Selasa, 25 Agustus 2015

Story : How To Make A Friend Vol.2 Chapter 12 Part 1

Story : How To Make A Friend Vol.2 Chapter 12



Chapter 12 Seandainya Di Dunia Ini Banyak Orang Baik Seperti Kalian, Aku Yakin...Tidak Mungkin Ada Sesuatu Yang Buruk Terjadi

Kami tak saling menoleh satu sama lain. Kami hanya konsentrasi berlari, dan terus berlari. Mata kami memandang lurus hanya ke depan, tanpa ada sedikit niat untuk berhenti. Aku bisa merasakan sesuatu--Atau seseorang mengejar kami dari belakang. Tapi karena suara langkah kaki yang tercampur menjadi satu, aku jadi tak bisa membedakan langkah dari kakiku sendiri dan yang lainnya.
Tapi--
--Ternyata aku sangat salah.
Mungkin saat itu ketakutan sedang mengambil alih diriku, sehingga kepalaku mulai menyetel beberapa kemungkinan dan membuatku benar-benar berpikir seolah yang aku dengar, atau yang aku rasakan itu adalah kenyataan yang sebenarnya.

*BRAAAKH*

Suara pintu sebuah ruangan yang tiba-tiba terbuka, terbanting dengan sangat keras tanpa peringatan dulu itu--
--Dan orang berjubah hitam yang wajahnya tak terlihat karena kegelapan malam--

--Aku melihat seseorang yang seharusnya tak ada di sana.
***-***
“Biar aku letakkan barang-barangmu di sini.”
“Iya...Terima kasih, Emi-chan. Maaf kalau aku merepotkanmu.”
Sambil berkata seperti itu, gadis dengan rambut pirang panjang itu, Miyashita Riya, menundukkan kepala dan berjalan perlahan ke arah tempat tidur yang telah disediakan. Ia kemudian duduk di atas tempat tidur dengan selimut berwarna hijau muda yang terkesan sangat indah dan natural itu.
Dari atas ke bawah, ia mengenakan setelan pakaian yang berwarna kehitaman, tak jauh berbeda dengan yang dikenakan oleh Emi.
“.............”
Walau ia terlihat nampak tersenyum, tapi kesedihan yang teramat sangat juga masih terlihat dengan sangat jelas di wajah gadis 15 tahun itu.
Mau bagaimana lagi--Ibunya telah terbunuh dan meninggalkannya seorang diri.

5 hari yang lalu tepatnya, bertepatan dengan kejadian menggemparkan di pagi hari, terbunuhnya teman satu kelasnya yaitu Sasagawa dan Juga Karisawa dengan cara yang sangat tidak manusiawi dan terlihat kejam, di hari yang sama, sebuah penembakan terjadi di rumahnya.
Si pelaku, yang entah sama dengan pelaku pembunuhan Sasagawa dan juga Karisawa atau tidak, menembak melalui pintu depan rumah, kemudian peluru dingin itu menembus tubuh ibunya dan mengenainya.
Ia dapat terselamatkan setelah beberapa hari tak sadarkan diri dan kondisinya berangsur-angsur pulih dengan cukup cepat. Sementara itu, nyawa ibunya tak terselamatkan.

“Tidak masalah. Lagipula, kau baru saja keluar dari rumah sakit. Istirahat saja.”
Mengeluarkan beberapa helai pakaian dari dalam tas koper berwarna kecoklatan yang sebelumnya di bawa oleh Riya, gadis dengan rambut kecoklatan panjang itu, Kawada Emi, berkata dengan nada yang sangat lembut.
Gadis itu, dengan wajah yang menunjukkan bahwa dia adalah gadis yang memiliki sifat ramah dan sopan, di tambah dengan mata yang nampak bersahabat itu, adalah sahabat masa kecil Riya. Bukan ‘sahabat masa kecil’ dalam arti sebenarnya.
Kawada Emi adalah sahabat yang diciptakan oleh Riya menggunakan buku misterius bersampul merah darah itu. Dengan menggambar atau menuliskan sesuatu di dalamnya, maka apapun yang kita inginkan pasti akan menjadi kenyataan bahkan sesuatu yang tidak mungkin atau mustahil untuk didapatkan.
Seorang ‘teman’.
Buktinya--Emi ada di sini.
 “Aku letakkan pakaianmu di sini, ya?”
“Mmm...”
Gumam Riya, tidak terlalu bersemangat.

Setelah tak ada lagi yang bisa mengurusnya dan mustahil baginya untuk tinggal sendirian di rumah, yang sekaligus menjadi tempat di mana tubuh ibunya tergeletak tak berdaya waktu itu, tempat yang sekarang telah membawa, mengukir kenangan terburuk dalam hidupnya--Ia tidak mungkin bisa tahan untuk tinggal di sana dengan semua hal yang menghantui perasaannya itu.
Keluarga Kawada mempersilahkan Riya untuk tinggal di rumah mereka. Apalagi jika melihat hubungan Emi dan Riya yang memang sangat dekat, sepertinya tidak akan ada masalah dengan itu.
Mulai sekarang, Riya akan menempati sebuah kamar kosong di sebelah kamar Emi. Emi terlihat begitu senang dengan datangnya gadis itu ke rumahnya karena mereka bisa akan menghabiskan waktu bersama-sama lebih sering lagi mulai sekarang.
Tapi, tak ada siapapun diantara mereka yang bisa menebak apa yang dipikirkan olehnya. Apa yang dirasakan oleh diri Riya saat ini.
Mereka tidak mungkin mengerti. Karena mereka bukanlah orang yang kehilangan.
“....................”
Jauh di dalam dirinya, entah ia harus merasa senang atau tidak dengan semua ini.
Dapat tinggal di satu atap yang sama dengan sahabat terbaiknya, siapa yang tidak senang dengan hal itu? Mulai sekarang, kalian akan bisa belajar bersama, mengerjakan tugas bersama, bergosip setiap hari, menggoda laki-laki keren di Facebook dan berbagai hal yang biasanya dilakukan oleh gadis remaja di seluruh dunia.
Sejak dulu, yang ada dipikirannya hanyalah persahabatan. Bagaimana caranya aku bisa berteman dengan mereka? Bagaimana caranya aku bisa masuk ke lingkaran mereka yang telah terbentuk itu?
Ia selalu saja kesal dan terus mengeluhkan hubungannya dengan Haruko dan juga Runa yang seolah terjebak di dalam sebuah lingkaran berlabel ‘2 orang’. Sudah merupakan harapannya untuk menemukan satu orang lagi, seorang teman yang selalu ada untuknya.
Sekarang ada Kawada Emi. Hanya saja sekarang, semua itu seolah tidak penting lagi baginya.
Ia akan melakukan apa saja seandainya ia bisa kembali menghidupkan ibunya. Ia akan memberikan apa saja agar hari-hari bersama ibunya yang baru saja dimulai dapat terus berjalan. Ia akan menyerahkan apapun agar ikatan bersama ibunya yang baru saja terbentuk, dapat terus bertahan sampai hari ini. Dan keesokan harinya.
“.............[Kalau saja aku bisa menggunakan buku itu untuk membawa ibu kembali...].”
‘Kalau saja’,
Jika ia bisa melakukan itu--Mungkinkah ibunya benar-benar bisa kembali lagi?

“........Karena aku percaya, kalau kau tidak mungkin melakukan hal seperti itu...”

Kata-kata yang seakan-akan menguatkan dirinya ketika dirinya merasa bukan siapa-siapa lagi, di saat semuanya justru menuduhnya melakukan hal yang tak ia lakukan, kata-kata singkat yang ia ucapkan itu menjadi penyemangat baginya untuk kembali bangkit dan percaya. Bahwa tak semua orang yang ada di dekatnya berpikiran sama.

“--Kau tidak perlu merasa khawatir lagi. Setidaknya, sudah ada 3 orang yang akan berdiri untukmu, dan untuk selamanya bagi mereka, kau tetaplah orang yang sama, Miyashita Riya yang sama dan tidak berubah. Kau, bukan seperti yang orang-orang itu katakan padamu!”


“.................[Aku--Tetaplah Miyashita Riya yang sama dan tidak berubah. Aku bukan seperti yang mereka katakan padaku...].”
Ia masih dapat mengingat dengan jelas semua perkataan itu, seperti baru kemarin ia mendengarnya. Bagaimana keyakinan kuat yang tergambar di wajah cantik ibunya itu ketika mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya.
Seperti apa kuatnya suara wanita itu, dengan kata-katanya yang terdengar luar biasa.
“[Jujur saja, aku agak sedikit terkejut saat itu].”

“Jika semua orang berkata jelek tentang dirimu, ibu akan berdiri di sana untuk melindungimu! Jika Runa maupun Haruko meninggalkanmu, ibu akan tetap ada di sini dan bersamamu!!!”
“Dan jika semua orang di seluruh dunia ini berbalik memusuhimu, maka ibu akan menjadikan mereka semua sebagai musuhku juga!”

