Selasa, 25 Agustus 2015

Story : How To Make A Friend Vol.2 Chapter 13

Story : How To Make A Friend Vol.2 Chapter 13



Chapter 13 Aku Akan Terus Memilihmu. Tak peduli Ada Berapa Banyak Gadis Lain Yang Menyatakan Perasaannya Padaku, Aku Akan Selalu Memilihmu
Ketika itu, ia sedang berjalan di jalanan yang gelap. Hanya lampu-lampu dan cahaya bulan yang menerangi langkahnya di tengah kerumunan orang-orang. Langkahnya tertuju ke satu arah yang sudah ia tetapkan, meski begitu, tak ada yang tahu kemana tujuannya dan kemana ia akan melangkah selanjutnya.
Ia kemudian menyeberangi jalan setelah lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya terlihat sebuah bangunan berwarna putih telah menunggu. Begitu sampai di halamannya, nampak beberapa mobil ambulance yang sedang parkir, atau baru saja datang dan sedang menurunkan pasien. Beberapa orang berpakaian putih keluar dari bangunan tersebut.
Yang ingin ia tuju adalah rumah sakit. Tapi untuk apa dia ke tempat seperti ini malam-malam?
Apa kedua orangtuanya sakit? Atau adiknya mengalami kecelakaan? Atau mungkin ia hanya ingin melakukan check-up karena akhir-akhir ini meraa tidak sehat?
Tidak. Saat ini kedua orang tuanya dan adiknya sedang ada di rumah. Mungkin mereka sedang nonton TV bertiga, atau justru sudah tidur. Sedangkan ia selalu merasa sehat dan tak menderita sakit apapun.
Ini, adalah sahabatnya yang ingin ia kunjungi. Atau mungkin lebih tepat dibilang ‘Orang yang ia anggap sebagai sahabatnya’. Karena orang tersebut tak pernah menganggap dirinya teman atau apapun itu. Ia selalu tak suka ketika dirinya berada di dekatnya. Bisa dibilang, hanya dirinya yang selalu menganggap bahwa orang itu adalah sahabatnya. Tapi apapun yang terjadi, ia tak’kan pernah meninggalkannya.
Kemudian--Sesuatu yang buruk telah terjadi. Sesuatu yang sangat buruk. Dan sampai saat ini, belum pernah ia melihat gadis itu lagi.

Sebuah kasus pembunuhan telah terjadi.
Selama hampir 16 tahun hidupnya di kota ini, ia sama sekali tak pernah membayangkan hal seperti ini. Sesuatu yang biasanya hanya menjadi sebuah tontonan dalam film-film, ternyata benar-benar terjadi dalam kenyataannya. Hanya menontonnya saja itu membuatnya takut. Hanya membayangkannya saja tubuhnya langsung merinding. Ia sama sekali tak membayangkan apa yang ia rasakan ketika melihat secara langsung.
Mungkin, itu adalah satu pengalaman yang paling berat dalam hidupnya.
Harus kehilangan sahabat, sekaligus sebuah tempat yang bisa kusebut ‘Tempat tinggal’, karena sekarang ia merasa tak ada lagi tempat aman yang mampu menerimanya di dalamnya. Seolah semua tempat itu penuh dengan bahaya. Bahaya yang bisa menghancurkan dirinya kapan saja.
Jadi hari itu, ia kehilangan 2 orang teman sekelasnya. Sasagawa Eiko dan Karisawa Kyouko. 2 siswi, yang mungkin bagi beberapa orang tidak akan pernah merasa harus menitikkan air mata kesedihan ketika mendengar berita itu. Mereka menangis. Tapi jauh dalam hati mereka, mereka pasti tertawa dengan keras dan senang atas kematian mereka.
Mereka bukanlah 2 orang dengan jalan hidup terbaik. Mereka bukan 2 orang dengan pandangan hidup yang baik. Namun meski begitu, mereka tetaplah manusia seperti kita.  Ia sedih harus kehilangan mereka berdua, karena bagaimanapun, mereka adalah sahabat baik dari sahabat masa kecilnya, Kanako.
Tapi,
Di balik semua itu, ia juga merasa sangat kehilangan.
Di hari yang sama dengan ditemukannya kedua mayat Sasagawa dan juga Karisawa, lebih tepatnya di sore hari, sebuah kasus pembunuhan lain terjadi.
Itu, adalah sebuah peristiwa penembakkan yang terjadi di depan rumah temannya.
Hari itu juga, sahabatnya kehilangan ibunya.
Dan ia, kehilangan dirinya, satu-satunya orang yang sangat ia sayangi--Ia sama sekali takkan bisa menjangkaunya lagi. Padahal ia pikir, hubungan mereka berdua bisa jadi semakin dekat. Hanya saja...Ia merasa kalau ia tak pantas menjadi orang yang menjaga dan melindunginya.
Ia selalu ada bahkan ketika orang tersebut sama sekali tak membutuhkannya.
Rasanya aneh, ya? Ketika ia terus saja mengejar gadis yang bahkan tak pernah menyukai keberadaannya. Ia bisa melihat dari tatapan matanya itu, ia seolah akan menembaknya dengan laser jika terus mendekatinya.
Saat itu ia tak peduli. Ia bersikap keras kepala dan menguatkan dirinya, kalau suatu saat, ia pasti akan menyebut nama dan menerimanya di sisinya. Makanya ia selalu menyebut namanya, mendekati gadis tersebut, ketika tak ada seorangpun yang mendekatinya.
Dia memang gadis seperti itu. Dia bukanlah gadis terbaik. Dia bukanlah gadis tercantik. Dia bukanlah gadis terpintar, dan juga bukan salah satu yang menarik bagi orang lain. Tapi, ia sangat menarik perhatiannya. Dan sejak saat itu, ia tak pernah sekalipun mengalihkan pandangannya darinya.
Hingga akhirnya, hari yang ditunggunya datang juga.
Ia benar-benar membutuhkannya. Ia benar-benar menyebut namanya. Tapi dia--Dia sama sekali tak berada di sana!
Apa yang sebenarnya ia pikirkan selama ini? Apa benar ia ingin melindunginya? Apa benar ia ingin bersama dengannya?
Yang ia ketahui, hanyalah perasaan yang selalu mengatakan bahwa ia selalu ingin ada di sampingnya, bergandengan tangan dan berjalan bersama. Apa ia adalah orang yang berkualifikasi untuk melakukan hal itu bersamanya?
Ketika ia sedang membutuhkan bantuannya--Justru di saat penuh krisis seperti itu ia sama sekali tidak bisa melakukan apapun!

“Oh ya, Miyashita, kau tidak punya nomor ponselku’kan? Karena aku sangat mengkhawatirkanmu...Akan kuberikan nomorku untukmu. Ingat, kalau ada apa-apa atau kau sedang butuh bantuan, hubungi aku, ya.”

Itu yang ia ucapkan kepadanya. Kata-kata itu masih terekam dengan jelas di memory-nya karena memang ia sendiri yang mengatakannya. Tapi--Jika dilihat sekarang, tidakkan semua ucapan itu akan terdengar sebagai suatu kebohongan saja? Ia tak ada di sana, untuk menggenggam tangannya. Ia tak ada di sana, untuk  menenangkan dirinya, berkata ‘Semua akan baik-baik saja’.
Padahal--Tidak ada yang baik-baik saja di sini.
Pada akhirnya, ia hanya akan bisa berkata-kata. Kata-katanya terdengar kuat, hebat dan hangat, tapi sama sekali tidak berguna.
Di saat bersamaan tubuhnya hancur, hatinya ikut hancur menjadi berkeping-keping. Ia tak pernah membayangkan apa yang akan terjadi jika ia berada di posisi gadis itu. Ia tak pernah ingin membayangkannya. Itu akan terasa sangat mengerikan. Walau begitu, tetap ada bagian kecil dari dirinya yang terus saja berkata ‘Seandainya aku bisa mengambil semua rasa sakitnya’, tanpa ragu ia akan memilih jalan itu.
Tapi semuanya telah terjadi. Tak ada gunanya menyesal lebih dari ini. Meski begitu, ia tak tahu harus menghadapi wajah gadis itu seperti apa lagi. Ia merasa sangat malu, baik kepada gadis itu maupun kepada dirinya sendiri.

“Tidak ada yang harus kau ketahui. Sejak awal, kau sama sekali tidak peduli pada Riya-chan’kan? Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Jangan buang-buang waktumu, dan pulanglah.”

“KALAU BEGITU KENAPA KAU TIDAK DATANG!!!?”

“KENAPA KAU TIDAK DATANG KETIKA RIYA-CHAN MEMBUTUHKANMU!!!!?”

“--Tapi ternyata aku salah! Selama ini, aku sudah salah menilaimu!! Bahkan Riya-chan yang selalu bersikap mengacuhkanmu itu--Mengharapkan kehadiranmu di sisinya pada waktu itu!!! Yang kau lakukan hanyalah menghianatinya!! Kau monster!!!”

“Saat di bawa kemari, saat dia masih sedikit sadar--Bukan namaku yang ia sebut berulang kali, bukan aku yang ia harapkan ada di sana!!--TAPI NAMAMU!!!

“Sudah tidak ada gunanya lagi kau berada di sini, Mochida-kun. Pergi, dan jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di hadapan Riya-chan. Mulai sekarang, aku yang akan melindunginya dengan kedua tanganku sendiri! KAU MEMANG TEMAN YANG TERBURUK!!


Semua itu benar. Apa yang dikatakan oleh sahabat baik gadis itu, pada akhirnya memang benar. Yang ia sebut adalah namanya, tapi ia tak ada di sisinya. Yang ingin gadis itu ada di sisinya adalah dia, tapi ia justru berada di tempat yang jauh, di tempat yang tak bisa dijangkau olehnya.

Dia memang yang terburuk. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk membalik semuanya lagi. Walau pun begitu,
“[Bahkan setelah seluruh penyesalanku itu, keinginanku untuk berada di sampingnya sama sekali tidak memudar].”
Benar. Mungkin akan terasa sangat egois, namun jika seandainya gadis itu membencinya dan tak ingin melihatnya lagi, ia tak ingin itu terjadi. Ia ingin bisa terus berada di dekatnya. Memperhatikan, dan juga menjaganya.
Karena itu ia datang.
Ia sudah tak bisa menahan perasaannya lagi. Gadis yang selalu ia lihat sedang seorang diri, yang menghapus papan tulis di sore hari itu, ketika ia pertama kali berbincang secara langsung dengannya, gadis yang tak pernah merasa dirinya diterima oleh siapapun--Ia ingin menerimanya. Ia ingin berbicara dengannya seperti saat itu lagi, meski penuh dengan kesalahpahaman.
“.............[Yang aku inginkan hanyalah kesempatan untuk bersamanya lagi...].”
Hanya itu yang diinginkan. Itu saja rasanya sudah sangat berat dan tidak mungkin. Karena ada ‘Seseorang’ yang tak menginginkan kehadirannya di sisi gadis itu.
“............[Karena itu, setidaknya, jika ini mungkin satu-satunya kesempataku...].”
Jika ini adalah satu-satunya kesempatannya,
“........[Biarkan aku melakukannya dengan baik].”


