Chapter
13 Aku Akan Terus Memilihmu. Tak peduli Ada Berapa Banyak Gadis Lain Yang
Menyatakan Perasaannya Padaku, Aku Akan Selalu Memilihmu
Ketika itu, ia
sedang berjalan di jalanan yang gelap. Hanya lampu-lampu dan cahaya bulan yang
menerangi langkahnya di tengah kerumunan orang-orang. Langkahnya tertuju ke
satu arah yang sudah ia tetapkan, meski begitu, tak ada yang tahu kemana
tujuannya dan kemana ia akan melangkah selanjutnya.
Ia kemudian
menyeberangi jalan setelah lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Setelah berjalan
beberapa saat, akhirnya terlihat sebuah bangunan berwarna putih telah menunggu.
Begitu sampai di halamannya, nampak beberapa mobil ambulance yang sedang
parkir, atau baru saja datang dan sedang menurunkan pasien. Beberapa orang
berpakaian putih keluar dari bangunan tersebut.
Yang ingin ia
tuju adalah rumah sakit. Tapi untuk apa dia ke tempat seperti ini malam-malam?
Apa kedua
orangtuanya sakit? Atau adiknya mengalami kecelakaan? Atau mungkin ia hanya
ingin melakukan check-up karena akhir-akhir ini meraa tidak sehat?
Tidak. Saat ini
kedua orang tuanya dan adiknya sedang ada di rumah. Mungkin mereka sedang
nonton TV bertiga, atau justru sudah tidur. Sedangkan ia selalu merasa sehat
dan tak menderita sakit apapun.
Ini, adalah
sahabatnya yang ingin ia kunjungi. Atau mungkin lebih tepat dibilang ‘Orang
yang ia anggap sebagai sahabatnya’. Karena orang tersebut tak pernah menganggap
dirinya teman atau apapun itu. Ia selalu tak suka ketika dirinya berada di
dekatnya. Bisa dibilang, hanya dirinya yang selalu menganggap bahwa orang itu
adalah sahabatnya. Tapi apapun yang terjadi, ia tak’kan pernah meninggalkannya.
Kemudian--Sesuatu
yang buruk telah terjadi. Sesuatu yang sangat buruk. Dan sampai saat ini, belum
pernah ia melihat gadis itu lagi.
Sebuah kasus pembunuhan
telah terjadi.
Selama hampir 16
tahun hidupnya di kota ini, ia sama sekali tak pernah membayangkan hal seperti
ini. Sesuatu yang biasanya hanya menjadi sebuah tontonan dalam film-film,
ternyata benar-benar terjadi dalam kenyataannya. Hanya menontonnya saja itu
membuatnya takut. Hanya membayangkannya saja tubuhnya langsung merinding. Ia
sama sekali tak membayangkan apa yang ia rasakan ketika melihat secara
langsung.
Mungkin, itu
adalah satu pengalaman yang paling berat dalam hidupnya.
Harus kehilangan
sahabat, sekaligus sebuah tempat yang bisa kusebut ‘Tempat tinggal’, karena
sekarang ia merasa tak ada lagi tempat aman yang mampu menerimanya di dalamnya.
Seolah semua tempat itu penuh dengan bahaya. Bahaya yang bisa menghancurkan
dirinya kapan saja.
Jadi hari itu,
ia kehilangan 2 orang teman sekelasnya. Sasagawa Eiko dan Karisawa Kyouko. 2
siswi, yang mungkin bagi beberapa orang tidak akan pernah merasa harus
menitikkan air mata kesedihan ketika mendengar berita itu. Mereka menangis.
Tapi jauh dalam hati mereka, mereka pasti tertawa dengan keras dan senang atas
kematian mereka.
Mereka bukanlah
2 orang dengan jalan hidup terbaik. Mereka bukan 2 orang dengan pandangan hidup
yang baik. Namun meski begitu, mereka tetaplah manusia seperti kita. Ia sedih harus kehilangan mereka berdua,
karena bagaimanapun, mereka adalah sahabat baik dari sahabat masa kecilnya,
Kanako.
Tapi,
Di balik semua
itu, ia juga merasa sangat kehilangan.
Di hari yang
sama dengan ditemukannya kedua mayat Sasagawa dan juga Karisawa, lebih tepatnya
di sore hari, sebuah kasus pembunuhan lain terjadi.
Itu, adalah
sebuah peristiwa penembakkan yang terjadi di depan rumah temannya.
Hari itu juga,
sahabatnya kehilangan ibunya.
Dan ia,
kehilangan dirinya, satu-satunya orang yang sangat ia sayangi--Ia sama sekali
takkan bisa menjangkaunya lagi. Padahal ia pikir, hubungan mereka berdua bisa
jadi semakin dekat. Hanya saja...Ia merasa kalau ia tak pantas menjadi orang
yang menjaga dan melindunginya.
Ia selalu ada bahkan
ketika orang tersebut sama sekali tak membutuhkannya.
Rasanya aneh,
ya? Ketika ia terus saja mengejar gadis yang bahkan tak pernah menyukai
keberadaannya. Ia bisa melihat dari tatapan matanya itu, ia seolah akan
menembaknya dengan laser jika terus mendekatinya.
Saat itu ia tak
peduli. Ia bersikap keras kepala dan menguatkan dirinya, kalau suatu saat, ia
pasti akan menyebut nama dan menerimanya di sisinya. Makanya ia selalu menyebut
namanya, mendekati gadis tersebut, ketika tak ada seorangpun yang mendekatinya.
Dia memang gadis
seperti itu. Dia bukanlah gadis terbaik. Dia bukanlah gadis tercantik. Dia
bukanlah gadis terpintar, dan juga bukan salah satu yang menarik bagi orang
lain. Tapi, ia sangat menarik perhatiannya. Dan sejak saat itu, ia tak pernah
sekalipun mengalihkan pandangannya darinya.
Hingga akhirnya,
hari yang ditunggunya datang juga.
Ia benar-benar
membutuhkannya. Ia benar-benar menyebut namanya. Tapi dia--Dia sama sekali tak
berada di sana!
Apa yang
sebenarnya ia pikirkan selama ini? Apa benar ia ingin melindunginya? Apa benar ia
ingin bersama dengannya?
Yang ia ketahui,
hanyalah perasaan yang selalu mengatakan bahwa ia selalu ingin ada di
sampingnya, bergandengan tangan dan berjalan bersama. Apa ia adalah orang yang
berkualifikasi untuk melakukan hal itu bersamanya?
Ketika ia sedang
membutuhkan bantuannya--Justru di saat penuh krisis seperti itu ia sama sekali
tidak bisa melakukan apapun!
“Oh ya, Miyashita, kau tidak punya nomor
ponselku’kan? Karena aku sangat mengkhawatirkanmu...Akan kuberikan nomorku
untukmu. Ingat, kalau ada apa-apa atau kau sedang butuh bantuan, hubungi aku,
ya.”
Itu yang ia
ucapkan kepadanya. Kata-kata itu masih terekam dengan jelas di memory-nya karena memang ia sendiri yang
mengatakannya. Tapi--Jika dilihat sekarang, tidakkan semua ucapan itu akan
terdengar sebagai suatu kebohongan saja? Ia tak ada di sana, untuk menggenggam
tangannya. Ia tak ada di sana, untuk
menenangkan dirinya, berkata ‘Semua akan baik-baik saja’.
Padahal--Tidak
ada yang baik-baik saja di sini.
Pada akhirnya,
ia hanya akan bisa berkata-kata. Kata-katanya terdengar kuat, hebat dan hangat,
tapi sama sekali tidak berguna.
Di saat
bersamaan tubuhnya hancur, hatinya ikut hancur menjadi berkeping-keping. Ia tak
pernah membayangkan apa yang akan terjadi jika ia berada di posisi gadis itu.
Ia tak pernah ingin membayangkannya. Itu akan terasa sangat mengerikan. Walau
begitu, tetap ada bagian kecil dari dirinya yang terus saja berkata ‘Seandainya
aku bisa mengambil semua rasa sakitnya’, tanpa ragu ia akan memilih jalan itu.
Tapi semuanya
telah terjadi. Tak ada gunanya menyesal lebih dari ini. Meski begitu, ia tak
tahu harus menghadapi wajah gadis itu seperti apa lagi. Ia merasa sangat malu,
baik kepada gadis itu maupun kepada dirinya sendiri.
“Tidak ada yang harus kau ketahui. Sejak awal, kau
sama sekali tidak peduli pada Riya-chan’kan? Jadi, apa yang kau lakukan di
sini? Jangan buang-buang waktumu, dan pulanglah.”
“KALAU BEGITU
KENAPA KAU TIDAK DATANG!!!?”
“KENAPA KAU
TIDAK DATANG KETIKA RIYA-CHAN MEMBUTUHKANMU!!!!?”
“--Tapi ternyata aku salah! Selama ini, aku sudah
salah menilaimu!! Bahkan Riya-chan yang selalu bersikap mengacuhkanmu
itu--Mengharapkan kehadiranmu di sisinya pada waktu itu!!! Yang kau lakukan
hanyalah menghianatinya!! Kau monster!!!”
“Saat di bawa kemari, saat dia masih sedikit
sadar--Bukan namaku yang ia sebut berulang kali, bukan aku yang ia harapkan ada
di sana!!--TAPI NAMAMU!!!”
“Sudah tidak ada gunanya lagi kau berada di sini,
Mochida-kun. Pergi, dan jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di hadapan
Riya-chan. Mulai sekarang, aku yang akan melindunginya dengan kedua tanganku
sendiri! KAU MEMANG TEMAN YANG
TERBURUK!!”
Semua itu benar.
Apa yang dikatakan oleh sahabat baik gadis itu, pada akhirnya memang benar.
Yang ia sebut adalah namanya, tapi ia tak ada di sisinya. Yang ingin gadis itu
ada di sisinya adalah dia, tapi ia justru berada di tempat yang jauh, di tempat
yang tak bisa dijangkau olehnya.
Dia memang yang
terburuk. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk membalik semuanya lagi. Walau
pun begitu,
“[Bahkan setelah seluruh penyesalanku itu,
keinginanku untuk berada di sampingnya sama sekali tidak memudar].”
Benar. Mungkin
akan terasa sangat egois, namun jika seandainya gadis itu membencinya dan tak
ingin melihatnya lagi, ia tak ingin itu terjadi. Ia ingin bisa terus berada di
dekatnya. Memperhatikan, dan juga menjaganya.
Karena itu ia
datang.
Ia sudah tak
bisa menahan perasaannya lagi. Gadis yang selalu ia lihat sedang seorang diri,
yang menghapus papan tulis di sore hari itu, ketika ia pertama kali berbincang
secara langsung dengannya, gadis yang tak pernah merasa dirinya diterima oleh
siapapun--Ia ingin menerimanya. Ia ingin berbicara dengannya seperti saat itu
lagi, meski penuh dengan kesalahpahaman.
“.............[Yang aku inginkan hanyalah kesempatan untuk
bersamanya lagi...].”
Hanya itu yang
diinginkan. Itu saja rasanya sudah sangat berat dan tidak mungkin. Karena ada
‘Seseorang’ yang tak menginginkan kehadirannya di sisi gadis itu.
“............[Karena itu, setidaknya, jika ini mungkin
satu-satunya kesempataku...].”
Jika ini adalah
satu-satunya kesempatannya,
“........[Biarkan aku melakukannya dengan baik].”
“........Atas
apa yang Runa katakan padamu...Aku minta maaf atas semuanya...”
“.............”
Ketika ia sampai
di lorong rumah sakit, di dekat kamar gadis itu berada, ia mendengar suara
seseorang. Dari suaranya, sepertinya seorang gadis. Dan dari nada bicaranya
yang terdengar lemah dan meneydihkan itu, yang tertangkap olehnya hanyalah
perasaan yang dipenuhi dengan penyesalan.
Suara itu, ini
bukanlah pertama kali ia mendengarnya.
“............[Suara itu...].”
Ia memutuskan
untuk bersembunyi dan memperhatikan dari balik tembok. Di sana, ia bisa melihat
3 orang gadis yang tak asing lagi baginya. Mereka bertiga adalah gadis yang ada
di kelas yang sama, dan yang ia tahu, mereka adalah sahabat.
“Runa sudah menjelaskannya
padaku. Semua yang dia rasakan. Semua yang ia pikirkan tentang dirimu, ia sudah
memberitahukan semuanya padaku tanpa kecuali. Runa memang membencimu...”
Gadis berambut
hitam itu, Takashi Haruko, berbicara. Sementara itu, di sampingnya, Hasegawa
Runa menundukkan kepala. Ia bisa melihat tubuhnya yang bergetar dari sini.
Kemudian, salah
satu dari gadis-gadis itu--Yang mengenakan baju rumah sakit, dengan rambut
pirang dan mata biru itu, adalah--
“............Miyashita...”
Ia menyebut
namanya dengan pelan, berusaha merasakan setiap perasaan di dalamnya. Sudah
berapa lama ia tak menyebut nama gadis itu? Sudah berapa lama ia tak melihat
wajahnya? Tubuhnya bergetar. Seperti bertemu lagi dengan sahabat lama yang
sudah 2 atau mungkin 5 tahun tak bertemu, ingin sekali menangis haru. Ia ingin
sekali, kemudian mendekap tubuhnya dengan erat, gadis yang sangat ia rindukan
kehadirannya.
“...............”
“Meskipun
begitu, dia menyesal setelah mengetahui semua kejadian ini menimpamu. Dia
menyesal atas kematian ibumu...Dia menyesal atas semuanya...”
Ucap Haruko
dengan ekspresi sedih.
Yang ia rasakan
saat ini diantara ketiga orang itu--Hanyalah sebuah ketegangan. Ketegangan yang
terasa aneh dan membunuh seluruh indra sehingga tak mampu merasakan apapun
selain perasaan tegang itu sendiri. Mereka bertiga adalah sahabat. Namun
suasana yang tergambar saat ini, sangat jauh dari kesan itu.
Rasanya atmosfir
terasa berat dan menyesakkan, seolah membuat tubuh tak dapat bergerak dengan
mudah. Belum pernah, belum pernah ia melihat dan merasakan ketegangan seperti
ini. Tidak, ia pernah. Ini adalah perasaan yang sama ketika kejadian di kantor
polisi sewaktu itu. Saat Hasegawa Runa mengatakan semua yang ada di pikirannya,
bahwa ia membenci Miyashita Riya.
Bahkan setelah
waktu-waktu berharga yang dihabiskannya dnegan gadis itu, ia sama sekali tak
menganggapnya siapapun melainkan hanya orang luar.
Baginya sendiri
yang mendengar itu, itu terdengar seperti sebuah pengakuan yang menakutkan.
“....................”
Apa yang akan
terjadi selanjutnya diantara mereka? Itu yang sekarang ia pikirkan.
“Aku pun...”
Yang berbicara
adalah Haruko. Ia kemudian meletakkan kedua tangannya di pundak Riya.
Nampaknya, suara yang pertama kali ia dengar ketika ia sampai di sini adalah
suara gadis berambut pendek itu.
Nada bicaranya
terdengar sedih. Sama dengan yang terpancar dari matanya. Sama sekali tak ada
cahaya yang berkilau.
“.....Takashi...”
Ia sedikitnya
tahu bagaimana perasaan Haruko saat ini. Setelah kejadian di kantor polisi
waktu itu, akan menjadi hal yang sangat berat untuk bertemu lagi dengan Riya
yang ia sakiti. Bahkan mungkin untuk menatap matanya, ia sudah merasa tak
sanggup.
Yang gadis itu
rasakan, hampir sama dengan yang ia rasakan saat ini. Haruko lalu melanjutkan
perkataannya,
“Aku pun sangat
menyesal, dan merasa sangat malu untuk berhadapan lagi denganmu. Seorang teman,
tak seharusnya melakukan sesuatu yang aku lakukan. Karena itu, bagaimana kalau
kita mulai semuanya dari awal lagi...”
“.................”
“Sebagai seorang
‘sahabat’. Kali ini, benar-benar ‘sahabat’.”
Memulai dari
awal lagi, sebagai seorang sahabat...?
Ketika Haruko
mengatakan itu, ia bisa melihat setitik cahaya yang mulai muncul dari sorot
matanya. Tak nampak sedikitpun keraguan ketika ia mengucapkan hal itu. Tak
nampak sedikitpun kebohongan saat kata-kata itu terucap dari mulutnya. Yang
terdengar dan terasa, hanyalah sebuah kesungguhan yang besar.
Itu, adalah
kata-kata yang ia ucapkan berasal dari hatinya yang terdalam. Sebuah kata-kata
yang mampu menyambung kembali tali persahabatan yang telah terputus. Jika ia
menjadi Miyashita Riya, ia pasti tak’kan berpikir 2 kali lagi. Ia pasti akan
merasa tersentuh, kemudian berurai air mata haru dan langsung memeluk kedua
orang yang pernah menjadi sahabatnya. Pasti saat ini yang memenuhi dirinya
hanyalah perasaan bahagia.
Tapi--
“........................”
“........Riya?”
“..........Sudah
selesai...?”
“?”
Yang nampak di
wajah gadis itu--Bukanlah kebahagiaan, lega atau apapun itu. Bukan emosi
positif yang ia melihat. Melainkan emosi negatif yang sangat kuat, seolah
menyelimuti dirinya, dan mempengaruhi orang lain untuk merasa ketakutan.
Ekspresi wajah
Haruko dan Runa terlihat sama. Seolah dikejutkan oleh adegan yang sedang
terjadi di hadapan mereka, aku juga memasang wajah seperti itu, ketika aku tak
hentinya memandang wajah yang kelihatan dingin dan kosong itu.
“............Apa
yang kalian berdua lakukan di sini...? Pergi dari hadapanku sekarang...”
Ujar gadis itu
dengan ekspresi datar dan nada bicara yang terdengar monoton.
“............Eh...?”
“Pergi atau--“
“!!?”
“Ha--Haruko!”
“[Miyashita!!?].”
Ia berteriak di
dalam hati, ketika matanya menangkap sesuatu. Sesuatu yang seharusnya tidak ada
di sana, sesuatu yang ia sembunyikan sejak tadi. Sesuatu yang membuat baik
Haruko maupun Runa terlihat sangat ketakutan itu--Lalu, sambil mengangkat benda
itu, ia berkata pelan,
“Seperti yang
sudah aku katakan waktu itu--“
“..................”
“Akan kubunuh
kalian berdua di sini.”
“!!!!”
Meski dari kejauhan,
tapi ia bisa melihat jelas benda itu. Itu, adalah sebilah pisau yang ia
pertunjukkan di hadapan kedua sahabatnya.
Bunuh!? Apa dia
akan--!?
“[Jangan!! Jangan lakukan itu!!!].”
Suara yang
sangat ingin ia sampaikan, tak bisa ia keluarkan. Ia ingin berteriak, menyebut
nama gadis itu dan mencegahnya melakukan hal bodoh! Tapi--
“.........[Tapi di saat seperti ini--Kenapa tubuhku
tidak bisa bergerak!?].”
Kedua kakinya
terasa sulit digerakkan, seperti terjebak di cairan semen yang mampu mengeras
dalam sekejap. Ia ingin berlari ke sana, ia ingin merebut pisau itu dari tangan
gadis itu--!! Yang ingin ia lakukan hanyalah membantu.
“..................”
Hanya saja,
meski begitu, ia sedikit merasa kalau ia tak bisa melakukannya.
Ini adalah masalah diantara ketiga orang itu,
dan menurutnya, harus merekalah yang menyelesaikan sendiri masalah yang terjadi
diantara mereka. Ia yang merupakan orang luar, tidak seharusnya mencampuri
urusan ketiga gadis itu.
Mereka
bertengkar, menangis, kemudian berbaikan dan saling tertawa, itulah
persahabatan. Mungkin memang saling menyakiti, tapi selalu ada kata maaf diantaranya.
Sekarang ini,
yang bisa ia lihat hanyalah memperhatikan dari jauh. Dan terus berharap
semuanya akan berakhir dengan baik.
“.....Riya...Apa
yang--“
Haruko berkata,
namun segera menghentikannya, seolah tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
Tentu saja, siapa yang tidak merasa ketakutan ketika melihat seseorang dengan
pisau di hadapanmu dan berkata kalau akan membunuhmu.
Kejadian ini
saja pasti sudah bisa membuatnya berlari meninggalkan Riya. Tapi, Haruko dan
Runa tetap berdiri di sana.
“..........Riya...”
Ucap Runa pelan,
sambil bersembunyi di balik tubuh Haruko.
“........Kenapa
kalian masih ada di sini? Apa kalian memang mau mati? Aku tidak bercanda. Sama
seperti ketika aku membunuh Sasagawa dan juga Karisawa--“
Waktu ia
menyebut nama Sasagawa dan Karisawa, tubuhnya terlihat sedikit bergetar. Ia
lalu menyambung ucapannya lagi,
“--Aku tak akan
segan-segan menusukkan pisau ini ke tubuh kalian berdua.”
“....................”
Bisa mengatakan
hal seperti itu dengan wajah lurus, tidak aneh kalau 2 gadis lainnya terlihat
terkejut.
“..........Apa
yang akan kau lakukan...?!”
Ia berkata,
dengan pandangan mata terus tertuju ke arah mereka. Suasana sangat hening,
ditambah dengan ketegangan yang menyelimuti, entah kenapa terasa di film-film
dengan genre horor atau misteri.
Sampai film
berakhirpun, tubuhmu masih bisa merasakan sensasi yang menakutkan dan terus
gemetar.
“.........Kenapa...”
“!”
Setelah diam
yang cukup lama, gadis berambut pirang itu akhirnya berbicara dengan suara
pelan. Kedua tangannya terlihat gemetar, bahkan pisau itupun terlihat akan
terjatuh dari tangannya. Ia lalu--
“Kenapa--Kenapa
kalian melihatku dengan wajah seperti itu!?”
“!!”
Tubuh Haruko dan
Runa langsung tersentak ke belakang ketika mendengar Riya yang tiba-tiba
berteriak.
“Riya--“
“Aku tahu,
kalian pasti senang melihat kondisiku yang seperti ini! Menyedihkan!! Apa
kalian datang kemari untuk menertawakan
kondisiku!!?”
“Itu--!!”
Runa yang
bersuara.
Itu seperti
sebuah kejutan yang tak terduga bagi Haruko dan Runa. Seolah ketika kau
mendapat sebuah kado, ketika mereka berusaha menebak apa yang ada di dalamnya,
ternyata melenceng jauh dari perkiraan.
Ketika yang
mereka terima justru kata-kata dengan nada dan tatapan mata yang dingin itu,
tubuh mereka tak bisa berhenti untuk bergetar sejak memasuki ruangan sempit
ini.
“....Apa--Apa
yang kau katakan, Riya...? Tidak mungkin kami kemari untuk menertawakanmu!”
Haruko yang
berdiri selangkah di depan Runa berusaha mengatakan apa yang dipikirannya,
menyakinkan gadis itu. Sementara Runa, berdiri di belakangnya sambil memegang
erat bahu Haruko.
Kata-kata
Haruko, ditanggapi dengan sebuah senyuman dingin oleh Riya.
“Ha ha
ha...Benarkah itu? Kalian yakin, tidak ingin menertawakanku, menertawakan
kematian ibuku--Atau berkata sesuatu seperti ‘Hah!! Itu sesuatu yang pantas di
dapat oleh pembunuh sepertimu!!’. Ayo, katakan saja! Katakan kalau ini adalah
karma akibat perbuatanku! Akibat perbuatanku yang membunuh Sasagawa dan
Karisawa!!”
“Aku tidak ingin
mengatakan hal seperti itu!! Sama sekali tak pernah terbayang di pikiranku!!!”
Teriak Haruko.
“.....................”
Ia bisa merasakan,
suasana semakin memanas diantara mereka bertiga.
“Bohong!! Kalian
berdua pembohong!!! Kalian berdua menganggap aku sebagai pembunuh tanpa peduli
akan perasaanku! Kalian berdua selalu menyudutkanku!!”
“Seorang
teman--Tidak mungkin saling menyudutkan!!”
Gads berambut
hitam pendek itu berkata dengan suara keras, seolah berusaha menghancurkan
dinding yang membatasi antara dia dan Riya yang perlahan-lahan terbentuk dan
mengeras. Sementara Riya hanya memandang dengan wajah terluka.
“.........Haruko...Apa
kau tidak sadar...?”
Ah...Setelah
selang waktu yang lama...Haruko kembali mendengarnya lagi. Suara gadis itu yang
tertunduk dan bergetar, ketika kembali menyebut namanya. Rasanya sudah sangat
lama sekali. Tapi,
“Kalian
berdua...Kalian berdua ini bukanlah sahabatku!!!”
“!!!”
Yang ingin ia
dengar selanjutnya bukanlah kata-kata itu.
Memasang wajah
tidak mengerti di wajahnya, Haruko menggelengkan kepalanya,
“Apa yang kau
katakan!? Kita ini sahabat--! Kita ini--“
“TEMANKU TIDAK AKAN PERNAH MENGORBANKAN DIRIKU!!!”
*DEG*
“....................”
Kehabisan
kata-kata dan tak tahu harus membalas ucapannya seperti apa, itulah yang
mungkin tergambar dengan sangat jelas di wajah mereka berdua termasuk dirinya. Haruko
dan Runa ingin balik berkata, tapi tak bisa. Karena, apa yang dikatakan oleh
Riya itu--Tak peduli meski sangat menyakitkan, tapi memang benar apa adanya.
“..................”
Ia takkan pernah
melupakannya, kata-kata yang dikatakan oleh Hasegawa Runa di kantor polisi
waktu itu,
“Mulai detik ini, anggap kita tidak pernah saling
bertemu! Anggap kita tidak pernah berteman atau apapun!! Karena, aku sama
sekali tidak ingin terlibat dengan masalah ini, atau dituding sebagai seorang
pembunuh! Kalau memang harus ada seseorang yang dikorbankan untuk disebut
pembunuh, kurasa kau seorang saja cukup! Tidak perlu membawa kami yang
lainnya!!”
“.....................”
“Kalian--Kalian
tidak ingin, bahkan tidak pernah mau bertemu denganku lagi’kan!? Kalian tidak
ingin dianggap ‘Teman’ seorang pembunuh’kan!?”
“................”
“Bahkan aku
melakukannya, mengotori tanganku ini atau tidak--Kalian tidak pernah
peduli!!!!”
“........................”
“Kalian berdua
juga--SEJAK AWAL SEBENARNYA SUDAH
MEMBENCIKU’KAN!!? KALIAN MENGANGGAPKU ORANG ANEH, YANG TIDAK TAHU CARANYA
MEMBUAT SEORANG SAHABAT, YANG TIDAK PERNAH--TERLIHAT BERSAHABAT DENGAN
SIAPAPUN!!!! KALIAN CUMA BERTEMAN KARENA KASIHAN MELIHATKU YANG SELALU SEORANG
DIRI SAJA’KAN!!?”
“.................”
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi aku bisa
mengatakannya? Bukannya sesuatu yang dipendam itu akan lebih baik jika
dikeluarkan daripada terus dipendam dan membusuk? Karena itu, biar aku
mengatakannya sekarang. Aku, sejak pertama kali bertemu denganmu aku sudah
membencimu! Kau itu aneh! Aku juga tidak paham apa yang Haruko lihat darimu
sehingga dia mau menjadi sahabatmu! Kalau memang ada alasan di balik itu,
kurasa itu karena sifat Haruko yang terlalu baik!”
“Aku Tidak ingin
kalian berpura-pura demi aku--!! Aku tidak ingin kalian berada di dekatku
karena terpaksa!!!”
“..............”
“AKU INGIN KALIAN ADA BERSAMAKU KARENA KALIAN MEMANG
‘SAHABAT’KU!!!”
“Kita memang
sahabatmu!!”
“!!”
Yang membuat
ekspresi mereka terkejut, bukanlah perkataan Riya. Namun,
“...........Setidaknya...Haruko
memang benar ingin jadi sahabatmu...”
Ucapan Hasegawa Runa,
yang tiba-tiba itu, seolah seperti energi listrik yang mengaliri seluruh tubuh
mereka. Ia yang sebelumnya terus diam, akhirnya berjalan, maju dan berkata,
berusaha melindungi Haruko.
“...Runa...”
“..........................”
“.........Semua yang kau katakan itu--Itu semua adalah aku yang mengatakannya! Aku yang membencimu selama ini, jadi jangan anggap Haruko sama sepertiku!!”
“.........Hasegawa...”
“................”
“Haruko...Dia
sama sekali tak mengatakan satupun kata-kata yang kau ucapkan barusan! Semua
itu adalah perasaanku!”
Riya terlihat
tak merespon dan tak peduli akan ucapan Runa. Namun gadis dengan rambut pendek
yang dikuncir ponytail di bagian
bawahnya itu, terus melanjutkan perkataannya,
“Yang tidak
ingin berteman denganmu adalah aku--! Sedangkan Haruko, dia sejak awal sudah
serius berteman denganmu!!”
“........................”
“Karena aku
mengenal Haruko lebih lama jauh dibanding siapapun, aku tahu orang seperti apa
dia. Dia...Haruko itu...Dia bukanlah tipe orang yang suka menghianati sahabatnya
sendiri!!”
“............Runa...”
“Haruko
itu--Kalau dibandingkan denganku, dia jauh lebih tertutup. Dia memang memiliki
teman yang jauh lebih sedikit dibanding denganku, tapi--Dia itu adalah tipe
orang yang akan berteman denganmu, karena kau baik!”
“......................”
“Dia itu tidak
akan pernah berteman dengan seseorang yang menurutnya tidak baik...Karena
itu--Itu berarti, kau adalah orang yang baik, Riya! Dan kau tidak mungkin
melakukan pembunuhan itu--!!”
“!!”
Ekspresi wajah
Riya terlihat berubah ketika kata-kata Runa sampai pada dirinya dan membuatnya
tertegun. Ia bisa melihatnya, tubuh gadis itu semakin bergetar.
Apakah...Apakah
yang dikatakan Hasegawa akan bisa meruntuhkan dinding yang terbentuk itu...?
“Aku tahu aku
yang salah--!! Aku mengeluarkan kebencianku padamu di waktu yang sangat tidak
tepat, dan itu mempengaruhiku dengan berbagai pikiran dan prasangka buruk! Aku
tahu, aku itu bukan gadis yang baik, yang seperti dikatakan oleh orang-orang.
Aku tahu terkadang aku egois dan tidak senang ketika Haruko berteman dengan
orang lain, padahal aku sendiri juga tanpa sadar, sewaktu SMP sering
meninggalkan Haruko dan pergi bersama teman-temanku yang lain.”
“.................”
“.............Alasanku
tidak menyukaimu adalah--Karena Haruko nampak sangat menyukaimu sebagai
sahabatnya!!”
*DEG*
“Aku--Aku--! Aku
tidak suka ekspresi bahagia yang terpancar jelas di mata Haruko ketika ia
berbincang denganmu! Kalian nampak dekat, bahkan jauh lebih dekat dibanding
persahabatan kami berdua! Ketika kalian berbincang berdua, aku merasa kalau aku
ini hanyalah orang asing diantara sahabatku! Saat itu, aku selalu memilih untuk
bersama teman-temanku yang lain. Tapi, Haruko tetaplah sahabat masa kecilku!
Dan aku benci ketika dia begitu akrab denganmu, yang bahkan baru dikenalnya
ketika hari upacara pembukaan di SMA! Aku tidak suka dengan kedekatan kalian
yang seperti sahabat lama...Makanya aku...Aku--!!”
“..................”
“............Selain
itu--Menurutku kau gadis yang aneh. Kau terlihat tidak ingin berteman dengan
siapapun, tapi kau begitu bersahabat dengan Haruko. Aku takut--Kau hanya
memanfaatkan dia, karena dia mau menjadi temanmu!”
“........................”
Ia memang tidak
pernah mengetahui...Kalau hubungan pertemanan ternyata sangatlah sulit untuk
dimengerti. Di saat kita seharusnya merasa bahagia karena teman kita memiliki
seseorang lain yang bisa ia percayai, kita justru merasa tidak suka. Manusia
memang mahluk yang sangat egois. Ia selalu paham akan hal itu di hatinya.
Meski begitu--
“........Karena
itu aku berusaha sebisa mungkin, agar Haruko tak menghabiskan waktu lebih
banyak denganmu...Dengan cara menghabiskan waktu lebih banyak dengannya...Aku
tahu aku salah. Aku tahu aku sangat egois. Aku tahu aku tak pantas lagi untuk
kau maaf’kan atau menjadi temanmu lagi...Tapi, biarkan aku mengatakannya,
setidaknya untuk kali ini...”
“....................”
“..........Aku
minta maaf. Tolong maaf’kan aku atas kesalahanku selama ini...”
--Manusia adalah
mahluk yang dapat berubah seiring dengan berbagai macam kesalahan dan
penyesalan yang mereka buat.
“....................”
“.........Kau
baik. Aku tahu itu, Riya. Akulah yang jahat di sini. Lalu...”
Sambil
mengatakan itu, Runa berjalan mendekati Riya, kemudian menyentuh tangannya.
“!?”
Riya sedikit
tersentak akan tindakan Runa yang tiba-tiba itu.
Lalu, Runa,
“Runa!! Apa yang
kau--!?”
“Aku paham
alasan kau marah. Aku paham, kau sekarang memiliki seribu alasan untuk
membenciku dan tidak menyukaiku. Karena itu,”
Ia, menarik
tangan Riya yang sedang memegang pisau, kemudian mengarahkannya ke dekat
lehernya.
“...........”
“......Jika
memang ada yang harus mati di sini, kurasa akulah orangnya. Haruko adalah
temanku. Aku tak’kan pernah membiarkannya terluka, apapun yang terjadi.”
“Tidak! Runa!!”
“Tidak apa-apa,
Haruko.”
“...............”
Saat Haruko
berusaha menarik tubuh Runa, gadis itu berkata dan menghentikan gerakan Haruko
yang kini hanya bisa terdiam dan menatap
dengan was-was.
“....Runa............Riya,
kumohon--!”
“...................”
“........Haruko
sama sekali tak berbuat apapun padamu. Yang berbuat salah adalah aku. Yang
berteriak ke arahmu adalah aku. Kau boleh membunuhku kalau kau mau. Aku selama
ini selalu bersembunyi dan bergantung pada Haruko. Aku tak pernah melakukan
satu hal pun berarti untuknya. Karena itu, biarkan sekarang aku melakukannya.
Riya...”
“...............”
“.....Bunuh
aku.”
“!!”
“Riya!!”
“........................”
Gawat. Keadaan
ini, dan suasananya semakin berat. Tubuhnya sama sekali tak bisa berhenti
gemetar.
“[Miyashita--!!].”
Jangan,
Miyashita!! Apapun yang ada di kepalamu saat ini--Pasti sesuatu yang buruk!
Jangan lakukan!!
“...............Kenapa...Kau
ini...”
“?”
Sebuah suara
yang pelan, terdengar dari mulut gadis berambut pirang itu. Ia menundukkan
kepalanya, kemudian menggigit bagian bawah bibirnya.
Ia kemudian,
“Kenapa--Kau--!!”
Lalu menggerakkan
pisau tersebut, bersiap menusuk leher Runa,
“Riya!!”
Haruko berteriak
dan berusaha menjatuhkan pisau itu, sementara Runa seolah sudah mempersiapkan
dirinya, memejamkan kedua matanya,
“Hasegawa
Runa--!!!”
“HENTIKAN!!!”
“!! [MIYASHITA!!!!].”
Kemudian--
*SUARA BENDA TERJATUH*
“.......................”
Suara benda yang
terlempar dan terjatuh dengan keras ke atas lantai, memenuhi seluruh lorong
rumah sakit yang gelap dan sepi. Pada waktu itu, tak ada satupun yang
mengetahui apapun yang terjadi. Bahkan otaknya masih belum bisa mencerna dengan
baik, kejadian apa yang terjadi di saat yang begitu singkat itu.
“....................”
Mungkin gadis
itu tak merasakan apapun, bahkan rasa sakit yang seharusnya sudah menghujani
tubuhnya. Karena itu, dengan perlahan ia membuka kedua matanya perlahan,
“..........Huh...?”
“.......Kau
ini...Kenapa sih sebenarnya...?”
“Ah!”
Ekspresi wajah
terkejut langsung tergambar dengan sangat jelas di wajahnya saat itu,
seakan-akan akan menangis.
Riya, di
hadapannya, berkata pelan, dengan wajah hampir basah karena air mata,
“Mana mungkin
aku--Tidak mungkin aku bisa membunuh seseorang yang selama ini ada di dekatku! Yang
aku inginkan hanyalah berteman dengan kalian berdua. Aku sama sekali--Tak
pernah berniat merebut sahabat siapapun atau memanfaatkan siapapun! Tidak
pernah!!”
Teriaknya,
kemudian jatuh terduduk dengan tangan menutupi wajahnya.
“...............”
Dan pisau itu,
kini tergeletak di lantai.
“...............”
Baik Runa maupun
Haruko, tak ada yang mengatakan sepatah kata pun seusai melihat kejadian yang
terjadi di depan mereka. Runa hanya menatap kosong, seolah tak ada apapun yang
terlihat di pantulan kedua bola matanya. Meski begitu, ada setitik perasaan
yang tertinggal. Dan perlahan, air mata itu mengalir, menetes ke lantai putih.
“............................”
“...............”
Sementara itu,
raut muka berbeda ditunjukkan oleh Haruko. Ia juga terlihat tak percaya pada
awalnya. Namun, sadar bahwa tak ada hal buruk yang terjadi, ia menghela nafas
pendek lalu tersenyum kecil memperhatikan Riya yang kini menangis sambil
terduduk di lantai.
“Tidak mungkin
aku bisa membunuh Runa! Tidak mungkin aku bisa membunuh satu orang pun!!”
“..........Ya, Ya,
aku tahu, kau tidak mungkin melakukannya...”
Kata Haruko,
kemudian berjalan dan meletakkan sebelah tangannya di bahu Riya.
“Sejak awal, kau
memang diciptakan untuk menjadi gadis yang baik!”
Ucapnya.
“.........Aku--Aku--!”
“Aku tahu kalau
ini tidak cukup. Aku tahu, mungkin persahabatan kita masih belum sempurna.
Tapi, memang sejak awal, sama sekali tak ada yang memiliki kesempurnaan itu
sendiri.”
Menundukkan
tubuh dan berlutut di hadapan Riya, Haruko berkata kemudian menghapus air mata
gadis itu.
“...Haruko...”
Riya berkata
mengangkat wajahnya, seolah telah lama tak menyebut nama gadis itu.
“Mungkin memang
masih banyak lubang yang ada, mungkin di saat berikutnya, ke depannya kita
masih belum bisa menutup lubang itu. Tapi tak ada yang salah dengan sebuah
usaha’kan?”
“..................”
“Karena
itu...Mm...Runa, apa ada yang ingin kau katakan?”
“Eh?”
Runa tersentak
kaget ketika Haruko menoleh ke arahnya dan menyebut namanya. Ia kemudian
langsung menghapus air matanya, lalu ikut berlutut di samping Haruko.
“...........Riya--Aku--!”
“.................”
“.........Aku sama
sekali tidak tahu harus mengatakan apa lagi...Kata-kata yang kuucapkan di
kantor polisi waktu itu--Jika saja seandainya itu seseorang lain yang
mengatakannya kepadaku, aku pasti akan memukul kepala mereka dengan mangkok
sampai kepala mereka pecah...”
“Jika kau
melakukannya, yang akan pecah adalah mangkoknya.”
“Ah, iya...Kau
benar, Haruko..........Mm...Aku tidak tahu apakah aku pantas untuk bertatapan
muka denganmu lagi...Setelah semua yang kukatakan itu, aku melihat iblis jauh
di dalam hatiku sendiri. Rasanya sangat menakutkan...Rasanya aneh, aku bisa
berkata hal semengerikan itu. Meski begitu, aku takkan memungkiri, kalau jauh
ada bagian dalam diriku ini yang berpikiran seperti itu...”
“..............”
“Tapi--Maaf
karena telah berkata buruk padamu, maaf karena telah menjelek-jelekkan dirimu,
maaf karena selama ini aku telah membohongimu dan Haruko tentang perasaanku
yang sebenarnya. Maaf karena tidak menjadi teman yang baik untukmu. Maafkan aku
karena baru datang sekarang , untuk menemuimu dan mengatakan semua ini...”
“........................”
“Kurasa selama
ini aku terlalu salah dan jauh menilaimu. Semua itu karena ketakutanku sendiri.
Aku tak pernah tahu dan tak pernah peduli apa yang kau rasakan dan pikirkan,
tapi aku selalu berpikir seolah aku mengetahui semuanya. Aku rasa, itu yang
membuatku menjadi teman yang buruk...”
“..................”
“Mungkin setelah
ini kau tak mau menyebut namaku lagi. Sama seperti yang kukatakan pada
Kawada-san, aku kemari karena ingin meminta maaf, makanya kulakukan. Aku tak
peduli apa jawabanmu, aku tak peduli kau mau menerimanya atau tidak, tapi aku
kemari dengan tulus. Karena itu, ada satu hal lain yang ingin
kukatakan...Padamu...Riya...”
“.............”
“......................”
Runa terdiam
sesaat. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Haruko, dan ia melemparkan
sebuah senyuman ke arahnya. Melihat itu, Runa langsung tersenyum kecil dan
mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke arah Riya.
“........Aku
ingin mengatakan, sesuatu yang belum pernah aku katakan padamu sejak dulu.”
Ia berkata,
menggenggam tangan gadis itu.
“...................”
“Sesuatu itu,
adalah sesuatu yang tak pernah kukatakan, karena ketika kau berteman dengan
Haruko, otomatis aku juga akan mengenalmu suka atau tidak, dan hanya dengan
itu, kuanggap kita sudah menjadi sahabat, Bertiga. Namun--Nampaknya aku
sekarang tetap harus mengatakannya...”
“..............................”
“...........Riya...”
“.........................................”
“.....Maukah kau
menjadi sahabatku...?”
“!!”
Riya terlihat
terkejut ketika mendengar itu, seakan-akan ada sesuatu yang tak terlihat yang
mendorong tubuhnya sedikit ke belakang.
“....................”
Ia yang
memperhatikan dari kejauhan, bisa melihat bahwa gadis itu sangat terkejut.
Mungkin ia masih berpikiran, apa ini mimpi? Apa Hasegawa Runa benar-benar
mengatakan hal seperti itu? Apa sekarang ia benar-benar mau berteman dengannya?
Hal-hal seperti itu terlihat sangat jelas tergambar di wajahnya yang masih
dibasahi oleh air mata.
Hanya saja, mau mimpi
atau kenyataan,
“..................”
“.........Bagaimana...?”
“...........Ya...Aku
mau...”
Tidak ada
salahnya menjawab dengan ‘Ya’.
Dan akhirnya,
gadis itu tersenyum, menghapus air mata dengan kedua tangan, kemudian,
“Aku ingin
‘berteman’ dengan kalian berdua!”
Ia berkata, dan
memeluk kedua gadis lainnya dengan erat.
“............[Semua berakhir dengan baik...].”
Ujarnya dalam
hati. Melihat semua itu, entah kenapa ia tak bisa menahan dirinya untuk tak
tersenyum lega. Apa dia merasa senang karena gadis itu sudah mendapatkan apa
yang terus berusaha ia cari? Seorang teman?
“........[Ya, mungkin seperti itu...].”
Meski bukan ini
tujuannya datang kemari, yaitu untuk menguping pembicaraan mereka, melainkan
datang untuk melihat kondisi gadis itu, ia merasa seolah sudah menuntaskan
tujuannya. Yah, setidaknya ia tahu satu hal penting,
“....[Setidaknya, ia baik-baik saja...].”
“Apa yang sedang
Anda lakukan di sini? Apa ada yang bisa saya bantu?”
“Ah!!”
Merasa ada
sesuatu yang menyentuh pundaknya kemudian berkata sesuatu, ia spontan berteriak
kaget, kemudian berbalik, hanya untuk mendapati seorang perawat yang membawa
sebuah catatan kecil, tengah berdiri di belakangnya.
Ia kemudian
menggaruk rambut kecoklatannya, kemudian berkata sambil tersenyum bodoh,
“M--Maaf, saya
berteriak. Tidak apa-apa. Saya juga akan segera pulang.”
Ucapnya.
Tapi, pada saat
itu--
“.........Mochida-kun...?”
“!!?”
Ia mendapati
suara yang lain berbicara ke arahnya. Itu, adalah suara yang sama dengan yang
ia dengar begitu sampai di sini. Maka, ia pun berbalik, dan mendapati pemilik
suara itu berjalan perlahan ke arahnya, ditemani 2 gadis yang lain.
“Mochida-kun?
Kau Mochida-kun’kan?”
“T--Takashi...”
Ia berkata pelan
sambil menyembunyikan rasa gugupnya.
“Mochida-kun?
Apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?”
Kali ini, Runa
yang melemparkan sebuah pertanyaan.
“Ah--Aku--“
Mochida berusaha
mengatakan sesuatu, namun segera terhenti, ketika matanya secara tak sengaja
bertatapan dengan mata satu diantara ketiga gadis itu. Gadis itu terlihat sedikit
tertegun dan seolah berkata ‘Apa yang dilakukannya di sini?’, dengan wajahnya.
“Oh! Kau adalah
pemuda yang beberapa hari ini sering dibicarakan oleh para perawat di sini!
Mereka bilang kau sangat tampan! Ternyata, ini memang kau’kan? Mochida Toru-san?”
“Glek!! I--Iya,
ini aku...”
Bahkan para perawat
di rumah sakit ini turut membicarakannya? Tidakkah gosip itu cukup menyebar di
sekolah saja?
Ia tak tahu
harus bersikap dan merespon seperti apa, perkataan perawat yang saat ini tengah
mengamati dirinya dari atas hingga ke bawah. Berulang-ulang.
“Hm, hm, hm!
Anak muda sekarang banyak yang tampan dan tumbuh dengan cepat seperti dirimu.
Kalau kau mau, kau bisa datang kemari setiap hari dan akan kuberikan perawatan
gratis plus ekstra di sini.”
Perawat itu berkata
dengan nada menggoda.
“Ah...Aha ha
ha..Aku akan sangat menghargainya tapi...Aku tak merasakan sakit apapun...”
Apa perawat itu
baru saja menggodanya? Apa IA baru
saja menggodaNYA?! Apakah wajahnya
baru saja memerah dan jantungnya berdebar-debar!?
Lalu--Perawatan
gratis dan ekstra? Ia bahkan tak tahu apa itu dan apakah perawatan itu legal!
“Mmm...Bukannya
Anda sedang bertugas di sini...?”
Entah kenapa,
Haruko berkata dengan wajah datar. Mochida melihat arah pandangan Haruko adalah
ke arah perawatitu. Namun ia juga merasa kalau gadis itu memandangnya dengan
tatapan yang sama secara tak langsung.
“Ha ha ha!
Benar, aku memang sedang sibuk, jadi tidak ada waktu untuk menggoda anak muda
sepertimu, yah, meski kau sangat tampan, tapi kau sudah memiliki kekasih’kan?”
“Ha ha ha...Tak
ada waktu untuk menggoda, ya...?”
Mochida berkata
sambil tersenyum tipis. Kau benar-benar membuatnya sedikit kecewa! Kembalikan
perasaan berdebar yang telah ia keluarkan dengan sia-sia tadi!! Jangan
memainkan hatinya yang masih sangat polos sebagai laki-laki tak berdosa seperti
itu! Dan jangan tertawa!!
“Eh, tunggu
dulu? Memiliki kekasih...?”
Mochida
tiba-tiba tertegun akan perkataan perawat tadi. Kekasih? Ia bahkan tak memiliki
satu. Apa yang dimaksudkannya adalah Kanako? Tidak, dia tak pernah mengajak
Kanako ke rumah sakit ini. Jadi perawat ini tak mungkin melihat mereka
berduaan.
“Iya. Mnn, ah,
Miyashita-san!”
Berkata seperti
itu, perawat tersebut langsung berjalan ke arah Riya, di samping Haruko dan
Runa.
“?”
“Aku tahu kalau
keadaanmu sudah semakin membaik dan besok kau sudah boleh pulang. Tapi, selama
kau masih berada di atap rumah sakit ini, apapun yang terjadi padamu adalah
tanggung jawabku. Jadi, sebelum aku dimarahi, kumohon bekerja samalah denganku.”
“Eh...Y--Ya..”
Riya berkata
dengan gugup, ketika perawat wanita itu mendekatkan wajah ke arahnya sambil
menunjuk ke arahnya. Nampaknya orang yang sangat keras. Ia lalu menghela
nafasnya.
“Serius
deh...Bisakah kau tidak membuat kekasihmu yang tampan ini khawatir?”
“??!”
Terkejut. Mungkin itu yang tergambar di wajah Mochida dan Riya. Seolah sesuatu yang benar-benar mengejutkan telah terjadi tepat dihadapan mereka. Sementara Haruko dan Runa hanya bisa menatap bingung akan perubahan ekspresi itu di wajah keduanya, meski mereka juga terlihat shock dengan pernyataan barusan yang muncul entah dari mana.
Terkejut. Mungkin itu yang tergambar di wajah Mochida dan Riya. Seolah sesuatu yang benar-benar mengejutkan telah terjadi tepat dihadapan mereka. Sementara Haruko dan Runa hanya bisa menatap bingung akan perubahan ekspresi itu di wajah keduanya, meski mereka juga terlihat shock dengan pernyataan barusan yang muncul entah dari mana.
Kekasih yang
tampan?! Satu-satunya pria diantara mereka saat ini hanya dia. Jadi sudah pasti
kalau yang dimaksudkan adalah Mochida sendiri. Tapi--Ia berbicara kepada
Miyashita! Jadi-
“T--Tunggu dulu,
perawat-san! A--Apa--Apa yang sebenarnya baru saja kau katakan itu?!”
Teriak Mochida
dengan panik dan wajah memerah, seakan-akan kepulan asap dapat terlihat dari
wajahnya.
“Hm? Apa aku
baru saja mengatakan hal yang salah? Kau ini kekasih Miyashita-san bukan?”
Dan perkataan perawat
tersebut, langsung membuat mulut Haruko dan Runa terbuka lebar-lebar seolah
berkata ‘Ooooh!!!!’
“BUKAAAAN!!! BUKAN SEPERTI ITU!! TAKASHI DAN
HASEGAWA, KENAPA MULUTMU SEPERTI ITU!!!?”
Serius
deh...Tidak di sekolah, tidak di rumah sakit...Kenapa gosip memalukan ini terus
mengikutinya kemanapun ia pergi!?
“T--Taguchi-san...K--Kau
bisa mengatakan hal seperti itu dengan wajah lurus, ya...? Lalu,
Mochida-kun..Apa benar kau--“
“Tidak,
Hasegawa! Biar aku katakan padamu satu hal, apapun yang sekarang ada di dalam
kepalamu--Itu sama sekali tidak benar!!”
Ujar Mochida ke
arah Runa, yang sekarang tengah terlihat malu sambil memegangi wajahnya dengan
kedua tangan. Entah kenapa, ekspresinya itu mengingatkannya pada salah satu
sahabatnya, Yukiatsu, yang suka sekali menonton AV.
“Riya, apa itu
benar?”
“Eh!?”
“TAKASHIII!!!”
“Eh, ada apa
ini? Kau malu-malu, ya? Imut sekali~©”
“Aku bukan malu-malu!
Aku benar-benar malu!!”
“Tapi,
benar’kan,”
“...?”
Entah kenapa,
kata-kata perawat tersebut, Taguchi-san, membuat tubuh Mochida tersentak.
“.......Apa yang
benar...?”
“Kalau kau
selalu datang kemari, kemudian memperhatikan Miyashita-san dari kejauhan’kan?”
*DEG*
Ah...Ia tak tahu
lagi harus mengatakan apa...
“........Kau
sering datang kemari, Mochida-kun? Benarkah itu?”
“Eh!? A--Aku--“
Pertanyaan
Haruko langsung membuat Mochida kembali tersentak kaget. Walau itu pertanyaan
yang sangat mudah, tapi kenapa ia begitu sulit untuk mengatakan jawabannya....?
“Uwaa!
Mochida-kun memang yang terbaik! Kau bukan hanya pandai, dan jago olahraga,
tapi ternyata kau juga perhatian pada temanmu yang sedang mendapat musibah,
ya?”
Runa berkata
dengan mata yang berkilauan.
“..........Itu...”
Memang benar.
Jika ada seorang teman satu kelas, atau dari kelas berbeda yang ia kenal sedang
sakit dan dirawat di umah sakit, sudah pasti ia akan datang untuk menjenguk.
“..............................”
Tapi, ekspresi
di wajah Riya menunjukkan bahwa ia tak tahu apapun soal hal itu.
“..........Kau
datang...?”
Ucapnya pelan.
“A--Aku--!!”
“......Lho, ada
apa ini? Kalau Mochida-kun sering datang dan menemuimu, kenapa kau malah
bertanya seperti itu?”
Melipat kedua
tangan di depan dada, Haruko bertanya ke arah Riya yang masih memasang tatapan
tidak percaya.
Sementara
Mochida hanya bisa diam. Tapi, jantungnya terus menimbulkan suara yang keras
untuk didengar.
“Ah, mungkin
Miyashita-san tidak tahu, karena Mochida-san biasanya bertanya pada perawat di
sini, mengenai kondisi Miyashita-san, kemudian memperhatikan kamarmu dari
kejauhan. Itu sudah menjadi gosip yang menyebar di rumah sakit ini! Nampaknya,
ada sesuatu yang membuat Mochida-san tidak mampu mendekat dan bertemu denganmu
secara langsung, lalu hanya bisa memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan
mata yang terlihat tersiksa itu persis seperti adegan di film-film!!! Aah! Itu
terdengar romantis sekali’kan!?”
Taguchi-san
menjawab pertanyaan Haruko, yang mungkin juga jadi pertanyaan di benak Runa, dengan
wajah memerah yang jelas akan membuat orang-orang salah paham.
“.....Kau
mendramatisir...”
Kata Runa sambil
menyipitkan kedua matanya dan memandang Taguchi-san dengan ekspresi aneh.
“Jadi, ada apa
diantara kalian ini!? Apa ada orang ketiga diantara hubungan percintaan
kalian!? Sesuatu seperti ‘Mochida, kau tidak bisa menjaga Miyashita dengan
baik! Lebih baik kau serahkan dia padaku!’, ujar seorang ikemen, lalu Mochida-san ‘Tidak! Aku tak bisa melakukannya! Cintaku
pada Miyashita itu nyata! Aku tak mungkin menyerahkannya padamu!’, lalu si ikemen itu ‘Miyashita tidak akan bahagia
bersamamu! Mulai sekarang, kuharap kau mau menjauhi dia demi kebaikannya!! Kau
sudah terlalu banyak melukainya!’, kemudian Mochida-san ‘TIDAAAAAAAAK!!!’,
lalu, diujung hutan yang sepi, di mana terdapat sebuah jurang tak bernama...Mochida-san--“
“AAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!”
Berteriak keras,
seiring tubuhnya yang terjatuh, dan terus terjatuh ke jurang yang dalam, sampai
akhirnya tubuhnya menghantam tanah yang tak terlihat sejak tadi dengan keras.
Ia tak bisa bergerak lagi. Tulang di sekujur tubuhnya hancur. Begitu pula dengan
hatinya. Dan, dengan perasaan terluka yang sangat besar itu, Mochida Toru
akhirnya...Ma--
“TIDAK AKAN TERJADI!!! Hal seperti itu
tidak pernah ada! Apa-apan itu!? Mana mungkin aku mati konyol hanya karena hal
seperti itu!!? Dan Taguchi-san, ikemen
yang kau sebutkan di cerita itu sama sekali tidak ada!! Pada akhirnya, ditolak!
Yak, naskah ini ditolaak!! Ditolaaak!!”
Mochida
berteriak sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Oh, tapi adegan
di mana kau mati saat jatuh ke dasar jurang itu sangat nyata, Mochida-kun.”
“Jangan
membayangkan hal yang tak akan pernah bisa kubayangkan di tempat pertama,
Takashi!!”
Apa dia begitu
senang mendengarnya mati jatuh ke dasar jurang?!
“Kalau itu benar
jadi film, pasti akan sangat laris.”
“Kenapa kalian
begitu senang melihatku mati!? Jika benar ingin membuat film, jangan jadikan
aku sebagai salah satu karakternya! Jangan libarkan akuuu!”
Teriaknya ke
arah Runa yang seolah terlihat sedang menghitung keuntungan dengan jarinya. Ia
menopang dahi dengan tangannya, jadi sedikit pusing setelah laga sahut-menyahut
seperti dalam sebuah komik komedi.
“..................”
Di sisi Riya, ia
tak mengatakan apapun sejak tadi.
“..Hmm...Tapi
yang aneh, Mochida-kun selalu datang kemari malam sekali. Dan itu selalu ketika
gadis yang setiap harinya datang itu--Yang berambut coklat panjang dan sangat cantik itu...”
“Maksudnya
Kawada-san?”
Jawab Haruko,
yang langsung ditanggapi dengan ‘Ah, ya itu dia’, oleh Taguchi-san. Ia lalu
menyambung perkataannya,
“Setelah
Kawada-san pergi meninggalkan rumah sakit, Mochida-san selalu datang. Kelihatan
sekali kalau Mochida-san sedang menghindari Kawada-san karena alasan
sesuatu...Hmm...Ekh! Jangan-jangan, ikemen
yang ada di cerita tadi itu, bukan ‘ikemen’,
melainkan--Bishoujo!? Jadi orang
ketiga itu--”
“Itu tidak
mungkin terjadi’kan!?”
Ia tak pernah
melihat wanita dewasa yang kelihatan cantik namun sangat terlihat bodoh seperti
ini!! Apa kau benar seorang perawat, atau seorang komedian sih?! Ke mana
perginya orang dewasa yang seharusnya bijaksana yang selama ini ada
dipikirannya? Apa karena dunia mulai berubah--Atau orang dewasa yang selama ini
ada dibayangannya, hanyalah bayangan saja?! Setidaknya, berubalah ke arah yang
lebih baik, Nee-san!!
“Apa kau sedang
bertengkar dengan Kawada-san, Mochida-kun?”
Yang bertanya
adalah Runa, sambil memiringkan kepalanya ke kiri.
“Eh...”
Tentu saja.
Siapa saja yang mendengar perkataan Taguchi-san pasti akan berpikiran ‘Mochida
menghindari Kawada pasti karena ada sesuatu’. Jelas itu tergambar di wajah
semuanya.
Apa yang harus
dikatakannya?
“.........Sesuatu
terjadi...Itu saja...”
Mochida berkata
sambil menggaruk kepala dengan wajah yang seolah berusaha menekankan ‘Bukan
sesuatu yang besar’.
“.....Apa itu
benar? Kau nampak gugup? Bukannya sok tahu atau apapun, tapi dibuku yang pernah
aku baca, nada bicara yang gugup, berkeringat, kemudian melakukan pose seperti
menggaruk bagian tubuh tertentu, terutama jika ia mengalihkan pandangannya, itu
adalah tanda-tanda seseorang berbohong.”
“Mm!?”
Ia bisa
melihatnya langsung dan sejelas itu?
“Darimana kau
membaca hal itu, Haruko!? Aku menyadari kalau memang tidak ada yang salah
dengan teorimu barusan--Tapi, jika ada orang yang sedang berbicara dengan
seseorang kemudian dengan nada gugup bicara sambil mengalihkan pandangannya lalu
mulai berkeringat, dan mulai terlihat menggaruk ‘Bagian yang tidak ingin
kusebutkan namanya’, aku yakin itu karena ia malu karena bagian itu terasa
gatal dan dia merasa harus segera menggaruknya!”
“Haruskah kau
mengatakannya seperti itu di depan umum, Hasegawa...? Dan bagian apa yang kau
maksud’kan itu...?”
Mochida berkata dengan
keringat yang mulai membasahi wajahnya. Tidak bagus. Gadis ini jauh lebih
berbahaya dari yang ia kira selama ini.
“Mn? Maksudku
sudah pasti--“
“Kau tidak perlu
mengatakannya!! [Atau kau memang ingin
mengatakannya!?].”
Catat. Ia harus
mencatat ini dengan jelas, ‘Hasegawa Runa adalah seseorang yang harus
diwaspadainya setelah Yukiatsu Rin’. Siapa yang tahu apa yang akan kedua orang
ini lakukan di tempat umum! Setidaknya, memulai konseling untuk mengajarkan
mengenai ‘Hal yang bisa dibicarakan di tempat terbuka dan hal yang biasa
dibicarakan di tempat tertutup’, sama sekali tidak ada ruginya.
“Maksudnya,”
“?”
Saat itu,
Taguchi-san berbicara, dan semua pandangan langsung menoleh ke arahnya.
Mungkin.
“Mochida-san sebenarnya
menyukai Kawada-san, tapi Miyashita-san menyukainya. Miyashita-san yang terluka
meminta Mochida-san untuk datang dan berada di sampingnya, namun ia tak ingin
Kawada-san melihatnya karena takut cemburu? Begitu, ya!?”
“Bukan begitu!!
Itu jauh dari hal yang sebenarnya terjadi!!”
Berhentilah
mengarang semuanya dan membuat keadaan semakin buruk! Bisa gawat kalau sampai
ada yang mendengarnya!
Semoga saja
Yukiatsu tidak berada di sini dan menguping pembicaraan ini. Orang itu,
Yukiatsu, terkadang keberadaannya sangat sulit untuk dirasakan. Yang
mengerikannya adalah, dia bisa tiba-tiba muncul di belakangmu sambil membawa
informasi yang dia dapatkan entah bagaimana caranya.
Ketika itu,
“........? Nao!
Sedang apa kau di sini?!”
“Glek! Kawaru-san!”
Seorang perawat
lain, yang terlihat lebih senor, berteriak ke arah Taguchi-san. Ia langsung
terkejut begitu mengetahui kalau perawat bernama Kawaru-san itu mendekat.
“Bukannya kau
harus memeriksa pasien gawat di ruangan nomor 32!? Kenapa malah santai-santai
dan ngobrol di sini! Cepat pergi!!”
“Hai, hai!!!
Saya segera pergi, Kawaru-san!!”
Dan dengan
sekali perintah, Taguchi-san membungkukkan tubuhnya lalu pergi setelah membuat
gerakan hormat.
“.................”
Mochida sedikit
penasaran dengan apa yang terjadi pada pasien di ruang 32 sekarang...
“Dasar, gadis
muda! Kerjaannya main terus! Di beri kerjaan juga tidak ada yang beres! Nah, apa
semua baik-baik saja? Kenapa kalian berkumpul di lorong seperti ini?”
“Eh, tidak ada
apa-apa. Riya, lebih baik kita lanjutkan pembicaraan di kamarmu saja.”
“T--Tapi,
Haruko--“
“Mochida-kun,
ayo, kau juga harus ikut.”
“Apa? Ti--Tidak
usah. Aku hanya datang kemari untuk menengok Miyashita. Syukurlah dia sudah sehat,
jadi tidak ada yang harus kulakukan lagi di si--Aduh!”
Haruko
menggenggam tangan Mochida semakin erat. Sangat erat, seolah ia akan segera
meremukkan tangannya jika ia tak ikut.
“Masih ada hal
yang harus kita bicarakan!”
Menatap ke arah
mata Haruko, Mochida berpikir ‘Tidak mungkin dia bisa pergi setelah tertangkap
seperti ini’, dan menghela nafas pasrah.
Mereka berempat
akhirnya masuk ke kamar bertuliskan angka ‘27’ itu.
“Jadi,”
“.................”
“Apa yang
sebenarnya ingin kau lakukan malam-malam di dekat kamar Riya!?”
“Aduh!! A--Aku
tidak melakukan apapun! Aduh, aduh! Tolong angkat kakimu dari tanganku,
Takashi! Adudududuuuh!!! Tanganku akan remuk kalau terus seperti ini--
*CRAAACK*
“Aaakh!!!!
Tidak’kah kau dengar itu!?”
“Kalau yang kau
maksudkan adalah suara teriakanmu, aku jelas mendengarnya. Tapi, selain itu aku
sama sekali tak mendengar apapun!”
“Sudah jelas itu
adalah suara tulangku yang mulai remuk!!”
“......................”
“...............Apa
yang sebenarnya dilakukan Haruko dan Mochida-kun...?”
Saat
ini...Sebuah pemandangan yang tak biasanya sedang terjadi.
Ketika mereka
berempat masuk ke kamar Riya, Haruko langsung menutup pintu dengan agak keras.
Entah apa yang terjadi, namun kelihatan kalau ia sedang kesal, meski wajahnya
tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia lalu menyuruh Runa dan Riya duduk di atas
tempat tidur lalu menunjuk ke arah Mochida sambil berkata ‘Kau duduk di sana’.
Mochida hanya
bisa menatap bingung, karena tempat yang ditunjuk oleh Haruko adalah--Lantai
dingin di sudut ruangan di dekat sebuah lemari kecil. Hm? Apa Haruko salah
menunjuk? Atau dia salah melihat arah yang ditunjuk?
Karena
bagaimanapun, ketika gadis berambut hitam itu menunjuk seperti itu, seolah
berkata kalau ia harus duduk di sudut ruangan dekat dinding yang penuh dengan
sarang laba-laba. Ya, tidak mungkin Haruko menyuruhnya untuk duduk di sana.
Meskipun ia
memang mungkin bermaksud seperti itu, dia akan menyiapkan kursi, atau apapun
untuk tempatnya duduk.
Dan sekarang
ini--Ia sedang berlutut, dengan kedua tangan di atas lantai. Catatan, kaki
Haruko sedang berada tepat di atas tangannya.
“Ini bahkan jauh
lebih buruk dari bayanganku!!!”
“Berhenti
berteriak dan cepat katakan padaku! Apa yang kau lakukan di sini malam-malam,
dan kenapa kau selalu muncul setelah Kawada-san pergi!?”
“Aku berani
jamin kalau itu bukan hal yang buruk, Takashi! Aku sama sekali tak bemaksud
melakukan apapu--Aaaakh!!!!! Tanganku! Tanganku!!”
“Aku tak ingin
dengar penjelasanmu! Aku tak percaya kau berani berbuat seperti itu, Mochida-kun!!”
“Tunggu! Berbuat
apa maksudmu itu? ‘Berbuat’ versi-ku dan versi-mu itu berbeda!”
*CRAACK CRAAACK*
“Aaaagh!! Bunyinya
terdengar semakin keraaas!!!”
“Kau’kan atlit
sepak bola! Tidak perlu tangan!”
“Apa kau
bercanda!? Boleh aku tanya apa kau bercanda?! Aku memang atlit sepak bola,
tapi--Posisi-ku adalah penjaga gawang!
Tentu saja aku butuh tangaan!!”
“Sejak kapan kau
jadi penjaga gawang!?”
“Sejak SD aku
sudah jadi penjaga gawang!!”
“..............Apa
yang sebenarnya sedang kalian berdua lakukan...? Haruko, berhenti menyiksa
Mochida-kun seperti itu. Kau nampak seperti seorang sadist. Kasihan Mochida-kun...”
Runa berkata
sambil menopang dagunya dan memandang dengan wajah seolah melihat sesuatu yang
rendah.
“Runa! Kau
selalu saja lembek kalau membicarakan mahluk ini!”
“Ekh!? Lagipula,
mungkin alasan mahluk ini untuk datang semalam itu, bukan untuk menyentuh tubuh
Riya atau apapun itu--“
“!?”
Ketika kata-kata
itu benar keluar dari mulut Runa, Mochida melihat ekspresi terkejut itu di
wajah Riya. Percayalah, Miyashita. Apa yang sedang kedua gadis ini
katakan--Tidak ada satupun yang benar!
“--Mungkin
mahluk ini memang ingin menjenguk Riya, tapi kau tahu sendiri’kan? Kalau Riya
tidak suka sama mahluk ini dan selalu mengusirnya pergi? Kurasa, itu yang
membuat mahluk ini tak dapat menemuinya secara langsung.”
“Berhentilah
berkata ‘Mahluk ini’, ‘Mahluk ini’! Kenapa kau berkata seolah aku adalah mahluk
asing?”
“Aku yang
memegang kendali saat ini.”
“Glek!!”
Mochida hanya
bisa tersentak kaget ketika Haruko mendekatkan wajahnya tepat ke dekat mukanya
dan sama sekali tak menanggapi penjelasan yang cukup masuk akal dari Runa.
“Jadi, cepat
katakan padaku, hal kotor apa yang sebenarnya telah kau rencakan terhadap Riya,
Mochida-kun!”
“Hal kotor!? Kau
baru saja mengambil kesimpulan sendiri--Aduh! Takashiii!!”
“Kawada-san datang
tiap hari ke rumah sakit untuk menemani Riya-chan. Kau datang kemari dan
menunggu dia pulang--Itu berarti kau ingin melakukan sesuatu yang ‘Tidak boleh
diketahui oleh Kawada-san, yang merupakan sahabat Riya’! Apalagi kalau bukan
hal kotor! Kau itu memang laki-laki hentai
berkedok laki-laki alim!”
“Aku terkesan
dengan kemampuanmu untuk mengarang cerita, Takashi. Tapi, biar kujelaskan,
kalau bukan itu yang sedang coba kulakukan! Itu semua hanya kesalahpahaman! Aku
hanya ingin menjenguk Miyashita! Aku tak bermaksud untuk menyentuhnya
atau--Aduh!!”
“Kau barusan
berkata ‘Menyentuhnya’kan!? Berarti, kau memang mau menyentuhnya?!”
“TIDAK!!!!”
“Haruko.”
“Mn?”
Haruko tertegun.
Ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Yang membuatnya,
Mochida dan juga Runa sedikit tersentak, adalah karena itu adalah suara yang
tak terdengar semenjak tadi.
“....................”
Tanpa mengatakan
apapun lagi, gadis itu, Riya bangkit dari tempat tidur, dan berjalan mendekati
Mochida.
“..Riya, apa
yang kau--“
“Apa yang kau
lakukan di sini...?”
“..................”
Kata-kata yang
dingin itu ia lontarkan. Entah kenapa, rasanya seperti jantungnya tertusuk oleh
sebuah jarum es. Bukan hanya menyakitkan, tapi sekaligus membuat beku.
“.....................”
Dan mendengar itu,
ia hanya bisa terdiam sambil menundukkan kepala.
“..............Apa
yang kau lakukan di sini?”
Sekali lagi, ia
mendengar gadis itu mengulang pertanyaannya. Nampaknya, meski terdengar tak
peduli, tapi ia tetap ingin mengetahui alasannya.
“.........Aku--“
“..........................”
“..........Aku
datang kemari untuk menemuimu dan melihat keadaanmu...Itu bukan suatu
kebohongan...”
“Kalau begitu,
kena--“
“Kalau begitu,”
Yang pertama
kali berusaha untuk meminta penjelasan darinya adalah Haruko. Suara itu yang
terdengar jelas di telinganya, meski saat ini ia tak melihat ke arah mereka.
Lalu, dengan cepat suara itu segera diambil alih oleh Riya.
Ia seolah
berkata ‘Biar aku yang menyelesaikan masalah dengan orang ini’. Ia lalu
melanjutkan perkataannya,
“Kenapa kau tak
pernah datang menemuiku...?”
“..................”
“Kau tidak akan
berkata sesuatu seperti ‘Karena kau membenciku, aku merasa kau tak’kan nyaman
kalau aku berada di dekatmu’, iya’kan...?”
“..................”
Ia tak bisa
menjawabnya. Bagaimanapun juga, alasan itu juga termasuk dalam daftarnya.
“Karena sejak
dulu, meski aku tak pernah menyukai kehadiranmu di dekatku, kau selalu saja tak
pernah menyerah, meski tak satupun dari perkataanmu yang kutanggapi, tapi kau
tidak pernah menyerah terhadapku dan berbicara padaku.”
“.................”
“Apapun yang
terjadi, kau selalu saja berteriak menyebut namaku. Karena itu, pasti bukan
karena itu alasannya...”
“......................”
Memang benar
yang dikatakan olehnya. Bukan itu alasannya.
“.....Sebelum
aku menjawab pertanyaanmu padaku, aku ingin mengatakan sesuatu.”
“?”
“.........Aku
minta maaf.”
Ia langsung
menundukkan kepalanya sambil berkata seperti itu. Semua orang di ruangan itu, langsung
memasang wajah terkejut dan tak bisa berkata-kata.
“.........Waktu
itu, aku pernah memberimu nomor ponsel-ku, dan aku berjanji kalau terjadi
sesuatu padamu, aku akan datang untuk menolongmu. Tapi--“
“..............”
“........Tapi
aku ternyata tak bisa melakukan apapun. Kawada-san mengatakan kalau kau
menghubungiku, tapi aku tidak tahu, dan akhirnya aku tak datang, bahkan di saat
kau memerlukanku. Yah, aku tahu itu tak bisa dijadikan alasan...Akhirnya aku
baru tahu setelahnya ketika aku mengunjungi rumahmu...Semuanya sudah berakhir
dengan buruk...”
“...............”
“Walaupun Kawada
datang dan menolongmu, tapi--Tetap saja aku tak datang. Untuk itu, aku minta
maaf, Miyashita.”
Akhirnya, ia
menyebut namanya sekali lagi.
“.......................”
“......Sebenarnya,
aku sangat ingin datang dan menemuimu, kemudian untuk meminta maaf padamu
secara langsung, sama seperti yang berusaha Hasegawa dan Takashi katakan padamu
tadi...”
Ia
mengatakannya, masih dengan pandangan mata menatap ke arah lantai putih. Ia tak
tahu ekspresi apa yang dibuat oleh ketiga gadis itu ketika mendengar ucapannya.
“..........Tapi
Kawada sama sekali tak mengijinkan aku untuk menemuimu.”
“.......Kawada-san...?
Tunggu--Aku tak pernah mendengar hal itu sebelumnya? Apa benar, Kawada-san tak
membiarkanmu menemui Riya, Mochida-kun?”
Tanya Haruko.
“.........Itu
benar. Tapi aku tak ingin menyalahkannya atas hal itu.”
“.......Tapi,
tak membiarkanmu menjenguk Riya? Kenapa dia sampai melakukan hal sejauh itu?”
Kali ini, Runa
yang melemparkan sebuah pertanyaan. Mungkin ia sedikit tidak setuju dengan apa
yang dilakukan Emi sehingga tersimpan sedikit kekesalan di nada bicaranya.
“......Bagiku
itu bukan masalah. Justru bagus kalau dia berteriak seperti itu ke arahku. Aku
jadi sadar dan bangun akan kesalahanku. Aku jadi sadar kalau mungkin selama
ini, bukan aku orang yang pantas berada di sisimu.”
“................”
“Baru
kemarinnya, Kawada memuji diriku. Tapi di hari berikutnya, aku menghancurkan
segala kepercayaan itu. Yang dilakukannya tidak salah. Ia hanya berusaha
melindungi Miyashita agar tak terluka lagi di tanganku. Ia hanya berusaha untuk
menjadi sahabat yang baik.”
“.......Jika
Kawada-san memang berkata seperti itu pada Mochida-kun, aku yakin masalahnya
sudah sangat gawat sekali...”
Ucap Runa.
“.........Aku
ingin menghargai Kawada dengan tak menemuimu lagi.”
“!”
“........Tapi,
aku tak sanggup melakukannya. Di tiap hari yang kulalui, terasa hampa dan tak
berarti tanpa adanya suaramu yang biasanya menghiasi hari-hariku. Aku tak
pernah bisa berhenti memikirkanmu di dalam kepalaku. Karena itu aku--Aku selalu
datang kemari saat malam tiba, setelah memastikan Kawada pulang. Aku tak ingin
berkonflik lebih jauh dengan siapapun.”
“...............”
“Aku--“
Ia sangat
khawatir. Ia tak ingin apapun terjadi pada gadis itu.
“........Setidaknya,
aku sudah melihat dengan kedua mataku sendiri, kau baik-baik saja, dan yang
lebih penting lagi, kau juga telah berbaikkan dengan Takashi dan Hasegawa. Tak
ada yang kuinginkan lebh dari ini.”
“.........Mochida-kun...”
Runa berkata
pelan.
“............”
“........................”
Untuk sesaat, ia
terdiam setelah mengucapkan hal tersebut. Tanpa sepengetahuan yang lain, ia
sedikit melirik ke arah pintu, baru beberapa saat setelah itu, ia bangkit berdiri.
“..............”
Tanpa berkata
apapun, pemuda berambut coklat gelap itu berdiri, dan berjalan mendekati Riya.
Ia bisa melihat pantulan dirinya di bola
mata gadis tersebut. Tubuh Riya sedikit tersentak ke belakang, ketika melihat
Mochida mendekati dirinya.
“........Miyashita...”
“...............”
“Untuk kali ini saja...Bisakah
aku memanggilmu ‘Riya’.”
“.........Eh...?”
Tak bisa berkata
apapun lagi. Setidaknya, itu yang ia tangkap dari gerak-gerik Riya. Begitu pula
dengan Haruko dan Runa, yang ikut terkejut dengan pernyataannya yang sangat
tiba-tiba itu.
Setidaknya, ia
harus mengatakannya saat ini.
“........Bisakah
aku...Menjadi lebih dekat denganmu, setidaknya saat ini?”
Lanjutnya.
“.......................”
Riya masih tak
mengatakan apapun untuk membalas ucapannya. Mochida bisa melihat kegugupan di
wajah gadis itu. Entah apa hanya perasaannya saja, atau...Ia terlihat merona?
“.....Riya...”
Ia mendengar
suara Haruko menyebut nama gadis itu.
“........................”
Mochida
memperhatikan Riya, yang terlihat kebingungan. Ia tak berhenti melihat ke sana
kemari dan sekali-kali memainkan rambut pirang panjangnya. Lalu, dengan
ekspresi wajah seperti seorang anak kecil yang sedang kesal akan sesuatu,
“..................”
Ia mengangguk dengan
pelan.
Itu artinya
‘Ya’. Apa itu artinya benar-benar ‘Ya’? Apa tidak masalah jika ia memanggilnya
dengan nama depan sekarang...?
“..Eh...Ya...Kalau
begitu...R--Riya...”
“!!”
Tubuh gadis itu
langsung bergetar ketika ia menyebut namanya. Ah, ini adalah yang pertama kali
ia menyebut nama depan gadis itu. Meski tak terlihat secara langsung, tapi ia
sedikit menyukainya. Itu adalah sesuatu yang ingin ia katakan sejak dulu.
Tapi, sampai di
sini saja wajahnya sudah sangat terasa panas dan sudah bisa membuatnya pingsan.
Masih bagus dia masih bisa berdiri di sini.
“.............Kalau
begitu, Riya...Bisakah aku memelukmu...?”
“!!”
Ya, ia tahu,
kalau permintaan keduanya ini sangat tidak masuk akal dan membuat semuanya
kembali dihujani oleh sengatan kejutan. Pasti yang ada dipikiran mereka saat
ini adalah ‘Apa-apaan dia ini? Tiba-tiba ingin memanggil dengan nama depan,
kemudian ingin memeluknya?’, benar-benar sebuah permintaan yang aneh dan
tiba-tiba sekali.
Mungkin mereka
akan benar berpikir bahwa ia ingin melakukan hal-hal aneh, hanya saja, itu
tidak penting lagi baginya. Karena yang sangat diinginkannya bukan hal seperti
itu.
“........Kenapa...Tiba-tiba
seperti ini...?”
Riya berkata,
dengan suara pelan kepada pemuda di hadapannya.
Mochida tak tahu
apa yang gadis itu pikirkan, apa yang dirasakannya. Ia hanya terus
mengatakannya saja.
“.......Mungkin
tak’kan ada kesempatan lain untukku.”
“Apa...Apa kau
akan meninggal?”
“Pft!”
“Tidak. Aku
tidak akan meninggal.”
Setitik urat
kekesalan muncul di dahi Mochida, dan suara menahan tawa terdengar dari Runa
ketika kata-kata Haruko [yang sama sekali
tak ada simpatiknya meski baru saja mengatakan hal yang menakutkan] sampai
di telinganya.
“......................”
“......Setidaknya,
biarkan kali ini aku merasakan tubuhmu dari dekat. Biarkan aku menyentuhmu dengan
kedua tangan ini, sesuatu yang sebelumnya tak pernah bisa kulakukan.”
“.................”
Ia paham, gadis
itu pasti sedang sangat bingung sekali mendengar permintaan darinya. Gadis
siapapun pasti akan bingung, dan tanpa berpikir 2 kali, ia pasti akan langsung
mendaratkan tangannya di wajahnya, meninggalkan bekas merah berbentuk telapak
tangan di pipinya.
Apa boleh ia
meminta seperti ini?
“............Mmm...”
Setelah diam
yang agak lama, Riya, yang melihat ke samping bawah, akhirnya bergumam pelan
sambil mengangguk. Wajahnya terlihat semakin merah.
Iya agak sedikit
terkejut akan jawaban gadis itu. Benarkah tidak apa-apa?
“.........Kau
serius...?”
“...........Hanya
untuk kali ini saja.”
Jawab Riya,
dengan nada yang terdengar sedikit sinis. Meski begitu, ia tak terdengar akan
menolak request-nya.
“...............”
Iya. Ini adalah
gadis itu. Gadis yang selalu melihat ke arahnya dengan wajah tidak suka, dan
berbicara dengan nada sinis. Ia lebih suka dia seperti ini, jika dibandingkan
dengan dia yang terlihat sedih dan putus asa. Ini adalah gadis yang ia kenal.
“.......Benarkah...?
Syukurlah kalau begitu...”
Ia berkata,
wajahnya hampir tak dapat menahan air mata itu lagi, tapi ia tak ingin terlihat
menangis di hadapan gadis itu. Lalu, ia melangkahkan kakinya dengan perlahan
dan,
*GREP*
Ia memeluk
tubuhnya dengan sangat erat, seolah tak ingin melepaskannya. Seolah tak ingin
ia pergi dari sisinya. Ia ingin mereka terus bersama seperti saat ini. Rasanya
hangat. Dan tak’kan pernah ia lupakan.
Akhirnya...Ia
bisa menjangkaunya juga...
“...............”
Sementara itu,
gadis itu tak mengatakan apapun. Ia hanya diam, kemudian dengan perlahan,
membalas pelukannya.
“!!”
Itu membuatnya
tertegun. Rasanya seperti harapan yang menjadi kenyataan. Ini seperti
mengharapkan sesuatu yang tak pernah terjadi, namun akhirnya terjadi juga. Untuk
saat ini, hanya kebahagiaan yang menumpuk yang tak dapat dideskripsikan dengan
kata-kata yang menumpuk di hatinya.
“..............Aku
senang...”
Mochida berkata
pelan, dengan senyuman yang tergambar jelas di wajahnya.
“...................”
“.........Walau
kau tak mengatakan apapun...Aku tetap senang bisa seperti ini...”
Ucapnya. Ia tak
tahu ekspresi seperti apa yang dibuat oleh gadis itu. Mungkin ia mulai merasa
tak nyaman dengan semua ini.
“.........Riya...”
“............................”
“.......Aku
senang bisa menyebut namamu...”
“...............”
“.......Meskipun
sebenarnya tidak, tapi aku bisa merasa sedikit lebih dekat denganmu...”
“.........................”
“..........Riya...Ada
satu hal yang ingin kukatakan.”
“.......?”
Pada waktu itu,
ia mempererat pelukannya.
“....Mungkin aku
hanya akan bisa menyampaikannya satu kali. Dan itu adalah sekarang. Jadi, aku
ingin kau mendengarnya, kemudian kau bisa melupakannya saja.”
“..............”
Menyuruh untuk
mendengar kemudian melupakannya? Itu sepertinya mustahil.
“..........Riya...Aku--“
Ia
mengatakannya. Ia berusaha mengatakannya. Tapi, kata-kata itu serasa sangat
sulit untuk dikeluarkan. Kenapa justru di saat-saat seperti ini, ketika ia
telah berada di panggung yang dia nantikan, ia merasa gugup? Bukannya ia sudah
menunggu saat ini untuk datang?
Mungkin ia tak
harus melakukannya. Mungkin ia tak harus mengatakannya. Apalagi, mengingat
kejadian buruk yang baru saja menimpa gadis itu, mungkin tidak akan bagus untuk
membebani pikirannya dengan hal yang tidak penting. Tapi sangat penting untuknya.
Mungkin ia hanya
harus menyimpan perasaan ini seterusnya, kemudian melepas pelukannya dengan
pelan.
Tapi...
“[Jika seperti itu, maka perasaan ini tak akan
pernah sampai padanya...].”
Mungkin beberapa
hal akan bisa tetap tersampaikan meski hanya dengan diam dan tanpa menggunakan
kata-kata. Tapi beberapa hal, tak’kan pernah tersampaikan dengan baik jika tak
diucapkan dengan sebuah kalimat.
Sekali lagi,
perasaan bingung menguasai dirinya.
“...................”
Apa itu karena
ia tak punya alasan yang cukup kuat untuk mengatakannya? Tidak. Ia punya.
Entah
kenapa...Di saat seperti ini dia justru teringat akan sesuatu di masa lalu.
Sesuatu yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Tepatnya ketika ia masih duduk
di bangku SMP, di atap sekolah. Rasanya ia bisa mengingat dengan jelas kejadian
lama yang terjadi pada hari itu.
Hari itu, warna
langit, angin yang berhembus dan menerpa wajahnya dengan lembut, serta gadis
itu. Gadis yang berada di satu kelas dengannya, yang mengatakan ‘2 kata itu’.
Hari itu, ketika
ia bertemu dengan gadis itu, ia mendapat sebuah jawaban atas pertanyaan yang ia
terus cari sejak dulu.
“......Kalau begitu, jawaban dariku adalah--Aku
menyukaimu karena kau adalah Mochida-kun.”
Menyukai
seseorang bukan karena apa yang telah diperbuat oleh seseorang, melainkan
karena orang itu sendiri.
“Aku suka Mochida-kun. Aku tak peduli kalau kau
tidak pandai, atau mungkin tidak banyak orang menyukaimu meski kau tidak
populer, atau kau tidak sebaik semua orang di dunia ini. Tapi, aku tahu satu
hal. Seseorang yang baik padaku adalah Mochida-kun, orang yang membantuku waktu
itu adalah Mochida-kun yang ada di hadapanku. Aku bisa melihatnya...’Sesuatu’
tak terlihat, yang membuat hatiku tertarik padamu.”
Ya. Hanya itu
alasan yang dia perlukan. Saat ini ia berada di posisi gadis itu.
Itu hanya 2
kata. 2 kata saja. Bisakah ia mengatakannya? Bisakah ia mengungkapkan sesuatu
yang terpendam dalam hatinya? Gadis itu sudah ada di dekapannya saat ini.
Biarkan mulutnya bergerak!
“............Riya...”
“................”
“Aku
menyukaimu.”
.......Kata-kata
itu...Akhirnya keluar juga...Gawat, ternyata butuh lebih dari sekedar
keberanian untuk mengatakannya. Ia jadi ingat bagaimana merahnya wajah gadis tersebut
saat itu, di atap sekolah.
“.......[Ah...Aku malu sekali...Aku akhirnya
benar-benar mengatakannya...Aku mengatakannya...Jadi ini...Yang dirasakan
Namura waktu itu...?].”
Inikah perasaan
yang dirasakan ketika sedang jatuh cinta...?”
“...................”
Sementara itu, Mochida
tak mendengar reaksi apapun dari gadis, yang baru saja ia mengatakan bahwa ia
sangat menyukainya.
Suara yang
mengatakan kata-kata yang singkat itu, seakan-akan langsung menghilang dari
ruangan yang kecil ini. Setelah ia mengatakan itu, tak sebuah suarapun
terdengar.
“...............”
Sepertinya, ia
baru saja membuat sebuah pernyataan yang mengejutkan. Memang banyak kabar di
sekolah yang mengatakan bahwa ia menyukai Riya. Tapi tetap saja, ketika ia
benar-benar mengatakan hal itu, bahkan ia yakin, gadis itu tak tahu harus
menjawab seperti apa.
“..........[Ternyata memang tidak bisa, ya...?].”
Maka dengan itu,
ia melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menyentuh tubuh gadis itu, dan ia
melihat ke kedua mata birunya yang terlihat indah. Ia terlihat sangat terkejut,
seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Mungkin, akan lebih baik jika ia
mengakhirinya di sini.
“......Riya...Aku
sudah mengatakannya. Itulah perasaanku yang sebenarnya. Mungkin kau sudah
mengetahuinya dari anak-anak di kelas atau dari gosip yang beredar tentang kita
berdua.”
“................”
“Aku selalu tahu
kau membenci dan tidak menyukaiku. Mungkin bagimu aku menyebalkan. Tapi,”
“.................”
“Aku ingin kau
tahu, kalau aku tak pernah menganggapmu menyebalkan, atau membencimu.”
“!”
“.......Kau
mungkin bukan yang terbaik. Kau mungkin bukan gadis terbaik untuk orang lain. Tapi
kau selalu jadi yang terbaik untukku.”
“..................”
“Aku akan terus
memilihmu. Tak peduli ada berapa banyak gadis lain yang menyatakan perasaannya
padaku, aku akan selalu memilihmu.”
“........Aku [Kumohon, katakanlah sesuatu...], mungkin
bukan sikap atau penampilanmu yang membuatku tertarik. Aku memang menyukai
segala hal tentang dirimu. Menurutku pribadi, kau akan sangat populer
seandainya kau lebih sering tersenyum dan bersahabat. Kau sangat manis jika aku
boleh mengatakannya.”
“...............”
“..........Tapi,
selalu ada hal itu. Sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain, yang membuat
hatiku tertarik padamu. Sesuatu itu, seperti magnet, selalu membuatku melihat
ke arahmu.”
“....................”
“........Kau
mungkin tidak menyadari sesuatu yang tak terlihat itu dalam dirimu. Tapi aku
bisa melihatnya. Dan aku ingin membantumu untuk menyalakan sinar dalam dirimu.”
“.................”
“.....Terakhir,
bersahabat itu sesuatu yang baik, lho. Kau tidak akan pernah tahu kalau seorang
teman akan bisa sangat berguna dan membantumu di kemudian hari. Setelah
percakapan kita hari ini, aku harap kau lebih sering tersenyum, kemudian mulai
menerima orang-orang di dekatmu dengan tangan terbuka. Bersosialisasi dengan
orang-orang baru, dan memulai membangun hubungan yang baik dengan orang lain.
Dengan itu, hidupmu pasti akan lebih berwarna dan berarti.”
“......................”
“Kau ingin
membuat teman? Kurasa kau akan bisa melakukannya.”
“................”
.........Tak
disangka, ia bisa mengatakan semuanya. Bahkan ini jauh lebih panjang dari yang
ingin katakan sebelumnya! Kata-kata itu mengalir langsung dari mulutnya, ketika
ia memandangi gadis itu. Yang selalu ia sukai. Jantungnya berdetak jauh lebih
kencang daripada sebuah mobil balap. Ah...Terus seperti ini, tubuhnya
benar-benar akan segera roboh.
“.........Itu,
yang ingin kukatakan padamu.”
“.............”
“....Aku tak berharap
kau melupakannya. Yang aku ingin kau lupakan adalah bagian yang paling
memalukan dari keseluruhan pembicaraan ini.”
“...................”
“Ha ha ha, aku
tahu, aneh bagi seseorang yang baru saja menyatakan cintanya kepada gadis yang
ia sukai untuk meminta gadis itu melupakan seluruh ucapannya. Aku malu sekali!
Jujur aku sangat malu! Kaki rasanya sudah terasa sangat lemas dan tak mampu
menahan tubuhku lagi.”
“....................”
“...Ahem. Untuk
kau tahu saja, Riya, kau adalah cinta pertamaku.”
“...................”
“Sebelum ini,
aku sama sekali tak pernah merasakan yang namanya cinta dalam hidupku [Bahkan ketika aku mengatakannya, sama sekali
tak ada tanggapan...].”
Ketika ia
mengucapkannya, ia bisa melihat sekilas perubahan ekspresi di wajah gadis itu.
Apa dia marah? Atau kesal karena telah mengatakan sesuatu yang membuatnya malu?
“.......Bahkan
meski ada banyak sekali gadis yang menyatakan cintanya padaku, aku sama sekali
belum pernah menerimanya satupun. Aku pikir, aku tak begitu baik untuk mereka.
Aku pikir, mereka telah salah menyukai seseorang. Karena aku sama seperti
kebanyakan orang lainnya, dan mereka pasti bisa jatuh cinta dengan orang-orang
itu selain aku. Aku bukan seseorang yang spesial.”
“..............”
“Tapi,”
Semua itu
berubah, berkat gadis itu.
“......Ada gadis
ini. Namanya Namura. Dia satu kelas dengan kita. Dia bilang kalau dia
menyukaiku, karena aku adalah diriku. Karena aku adalah Mochida Toru. Karena
itu, aku menyukaimu, karena kau adalah Miyashita Riya, yang saat ini berdiri di
hadapanku, yang saat ini bertatapan mata denganku.”
“................”
“..........................”
Mengikuti gadis
itu, ia berhenti mengucapkan kata-kata yang terus ia ucapkan meski tak mendapat
balasan. Setidaknya, akhirnya pesan itu tersampaikan. Setidaknya, ia menerima kata-kata
darinya.
Maka, ia pun
melepaskan kedua tangannya dari pundak gadis itu. Sekali lagi, ia menatap ke
dalam mata Riya yang berwarna biru. Ia tak ingin terlihat sedih, tapi
sepertinya ia jelas menunjukkan ekspresi itu.
“...........[Pada akhirnya, aku memang terlihat
menyedihkan...].”
Ucapnya dalam
hati.
Untuk sesaat,
ruangan kembali sunyi. Baik Riya, Haruko maupun Runa, tak satupun diantara
ketiga orang itu yang bersuara. Ia memang tak melihat ke arah kedua gadis
lainnya. Tapi pasti, mendengar seorang pemuda menyatakan perasaannya kepada
Riya dihadapan keduanya, itu saja sudah cukup untuk membuat mereka seolah tak
memiliki satu katapun untuk diucapkan.
Bagaimanapun
juga, yang baru saja terjadi dihadapan mereka adalah sebuah pernyataan cinta.
Dan salah satu yang terdengar menyedihkan.
Ia juga merasa,
tak ada gunanya lebih lama di sini. Bagaimanapun juga, ia telah menyampaikan
maksudnya.
Sekali lagi, ia
melirik ke arah pintu,
“................”
Kemudian, ia
kembali mengalihkan pandangannya ke arah gadis berambut pirang itu.
“........Riya...”
Ia berkata, dengan
suara pelan, namun terdengar tegas. Tatapan matanya yang lembut berubah menjadi
serius.
“Aku--Mulai
sekarang, seperti yang selalu kau inginkan dariku sejak dulu, aku tidak akan
pernah muncul lagi dihadapanmu, atau menemuimu. Di sekolah, aku akan
berpura-pura kita tak saling mengenal sebelumnya. Itu’kan--Yang sangat kau
ingin’kan...?”
“................”
“......Aku
tak’kan mendekatimu lagi. Aku tak’kan bersikap menyebalkan di dekatmu lagi.”
“................”
“......Tapi
meski begitu, aku tetap ingin kau tahu.”
Sekali lagi, ia memegang
bahu gadis itu dengan kedua tangannya. Ia bisa merasakan tubuh Riya yang
sedikit bergetar dengan tangannya. Apa yang sebenarnya kau rasakan saat ini? Ia
ingin bertanya seperti itu, tapi mengurungkannya. Ia lalu,
“Apa yang
kukatakan sebelumnya, bukanlah sebuah kebohongan.”
--Di detik
berikutnya, bibir mereka bersentuhan dengan lembut.
Lalu tanpa
mengatakan apapun, ia langsung berbalik pergi, keluar dari ruangan yang
didominasi oleh warna putih itu. Meski begitu, ia tahu, gadis itu pasti
langsung mengalihkan pandangannya darinya. Tak mungkin’kan? Ia tiba-tiba
berlari dan memeluk dirinya...?
“[Tidak. Hal seperti itu tidak akan pernah
terjadi...].”
Dan, bahkan
setelah ia mencium gadis itu dan berbalik pergi, ia sama sekali tak mengatakan Riya
berteriak kesal atau mengatakan apapun. Bagaimanapun juga, ia telah merebut
ciuman pertamanya, jadi setidaknya ia mengharapkan sebuah respon.
Atau
mungkin--Diam itu adalah respon penolakkan darinya.
Tentu saja,
tidak ada satu gadispun di dunia ini yang akan berteriak kegirangan ketika
tiba-tiba laki-laki yang tidak mereka sukai, menciumnya tanpa peringatan
terlebih dahulu. Apalagi jika itu adalah yang pertama.
Masalahnya, ia
tak tahu, harus menghadapinya seperti apalagi ketika sekolah dimulai keesokan
harinya...Yang ia tahu hanyalah--Itu, adalah ciuman pertamanya.
Ah...Ia
benar-benar telah nekad melakukannya...
Ketika ia masuk
ke dalam rumah, suasana sudah sangat sepi dan gelap. Ia perlahan melangkahkan
kakinya menaiki tangga, tetap berusaha agar tak tersandung sesuatu akibat
kegelapan.
Sampai di lantai
2, dia hampir saja dikejutkan oleh bayangannya sendiri, yang seolah membentuk
wujud raksasa yang mengerikan. Untung ia tak berteriak dan membangunkan semua
orang di rumah. Saat ia sampai di depan kamar Emi, ia membuka pintu kamar gadis
itu dengan pelan dan sedikit mengintip ke dalamnya. Kelihatannya Emi sudah
tertidur. Tentu saja, hari sudah larut dan dia sudah banyak melakukan berbagai
hal untuknya.
“.........Terima
kasih.”
Membisikkan,
kata-kata itu, Riya kembali menutup pintu kamar Emi dengan perlahan.
“................”
Tak ada ekspresi
khusus yang ditunjukkannya ketika ia membuka pintu kamarnya. Ini adalah hari
pertama ia tinggal di rumah Kawada, dan sudah terasa seperti menginap di tempat
lain dibandingkan rumahnya sendiri.
Ia menatap
dalam-dalam ke ruangan yang kini menjadi kamarnya, sebelm akhirnya berjalan
masuk dan mengunci pintu.
yang ada di
depannya saat ini, cukup mirip dengan kamarnya di rumah yang lama. Emi memang
berusaha membuat kamar ini semirip mungkin dengan kamar lama Riya, agar
membuatnya semakin nyaman tinggal di sini. Tapi, tetap saja ia tak bisa
merasakan apapun di dalamnya, seolah ini hanyalah ruangan kosong, tanpa ada
perasaan apapun di dalamnya.
“Haah...Apa
boleh buat.”
Menghela nafas,
ia harus membuka matanya bahwa ini memang bukan kamarnya dan juga bukam
rumahnya. Ia yakin, ia akan bisa cepat terbiasa tinggal di sini. Apalagi, ada
Emi di rumahnya. Ada keluarganya yang mau menerimanya. Besok, ada teman-teman
yang bersamanya.
Melangkah ke
tempat tidurnya, ia kemudian berbaring. Matanya terpaku ke arah langit-langit.
Kemudian ia memejamkan mata dan menarik selimut sampai menutupi wajahnya. Saat
ia melakukan itu, ia tidak merasa kalau ia akan segera tertidur. Jadi ia
merogoh sakunya dan mengambil telepon genggam.
Di balik selimut
yang gelap, cahaya dari telepon genggamnya membuat matanya sedikit silau. Ia
membuka daftar kontak kemudian melihat-lihat daftar nama yang ada di dalamnya.
Hari ini dia
sudah mendapat beberapa nomor kontak baru. Ia sedikit merasa senang karena itu.
Ia melakukan melihat-lihat nama-nama itu beberapa kali, sampai ketika matanya
menangkap tulisan ‘Mochida’, di layar telepon genggamnya, Riya berhenti. Untuk
sesaat, matanya yang berwarna biru tak berhenti menatap nama itu.
“............”
“Kau ingin membuat teman? Kurasa kau akan bisa
melakukannya.”
“Apa yang kukatakan sebelumnya, bukanlah sebuah
kebohongan.”
Lalu, tanpa
mengucapkan kata-kata lagi, ia menutup telepon genggamnya, kemudian mendekapnya
erat-erat.
Hal yang
berikutnya ia sadari ketika membuka mata--Adalah hari sudah menjadi pagi.
***-***
A/N : Halo, minna XDD Fujiwara Hatsune di sini!
Kali ini HTMF chapter 13 diawali dari Mochida! Ternyata diam-diam dia
menjenguk Riya juga, ya?
Hatsui : Ah, akhirnya aku paham.
Ternyata di cerita ini ada cerita gimana Miyashita, Takashi dan Hasegawa
berbaikkan lagi. Benar-benar pertemuan yang mengharukan. Aku pikir Miyashita
benar-benar bakal bunuh mereka lho!
Tapi Runa berani juga mengakui
kesalahannya bahkan sampai rela kalo Riya sakit hati dan mau ngebunuh dia.
Untung Riya ngga punya pemikiran ke situ. Ke situ juga pasti, ujung-ujungnya
dia bakal dituduh lagi.
Hatsui : Terus...Terus apaaan itu!! Mochida--Mochida menyatakan cinta
sama Miyashita!!! 0////0!!!!!
Tiba-tiba banget ya? Memang Mochida dari dulu udah suka sama Riya.
Hatsui : Memang udah kelihatan dari vol 1
sih...Tapi tapi...
Aku ngga terlalu ahli bikin adegan cinta yang romantis dan juga belum
pernah mengalami satupun jadinya hambar //plaaak.
Terus--adegan ciuman itu--ini yang pertama kali ada lho!! Dalam sejarah
penulisanku selama 2 tahun ini--Ini pertama kali ada adegan ciuman di
dalamnyaaaa!!! Kyaaaa!!
Author,
Fujiwara Hatsune