Ia--Bahkan tak merasa masalah jika harus membuat seluruh dunia ini memusuhinya, hanya supaya bisa berdiri di samping putri yang sangat ia sayangi. Putri satu-satunya dalam hidupnya.
Apapun yang terjadi, ia akan berdiri di depan putrinya, tak membiarkan siapapun menyakitinya lebih jauh lagi. Apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah meninggalkan putrinya seorang diri, meski itu artinya ia harus hidup kesepian tanpa orang lain.
Apa saja akan ia lakukan demi putrinya. Apa saja.
Entah mengapa, ia baru saja menyadarinya di saat itu--Betapa ibunya sangat peduli padanya.
Padanya yang selalu mengeluh itu, padanya yang selalu tak menuruti apa yang ia katakan itu--Semua yang ia katakan demi kebaikannya sendiri, sama sekali tak ada maksud untuk menyakiti hatinya dan menghakiminya.
“...........[Jika saja ada kesempatan kedua--].”
Ia menghentikan pikirannya di situ.
Jika ia teruskan, mungkin akan--
--‘Jika saja seandainya ada kesempatan kedua untuk menggunakan buku itu--‘
“............[Tapi itu tidak mungkin...].”
Karena itu tidak mungkin untuk dilakukan. Buku itu, hanya dapat digunakan sekali oleh satu orang.
Tiba-tiba saja Riya tertegun. Sudah berapa lama sejak kejadian dengan buku itu? Ia sudah tak pernah mengingat-ingat soal itu dan memikirkannya lagi, seolah ia lupa tentang keberadaan buku misterius tersebut.
Di mana buku itu sekarang?
“Riya--“
“.................”
Pada waktu itu, suatu pikiran muncul di kepalanya. Buku itu memang hanya bisa digunakan satu kali, oleh orang yang sama. Tapi--
“............[Kalau saja aku bisa menemukan buku itu--Sekali lagi, dan menyuruh orang lain yang menuliskannya untukku--].”
Apa itu bisa menjadi sebuah jalan keluar?
“--Ya-chan...Kau dengar aku?”
“Eh? Ah?”
Terbangun dari lamunannya, Riya langsung meloncat kaget saat mendengar suara orang menyebut nama seseorang--Dan wajah Emi yang ternyata sudah sangat dekat dengannya.
Sejak kapan ia ada di sini?
“Eh...Eh...”
Riya tidak tahu apa yang harus ia katakan atau respon seperti apa yang seharusnya ia berikan. Bahkan ia sama sekali tidak menyadari keberadaan Emi, dan sepertinya, gadis itu sudah beberapa kali memanggilnya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Jadi, ia hanya mengatakan,
“Eh--Maaf merepotkanmu...”
“?”
Muncul sebuah tanda tanya di atas kepala Emi ketika gadis itu memiringkan sedikit kepalanya dengan wajah bingung. Mungkin itu karena apa yang dikatkan oleh Riya sama sekali tak menjawab pertanyaannya yang sebelumnya, yang bahkan tak sampai ke telinganya.
“Merepotkan bagaimana maksudmu itu?”
Ujar Emi sambil sekilas tersenyum. Ia lalu menarik wajahnya menjauhi Riya, masih sambil membawa tumpukan beberapa baju, Emi kembali berjalan ke arah lemari dan membukanya dengan kedua tangan setelah ia meletakkan pakaian-pakaian Riya di sisi tempat tidur untuk sementara.
“.....................”
“Ah...”
“Kalau masalah repot atau tidak, sudah kukatakan dari awal’kan, kalau aku sama sekali tidak merasa repot? Bisa melakukan sesuatu untuk seorang teman yang sedang sepertimu, dan bisa menjadi tempat untukmu tinggal, aku merasa cukup senang.”
Emi berkata, dan walau saat ini Riya tak bisa melihat wajah seperti apa yang ia buat, dari nada bicaranya memang tidak terdengar sedikit pun keluhan. Seperti ia benar-benar menikmati ini.
Ketika ia membayangkan itu, yang muncul di benak Riya bukan lagi ‘Mungkin seperti ini rasanya memiliki seorang teman’, melainkan bagaimana rasanya ‘memiliki saudara perempuan’. Karena ia sebelumnya adalah anak tunggal, tak jarang ia selalu merasakan apa yang biasa sering dirasakan oleh anak tunggal.
Itu--Adalah perasaan kesepian.
Alasan terbesar Riya kenapa ia begitu menginginkan seorang teman, atau bisa terlibat bersama Haruko dan Runa, mungkin juga karena itu. Ia tak pernah benar-benar memikirkannya sampai saat ini, bahwa ia ternyata membutuhkan seorang teman lebih dari itu.
“[Mungkin ternyata memang karena itu...]. Iya...Terima kasih, Emi-chan. Berkatmu, aku bisa menjadi sedikit lebih tenang sekarang.”
Ia berkata, mengalihkan pandangannya ke arah Emi yang terlihat sedang sibuk menata pakaiannya di dalam lemari berwarna kecoklatan itu, dengan senyuman di wajahnya.
Hanya sedikit lebih tenang.
Setelah mengatakan hal itu, Riya kembali mengalihkan pandangan dan melihat ke arah lantai. Jika saja ia sekarang sedang menatap cermin, atau setidaknya jika lantai itu dapat merefleksikan wajahnya, kira-kira ekspresi menyedihkan macam apa yang sekarang ia buat?
“...................”
“Yang tadi aku katakan padamu itu--“
“Hm?”
“--Apa ada sesuatu yang ingin kau dapatkan untuk makan malam nanti?”
“Makan malam?”
Riya sedikit tertegun, meski itu sebenarnya bukan sebuah pertanyaan yang bisa membuat seseorang merasa terkejut
Menutup lemari dengan perlahan, Emi menyambung perkataannya sambil berbalik menghadap ke arah Riya sedang terduduk.
“Mhm, ada yang ingin kau makan saat makan malam nanti? Atau kau ingin ibuku membuatkan masakan favoritmu?”
Tanyanya dengan kedua tangan di belakang tubuhnya sambil bersandar pada lemari yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu.
Mendengar itu, muncul perasaan tidak enak di dalam diri Riya. Ia lalu menggeleng pelan.
“Eh, tidak usah. Kalian sudah memperbolehkan aku untuk tinggal di sini saja--Bagiku itu sudah lebih dari cukup. Mana boleh aku meminta lebih...”
Ia berkata, sambil menggerakkan kedua kakinya.
Apa yang keluarga Emi lakukan untuknya sudah lebih dari cukup. Dan ia sungguh berterima kasih untuk itu.
“Mn, Tentu saja boleh. Kau sudah seperti saudara untukku, Riya-chan. Kau boleh minta apa saja yang kau inginkan. Nanti, akan kubuatkan untukmu. Kau tahu’kan, aku jago memasak? He he.”
Ucap gadis berambut coklat itu, mendekatkan telunjuk mendekati bibirnya.
“Ha ha, iya, aku tahu. Kau benar-benar pandai dalam segala hal.....Tapi aku serius, kau tidak perlu repot-repot hanya demi aku. Tidak apa-apa...Tidak perlu...”
Kata Riya, sedikit tersenyum. Mungkin lebih terlihat jika ia sedang memaksakan senyuman itu.
Kali ini, Emi yang menggelengkan kepala,
“Tidak, tidak. Tentu saja perlu. Kau baru saja mengalami hari yang buruk--Ah, maaf, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membicarakannya--! Maksudku itu, adalah kau baru saja keluar dari rumah sakit. Walau aku belum pernah kecelakaan atau luka parah yang bisa membuatku masuk ke sana, tapi setidaknya aku tahu, kalau makanan rumah sakit itu rasanya tidak enak dan kau tidak akan bisa mendapatkan makanan favoritmu di dalam daftar menu masakan rumah sakit. Setidaknya, kau harus makan enak sekarang! Buatlah dirimu...”
“.................”
Riya hanya bisa memandang Emi, yang tiba-tiba saja menghentikan ucapannya sendiri dengan raut wajah aneh yang tergambar jelas di wajahnya.
“Mnn...”
Emi bergumam pelan, mengatakan sesuatu yang tidak terdengar terlalu jelas, hingga akhirnya ia mengatakan lanjutan dari ucapannya,
“....Jadi sedikit lebih bahagia...”
“.................”
Jujur saja, Riya cukup terkejut dengan perkataan Emi barusan. Namun, kali ini itu sama sekali tak tergambar di wajahnya, seakan-akan ia hanya menatap datar ke arah semuanya. Walau ia tak menduga kata-kata itu akan terlontar dari mulut Emi, sepertinya, ada bagian dari alam bawah sadarnya yang sudah menduga munculnya kata-kata itu.
Ia tahu, secara tidak langsung, ia telah membuat semua orang khawatir dengan tatapan di mana tak ada apapun yang terpancar di dalamnya selain rasa sakit itu. Sudah sewajarnya ia merasa sedih. Semua orang pasti akan memaklumi bagaimana perasaannya saat ini. Bahkan ia tak sempat melihat wajah ibunya yang terakhir kali. Hanya melalui foto yang di pajang di upacara pemakaman ibunya hari ini nanti dan dari ingatan serta kenangannya saja.
Seandainya ia, lebih cepat bangun dan membuka mata, mungkin ia bisa mengucapkan ucapan selamat tinggal yang untuk yang terakhir kali, dan mengatakan bagaimana ia benar-benar sangat mencintainya.
“Bagaimana dengan kare favoritmu?”

“Tidak mau makan malam? Hari ini, ibu buatkan nasi kare favoritmu.”

“.....................”
Tak ada ekspresi jelas yang tergambar di wajahnya ketika ia mendengar kata-kata itu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Semua hal di dunia ini--Serasa tak dapat terkontrol. Seolah semua berputar tak beraturan. Seakan-akan semua pikiran rasionalnya telah direbut, sehingga ia tak dapat memikirkan apapun lagi.
Ia mulai merasa pusing, bersamaan dengan darah yang berada di tubuhnya, seolah bergejolak seperti ombak di lautan. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, hanya saja, sensai itu terasa sangat kuat dan mampu mengambil alih seluruh kerja sistem di dalam tubuhnya.
Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tidak tahu apa. Ia ingin berteriak, tapi ia kehilangan kata untuk diteriakkan. Ia tak punya kekuatan lagi, ia tak punya waktu lagi, hanya untuk memikirkan apa yang ia rasakan dan ingin ia ungkapkan
Bagian yang terluka rasanya kembali terasa sakit. Jauh lebih sakit dibanding sebelumnya. Hingga beberapa saat kemudian ia baru sadar, kalau rasa sakit itu bukan berasal dari sana. Melainkan dari dadanya.
Rasanya seperti terbakar oleh sesuatu. Sangat menyakitkan Sangat menyakitkan Sangat menyakitkan. Ia tidak tahu harus menahannya seperti apa lagi. Ia tidak tahu harus melakukan apa lagi. Ia ingin muntah, mengeluarkan seluruh yang ada di dalam dirinya.
“........Kau tahu Emi-chan...?”
“.................”
“Ibuku--Selalu membuatkan aku nasi kare. Bagiku, itu adalah masakannya yang paling enak yang pernah ia buat. Aku mungkin tidak pernah bilang...Tapi ibuku sama sekali tidak pandai memasak...”
“........Riya-chan...”
Emi, yang membuat ekspresi seakan-akan ia telah melakukan sesuatu yang salah, langsung berjalan mendekati sahabatnya itu, dan memeluknya dengan erat.
“...........Aneh sekali bukan...? Satu-satunya yang bisa ia buat dengan baik, hanyalah nasi kare itu...Dan aku mulai menyukainya...Benar-benar menyukainya sampai aku bisa tambah sebanyak 3 piring lagi...Aku benar-benar menyukainya...Tak ada yang memiliki rasa seperti itu selain buatan ibuku...”
“.....Kalau begitu, itu pasti karena Riya-chan terlihat sangat bahagia ketika memakannya...”
“Aku rasa. Hubunganku dengan ibuku--Sebenarnya juga tidaklah sebaik itu...”
“Terkadang anak dan orang tua memang sering berbeda pendapat...”
“Aku sering sekali mengecewakannya, membuatnya berteriak ke arahku...”

“Tiap kali kutanya ‘Bagaimana sekolahmu hari ini’, kau selalu saja menjawab dengan ‘Membosankan’. Itu membuatku sedikit khawatir, kalau-kalau kau tidak menikmati kehidupan di sekolahmu.”
“Bukan hanya itu saja yang aku khawatirkan. Nilaimu juga selalu jelek. Gurumu kemarin meneleponku mengenai masalah itu. Kau tahu betapa malunya aku?”
“Bukan masalah pelajarannya yang terlalu susah. Tapi, kurasa masalahnya ada pada dirimu sendiri.”
“Kau itu, tidak pernah serius dalam segala hal.  Tidak bisa diandalkan. Tidak ingin berusaha. Masalah belajar pun kau tidak bisa serius. Hanya mengeluh dan mengeluh saja. Kau itu, terlalu banyak menyalahkan dunia dan orang lain. Salah gurumu, salah temanmu, salah siapapun, tapi, apa kau pernah, sekalipun menyalahkan dirimu sendiri atas semua yang terjadi? Kau selalu saja menuntut! Pantas saja temanmu hanya sedikit. Aku masih bersyukur karena Haruko-chan dan runa-chan mau menjadi teman anak sepertimu, Riya.”

“Saat itu aku tidak sadar, dan balik membalas dengan sinis...Ibuku selalu saja seperti itu, selalu memarahiku, menyudutkanku, tak pernah sekali pun ia membelaku. Ketika aku mendengar itu, kau tahu apa yang ada dipikiranku? ‘Apa ada orang tua yang berkata seperti itu tentang anaknya’? Itu yang aku pikirkan... Sekarang aku baru mengetahui jawabannya...Tidak ada...Bahkan ibuku sekalipun...”
 Saat mengatakan hal itu, sekilas senyuman terlihat di wajah Riya. Tapi itu tak membuat siapapun yang melihatnya merasa ikut tersenyum, melainkan justru membuat hati terasa hancur.
“Aku paham, ibuku memarahiku karena sikapku selama ini. Yang tak mau berusaha, hanya bisa terus mengeluh dan mengeluh saja...”
Seperti ketika persahabatan Haruko dan Runa yang berada di lingkaran 2 orang. Kenapa ia tak mencoba untuk masuk? Kenapa ia tak melakukan berbagai macam cara agar bisa bergabung dengan mereka? Berpura-pura menyukai drama yang mereka berdua sukai, berpura-pura menanyakan tugas atau apapun itu.
Bersama teman-teman yang lain? Kenapa ia selalu memandang egois mereka? Kenapa ia selalu memandang kalau mereka yang tidak mau mendekatinya? Bukankah--Dia sendiri yang membuat jarak dan tak mau mendekati duluan?
Tentang Mochida--Apa ia pernah menanyakan kepada kenapa ia selalu mengikutinya? Kenapa ia selalu menyapanya? Kenapa ia selalu bersikap baik padanya? Apa benar itu karena ia ingin menganggunya, mengerjainya atau sekedar menggodanya seperti yang biasa anak laki-laki lakukan?
Ia hanya bisa mengeluh, tiap hari, kata ‘Menyebalkan’ tak pernah absen keluar dari mulutnya.
Kini ia sadar. Satu hal terburuk tentang dirinya,
“Aku--Memang selalu kurang dalam usaha dan hanya bisa mengeluh...”
Dan menakutkannya, itu membutuhkan waktu sampai ibunya tewas, baru dia menyadarinya.
Di lain pihak, pelukan Emi terasa semakin erat.
“..............Aku selalu menyalahkan semuanya. Tapi aku tak pernah menyalahkan diriku sendiri. Aku tak ingin menyalahkan diriku sediri. Aku tak pernah bercermin, merefleksikan apa yang telah kulakukan dan melihat betapa buruk sosok yang menatapku balik dari cermin itu...”
“....................”
“Aku selalu menganggap apa yang dikatakan oleh ibuku hanya sebuah omong kosong. Tak pernah menganggap serius apa yang ia katakan. Tapi--“
“.............”
“Tapi, kenapa--“
“..................”
“Kenapa harus--“
“................”
“--Berakhir seperti ini baru aku mengerti apa yang ia katakan padaku...? Bahwa dari semua nasihatnya, amarahnya, tersimpan nada khawatir yang amat sangat untukku! Tersimpan kepedulian dan cintanya padaku!”
“..............”
“Padahal, baru saja--“
Bayangan ibunya yang memeluknya, senyumannya yang hangat, terbayang dibenaknya. Hanya sedikit, ia berusaha menggapai kehangatan yang hanya tersisa sedikit itu dengan tangannya kemudian mendekapnya dan menjaganya.
“--Baru saja, kupikir hubunganku dengan ibuku akan semakin membaik...”
“.................”
“Baru saja aku berpikir, aku bisa mengerti dia lebih dari selama ini...”
“...................”
“Baru saja aku mengubah sudut pandangku tentangnya selama ini--Dan membuka lembaran hidup yang baru, di mana kita berdua bisa melangkah bersama sambil bergandengan tangan--! Tapi--Tapi--“
“.......................”
“...............................”
“..........................”
“.........................”
“Maaf...”
Dengan suaranya yang selalu terdengar lembut, ia berkata,
Emi mengatakan sebuah kata, dan saat itu, meski kelihatan atau tidak, tubuh Riya sedikit bergetar.
“.............Bukan salahmu...”
“Ini salahku. Tidak seharusnya aku mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan ibumu di saat seperti ini. Aku minta maaf. Aku telah berjanji tidak akan lagi membahasnya--Itu keluar dari mulutku begitu saja. Tak ada niat untuk membuatmu teringat atau apapun.”
“.....Aku tahu.”
“......Riya-chan, aku sangat senang kau bisa pindah kemari. Jujur saja, semua perasaan itu memang yang sebenarnya dan bukan suatu kebohongan. Aku benar-benar bersyukur kau datang ke rumahku--Ah, apa yang sebenarnya aku bicarakan di sini...?”
“...................”
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk mengungkapkan perasaanku. Kenapa aku jadi seolah terdengar, menjadi satu-satunya orang yang senang atas peristiwa ini? Yah, apapun intinya, aku senang sekarang bisa tinggal serumah denganmu, tapi aku tetap merasa lebih baik--Kalau kau tetap tinggal bersama ibumu...Tidak ada yang akan bisa menggantikannya...”
“..........Ya, kau benar...”
 “Semua yang terjadi pasti karena ada suatu alasan di baliknya, yang kita tidak tahu apa itu. Tidak mungkin hanya kebetulan atau terjadi dengan sendirinya.”
“.............Sepertinya begitu...”
“Pasti ada yang ingin disampaikan dengan adanya kejadian ini...”
“Semoga itu benar...”
“......................”
“....................................”
“.........Maaf...”
Sekali lagi, tubuh Riya bergetar.

“Jadi setelah ini--Apapun yang terjadi, atau luka seperti apa yang akan kau dapatkan dalam hidup ini, kau tidak akan menangis dan meneteskan air mata seperti hari ini lagi.”

Dan air mata itu mengalir, turun, menetes ke lantai berwarna putih.
***-***
Hujan turun rintik-rintik pada siang hari itu.
Tidak terlalu deras, tapi semua orang berpakaian hitam yang berdatangan ke rumah keluarga Miyashita, membawa sebuah payung di tangan mereka yang sama dengan warna pakaian tiap orang, seolah membuat mereka seperti pengiring atau pengantar kematian.
Ekspresi wajah sedih dibuat oleh mereka. Atau ekspresi wajah yang dibuat-buat seakan-akan mereka terlihat sedih dan turut menyesal atas semua ini, agar orang lain tak menilai mereka berhati dingin atau tak memiliki rasa kemanusiaan. Meneteskan setetes air mata, yang entah tulus atau tidak.
Manusia adalah mahluk seperti itu. Seberapa kerasnya mereka berusaha menyakinkan orang lain seberapa baiknya mereka, seberapa pedulinya mereka, tidak ada yang tahu apa itu benar atau salah, selain orang yang mengatakannya.
Yang mana pun, saat ini mereka semua berkumpul untuk satu hal. Upacara pemakaman ibu Riya.
“Miyashita-san adalah tetangga yang baik.”
“Kau benar. Terakhir, suamiku sedang mengalami kecelakaan dan harus dioperasi. Aku sudah mencoba meminjam kepada beberapa orang, dan hanya Miyashita-san yang mau meminjamkan uang kepadaku.”
Pemakaman ini diadakan di rumah keluarga Miyashita.
 Garis polisi yang terlihat membatasi rumah ini, telah dilepas. Bekas darah juga tak berbekas sedikit pun. Seolah sama sekali tak ada kejadian mengerikan yang terjadi di rumah ini. Seolah suara tembakan itu sebenarnya tidak pernah ada. Seolah rumah ini tak pernah menjadi saksi bisu sebuah kasusupembunuhan. Seolah rumah ini hanya ditutup untuk sementara waktu dan kini kembali dibuka.
Hanya saja, apapun yang terjadi--Pembunuhan itu memang benar terjadi di sini.
“Aku masih ingat saat datang ke rumahnya dan mencoba kue buatannya. Rasanya enak, dan kurasa aku akan sangat merindukan kemampuan Miyashita-san dalam memasak dalam waktu dekat.”
“.................”
Sambil mendengarkan pembicaraan orang-orang yang sepertinya membicarakan bagaimana ibunya semasa hidup, Riya mengalihkan pandangannya ke arah mereka, tanpa menyadari, seorang tamu telah sampai di depannya dan ingin bersalaman sambil memberi ungkapan bela sungkawa.
“Riya-chan.”
Melihat Riya yang nampak tak konsentrasi dan justru melihat ke arah lain, Emi berbisik pelan sambil mengangkat sebelah alisnya, membuat Riya meloncat kaget dan langsung menyodorkan tangannya.
“Aku turut menyesal atas apa yang terjadi apdamu, Nak. Kau masih muda dan masih memerlukan bimbingan. Tapi aku yakin, meski tubuhnya tidak ada di dunia ini lagi, jiwanya akan tetap ada dan menjagamu.”
Pria botak yang kelihatan cukup tua itu menepuk pundak Riya sambil sedikit memberikan sekilas senyum padanya.
Sementara itu, Riya mengangguk dan mengatakan ‘Terima kasih’, dengan suara pelan yang terkesan malas.
Berdiri di depan pintu, Riya menyambut para tamu yang masih terus berdatangan, dengan Emi di sampingnya.
Wajahnya benar-benar nampak buruk dan terlihat suram. Ketika semua tamu mengucapkan kalimat ‘Aku turut menyesal atas yang menimpa ibumu’, yang seolah sudah sangat biasa terdengar di upacara-upacara kematian seperti ini padanya, seolah-olah sudah bosan dan muak dengan semua itu, ia hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Benar-benar seperti robot tanpa emosi dengan gerakan yang kaku dan nada bicara yang monoton.
Terlihat sedikit menyeramkan, tapi semua berusaha memaklumi itu. Seorang gadis berusia 15 tahun harus kehilangan satu-satunya anggota keluarga--Rasanya itu terlalu cepat. Dan semua memahami betapa sedihnya gadis itu.
Tanpa Riya ketahui, dari tadi Emi yang berada di sampingnya dan ikut bersamanya untuk menyambut tamu, beberapa kali menoleh ke arahnya dan memperhatikannya dengan wajah sedih. Ia tak mengatakan apapun, hanya menghela nafas, dan ketika sadar ada tamu yang kembali datang, ia kembali fokus dan tersenyum ke arah mereka sambil menyampaikan betapa senangnya ia dan Riya atas kedatangan mereka.
Begitu mereka telah masuk sambil membawa bunga-bunga berwarna putih, pandangan Emi kembali tertuju pada Riya.
“...............”
Mata Riya kembali tertuju ke arah segerombolan wanita yang sedang berbicara di sudut ruangan. Kelihatannya mungkin hubungan mereka cukup dekat ibunya dan sangat akrab.
Kalau dilihat sekali lagi, sebagian besar yang datang kemari adalah orang-orang tua. Mungkin sahabat ibunya dan tetangga-tetangga di sekitar rumah yang sedang tidak sibuk atau apapun. Hanya sedikit gadis atau pemuda seusianya yang datang. Tak banyak teman satu sekolahnya yang datang.
Sepertinya, para orang tua jauh lebih pengertian dan memiliki rasa peduli yang lebih besar dibandingkan dengan anak muda.
Atau itu hanya karena ia yang tak terlalu dekat dengan siapapun. Walau begitu, mereka pasti tahu kalau kalau musibah yang sangat berat sedang menimpanya karena di kota seperti ini, berita dan gosip sangat cepat menyebar seperti virus.
Tapi sudahlah, seperti yang ia perkirakan sebelumnya, memang teman satu sekolahnya itu, tak ada yang peduli padanya.
Bukan berarti ia peduli pada mereka dan mengharapkan mereka datang kemari. Akan lebih baik kalau ucapara pemakaman ibunya ini tidak kotor oleh kehadiran mereka yang penuh dengan palsu dan topeng.
‘Aku harus menangis seperti ini’
‘Aku harus bersikap seperti ini’
‘Aku harus mengatakan ucapan seperti ini’,
Semua ‘keharusan-keharusan’ tidak penting itulah yang pasti ada di kepala-kepala mereka sebelum menginjakkan kaki di depan rumah, seolah sedang mempelajari sebuah naskah drama dan mengingat kembali bagaimana cara berakting. Mereka bicara seolah-olah sedih akan sesuatu, padahal hati mereka sedang tertawa seakan-akan yang terjadi adalah sesuatu yang sangat konyol.
“[Mereka memang orang-orang seperti itu].”
Ucapnya dalam hati.
Lalu tanpa ia sadari, bola matanya bergerak-gerak, menyusuri tiap sudut ruang yang sempit dan kecil ini. Memperhatikan tiap orang yang sedang berbincang, menangis sedih, atau sedang berdoa, ia melihat semuanya. Ia tahu, ada satu orang yang benar-benar akan mengucapkan kalimat ungkapan turut berduka cita dengan kesungguhan dari dalam hatinya.
Berusaha mencari ‘seseorang’ sambil terus berharap agar ia benar-benar datang dan tak melakukan sesuai yang diucapkannya waktu itu.
Ia tak tahu kenapa, hanya ia sedikit bisa merasa, kalau ia akan menjadi lebih tenang, seandainya jika ia muncul dan tersenyum ke arahnya.
“...................”
Dari semua itu, ia tak menangkap sosok yang ia kenal.
Kelihatannya, ia benar-benar takkan muncul.
“..................[Apa yang dikatakannya kemarin itu benar...Dia tidak akan pernah muncul lagi di hadapanku].”
Mengingat semua yang terjadi semalam, tidak tahu kenapa rasanya terasa semakin menyedihkan untuknya. Hidupnya tidak akan menjadi lebih buruk setelah ini--Tidak, mungkin masih akan ada banyak hal, kejutan yang menanti di depan sana untuk dibuka.
Ia hanya terlalu takut--Untuk menemukan bahwa itu sebuah kejutan yang tak diinginkan.

“Mulai sekarang, seperti yang selalu kau inginkan dariku sejak dulu, aku tidak akan pernah muncul lagi dihadapanmu, atau menemuimu. Di sekolah, aku akan berpura-pura kita tak saling mengenal sebelumnya. Itu’kan--Yang sangat kau ingin’kan...?”

“.............[Baru sekarang--].”
........................
Kedua tangannya bergetar.
Ia selalu seperti itu. Apapun yang terjadi, ia tak pernah mempedulikan orang yang selama ini selalu peduli padanya. ‘Akan lebih baik kalau dia tak mengangguku lagi’, kata-kata itu selalu membayangi hari-harinya tiap kali bertemu atau hanya sekedar berpapasan tanpa peringatan. Ia selalu merasa benci, sebal, tidak suka, semua perasaan negatif lainnya.
Cuma melihat senyuman yang terkesan seperti seorang idiot di wajahnya itu--Ia langsung memalingkan wajah. Ia selalu bertanya-tanya di tiap detiknya, sebenarnya apa yang orang-orang lihat dari orang itu?
Baginya, ia terlihat biasa-biasa saja dan tidak terlalu mencolok jika dibandingkan dengan semuanya.
Ia tak pernah peduli--Pada orang yang selalu ia sebuat ‘alien’ itu,
--Setidaknya sampai hari ini.
Sampai ia memikirkan kembali semuanya, semua kebaikannya, semua senyum yang ia buat, menimbang-nimbang jauh lebih dalam lagi ke dalam hatinya--
--Ia menemukan sesuatu di balik semua itu.
Sebuah kilauan yang sangat indah dan bercahaya. Hanya untuknyalah, kilauan itu ada. Hanya untuk dirinyalah ia bisa berkilau seindah itu. Semua itu dilakukan hanya demi dirinya.
Siapa yang melindunginya saat itu? Siapa yang mengatakan kalau ia masih akan terus memilikinya apapun yang akan terjadi selanjutnya? Siapa yang selalu melambaikan tangan dan meneriakkan namanya tiap kali mereka bertemu ketika tak ada satu pun yang mau menyapanya? Siapa yang--Ia harapkan waktu itu untuk berada di sisinya?
Mungkin,
 Yang membuat orang-orang menyukainya, bukan hanya karena wajah dan fisiknya, tapi juga karena hatinya. Orang satu ini, adalah tipe idiot baik hati yang selalu memikirkan orang lain. Yang selalu mementingkan kepentngan orang lain terlebih dahulu. Dia hanya--Benar-benar baik...
Tiap kali ia menatap mata itu--Ia bisa melihat kehangatan di dalamnya. Sesuatu telah membutakannya, sehingga tak mampu melihat semuanya dengan jelas. Kabut asap tebal yang semula tipis itu, pelan-pelan mulai semakin menebal.
Ia benci dengan kabut asap tebal yang sekarang seolah menyelimuti hatinya. Ia tahu, sesuatu yang tidak beres telah terjadi dengannya. Ini, adalah suatu perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, dan--
 “[--Kenapa baru sekarang aku memikirkan semua ini--!].”
“Aku berpikir, apa pembunuh itu masih berkeliaran di sini...?”
“!?”
Ia tertegun, ketika tiba-tiba seseorang membicarakan mengenai pembunuhan yang terjadi. Dengan segera, ia melupakan semua pikiran itu, dan mencari suara yang menjadi asal percakapan.
Ah, dia menemukannya. 3 orang pria yang duduk di sofa tak jauh darinya. Sepertinya ia bisa mencoba mendapatkan sedikit informasi, karena ia telah berada jauh dari dunia luar selama di rumah sakit [Waktu itu, ia tak berbicara dengan siapapun, dan semua yang datang pasti tahu kalau ia tak ingin membicarakannya, ia sedikit tertinggal dengan informasi terbaru dari pembunuhan itu].
“[Tapi tak mungkin jika sudah tertangkap...Kalau iya...Polisi pasti akan memberitahuku, karena aku juga korban...].”
Pikirnya dalam hati.
Bagaimanapun, ia juga ingin mengetahui, siapa orang yang telah membunuh ibunya. Apa itu orang yang sama, yang telah membunuh Sasagawa dan juga Karisawa?
Riya tidak tahu itu tapi ia bisa pastikan apa yang akan ia lakukan pada pembunuh itu, seandainya ia berhasil ditemukan. Ketika ia berpikiran seperti itu, perasaan aneh timbul di dalam dirinya.
Orang yang di tengah, dengan dasi berwarna hijau, berkata,
“Entah. Tapi kau tahu, orang itu bisa melarikan diri dengan sangat cepat. Kelihatan sekali kalau dia mengenal lingkungan sekitar rumah dengan baik. Bagaimana jika, kalau ternyata pelakunya berada di dekat kita?”
“[Di dekat kita?].”
“Mnn...Kurasa itu mungkin terjadi. Ia pasti tahu jalan tercepat agar bisa melarikan diri dan terhindar dari warga. Kau tahu? Cara membunuhnya itu--terang-terangan sekali!!”
Orang di samping kiri, dengan rambut berwarna abu-abu yang agak panjang, membalas perkataan sahabatnya sambil menaikkan sebelah kakinya.
Sebuah lubang kecil tersisa di pintu rumah keluarga Miyashita, yang sepertinya merupakan bekas peluru. Karena peluru itu sangat kuat dan mampu menembus beberapa benda di depannya, ia pasti menembak dari luar, dan mengincar seseorang di dalam.
Jika ia bisa melakukan itu, dipastikan suasana sedang dalam kondisi sepi. Masalahnya,
“[Bagaimana dia yakin seseorang yang ia incar berada tepat di target yang sudah ditentukannya? Bagaimana ia tahu, kalau saat itu, orang yang dia incar berdiri tepat di tempat peluru itu akan menembus?].”
Selain jika ia memiliki kemampuan untuk melihat menembus benda, logika manapun di dunia ini tidak akan berfungsi.
Tidak akan mungkin ada satu teori yang mampu menjelaskannya--
“[--Kecuali--Saat itu aku berteriak!?].”
“Itu bukan cuma orang di sekitar ini saja yang bisa melakukannya. Siapapun dia, dia pasti mengenal seluruh jalan di wilayah ini dengan baik. Orang yang sering datang kemari, juga patut untuk dicurigai.”
Sementara itu, orang di paling kanan yang berambut cukup pendek, memajukan sedikit tubuhnya dan menoleh ke arah 2 orang yang lain.
Pria di tengah terlihat mengangguk-anggukkan kepala, berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh pemuda di sampingnya. Tampaknya ia paham.
“Hmm, hmm...Kita masih belum bisa memperkecil kemungkinan si pelakunya’kan?”
“Tapi bukannya hasil penyelidikan polisi yang ditayangkan kemarin, kemungkinannya masih ada kalau pelaku itu murid sekolah -XXX-?”
Menaikkan jari telunjuknya, pria berambut agak panjang itu berbicara, dengan nada yang terdengar antara yakin dan tidak. Kelihatannya ia masih bingung dengan kebenaran hal itu.
“Masalahnya di sini tuan-tuan, untuk apa anak SMA membunuh?”
Tanya pria berambut pendek itu.
“Ah, kau itu seperti tidak tahu saja! SMA adalah tingkatan di mana dirimu beserta ketangguhan hatimu diuji. Disanalah kita akan menemukan berbagai masalah baru yang belum kita hadapi di tahap-tahap sekolah sebelumnya. Banyak sekali, kasus anak SMA yang bunuh diri karena tidak tahan akan ejekan teman-temannya, bullying, perkelahian, penganiayaan!”
“Tidak tahu nih! Koutaro, kau seperti tidak pernah SMA saja!”
“Memang aku tidak pernah sekolah sampai SMA!”
“Sebenarnya sih bukan cuma SMA saja, bahkan saat SMP sudah banyak penganiayaan yang terjadi. Kalian ingat tidak, tentang kasus siswi SMP yang bunuh diri waktu itu?”
Pria berambut agak panjang itu kembali bertanya pada 2 rekannya.
“Yang bunuh diri loncat dari atap sekolah itu? Hiii! Tiap kali mengingatnya, aku selalu merinding!”
Teriak pria berdasi hijau itu.
Ketika ia mendengar itu, semua perasaan lain di dalam dirinya seolah menghilang, berganti dengan rasa takut sekaligus bingung. Siswi SMP bunuh diri?
“.........[Bunuh diri--Loncat dari atap sekolah!?].”
Ucapnya dalam hati dengan wajah yang terlihat sedang memikirkan sesuatu, mendekatkan ibu jari pada bibirnya.
“.........................”
Bukan karena kengerian yang ia rasakan ketika mendengar pernyataan tentang seseorang bunuh diri, tapi--Karena ia tidak tahu apapun tentang kasus itu.
“..........[Seseorang bunuh diri...Tapi kenapa aku baru tahu itu sekarang...].”
Ia tinggal di kota ini sudah selama 15 tahun dan seingatnya, tak sekalipun ia pernah pindah untuk sementara, kemudian kembali lagi. Ia memang telah tinggal di rumah ini selama 15 tahun hidupnya. Tidak mungkin, ia melewatkan tiap kejadian yang menghebohkan, yang masuk dalam berita atau televisi.
Sekali lagi, ia berusaha mengingat-ingat. Sepertinya, ia hanya lupa. Ya, lupa. Lupa?
........................
“Itu’kan satu tahun yang lalu, dan kalau tidak salah, semua itu karena ia di-bully oleh teman sekelasnya kemudian kekasih yang sangat ia percayai direbut. Itu pasti membuat luka batin yang besar di hati gadis itu. Haaah, sekarang aku jadi kasihan padanya...”
Pemuda berambut pendek itu mengungkapkan perasaannya sambil menopang dagu dan menghela nafas.
Kali ini, pria berambut abu-abu panjang yang duduk di sisi kiri, yang berbicara,
“Ngomong-ngomong soal bullying, saat SMA aku juga pernah kena bully sih...”
“Oh, ya? Seperti apa, Kido?”
Ujar pria berdasi hijau di sampingnya, kalau tidak salah, namanya adalah Koutaro.
“Yah, biasa...Ketika itu, aku sedang menyukai seorang gadis. Dia benar-benar cantik, dan dia adalah idola SMA pada waktu itu. Semua laki-laki mengincarnya, termasuk diriku. Pada waktu itu, aku masih pakai kacamata dan nampak seperti anak kutu buku, bukan cuma itu, wajahku juga jelek dan memakai kawat gigi...”
“Apa~~!? Memangnya sekarang kau sudah tampan?? Sampai sekarang pun, kau masih jelek, Kido!”
“Apa kau bilang!? Belum tahu rasanya kenapa pukul tinju Kido yang mematikan ini, ya!? Mau dilanjutkan tidak nih!?”
Ia berteriak ke arah pria berambut pendek sambil mengacungkan tinjunya ke atas, sementara pria di paling kanan mengangkat tangan setinggi dada seolah berkata ‘Jangan dong’ dan tersenyum jahil, membiarkan rekan mereka ditengah menertawakan keduanya.
“Ehm! Jadi, biar aku lanjutkan. Intinya, gadis itu tidak mungkin melirik ke arahku, tak peduli aku selalu melihatnya ribuan kali tiap detik. Mustahil! Hubungan kami itu mustahil!! Jika saja terkabul dan aku bisa jalan sama dia, aku berjanji pada diriku akan membuat bulan keluar di pagi hari dan matahari di malam hari!”
“Apa yang sebenarnya sedang coba kau katakan pada kami...?”
Pria berdasi hijau itu bertanya dengan keringat di dahinya.
“Beberapa hari setelahnya, aku sedang menuju ke loker sepatuku. Ketika aku membukanya, seorang teman menyapaku dan tiba-tiba saja ia berteriak ‘Apa itu?’, ketika ia tidak sengaja melihat ada sepucuk surat berwarna putih di loker sepatuku.”
“Heee, surat cinta di loker sepatu? Jaman dulu banget...”
Ujar pria berambut pendek itu memberikan komentar sambil melihat ke arah lain dan tersenyum meledek, yang langsung dibalas dengan ‘Yang penting dapat!!’.
“Karena aku kurang cepat, teman satu kelas itu segera merebutnya dariku. Tanpa seijinku, ia membuka surat putih itu, dan ternyata--Isinya adalah ajakan bertemu dari -XXX- [Nama di sensor]!! Uwooo! Coba kau bayangkan, bagaimana ekspresiku waktu itu!! Aku bahkan sekarang tidak tahu harus membuat wajah seperti apa! Yang pasti, aku takjub sekali! Dia bilang, ‘Kau imut!!’.”
Ia berkata, yang langsung membuat 2 orang di sebelahnya memasang wajah ingin muntah.
“Eh, apa benar itu isi suratnya? Tidakkah teman satu kelasmu itu mengerjaimu?”
Tanya pria berambut pendek itu sambil menggaruk belakang kepala.
Pria berambut abu-abu itu menggeleng, lalu melanjutkan kisahnya,
“Tidak, setelah itu ia memberikan surat itu padaku dan aku membacanya. Benar dari -XXX-, kok! Dan itu memang tulisan tangannya.”
“Dari mana kau tahu kalau itu memang tulisan tangannya?”
Kali ini pria berdasi yang melontarkan pertanyaan.
“Aku pernah mengembalikan buku catatannya.”
Katanya, yang langsung ditanggapi oleh 2 orang lainnya dengan wajah yang seolah berkata ‘Itu menjelaskan semuanya’.
“Kau datang menemuinya setelah itu?”
Tanya pemuda berdasi hijau. Terdengar nada penasaran saat ia berbicara.
“Aku, saat itu--Aku tidak menemuinya...”
“Haaa!!? KENAPA!!?
Mereka berdua berteriak serempak.
“Hmm...”
Ia bergumam sebentar, memejamkan kedua mata seolah bersiap akan sesuatu, lalu ketika ia membuka kembali matanya, ia mengangkat telunjuknya, kemudian menoleh ke arah 2 temannya dan--
“--Karena aku masih memikirkan cara bagaimana membuat bulan muncul pada pagi hari dan matahari pada malam ha--//plaaaak//-- Aduh!! Hey, kalian berduaaa!!!!”
“Jangan membuat kami emosi jiwa, ya!!? Cepat ceritakan yang sebenarnya!!”
Kedua orang di sampingnya kembali berteriak kompak seusai menghujani pukulan tepat di atas kepalanya, membuatnya berkata ‘Oke, oke, jangan marah, aku lanjutkan!’.
Sambil mengusap bagian yang terasa sakit, ia kemudian menundukkan kepalanya dan menghela nafas,
“Yah, kejadian setelahnya, aku menemuinya, dengan perasaan benar-benar bahagia karena ternyata ia mengetahui keberadaanku dan perasaan kami berbalas. Saat aku sampai ke ruang kelas kosong yang bermandikan cahaya mentari sore itu--“
“Hey, sejak kapan pernyataan cinta itu dilakukan di kelas? Aku baru tahu kalau latarnya sore hari sepulang sekolah...”
“Kido selalu kurang bicara sih!”
Pria berambut pendek dan berdasi itu memberikan komentar secara bergantian.
“Berisik!! Ikuti saja ceritanya! LALU, setelah aku sampai di kelas kosong yang bermandikan cahaya matahari di sore hari itu, ketika aku akan membuka pintunya, sebuah ember berisi air langsung mengguyurku.”
Ia kembali bercerita, dan sampai bagian itu, ekspresi wajah kedua orang yang lain, terlihat cukup terkejut. Wajahnya sendiri juga ikut menjadi suram.
“Yah, kurasa tanpa aku beritahu kelanjutannya, kalian sudah tahu sendiri yang akan terjadi’kan?”
“Sudahlah lanjutkan saja. Menyenangkan sekali melihat wajahmu yang menyedihkan itu ketika mengenang masa lalu.”
“Anda jangan bercanda, ya...”
Pria berambut agak panjang itu otomatis langsung memasang wajah kesal ke arah pria berdasi hijau yang kini menatap sedih ke arahnya sambil menutupi bagian mulut dengan tangannya, entah ia benar-benar merasa simpati pada kisah pahit masa lalu temannya itu--Atau ia hanya ingin menikmati ekspresi menyedihkan yang dibuatnya.
“Setelah itu,”
Ia benar-benar melanjutkannya.
“Gadis yang aku suka muncul dari luar kelas, bersama dengan teman-temannya yang lain. Mereka menertawakan aku yang sekarang basah, bodoh dan nampak konyol karena bisa termakan jebakan yang begitu mudah. Gadis itu ternyata tahu kalau aku suka dia, karena aku suka menatapnya--“
“[Bukannya itu sudah nampak jelas sekali...].”
“--Lalu, dia pura-pura mengirim surat itu untukku, repot-repot hanya untuk mempermalukanku. Ia kemudian berkata padaku bahwa tidak mungkin gadis cantik seperti dia mau berkencan dengan laki-laki jelek dan kurus sepertiku...Ia meninggalkanku sendirian begitu saja...”
Sepertinya, cerita itu berakhir di sana, ketika ia menghentikan ucapannya.
Kedua orang di sampingnya, langsung memasang raut muka yang seolah berkata ‘Aku turut prihatin’, tergambar dengan cukup jelas.
Pria berambut pendek menghela nafas sambil memainkan jari-jarinya,
“.........Masa remaja memang sangat sulit. Banyak sekali hal-hal yang waktu itu kita rasa sangat penting--Seperti cinta, persahabatan, fame, menjadi idola kelas, ranking--Dan hal-hal lainnya...Yang tanpa kita sadari telah merusak diri kita...Baru beberapa tahun kemudian, ketika kita dewasa dan melihat anak muda lainnya dengan wajah yang sama seperti kita dulu, dengan sikap yang sama, kita akan berkata ‘Kenapa anak muda suka membicarakan masalah tidak penting seperti itu dan membiarkan itu mengambil alih sesuatu yang penting yang harus mereka lakukan dalam hidup’, dari situ, barulah kita menyadari bahwa apa yang dulu kita perjuangkan dan pentingkan, adalah sesuatu yang sama sekali tidak ada artinya...”
“.........Aku setuju denganmu, Imura. Walau aku tidak bersekolah sampai SMA karena aku harus segera bekerja, tapi aku paham seperti apa perasaan melakukan sesuatu yang ‘penting’ dan baru menyadari nanti bahwa itu sebenarnya sangatlah ‘tidak penting’. Tiap orang melakukannya.”
“Yah, hey, tapi ada apa dengan wajah suram itu? Ceritaku, tidak berakhir buruk di sana. Setelah mereka semua pergi, aku memang masih shock dengan kejadian yang tiba-tiba itu. Rasanya hanya beberapa menit saja mereka datang dan tertawa ke arahku, tapi aku merasakan seperti mereka menghinaku seharian penuh. Waktu itu, aku meremas surat yang sudah setengah basahke lantai kelas. Lalu--Seorang gadis dengan rambut oranye pendeknya, dengan wajah yang bercahaya tertimpa oleh cahaya matahari berwarna oranye, memungut kertas itu. Aku berusaha menghentikannya, tapi ia terlanjur membuka dan membacanya. Dia adalah seorang gadis--Setidaknya dari puluhan manusia di kelasku, yang mau berbicara denganku. Ia tidak terlalu mencolok, cukup pemalu, dan bisa kubilang nilainya cukup biasa-biasa saja. Aku pintar dan sering mendapat nilai terbaik di kelas. Guruku sering memintaku untuk mengajarinya, makanya aku membantunya. Saat itu, aku masih belum tahu, kalau ternyata kebaikanku itu, selama ini, ternyata telah--“
“................”
“.............................”
“--Mendapat tempat spesial di hatinya...”
“Hooo...//CLING CLING CLING//”
“Kalian berdua jangan memasang wajah seperti itu, he he he. Aku jadi malu...E--Ehm! Ia lalu, kembali membacakan surat cinta palsu dari -XXX- itu padaku. Tentu saja, aku marah dan berusaha merebut surat itu darinya. Yang membuatku terkejut, tersentak, sekaligus tersipu adalah--Saat ia membacakan bagian namanya, ia tak mengatakan nama gadis itu, melainkan menyebutkan namanya sendiri. Aku merasa, seolah mendapat pengakuan cinta kedua, bedanya, kali ini terasa lebih tulus dan hangat. Ternyata selama ini, ia selalu memperhatikanku, sebagaimana aku terus memperhatikan gadis yang aku sukai. Aku terus saja memperhatikan -XXX- sampai aku tak menyadari perasaannya yang sebenarnya. Cerita berakhir di sana, dan dia sekarang telah menjadi wanita yang kalian kenal sebagai istriku...”
“Wah, ternyata awal pertemuan kalian berawal dari kau yang di-bully. Aku sama sekali tidak tahu, bullying terkadang membawa dampak positif, ha ha.”
Pria berdasi hijau itu berkata sambil tertawa.
“Khu khu khu, perkataanmu ada benarnya. Dan, karena sekarang aku sudah jadi keren, tampan dan rupawan, saat aku menghadiri acara reuni waktu itu, ia shock ketika mengetahui kalau aku adalah anak laki-laki di kelas kosong di sore hari yang basah waktu itu dan menyesal telah menolakku waktu itu, karena sekarang aku sudah handsome! Ha ha ha!! Aku benar-benar puas melihat wajahnya saat itu!”
“Walau begitu, tetap saja banyak dampak negatifnya! Apapun yang terjadi, jangan pernah bilang kalau bullying itu hal bagus deh! STOP BULLYING!”
Kata pria berambut pendek itu sambil memajukan sebelah tangannya seolah akan berkata ‘Berhenti’.
“Kisah murid SMP yang jatuh itu--Kan sangat heboh sekali tuh. Bicara tentang bully, apa korban pembunuhan itu juga korban bullying?”
Pria berambut sedikit panjang itu kembali berbicara, menghadap ke arah 2 rekannya yang kini terlihat berpikir. Pembicaraan sepertinya kembali mengarah ke arah serius.
“Kedua siswi yang terbunuh itu--Mereka adalah siswi bernama Eiko dan Kyouko’kan? Hmm, entah, aku kurang tahu tentang kedua anak itu. Putraku tak bersekolah di sana...Tapi menurut polisi, memang masih ada hubungannya dengan kekerasan. Bedanya, mereka katanya bukan korban, tapi pelaku.”
Ujar pria berambut pendek itu.
“Bukankah itu berarti, pembunuh itu membunuh mereka berdua, karena menjadi korban bully?”
Tanyanya lagi.
“Mungkin saja. Oh ya, bukannya, putri Miyashita, sebelum kedua siswi itu tewas, sempat ada masalah dengan Eiko dan Kyouko--Atau seperti itu...Katanya...Kenapa, ya? Aku sedikit lupa. Mnn, jangan-jangan, putri Miyashitalah--“
“..............”
Mendengar kata itu, Riya langsung menyipitkan sebelah matanya dengan perasaan kesal. Apa ini? Kalian bercanda’kan? Bahkan setelah semua yang terjadi, semua yang ia alami, masih ada yang menuduhnya sebagai pembunuh?
Dunia ini mulai bisa membuatnya tertawa melalui arah yang buruk dan tidak menyenangkan.
Belum sempat pria berdasi hijau itu melanjutkan ucapannya, pria berambut abu-abu panjang itu segera menyikut perutnya.
“Ssst!! Diam! Kenapa kau mengatakan hal seperti itu!? Kau lupa, Miyashita juga korban di sini!”
Gerutunya kesal dan langsung panik, tapi bukan karena melihat Riya yang terus menatap ke arah mereka dengan wajah kesal, melainkan sepertonya karena kesadarannya sendiri, sementara pria berdasi hijau itu hanya berkata ‘Aku’kan hanya ingin mengatakan yang ada di kepalaku saja’, sambil mengusa-usap perutnya.
Mereka lalu kembali melanjutkan pembicaraan mereka--
“Riya, Kawada-san!”
“Mn?”
Tertegun ketika mendengar suara itu, Riya segera mengalihkan pandangannya dari ketiga orang tadi.
Bersamaan dengan suara sapaan itu, 2 orang gadis sebaya muncul.
Yang satunya, berambut hitam pendek. Dan yang satu lagi dengan rambut ungu kemerahan ciri khasnya, yang dikuncir  dengan 2 ponytail di bagian bawahnya.
Mereka adalah sahabat Riya dan Emi--Takashi Haruko dan Hasegawa Runa.
Melihat mereka akhirnya datang, Emi langsung melambaikan tangan menyuruh mereka untuk mendekat.
“Ah, maaf kami lama!”
Ujar Haruko yang masih berusaha mengatur nafasnya. Kelihatannya mereka baru saja berlari.
Emi langsung memasang senyuman di wajahnya. Dan meski begitu, kesedihan tetap nampak di wajah manisnya. Tentu saja, di tempat ini, tak siapapun akan benar-benar bisa tersenyum tanpa memberikan kesan sedih di wajahnya.
“Tidak apa-apa. Yang penting kalian sudah datang. Iya’kan, Riya-chan?”
“Mn...Iya...”
Riya menjawab dengan suara pelan disertai senyuman tipis.
Setidaknya, 2 orang yang berkata ‘Akan menjadi sahabatnya’, benar-benar muncul.
“Maaf, habisnya, saat aku datang ke rumahnya, Runa ini masih sibuk mem-blow rambut!”
“Enak saja! Bukannya kamu yang bangun kesiangan, Haruko!? Jangan seenaknya menyalahkan aku begitu dong!”
Haruko dan Runa saling menyalahkan satu sama lain seperti sekumpulan anak-anak.
Itu membuat Emi dan Riya sedikit tertawa, entah mereka sadari atau tidak. Lalu, ketika mereka berdua, Haruko dan Runa, tak sengaja menjatuhkan pandangan ke arah Riya, mereka yang semula sedang ribut tiba-tiba langsung tersentak dan terdiam, seolah dikejutkan oleh aliran listrik.
Riya dan Emi yang menyadari keheningan tiba-tiba yang terasa aneh ini, saling berpandangan sampai Emi melontarkan pertanyaan pada mereka berdua,
“Ada apa dengan kalian ini? Tiba-tiba terdiam seperti baru saja melihat hantu?”
“Mm...Bukan begitu.”
Ujar Haruko pelan dengan kepala tertunduk.
Ia kemudian mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Riya, lalu mengatakan,
“......Aku, mungkin tidak bisa mengatakannya dengan baik...Tapi biar aku katakan...Maaf...Soal ibumu...”
Haruko berkata, dengan suara yang terdengar sangat lemah disertai penyesalan di dalamnya, yang langsung membuat ketiga gadis lainnya tertegun.
“A--Aku--!!”
Seusai mendengar ucapan Haruko, Runa juga mengatakan sesuatu yang sama,
“Aku benar-benar minta maaf soal ibumu!! Aku--Aku--Kalau saja waktu itu aku--“
.......................
Kelihatannya, Runa bermaksud dan ingin mengatakan sesuatu. Tapi, perkataannya terhenti di tengah jalan seolah tak bisa ia lanjutkan lagi.
Dan tidak ada yang tahu, apa yang sebenarnya ingin dikatakannya pada saat ini.
“..................”
Sementara itu, Riya hanya terdiam. Namun, ekspresi ‘Kenapa kalian yang minta maaf? Padahal bukan kalian yang telah membunuh ibuku’, tergambar jelas di wajahnya.
Bagaimanapun, terdengar nada penyesalan pada perkataan Haruko dan Runa. Awalnya Riya tidak paham, tapi pelan-pelan, ia sedikitnya tahu kenapa mereka merasa bersalah seperti itu.
“Seandainya kita tidak bertengkar di kantor polisi waktu itu--“
“...............”
“--Dan seandainya aku dan Runa pulang bersamamu--Mungkin saja, kami bisa mencegah hal itu terjadi...”
Kata Haruko dengan kepala tertunduk.
“Itu semua salahku...Aku ini memang monster...”
Runa berkata dengan suara pelan. Sangat berbeda dengan dirinya yang selalu terlihat riang. Terlihat sangat menyedihkan untuk dilihat.
“.................”
Riya masih tak mengucapkan satu kata pun. Ia bukannya tidak bisa mengatakannya, atau tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu apa yang harus ia katakan, tapi ia merasa tak perlu mengatakannya.
Seandainya saja ia berkata ‘Ya, seandainya itu yang terjadi, seandainya kalian ada di sana waktu itu--‘, apa itu akan mengubah segalanya? Apa itu semua akan mengubah kenyataannya yang sekarang? Andai saja Haruko dan Runa pulang bersama dengannya, apakah pembunuhan itu tak’kan terjadi? Andai saja mereka ada di sana, apa mereka juga akan terbunuh dan tewas? Apa mereka juga akan menjadi korban?
Kalau seperti itu, apa akan mengubah sesuatu? Pada akhirnya, jumlah korban justru akan semakin bertambah. Pada akhirnya, justru ia akan merasa kehilangan dan semakin terluka lebih dari ini. Pada akhirnya, ia mungkin tak’kan mampu berdiri, menopang dirinya sendiri di tengah kesedihan yang menyelimuti dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Jika itu terjadi, ia tak’kan ada di sini sekarang.
Jika memang begitu, bukankah akan lebih baik kalau Haruko dan Runa tidak ada di sana? Mungkinkah pertengkaran mereka di kantor polisi waktu itu, secara tak langsung telah menyelamatkan nyawa Haruko dan Runa?
Sejak awal, baik Haruko maupun Runa tak memiliki kewajiban untuk melindunginya dan juga keluarganya. Harusnya, dia, sebagai putrinyalah, yang menopang kewajiban untuk melindungi keluarganya.
 Sampai saat ini, ia masih selalu menyalahkan dirinya sendiri, atas ketidakmampuannya menyelamatkan ibunya pada waktu itu. Ia memang tak menceritakan penyesalannya itu pada siapapun. Tapi sepertinya tergambar cukup jelas di wajahnya tiap kali ia membuat suatu ekspresi. Ia tak ingin menjadikan alasan ‘Karena waktu itu ia tak bisa bergerak dan hanya bisa menunggu bantuan’, sebagai suatu alasan tak bisa menolong ibunya. Setidaknya, ia seharusnya mencoba melakukan sesuatu...
Tapi ia hanya bisa pasrah pada keadaan...
Karena itu,
Ia tak bisa menyalahkan mereka begitu saja. Melimpahkan tanggung jawab ini pada mereka berdua. Ini semua bukan salah mereka melainkan seseorang di luar sana yang telah membunuh ibunya, Sasagawa dan juga Karisawa serta seseorang yang telah menyakiti hati banyak orang.
Orang itulah yang seharusnya memohon pengampunan. Dialah yang seharusnya diadili. Kedua gadis dengan wajah yang terlihat menyedihkan itu--Ia merasa tak pantas menghakimi mereka.
Jadi,
“Ah,”
Ia mengatakannya.
Hanya satu kata. Cukup dengan satu kata itu, ia akan menjelaskan pada mereka. Ia akan memberi tahu mereka bagaimana perasaannya yang sebenarnya pada mereka hanya dengan satu kata itu. Satu kata yang harus ia ucapkan,
“Sudahlah.”
“Riya?”
Haruko, sepertinya langsung tertegun begitu mendnegar kata-kata itu keluar dari mulut gadis berambut pirang panjang itu. Ekspresi wajah yang sama diperlihatkan oleh Runa dan juga Emi. Mereka bertiga sama sekali tak bisa menebak apa yang akan ia katakan selanjutnya.
Setelah berpikir, memikirkan semua yang terjadi, semua kejadian hingga sejauh ini, ia mengatakan hal-hal yang ia rasakan.
“Sudahlah...Aku tak lagi merasa kalau itu salah kalian. Waktu itu aku, hanya emosi, dan juga masih kesal. Tapi sebenarnya aku sama sekali tak pernah berpikiran ke arah sana. Setelah berpikiran lebih ke sana sekali lagi, aku mulai merasa kalau justru akan lebih baik jika kalian tidak pulang bersamaku. Kurasa lebih baik kita bertengkar dan saling hina seperti saat itu...”
“???”
Tentu saja, perkataan Riya yang terdengar aneh seolah menegaskan bahwa ‘Kejadian saling hina dan saling menyakiti di kantor polisi itu’, sebagai sesuatu yang lebih baik, membuat ekspresi tidak mengerti tergambar di wajah Haruko, Runa dan juga Emi.
Ditatap seperti itu, membuatnya tertegun sekaligus merasa aneh. Sesaat ia merasa tak perlu melanjutkan perkataannya, tapi akhirnya, ia memutuskan untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai.
“Maksudku, kalau saja kalian ikut bersamaku--Sekarang aku takut kalau kalian juga akan jadi korban...”
“................”
Akhirnya, mereka bertiga sedikit demi sedikit mengerti apa yang Riya katakan.
Riya melanjutkan,
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku juga tidak punya kemampuan meramal atau apapun itu. Aku tidak tahu siapa pembunuh itu, apa motifnya, apa yang dia inginkan, apa yang dia incar, siapa saja targetnya, dan siapa saja yang akan menjadi korban secara tak sengaja. Aku tidak tahu, kalau saja saat itu kalian menemaniku, apa pembunuh itu tak’kan datang? Apa itu yang akan terjadi? Atau sebaliknya? Pembunuh itu akan tetap datang dan membunuh? Kali ini mungkin cuma bukan ibuku, bisa saja kalian juga menjadi korban.”
“!?”
Saat ekspresi terkejut itu muncul di wajah baik Haruko maupun Runa, terlihat bahwa sebelumnya, mereka sama sekali tidak pernah memikirkan hal ini.
“Benar apa yang Riya-chan katakan. Kalau kalian ada di sana, kalian bisa saja terbunuh.”
“Ah...”
“Kalau saja itu memang yang terjadi, maka tidak ada gunanya kalian minta maaf, merasa bersalah atau menyesal lebih dari ini. Aku sedih karena ibuku meninggal. Belum pernah aku merasakan perasaan seperti ini. Kehilangan seseorang yang begitu kucintai ternyata sangat menyakitkan. Tapi, aku setidaknya masih bisa bertahan menghadapi semua ini, berkat kalian yang ada di sisiku. Jika seandainya kalian terbunuh juga--Aku tidak tahu harus menghadapi semua ini seperti apalagi... Yang penting, adalah kalian sekarang bisa berdiri di sini bersama denganku...”
Ya, itu benar. Kehilangan ibunya memang menjadi pengalaman paling menyedihkan sekaligus paling pahit yang pernah ia alami sepanjang hidupnya. Ia pikir ia takkan bisa menghadapi semua hal yang akan terjadi ke depannya, ia pikir ia seharusnya menyerah saja.
Namun berpikir karena sekarang masih ada orang-orang yang membutuhkan dirinya, orang-orang yang berada di tempat ini untuknya, mungkin, tidak masalah kalau seandainya ia menghabiskan hidupnya bersama dengan orang-orang yang memerlukannya.
“............Iya...Kau benar...Aku tak pernah berpikiran ke sana...Mungkin jika kami ikut bersamamu, kami juga akan tewas dan menjadi korban. Tapi--Sekarang aku tak’kan meninggalkanmu lagi.”
Ujar Runa, dengan senyuman tipis di wajahnya.
Ia kembali melanjutkan ucapannya ketika ketiga gadis yang lain mengalihkan pandangan mereka ke arahnya,
“Mn...Aku harap kita bisa mulai dari awal lagi, Riya, Kawada-san...”
Runa berkata, sambil memainkan jari-jarinya yang lentik dengan kepala sedikit tertunduk. Semuanya tahu, pasti butuh keberanian untuk mengatakan sesuatu seperti itu. Ia yang sebelumnya telah mengibarkan bendera perang, kini mengangkat bendera putih tanda menyerah dan mengumumkan janji perdamaian.
Melihat kesungguhan seperti itu, mana mungkin seseorang bisa berkata tidak.
Maka dengan itu, Riya menatap ke arah Emi, begitu juga sebaliknya. Beberapa saat kemudian, mereka saling tersenyum, menoleh lagi ke arah Runa dan tersenyum. Riya juga, memberikan sebuah senyuman yang dari tadi tak terlihat jelas di wajahnya.
“Tentu saja. Aku juga ingin menjadi ‘sahabat’mu sekali lagi. Kali ini yang lebih serius.”
“Hm, hm, jika itu yang Riya-chan inginkan...Aku tak bisa berkata apapun.”
“Kawada-san, daripada di bilang sahabat masa kecilnya Riya, sepertinya kau lebih mirip kakaknya deh...”
Kata Runa yang langsung di balas dengan ‘Eeeh?? Masa sih?’, oleh Emi dengan kedua tangan di wajahnya.
Melihat kedekatan mereka berdua, siapapun pasti akan mengira kalau mereka adalah saudara kandung dengan hubungan super baik yang jarang ditemui.
Dan, reaksi Emi, membuat Runa justru memasang ekspresi bingung sambil memiringkan kepalanya.
“S--Salah, ya? Kukira Kawada-san akan senang dengan ucapanku barusan.”
“Ya, aku memang senang sekali kau mengatakan hal seperti itu, Hasegawa-san. Tapi kelihatan seperti kakak Riya-chan--A--Apa itu membuatku te--terlihat lebih... Tua be--beberapa tahun...?”
“Jadi itu yang kau khawatirkan!!? Kawada-san, menjadi kakak Riya bukan berarti kau akan terlihat seperti nenek-nenek!!”
Tertegun dengan balasan Emi, Runa tertegun kesal dan seolah-olah rambut ponytailnya tertarik ke atas melawan gaya gravitasi.
Melihat itu, Riya sedikit tertawa walau perasaan sedih masih menyelimutinya, mendengar itu, Emi memasang wajah tersenyum bodoh yang belum pernah ia perlihatkan sebelumnya, mengatakan semua itu, Runa merasa bebas dan tak ada batasan antara dirinya dengan kedua orang itu, soelah mereka telah menyatu. Tidak ada Miyashita Riya, Kawada Emi maupun Hasegawa Runa dintara mereka, yang ada hanyalah ‘Sahabat’.
Mungkin, mereka awalnya memang tidak terlalu dekat. Bukan seperti itu, tapi awalnya, ‘tubuh’ mereka terlihat dekat, dan ‘hati’ merekalah yang masih terasa jauh. Baik Runa maupun Riya menyadari, tak satu pun diantara mereka berdua yang benar-benar menganggap satu sama lain sebagai sahabatnya.
 Riya selalu menganggap Runa sebagai penyihir penganggu yang entah mengapa, berusaha menjauhkannya dari Haruko dan memonopoli Haruko sebagai sahabatnya seorang diri.
 Sedangkan Runa selalu berpikiran kalau Riya hanyalah orang aneh yang berusaha memanfaatkan kebaikan Haruko yang mau menjadi temannya dan takut kalau sahabatnya sejak kecil itu direbut darinya.
Tak pernah keluar dari mulut mereka berdua tentang masalah itu, seolah mereka memendamnya di dalam hati masing-masing, dan semakin lama perasaan itu semakin dalam sehingga makin sulit untuk digali dan dikeluarkan. Mereka tak pernah saling membicarakannya. Mereka hanya terus melihat satu sama lain dengan mata penuh kecurigaan secara diam-diam, mengambil inisiatif untuk tak membiarkan salah satu dari mereka berbuat seenaknya.
Mereka berdua memang selalu terlihat bersama, tapi di saat itu pula yang ada di kepala mereka hanyalah ‘Apa yang gadis itu akan lakukan selanjutnya’, hanya emosi dan pikiran negatif yang berkumpul di kepala mereka.
“................”
Tapi walaupun begitu, meski pada awalnya mereka tidak tulus, seakan-akan semua senyuman yang mereka saling lontarkan hanyalah sebuah kepalsuan belaka, kebersamaan itu perlahan-lahan membuat mereka cukup mengenal dengan baik satu sama lain,
Sehingga saat ini, bahkan setelah berbagai hal yang mereka alami, setelah pertengkaran hebat yang mereka alami, yang secara tak sengaja telah membuat perasaan terpendam itu kembali naik ke permukaan, membuat mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan satu sama lain yang sebenarnya, sesuatu yang tak pernah terucap, akhirnya terkatakan juga, sesuatu yang tak pernah mereka saling ketahui, akhirnya diketahui juga--
--Mereka masih bisa tersenyum dan bersahabat seperti saat ini...

“Kalau begitu, aku ingin meletakkan bunga ini. Di mana aku bisa meletakkannya?”
Runa bertanya, memperlihatkan bouquet bunga berwarna putih di tangannya.
“Di sebelah sana.”
Menjawab pertanyaan simple Runa, Emi berkata sambil menunjuk ke arah altar di mana foto ibu Riya terpajang. Beberapa bunga berwarna putih terlihat ada di sekelilingnya. Hampir semua orang yang datang membawa bunga-bunga berwarna putih yang nampak cantik.
“Kalau begitu, aku akan ke sana dan mendoakan ibumu. Aku yakin, dia tetap akan menjadi wanita tercantik, bahkan diantara para malaikat.”
Riya sedikit tertegun ketika kata-kata itu keluar dari mulut Runa. Ekspresi kaget tak dapat disembunyikan lagi wajahnya lagi. Dalam hatinya, ia sedikit berpikir,
“............[ ‘Tetap menjadi wanita tercantik’...].”
Ia tidak mengerti. Tapi ia tahu kalau itu adalah sesuatu yang baik. Maka, ia berkata dengan suara pelan ke arah Runa,
“..................Terima kasih.”
Dan membuat senyuman yang terlihat tulus.
Runa melihat senyuman di wajah gadis itu, lalu ikut tersenyum sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menuju altar.
Di sisi lain, tak seperti Runa yang seolah sudah bisa kembali akrab, dan dinding pemisah diantara dia dan Riya yang sebelumnya terbangun telah runtuh, Haruko langsung merasa aneh, tak bisa membalas dengan mengatakan sesuatu.

“Aku sedih karena ibuku meninggal. Belum pernah aku merasakan perasaan seperti ini. Kehilangan seseorang yang begitu kucintai ternyata sangat menyakitkan. Tapi, aku setidaknya masih bisa bertahan menghadapi semua ini, berkat kalian yang ada di sisiku. Jika seandainya kalian terbunuh juga--Aku tidak tahu harus menghadapi semua ini seperti apalagi... Yang penting, adalah kalian sekarang bisa berdiri di sini bersama denganku...”,

“...................”
 Bukannya ia tidak senang dan terharu dengan perkataan gadis itu, justru sebaliknya, hal itu sedikitnya meringankan beban di hatinya sekaligus meredakan kemarahan dan mungkin rasa kesal yang sebelumnya ia dan Runa rasakan. Seolah-olah ada tangan yang mengangkat awan hitam di hatinya, rasa bersalahnya karena telah meninggalkannya waktu itu, ke atas dan membiarkannya terbang terbawa angin. Akan tetapi, ketika perasaan lega datang menghampiri, perasaan lain datang sehingga membuatnya semakin bercampur aduk.
Di saat seperti ini, bisakah ia membuat wajah tersenyum lega? Mengatakan sesuatu seperti ‘Baguslah kalau seperti itu’, mengapa rasanya seperti seorang penjahat yang kejam? Karena dengan begitu, mereka baru saja mengatakan ‘Tak masalah ibumu meninggal, yang penting masih ada kami di sini’.
Jika Riya bisa memilih antara mereka berdua dan ibunya, atau jika seandainya ia diberi pilihan untuk mengorbankan mereka berdua sehingga dapat memberi kesempatan kedua untuk bisa bertemu dengan ibunya lagu--Tanpa berpikir untuk yang kedua kalinya, ia pasti akan memilih ibunya.
Sejak awal, ia tahu, kalau nyawanya tak seberharga itu jika dibandingkan dengan nyawa anggota keluarga di hadapan gadis itu.
Apa tidak apa-apa kalau mereka selamat? Jika seandainya ia datang dan menyelamatkan ibu Riya--Bisa saja itu terjadi’kan? Tak ada yang mengatakan kalau mereka juga akan menjadi korban. Pada akhirnya, tidak akan ada seorangpun di dunia ini yang bisa mengetahuinya karena hal itu sudah terjadi dan sudah terletak jauh di belakang bayang-bayang masa lalu. Kemungkinan memang selalu ada. Namun, hanya satu yang ia tahu, yaitu bahwa kemungkinan itu tak hanya satu.
Selalu ada ratusan bahkan ribuan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dunia ini. Kemungkinan mereka tewas tertembak juga, kemungkinan mereka bisa menggagalkan peristiwa itu, kemungkinan mereka bisa menyelamatkan nyawa ibu Riya, kemungkinan tak ada apapun yang terjadi, kemungkinan justru Riya yang akan terbunuh, atau mungkin, salah satu dari dia ataupun Runa yang justru akan kehilangan nyawanya.
Terlalu banyak kemungkinan yang bisa terjadi di dunia ini, yang tidak bisa kita ketahui adalah kita tak bisa menentukan kemungkinan yang akan terjadi. Itu semua akan terjadi secara natural dan begitu saja.
Pada akhirnya, mana pilihan yang terbaik? Mana kemungkinan yang terbaik? Bagi dirinya? Mungkin akan sangat mengerikan untuk didengar jika ia bisa sampai berpikir kalau nyawanya terselamatkan gara-gara tewasnya ibu Riya waktu itu. Hanya saja, sebagai manusia biasa yang masih memiliki banyak keinginan dalam kehidupan dan ingin melanjutkan hidup layaknya remaja normal, ia tak mungkin bisa mengatakan sesuatu seperti ‘Akan lebih baik kalau aku saja yang terbunuh’.
Dan tanpa ia sadari, hanya dengan memikirkan semua itu sudah bisa membuat tubuhnya merasa merinding.
Ia sudah terlanjur sangat menyesal karena telah meninggalkan Riya di kantor polisi waktu itu. Bisakah sekarang gadis itu mengatakan bahwa itu bukan suatu masalah? Tak ada gunanyakah ia memikirkan semua hal tersebut selama ini? Apa memang itu yang ia pikirkan? Atau ia hanya berusaha membuat dirinya merasa lebih baik?
“........Entah kenapa, sekarang aku ingin memiliki kemampuan untuk bisa membaca pikiran orang lain...”
Haruko, berkata dengan suara pelan yang tidak ditujukan untuk siapapun di ruangan ini. Namun, sepertinya Emi menangkap perkataan anehnya barusan.
Ketika pandangan Emi tak sengaja melihat kearah Haruko, yang entah kenapa tiba-tiba terlihat sedang memikirkan sesuatu, ia tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari gadis berambut hitam pendek itu. Baru beberapa saat kemudian, saat ia menyadari kalau Haruko tak mengatakan apapun sejak tadi seolah tak mendengarkan, Emi melangkah mendekatinya dan berkata,
“.............Takashi-san, kau tidak pergi bersama Hasegawa-san?”
“Ah!”
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, ucapan Emi membuat Haruko terlihat sangat terkejut sampai bunga yang ia bawa hampir saja terjatuh dari tangannya. Kelihatannya, ia sudah kembali dari pikirannya sendiri.
Masih sedikit terkejut dan bingung dengan apa yang baru saja terjadi, Haruko menoleh ke sana kemari, seperti orang sedang bingung mencari sesuatu.
“...........Mana Runa?”
“Eh, dia sudah berdoa duluan.”
Jawab Riya yang terdengar agak kaget. Mungkin ia terkejut melihat Haruko yang baru sadar kalau Runa sudah tidak ada di sampingnya. Ada apa dengannya? Setidaknya, itulah yang ada dipikirannya saat ini.
“Be--Benarkah? Kenapa dia tidak mengajakku!?”
“Takashi-san, kelihatan sekali, lho, kalau Hasegawa-san benar-benar melupakanmu tadi...”
“Apa? Itu tidak mungkin! Runa tidak pernah melakukan sesuatu tanpa aku! Apa benar dia sudah secepat itu melupakanku!? Apa aku sudah tidak ada artinya lagi baginya? Bukannya kita sudah berjanji untuk terus setia dalam keadaan baik, buruk, sehat dan sakit, sampai maut memisahkan tubuh kita hingga jiwa kita kembali bersatu di alam sana!”
“Kau menikahi Runa!?”
Cukup terkejut dengan reaksi Haruko yang terkesan sangat panik serta tak biasanya ia tunjukkan [Biasanya selalu Runa yang ngambek atau kesal kalau Haruko meninggalkannya. Sebelumnya, Riya tak pernah melihat Haruko kesal karena Runa meninggalkannya, jadi ini yang pertama kalinya dan langsung membuatnya shock], Riya tak bisa menahan dirinya untuk berteriak kaget.
Kalau dilihat sekali lagi, memang benar Haruko dan Runa selalu saja berdua, mengingat mereka adalah sahabat masa kecil paling akur di seluruh dunia yang bisa bertahan selama ini. Karena biasanya persahabatan cukup mudah rusak akibat masalah cinta atau masalah kecil lainnya, yang berakhir dengan keretakan ikatan tersebut. Tapi melihat hubungan antara Haruko dan Runa, bahkan masalah kecil seperti itu tak akan bisa menghancurkan tali persahabatan mereka.
Jika ada yang bisa dibilang sebagai ‘Sahabat sejati’, menurutnya, Haruko dan Runa pantas mendapat predikat itu.
Walau begitu, dibanding menghabiskan waktu untuk terharu dan menitikkan air mata melihat kesungguhan hubungan pertemanan yang luar biasa antara kedua gadis itu, Riya sekarang jauh lebih penasaran dengan kata-kata Haruko yang cukup mirip dengan kedua manusia yang sedang mengikat diri mereka dalam janji pernikahan...
“Apa kalian benar-benar telah menikah?! Apa pernikahan kalian itu sudah sah di mata hukum!!? Siapa yang menjadi suami dan siapa yang menjadi istri!!?”
“A--Apa-apaan ucapan yang seperti sepasang kekasih sedang bertengkar itu...?”
Bahkan Emi tak bisa menahan keterkejutannya dan berkata dengan wajah merona.
“Hm?”
Haruko menatap ke arah 2 temannya yang kini tengah memandangnya dengan wajah penuh rasa ingin tahu yang besar itu. Ia lalu memiringkan kepalanya sedikit dan berkata,
 “Aku hanya bercanda.”
“Jangan berkata akan sesuatu yang tidak  penting seperti itu dengan ekspresi serius, dan jangan tiba-tiba mengatakan ‘Aku hanya bercanda’ dengan ekspresi datar!”
“Ta--Takashi-san, aku masih penasaran apa kau benar-benar telah menikah dengan Hasegawa-san...”
Riya menanggapi ucapan Haruko dengan sedikit kesal sambil mengangkat sebelah tangannya, sementara Emi masih terlihat malu sambil memegangi wajahnya yang terasa panas. Apa yang sebenarnya ada di dalam kepalanya?
Lalu, melihat Emi yang sepertinya masih salah menginterpretasikan apa yang ia katakan dan masih terjebak dengan fantasy-nya sendiri, Haruko berkata sesuatu seperti ‘Aku dan dia itu sama sekali tidak mungkin! Aku hanya bercanda! Hanya karena kami berdua selalu bersama sejak taman kanak-kanak, bukan berarti aku dan dia--Kau dengar yang aku katakan tadi’kan?! Aku bilang tadi hanya bercanda! Kawada-san, apa kau paham!? Kenapa wajahmu semakin memerah!!?’
***-***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar