Chapter
12 Seandainya Di Dunia Ini Banyak Orang Baik Seperti Kalian, Aku Yakin...Tidak
Mungkin Ada Sesuatu Yang Buruk Terjadi
Kami tak saling
menoleh satu sama lain. Kami hanya konsentrasi berlari, dan terus berlari. Mata
kami memandang lurus hanya ke depan, tanpa ada sedikit niat untuk berhenti. Aku
bisa merasakan sesuatu--Atau seseorang mengejar kami dari belakang. Tapi karena
suara langkah kaki yang tercampur menjadi satu, aku jadi tak bisa membedakan
langkah dari kakiku sendiri dan yang lainnya.
Tapi--
--Ternyata aku
sangat salah.
Mungkin saat itu
ketakutan sedang mengambil alih diriku, sehingga kepalaku mulai menyetel
beberapa kemungkinan dan membuatku benar-benar berpikir seolah yang aku dengar,
atau yang aku rasakan itu adalah kenyataan yang sebenarnya.
*BRAAAKH*
Suara pintu
sebuah ruangan yang tiba-tiba terbuka, terbanting dengan sangat keras tanpa
peringatan dulu itu--
--Dan orang
berjubah hitam yang wajahnya tak terlihat karena kegelapan malam--
--Aku melihat
seseorang yang seharusnya tak ada di sana.
***-***
“Biar aku
letakkan barang-barangmu di sini.”
“Iya...Terima
kasih, Emi-chan. Maaf kalau aku merepotkanmu.”
Sambil berkata
seperti itu, gadis dengan rambut pirang panjang itu, Miyashita Riya,
menundukkan kepala dan berjalan perlahan ke arah tempat tidur yang telah
disediakan. Ia kemudian duduk di atas tempat tidur dengan selimut berwarna
hijau muda yang terkesan sangat indah dan natural itu.
Dari atas ke
bawah, ia mengenakan setelan pakaian yang berwarna kehitaman, tak jauh berbeda
dengan yang dikenakan oleh Emi.
“.............”
Walau ia
terlihat nampak tersenyum, tapi kesedihan yang teramat sangat juga masih
terlihat dengan sangat jelas di wajah gadis 15 tahun itu.
Mau bagaimana
lagi--Ibunya telah terbunuh dan meninggalkannya seorang diri.
5 hari yang lalu
tepatnya, bertepatan dengan kejadian menggemparkan di pagi hari, terbunuhnya
teman satu kelasnya yaitu Sasagawa dan Juga Karisawa dengan cara yang sangat
tidak manusiawi dan terlihat kejam, di hari yang sama, sebuah penembakan
terjadi di rumahnya.
Si pelaku, yang
entah sama dengan pelaku pembunuhan Sasagawa dan juga Karisawa atau tidak,
menembak melalui pintu depan rumah, kemudian peluru dingin itu menembus tubuh
ibunya dan mengenainya.
Ia dapat
terselamatkan setelah beberapa hari tak sadarkan diri dan kondisinya
berangsur-angsur pulih dengan cukup cepat. Sementara itu, nyawa ibunya tak
terselamatkan.
“Tidak masalah.
Lagipula, kau baru saja keluar dari rumah sakit. Istirahat saja.”
Mengeluarkan
beberapa helai pakaian dari dalam tas koper berwarna kecoklatan yang sebelumnya
di bawa oleh Riya, gadis dengan rambut kecoklatan panjang itu, Kawada Emi,
berkata dengan nada yang sangat lembut.
Gadis itu,
dengan wajah yang menunjukkan bahwa dia adalah gadis yang memiliki sifat ramah
dan sopan, di tambah dengan mata yang nampak bersahabat itu, adalah sahabat
masa kecil Riya. Bukan ‘sahabat masa kecil’ dalam arti sebenarnya.
Kawada Emi
adalah sahabat yang diciptakan oleh Riya menggunakan buku misterius bersampul
merah darah itu. Dengan menggambar atau menuliskan sesuatu di dalamnya, maka
apapun yang kita inginkan pasti akan menjadi kenyataan bahkan sesuatu yang
tidak mungkin atau mustahil untuk didapatkan.
Seorang ‘teman’.
Buktinya--Emi
ada di sini.
“Aku letakkan pakaianmu di sini, ya?”
“Mmm...”
Gumam Riya,
tidak terlalu bersemangat.
Setelah tak ada
lagi yang bisa mengurusnya dan mustahil baginya untuk tinggal sendirian di
rumah, yang sekaligus menjadi tempat di mana tubuh ibunya tergeletak tak
berdaya waktu itu, tempat yang sekarang telah membawa, mengukir kenangan
terburuk dalam hidupnya--Ia tidak mungkin bisa tahan untuk tinggal di sana
dengan semua hal yang menghantui perasaannya itu.
Keluarga Kawada
mempersilahkan Riya untuk tinggal di rumah mereka. Apalagi jika melihat
hubungan Emi dan Riya yang memang sangat dekat, sepertinya tidak akan ada
masalah dengan itu.
Mulai sekarang,
Riya akan menempati sebuah kamar kosong di sebelah kamar Emi. Emi terlihat
begitu senang dengan datangnya gadis itu ke rumahnya karena mereka bisa akan
menghabiskan waktu bersama-sama lebih sering lagi mulai sekarang.
Tapi, tak ada
siapapun diantara mereka yang bisa menebak apa yang dipikirkan olehnya. Apa
yang dirasakan oleh diri Riya saat ini.
Mereka tidak
mungkin mengerti. Karena mereka bukanlah orang yang kehilangan.
“....................”
Jauh di dalam
dirinya, entah ia harus merasa senang atau tidak dengan semua ini.
Dapat tinggal di
satu atap yang sama dengan sahabat terbaiknya, siapa yang tidak senang dengan
hal itu? Mulai sekarang, kalian akan bisa belajar bersama, mengerjakan tugas
bersama, bergosip setiap hari, menggoda laki-laki keren di Facebook dan
berbagai hal yang biasanya dilakukan oleh gadis remaja di seluruh dunia.
Sejak dulu, yang
ada dipikirannya hanyalah persahabatan. Bagaimana caranya aku bisa berteman
dengan mereka? Bagaimana caranya aku bisa masuk ke lingkaran mereka yang telah
terbentuk itu?
Ia selalu saja
kesal dan terus mengeluhkan hubungannya dengan Haruko dan juga Runa yang seolah
terjebak di dalam sebuah lingkaran berlabel ‘2 orang’. Sudah merupakan
harapannya untuk menemukan satu orang lagi, seorang teman yang selalu ada
untuknya.
Sekarang ada
Kawada Emi. Hanya saja sekarang, semua itu seolah tidak penting lagi baginya.
Ia akan
melakukan apa saja seandainya ia bisa kembali menghidupkan ibunya. Ia akan
memberikan apa saja agar hari-hari bersama ibunya yang baru saja dimulai dapat
terus berjalan. Ia akan menyerahkan apapun agar ikatan bersama ibunya yang baru
saja terbentuk, dapat terus bertahan sampai hari ini. Dan keesokan harinya.
“.............[Kalau saja aku bisa menggunakan buku itu
untuk membawa ibu kembali...].”
‘Kalau saja’,
Jika ia bisa
melakukan itu--Mungkinkah ibunya benar-benar bisa kembali lagi?
“........Karena aku percaya, kalau kau tidak mungkin
melakukan hal seperti itu...”
Kata-kata yang
seakan-akan menguatkan dirinya ketika dirinya merasa bukan siapa-siapa lagi, di
saat semuanya justru menuduhnya melakukan hal yang tak ia lakukan, kata-kata
singkat yang ia ucapkan itu menjadi penyemangat baginya untuk kembali bangkit
dan percaya. Bahwa tak semua orang yang ada di dekatnya berpikiran sama.
“--Kau tidak perlu merasa khawatir lagi. Setidaknya,
sudah ada 3 orang yang akan berdiri untukmu, dan untuk selamanya bagi mereka,
kau tetaplah orang yang sama, Miyashita Riya yang sama dan tidak berubah. Kau,
bukan seperti yang orang-orang itu katakan padamu!”
“.................[Aku--Tetaplah Miyashita Riya yang sama dan
tidak berubah. Aku bukan seperti yang mereka katakan padaku...].”
Ia masih dapat
mengingat dengan jelas semua perkataan itu, seperti baru kemarin ia
mendengarnya. Bagaimana keyakinan kuat yang tergambar di wajah cantik ibunya
itu ketika mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan
olehnya.
Seperti apa
kuatnya suara wanita itu, dengan kata-katanya yang terdengar luar biasa.
“[Jujur saja, aku agak sedikit terkejut saat
itu].”
“Jika semua orang berkata jelek tentang dirimu, ibu
akan berdiri di sana untuk melindungimu! Jika Runa maupun Haruko
meninggalkanmu, ibu akan tetap ada di sini dan bersamamu!!!”
“Dan jika semua orang di seluruh dunia ini berbalik
memusuhimu, maka ibu akan menjadikan mereka semua sebagai musuhku juga!”
Ia--Bahkan tak
merasa masalah jika harus membuat seluruh dunia ini memusuhinya, hanya supaya
bisa berdiri di samping putri yang sangat ia sayangi. Putri satu-satunya dalam
hidupnya.
Apapun yang
terjadi, ia akan berdiri di depan putrinya, tak membiarkan siapapun
menyakitinya lebih jauh lagi. Apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah
meninggalkan putrinya seorang diri, meski itu artinya ia harus hidup kesepian
tanpa orang lain.
Apa saja akan ia
lakukan demi putrinya. Apa saja.
Entah mengapa,
ia baru saja menyadarinya di saat itu--Betapa ibunya sangat peduli padanya.
Padanya yang
selalu mengeluh itu, padanya yang selalu tak menuruti apa yang ia katakan
itu--Semua yang ia katakan demi kebaikannya sendiri, sama sekali tak ada maksud
untuk menyakiti hatinya dan menghakiminya.
“...........[Jika saja ada kesempatan kedua--].”
Ia menghentikan
pikirannya di situ.
Jika ia
teruskan, mungkin akan--
--‘Jika saja
seandainya ada kesempatan kedua untuk menggunakan buku itu--‘
“............[Tapi itu tidak mungkin...].”
Karena itu tidak
mungkin untuk dilakukan. Buku itu, hanya dapat digunakan sekali oleh satu
orang.
Tiba-tiba saja
Riya tertegun. Sudah berapa lama sejak kejadian dengan buku itu? Ia sudah tak
pernah mengingat-ingat soal itu dan memikirkannya lagi, seolah ia lupa tentang
keberadaan buku misterius tersebut.
Di mana buku itu
sekarang?
“Riya--“
“.................”
Pada waktu itu,
suatu pikiran muncul di kepalanya. Buku itu memang hanya bisa digunakan satu
kali, oleh orang yang sama. Tapi--
“............[Kalau saja aku bisa menemukan buku
itu--Sekali lagi, dan menyuruh orang lain yang menuliskannya untukku--].”
Apa itu bisa
menjadi sebuah jalan keluar?
“--Ya-chan...Kau
dengar aku?”
“Eh? Ah?”
Terbangun dari
lamunannya, Riya langsung meloncat kaget saat mendengar suara orang menyebut
nama seseorang--Dan wajah Emi yang ternyata sudah sangat dekat dengannya.
Sejak kapan ia
ada di sini?
“Eh...Eh...”
