapan yang
sangat jarang ia tunjukkan pada siapapun, sekarang terlihat olehku. Aku tak
ingin melihatnya, karena itu juga semakin membuat perasaan takut itu berkumpul
jadi satu padaku.
Ia kemudian
menganggukkan kepalanya dengan gemetar seolah itu adalah sesuatu yang sangat
sulit untuk dilakukan.
Tidak perlu ada
kode apapun, dan tidak perlu menunggu detik berikutnya untuk berlangsung--
Aku dan Eiko
langsung berlari, sekencang yang kami bisa.
Tujuan kami
hanya satu. Gerbang sekolah, kemudian keluar dari sini dan kembali ke rumah.
Suara langkah
kami yang begitu cepat memenuhi seluruh koridor. Kami berlari seperti ini
adalah yang pertama kali dalam hidup.
Meski koridor
ini cukup pendek, entah mengapa sekarang terasa seperti sedang berlari melalui
terowongan yang sangat panjang. Seberapa cepatnya kami melangkahkan kedua kaki
kami, kenapa--Tak terlihat juga!?
“...............”
Kami tak saling
menoleh satu sama lain. Kami hanya konsentrasi berlari, dan terus berlari. Mata
kami memandang lurus hanya ke depan, tanpa ada sedikit niat untuk berhenti. Aku
bisa merasakan sesuatu--Atau seseorang mengejar kami dari belakang. Tapi karena
suara langkah kaki yang tercampur menjadi satu, aku jadi tak bisa membedakan
langkah dari kakiku sendiri dan yang lainnya.
Tapi--
--Ternyata aku
sangat salah.
Mungkin saat itu
ketakutan sedang mengambil alih diriku, sehingga kepalaku mulai menyetel
beberapa kemungkinan dan membuatku benar-benar berpikir seolah yang aku dengar,
atau yang aku rasakan itu adalah kenyataan yang sebenarnya.
*BRAAAKH*
Suara pintu
sebuah ruangan yang tiba-tiba terbuka, terbanting dengan sangat keras tanpa
peringatan dulu itu--
--Dan orang
berjubah hitam yang wajahnya tak terlihat karena kegelapan malam--
--Aku melihat
seseorang yang seharusnya tak ada di sana.
***-***
A/N : Halo, minna XDD Fujiwara Hatsune di sini!
HTMF chapter 10!! Akhirnya, ini adalah cerita tentang Sasagawa dan
Karisawa! Btw, sebenarnya aku ngga pernah bisa mengingat nama depan mereka
berdua lho ha ha XDD Kadang aku suka bingung Eiko itu Sasagawa apa Karisawa?
Kyouko nama keluarganya yang mana?? Dan harus lihat di part-part sebelumnya
yang ada//sangat merepotkan...lain kali aku harus menghafal nama-nama chara di
cerita dengan baik!!
Cerita kali ini ditulis dari sudut pandangnya Karisawa Kyouko//semoga
ngga salah nama. Dan awal-awal cerita--
Hatsui:Udah membicarakan hal
kotor seperti itu!!! Hey! Ini cerita horor, ya! Bukan komediiii!! Di mana
keseraman cerita ini!
Berisik, sejak awal, HTMF itu emang ngga ada serem-seremnya. Ini malah
jadi cerita SOF biasa tentang persahabatan dengan adegan pembunuhan. Aku juga
ngga bisa bikin cerita yang serem//makanya agak males kalau buat cerita horor.
Hatsui: Ngga ada alasan seperti
itu’kan!? Kalau mau jadi penulis yang baik, ya tulislah dengan benar! Ngga bisa
bikin cerita serem, ya banyakin baca novel serem!
Makanya jadi orang yang
konsisten dong!
Aku konsisten kok! Ngga peduli ceritanya mau kutambahin seperti apa,
ending tetep ngga akan berubah. Itu
prinsip aku buat cerita//prinsip ngawur!
Di ch ini, kelihatan bgt kalau si Karisawa ama Sasagawa itu bener-bener
menikmati bully murid lain yang di bawah mereka, atau yang diatas? Pokonya
siapa aja deh!
Hatsui: Kayak orang ngga
waras...Apa enaknya sih, menjahati orang lain spt itu? Itu juga lagi si
Sasagawa! Pakai ngomongin Highschool DxD lagi!!
Ah, season-3-nya aku belum download, harus download nih!
Hatsui: Jadi sebenarnya yang suka
nonton itu kamu!!? Dasar hentaaaai!! Absolute Duo juga sampai ada di sini!!
Aku nonton bukan karena aku suka itunya! Pertama, karena aku udah
nonton season 1 ama 2-nya, dan ceritanya bagus, kan aku juga mau lanjut! Terus
Absolute Duo juga meski banyak adegan ecchi dan harem yang ngga aku suka, aku
mau nonton adegan fightingnya//kan Absolute Duo dari LN nih ceritanya, karena
aku ngga pernah bikin cerita fantasy yang battle, sekalian belajar.
Dan btw, bukan cuma Kyouko yang nonton anime cuma buat liat chara
cowoknya juga. Percaya ato ngga, aku juga suka kayak gitu lol XDDD Aku ngga
terlalu suka anime yang harem, tapi aku tetep pingin nonton DAL, cuma buat liat
Shidou doang ha ha ha //plaaaak.
Tambahan, Kirito emang tampan lol XDD
Hatsui: Lalu, tentang Kuchisake
Onna itu? Itu Slith-Mouthed Woman’kan?
Mhm, kalau aku ngga salah nulis Jepangnya, itu memang Slith-Mouthed
Woman. Cerita si Kyouko waktu nonton film horor Jepang itu, juga aku dapat dari
kisahku sendiri loh XDDDDD. Ceritanya waktu itu, adikku dipinjemin film horor
sama temennya. Aku juga udah nonton sampai takut-takut, tiba-tiba--
DVD : *Macet*
Aku : NOOOOOOOOOOOOO!!!!!!!!!!!!!!!
Padahal tinggal sedikit lagi tamat!! Ayo muter! Lanjutin lagi!!! Apa
kau membenciku seperti itu, hey, DVD!!? Jangan buat ceritanya menggantung di 20
menit terakhir dong!!
Dan akhirnya, ngga peduli aku mau harap-harap seperti apa, DVD emang
macet dan aku ngga pernah nonton sampai tamat, bahkan sampai sekarang.
Endingnya aku diceritain sama adikku yang diceritain sama temennya. Sampai
sekarang, aku ngga pernah mau liat covernya di manapun. Terus waktu si Kyouko
liat gambarnya Kuchisake Onna di internet--Itu juga dari aku sendiri. Waktu itu
iseng-iseng nyari cerita tentang kamar merah//buat sumber inspirasi. Tiba-tiba
ternyata--Ada fotonya Kuchisake Onna juga!! Langsung kututub tab-nya!!//cuma
aku ngga sembunyi di balik selimut lol XDD. Meski aku sebenarnya juga takut,
tapi aku suka jahilin adikku ha ha
Aku : Hati-hati, entar Kuchisake Onna dateng loh!
Adik : Kakak!! Apaan sih!? Jangan disebut!!
Sampai hari ini, aku masih suka nyebut-nyebut namanya di depan adikku
ha ha ha
Intinya, sebenarnya alur dan ide cerita itu juga bisa didapet dari
pengalaman kita masing-masing loh :)
Hatsui: Dasar jahil! Tentang
Sasagawa dan Karisawa, ternyata mereka juga bantuin Itsuki buat dapetin
Mochida, ya? Cara mereka menghina Miyashita dan Kawada--Sadis banget...Kayak
pembunuh...Tega bisa ngomong kayak gitu tentang org lain...
Iya, aku juga ngerasa jahat banget waktu ngetik bagian itu. Kok
bisa-bisanya aku bikin chara dengan pemikiran super mengerikan begitu...Tapi ya
mau gimana lagi...Namanya juga misteri horor...Kalo chara-nya ngga pada sakit
jiwa semua, mending bikin SOF biasa aja!
Meski gitu, aku juga ngga suka sama mereka berdua.
Hatsui : Dan--Lagi-lagi kejutan
di bagian akhir!! Kok dari kemarin, endingnya gantung terus sih!? Mulai dari si
Miyashita mau ngebunuh Sasagawa ama Karisawa! Terus sekarang, tiba-tiba ada
suara orang lain di koridor, dan sosok lain yang tiba-tiba aja ngebanting
pintu!!? Sama sekali ngga nyambung! Tapi meski gitu, aku tetep aja penasaran!!!
Ch selanjutnya--Pasti lanjutan cerita ini’kan?!
Ha ha ha!! Salah besaaar!!!!!
Hatsui :Ha!!? Ceritanya mau muter
ke mana lagi!?
Cerita untuk ch11, kita akan mundur lagi. Kali ini lebih jauh, sekitar
1 tahun yang lalu di mana ada sebuah tragedi yang lain.
Terima kasih sudah mau membaca cerita ini! Jangan lupa baca kelanjutan
cerita HTMF chapter 11-nya ya!
Author,
Fujiwara Hatsune
Tidak ada komentar:
Posting Komentar