“........Atas apa yang Runa katakan padamu...Aku minta maaf atas semuanya...”
“.............”
Ketika ia sampai di lorong rumah sakit, di dekat kamar gadis itu berada, ia mendengar suara seseorang. Dari suaranya, sepertinya seorang gadis. Dan dari nada bicaranya yang terdengar lemah dan meneydihkan itu, yang tertangkap olehnya hanyalah perasaan yang dipenuhi dengan penyesalan.
Suara itu, ini bukanlah pertama kali ia mendengarnya.
“............[Suara itu...].”
Ia memutuskan untuk bersembunyi dan memperhatikan dari balik tembok. Di sana, ia bisa melihat 3 orang gadis yang tak asing lagi baginya. Mereka bertiga adalah gadis yang ada di kelas yang sama, dan yang ia tahu, mereka adalah sahabat.
“Runa sudah menjelaskannya padaku. Semua yang dia rasakan. Semua yang ia pikirkan tentang dirimu, ia sudah memberitahukan semuanya padaku tanpa kecuali. Runa memang membencimu...”
Gadis berambut hitam itu, Takashi Haruko, berbicara. Sementara itu, di sampingnya, Hasegawa Runa menundukkan kepala. Ia bisa melihat tubuhnya yang bergetar dari sini.
Kemudian, salah satu dari gadis-gadis itu--Yang mengenakan baju rumah sakit, dengan rambut pirang dan mata biru itu, adalah--
“............Miyashita...”
Ia menyebut namanya dengan pelan, berusaha merasakan setiap perasaan di dalamnya. Sudah berapa lama ia tak menyebut nama gadis itu? Sudah berapa lama ia tak melihat wajahnya? Tubuhnya bergetar. Seperti bertemu lagi dengan sahabat lama yang sudah 2 atau mungkin 5 tahun tak bertemu, ingin sekali menangis haru. Ia ingin sekali, kemudian mendekap tubuhnya dengan erat, gadis yang sangat ia rindukan kehadirannya.
“...............”
“Meskipun begitu, dia menyesal setelah mengetahui semua kejadian ini menimpamu. Dia menyesal atas kematian ibumu...Dia menyesal atas semuanya...”
Ucap Haruko dengan ekspresi sedih.
Yang ia rasakan saat ini diantara ketiga orang itu--Hanyalah sebuah ketegangan. Ketegangan yang terasa aneh dan membunuh seluruh indra sehingga tak mampu merasakan apapun selain perasaan tegang itu sendiri. Mereka bertiga adalah sahabat. Namun suasana yang tergambar saat ini, sangat jauh dari kesan itu.
Rasanya atmosfir terasa berat dan menyesakkan, seolah membuat tubuh tak dapat bergerak dengan mudah. Belum pernah, belum pernah ia melihat dan merasakan ketegangan seperti ini. Tidak, ia pernah. Ini adalah perasaan yang sama ketika kejadian di kantor polisi sewaktu itu. Saat Hasegawa Runa mengatakan semua yang ada di pikirannya, bahwa ia membenci Miyashita Riya.
Bahkan setelah waktu-waktu berharga yang dihabiskannya dnegan gadis itu, ia sama sekali tak menganggapnya siapapun melainkan hanya orang luar.
Baginya sendiri yang mendengar itu, itu terdengar seperti sebuah pengakuan yang menakutkan.
“....................”
Apa yang akan terjadi selanjutnya diantara mereka? Itu yang sekarang ia pikirkan.
“Aku pun...”
Yang berbicara adalah Haruko. Ia kemudian meletakkan kedua tangannya di pundak Riya. Nampaknya, suara yang pertama kali ia dengar ketika ia sampai di sini adalah suara gadis berambut pendek itu.
Nada bicaranya terdengar sedih. Sama dengan yang terpancar dari matanya. Sama sekali tak ada cahaya yang berkilau.
“.....Takashi...”
Ia sedikitnya tahu bagaimana perasaan Haruko saat ini. Setelah kejadian di kantor polisi waktu itu, akan menjadi hal yang sangat berat untuk bertemu lagi dengan Riya yang ia sakiti. Bahkan mungkin untuk menatap matanya, ia sudah merasa tak sanggup.
Yang gadis itu rasakan, hampir sama dengan yang ia rasakan saat ini. Haruko lalu melanjutkan perkataannya,
“Aku pun sangat menyesal, dan merasa sangat malu untuk berhadapan lagi denganmu. Seorang teman, tak seharusnya melakukan sesuatu yang aku lakukan. Karena itu, bagaimana kalau kita mulai semuanya dari awal lagi...”
“.................”
“Sebagai seorang ‘sahabat’. Kali ini, benar-benar ‘sahabat’.”
Memulai dari awal lagi, sebagai seorang sahabat...?
Ketika Haruko mengatakan itu, ia bisa melihat setitik cahaya yang mulai muncul dari sorot matanya. Tak nampak sedikitpun keraguan ketika ia mengucapkan hal itu. Tak nampak sedikitpun kebohongan saat kata-kata itu terucap dari mulutnya. Yang terdengar dan terasa, hanyalah sebuah kesungguhan yang besar.
Itu, adalah kata-kata yang ia ucapkan berasal dari hatinya yang terdalam. Sebuah kata-kata yang mampu menyambung kembali tali persahabatan yang telah terputus. Jika ia menjadi Miyashita Riya, ia pasti tak’kan berpikir 2 kali lagi. Ia pasti akan merasa tersentuh, kemudian berurai air mata haru dan langsung memeluk kedua orang yang pernah menjadi sahabatnya. Pasti saat ini yang memenuhi dirinya hanyalah perasaan bahagia.
Tapi--
“........................”
“........Riya?”
“..........Sudah selesai...?”
“?”
Yang nampak di wajah gadis itu--Bukanlah kebahagiaan, lega atau apapun itu. Bukan emosi positif yang ia melihat. Melainkan emosi negatif yang sangat kuat, seolah menyelimuti dirinya, dan mempengaruhi orang lain untuk merasa ketakutan.
Ekspresi wajah Haruko dan Runa terlihat sama. Seolah dikejutkan oleh adegan yang sedang terjadi di hadapan mereka, aku juga memasang wajah seperti itu, ketika aku tak hentinya memandang wajah yang kelihatan dingin dan kosong itu.
“............Apa yang kalian berdua lakukan di sini...? Pergi dari hadapanku sekarang...”
Ujar gadis itu dengan ekspresi datar dan nada bicara yang terdengar monoton.
“............Eh...?”
“Pergi atau--“
“!!?”
“Ha--Haruko!”
“[Miyashita!!?].”
Ia berteriak di dalam hati, ketika matanya menangkap sesuatu. Sesuatu yang seharusnya tidak ada di sana, sesuatu yang ia sembunyikan sejak tadi. Sesuatu yang membuat baik Haruko maupun Runa terlihat sangat ketakutan itu--Lalu, sambil mengangkat benda itu, ia berkata pelan,
“Seperti yang sudah aku katakan waktu itu--“
“..................”
“Akan kubunuh kalian berdua di sini.”
“!!!!”
Meski dari kejauhan, tapi ia bisa melihat jelas benda itu. Itu, adalah sebilah pisau yang ia pertunjukkan di hadapan kedua sahabatnya.
Bunuh!? Apa dia akan--!?
“[Jangan!! Jangan lakukan itu!!!].”
Suara yang sangat ingin ia sampaikan, tak bisa ia keluarkan. Ia ingin berteriak, menyebut nama gadis itu dan mencegahnya melakukan hal bodoh! Tapi--
“.........[Tapi di saat seperti ini--Kenapa tubuhku tidak bisa bergerak!?].”
Kedua kakinya terasa sulit digerakkan, seperti terjebak di cairan semen yang mampu mengeras dalam sekejap. Ia ingin berlari ke sana, ia ingin merebut pisau itu dari tangan gadis itu--!! Yang ingin ia lakukan hanyalah membantu.
“..................”
Hanya saja, meski begitu, ia sedikit merasa kalau ia tak bisa melakukannya.
 Ini adalah masalah diantara ketiga orang itu, dan menurutnya, harus merekalah yang menyelesaikan sendiri masalah yang terjadi diantara mereka. Ia yang merupakan orang luar, tidak seharusnya mencampuri urusan ketiga gadis itu.
Mereka bertengkar, menangis, kemudian berbaikan dan saling tertawa, itulah persahabatan. Mungkin memang saling menyakiti, tapi selalu ada kata maaf diantaranya.
Sekarang ini, yang bisa ia lihat hanyalah memperhatikan dari jauh. Dan terus berharap semuanya akan berakhir dengan baik.
“.....Riya...Apa yang--“
Haruko berkata, namun segera menghentikannya, seolah tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Tentu saja, siapa yang tidak merasa ketakutan ketika melihat seseorang dengan pisau di hadapanmu dan berkata kalau akan membunuhmu.
Kejadian ini saja pasti sudah bisa membuatnya berlari meninggalkan Riya. Tapi, Haruko dan Runa tetap berdiri di sana.
“..........Riya...”
Ucap Runa pelan, sambil bersembunyi di balik tubuh Haruko.
“........Kenapa kalian masih ada di sini? Apa kalian memang mau mati? Aku tidak bercanda. Sama seperti ketika aku membunuh Sasagawa dan juga Karisawa--“
Waktu ia menyebut nama Sasagawa dan Karisawa, tubuhnya terlihat sedikit bergetar. Ia lalu menyambung ucapannya lagi,
“--Aku tak akan segan-segan menusukkan pisau ini ke tubuh kalian berdua.”
“....................”
Bisa mengatakan hal seperti itu dengan wajah lurus, tidak aneh kalau 2 gadis lainnya terlihat terkejut.
“..........Apa yang akan kau lakukan...?!”
Ia berkata, dengan pandangan mata terus tertuju ke arah mereka. Suasana sangat hening, ditambah dengan ketegangan yang menyelimuti, entah kenapa terasa di film-film dengan genre horor atau misteri.
Sampai film berakhirpun, tubuhmu masih bisa merasakan sensasi yang menakutkan dan terus gemetar.
“.........Kenapa...”
“!”
Setelah diam yang cukup lama, gadis berambut pirang itu akhirnya berbicara dengan suara pelan. Kedua tangannya terlihat gemetar, bahkan pisau itupun terlihat akan terjatuh dari tangannya. Ia lalu--
“Kenapa--Kenapa kalian melihatku dengan wajah seperti itu!?”
“!!”
Tubuh Haruko dan Runa langsung tersentak ke belakang ketika mendengar Riya yang tiba-tiba berteriak.
“Riya--“
“Aku tahu, kalian pasti senang melihat kondisiku yang seperti ini! Menyedihkan!! Apa kalian datang kemari  untuk menertawakan kondisiku!!?”
“Itu--!!”
Runa yang bersuara.
Itu seperti sebuah kejutan yang tak terduga bagi Haruko dan Runa. Seolah ketika kau mendapat sebuah kado, ketika mereka berusaha menebak apa yang ada di dalamnya, ternyata melenceng jauh dari perkiraan.
Ketika yang mereka terima justru kata-kata dengan nada dan tatapan mata yang dingin itu, tubuh mereka tak bisa berhenti untuk bergetar sejak memasuki ruangan sempit ini.
“....Apa--Apa yang kau katakan, Riya...? Tidak mungkin kami kemari untuk menertawakanmu!”
Haruko yang berdiri selangkah di depan Runa berusaha mengatakan apa yang dipikirannya, menyakinkan gadis itu. Sementara Runa, berdiri di belakangnya sambil memegang erat bahu Haruko.
Kata-kata Haruko, ditanggapi dengan sebuah senyuman dingin oleh Riya.
“Ha ha ha...Benarkah itu? Kalian yakin, tidak ingin menertawakanku, menertawakan kematian ibuku--Atau berkata sesuatu seperti ‘Hah!! Itu sesuatu yang pantas di dapat oleh pembunuh sepertimu!!’. Ayo, katakan saja! Katakan kalau ini adalah karma akibat perbuatanku! Akibat perbuatanku yang membunuh Sasagawa dan Karisawa!!”
“Aku tidak ingin mengatakan hal seperti itu!! Sama sekali tak pernah terbayang di pikiranku!!!”
Teriak Haruko.
“.....................”
Ia bisa merasakan, suasana semakin memanas diantara mereka bertiga.
“Bohong!! Kalian berdua pembohong!!! Kalian berdua menganggap aku sebagai pembunuh tanpa peduli akan perasaanku! Kalian berdua selalu menyudutkanku!!”
“Seorang teman--Tidak mungkin saling menyudutkan!!”
Gads berambut hitam pendek itu berkata dengan suara keras, seolah berusaha menghancurkan dinding yang membatasi antara dia dan Riya yang perlahan-lahan terbentuk dan mengeras. Sementara Riya hanya memandang dengan wajah terluka.
“.........Haruko...Apa kau tidak sadar...?”
Ah...Setelah selang waktu yang lama...Haruko kembali mendengarnya lagi. Suara gadis itu yang tertunduk dan bergetar, ketika kembali menyebut namanya. Rasanya sudah sangat lama sekali. Tapi,
“Kalian berdua...Kalian berdua ini bukanlah sahabatku!!!”
“!!!”
Yang ingin ia dengar selanjutnya bukanlah kata-kata itu.
Memasang wajah tidak mengerti di wajahnya, Haruko menggelengkan kepalanya,
“Apa yang kau katakan!? Kita ini sahabat--! Kita ini--“
“TEMANKU TIDAK AKAN PERNAH MENGORBANKAN DIRIKU!!!”

*DEG*

“....................”
Kehabisan kata-kata dan tak tahu harus membalas ucapannya seperti apa, itulah yang mungkin tergambar dengan sangat jelas di wajah mereka berdua termasuk dirinya. Haruko dan Runa ingin balik berkata, tapi tak bisa. Karena, apa yang dikatakan oleh Riya itu--Tak peduli meski sangat menyakitkan, tapi memang benar apa adanya.
“..................”
Ia takkan pernah melupakannya, kata-kata yang dikatakan oleh Hasegawa Runa di kantor polisi waktu itu,

“Mulai detik ini, anggap kita tidak pernah saling bertemu! Anggap kita tidak pernah berteman atau apapun!! Karena, aku sama sekali tidak ingin terlibat dengan masalah ini, atau dituding sebagai seorang pembunuh! Kalau memang harus ada seseorang yang dikorbankan untuk disebut pembunuh, kurasa kau seorang saja cukup! Tidak perlu membawa kami yang lainnya!!”

“.....................”
“Kalian--Kalian tidak ingin, bahkan tidak pernah mau bertemu denganku lagi’kan!? Kalian tidak ingin dianggap ‘Teman’ seorang pembunuh’kan!?”
“................”
“Bahkan aku melakukannya, mengotori tanganku ini atau tidak--Kalian tidak pernah peduli!!!!”
“........................”
“Kalian berdua juga--SEJAK AWAL SEBENARNYA SUDAH MEMBENCIKU’KAN!!? KALIAN MENGANGGAPKU ORANG ANEH, YANG TIDAK TAHU CARANYA MEMBUAT SEORANG SAHABAT, YANG TIDAK PERNAH--TERLIHAT BERSAHABAT DENGAN SIAPAPUN!!!! KALIAN CUMA BERTEMAN KARENA KASIHAN MELIHATKU YANG SELALU SEORANG DIRI SAJA’KAN!!?
“.................”

“Kalau tidak sekarang, kapan lagi aku bisa mengatakannya? Bukannya sesuatu yang dipendam itu akan lebih baik jika dikeluarkan daripada terus dipendam dan membusuk? Karena itu, biar aku mengatakannya sekarang. Aku, sejak pertama kali bertemu denganmu aku sudah membencimu! Kau itu aneh! Aku juga tidak paham apa yang Haruko lihat darimu sehingga dia mau menjadi sahabatmu! Kalau memang ada alasan di balik itu, kurasa itu karena sifat Haruko yang terlalu baik!”

“Aku Tidak ingin kalian berpura-pura demi aku--!! Aku tidak ingin kalian berada di dekatku karena terpaksa!!!”
“..............”
“AKU INGIN KALIAN ADA BERSAMAKU KARENA KALIAN MEMANG ‘SAHABAT’KU!!!”
“Kita memang sahabatmu!!”
“!!”
Yang membuat ekspresi mereka terkejut, bukanlah perkataan Riya. Namun,
“...........Setidaknya...Haruko memang benar ingin jadi sahabatmu...”
Ucapan Hasegawa Runa, yang tiba-tiba itu, seolah seperti energi listrik yang mengaliri seluruh tubuh mereka. Ia yang sebelumnya terus diam, akhirnya berjalan, maju dan berkata, berusaha melindungi Haruko.
“...Runa...”
“..........................”

“.........Semua yang kau katakan itu--Itu semua adalah aku yang mengatakannya! Aku yang membencimu selama ini, jadi jangan anggap Haruko sama sepertiku!!”
“.........Hasegawa...”
“................”
“Haruko...Dia sama sekali tak mengatakan satupun kata-kata yang kau ucapkan barusan! Semua itu adalah perasaanku!”
Riya terlihat tak merespon dan tak peduli akan ucapan Runa. Namun gadis dengan rambut pendek yang dikuncir ponytail di bagian bawahnya itu, terus melanjutkan perkataannya,
“Yang tidak ingin berteman denganmu adalah aku--! Sedangkan Haruko, dia sejak awal sudah serius berteman denganmu!!”
“........................”
“Karena aku mengenal Haruko lebih lama jauh dibanding siapapun, aku tahu orang seperti apa dia. Dia...Haruko itu...Dia bukanlah tipe orang yang suka menghianati sahabatnya sendiri!!”
“............Runa...”
“Haruko itu--Kalau dibandingkan denganku, dia jauh lebih tertutup. Dia memang memiliki teman yang jauh lebih sedikit dibanding denganku, tapi--Dia itu adalah tipe orang yang akan berteman denganmu, karena kau baik!”
“......................”
“Dia itu tidak akan pernah berteman dengan seseorang yang menurutnya tidak baik...Karena itu--Itu berarti, kau adalah orang yang baik, Riya! Dan kau tidak mungkin melakukan pembunuhan itu--!!”
“!!”
Ekspresi wajah Riya terlihat berubah ketika kata-kata Runa sampai pada dirinya dan membuatnya tertegun. Ia bisa melihatnya, tubuh gadis itu semakin bergetar.
Apakah...Apakah yang dikatakan Hasegawa akan bisa meruntuhkan dinding yang terbentuk itu...?
“Aku tahu aku yang salah--!! Aku mengeluarkan kebencianku padamu di waktu yang sangat tidak tepat, dan itu mempengaruhiku dengan berbagai pikiran dan prasangka buruk! Aku tahu, aku itu bukan gadis yang baik, yang seperti dikatakan oleh orang-orang. Aku tahu terkadang aku egois dan tidak senang ketika Haruko berteman dengan orang lain, padahal aku sendiri juga tanpa sadar, sewaktu SMP sering meninggalkan Haruko dan pergi bersama teman-temanku yang lain.”
“.................”
“.............Alasanku tidak menyukaimu adalah--Karena Haruko nampak sangat menyukaimu sebagai sahabatnya!!”

*DEG*

“Aku--Aku--! Aku tidak suka ekspresi bahagia yang terpancar jelas di mata Haruko ketika ia berbincang denganmu! Kalian nampak dekat, bahkan jauh lebih dekat dibanding persahabatan kami berdua! Ketika kalian berbincang berdua, aku merasa kalau aku ini hanyalah orang asing diantara sahabatku! Saat itu, aku selalu memilih untuk bersama teman-temanku yang lain. Tapi, Haruko tetaplah sahabat masa kecilku! Dan aku benci ketika dia begitu akrab denganmu, yang bahkan baru dikenalnya ketika hari upacara pembukaan di SMA! Aku tidak suka dengan kedekatan kalian yang seperti sahabat lama...Makanya aku...Aku--!!”
“..................”
“............Selain itu--Menurutku kau gadis yang aneh. Kau terlihat tidak ingin berteman dengan siapapun, tapi kau begitu bersahabat dengan Haruko. Aku takut--Kau hanya memanfaatkan dia, karena dia mau menjadi temanmu!”
“........................”
Ia memang tidak pernah mengetahui...Kalau hubungan pertemanan ternyata sangatlah sulit untuk dimengerti. Di saat kita seharusnya merasa bahagia karena teman kita memiliki seseorang lain yang bisa ia percayai, kita justru merasa tidak suka. Manusia memang mahluk yang sangat egois. Ia selalu paham akan hal itu di hatinya.
Meski begitu--
“........Karena itu aku berusaha sebisa mungkin, agar Haruko tak menghabiskan waktu lebih banyak denganmu...Dengan cara menghabiskan waktu lebih banyak dengannya...Aku tahu aku salah. Aku tahu aku sangat egois. Aku tahu aku tak pantas lagi untuk kau maaf’kan atau menjadi temanmu lagi...Tapi, biarkan aku mengatakannya, setidaknya untuk kali ini...”
“....................”
“..........Aku minta maaf. Tolong maaf’kan aku atas kesalahanku selama ini...”
--Manusia adalah mahluk yang dapat berubah seiring dengan berbagai macam kesalahan dan penyesalan yang mereka buat.
“....................”
“.........Kau baik. Aku tahu itu, Riya. Akulah yang jahat di sini. Lalu...”
Sambil mengatakan itu, Runa berjalan mendekati Riya, kemudian menyentuh tangannya.
“!?”
Riya sedikit tersentak akan tindakan Runa yang tiba-tiba itu.
Lalu, Runa,
“Runa!! Apa yang kau--!?”
“Aku paham alasan kau marah. Aku paham, kau sekarang memiliki seribu alasan untuk membenciku dan tidak menyukaiku. Karena itu,”
Ia, menarik tangan Riya yang sedang memegang pisau, kemudian mengarahkannya ke dekat lehernya.
“...........”
“......Jika memang ada yang harus mati di sini, kurasa akulah orangnya. Haruko adalah temanku. Aku tak’kan pernah membiarkannya terluka, apapun yang terjadi.”
“Tidak! Runa!!”
“Tidak apa-apa, Haruko.”
“...............”
Saat Haruko berusaha menarik tubuh Runa, gadis itu berkata dan menghentikan gerakan Haruko yang kini  hanya bisa terdiam dan menatap dengan was-was.
“....Runa............Riya, kumohon--!”
“...................”
“........Haruko sama sekali tak berbuat apapun padamu. Yang berbuat salah adalah aku. Yang berteriak ke arahmu adalah aku. Kau boleh membunuhku kalau kau mau. Aku selama ini selalu bersembunyi dan bergantung pada Haruko. Aku tak pernah melakukan satu hal pun berarti untuknya. Karena itu, biarkan sekarang aku melakukannya. Riya...”
“...............”
“.....Bunuh aku.”
“!!”
“Riya!!”
“........................”
Gawat. Keadaan ini, dan suasananya semakin berat. Tubuhnya sama sekali tak bisa berhenti gemetar.
“[Miyashita--!!].”
Jangan, Miyashita!! Apapun yang ada di kepalamu saat ini--Pasti sesuatu yang buruk! Jangan lakukan!!
“...............Kenapa...Kau ini...”
“?”
Sebuah suara yang pelan, terdengar dari mulut gadis berambut pirang itu. Ia menundukkan kepalanya, kemudian menggigit bagian bawah bibirnya.
Ia kemudian,
“Kenapa--Kau--!!”
Lalu menggerakkan pisau tersebut, bersiap menusuk leher Runa,
“Riya!!”
Haruko berteriak dan berusaha menjatuhkan pisau itu, sementara Runa seolah sudah mempersiapkan dirinya, memejamkan kedua matanya,
“Hasegawa Runa--!!!”
“HENTIKAN!!!”
“!! [MIYASHITA!!!!].”
Kemudian--

*SUARA BENDA TERJATUH*

“.......................”
Suara benda yang terlempar dan terjatuh dengan keras ke atas lantai, memenuhi seluruh lorong rumah sakit yang gelap dan sepi. Pada waktu itu, tak ada satupun yang mengetahui apapun yang terjadi. Bahkan otaknya masih belum bisa mencerna dengan baik, kejadian apa yang terjadi di saat yang begitu singkat itu.
“....................”
Mungkin gadis itu tak merasakan apapun, bahkan rasa sakit yang seharusnya sudah menghujani tubuhnya. Karena itu, dengan perlahan ia membuka kedua matanya perlahan,
“..........Huh...?”
“.......Kau ini...Kenapa sih sebenarnya...?”
“Ah!”
Ekspresi wajah terkejut langsung tergambar dengan sangat jelas di wajahnya saat itu, seakan-akan akan menangis.
Riya, di hadapannya, berkata pelan, dengan wajah hampir basah karena air mata,
“Mana mungkin aku--Tidak mungkin aku bisa membunuh seseorang yang selama ini ada di dekatku! Yang aku inginkan hanyalah berteman dengan kalian berdua. Aku sama sekali--Tak pernah berniat merebut sahabat siapapun atau memanfaatkan siapapun! Tidak pernah!!”
Teriaknya, kemudian jatuh terduduk dengan tangan menutupi wajahnya.
“...............”
Dan pisau itu, kini tergeletak di lantai.
“...............”
Baik Runa maupun Haruko, tak ada yang mengatakan sepatah kata pun seusai melihat kejadian yang terjadi di depan mereka. Runa hanya menatap kosong, seolah tak ada apapun yang terlihat di pantulan kedua bola matanya. Meski begitu, ada setitik perasaan yang tertinggal. Dan perlahan, air mata itu mengalir, menetes ke lantai putih.
“............................”
“...............”
Sementara itu, raut muka berbeda ditunjukkan oleh Haruko. Ia juga terlihat tak percaya pada awalnya. Namun, sadar bahwa tak ada hal buruk yang terjadi, ia menghela nafas pendek lalu tersenyum kecil memperhatikan Riya yang kini menangis sambil terduduk di lantai.
“Tidak mungkin aku bisa membunuh Runa! Tidak mungkin aku bisa membunuh satu orang pun!!”
“..........Ya, Ya, aku tahu, kau tidak mungkin melakukannya...”
Kata Haruko, kemudian berjalan dan meletakkan sebelah tangannya di bahu Riya.
“Sejak awal, kau memang diciptakan untuk menjadi gadis yang baik!”
Ucapnya.
“.........Aku--Aku--!”
“Aku tahu kalau ini tidak cukup. Aku tahu, mungkin persahabatan kita masih belum sempurna. Tapi, memang sejak awal, sama sekali tak ada yang memiliki kesempurnaan itu sendiri.”
Menundukkan tubuh dan berlutut di hadapan Riya, Haruko berkata kemudian menghapus air mata gadis itu.
“...Haruko...”
Riya berkata mengangkat wajahnya, seolah telah lama tak menyebut nama gadis itu.
“Mungkin memang masih banyak lubang yang ada, mungkin di saat berikutnya, ke depannya kita masih belum bisa menutup lubang itu. Tapi tak ada yang salah dengan sebuah usaha’kan?”
“..................”
“Karena itu...Mm...Runa, apa ada yang ingin kau katakan?”
“Eh?”
Runa tersentak kaget ketika Haruko menoleh ke arahnya dan menyebut namanya. Ia kemudian langsung menghapus air matanya, lalu ikut berlutut di samping Haruko.
“...........Riya--Aku--!”
“.................”
“.........Aku sama sekali tidak tahu harus mengatakan apa lagi...Kata-kata yang kuucapkan di kantor polisi waktu itu--Jika saja seandainya itu seseorang lain yang mengatakannya kepadaku, aku pasti akan memukul kepala mereka dengan mangkok sampai kepala mereka pecah...”
“Jika kau melakukannya, yang akan pecah adalah mangkoknya.”
“Ah, iya...Kau benar, Haruko..........Mm...Aku tidak tahu apakah aku pantas untuk bertatapan muka denganmu lagi...Setelah semua yang kukatakan itu, aku melihat iblis jauh di dalam hatiku sendiri. Rasanya sangat menakutkan...Rasanya aneh, aku bisa berkata hal semengerikan itu. Meski begitu, aku takkan memungkiri, kalau jauh ada bagian dalam diriku ini yang berpikiran seperti itu...”
“..............”
“Tapi--Maaf karena telah berkata buruk padamu, maaf karena telah menjelek-jelekkan dirimu, maaf karena selama ini aku telah membohongimu dan Haruko tentang perasaanku yang sebenarnya. Maaf karena tidak menjadi teman yang baik untukmu. Maafkan aku karena baru datang sekarang , untuk menemuimu dan mengatakan semua ini...”
“........................”

“Kurasa selama ini aku terlalu salah dan jauh menilaimu. Semua itu karena ketakutanku sendiri. Aku tak pernah tahu dan tak pernah peduli apa yang kau rasakan dan pikirkan, tapi aku selalu berpikir seolah aku mengetahui semuanya. Aku rasa, itu yang membuatku menjadi teman yang buruk...”
“..................”
“Mungkin setelah ini kau tak mau menyebut namaku lagi. Sama seperti yang kukatakan pada Kawada-san, aku kemari karena ingin meminta maaf, makanya kulakukan. Aku tak peduli apa jawabanmu, aku tak peduli kau mau menerimanya atau tidak, tapi aku kemari dengan tulus. Karena itu, ada satu hal lain yang ingin kukatakan...Padamu...Riya...”
“.............”
“......................”
Runa terdiam sesaat. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Haruko, dan ia melemparkan sebuah senyuman ke arahnya. Melihat itu, Runa langsung tersenyum kecil dan mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke arah Riya.
“........Aku ingin mengatakan, sesuatu yang belum pernah aku katakan padamu sejak dulu.”
Ia berkata, menggenggam tangan gadis itu.
“...................”
“Sesuatu itu, adalah sesuatu yang tak pernah kukatakan, karena ketika kau berteman dengan Haruko, otomatis aku juga akan mengenalmu suka atau tidak, dan hanya dengan itu, kuanggap kita sudah menjadi sahabat, Bertiga. Namun--Nampaknya aku sekarang tetap harus mengatakannya...”
“..............................”
“...........Riya...”
“.........................................”
“.....Maukah kau menjadi sahabatku...?”
“!!”
Riya terlihat terkejut ketika mendengar itu, seakan-akan ada sesuatu yang tak terlihat yang mendorong tubuhnya sedikit ke belakang.
“....................”
Ia yang memperhatikan dari kejauhan, bisa melihat bahwa gadis itu sangat terkejut. Mungkin ia masih berpikiran, apa ini mimpi? Apa Hasegawa Runa benar-benar mengatakan hal seperti itu? Apa sekarang ia benar-benar mau berteman dengannya? Hal-hal seperti itu terlihat sangat jelas tergambar di wajahnya yang masih dibasahi oleh air mata.
Hanya saja, mau mimpi atau kenyataan,
“..................”
“.........Bagaimana...?”
“...........Ya...Aku mau...”
Tidak ada salahnya menjawab dengan ‘Ya’.
Dan akhirnya, gadis itu tersenyum, menghapus air mata dengan kedua tangan, kemudian,
“Aku ingin ‘berteman’ dengan kalian berdua!”
Ia berkata, dan memeluk kedua gadis lainnya dengan erat.
“............[Semua berakhir dengan baik...].”
Ujarnya dalam hati. Melihat semua itu, entah kenapa ia tak bisa menahan dirinya untuk tak tersenyum lega. Apa dia merasa senang karena gadis itu sudah mendapatkan apa yang terus berusaha ia cari? Seorang teman?
“........[Ya, mungkin seperti itu...].”
Meski bukan ini tujuannya datang kemari, yaitu untuk menguping pembicaraan mereka, melainkan datang untuk melihat kondisi gadis itu, ia merasa seolah sudah menuntaskan tujuannya. Yah, setidaknya ia tahu satu hal penting,
“....[Setidaknya, ia baik-baik saja...].”
“Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Apa ada yang bisa saya bantu?”
“Ah!!”
Merasa ada sesuatu yang menyentuh pundaknya kemudian berkata sesuatu, ia spontan berteriak kaget, kemudian berbalik, hanya untuk mendapati seorang perawat yang membawa sebuah catatan kecil, tengah berdiri di belakangnya.
Ia kemudian menggaruk rambut kecoklatannya, kemudian berkata sambil tersenyum bodoh,
“M--Maaf, saya berteriak. Tidak apa-apa. Saya juga akan segera pulang.”
Ucapnya.
Tapi, pada saat itu--
“.........Mochida-kun...?”
“!!?”
Ia mendapati suara yang lain berbicara ke arahnya. Itu, adalah suara yang sama dengan yang ia dengar begitu sampai di sini. Maka, ia pun berbalik, dan mendapati pemilik suara itu berjalan perlahan ke arahnya, ditemani 2 gadis yang lain.
“Mochida-kun? Kau Mochida-kun’kan?”
“T--Takashi...”
Ia berkata pelan sambil menyembunyikan rasa gugupnya.
“Mochida-kun? Apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?”
Kali ini, Runa yang melemparkan sebuah pertanyaan.
“Ah--Aku--“
Mochida berusaha mengatakan sesuatu, namun segera terhenti, ketika matanya secara tak sengaja bertatapan dengan mata satu diantara ketiga gadis itu. Gadis itu terlihat sedikit tertegun dan seolah berkata ‘Apa yang dilakukannya di sini?’, dengan wajahnya.
“Oh! Kau adalah pemuda yang beberapa hari ini sering dibicarakan oleh para perawat di sini! Mereka bilang kau sangat tampan! Ternyata, ini memang kau’kan? Mochida Toru-san?”
“Glek!! I--Iya, ini aku...”
Bahkan para perawat di rumah sakit ini turut membicarakannya? Tidakkah gosip itu cukup menyebar di sekolah saja?
Ia tak tahu harus bersikap dan merespon seperti apa, perkataan perawat yang saat ini tengah mengamati dirinya dari atas hingga ke bawah. Berulang-ulang.
“Hm, hm, hm! Anak muda sekarang banyak yang tampan dan tumbuh dengan cepat seperti dirimu. Kalau kau mau, kau bisa datang kemari setiap hari dan akan kuberikan perawatan gratis plus ekstra di sini.”
Perawat itu berkata dengan nada menggoda.
“Ah...Aha ha ha..Aku akan sangat menghargainya tapi...Aku tak merasakan sakit apapun...”
Apa perawat itu baru saja menggodanya? Apa IA baru saja menggodaNYA?! Apakah wajahnya baru saja memerah dan jantungnya berdebar-debar!?
Lalu--Perawatan gratis dan ekstra? Ia bahkan tak tahu apa itu dan apakah perawatan itu legal!
“Mmm...Bukannya Anda sedang bertugas di sini...?”
Entah kenapa, Haruko berkata dengan wajah datar. Mochida melihat arah pandangan Haruko adalah ke arah perawatitu. Namun ia juga merasa kalau gadis itu memandangnya dengan tatapan yang sama secara tak langsung.
“Ha ha ha! Benar, aku memang sedang sibuk, jadi tidak ada waktu untuk menggoda anak muda sepertimu, yah, meski kau sangat tampan, tapi kau sudah memiliki kekasih’kan?”
“Ha ha ha...Tak ada waktu untuk menggoda, ya...?”
Mochida berkata sambil tersenyum tipis. Kau benar-benar membuatnya sedikit kecewa! Kembalikan perasaan berdebar yang telah ia keluarkan dengan sia-sia tadi!! Jangan memainkan hatinya yang masih sangat polos sebagai laki-laki tak berdosa seperti itu! Dan jangan tertawa!!
“Eh, tunggu dulu? Memiliki kekasih...?”
Mochida tiba-tiba tertegun akan perkataan perawat tadi. Kekasih? Ia bahkan tak memiliki satu. Apa yang dimaksudkannya adalah Kanako? Tidak, dia tak pernah mengajak Kanako ke rumah sakit ini. Jadi perawat ini tak mungkin melihat mereka berduaan.
“Iya. Mnn, ah, Miyashita-san!”
Berkata seperti itu, perawat tersebut langsung berjalan ke arah Riya, di samping Haruko dan Runa.
“?”
“Aku tahu kalau keadaanmu sudah semakin membaik dan besok kau sudah boleh pulang. Tapi, selama kau masih berada di atap rumah sakit ini, apapun yang terjadi padamu adalah tanggung jawabku. Jadi, sebelum aku dimarahi, kumohon bekerja samalah denganku.”
“Eh...Y--Ya..”
Riya berkata dengan gugup, ketika perawat wanita itu mendekatkan wajah ke arahnya sambil menunjuk ke arahnya. Nampaknya orang yang sangat keras. Ia lalu menghela nafasnya.
“Serius deh...Bisakah kau tidak membuat kekasihmu yang tampan ini khawatir?”
“??!”
Terkejut. Mungkin itu yang tergambar di wajah Mochida dan Riya. Seolah sesuatu yang benar-benar mengejutkan telah terjadi tepat dihadapan mereka. Sementara Haruko dan Runa hanya bisa menatap bingung akan perubahan ekspresi itu di wajah keduanya, meski mereka juga terlihat shock dengan pernyataan barusan yang muncul entah dari mana.
Kekasih yang tampan?! Satu-satunya pria diantara mereka saat ini hanya dia. Jadi sudah pasti kalau yang dimaksudkan adalah Mochida sendiri. Tapi--Ia berbicara kepada Miyashita! Jadi-­
“T--Tunggu dulu, perawat-san! A--Apa--Apa yang sebenarnya baru saja kau katakan itu?!”
Teriak Mochida dengan panik dan wajah memerah, seakan-akan kepulan asap dapat terlihat dari wajahnya.
“Hm? Apa aku baru saja mengatakan hal yang salah? Kau ini kekasih Miyashita-san bukan?”
Dan perkataan perawat tersebut, langsung membuat mulut Haruko dan Runa terbuka lebar-lebar seolah berkata ‘Ooooh!!!!’
“BUKAAAAN!!! BUKAN SEPERTI ITU!! TAKASHI DAN HASEGAWA, KENAPA MULUTMU SEPERTI ITU!!!?”
Serius deh...Tidak di sekolah, tidak di rumah sakit...Kenapa gosip memalukan ini terus mengikutinya kemanapun ia pergi!?
“T--Taguchi-san...K--Kau bisa mengatakan hal seperti itu dengan wajah lurus, ya...? Lalu, Mochida-kun..Apa benar kau--“
“Tidak, Hasegawa! Biar aku katakan padamu satu hal, apapun yang sekarang ada di dalam kepalamu--Itu sama sekali tidak benar!!”
Ujar Mochida ke arah Runa, yang sekarang tengah terlihat malu sambil memegangi wajahnya dengan kedua tangan. Entah kenapa, ekspresinya itu mengingatkannya pada salah satu sahabatnya, Yukiatsu, yang suka sekali menonton AV.
“Riya, apa itu benar?”
“Eh!?”
“TAKASHIII!!!”
“Eh, ada apa ini? Kau malu-malu, ya? Imut sekali~©
“Aku bukan malu-malu! Aku benar-benar malu!!”
“Tapi, benar’kan,”
“...?”
Entah kenapa, kata-kata perawat tersebut, Taguchi-san, membuat tubuh Mochida tersentak.
“.......Apa yang benar...?”
“Kalau kau selalu datang kemari, kemudian memperhatikan Miyashita-san dari kejauhan’kan?”

*DEG*

Ah...Ia tak tahu lagi harus mengatakan apa...
“........Kau sering datang kemari, Mochida-kun? Benarkah itu?”
“Eh!? A--Aku--“
Pertanyaan Haruko langsung membuat Mochida kembali tersentak kaget. Walau itu pertanyaan yang sangat mudah, tapi kenapa ia begitu sulit untuk mengatakan jawabannya....?
“Uwaa! Mochida-kun memang yang terbaik! Kau bukan hanya pandai, dan jago olahraga, tapi ternyata kau juga perhatian pada temanmu yang sedang mendapat musibah, ya?”
Runa berkata dengan mata yang berkilauan.
“..........Itu...”
Memang benar. Jika ada seorang teman satu kelas, atau dari kelas berbeda yang ia kenal sedang sakit dan dirawat di umah sakit, sudah pasti ia akan datang untuk menjenguk.
“..............................”
Tapi, ekspresi di wajah Riya menunjukkan bahwa ia tak tahu apapun soal hal itu.
“..........Kau datang...?”
Ucapnya pelan.
“A--Aku--!!”
“......Lho, ada apa ini? Kalau Mochida-kun sering datang dan menemuimu, kenapa kau malah bertanya seperti itu?”
Melipat kedua tangan di depan dada, Haruko bertanya ke arah Riya yang masih memasang tatapan tidak percaya.
Sementara Mochida hanya bisa diam. Tapi, jantungnya terus menimbulkan suara yang keras untuk didengar.
“Ah, mungkin Miyashita-san tidak tahu, karena Mochida-san biasanya bertanya pada perawat di sini, mengenai kondisi Miyashita-san, kemudian memperhatikan kamarmu dari kejauhan. Itu sudah menjadi gosip yang menyebar di rumah sakit ini! Nampaknya, ada sesuatu yang membuat Mochida-san tidak mampu mendekat dan bertemu denganmu secara langsung, lalu hanya bisa memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan mata yang terlihat tersiksa itu persis seperti adegan di film-film!!! Aah! Itu terdengar romantis sekali’kan!?”
Taguchi-san menjawab pertanyaan Haruko, yang mungkin juga jadi pertanyaan di benak Runa, dengan wajah memerah yang jelas akan membuat orang-orang salah paham.
“.....Kau mendramatisir...”
Kata Runa sambil menyipitkan kedua matanya dan memandang Taguchi-san dengan ekspresi aneh.
“Jadi, ada apa diantara kalian ini!? Apa ada orang ketiga diantara hubungan percintaan kalian!? Sesuatu seperti ‘Mochida, kau tidak bisa menjaga Miyashita dengan baik! Lebih baik kau serahkan dia padaku!’, ujar seorang ikemen, lalu Mochida-san ‘Tidak! Aku tak bisa melakukannya! Cintaku pada Miyashita itu nyata! Aku tak mungkin menyerahkannya padamu!’, lalu si ikemen itu ‘Miyashita tidak akan bahagia bersamamu! Mulai sekarang, kuharap kau mau menjauhi dia demi kebaikannya!! Kau sudah terlalu banyak melukainya!’, kemudian Mochida-san ‘TIDAAAAAAAAK!!!’, lalu, diujung hutan yang sepi, di mana terdapat sebuah jurang  tak bernama...Mochida-san--“
“AAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!”
Berteriak keras, seiring tubuhnya yang terjatuh, dan terus terjatuh ke jurang yang dalam, sampai akhirnya tubuhnya menghantam tanah yang tak terlihat sejak tadi dengan keras. Ia tak bisa bergerak lagi. Tulang di sekujur tubuhnya hancur. Begitu pula dengan hatinya. Dan, dengan perasaan terluka yang sangat besar itu, Mochida Toru akhirnya...Ma--
TIDAK AKAN TERJADI!!! Hal seperti itu tidak pernah ada! Apa-apan itu!? Mana mungkin aku mati konyol hanya karena hal seperti itu!!? Dan Taguchi-san, ikemen yang kau sebutkan di cerita itu sama sekali tidak ada!! Pada akhirnya, ditolak! Yak, naskah ini ditolaak!! Ditolaaak!!”
Mochida berteriak sambil menyilangkan kedua tangannya.
“Oh, tapi adegan di mana kau mati saat jatuh ke dasar jurang itu sangat nyata, Mochida-kun.”
“Jangan membayangkan hal yang tak akan pernah bisa kubayangkan di tempat pertama, Takashi!!”
Apa dia begitu senang mendengarnya mati jatuh ke dasar jurang?!
“Kalau itu benar jadi film, pasti akan sangat laris.”
“Kenapa kalian begitu senang melihatku mati!? Jika benar ingin membuat film, jangan jadikan aku sebagai salah satu karakternya! Jangan libarkan akuuu!”
Teriaknya ke arah Runa yang seolah terlihat sedang menghitung keuntungan dengan jarinya. Ia menopang dahi dengan tangannya, jadi sedikit pusing setelah laga sahut-menyahut seperti dalam sebuah komik komedi.
“..................”
Di sisi Riya, ia tak mengatakan apapun sejak tadi.
“..Hmm...Tapi yang aneh, Mochida-kun selalu datang kemari malam sekali. Dan itu selalu ketika gadis yang setiap harinya datang itu--Yang berambut coklat panjang dan  sangat cantik itu...”
“Maksudnya Kawada-san?”
Jawab Haruko, yang langsung ditanggapi dengan ‘Ah, ya itu dia’, oleh Taguchi-san. Ia lalu menyambung perkataannya,
“Setelah Kawada-san pergi meninggalkan rumah sakit, Mochida-san selalu datang. Kelihatan sekali kalau Mochida-san sedang menghindari Kawada-san karena alasan sesuatu...Hmm...Ekh! Jangan-jangan, ikemen yang ada di cerita tadi itu, bukan ‘ikemen’, melainkan--Bishoujo!? Jadi orang ketiga itu--”
“Itu tidak mungkin terjadi’kan!?”
Ia tak pernah melihat wanita dewasa yang kelihatan cantik namun sangat terlihat bodoh seperti ini!! Apa kau benar seorang perawat, atau seorang komedian sih?! Ke mana perginya orang dewasa yang seharusnya bijaksana yang selama ini ada dipikirannya? Apa karena dunia mulai berubah--Atau orang dewasa yang selama ini ada dibayangannya, hanyalah bayangan saja?! Setidaknya, berubalah ke arah yang lebih baik, Nee-san!!
“Apa kau sedang bertengkar dengan Kawada-san, Mochida-kun?”
Yang bertanya adalah Runa, sambil memiringkan kepalanya ke kiri.
“Eh...”
Tentu saja. Siapa saja yang mendengar perkataan Taguchi-san pasti akan berpikiran ‘Mochida menghindari Kawada pasti karena ada sesuatu’. Jelas itu tergambar di wajah semuanya.
Apa yang harus dikatakannya?
“.........Sesuatu terjadi...Itu saja...”
Mochida berkata sambil menggaruk kepala dengan wajah yang seolah berusaha menekankan ‘Bukan sesuatu yang besar’.
“.....Apa itu benar? Kau nampak gugup? Bukannya sok tahu atau apapun, tapi dibuku yang pernah aku baca, nada bicara yang gugup, berkeringat, kemudian melakukan pose seperti menggaruk bagian tubuh tertentu, terutama jika ia mengalihkan pandangannya, itu adalah tanda-tanda seseorang berbohong.”
“Mm!?”
Ia bisa melihatnya langsung dan sejelas itu?
“Darimana kau membaca hal itu, Haruko!? Aku menyadari kalau memang tidak ada yang salah dengan teorimu barusan--Tapi, jika ada orang yang sedang berbicara dengan seseorang kemudian dengan nada gugup bicara sambil mengalihkan pandangannya lalu mulai berkeringat, dan mulai terlihat menggaruk ‘Bagian yang tidak ingin kusebutkan namanya’, aku yakin itu karena ia malu karena bagian itu terasa gatal dan dia merasa harus segera menggaruknya!”
“Haruskah kau mengatakannya seperti itu di depan umum, Hasegawa...? Dan bagian apa yang kau maksud’kan itu...?”
Mochida berkata dengan keringat yang mulai membasahi wajahnya. Tidak bagus. Gadis ini jauh lebih berbahaya dari yang ia kira selama ini.
“Mn? Maksudku sudah pasti--“
“Kau tidak perlu mengatakannya!! [Atau kau memang ingin mengatakannya!?].”
Catat. Ia harus mencatat ini dengan jelas, ‘Hasegawa Runa adalah seseorang yang harus diwaspadainya setelah Yukiatsu Rin’. Siapa yang tahu apa yang akan kedua orang ini lakukan di tempat umum! Setidaknya, memulai konseling untuk mengajarkan mengenai ‘Hal yang bisa dibicarakan di tempat terbuka dan hal yang biasa dibicarakan di tempat tertutup’, sama sekali tidak ada ruginya.
“Maksudnya,”
“?”
Saat itu, Taguchi-san berbicara, dan semua pandangan langsung menoleh ke arahnya. Mungkin.
“Mochida-san sebenarnya menyukai Kawada-san, tapi Miyashita-san menyukainya. Miyashita-san yang terluka meminta Mochida-san untuk datang dan berada di sampingnya, namun ia tak ingin Kawada-san melihatnya karena takut cemburu? Begitu, ya!?”
“Bukan begitu!! Itu jauh dari hal yang sebenarnya terjadi!!”
Berhentilah mengarang semuanya dan membuat keadaan semakin buruk! Bisa gawat kalau sampai ada yang mendengarnya!
Semoga saja Yukiatsu tidak berada di sini dan menguping pembicaraan ini. Orang itu, Yukiatsu, terkadang keberadaannya sangat sulit untuk dirasakan. Yang mengerikannya adalah, dia bisa tiba-tiba muncul di belakangmu sambil membawa informasi yang dia dapatkan entah bagaimana caranya.
Ketika itu,
“........? Nao! Sedang apa kau di sini?!”
“Glek! Kawaru-san!”
Seorang perawat lain, yang terlihat lebih senor, berteriak ke arah Taguchi-san. Ia langsung terkejut begitu mengetahui kalau perawat bernama Kawaru-san itu mendekat.
“Bukannya kau harus memeriksa pasien gawat di ruangan nomor 32!? Kenapa malah santai-santai dan ngobrol di sini! Cepat pergi!!”
Hai, hai!!! Saya segera pergi, Kawaru-san!!”
Dan dengan sekali perintah, Taguchi-san membungkukkan tubuhnya lalu pergi setelah membuat gerakan hormat.
“.................”
Mochida sedikit penasaran dengan apa yang terjadi pada pasien di ruang 32 sekarang...
“Dasar, gadis muda! Kerjaannya main terus! Di beri kerjaan juga tidak ada yang beres! Nah, apa semua baik-baik saja? Kenapa kalian berkumpul di lorong seperti ini?”
“Eh, tidak ada apa-apa. Riya, lebih baik kita lanjutkan pembicaraan di kamarmu saja.”
“T--Tapi, Haruko--“
“Mochida-kun, ayo, kau juga harus ikut.”
“Apa? Ti--Tidak usah. Aku hanya datang kemari untuk menengok Miyashita. Syukurlah dia sudah sehat, jadi tidak ada yang harus kulakukan lagi di si--Aduh!”
Haruko menggenggam tangan Mochida semakin erat. Sangat erat, seolah ia akan segera meremukkan tangannya jika ia tak ikut.
“Masih ada hal yang harus kita bicarakan!”
Menatap ke arah mata Haruko, Mochida berpikir ‘Tidak mungkin dia bisa pergi setelah tertangkap seperti ini’, dan menghela nafas pasrah.
Mereka berempat akhirnya masuk ke kamar bertuliskan angka ‘27’ itu.

“Jadi,”
“.................”
“Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan malam-malam di dekat kamar Riya!?”
“Aduh!! A--Aku tidak melakukan apapun! Aduh, aduh! Tolong angkat kakimu dari tanganku, Takashi! Adudududuuuh!!! Tanganku akan remuk kalau terus seperti ini--

*CRAAACK*

“Aaakh!!!! Tidak’kah kau dengar itu!?”
“Kalau yang kau maksudkan adalah suara teriakanmu, aku jelas mendengarnya. Tapi, selain itu aku sama sekali tak mendengar apapun!”
“Sudah jelas itu adalah suara tulangku yang mulai remuk!!”
“......................”
“...............Apa yang sebenarnya dilakukan Haruko dan Mochida-kun...?”

Saat ini...Sebuah pemandangan yang tak biasanya sedang terjadi.
Ketika mereka berempat masuk ke kamar Riya, Haruko langsung menutup pintu dengan agak keras. Entah apa yang terjadi, namun kelihatan kalau ia sedang kesal, meski wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia lalu menyuruh Runa dan Riya duduk di atas tempat tidur lalu menunjuk ke arah Mochida sambil berkata ‘Kau duduk di sana’.
Mochida hanya bisa menatap bingung, karena tempat yang ditunjuk oleh Haruko adalah--Lantai dingin di sudut ruangan di dekat sebuah lemari kecil. Hm? Apa Haruko salah menunjuk? Atau dia salah melihat arah yang ditunjuk?
Karena bagaimanapun, ketika gadis berambut hitam itu menunjuk seperti itu, seolah berkata kalau ia harus duduk di sudut ruangan dekat dinding yang penuh dengan sarang laba-laba. Ya, tidak mungkin Haruko menyuruhnya untuk duduk di sana.
Meskipun ia memang mungkin bermaksud seperti itu, dia akan menyiapkan kursi, atau apapun untuk tempatnya duduk.

Dan sekarang ini--Ia sedang berlutut, dengan kedua tangan di atas lantai. Catatan, kaki Haruko sedang berada tepat di atas tangannya.
“Ini bahkan jauh lebih buruk dari bayanganku!!!”
“Berhenti berteriak dan cepat katakan padaku! Apa yang kau lakukan di sini malam-malam, dan kenapa kau selalu muncul setelah Kawada-san pergi!?”
“Aku berani jamin kalau itu bukan hal yang buruk, Takashi! Aku sama sekali tak bemaksud melakukan apapu--Aaaakh!!!!! Tanganku! Tanganku!!”
“Aku tak ingin dengar penjelasanmu! Aku tak percaya kau berani berbuat seperti itu, Mochida-kun!!”
“Tunggu! Berbuat apa maksudmu itu? ‘Berbuat’ versi-ku dan versi-mu itu berbeda!”

*CRAACK CRAAACK*

“Aaaagh!! Bunyinya terdengar semakin keraaas!!!”
“Kau’kan atlit sepak bola! Tidak perlu tangan!”
“Apa kau bercanda!? Boleh aku tanya apa kau bercanda?! Aku memang atlit sepak bola, tapi--Posisi-ku adalah penjaga gawang! Tentu saja aku butuh tangaan!!”
“Sejak kapan kau jadi penjaga gawang!?”
“Sejak SD aku sudah jadi penjaga gawang!!”
“..............Apa yang sebenarnya sedang kalian berdua lakukan...? Haruko, berhenti menyiksa Mochida-kun seperti itu. Kau nampak seperti seorang sadist. Kasihan Mochida-kun...”
Runa berkata sambil menopang dagunya dan memandang dengan wajah seolah melihat sesuatu yang rendah.
“Runa! Kau selalu saja lembek kalau membicarakan mahluk ini!”
“Ekh!? Lagipula, mungkin alasan mahluk ini untuk datang semalam itu, bukan untuk menyentuh tubuh Riya atau apapun itu--“
“!?”
Ketika kata-kata itu benar keluar dari mulut Runa, Mochida melihat ekspresi terkejut itu di wajah Riya. Percayalah, Miyashita. Apa yang sedang kedua gadis ini katakan--Tidak ada satupun yang benar!
“--Mungkin mahluk ini memang ingin menjenguk Riya, tapi kau tahu sendiri’kan? Kalau Riya tidak suka sama mahluk ini dan selalu mengusirnya pergi? Kurasa, itu yang membuat mahluk ini tak dapat menemuinya secara langsung.”
“Berhentilah berkata ‘Mahluk ini’, ‘Mahluk ini’! Kenapa kau berkata seolah aku adalah mahluk asing?”
“Aku yang memegang kendali saat ini.”
“Glek!!”
Mochida hanya bisa tersentak kaget ketika Haruko mendekatkan wajahnya tepat ke dekat mukanya dan sama sekali tak menanggapi penjelasan yang cukup masuk akal dari Runa.
“Jadi, cepat katakan padaku, hal kotor apa yang sebenarnya telah kau rencakan terhadap Riya, Mochida-kun!”
“Hal kotor!? Kau baru saja mengambil kesimpulan sendiri--Aduh! Takashiii!!”
“Kawada-san datang tiap hari ke rumah sakit untuk menemani Riya-chan. Kau datang kemari dan menunggu dia pulang--Itu berarti kau ingin melakukan sesuatu yang ‘Tidak boleh diketahui oleh Kawada-san, yang merupakan sahabat Riya’! Apalagi kalau bukan hal kotor! Kau itu memang laki-laki hentai berkedok laki-laki alim!”
“Aku terkesan dengan kemampuanmu untuk mengarang cerita, Takashi. Tapi, biar kujelaskan, kalau bukan itu yang sedang coba kulakukan! Itu semua hanya kesalahpahaman! Aku hanya ingin menjenguk Miyashita! Aku tak bermaksud untuk menyentuhnya atau--Aduh!!”
“Kau barusan berkata ‘Menyentuhnya’kan!? Berarti, kau memang mau menyentuhnya?!”
“TIDAK!!!!”
“Haruko.”
“Mn?”
Haruko tertegun. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Yang membuatnya, Mochida dan juga Runa sedikit tersentak, adalah karena itu adalah suara yang tak terdengar semenjak tadi.
“....................”
Tanpa mengatakan apapun lagi, gadis itu, Riya bangkit dari tempat tidur, dan berjalan mendekati Mochida.
“..Riya, apa yang kau--“
“Apa yang kau lakukan di sini...?”
“..................”
Kata-kata yang dingin itu ia lontarkan. Entah kenapa, rasanya seperti jantungnya tertusuk oleh sebuah jarum es. Bukan hanya menyakitkan, tapi sekaligus membuat beku.
“.....................”
Dan mendengar itu, ia hanya bisa terdiam sambil menundukkan kepala.
“..............Apa yang kau lakukan di sini?”
Sekali lagi, ia mendengar gadis itu mengulang pertanyaannya. Nampaknya, meski terdengar tak peduli, tapi ia tetap ingin mengetahui alasannya.
“.........Aku--“
“..........................”
“..........Aku datang kemari untuk menemuimu dan melihat keadaanmu...Itu bukan suatu kebohongan...”
“Kalau begitu, kena--“
“Kalau begitu,”
Yang pertama kali berusaha untuk meminta penjelasan darinya adalah Haruko. Suara itu yang terdengar jelas di telinganya, meski saat ini ia tak melihat ke arah mereka. Lalu, dengan cepat suara itu segera diambil alih oleh Riya.
Ia seolah berkata ‘Biar aku yang menyelesaikan masalah dengan orang ini’. Ia lalu melanjutkan perkataannya,
“Kenapa kau tak pernah datang menemuiku...?”
“..................”
“Kau tidak akan berkata sesuatu seperti ‘Karena kau membenciku, aku merasa kau tak’kan nyaman kalau aku berada di dekatmu’, iya’kan...?”
“..................”
Ia tak bisa menjawabnya. Bagaimanapun juga, alasan itu juga termasuk dalam daftarnya.
“Karena sejak dulu, meski aku tak pernah menyukai kehadiranmu di dekatku, kau selalu saja tak pernah menyerah, meski tak satupun dari perkataanmu yang kutanggapi, tapi kau tidak pernah menyerah terhadapku dan berbicara padaku.”
“.................”
“Apapun yang terjadi, kau selalu saja berteriak menyebut namaku. Karena itu, pasti bukan karena itu alasannya...”
“......................”
Memang benar yang dikatakan olehnya. Bukan itu alasannya.
“.....Sebelum aku menjawab pertanyaanmu padaku, aku ingin mengatakan sesuatu.”
“?”
“.........Aku minta maaf.”
Ia langsung menundukkan kepalanya sambil berkata seperti itu. Semua orang di ruangan itu, langsung memasang wajah terkejut dan tak bisa berkata-kata.
“.........Waktu itu, aku pernah memberimu nomor ponsel-ku, dan aku berjanji kalau terjadi sesuatu padamu, aku akan datang untuk menolongmu. Tapi--“
“..............”
“........Tapi aku ternyata tak bisa melakukan apapun. Kawada-san mengatakan kalau kau menghubungiku, tapi aku tidak tahu, dan akhirnya aku tak datang, bahkan di saat kau memerlukanku. Yah, aku tahu itu tak bisa dijadikan alasan...Akhirnya aku baru tahu setelahnya ketika aku mengunjungi rumahmu...Semuanya sudah berakhir dengan buruk...”
“...............”
“Walaupun Kawada datang dan menolongmu, tapi--Tetap saja aku tak datang. Untuk itu, aku minta maaf, Miyashita.”
Akhirnya, ia menyebut namanya sekali lagi.
“.......................”
“......Sebenarnya, aku sangat ingin datang dan menemuimu, kemudian untuk meminta maaf padamu secara langsung, sama seperti yang berusaha Hasegawa dan Takashi katakan padamu tadi...”
Ia mengatakannya, masih dengan pandangan mata menatap ke arah lantai putih. Ia tak tahu ekspresi apa yang dibuat oleh ketiga gadis itu ketika mendengar ucapannya.
“..........Tapi Kawada sama sekali tak mengijinkan aku untuk menemuimu.”
“.......Kawada-san...? Tunggu--Aku tak pernah mendengar hal itu sebelumnya? Apa benar, Kawada-san tak membiarkanmu menemui Riya, Mochida-kun?”
Tanya Haruko.
“.........Itu benar. Tapi aku tak ingin menyalahkannya atas hal itu.”
“.......Tapi, tak membiarkanmu menjenguk Riya? Kenapa dia sampai melakukan hal sejauh itu?”
Kali ini, Runa yang melemparkan sebuah pertanyaan. Mungkin ia sedikit tidak setuju dengan apa yang dilakukan Emi sehingga tersimpan sedikit kekesalan di nada bicaranya.
“......Bagiku itu bukan masalah. Justru bagus kalau dia berteriak seperti itu ke arahku. Aku jadi sadar dan bangun akan kesalahanku. Aku jadi sadar kalau mungkin selama ini, bukan aku orang yang pantas berada di sisimu.”
“................”
“Baru kemarinnya, Kawada memuji diriku. Tapi di hari berikutnya, aku menghancurkan segala kepercayaan itu. Yang dilakukannya tidak salah. Ia hanya berusaha melindungi Miyashita agar tak terluka lagi di tanganku. Ia hanya berusaha untuk menjadi sahabat yang baik.”
“.......Jika Kawada-san memang berkata seperti itu pada Mochida-kun, aku yakin masalahnya sudah sangat gawat sekali...”
Ucap Runa.
“.........Aku ingin menghargai Kawada dengan tak menemuimu lagi.”
“!”
“........Tapi, aku tak sanggup melakukannya. Di tiap hari yang kulalui, terasa hampa dan tak berarti tanpa adanya suaramu yang biasanya menghiasi hari-hariku. Aku tak pernah bisa berhenti memikirkanmu di dalam kepalaku. Karena itu aku--Aku selalu datang kemari saat malam tiba, setelah memastikan Kawada pulang. Aku tak ingin berkonflik lebih jauh dengan siapapun.”
“...............”
“Aku--“
Ia sangat khawatir. Ia tak ingin apapun terjadi pada gadis itu.
“........Setidaknya, aku sudah melihat dengan kedua mataku sendiri, kau baik-baik saja, dan yang lebih penting lagi, kau juga telah berbaikkan dengan Takashi dan Hasegawa. Tak ada yang kuinginkan lebh dari ini.”
“.........Mochida-kun...”
Runa berkata pelan.
“............”
“........................”
Untuk sesaat, ia terdiam setelah mengucapkan hal tersebut. Tanpa sepengetahuan yang lain, ia sedikit melirik ke arah pintu, baru beberapa saat setelah itu, ia bangkit berdiri.
“..............”
Tanpa berkata apapun, pemuda berambut coklat gelap itu berdiri, dan berjalan mendekati Riya. Ia bisa melihat  pantulan dirinya di bola mata gadis tersebut. Tubuh Riya sedikit tersentak ke belakang, ketika melihat Mochida mendekati dirinya.
“........Miyashita...”
“...............”
“Untuk kali ini saja...Bisakah aku memanggilmu ‘Riya’.”
“.........Eh...?”
Tak bisa berkata apapun lagi. Setidaknya, itu yang ia tangkap dari gerak-gerik Riya. Begitu pula dengan Haruko dan Runa, yang ikut terkejut dengan pernyataannya yang sangat tiba-tiba itu.
Setidaknya, ia harus mengatakannya saat ini.
“........Bisakah aku...Menjadi lebih dekat denganmu, setidaknya saat ini?”
Lanjutnya.
“.......................”
Riya masih tak mengatakan apapun untuk membalas ucapannya. Mochida bisa melihat kegugupan di wajah gadis itu. Entah apa hanya perasaannya saja, atau...Ia terlihat merona?
“.....Riya...”
Ia mendengar suara Haruko menyebut nama gadis itu.
“........................”
Mochida memperhatikan Riya, yang terlihat kebingungan. Ia tak berhenti melihat ke sana kemari dan sekali-kali memainkan rambut pirang panjangnya. Lalu, dengan ekspresi wajah seperti seorang anak kecil yang sedang kesal akan sesuatu,
“..................”
Ia mengangguk dengan pelan.
Itu artinya ‘Ya’. Apa itu artinya benar-benar ‘Ya’? Apa tidak masalah jika ia memanggilnya dengan nama depan sekarang...?
“..Eh...Ya...Kalau begitu...R--Riya...”
“!!”
Tubuh gadis itu langsung bergetar ketika ia menyebut namanya. Ah, ini adalah yang pertama kali ia menyebut nama depan gadis itu. Meski tak terlihat secara langsung, tapi ia sedikit menyukainya. Itu adalah sesuatu yang ingin ia katakan sejak dulu.
Tapi, sampai di sini saja wajahnya sudah sangat terasa panas dan sudah bisa membuatnya pingsan. Masih bagus dia masih bisa berdiri di sini.
“.............Kalau begitu, Riya...Bisakah aku memelukmu...?”
“!!”
Ya, ia tahu, kalau permintaan keduanya ini sangat tidak masuk akal dan membuat semuanya kembali dihujani oleh sengatan kejutan. Pasti yang ada dipikiran mereka saat ini adalah ‘Apa-apaan dia ini? Tiba-tiba ingin memanggil dengan nama depan, kemudian ingin memeluknya?’, benar-benar sebuah permintaan yang aneh dan tiba-tiba sekali.
Mungkin mereka akan benar berpikir bahwa ia ingin melakukan hal-hal aneh, hanya saja, itu tidak penting lagi baginya. Karena yang sangat diinginkannya bukan hal seperti itu.
“........Kenapa...Tiba-tiba seperti ini...?”
Riya berkata, dengan suara pelan kepada pemuda di hadapannya.
Mochida tak tahu apa yang gadis itu pikirkan, apa yang dirasakannya. Ia hanya terus mengatakannya saja.
“.......Mungkin tak’kan ada kesempatan lain untukku.”
“Apa...Apa kau akan meninggal?”
“Pft!”
“Tidak. Aku tidak akan meninggal.”
Setitik urat kekesalan muncul di dahi Mochida, dan suara menahan tawa terdengar dari Runa ketika kata-kata Haruko [yang sama sekali tak ada simpatiknya meski baru saja mengatakan hal yang menakutkan] sampai di telinganya.
“......................”
“......Setidaknya, biarkan kali ini aku merasakan tubuhmu dari dekat. Biarkan aku menyentuhmu dengan kedua tangan ini, sesuatu yang sebelumnya tak pernah bisa kulakukan.”
“.................”
Ia paham, gadis itu pasti sedang sangat bingung sekali mendengar permintaan darinya. Gadis siapapun pasti akan bingung, dan tanpa berpikir 2 kali, ia pasti akan langsung mendaratkan tangannya di wajahnya, meninggalkan bekas merah berbentuk telapak tangan di pipinya.
Apa boleh ia meminta seperti ini?
“............Mmm...”
Setelah diam yang agak lama, Riya, yang melihat ke samping bawah, akhirnya bergumam pelan sambil mengangguk. Wajahnya terlihat semakin merah.
Iya agak sedikit terkejut akan jawaban gadis itu. Benarkah tidak apa-apa?
“.........Kau serius...?”
“...........Hanya untuk kali ini saja.”
Jawab Riya, dengan nada yang terdengar sedikit sinis. Meski begitu, ia tak terdengar akan menolak request-nya.
“...............”
Iya. Ini adalah gadis itu. Gadis yang selalu melihat ke arahnya dengan wajah tidak suka, dan berbicara dengan nada sinis. Ia lebih suka dia seperti ini, jika dibandingkan dengan dia yang terlihat sedih dan putus asa. Ini adalah gadis yang ia kenal.
“.......Benarkah...? Syukurlah kalau begitu...”
Ia berkata, wajahnya hampir tak dapat menahan air mata itu lagi, tapi ia tak ingin terlihat menangis di hadapan gadis itu. Lalu, ia melangkahkan kakinya dengan perlahan dan,

*GREP*

Ia memeluk tubuhnya dengan sangat erat, seolah tak ingin melepaskannya. Seolah tak ingin ia pergi dari sisinya. Ia ingin mereka terus bersama seperti saat ini. Rasanya hangat. Dan tak’kan pernah ia lupakan.
Akhirnya...Ia bisa menjangkaunya juga...
“...............”
Sementara itu, gadis itu tak mengatakan apapun. Ia hanya diam, kemudian dengan perlahan, membalas pelukannya.
“!!”
Itu membuatnya tertegun. Rasanya seperti harapan yang menjadi kenyataan. Ini seperti mengharapkan sesuatu yang tak pernah terjadi, namun akhirnya terjadi juga. Untuk saat ini, hanya kebahagiaan yang menumpuk yang tak dapat dideskripsikan dengan kata-kata yang menumpuk di hatinya.
“..............Aku senang...”
Mochida berkata pelan, dengan senyuman yang tergambar jelas di wajahnya.
“...................”
“.........Walau kau tak mengatakan apapun...Aku tetap senang bisa seperti ini...”
Ucapnya. Ia tak tahu ekspresi seperti apa yang dibuat oleh gadis itu. Mungkin ia mulai merasa tak nyaman dengan semua ini.
“.........Riya...”
“............................”
“.......Aku senang bisa menyebut namamu...”
“...............”
“.......Meskipun sebenarnya tidak, tapi aku bisa merasa sedikit lebih dekat denganmu...”
“.........................”
“..........Riya...Ada satu hal yang ingin kukatakan.”
“.......?”
Pada waktu itu, ia mempererat pelukannya.
“....Mungkin aku hanya akan bisa menyampaikannya satu kali. Dan itu adalah sekarang. Jadi, aku ingin kau mendengarnya, kemudian kau bisa melupakannya saja.”
“..............”
Menyuruh untuk mendengar kemudian melupakannya? Itu sepertinya mustahil.
“..........Riya...Aku--“
Ia mengatakannya. Ia berusaha mengatakannya. Tapi, kata-kata itu serasa sangat sulit untuk dikeluarkan. Kenapa justru di saat-saat seperti ini, ketika ia telah berada di panggung yang dia nantikan, ia merasa gugup? Bukannya ia sudah menunggu saat ini untuk datang?
Mungkin ia tak harus melakukannya. Mungkin ia tak harus mengatakannya. Apalagi, mengingat kejadian buruk yang baru saja menimpa gadis itu, mungkin tidak akan bagus untuk membebani pikirannya dengan hal yang tidak penting. Tapi sangat penting untuknya.
Mungkin ia hanya harus menyimpan perasaan ini seterusnya, kemudian melepas pelukannya dengan pelan.
Tapi...
“[Jika seperti itu, maka perasaan ini tak akan pernah sampai padanya...].”
Mungkin beberapa hal akan bisa tetap tersampaikan meski hanya dengan diam dan tanpa menggunakan kata-kata. Tapi beberapa hal, tak’kan pernah tersampaikan dengan baik jika tak diucapkan dengan sebuah kalimat.
Sekali lagi, perasaan bingung menguasai dirinya.
 “...................”
Apa itu karena ia tak punya alasan yang cukup kuat untuk mengatakannya? Tidak. Ia punya.
Entah kenapa...Di saat seperti ini dia justru teringat akan sesuatu di masa lalu. Sesuatu yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Tepatnya ketika ia masih duduk di bangku SMP, di atap sekolah. Rasanya ia bisa mengingat dengan jelas kejadian lama yang terjadi pada hari itu.
Hari itu, warna langit, angin yang berhembus dan menerpa wajahnya dengan lembut, serta gadis itu. Gadis yang berada di satu kelas dengannya, yang mengatakan ‘2 kata itu’.
Hari itu, ketika ia bertemu dengan gadis itu, ia mendapat sebuah jawaban atas pertanyaan yang ia terus cari sejak dulu.

“......Kalau begitu, jawaban dariku adalah--Aku menyukaimu karena kau adalah Mochida-kun.”

Menyukai seseorang bukan karena apa yang telah diperbuat oleh seseorang, melainkan karena orang itu sendiri.

“Aku suka Mochida-kun. Aku tak peduli kalau kau tidak pandai, atau mungkin tidak banyak orang menyukaimu meski kau tidak populer, atau kau tidak sebaik semua orang di dunia ini. Tapi, aku tahu satu hal. Seseorang yang baik padaku adalah Mochida-kun, orang yang membantuku waktu itu adalah Mochida-kun yang ada di hadapanku. Aku bisa melihatnya...’Sesuatu’ tak terlihat, yang membuat hatiku tertarik padamu.”

Ya. Hanya itu alasan yang dia perlukan. Saat ini ia berada di posisi gadis itu.
Itu hanya 2 kata. 2 kata saja. Bisakah ia mengatakannya? Bisakah ia mengungkapkan sesuatu yang terpendam dalam hatinya? Gadis itu sudah ada di dekapannya saat ini. Biarkan mulutnya bergerak!
“............Riya...”
“................”
“Aku menyukaimu.”
.......Kata-kata itu...Akhirnya keluar juga...Gawat, ternyata butuh lebih dari sekedar keberanian untuk mengatakannya. Ia jadi ingat bagaimana merahnya wajah gadis tersebut saat itu, di atap sekolah.
“.......[Ah...Aku malu sekali...Aku akhirnya benar-benar mengatakannya...Aku mengatakannya...Jadi ini...Yang dirasakan Namura waktu itu...?].”
Inikah perasaan yang dirasakan ketika sedang jatuh cinta...?”
“...................”
Sementara itu, Mochida tak mendengar reaksi apapun dari gadis, yang baru saja ia mengatakan bahwa ia sangat menyukainya.
Suara yang mengatakan kata-kata yang singkat itu, seakan-akan langsung menghilang dari ruangan yang kecil ini. Setelah ia mengatakan itu, tak sebuah suarapun terdengar.
“...............”
Sepertinya, ia baru saja membuat sebuah pernyataan yang mengejutkan. Memang banyak kabar di sekolah yang mengatakan bahwa ia menyukai Riya. Tapi tetap saja, ketika ia benar-benar mengatakan hal itu, bahkan ia yakin, gadis itu tak tahu harus menjawab seperti apa.
“..........[Ternyata memang tidak bisa, ya...?].”
Maka dengan itu, ia melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menyentuh tubuh gadis itu, dan ia melihat ke kedua mata birunya yang terlihat indah. Ia terlihat sangat terkejut, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Mungkin, akan lebih baik jika ia mengakhirinya di sini.
“......Riya...Aku sudah mengatakannya. Itulah perasaanku yang sebenarnya. Mungkin kau sudah mengetahuinya dari anak-anak di kelas atau dari gosip yang beredar tentang kita berdua.”
“................”
“Aku selalu tahu kau membenci dan tidak menyukaiku. Mungkin bagimu aku menyebalkan. Tapi,”
“.................”
“Aku ingin kau tahu, kalau aku tak pernah menganggapmu menyebalkan, atau membencimu.”
“!”
“.......Kau mungkin bukan yang terbaik. Kau mungkin bukan gadis terbaik untuk orang lain. Tapi kau selalu jadi yang terbaik untukku.”
“..................”
“Aku akan terus memilihmu. Tak peduli ada berapa banyak gadis lain yang menyatakan perasaannya padaku, aku akan selalu memilihmu.”
“........Aku [Kumohon, katakanlah sesuatu...], mungkin bukan sikap atau penampilanmu yang membuatku tertarik. Aku memang menyukai segala hal tentang dirimu. Menurutku pribadi, kau akan sangat populer seandainya kau lebih sering tersenyum dan bersahabat. Kau sangat manis jika aku boleh mengatakannya.”
“...............”
“..........Tapi, selalu ada hal itu. Sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain, yang membuat hatiku tertarik padamu. Sesuatu itu, seperti magnet, selalu membuatku melihat ke arahmu.”
“....................”
“........Kau mungkin tidak menyadari sesuatu yang tak terlihat itu dalam dirimu. Tapi aku bisa melihatnya. Dan aku ingin membantumu untuk menyalakan sinar dalam dirimu.”
“.................”
“.....Terakhir, bersahabat itu sesuatu yang baik, lho. Kau tidak akan pernah tahu kalau seorang teman akan bisa sangat berguna dan membantumu di kemudian hari. Setelah percakapan kita hari ini, aku harap kau lebih sering tersenyum, kemudian mulai menerima orang-orang di dekatmu dengan tangan terbuka. Bersosialisasi dengan orang-orang baru, dan memulai membangun hubungan yang baik dengan orang lain. Dengan itu, hidupmu pasti akan lebih berwarna dan berarti.”
“......................”
“Kau ingin membuat teman? Kurasa kau akan bisa melakukannya.”
“................”
.........Tak disangka, ia bisa mengatakan semuanya. Bahkan ini jauh lebih panjang dari yang ingin katakan sebelumnya! Kata-kata itu mengalir langsung dari mulutnya, ketika ia memandangi gadis itu. Yang selalu ia sukai. Jantungnya berdetak jauh lebih kencang daripada sebuah mobil balap. Ah...Terus seperti ini, tubuhnya benar-benar akan segera roboh.
“.........Itu, yang ingin kukatakan padamu.”
“.............”
“....Aku tak berharap kau melupakannya. Yang aku ingin kau lupakan adalah bagian yang paling memalukan dari keseluruhan pembicaraan ini.”
“...................”
“Ha ha ha, aku tahu, aneh bagi seseorang yang baru saja menyatakan cintanya kepada gadis yang ia sukai untuk meminta gadis itu melupakan seluruh ucapannya. Aku malu sekali! Jujur aku sangat malu! Kaki rasanya sudah terasa sangat lemas dan tak mampu menahan tubuhku lagi.”
“....................”
“...Ahem. Untuk kau tahu saja, Riya, kau adalah cinta pertamaku.”
“...................”
“Sebelum ini, aku sama sekali tak pernah merasakan yang namanya cinta dalam hidupku [Bahkan ketika aku mengatakannya, sama sekali tak ada tanggapan...].”
Ketika ia mengucapkannya, ia bisa melihat sekilas perubahan ekspresi di wajah gadis itu. Apa dia marah? Atau kesal karena telah mengatakan sesuatu yang membuatnya malu?
“.......Bahkan meski ada banyak sekali gadis yang menyatakan cintanya padaku, aku sama sekali belum pernah menerimanya satupun. Aku pikir, aku tak begitu baik untuk mereka. Aku pikir, mereka telah salah menyukai seseorang. Karena aku sama seperti kebanyakan orang lainnya, dan mereka pasti bisa jatuh cinta dengan orang-orang itu selain aku. Aku bukan seseorang yang spesial.”
“..............”
“Tapi,”
Semua itu berubah, berkat gadis itu.
“......Ada gadis ini. Namanya Namura. Dia satu kelas dengan kita. Dia bilang kalau dia menyukaiku, karena aku adalah diriku. Karena aku adalah Mochida Toru. Karena itu, aku menyukaimu, karena kau adalah Miyashita Riya, yang saat ini berdiri di hadapanku, yang saat ini bertatapan mata denganku.”
“................”
“..........................”
Mengikuti gadis itu, ia berhenti mengucapkan kata-kata yang terus ia ucapkan meski tak mendapat balasan. Setidaknya, akhirnya pesan itu tersampaikan. Setidaknya, ia menerima kata-kata darinya.
Maka, ia pun melepaskan kedua tangannya dari pundak gadis itu. Sekali lagi, ia menatap ke dalam mata Riya yang berwarna biru. Ia tak ingin terlihat sedih, tapi sepertinya ia jelas menunjukkan ekspresi itu.
“...........[Pada akhirnya, aku memang terlihat menyedihkan...].”
Ucapnya dalam hati.
Untuk sesaat, ruangan kembali sunyi. Baik Riya, Haruko maupun Runa, tak satupun diantara ketiga orang itu yang bersuara. Ia memang tak melihat ke arah kedua gadis lainnya. Tapi pasti, mendengar seorang pemuda menyatakan perasaannya kepada Riya dihadapan keduanya, itu saja sudah cukup untuk membuat mereka seolah tak memiliki satu katapun untuk diucapkan.
Bagaimanapun juga, yang baru saja terjadi dihadapan mereka adalah sebuah pernyataan cinta. Dan salah satu yang terdengar menyedihkan.
Ia juga merasa, tak ada gunanya lebih lama di sini. Bagaimanapun juga, ia telah menyampaikan maksudnya.
Sekali lagi, ia melirik ke arah pintu,
“................”
Kemudian, ia kembali mengalihkan pandangannya ke arah gadis berambut pirang itu.
“........Riya...”
Ia berkata, dengan suara pelan, namun terdengar tegas. Tatapan matanya yang lembut berubah menjadi serius.
“Aku--Mulai sekarang, seperti yang selalu kau inginkan dariku sejak dulu, aku tidak akan pernah muncul lagi dihadapanmu, atau menemuimu. Di sekolah, aku akan berpura-pura kita tak saling mengenal sebelumnya. Itu’kan--Yang sangat kau ingin’kan...?”
“................”
“......Aku tak’kan mendekatimu lagi. Aku tak’kan bersikap menyebalkan di dekatmu lagi.”
“................”
“......Tapi meski begitu, aku tetap ingin kau tahu.”
Sekali lagi, ia memegang bahu gadis itu dengan kedua tangannya. Ia bisa merasakan tubuh Riya yang sedikit bergetar dengan tangannya. Apa yang sebenarnya kau rasakan saat ini? Ia ingin bertanya seperti itu, tapi mengurungkannya. Ia lalu,
“Apa yang kukatakan sebelumnya, bukanlah sebuah kebohongan.”
--Di detik berikutnya, bibir mereka bersentuhan dengan lembut.
Lalu tanpa mengatakan apapun, ia langsung berbalik pergi, keluar dari ruangan yang didominasi oleh warna putih itu. Meski begitu, ia tahu, gadis itu pasti langsung mengalihkan pandangannya darinya. Tak mungkin’kan? Ia tiba-tiba berlari dan memeluk dirinya...?
“[Tidak. Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi...].”

Dan, bahkan setelah ia mencium gadis itu dan berbalik pergi, ia sama sekali tak mengatakan Riya berteriak kesal atau mengatakan apapun. Bagaimanapun juga, ia telah merebut ciuman pertamanya, jadi setidaknya ia mengharapkan sebuah respon.
Atau mungkin--Diam itu adalah respon penolakkan darinya.
Tentu saja, tidak ada satu gadispun di dunia ini yang akan berteriak kegirangan ketika tiba-tiba laki-laki yang tidak mereka sukai, menciumnya tanpa peringatan terlebih dahulu. Apalagi jika itu adalah yang pertama.
Masalahnya, ia tak tahu, harus menghadapinya seperti apalagi ketika sekolah dimulai keesokan harinya...Yang ia tahu hanyalah--Itu, adalah ciuman pertamanya.
Ah...Ia benar-benar telah nekad melakukannya...

Ketika ia masuk ke dalam rumah, suasana sudah sangat sepi dan gelap. Ia perlahan melangkahkan kakinya menaiki tangga, tetap berusaha agar tak tersandung sesuatu akibat kegelapan.
Sampai di lantai 2, dia hampir saja dikejutkan oleh bayangannya sendiri, yang seolah membentuk wujud raksasa yang mengerikan. Untung ia tak berteriak dan membangunkan semua orang di rumah. Saat ia sampai di depan kamar Emi, ia membuka pintu kamar gadis itu dengan pelan dan sedikit mengintip ke dalamnya. Kelihatannya Emi sudah tertidur. Tentu saja, hari sudah larut dan dia sudah banyak melakukan berbagai hal untuknya.
“.........Terima kasih.”
Membisikkan, kata-kata itu, Riya kembali menutup pintu kamar Emi dengan perlahan.

“................”
Tak ada ekspresi khusus yang ditunjukkannya ketika ia membuka pintu kamarnya. Ini adalah hari pertama ia tinggal di rumah Kawada, dan sudah terasa seperti menginap di tempat lain dibandingkan rumahnya sendiri.
Ia menatap dalam-dalam ke ruangan yang kini menjadi kamarnya, sebelm akhirnya berjalan masuk dan mengunci pintu.
yang ada di depannya saat ini, cukup mirip dengan kamarnya di rumah yang lama. Emi memang berusaha membuat kamar ini semirip mungkin dengan kamar lama Riya, agar membuatnya semakin nyaman tinggal di sini. Tapi, tetap saja ia tak bisa merasakan apapun di dalamnya, seolah ini hanyalah ruangan kosong, tanpa ada perasaan apapun di dalamnya.
“Haah...Apa boleh buat.”
Menghela nafas, ia harus membuka matanya bahwa ini memang bukan kamarnya dan juga bukam rumahnya. Ia yakin, ia akan bisa cepat terbiasa tinggal di sini. Apalagi, ada Emi di rumahnya. Ada keluarganya yang mau menerimanya. Besok, ada teman-teman yang bersamanya.
Melangkah ke tempat tidurnya, ia kemudian berbaring. Matanya terpaku ke arah langit-langit. Kemudian ia memejamkan mata dan menarik selimut sampai menutupi wajahnya. Saat ia melakukan itu, ia tidak merasa kalau ia akan segera tertidur. Jadi ia merogoh sakunya dan mengambil telepon genggam.
Di balik selimut yang gelap, cahaya dari telepon genggamnya membuat matanya sedikit silau. Ia membuka daftar kontak kemudian melihat-lihat daftar nama yang ada di dalamnya.
Hari ini dia sudah mendapat beberapa nomor kontak baru. Ia sedikit merasa senang karena itu. Ia melakukan melihat-lihat nama-nama itu beberapa kali, sampai ketika matanya menangkap tulisan ‘Mochida’, di layar telepon genggamnya, Riya berhenti. Untuk sesaat, matanya yang berwarna biru tak berhenti menatap nama itu.
“............”

“Kau ingin membuat teman? Kurasa kau akan bisa melakukannya.”

“Apa yang kukatakan sebelumnya, bukanlah sebuah kebohongan.”

Lalu, tanpa mengucapkan kata-kata lagi, ia menutup telepon genggamnya, kemudian mendekapnya erat-erat.

Hal yang berikutnya ia sadari ketika membuka mata--Adalah hari sudah menjadi pagi.
***-***


A/N : Halo, minna XDD Fujiwara Hatsune di sini!
Kali ini HTMF chapter 13 diawali dari Mochida! Ternyata diam-diam dia menjenguk Riya juga, ya?
Hatsui : Ah, akhirnya aku paham. Ternyata di cerita ini ada cerita gimana Miyashita, Takashi dan Hasegawa berbaikkan lagi. Benar-benar pertemuan yang mengharukan. Aku pikir Miyashita benar-benar bakal bunuh mereka lho!
Tapi Runa berani juga mengakui kesalahannya bahkan sampai rela kalo Riya sakit hati dan mau ngebunuh dia. Untung Riya ngga punya pemikiran ke situ. Ke situ juga pasti, ujung-ujungnya dia bakal dituduh lagi.
Hatsui : Terus...Terus apaaan itu!! Mochida--Mochida menyatakan cinta sama Miyashita!!! 0////0!!!!!
Tiba-tiba banget ya? Memang Mochida dari dulu udah suka sama Riya.
Hatsui : Memang udah kelihatan dari vol 1 sih...Tapi tapi...        
Aku ngga terlalu ahli bikin adegan cinta yang romantis dan juga belum pernah mengalami satupun jadinya hambar //plaaak.
Terus--adegan ciuman itu--ini yang pertama kali ada lho!! Dalam sejarah penulisanku selama 2 tahun ini--Ini pertama kali ada adegan ciuman di dalamnyaaaa!!! Kyaaaa!!


Author,
Fujiwara Hatsune