Riya tidak tahu
apa yang harus ia katakan atau respon seperti apa yang seharusnya ia berikan.
Bahkan ia sama sekali tidak menyadari keberadaan Emi, dan sepertinya, gadis itu
sudah beberapa kali memanggilnya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Jadi, ia hanya
mengatakan,
“Eh--Maaf
merepotkanmu...”
“?”
Muncul sebuah
tanda tanya di atas kepala Emi ketika gadis itu memiringkan sedikit kepalanya
dengan wajah bingung. Mungkin itu karena apa yang dikatkan oleh Riya sama
sekali tak menjawab pertanyaannya yang sebelumnya, yang bahkan tak sampai ke
telinganya.
“Merepotkan
bagaimana maksudmu itu?”
Ujar Emi sambil
sekilas tersenyum. Ia lalu menarik wajahnya menjauhi Riya, masih sambil membawa
tumpukan beberapa baju, Emi kembali berjalan ke arah lemari dan membukanya
dengan kedua tangan setelah ia meletakkan pakaian-pakaian Riya di sisi tempat
tidur untuk sementara.
“.....................”
“Ah...”
“Kalau masalah
repot atau tidak, sudah kukatakan dari awal’kan, kalau aku sama sekali tidak
merasa repot? Bisa melakukan sesuatu untuk seorang teman yang sedang sepertimu,
dan bisa menjadi tempat untukmu tinggal, aku merasa cukup senang.”
Emi berkata, dan
walau saat ini Riya tak bisa melihat wajah seperti apa yang ia buat, dari nada
bicaranya memang tidak terdengar sedikit pun keluhan. Seperti ia benar-benar
menikmati ini.
Ketika ia
membayangkan itu, yang muncul di benak Riya bukan lagi ‘Mungkin seperti ini
rasanya memiliki seorang teman’, melainkan bagaimana rasanya ‘memiliki saudara
perempuan’. Karena ia sebelumnya adalah anak tunggal, tak jarang ia selalu
merasakan apa yang biasa sering dirasakan oleh anak tunggal.
Itu--Adalah
perasaan kesepian.
Alasan terbesar
Riya kenapa ia begitu menginginkan seorang teman, atau bisa terlibat bersama
Haruko dan Runa, mungkin juga karena itu. Ia tak pernah benar-benar
memikirkannya sampai saat ini, bahwa ia ternyata membutuhkan seorang teman
lebih dari itu.
“[Mungkin ternyata memang karena itu...].
Iya...Terima kasih, Emi-chan. Berkatmu, aku bisa menjadi sedikit lebih tenang
sekarang.”
Ia berkata,
mengalihkan pandangannya ke arah Emi yang terlihat sedang sibuk menata
pakaiannya di dalam lemari berwarna kecoklatan itu, dengan senyuman di
wajahnya.
Hanya sedikit
lebih tenang.
Setelah
mengatakan hal itu, Riya kembali mengalihkan pandangan dan melihat ke arah
lantai. Jika saja ia sekarang sedang menatap cermin, atau setidaknya jika
lantai itu dapat merefleksikan wajahnya, kira-kira ekspresi menyedihkan macam
apa yang sekarang ia buat?
“...................”
“Yang tadi aku
katakan padamu itu--“
“Hm?”
“--Apa ada
sesuatu yang ingin kau dapatkan untuk makan malam nanti?”
“Makan malam?”
Riya sedikit
tertegun, meski itu sebenarnya bukan sebuah pertanyaan yang bisa membuat
seseorang merasa terkejut
Menutup lemari
dengan perlahan, Emi menyambung perkataannya sambil berbalik menghadap ke arah
Riya sedang terduduk.
“Mhm, ada yang
ingin kau makan saat makan malam nanti? Atau kau ingin ibuku membuatkan masakan
favoritmu?”
Tanyanya dengan
kedua tangan di belakang tubuhnya sambil bersandar pada lemari yang lebih
tinggi beberapa senti darinya itu.
Mendengar itu,
muncul perasaan tidak enak di dalam diri Riya. Ia lalu menggeleng pelan.
“Eh, tidak usah.
Kalian sudah memperbolehkan aku untuk tinggal di sini saja--Bagiku itu sudah
lebih dari cukup. Mana boleh aku meminta lebih...”
Ia berkata,
sambil menggerakkan kedua kakinya.
Apa yang
keluarga Emi lakukan untuknya sudah lebih dari cukup. Dan ia sungguh berterima
kasih untuk itu.
“Mn, Tentu saja
boleh. Kau sudah seperti saudara untukku, Riya-chan. Kau boleh minta apa saja
yang kau inginkan. Nanti, akan kubuatkan untukmu. Kau tahu’kan, aku jago
memasak? He he.”
Ucap gadis
berambut coklat itu, mendekatkan telunjuk mendekati bibirnya.
“Ha ha, iya, aku
tahu. Kau benar-benar pandai dalam segala hal.....Tapi aku serius, kau tidak
perlu repot-repot hanya demi aku. Tidak apa-apa...Tidak perlu...”
Kata Riya,
sedikit tersenyum. Mungkin lebih terlihat jika ia sedang memaksakan senyuman
itu.
Kali ini, Emi
yang menggelengkan kepala,
“Tidak, tidak.
Tentu saja perlu. Kau baru saja mengalami hari yang buruk--Ah, maaf, aku sudah
berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membicarakannya--! Maksudku itu,
adalah kau baru saja keluar dari rumah sakit. Walau aku belum pernah kecelakaan
atau luka parah yang bisa membuatku masuk ke sana, tapi setidaknya aku tahu,
kalau makanan rumah sakit itu rasanya tidak enak dan kau tidak akan bisa
mendapatkan makanan favoritmu di dalam daftar menu masakan rumah sakit.
Setidaknya, kau harus makan enak sekarang! Buatlah dirimu...”
“.................”
Riya hanya bisa
memandang Emi, yang tiba-tiba saja menghentikan ucapannya sendiri dengan raut
wajah aneh yang tergambar jelas di wajahnya.
“Mnn...”
Emi bergumam
pelan, mengatakan sesuatu yang tidak terdengar terlalu jelas, hingga akhirnya
ia mengatakan lanjutan dari ucapannya,
“....Jadi
sedikit lebih bahagia...”
“.................”
Jujur saja, Riya
cukup terkejut dengan perkataan Emi barusan. Namun, kali ini itu sama sekali
tak tergambar di wajahnya, seakan-akan ia hanya menatap datar ke arah semuanya.
Walau ia tak menduga kata-kata itu akan terlontar dari mulut Emi, sepertinya,
ada bagian dari alam bawah sadarnya yang sudah menduga munculnya kata-kata itu.
Ia tahu, secara
tidak langsung, ia telah membuat semua orang khawatir dengan tatapan di mana
tak ada apapun yang terpancar di dalamnya selain rasa sakit itu. Sudah
sewajarnya ia merasa sedih. Semua orang pasti akan memaklumi bagaimana
perasaannya saat ini. Bahkan ia tak sempat melihat wajah ibunya yang terakhir
kali. Hanya melalui foto yang di pajang di upacara pemakaman ibunya hari ini
nanti dan dari ingatan serta kenangannya saja.
Seandainya ia,
lebih cepat bangun dan membuka mata, mungkin ia bisa mengucapkan ucapan selamat
tinggal yang untuk yang terakhir kali, dan mengatakan bagaimana ia benar-benar
sangat mencintainya.
“Bagaimana
dengan kare favoritmu?”
“Tidak mau makan malam? Hari ini, ibu buatkan nasi
kare favoritmu.”
“.....................”
Tak ada ekspresi
jelas yang tergambar di wajahnya ketika ia mendengar kata-kata itu. Tak ada
sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Semua hal di dunia ini--Serasa tak
dapat terkontrol. Seolah semua berputar tak beraturan. Seakan-akan semua
pikiran rasionalnya telah direbut, sehingga ia tak dapat memikirkan apapun
lagi.
Ia mulai merasa
pusing, bersamaan dengan darah yang berada di tubuhnya, seolah bergejolak
seperti ombak di lautan. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya,
hanya saja, sensai itu terasa sangat kuat dan mampu mengambil alih seluruh
kerja sistem di dalam tubuhnya.
Ia ingin
mengatakan sesuatu, tapi ia tidak tahu apa. Ia ingin berteriak, tapi ia
kehilangan kata untuk diteriakkan. Ia tak punya kekuatan lagi, ia tak punya
waktu lagi, hanya untuk memikirkan apa yang ia rasakan dan ingin ia ungkapkan
Bagian yang
terluka rasanya kembali terasa sakit. Jauh lebih sakit dibanding sebelumnya.
Hingga beberapa saat kemudian ia baru sadar, kalau rasa sakit itu bukan berasal
dari sana. Melainkan dari dadanya.
Rasanya seperti
terbakar oleh sesuatu. Sangat menyakitkan Sangat menyakitkan Sangat
menyakitkan. Ia tidak tahu harus menahannya seperti apa lagi. Ia tidak tahu
harus melakukan apa lagi. Ia ingin muntah, mengeluarkan seluruh yang ada di
dalam dirinya.
“........Kau
tahu Emi-chan...?”
“.................”
“Ibuku--Selalu
membuatkan aku nasi kare. Bagiku, itu adalah masakannya yang paling enak yang
pernah ia buat. Aku mungkin tidak pernah bilang...Tapi ibuku sama sekali tidak
pandai memasak...”
“........Riya-chan...”
Emi, yang
membuat ekspresi seakan-akan ia telah melakukan sesuatu yang salah, langsung
berjalan mendekati sahabatnya itu, dan memeluknya dengan erat.
“...........Aneh
sekali bukan...? Satu-satunya yang bisa ia buat dengan baik, hanyalah nasi kare
itu...Dan aku mulai menyukainya...Benar-benar menyukainya sampai aku bisa
tambah sebanyak 3 piring lagi...Aku benar-benar menyukainya...Tak ada yang
memiliki rasa seperti itu selain buatan ibuku...”
“.....Kalau
begitu, itu pasti karena Riya-chan terlihat sangat bahagia ketika
memakannya...”
“Aku rasa.
Hubunganku dengan ibuku--Sebenarnya juga tidaklah sebaik itu...”
“Terkadang anak
dan orang tua memang sering berbeda pendapat...”
“Aku sering
sekali mengecewakannya, membuatnya berteriak ke arahku...”
“Tiap kali kutanya ‘Bagaimana sekolahmu hari ini’,
kau selalu saja menjawab dengan ‘Membosankan’. Itu membuatku sedikit khawatir,
kalau-kalau kau tidak menikmati kehidupan di sekolahmu.”
“Bukan hanya itu saja yang aku khawatirkan. Nilaimu
juga selalu jelek. Gurumu kemarin meneleponku mengenai masalah itu. Kau tahu
betapa malunya aku?”
“Bukan masalah pelajarannya yang terlalu susah.
Tapi, kurasa masalahnya ada pada dirimu sendiri.”
“Kau itu, tidak pernah serius dalam segala hal. Tidak bisa diandalkan. Tidak ingin berusaha.
Masalah belajar pun kau tidak bisa serius. Hanya mengeluh dan mengeluh saja.
Kau itu, terlalu banyak menyalahkan dunia dan orang lain. Salah gurumu, salah
temanmu, salah siapapun, tapi, apa kau pernah, sekalipun menyalahkan dirimu
sendiri atas semua yang terjadi? Kau selalu saja menuntut! Pantas saja temanmu
hanya sedikit. Aku masih bersyukur karena Haruko-chan dan runa-chan mau menjadi
teman anak sepertimu, Riya.”
“Saat itu aku
tidak sadar, dan balik membalas dengan sinis...Ibuku selalu saja seperti itu,
selalu memarahiku, menyudutkanku, tak pernah sekali pun ia membelaku. Ketika
aku mendengar itu, kau tahu apa yang ada dipikiranku? ‘Apa ada orang tua yang
berkata seperti itu tentang anaknya’? Itu yang aku pikirkan... Sekarang aku
baru mengetahui jawabannya...Tidak ada...Bahkan ibuku sekalipun...”
Saat mengatakan hal itu, sekilas senyuman
terlihat di wajah Riya. Tapi itu tak membuat siapapun yang melihatnya merasa
ikut tersenyum, melainkan justru membuat hati terasa hancur.
“Aku paham,
ibuku memarahiku karena sikapku selama ini. Yang tak mau berusaha, hanya bisa
terus mengeluh dan mengeluh saja...”
Seperti ketika
persahabatan Haruko dan Runa yang berada di lingkaran 2 orang. Kenapa ia tak
mencoba untuk masuk? Kenapa ia tak melakukan berbagai macam cara agar bisa
bergabung dengan mereka? Berpura-pura menyukai drama yang mereka berdua sukai,
berpura-pura menanyakan tugas atau apapun itu.
Bersama
teman-teman yang lain? Kenapa ia selalu memandang egois mereka? Kenapa ia
selalu memandang kalau mereka yang tidak mau mendekatinya? Bukankah--Dia
sendiri yang membuat jarak dan tak mau mendekati duluan?
Tentang
Mochida--Apa ia pernah menanyakan kepada kenapa ia selalu mengikutinya? Kenapa
ia selalu menyapanya? Kenapa ia selalu bersikap baik padanya? Apa benar itu
karena ia ingin menganggunya, mengerjainya atau sekedar menggodanya seperti
yang biasa anak laki-laki lakukan?
Ia hanya bisa
mengeluh, tiap hari, kata ‘Menyebalkan’ tak pernah absen keluar dari mulutnya.
Kini ia sadar.
Satu hal terburuk tentang dirinya,
“Aku--Memang
selalu kurang dalam usaha dan hanya bisa mengeluh...”
Dan
menakutkannya, itu membutuhkan waktu sampai ibunya tewas, baru dia
menyadarinya.
Di lain pihak,
pelukan Emi terasa semakin erat.
“..............Aku
selalu menyalahkan semuanya. Tapi aku tak pernah menyalahkan diriku sendiri.
Aku tak ingin menyalahkan diriku
sediri. Aku tak pernah bercermin, merefleksikan apa yang telah kulakukan dan
melihat betapa buruk sosok yang menatapku balik dari cermin itu...”
“....................”
“Aku selalu
menganggap apa yang dikatakan oleh ibuku hanya sebuah omong kosong. Tak pernah
menganggap serius apa yang ia katakan. Tapi--“
“.............”
“Tapi, kenapa--“
“..................”
“Kenapa harus--“
“................”
“--Berakhir
seperti ini baru aku mengerti apa yang ia katakan padaku...? Bahwa dari semua
nasihatnya, amarahnya, tersimpan nada khawatir yang amat sangat untukku!
Tersimpan kepedulian dan cintanya padaku!”
“..............”
“Padahal, baru
saja--“
Bayangan ibunya
yang memeluknya, senyumannya yang hangat, terbayang dibenaknya. Hanya sedikit,
ia berusaha menggapai kehangatan yang hanya tersisa sedikit itu dengan
tangannya kemudian mendekapnya dan menjaganya.
“--Baru saja,
kupikir hubunganku dengan ibuku akan semakin membaik...”
“.................”
“Baru saja aku
berpikir, aku bisa mengerti dia lebih dari selama ini...”
“...................”
“Baru saja aku
mengubah sudut pandangku tentangnya selama ini--Dan membuka lembaran hidup yang
baru, di mana kita berdua bisa melangkah bersama sambil bergandengan tangan--!
Tapi--Tapi--“
“.......................”
“...............................”
“..........................”
“.........................”
“Maaf...”
Dengan suaranya
yang selalu terdengar lembut, ia berkata,
Emi mengatakan
sebuah kata, dan saat itu, meski kelihatan atau tidak, tubuh Riya sedikit
bergetar.
“.............Bukan
salahmu...”
“Ini salahku.
Tidak seharusnya aku mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan ibumu di saat
seperti ini. Aku minta maaf. Aku telah berjanji tidak akan lagi
membahasnya--Itu keluar dari mulutku begitu saja. Tak ada niat untuk membuatmu
teringat atau apapun.”
“.....Aku tahu.”
“......Riya-chan,
aku sangat senang kau bisa pindah kemari. Jujur saja, semua perasaan itu memang
yang sebenarnya dan bukan suatu kebohongan. Aku benar-benar bersyukur kau
datang ke rumahku--Ah, apa yang sebenarnya aku bicarakan di sini...?”
“...................”
“Aku tidak tahu
harus mengatakan apa lagi untuk mengungkapkan perasaanku. Kenapa aku jadi seolah
terdengar, menjadi satu-satunya orang yang senang atas peristiwa ini? Yah,
apapun intinya, aku senang sekarang bisa tinggal serumah denganmu, tapi aku
tetap merasa lebih baik--Kalau kau tetap tinggal bersama ibumu...Tidak ada yang
akan bisa menggantikannya...”
“..........Ya,
kau benar...”
“Semua yang terjadi pasti karena ada suatu
alasan di baliknya, yang kita tidak tahu apa itu. Tidak mungkin hanya kebetulan
atau terjadi dengan sendirinya.”
“.............Sepertinya
begitu...”
“Pasti ada yang
ingin disampaikan dengan adanya kejadian ini...”
“Semoga itu
benar...”
“......................”
“....................................”
“.........Maaf...”
Sekali lagi,
tubuh Riya bergetar.
“Jadi setelah ini--Apapun yang terjadi, atau luka
seperti apa yang akan kau dapatkan dalam hidup ini, kau tidak akan menangis dan
meneteskan air mata seperti hari ini lagi.”
Dan air mata itu
mengalir, turun, menetes ke lantai berwarna putih.
***-***
Hujan turun
rintik-rintik pada siang hari itu.
Tidak terlalu
deras, tapi semua orang berpakaian hitam yang berdatangan ke rumah keluarga
Miyashita, membawa sebuah payung di tangan mereka yang sama dengan warna
pakaian tiap orang, seolah membuat mereka seperti pengiring atau pengantar
kematian.
Ekspresi wajah
sedih dibuat oleh mereka. Atau ekspresi wajah yang dibuat-buat seakan-akan
mereka terlihat sedih dan turut menyesal atas semua ini, agar orang lain tak
menilai mereka berhati dingin atau tak memiliki rasa kemanusiaan. Meneteskan
setetes air mata, yang entah tulus atau tidak.
Manusia adalah
mahluk seperti itu. Seberapa kerasnya mereka berusaha menyakinkan orang lain
seberapa baiknya mereka, seberapa pedulinya mereka, tidak ada yang tahu apa itu
benar atau salah, selain orang yang mengatakannya.
Yang mana pun,
saat ini mereka semua berkumpul untuk satu hal. Upacara pemakaman ibu Riya.
“Miyashita-san
adalah tetangga yang baik.”
“Kau benar.
Terakhir, suamiku sedang mengalami kecelakaan dan harus dioperasi. Aku sudah
mencoba meminjam kepada beberapa orang, dan hanya Miyashita-san yang mau
meminjamkan uang kepadaku.”
Pemakaman ini
diadakan di rumah keluarga Miyashita.
Garis polisi yang terlihat membatasi rumah
ini, telah dilepas. Bekas darah juga tak berbekas sedikit pun. Seolah sama
sekali tak ada kejadian mengerikan yang terjadi di rumah ini. Seolah suara
tembakan itu sebenarnya tidak pernah ada. Seolah rumah ini tak pernah menjadi
saksi bisu sebuah kasusupembunuhan. Seolah rumah ini hanya ditutup untuk
sementara waktu dan kini kembali dibuka.
Hanya saja,
apapun yang terjadi--Pembunuhan itu memang benar terjadi di sini.
“Aku masih ingat
saat datang ke rumahnya dan mencoba kue buatannya. Rasanya enak, dan kurasa aku
akan sangat merindukan kemampuan Miyashita-san dalam memasak dalam waktu
dekat.”
“.................”
Sambil
mendengarkan pembicaraan orang-orang yang sepertinya membicarakan bagaimana
ibunya semasa hidup, Riya mengalihkan pandangannya ke arah mereka, tanpa
menyadari, seorang tamu telah sampai di depannya dan ingin bersalaman sambil
memberi ungkapan bela sungkawa.
“Riya-chan.”
Melihat Riya
yang nampak tak konsentrasi dan justru melihat ke arah lain, Emi berbisik pelan
sambil mengangkat sebelah alisnya, membuat Riya meloncat kaget dan langsung
menyodorkan tangannya.
“Aku turut
menyesal atas apa yang terjadi apdamu, Nak. Kau masih muda dan masih memerlukan
bimbingan. Tapi aku yakin, meski tubuhnya tidak ada di dunia ini lagi, jiwanya
akan tetap ada dan menjagamu.”
Pria botak yang
kelihatan cukup tua itu menepuk pundak Riya sambil sedikit memberikan sekilas
senyum padanya.
Sementara itu,
Riya mengangguk dan mengatakan ‘Terima kasih’, dengan suara pelan yang terkesan
malas.
Berdiri di depan
pintu, Riya menyambut para tamu yang masih terus berdatangan, dengan Emi di
sampingnya.
Wajahnya
benar-benar nampak buruk dan terlihat suram. Ketika semua tamu mengucapkan
kalimat ‘Aku turut menyesal atas yang menimpa ibumu’, yang seolah sudah sangat
biasa terdengar di upacara-upacara kematian seperti ini padanya, seolah-olah
sudah bosan dan muak dengan semua itu, ia hanya mengangguk dan mengucapkan
terima kasih.
Benar-benar
seperti robot tanpa emosi dengan gerakan yang kaku dan nada bicara yang
monoton.
Terlihat sedikit
menyeramkan, tapi semua berusaha memaklumi itu. Seorang gadis berusia 15 tahun
harus kehilangan satu-satunya anggota keluarga--Rasanya itu terlalu cepat. Dan
semua memahami betapa sedihnya gadis itu.
Tanpa Riya
ketahui, dari tadi Emi yang berada di sampingnya dan ikut bersamanya untuk
menyambut tamu, beberapa kali menoleh ke arahnya dan memperhatikannya dengan
wajah sedih. Ia tak mengatakan apapun, hanya menghela nafas, dan ketika sadar
ada tamu yang kembali datang, ia kembali fokus dan tersenyum ke arah mereka
sambil menyampaikan betapa senangnya ia dan Riya atas kedatangan mereka.
Begitu mereka
telah masuk sambil membawa bunga-bunga berwarna putih, pandangan Emi kembali
tertuju pada Riya.
“...............”
Mata Riya
kembali tertuju ke arah segerombolan wanita yang sedang berbicara di sudut
ruangan. Kelihatannya mungkin hubungan mereka cukup dekat ibunya dan sangat
akrab.
Kalau dilihat
sekali lagi, sebagian besar yang datang kemari adalah orang-orang tua. Mungkin
sahabat ibunya dan tetangga-tetangga di sekitar rumah yang sedang tidak sibuk
atau apapun. Hanya sedikit gadis atau pemuda seusianya yang datang. Tak banyak
teman satu sekolahnya yang datang.
Sepertinya, para
orang tua jauh lebih pengertian dan memiliki rasa peduli yang lebih besar
dibandingkan dengan anak muda.
Atau itu hanya
karena ia yang tak terlalu dekat dengan siapapun. Walau begitu, mereka pasti
tahu kalau kalau musibah yang sangat berat sedang menimpanya karena di kota
seperti ini, berita dan gosip sangat cepat menyebar seperti virus.
Tapi sudahlah,
seperti yang ia perkirakan sebelumnya, memang teman satu sekolahnya itu, tak
ada yang peduli padanya.
Bukan berarti ia
peduli pada mereka dan mengharapkan mereka datang kemari. Akan lebih baik kalau
ucapara pemakaman ibunya ini tidak kotor oleh kehadiran mereka yang penuh
dengan palsu dan topeng.
‘Aku harus
menangis seperti ini’
‘Aku harus
bersikap seperti ini’
‘Aku harus mengatakan
ucapan seperti ini’,
Semua
‘keharusan-keharusan’ tidak penting itulah yang pasti ada di kepala-kepala
mereka sebelum menginjakkan kaki di depan rumah, seolah sedang mempelajari
sebuah naskah drama dan mengingat kembali bagaimana cara berakting. Mereka
bicara seolah-olah sedih akan sesuatu, padahal hati mereka sedang tertawa
seakan-akan yang terjadi adalah sesuatu yang sangat konyol.
“[Mereka memang orang-orang seperti itu].”
Ucapnya dalam
hati.
Lalu tanpa ia
sadari, bola matanya bergerak-gerak, menyusuri tiap sudut ruang yang sempit dan
kecil ini. Memperhatikan tiap orang yang sedang berbincang, menangis sedih,
atau sedang berdoa, ia melihat semuanya. Ia tahu, ada satu orang yang
benar-benar akan mengucapkan kalimat ungkapan turut berduka cita dengan
kesungguhan dari dalam hatinya.
Berusaha mencari
‘seseorang’ sambil terus berharap agar ia benar-benar datang dan tak melakukan
sesuai yang diucapkannya waktu itu.
Ia tak tahu
kenapa, hanya ia sedikit bisa merasa, kalau ia akan menjadi lebih tenang, seandainya
jika ia muncul dan tersenyum ke arahnya.
“...................”
Dari semua itu,
ia tak menangkap sosok yang ia kenal.
Kelihatannya, ia
benar-benar takkan muncul.
“..................[Apa yang dikatakannya kemarin itu
benar...Dia tidak akan pernah muncul lagi di hadapanku].”
Mengingat semua
yang terjadi semalam, tidak tahu kenapa rasanya terasa semakin menyedihkan
untuknya. Hidupnya tidak akan menjadi lebih buruk setelah ini--Tidak, mungkin
masih akan ada banyak hal, kejutan yang menanti di depan sana untuk dibuka.
Ia hanya terlalu
takut--Untuk menemukan bahwa itu sebuah kejutan yang tak diinginkan.
“Mulai sekarang, seperti yang selalu kau inginkan
dariku sejak dulu, aku tidak akan pernah muncul lagi dihadapanmu, atau
menemuimu. Di sekolah, aku akan berpura-pura kita tak saling mengenal
sebelumnya. Itu’kan--Yang sangat kau ingin’kan...?”
“.............[Baru sekarang--].”
........................
Kedua tangannya
bergetar.
Ia selalu
seperti itu. Apapun yang terjadi, ia tak pernah mempedulikan orang yang selama
ini selalu peduli padanya. ‘Akan lebih baik kalau dia tak mengangguku lagi’,
kata-kata itu selalu membayangi hari-harinya tiap kali bertemu atau hanya
sekedar berpapasan tanpa peringatan. Ia selalu merasa benci, sebal, tidak suka,
semua perasaan negatif lainnya.
Cuma melihat
senyuman yang terkesan seperti seorang idiot di wajahnya itu--Ia langsung
memalingkan wajah. Ia selalu bertanya-tanya di tiap detiknya, sebenarnya apa
yang orang-orang lihat dari orang itu?
Baginya, ia
terlihat biasa-biasa saja dan tidak terlalu mencolok jika dibandingkan dengan
semuanya.
Ia tak pernah
peduli--Pada orang yang selalu ia sebuat ‘alien’ itu,
--Setidaknya
sampai hari ini.
Sampai ia
memikirkan kembali semuanya, semua kebaikannya, semua senyum yang ia buat,
menimbang-nimbang jauh lebih dalam lagi ke dalam hatinya--
--Ia menemukan
sesuatu di balik semua itu.
Sebuah kilauan
yang sangat indah dan bercahaya. Hanya untuknyalah, kilauan itu ada. Hanya
untuk dirinyalah ia bisa berkilau seindah itu. Semua itu dilakukan hanya demi
dirinya.
Siapa yang
melindunginya saat itu? Siapa yang mengatakan kalau ia masih akan terus
memilikinya apapun yang akan terjadi selanjutnya? Siapa yang selalu melambaikan
tangan dan meneriakkan namanya tiap kali mereka bertemu ketika tak ada satu pun
yang mau menyapanya? Siapa yang--Ia harapkan waktu itu untuk berada di sisinya?
Mungkin,
Yang membuat orang-orang menyukainya, bukan
hanya karena wajah dan fisiknya, tapi juga karena hatinya. Orang satu ini,
adalah tipe idiot baik hati yang selalu memikirkan orang lain. Yang selalu
mementingkan kepentngan orang lain terlebih dahulu. Dia hanya--Benar-benar
baik...
Tiap kali ia
menatap mata itu--Ia bisa melihat kehangatan di dalamnya. Sesuatu telah
membutakannya, sehingga tak mampu melihat semuanya dengan jelas. Kabut asap
tebal yang semula tipis itu, pelan-pelan mulai semakin menebal.
Ia benci dengan
kabut asap tebal yang sekarang seolah menyelimuti hatinya. Ia tahu, sesuatu
yang tidak beres telah terjadi dengannya. Ini, adalah suatu perasaan yang belum
pernah ia rasakan sebelumnya, dan--
“[--Kenapa
baru sekarang aku memikirkan semua ini--!].”
“Aku berpikir,
apa pembunuh itu masih berkeliaran di sini...?”
“!?”
Ia tertegun,
ketika tiba-tiba seseorang membicarakan mengenai pembunuhan yang terjadi.
Dengan segera, ia melupakan semua pikiran itu, dan mencari suara yang menjadi
asal percakapan.
Ah, dia
menemukannya. 3 orang pria yang duduk di sofa tak jauh darinya. Sepertinya ia
bisa mencoba mendapatkan sedikit informasi, karena ia telah berada jauh dari
dunia luar selama di rumah sakit [Waktu itu, ia tak berbicara dengan siapapun,
dan semua yang datang pasti tahu kalau ia tak ingin membicarakannya, ia sedikit
tertinggal dengan informasi terbaru dari pembunuhan itu].
“[Tapi tak mungkin jika sudah tertangkap...Kalau
iya...Polisi pasti akan memberitahuku, karena aku juga korban...].”
Pikirnya dalam
hati.
Bagaimanapun, ia
juga ingin mengetahui, siapa orang yang telah membunuh ibunya. Apa itu orang
yang sama, yang telah membunuh Sasagawa dan juga Karisawa?
Riya tidak tahu
itu tapi ia bisa pastikan apa yang akan ia lakukan pada pembunuh itu,
seandainya ia berhasil ditemukan. Ketika ia berpikiran seperti itu, perasaan
aneh timbul di dalam dirinya.
Orang yang di
tengah, dengan dasi berwarna hijau, berkata,
“Entah. Tapi kau
tahu, orang itu bisa melarikan diri dengan sangat cepat. Kelihatan sekali kalau
dia mengenal lingkungan sekitar rumah dengan baik. Bagaimana jika, kalau
ternyata pelakunya berada di dekat kita?”
“[Di dekat kita?].”
“Mnn...Kurasa
itu mungkin terjadi. Ia pasti tahu jalan tercepat agar bisa melarikan diri dan
terhindar dari warga. Kau tahu? Cara membunuhnya itu--terang-terangan sekali!!”
Orang di samping
kiri, dengan rambut berwarna abu-abu yang agak panjang, membalas perkataan
sahabatnya sambil menaikkan sebelah kakinya.
Sebuah lubang
kecil tersisa di pintu rumah keluarga Miyashita, yang sepertinya merupakan
bekas peluru. Karena peluru itu sangat kuat dan mampu menembus beberapa benda
di depannya, ia pasti menembak dari luar, dan mengincar seseorang di dalam.
Jika ia bisa
melakukan itu, dipastikan suasana sedang dalam kondisi sepi. Masalahnya,
“[Bagaimana dia yakin seseorang yang ia incar
berada tepat di target yang sudah ditentukannya? Bagaimana ia tahu, kalau saat
itu, orang yang dia incar berdiri tepat di tempat peluru itu akan menembus?].”
Selain jika ia
memiliki kemampuan untuk melihat menembus benda, logika manapun di dunia ini
tidak akan berfungsi.
Tidak akan
mungkin ada satu teori yang mampu menjelaskannya--
“[--Kecuali--Saat itu aku berteriak!?].”
“Itu bukan cuma
orang di sekitar ini saja yang bisa melakukannya. Siapapun dia, dia pasti
mengenal seluruh jalan di wilayah ini dengan baik. Orang yang sering datang
kemari, juga patut untuk dicurigai.”
Sementara itu,
orang di paling kanan yang berambut cukup pendek, memajukan sedikit tubuhnya
dan menoleh ke arah 2 orang yang lain.
Pria di tengah
terlihat mengangguk-anggukkan kepala, berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh
pemuda di sampingnya. Tampaknya ia paham.
“Hmm, hmm...Kita
masih belum bisa memperkecil kemungkinan si pelakunya’kan?”
“Tapi bukannya
hasil penyelidikan polisi yang ditayangkan kemarin, kemungkinannya masih ada
kalau pelaku itu murid sekolah -XXX-?”
Menaikkan jari
telunjuknya, pria berambut agak panjang itu berbicara, dengan nada yang terdengar
antara yakin dan tidak. Kelihatannya ia masih bingung dengan kebenaran hal itu.
“Masalahnya di
sini tuan-tuan, untuk apa anak SMA membunuh?”
Tanya pria
berambut pendek itu.
“Ah, kau itu
seperti tidak tahu saja! SMA adalah tingkatan di mana dirimu beserta
ketangguhan hatimu diuji. Disanalah kita akan menemukan berbagai masalah baru
yang belum kita hadapi di tahap-tahap sekolah sebelumnya. Banyak sekali, kasus
anak SMA yang bunuh diri karena tidak tahan akan ejekan teman-temannya,
bullying, perkelahian, penganiayaan!”
“Tidak tahu nih!
Koutaro, kau seperti tidak pernah SMA saja!”
“Memang aku
tidak pernah sekolah sampai SMA!”
“Sebenarnya sih
bukan cuma SMA saja, bahkan saat SMP sudah banyak penganiayaan yang terjadi.
Kalian ingat tidak, tentang kasus siswi SMP yang bunuh diri waktu itu?”
Pria berambut
agak panjang itu kembali bertanya pada 2 rekannya.
“Yang bunuh diri
loncat dari atap sekolah itu? Hiii! Tiap kali mengingatnya, aku selalu
merinding!”
Teriak pria
berdasi hijau itu.
Ketika ia
mendengar itu, semua perasaan lain di dalam dirinya seolah menghilang, berganti
dengan rasa takut sekaligus bingung. Siswi SMP bunuh diri?
“.........[Bunuh diri--Loncat dari atap sekolah!?].”
Ucapnya dalam
hati dengan wajah yang terlihat sedang memikirkan sesuatu, mendekatkan ibu jari
pada bibirnya.
“.........................”
Bukan karena
kengerian yang ia rasakan ketika mendengar pernyataan tentang seseorang bunuh
diri, tapi--Karena ia tidak tahu apapun tentang kasus itu.
“..........[Seseorang bunuh diri...Tapi kenapa aku baru
tahu itu sekarang...].”
Ia tinggal di
kota ini sudah selama 15 tahun dan seingatnya, tak sekalipun ia pernah pindah
untuk sementara, kemudian kembali lagi. Ia memang telah tinggal di rumah ini
selama 15 tahun hidupnya. Tidak mungkin, ia melewatkan tiap kejadian yang
menghebohkan, yang masuk dalam berita atau televisi.
Sekali lagi, ia
berusaha mengingat-ingat. Sepertinya, ia hanya lupa. Ya, lupa. Lupa?
........................
“Itu’kan satu
tahun yang lalu, dan kalau tidak salah, semua itu karena ia di-bully oleh teman
sekelasnya kemudian kekasih yang sangat ia percayai direbut. Itu pasti membuat
luka batin yang besar di hati gadis itu. Haaah, sekarang aku jadi kasihan
padanya...”
Pemuda berambut
pendek itu mengungkapkan perasaannya sambil menopang dagu dan menghela nafas.
Kali ini, pria
berambut abu-abu panjang yang duduk di sisi kiri, yang berbicara,
“Ngomong-ngomong
soal bullying, saat SMA aku juga pernah kena bully sih...”
“Oh, ya? Seperti
apa, Kido?”
Ujar pria
berdasi hijau di sampingnya, kalau tidak salah, namanya adalah Koutaro.
“Yah,
biasa...Ketika itu, aku sedang menyukai seorang gadis. Dia benar-benar cantik,
dan dia adalah idola SMA pada waktu itu. Semua laki-laki mengincarnya, termasuk
diriku. Pada waktu itu, aku masih pakai kacamata dan nampak seperti anak kutu
buku, bukan cuma itu, wajahku juga jelek dan memakai kawat gigi...”
“Apa~~!?
Memangnya sekarang kau sudah tampan?? Sampai sekarang pun, kau masih jelek,
Kido!”
“Apa kau
bilang!? Belum tahu rasanya kenapa pukul tinju Kido yang mematikan ini, ya!?
Mau dilanjutkan tidak nih!?”
Ia berteriak ke
arah pria berambut pendek sambil mengacungkan tinjunya ke atas, sementara pria
di paling kanan mengangkat tangan setinggi dada seolah berkata ‘Jangan dong’
dan tersenyum jahil, membiarkan rekan mereka ditengah menertawakan keduanya.
“Ehm! Jadi, biar
aku lanjutkan. Intinya, gadis itu tidak mungkin melirik ke arahku, tak peduli
aku selalu melihatnya ribuan kali tiap detik. Mustahil! Hubungan kami itu
mustahil!! Jika saja terkabul dan aku bisa jalan sama dia, aku berjanji pada
diriku akan membuat bulan keluar di pagi hari dan matahari di malam hari!”
“Apa yang
sebenarnya sedang coba kau katakan pada kami...?”
Pria berdasi
hijau itu bertanya dengan keringat di dahinya.
“Beberapa hari
setelahnya, aku sedang menuju ke loker sepatuku. Ketika aku membukanya, seorang
teman menyapaku dan tiba-tiba saja ia berteriak ‘Apa itu?’, ketika ia tidak
sengaja melihat ada sepucuk surat berwarna putih di loker sepatuku.”
“Heee, surat
cinta di loker sepatu? Jaman dulu banget...”
Ujar pria
berambut pendek itu memberikan komentar sambil melihat ke arah lain dan
tersenyum meledek, yang langsung dibalas dengan ‘Yang penting dapat!!’.
“Karena aku
kurang cepat, teman satu kelas itu segera merebutnya dariku. Tanpa seijinku, ia
membuka surat putih itu, dan ternyata--Isinya adalah ajakan bertemu dari -XXX-
[Nama di sensor]!! Uwooo! Coba kau bayangkan, bagaimana ekspresiku waktu itu!!
Aku bahkan sekarang tidak tahu harus membuat wajah seperti apa! Yang pasti, aku
takjub sekali! Dia bilang, ‘Kau imut!!’.”
Ia berkata, yang
langsung membuat 2 orang di sebelahnya memasang wajah ingin muntah.
“Eh, apa benar
itu isi suratnya? Tidakkah teman satu kelasmu itu mengerjaimu?”
Tanya pria
berambut pendek itu sambil menggaruk belakang kepala.
Pria berambut
abu-abu itu menggeleng, lalu melanjutkan kisahnya,
“Tidak, setelah
itu ia memberikan surat itu padaku dan aku membacanya. Benar dari -XXX-, kok!
Dan itu memang tulisan tangannya.”
“Dari mana kau
tahu kalau itu memang tulisan tangannya?”
Kali ini pria
berdasi yang melontarkan pertanyaan.
“Aku pernah
mengembalikan buku catatannya.”
Katanya, yang
langsung ditanggapi oleh 2 orang lainnya dengan wajah yang seolah berkata ‘Itu
menjelaskan semuanya’.
“Kau datang
menemuinya setelah itu?”
Tanya pemuda berdasi
hijau. Terdengar nada penasaran saat ia berbicara.
“Aku, saat
itu--Aku tidak menemuinya...”
“Haaa!!? KENAPA!!?”
Mereka berdua
berteriak serempak.
“Hmm...”
Ia bergumam
sebentar, memejamkan kedua mata seolah bersiap akan sesuatu, lalu ketika ia
membuka kembali matanya, ia mengangkat telunjuknya, kemudian menoleh ke arah 2
temannya dan--
“--Karena aku
masih memikirkan cara bagaimana membuat bulan muncul pada pagi hari dan
matahari pada malam ha--//plaaaak//-- Aduh!! Hey, kalian berduaaa!!!!”
“Jangan membuat
kami emosi jiwa, ya!!? Cepat ceritakan yang sebenarnya!!”
Kedua orang di
sampingnya kembali berteriak kompak seusai menghujani pukulan tepat di atas
kepalanya, membuatnya berkata ‘Oke, oke, jangan marah, aku lanjutkan!’.
Sambil mengusap
bagian yang terasa sakit, ia kemudian menundukkan kepalanya dan menghela nafas,
“Yah, kejadian
setelahnya, aku menemuinya, dengan perasaan benar-benar bahagia karena ternyata
ia mengetahui keberadaanku dan perasaan kami berbalas. Saat aku sampai ke ruang
kelas kosong yang bermandikan cahaya mentari sore itu--“
“Hey, sejak
kapan pernyataan cinta itu dilakukan di kelas? Aku baru tahu kalau latarnya
sore hari sepulang sekolah...”
“Kido selalu
kurang bicara sih!”
Pria berambut
pendek dan berdasi itu memberikan komentar secara bergantian.
“Berisik!! Ikuti
saja ceritanya! LALU, setelah aku sampai di kelas kosong yang
bermandikan cahaya matahari di sore hari itu, ketika aku akan membuka pintunya,
sebuah ember berisi air langsung mengguyurku.”
Ia kembali
bercerita, dan sampai bagian itu, ekspresi wajah kedua orang yang lain,
terlihat cukup terkejut. Wajahnya sendiri juga ikut menjadi suram.
“Yah, kurasa
tanpa aku beritahu kelanjutannya, kalian sudah tahu sendiri yang akan
terjadi’kan?”
“Sudahlah
lanjutkan saja. Menyenangkan sekali melihat wajahmu yang menyedihkan itu ketika
mengenang masa lalu.”
“Anda jangan
bercanda, ya...”
Pria berambut
agak panjang itu otomatis langsung memasang wajah kesal ke arah pria berdasi
hijau yang kini menatap sedih ke arahnya sambil menutupi bagian mulut dengan
tangannya, entah ia benar-benar merasa simpati pada kisah pahit masa lalu
temannya itu--Atau ia hanya ingin menikmati ekspresi menyedihkan yang
dibuatnya.
“Setelah itu,”
Ia benar-benar
melanjutkannya.
“Gadis yang aku
suka muncul dari luar kelas, bersama dengan teman-temannya yang lain. Mereka
menertawakan aku yang sekarang basah, bodoh dan nampak konyol karena bisa
termakan jebakan yang begitu mudah. Gadis itu ternyata tahu kalau aku suka dia,
karena aku suka menatapnya--“
“[Bukannya itu sudah nampak jelas sekali...].”
“--Lalu, dia
pura-pura mengirim surat itu untukku, repot-repot hanya untuk mempermalukanku.
Ia kemudian berkata padaku bahwa tidak mungkin gadis cantik seperti dia mau
berkencan dengan laki-laki jelek dan kurus sepertiku...Ia meninggalkanku
sendirian begitu saja...”
Sepertinya,
cerita itu berakhir di sana, ketika ia menghentikan ucapannya.
Kedua orang di
sampingnya, langsung memasang raut muka yang seolah berkata ‘Aku turut
prihatin’, tergambar dengan cukup jelas.
Pria berambut
pendek menghela nafas sambil memainkan jari-jarinya,
“.........Masa
remaja memang sangat sulit. Banyak sekali hal-hal yang waktu itu kita rasa
sangat penting--Seperti cinta, persahabatan, fame, menjadi idola kelas, ranking--Dan hal-hal lainnya...Yang
tanpa kita sadari telah merusak diri kita...Baru beberapa tahun kemudian,
ketika kita dewasa dan melihat anak muda lainnya dengan wajah yang sama seperti
kita dulu, dengan sikap yang sama, kita akan berkata ‘Kenapa anak muda suka
membicarakan masalah tidak penting seperti itu dan membiarkan itu mengambil
alih sesuatu yang penting yang harus mereka lakukan dalam hidup’, dari situ,
barulah kita menyadari bahwa apa yang dulu kita perjuangkan dan pentingkan,
adalah sesuatu yang sama sekali tidak ada artinya...”
“.........Aku
setuju denganmu, Imura. Walau aku tidak bersekolah sampai SMA karena aku harus
segera bekerja, tapi aku paham seperti apa perasaan melakukan sesuatu yang
‘penting’ dan baru menyadari nanti bahwa itu sebenarnya sangatlah ‘tidak
penting’. Tiap orang melakukannya.”
“Yah, hey, tapi
ada apa dengan wajah suram itu? Ceritaku, tidak berakhir buruk di sana. Setelah
mereka semua pergi, aku memang masih shock dengan kejadian yang tiba-tiba itu.
Rasanya hanya beberapa menit saja mereka datang dan tertawa ke arahku, tapi aku
merasakan seperti mereka menghinaku seharian penuh. Waktu itu, aku meremas
surat yang sudah setengah basahke lantai kelas. Lalu--Seorang gadis dengan
rambut oranye pendeknya, dengan wajah yang bercahaya tertimpa oleh cahaya
matahari berwarna oranye, memungut kertas itu. Aku berusaha menghentikannya,
tapi ia terlanjur membuka dan membacanya. Dia adalah seorang gadis--Setidaknya
dari puluhan manusia di kelasku, yang mau berbicara denganku. Ia tidak terlalu
mencolok, cukup pemalu, dan bisa kubilang nilainya cukup biasa-biasa saja. Aku
pintar dan sering mendapat nilai terbaik di kelas. Guruku sering memintaku
untuk mengajarinya, makanya aku membantunya. Saat itu, aku masih belum tahu,
kalau ternyata kebaikanku itu, selama ini, ternyata telah--“
“................”
“.............................”
“--Mendapat
tempat spesial di hatinya...”
“Hooo...//CLING
CLING CLING//”
“Kalian berdua
jangan memasang wajah seperti itu, he he he. Aku jadi malu...E--Ehm! Ia lalu,
kembali membacakan surat cinta palsu dari -XXX- itu padaku. Tentu saja, aku
marah dan berusaha merebut surat itu darinya. Yang membuatku terkejut,
tersentak, sekaligus tersipu adalah--Saat ia membacakan bagian namanya, ia tak
mengatakan nama gadis itu, melainkan menyebutkan namanya sendiri. Aku merasa,
seolah mendapat pengakuan cinta kedua, bedanya, kali ini terasa lebih tulus dan
hangat. Ternyata selama ini, ia selalu memperhatikanku, sebagaimana aku terus
memperhatikan gadis yang aku sukai. Aku terus saja memperhatikan -XXX- sampai
aku tak menyadari perasaannya yang sebenarnya. Cerita berakhir di sana, dan dia
sekarang telah menjadi wanita yang kalian kenal sebagai istriku...”
“Wah, ternyata
awal pertemuan kalian berawal dari kau yang di-bully. Aku sama sekali tidak
tahu, bullying terkadang membawa
dampak positif, ha ha.”
Pria berdasi
hijau itu berkata sambil tertawa.
“Khu khu khu,
perkataanmu ada benarnya. Dan, karena sekarang aku sudah jadi keren, tampan dan
rupawan, saat aku menghadiri acara reuni waktu itu, ia shock ketika mengetahui
kalau aku adalah anak laki-laki di kelas kosong di sore hari yang basah waktu
itu dan menyesal telah menolakku waktu itu, karena sekarang aku sudah handsome! Ha ha ha!! Aku benar-benar puas
melihat wajahnya saat itu!”
“Walau begitu,
tetap saja banyak dampak negatifnya! Apapun yang terjadi, jangan pernah bilang
kalau bullying itu hal bagus deh! STOP BULLYING!”
Kata pria
berambut pendek itu sambil memajukan sebelah tangannya seolah akan berkata
‘Berhenti’.
“Kisah murid SMP
yang jatuh itu--Kan sangat heboh sekali tuh. Bicara tentang bully, apa korban
pembunuhan itu juga korban bullying?”
Pria berambut
sedikit panjang itu kembali berbicara, menghadap ke arah 2 rekannya yang kini
terlihat berpikir. Pembicaraan sepertinya kembali mengarah ke arah serius.
“Kedua siswi
yang terbunuh itu--Mereka adalah siswi bernama Eiko dan Kyouko’kan? Hmm, entah,
aku kurang tahu tentang kedua anak itu. Putraku tak bersekolah di sana...Tapi
menurut polisi, memang masih ada hubungannya dengan kekerasan. Bedanya, mereka
katanya bukan korban, tapi pelaku.”
Ujar pria
berambut pendek itu.
“Bukankah itu
berarti, pembunuh itu membunuh mereka berdua, karena menjadi korban bully?”
Tanyanya lagi.
“Mungkin saja.
Oh ya, bukannya, putri Miyashita, sebelum kedua siswi itu tewas, sempat ada
masalah dengan Eiko dan Kyouko--Atau seperti itu...Katanya...Kenapa, ya? Aku
sedikit lupa. Mnn, jangan-jangan, putri Miyashitalah--“
“..............”
Mendengar kata
itu, Riya langsung menyipitkan sebelah matanya dengan perasaan kesal. Apa ini?
Kalian bercanda’kan? Bahkan setelah semua yang terjadi, semua yang ia alami,
masih ada yang menuduhnya sebagai pembunuh?
Dunia ini mulai
bisa membuatnya tertawa melalui arah yang buruk dan tidak menyenangkan.
Belum sempat
pria berdasi hijau itu melanjutkan ucapannya, pria berambut abu-abu panjang itu
segera menyikut perutnya.
“Ssst!! Diam!
Kenapa kau mengatakan hal seperti itu!? Kau lupa, Miyashita juga korban di
sini!”
Gerutunya kesal
dan langsung panik, tapi bukan karena melihat Riya yang terus menatap ke arah
mereka dengan wajah kesal, melainkan sepertonya karena kesadarannya sendiri,
sementara pria berdasi hijau itu hanya berkata ‘Aku’kan hanya ingin mengatakan
yang ada di kepalaku saja’, sambil mengusa-usap perutnya.
Mereka lalu
kembali melanjutkan pembicaraan mereka--
“Riya,
Kawada-san!”
“Mn?”
Tertegun ketika mendengar suara itu, Riya segera mengalihkan pandangannya dari ketiga orang tadi.
Tertegun ketika mendengar suara itu, Riya segera mengalihkan pandangannya dari ketiga orang tadi.
Bersamaan dengan
suara sapaan itu, 2 orang gadis sebaya muncul.
Yang satunya,
berambut hitam pendek. Dan yang satu lagi dengan rambut ungu kemerahan ciri
khasnya, yang dikuncir dengan 2 ponytail di bagian bawahnya.
Mereka adalah
sahabat Riya dan Emi--Takashi Haruko dan Hasegawa Runa.
Melihat mereka
akhirnya datang, Emi langsung melambaikan tangan menyuruh mereka untuk
mendekat.
“Ah, maaf kami
lama!”
Ujar Haruko yang
masih berusaha mengatur nafasnya. Kelihatannya mereka baru saja berlari.
Emi langsung
memasang senyuman di wajahnya. Dan meski begitu, kesedihan tetap nampak di
wajah manisnya. Tentu saja, di tempat ini, tak siapapun akan benar-benar bisa
tersenyum tanpa memberikan kesan sedih di wajahnya.
“Tidak apa-apa.
Yang penting kalian sudah datang. Iya’kan, Riya-chan?”
“Mn...Iya...”
Riya menjawab
dengan suara pelan disertai senyuman tipis.
Setidaknya, 2
orang yang berkata ‘Akan menjadi sahabatnya’, benar-benar muncul.
“Maaf, habisnya,
saat aku datang ke rumahnya, Runa ini masih sibuk mem-blow rambut!”
“Enak saja!
Bukannya kamu yang bangun kesiangan, Haruko!? Jangan seenaknya menyalahkan aku
begitu dong!”
Haruko dan Runa
saling menyalahkan satu sama lain seperti sekumpulan anak-anak.
Itu membuat Emi
dan Riya sedikit tertawa, entah mereka sadari atau tidak. Lalu, ketika mereka
berdua, Haruko dan Runa, tak sengaja menjatuhkan pandangan ke arah Riya, mereka
yang semula sedang ribut tiba-tiba langsung tersentak dan terdiam, seolah
dikejutkan oleh aliran listrik.
Riya dan Emi
yang menyadari keheningan tiba-tiba yang terasa aneh ini, saling berpandangan
sampai Emi melontarkan pertanyaan pada mereka berdua,
“Ada apa dengan
kalian ini? Tiba-tiba terdiam seperti baru saja melihat hantu?”
“Mm...Bukan
begitu.”
Ujar Haruko
pelan dengan kepala tertunduk.
Ia kemudian
mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Riya, lalu mengatakan,
“......Aku,
mungkin tidak bisa mengatakannya dengan baik...Tapi biar aku
katakan...Maaf...Soal ibumu...”
Haruko berkata,
dengan suara yang terdengar sangat lemah disertai penyesalan di dalamnya, yang
langsung membuat ketiga gadis lainnya tertegun.
“A--Aku--!!”
Seusai mendengar
ucapan Haruko, Runa juga mengatakan sesuatu yang sama,
“Aku benar-benar
minta maaf soal ibumu!! Aku--Aku--Kalau saja waktu itu aku--“
.......................
Kelihatannya,
Runa bermaksud dan ingin mengatakan sesuatu. Tapi, perkataannya terhenti di
tengah jalan seolah tak bisa ia lanjutkan lagi.
Dan tidak ada
yang tahu, apa yang sebenarnya ingin dikatakannya pada saat ini.
“..................”
Sementara itu,
Riya hanya terdiam. Namun, ekspresi ‘Kenapa kalian yang minta maaf? Padahal bukan
kalian yang telah membunuh ibuku’, tergambar jelas di wajahnya.
Bagaimanapun,
terdengar nada penyesalan pada perkataan Haruko dan Runa. Awalnya Riya tidak
paham, tapi pelan-pelan, ia sedikitnya tahu kenapa mereka merasa bersalah
seperti itu.
“Seandainya kita
tidak bertengkar di kantor polisi waktu itu--“
“...............”
“--Dan
seandainya aku dan Runa pulang bersamamu--Mungkin saja, kami bisa mencegah hal
itu terjadi...”
Kata Haruko
dengan kepala tertunduk.
“Itu semua
salahku...Aku ini memang monster...”
Runa berkata
dengan suara pelan. Sangat berbeda dengan dirinya yang selalu terlihat riang.
Terlihat sangat menyedihkan untuk dilihat.
“.................”
Riya masih tak
mengucapkan satu kata pun. Ia bukannya tidak bisa mengatakannya, atau tidak
tahu harus berkata apa. Ia tahu apa yang harus ia katakan, tapi ia merasa tak
perlu mengatakannya.
Seandainya saja
ia berkata ‘Ya, seandainya itu yang terjadi, seandainya kalian ada di sana
waktu itu--‘, apa itu akan mengubah segalanya? Apa itu semua akan mengubah
kenyataannya yang sekarang? Andai saja Haruko dan Runa pulang bersama
dengannya, apakah pembunuhan itu tak’kan terjadi? Andai saja mereka ada di
sana, apa mereka juga akan terbunuh dan tewas? Apa mereka juga akan menjadi
korban?
Kalau seperti
itu, apa akan mengubah sesuatu? Pada akhirnya, jumlah korban justru akan
semakin bertambah. Pada akhirnya, justru ia akan merasa kehilangan dan semakin
terluka lebih dari ini. Pada akhirnya, ia mungkin tak’kan mampu berdiri,
menopang dirinya sendiri di tengah kesedihan yang menyelimuti dan memutuskan
untuk mengakhiri semuanya.
Jika itu
terjadi, ia tak’kan ada di sini sekarang.
Jika memang
begitu, bukankah akan lebih baik kalau Haruko dan Runa tidak ada di sana?
Mungkinkah pertengkaran mereka di kantor polisi waktu itu, secara tak langsung
telah menyelamatkan nyawa Haruko dan Runa?
Sejak awal, baik
Haruko maupun Runa tak memiliki kewajiban untuk melindunginya dan juga
keluarganya. Harusnya, dia, sebagai putrinyalah, yang menopang kewajiban untuk
melindungi keluarganya.
Sampai saat ini, ia masih selalu menyalahkan
dirinya sendiri, atas ketidakmampuannya menyelamatkan ibunya pada waktu itu. Ia
memang tak menceritakan penyesalannya itu pada siapapun. Tapi sepertinya
tergambar cukup jelas di wajahnya tiap kali ia membuat suatu ekspresi. Ia tak
ingin menjadikan alasan ‘Karena waktu itu ia tak bisa bergerak dan hanya bisa
menunggu bantuan’, sebagai suatu alasan tak bisa menolong ibunya. Setidaknya,
ia seharusnya mencoba melakukan sesuatu...
Tapi ia hanya
bisa pasrah pada keadaan...
Karena itu,
Ia tak bisa
menyalahkan mereka begitu saja. Melimpahkan tanggung jawab ini pada mereka
berdua. Ini semua bukan salah mereka melainkan seseorang di luar sana yang
telah membunuh ibunya, Sasagawa dan juga Karisawa serta seseorang yang telah menyakiti
hati banyak orang.
Orang itulah
yang seharusnya memohon pengampunan. Dialah yang seharusnya diadili. Kedua
gadis dengan wajah yang terlihat menyedihkan itu--Ia merasa tak pantas
menghakimi mereka.
Jadi,
“Ah,”
Ia
mengatakannya.
Hanya satu kata.
Cukup dengan satu kata itu, ia akan menjelaskan pada mereka. Ia akan memberi
tahu mereka bagaimana perasaannya yang sebenarnya pada mereka hanya dengan satu
kata itu. Satu kata yang harus ia ucapkan,
“Sudahlah.”
“Riya?”
Haruko,
sepertinya langsung tertegun begitu mendnegar kata-kata itu keluar dari mulut
gadis berambut pirang panjang itu. Ekspresi wajah yang sama diperlihatkan oleh
Runa dan juga Emi. Mereka bertiga sama sekali tak bisa menebak apa yang akan ia
katakan selanjutnya.
Setelah
berpikir, memikirkan semua yang terjadi, semua kejadian hingga sejauh ini, ia
mengatakan hal-hal yang ia rasakan.
“Sudahlah...Aku
tak lagi merasa kalau itu salah kalian. Waktu itu aku, hanya emosi, dan juga
masih kesal. Tapi sebenarnya aku sama sekali tak pernah berpikiran ke arah
sana. Setelah berpikiran lebih ke sana sekali lagi, aku mulai merasa kalau
justru akan lebih baik jika kalian tidak pulang bersamaku. Kurasa lebih baik
kita bertengkar dan saling hina seperti saat itu...”
“???”
Tentu saja,
perkataan Riya yang terdengar aneh seolah menegaskan bahwa ‘Kejadian saling
hina dan saling menyakiti di kantor polisi itu’, sebagai sesuatu yang lebih
baik, membuat ekspresi tidak mengerti tergambar di wajah Haruko, Runa dan juga
Emi.
Ditatap seperti
itu, membuatnya tertegun sekaligus merasa aneh. Sesaat ia merasa tak perlu
melanjutkan perkataannya, tapi akhirnya, ia memutuskan untuk menyelesaikan apa
yang telah ia mulai.
“Maksudku, kalau
saja kalian ikut bersamaku--Sekarang aku takut kalau kalian juga akan jadi
korban...”
“................”
Akhirnya, mereka
bertiga sedikit demi sedikit mengerti apa yang Riya katakan.
Riya
melanjutkan,
“Aku tidak tahu
apa yang akan terjadi di masa depan. Aku juga tidak punya kemampuan meramal
atau apapun itu. Aku tidak tahu siapa pembunuh itu, apa motifnya, apa yang dia
inginkan, apa yang dia incar, siapa saja targetnya, dan siapa saja yang akan
menjadi korban secara tak sengaja. Aku tidak tahu, kalau saja saat itu kalian
menemaniku, apa pembunuh itu tak’kan datang? Apa itu yang akan terjadi? Atau sebaliknya?
Pembunuh itu akan tetap datang dan membunuh? Kali ini mungkin cuma bukan ibuku,
bisa saja kalian juga menjadi korban.”
“!?”
Saat ekspresi
terkejut itu muncul di wajah baik Haruko maupun Runa, terlihat bahwa
sebelumnya, mereka sama sekali tidak pernah memikirkan hal ini.
“Benar apa yang
Riya-chan katakan. Kalau kalian ada di sana, kalian bisa saja terbunuh.”
“Ah...”
“Kalau saja itu
memang yang terjadi, maka tidak ada gunanya kalian minta maaf, merasa bersalah
atau menyesal lebih dari ini. Aku sedih karena ibuku meninggal. Belum pernah
aku merasakan perasaan seperti ini. Kehilangan seseorang yang begitu kucintai
ternyata sangat menyakitkan. Tapi, aku setidaknya masih bisa bertahan
menghadapi semua ini, berkat kalian yang ada di sisiku. Jika seandainya kalian
terbunuh juga--Aku tidak tahu harus menghadapi semua ini seperti apalagi...
Yang penting, adalah kalian sekarang bisa berdiri di sini bersama denganku...”
Ya, itu benar.
Kehilangan ibunya memang menjadi pengalaman paling menyedihkan sekaligus paling
pahit yang pernah ia alami sepanjang hidupnya. Ia pikir ia takkan bisa
menghadapi semua hal yang akan terjadi ke depannya, ia pikir ia seharusnya
menyerah saja.
Namun berpikir
karena sekarang masih ada orang-orang yang membutuhkan dirinya, orang-orang
yang berada di tempat ini untuknya, mungkin, tidak masalah kalau seandainya ia
menghabiskan hidupnya bersama dengan orang-orang yang memerlukannya.
“............Iya...Kau
benar...Aku tak pernah berpikiran ke sana...Mungkin jika kami ikut bersamamu,
kami juga akan tewas dan menjadi korban. Tapi--Sekarang aku tak’kan
meninggalkanmu lagi.”
Ujar Runa,
dengan senyuman tipis di wajahnya.
Ia kembali
melanjutkan ucapannya ketika ketiga gadis yang lain mengalihkan pandangan
mereka ke arahnya,
“Mn...Aku harap
kita bisa mulai dari awal lagi, Riya, Kawada-san...”
Runa berkata,
sambil memainkan jari-jarinya yang lentik dengan kepala sedikit tertunduk.
Semuanya tahu, pasti butuh keberanian untuk mengatakan sesuatu seperti itu. Ia
yang sebelumnya telah mengibarkan bendera perang, kini mengangkat bendera putih
tanda menyerah dan mengumumkan janji perdamaian.
Melihat
kesungguhan seperti itu, mana mungkin seseorang bisa berkata tidak.
Maka dengan itu,
Riya menatap ke arah Emi, begitu juga sebaliknya. Beberapa saat kemudian,
mereka saling tersenyum, menoleh lagi ke arah Runa dan tersenyum. Riya juga,
memberikan sebuah senyuman yang dari tadi tak terlihat jelas di wajahnya.
“Tentu saja. Aku
juga ingin menjadi ‘sahabat’mu sekali lagi. Kali ini yang lebih serius.”
“Hm, hm, jika
itu yang Riya-chan inginkan...Aku tak bisa berkata apapun.”
“Kawada-san,
daripada di bilang sahabat masa kecilnya Riya, sepertinya kau lebih mirip
kakaknya deh...”
Kata Runa yang
langsung di balas dengan ‘Eeeh?? Masa sih?’, oleh Emi dengan kedua tangan di
wajahnya.
Melihat
kedekatan mereka berdua, siapapun pasti akan mengira kalau mereka adalah
saudara kandung dengan hubungan super baik yang jarang ditemui.
Dan, reaksi Emi,
membuat Runa justru memasang ekspresi bingung sambil memiringkan kepalanya.
“S--Salah, ya?
Kukira Kawada-san akan senang dengan ucapanku barusan.”
“Ya, aku memang
senang sekali kau mengatakan hal seperti itu, Hasegawa-san. Tapi kelihatan
seperti kakak Riya-chan--A--Apa itu membuatku te--terlihat lebih... Tua
be--beberapa tahun...?”
“Jadi itu yang
kau khawatirkan!!? Kawada-san, menjadi kakak Riya bukan berarti kau akan
terlihat seperti nenek-nenek!!”
Tertegun dengan
balasan Emi, Runa tertegun kesal dan seolah-olah rambut ponytailnya tertarik ke atas melawan gaya gravitasi.
Melihat itu, Riya
sedikit tertawa walau perasaan sedih masih menyelimutinya, mendengar itu, Emi
memasang wajah tersenyum bodoh yang belum pernah ia perlihatkan sebelumnya,
mengatakan semua itu, Runa merasa bebas dan tak ada batasan antara dirinya
dengan kedua orang itu, soelah mereka telah menyatu. Tidak ada Miyashita Riya,
Kawada Emi maupun Hasegawa Runa dintara mereka, yang ada hanyalah ‘Sahabat’.
Mungkin, mereka
awalnya memang tidak terlalu dekat. Bukan seperti itu, tapi awalnya, ‘tubuh’
mereka terlihat dekat, dan ‘hati’ merekalah yang masih terasa jauh. Baik Runa
maupun Riya menyadari, tak satu pun diantara mereka berdua yang benar-benar
menganggap satu sama lain sebagai sahabatnya.
Riya selalu menganggap Runa sebagai penyihir
penganggu yang entah mengapa, berusaha menjauhkannya dari Haruko dan memonopoli
Haruko sebagai sahabatnya seorang diri.
Sedangkan Runa selalu berpikiran kalau Riya
hanyalah orang aneh yang berusaha memanfaatkan kebaikan Haruko yang mau menjadi
temannya dan takut kalau sahabatnya sejak kecil itu direbut darinya.
Tak pernah
keluar dari mulut mereka berdua tentang masalah itu, seolah mereka memendamnya
di dalam hati masing-masing, dan semakin lama perasaan itu semakin dalam
sehingga makin sulit untuk digali dan dikeluarkan. Mereka tak pernah saling
membicarakannya. Mereka hanya terus melihat satu sama lain dengan mata penuh
kecurigaan secara diam-diam, mengambil inisiatif untuk tak membiarkan salah
satu dari mereka berbuat seenaknya.
Mereka berdua
memang selalu terlihat bersama, tapi di saat itu pula yang ada di kepala mereka
hanyalah ‘Apa yang gadis itu akan lakukan selanjutnya’, hanya emosi dan pikiran
negatif yang berkumpul di kepala mereka.
“................”
Tapi walaupun
begitu, meski pada awalnya mereka tidak tulus, seakan-akan semua senyuman yang
mereka saling lontarkan hanyalah sebuah kepalsuan belaka, kebersamaan itu
perlahan-lahan membuat mereka cukup mengenal dengan baik satu sama lain,
Sehingga saat
ini, bahkan setelah berbagai hal yang mereka alami, setelah pertengkaran hebat
yang mereka alami, yang secara tak sengaja telah membuat perasaan terpendam itu
kembali naik ke permukaan, membuat mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan
satu sama lain yang sebenarnya, sesuatu yang tak pernah terucap, akhirnya
terkatakan juga, sesuatu yang tak pernah mereka saling ketahui, akhirnya
diketahui juga--
--Mereka masih
bisa tersenyum dan bersahabat seperti saat ini...
“Kalau begitu,
aku ingin meletakkan bunga ini. Di mana aku bisa meletakkannya?”
Runa bertanya,
memperlihatkan bouquet bunga berwarna putih di tangannya.
“Di sebelah
sana.”
Menjawab
pertanyaan simple Runa, Emi berkata sambil menunjuk ke arah altar di mana foto
ibu Riya terpajang. Beberapa bunga berwarna putih terlihat ada di
sekelilingnya. Hampir semua orang yang datang membawa bunga-bunga berwarna
putih yang nampak cantik.
“Kalau begitu,
aku akan ke sana dan mendoakan ibumu. Aku yakin, dia tetap akan menjadi wanita
tercantik, bahkan diantara para malaikat.”
Riya sedikit
tertegun ketika kata-kata itu keluar dari mulut Runa. Ekspresi kaget tak dapat
disembunyikan lagi wajahnya lagi. Dalam hatinya, ia sedikit berpikir,
“............[ ‘Tetap menjadi wanita tercantik’...].”
Ia tidak
mengerti. Tapi ia tahu kalau itu adalah sesuatu yang baik. Maka, ia berkata
dengan suara pelan ke arah Runa,
“..................Terima
kasih.”
Dan membuat
senyuman yang terlihat tulus.
Runa melihat
senyuman di wajah gadis itu, lalu ikut tersenyum sebelum akhirnya melangkahkan
kakinya menuju altar.
Di sisi lain,
tak seperti Runa yang seolah sudah bisa kembali akrab, dan dinding pemisah
diantara dia dan Riya yang sebelumnya terbangun telah runtuh, Haruko langsung
merasa aneh, tak bisa membalas dengan mengatakan sesuatu.
“Aku sedih karena ibuku meninggal. Belum pernah aku
merasakan perasaan seperti ini. Kehilangan seseorang yang begitu kucintai
ternyata sangat menyakitkan. Tapi, aku setidaknya masih bisa bertahan
menghadapi semua ini, berkat kalian yang ada di sisiku. Jika seandainya kalian
terbunuh juga--Aku tidak tahu harus menghadapi semua ini seperti apalagi...
Yang penting, adalah kalian sekarang bisa berdiri di sini bersama denganku...”,
“...................”
Bukannya ia tidak senang dan terharu dengan
perkataan gadis itu, justru sebaliknya, hal itu sedikitnya meringankan beban di
hatinya sekaligus meredakan kemarahan dan mungkin rasa kesal yang sebelumnya ia
dan Runa rasakan. Seolah-olah ada tangan yang mengangkat awan hitam di hatinya,
rasa bersalahnya karena telah meninggalkannya waktu itu, ke atas dan
membiarkannya terbang terbawa angin. Akan tetapi, ketika perasaan lega datang
menghampiri, perasaan lain datang sehingga membuatnya semakin bercampur aduk.
Di saat seperti
ini, bisakah ia membuat wajah tersenyum lega? Mengatakan sesuatu seperti
‘Baguslah kalau seperti itu’, mengapa rasanya seperti seorang penjahat yang
kejam? Karena dengan begitu, mereka baru saja mengatakan ‘Tak masalah ibumu
meninggal, yang penting masih ada kami di sini’.
Jika Riya bisa
memilih antara mereka berdua dan ibunya, atau jika seandainya ia diberi pilihan
untuk mengorbankan mereka berdua sehingga dapat memberi kesempatan kedua untuk
bisa bertemu dengan ibunya lagu--Tanpa berpikir untuk yang kedua kalinya, ia
pasti akan memilih ibunya.
Sejak awal, ia
tahu, kalau nyawanya tak seberharga itu jika dibandingkan dengan nyawa anggota
keluarga di hadapan gadis itu.
Apa tidak
apa-apa kalau mereka selamat? Jika seandainya ia datang dan menyelamatkan ibu
Riya--Bisa saja itu terjadi’kan? Tak ada yang mengatakan kalau mereka juga akan
menjadi korban. Pada akhirnya, tidak akan ada seorangpun di dunia ini yang bisa
mengetahuinya karena hal itu sudah terjadi dan sudah terletak jauh di belakang
bayang-bayang masa lalu. Kemungkinan memang selalu ada. Namun, hanya satu yang
ia tahu, yaitu bahwa kemungkinan itu tak hanya satu.
Selalu ada
ratusan bahkan ribuan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dunia ini.
Kemungkinan mereka tewas tertembak juga, kemungkinan mereka bisa menggagalkan
peristiwa itu, kemungkinan mereka bisa menyelamatkan nyawa ibu Riya,
kemungkinan tak ada apapun yang terjadi, kemungkinan justru Riya yang akan
terbunuh, atau mungkin, salah satu dari dia ataupun Runa yang justru akan
kehilangan nyawanya.
Terlalu banyak
kemungkinan yang bisa terjadi di dunia ini, yang tidak bisa kita ketahui adalah
kita tak bisa menentukan kemungkinan yang akan terjadi. Itu semua akan terjadi
secara natural dan begitu saja.
Pada akhirnya,
mana pilihan yang terbaik? Mana kemungkinan yang terbaik? Bagi dirinya? Mungkin
akan sangat mengerikan untuk didengar jika ia bisa sampai berpikir kalau
nyawanya terselamatkan gara-gara tewasnya ibu Riya waktu itu. Hanya saja,
sebagai manusia biasa yang masih memiliki banyak keinginan dalam kehidupan dan
ingin melanjutkan hidup layaknya remaja normal, ia tak mungkin bisa mengatakan
sesuatu seperti ‘Akan lebih baik kalau aku saja yang terbunuh’.
Dan tanpa ia
sadari, hanya dengan memikirkan semua itu sudah bisa membuat tubuhnya merasa
merinding.
Ia sudah
terlanjur sangat menyesal karena telah meninggalkan Riya di kantor polisi waktu
itu. Bisakah sekarang gadis itu mengatakan bahwa itu bukan suatu masalah? Tak
ada gunanyakah ia memikirkan semua hal tersebut selama ini? Apa memang itu yang
ia pikirkan? Atau ia hanya berusaha membuat dirinya merasa lebih baik?
“........Entah
kenapa, sekarang aku ingin memiliki kemampuan untuk bisa membaca pikiran orang
lain...”
Haruko, berkata
dengan suara pelan yang tidak ditujukan untuk siapapun di ruangan ini. Namun,
sepertinya Emi menangkap perkataan anehnya barusan.
Ketika pandangan
Emi tak sengaja melihat kearah Haruko, yang entah kenapa tiba-tiba terlihat
sedang memikirkan sesuatu, ia tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari gadis
berambut hitam pendek itu. Baru beberapa saat kemudian, saat ia menyadari kalau
Haruko tak mengatakan apapun sejak tadi seolah tak mendengarkan, Emi melangkah
mendekatinya dan berkata,
“.............Takashi-san,
kau tidak pergi bersama Hasegawa-san?”
“Ah!”
Seperti yang
sudah diduga sebelumnya, ucapan Emi membuat Haruko terlihat sangat terkejut
sampai bunga yang ia bawa hampir saja terjatuh dari tangannya. Kelihatannya, ia
sudah kembali dari pikirannya sendiri.
Masih sedikit
terkejut dan bingung dengan apa yang baru saja terjadi, Haruko menoleh ke sana
kemari, seperti orang sedang bingung mencari sesuatu.
“...........Mana
Runa?”
“Eh, dia sudah
berdoa duluan.”
Jawab Riya yang
terdengar agak kaget. Mungkin ia terkejut melihat Haruko yang baru sadar kalau
Runa sudah tidak ada di sampingnya. Ada apa dengannya? Setidaknya, itulah yang
ada dipikirannya saat ini.
“Be--Benarkah?
Kenapa dia tidak mengajakku!?”
“Takashi-san,
kelihatan sekali, lho, kalau Hasegawa-san benar-benar melupakanmu tadi...”
“Apa? Itu tidak
mungkin! Runa tidak pernah melakukan sesuatu tanpa aku! Apa benar dia sudah
secepat itu melupakanku!? Apa aku sudah tidak ada artinya lagi baginya?
Bukannya kita sudah berjanji untuk terus setia dalam keadaan baik, buruk, sehat
dan sakit, sampai maut memisahkan tubuh kita hingga jiwa kita kembali bersatu
di alam sana!”
“Kau menikahi
Runa!?”
Cukup terkejut
dengan reaksi Haruko yang terkesan sangat panik serta tak biasanya ia tunjukkan
[Biasanya selalu Runa yang ngambek atau kesal kalau Haruko meninggalkannya.
Sebelumnya, Riya tak pernah melihat Haruko kesal karena Runa meninggalkannya,
jadi ini yang pertama kalinya dan langsung membuatnya shock], Riya tak bisa
menahan dirinya untuk berteriak kaget.
Kalau dilihat
sekali lagi, memang benar Haruko dan Runa selalu saja berdua, mengingat mereka
adalah sahabat masa kecil paling akur di seluruh dunia yang bisa bertahan
selama ini. Karena biasanya persahabatan cukup mudah rusak akibat masalah cinta
atau masalah kecil lainnya, yang berakhir dengan keretakan ikatan tersebut.
Tapi melihat hubungan antara Haruko dan Runa, bahkan masalah kecil seperti itu
tak akan bisa menghancurkan tali persahabatan mereka.
Jika ada yang
bisa dibilang sebagai ‘Sahabat sejati’, menurutnya, Haruko dan Runa pantas
mendapat predikat itu.
Walau begitu,
dibanding menghabiskan waktu untuk terharu dan menitikkan air mata melihat
kesungguhan hubungan pertemanan yang luar biasa antara kedua gadis itu, Riya sekarang
jauh lebih penasaran dengan kata-kata Haruko yang cukup mirip dengan kedua
manusia yang sedang mengikat diri mereka dalam janji pernikahan...
“Apa kalian
benar-benar telah menikah?! Apa pernikahan kalian itu sudah sah di mata
hukum!!? Siapa yang menjadi suami dan siapa yang menjadi istri!!?”
“A--Apa-apaan
ucapan yang seperti sepasang kekasih sedang bertengkar itu...?”
Bahkan Emi tak
bisa menahan keterkejutannya dan berkata dengan wajah merona.
“Hm?”
Haruko menatap
ke arah 2 temannya yang kini tengah memandangnya dengan wajah penuh rasa ingin
tahu yang besar itu. Ia lalu memiringkan kepalanya sedikit dan berkata,
“Aku hanya bercanda.”
“Jangan berkata
akan sesuatu yang tidak penting seperti
itu dengan ekspresi serius, dan jangan tiba-tiba mengatakan ‘Aku hanya
bercanda’ dengan ekspresi datar!”
“Ta--Takashi-san,
aku masih penasaran apa kau benar-benar telah menikah dengan Hasegawa-san...”
Riya menanggapi
ucapan Haruko dengan sedikit kesal sambil mengangkat sebelah tangannya,
sementara Emi masih terlihat malu sambil memegangi wajahnya yang terasa panas.
Apa yang sebenarnya ada di dalam kepalanya?
Lalu, melihat
Emi yang sepertinya masih salah menginterpretasikan apa yang ia katakan dan
masih terjebak dengan fantasy-nya sendiri, Haruko berkata sesuatu seperti ‘Aku
dan dia itu sama sekali tidak mungkin! Aku hanya bercanda! Hanya karena kami
berdua selalu bersama sejak taman kanak-kanak, bukan berarti aku dan dia--Kau
dengar yang aku katakan tadi’kan?! Aku bilang tadi hanya bercanda! Kawada-san,
apa kau paham!? Kenapa wajahmu semakin memerah!!?’
***-***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar